Anda di halaman 1dari 13

POSTKOLONIALISME

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH DASAR-DASAR


APRESIASI SATRA
Dosen Pengampu: Drs. Rusdian N. D., M .Hum.

Disusun Oleh :

Elly Yuniyati (2018001071)

Kelas : 3B

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur pemakalah ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga pemakalah mampu menjalankan rutinitas dan
keseharian dengan penuh limpahan taufik dan hidayah. Allah-lah yang telah
memberikan sebuah pengajaran lewat hidayah-Nya sehingga makalah yang
memuat teori kebudayaan yang berdasarkan pada teori postkolonialisme ini dapat
tersesaikan juga.
Shalawat beriringan salam semoga tetap terlimpah curahkan pada Nabi
Muhammad SAW yang telah meninggalkan dua pusaka yakni al-Qur’an dan
Sunnah yang tidak akan pernah kita lepaskan hingga menutup usia. Sehingga
berkat itu juga bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik dan berpedoman pada
pengajaran tersebut.
Semoga dengan adanya makalah yang memuat teori postkolonialisme ini mampu
memberikan asupan bagi pemahaman dalam bidang kebudayaan. Apalagi dengan
adanya makalah ini dapat menjadikan bahan bacaan atau revensi baru untuk
menggali lagi khasanah postkolonialisme ini.

DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Poskolonialisme
B. Sejarah Perjembangan Poskolonialisme
C. Tokoh-tokoh Poskolonialisme
D. Penerapan poskolonialisme

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teori postkolonial termasuk salah satu teori-teori baru dalam kajian ilmu komunikasi. Teori ini berada
pada tataran atau tingkat teratas dari konteks/lingkup komunikasi, yaitu komunikasi sosial budaya.
Tingkatan konteks komunikasi diurutkan sebagai berikut: 1) pelaku komunikasi (komunikator dan
komunikan); 2) pesan; 3) percakapan; 4) hubungan; 5) kelompok; 6) organisasi; 7) media; 8) budaya dan
masyarakat (Littlejhon,2011:491). Poskolonialmemangmerupakansebuahkajian yang belum lama
berkembang dan juga belumbanyakdikenal, terutama di Indonesia
jikadibandingkandengankajianmengenai modernitas dan posmodernitas.
Kajianinilebihbanyakberkembang dan dipelajari di negara-negara Timurbahkan di Eropa (Prancis dan
Jerman), kajianmengenaiposkolonialkurangberkembang. Poskolonialmempelajaribanyakmasalah yang
dihadapi negara-negara Timurakibatpenjajahan negara-negara Barat.

Selain itu, pembahasan teori juga mempertimbangkan aliran suatu teori. Memahami suatu teori
dalam ilmu komunikasi tidak bisa dilepaskan dari aliran atau tradisi yang melatarbelakangi sebuah teori.
Beragamnya teori dalam ilmu komunikasi tentu membuat kebingungan bagi yang mempelajari.
Karenanya penting mengetahui aliran atau tradisi dari sebuah teori demi kesejajaran pemikiran atau
konsisten. Dalam upaya pragmatis, Robert T. Craig (Littlejhon,2011:52--53) membagi teori-teori yang
beragam itu dalam kelompok aliran/tradisi komunikasi yaitu: 1) Semiotik; 2) Fenomenologis; 3)
Sibernetika; 3) Sosiopsikologis; 4) Sosiokultural; 5) Kritis; 5) Retoris.

B. Rumusan Masalah
1. Apa poskolonialisme itu ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan poskolonialisme ?
3. Siapa saja tokoh-tokoh poskolonialisme ?
4. Bagaimana penerapan poskolonialisme ?

C. Tujuan
Memberikan pemahaman yang jelas apa yang dimaksud dengan poskolonialisme
dan teorinya, perkembangan poskolonialisme, tokoh-tokoh poskolonialisme, dan
penerapan poskolonialisme.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Postkolonialisme

Secara etimologis poskolonial berasal dari kata ‘post’ dan kolonial, sedangkan kata
kolonial itu sendiri berasal dari kata coloni, bahasa Romawi, yang berarti tanah pertanian atau
pemukiman. Jadi, secara etimologis kolonial tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan,
pendudukan, dan konotasi ekploitasi lainnya. Konotasi negatif kolonial timbul sesudah terjadi
intraksi yang tidak seimbang antara penduduk pribumi yang dikuasai dengan penduduk
pendatang sebagai penguasa. Dikaitkan dengan Pengertian kolonial terakhir (Ania Loomba,
2003: 2-3), maka Negara-negara eropah modern bukanlah kolonialis yang pertama. Penaklukan
terhadap suatu wilayah tertentu telah dilakukan jauh sebelumnya misalnya, tahun 1122 SM
dinasti Shang di Cina ditaklukkan oleh dinasti Chou, kekaisaran Romawi abad ke 2 M
menguasai Armenia hingga lautan Atlantik, tahun 712 lembah sungai Indus ditaklukkan oleh
Muhammad bin al- Qassim, bangsa Mongol menguasai Timur tengah dan Cina, bangsa Aztec
abad ke 14 dan kerajaan Inca abad ke 15 menaklukkan bangsa-bangsa lain disekitarnya, dan
sebagainya. Aksi kolonialisme Negara-negara Eropah modern baru mulai sekitar abad ke 16.

Dikaitkan dengan teori-teori postmodernisasi yang lain, studi postkolonial termasuk


relatif baru. Cukup sulit untuk menentukan secara agak pasti kapan teri poskolonialisme lahir.
Menurut Shelly Walia (2001: 6, Said, 2003: 58-59) proyek postkolialisme pertama kali
dikemukakan oleh Frants fanon dengan bukunya yang berjudul Black Skin, White Masks and the
Wretched of the Earth (1967). Fanon adalah seorang psikiater yang mengembngkan analisis yang
sangat cermat mengenai dampak psikologis dan sosiologis yang ditimbulkan oleh kolonisasi.
Fanon menyimpulkan bahwa melalui diktomi kolonial, penjajah –terjajah, wacana oriental telah
melahirkan alienasi dan menganalisasi psikologis yang sangat dahsyat. Sebagai varian
postrukturalisme maka konsep-konsep dasar postkolonialisme sama dengan postrukturalisme,
seperti penolakan terhadap narasi besar, oposisi biner, dan proses sejarah yang terjadi secara
monolitik. Salah satu cara yang ditawarkan adalah membongkar strutur ideology melalui
mekanisme arkeologi dan genealogi (foucalt, 2002 : 104-106, 2002a :270-275). Cara pertama
yang dilakukan melalui penggalian (excavation) terhadap masa lalu,, sedangkan cara yang kedua
mencoba menemukan kontinuitas sekaligus diskontinuitas historis objek. Menurut Foucault,
objek kajian yang dimaksudkan disebut arsip, seperangkat wajana yang diungkapkan secara
actual, baik dengan cara ditulis,disusun, diucapkan, dan diungkapkan kembali, maupun
ditransformasikan. Sepintas lalu (Dean, 1994 : arkeologi dan geneologi bersifat saling
melengkapi, tetapi pada dasarnya geneologilah yang dominan sebab semata-mata dalam melacak
jaringan wacana ditemukan sekaligus disingkirkan subjek yang memiliki otoritas.

Seperti hypogram dalam teori interteks, genealogi foucaulation ( Ritzer, 2003: 67-81;
Sarup,2003: 100-101) bukan usaha menemukan asal-usul sebagaimana dipahami secara
tradisional, sebagai arketipe. Arkeologi mencoba menggali situs lokal dalam rangka menemukan
irisan diskursif, sedangkan geneologi mencoba menemukan jaringan wacana, bagaimana
diskursus diperaktikkan. Sama dengan postrukturalisme, ciri khas postkolonialisme dengan
demikian adalah dekontruksi terhadap subjek tunggal, narasi besar. Dalam analisis terjadi
tumpang tindih dengan postrukturalisme. Meskipun demikian, sesuai dengan objeknya, ciri khas
postkolonialisme adalah berbagai pembicaraan yang berkaitan dengan kolonialisme, khususnya
orientalisme. Oleh karena itulah narasi terbesar postkolonialisme adalah orientalisme. Teori
adalah konsep-konsep diperoleh melalui seleksi dan akumulasi ilmu pengetahuan sepanjang
sejarahnya sehingga mampu memecahkan masalah yang terjadi pada zamannya. Teori
postkolonialisme dibangun atas dasar peristiwa sejarah terdahulu, pengalaman pahit bangsa
Indonesia selama tiga setengah abad, khususnya dibawah kolonialisme imperium Belanda. Teori
postkolonialisme memiliki arti penting, dianggap mampu untuk mengungkap masalah-masalh
tersembunyi yang terkandung dibalik kenyataan yang pernah terjadi dengan pertimbangan
sebagai berikut:
1. Secara defenitif, postkolonialisme menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial.
Postkolonialisme sangat sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa
Indonesia yang merdeka baru setengah abad.

2. Postkolonialsme memiliki kaitan erat dengan nasionalisme, sedangkan kita sendiri juga
dihadapkan dengan berbagai masalah yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bertanah
air.

3. Sebagai teori baru, sebagai varian postrukturalisme, postkolonialisme memperjuangkan


narasi kecil, meggalang kekuatan dari bawah sekaligus belajar dari masa lampau untuk menuju
masa depan.

4. Postkolonialisme membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan semata-mata dalam


bentuk fisik melainkan psike. Model penjajahan terakhir masih berlanjut.

5. Postkolonialisme bukan semata-mata teori melainkan suatu kesadaran itu sendiri, bahwa
masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan seperti memerangi imperialisme, orientalsme,
rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya.

Teori postkolonialisme semakin banyak dibicarakan, sekaligus memperoleh tempat di kalangan


ilmuwan satu dasawarsa sesudah terbitnya buku Frans Fanon(1960-an) dengan adanya temuan
Edward Said mengenai pemahaman baru terhadap orientalisme. Artinya, kelahiran teori
postkolonialisme pada dasarnya diawali dengan pemahaman ulang tentang orientalisme.
Meskipun demikian, dalam analisis, orientalisme dengan postkolonialisme seolah-olah
merupakan dua kutub yang bertentangan, dua ideologi dengan muatan yang berbeda, tetapi selalu
hadir secara bersama-sama sebagai oposisi biner.

Tidak dipermasalahkan nasionalitas penemu teori. Pada puncak pencapaian intelektualitas


tertinggi, pada tingkat konsep-konsep, manusia berada pada tataran universal, bebas dari ikatan-
ikatan bangsa, Negara, dan tanah air. Masalah yang penting, pemahaman tersebut dapat
memberikan makna baru terhadap kejadian-kejadian yang sudah terjadi ratusan, bahkan ribuan
tahun lalu, yang implikasinya masih dirasakn sekarang dalam waktu yang tidak bias ditentukan.
Yang dimaksudkan dengan teori postkolonial adalah teori yang digunakan untuk menganalisis
berbagai gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan sebagainya, yang terjadi di
Negara-negara bekas koloni Eropah modern.

B. Sejarah Perkembangan Teori Postkolonial

Studi poskolonial termasuk relatif baru. Banyak pendapat yang timbul tentang teori postkolonial
sehingga cukup sulit untuk menentukan secara agak pasti kapan teori postkolonialisme lahir (Ratna 2008:
83--84). Di dunia Anglo Amerika, postkolonialisme dirintis oleh Edward Said. Pertama kali dikemukakan
melalui bukunya yang berjudul Orientalism (1978).
Sebelum adanya uraian Orientalism oleh Edward Said, postkolonialisme telah muncul sejak
tahun 1960 dengan terbitnya buku-buku karangan Frantz Fanon. Sedangkan postkolonialisme Indonesia
muncul baru sekitar tahun 1990-an bersamaan dengan munculnya teori postrukturalisme.
Postkolonialisme Indonesia berasal dari Barat, melalui gagasan-gagasan yang dikembangkan
Edward Said, tetapi objek, kondisi, dan permasalahan yang dibicarakan diangkat melalui dan di dalam
masyarakat Indonesia. Dengan adanya teori postkolonialisme Indonesia, diharapkan teori-teori baru yang
dapat berinteraksi dengan teori-teori Barat dapat memecahkan persoalan yang ada.
Secara historis postkolonialisme Indonesia diawali dengan hadirnya dua buku. Pertama, Clearing
a Space: Postcolonial Reading of Modern Indonesian Literature (Keith Foulcher and Tony Day, ed.), terbit
pertama tahun 2002 melalui KITLV Press, Leiden. Tahun 2006 diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
oleh Bernard Hidayat, dengan kata pengantar Manneke Budiman, berjudul Clearing a Space: Kritik
Pascakolonial tentang Sastra Indonesia Modern, diterbitkan oleh KITLV, Jakarta. Kedua, Hermeneutika
Pascakolonial: Soal Identitas (Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, ed), terbit pertama kali tahun 2004,
melalui penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Objek kajian postkolonialisme Indonesia yang secara umum mengacu pada postkolonilisme
Barat, mengalami beberapa masalah perkembangan:
1. Objek tidak bisa dibatasi secara pasti. Meskipun demikian, dalam ruang lingkup
yang paling sempit, objek postkolonialisme Indonesia adalah masa-masa sesudah
proklamasi. Dalam hal ini, postkolonialisme sama dengan pascakolonialisme. Secara harfiah,
pascakolonialisme Indonesia mulai tanggal 17 Agustus 1945, sejak
diumumkannya Proklamasi kemerdekaan Soekarno dan Hatta.
2. Secara definitif postkolonialisme adalah teori, pemahaman dalam kaitannya dengan kondisi-kondisi
suatu wilayah negara yang pernah mengalami kolonisasi.
3. Dengan mempertimbangkan kaitannya dengan orientalisme, maka objek poskolonialisme sudah ada
sebelum kedatangan bangsa Belanda dan kolonialis lain hingga sekarang. Meskipun ada beberapa
masalah dalam kajian postkolonialisme Indonesia seperti uraian di atas, dalam rangka meningkatkan
apresiasi nasional, sekaligus manfaatnya dalam rangka menopang pembangunan bangsa secara
keseluruhan, maka teori-teori postkolonial Indonesia lebih banyak difokuskan pada butir pertama.
Masalah ini perlu diperhatikan mengingat timbulnya isu nasionalisme di masyarakat.

C. Toko-tokoh teori postkolonialisme

1. Edward W.Said

salah seorang tokoh postkolonial yang terkenal adalah Edward W. Said, lahir di Palestina,
kemudian mengembangkan karirnya di Amerika Serikat. Sesuai dengan riwayat hidupnya,
berpindah-pindah dari suatu Negara kenegara lain, maka tema-tema karyanya khususnya
Orientalism, melukiskan tentang perpisahan, marginalitas, hibriditas, dan ciri keterasingan
lainnya. Oleh karena itu ia menganggap bahwa tanah airnya adalah seluruh dunia

Di dunia Anglo Amerika dirintis oleh Edward W. Said dengan bukunya yang berjudul
Orientalism (1978). Pada umumnya gejala-gejala kultural tersebut terkandung dalam berbagai
teks studi mengenai dunia timur, yang ditulis oleh para orientalis., yang disebut sebagai teks-teks
oriental( dari kata orien yang berarti timur). Meskipun demikian, sebagai akibat dominasi
intelektualis barat, banyak juga karya-karya yang melukiskan ketidakseimbangan hubungan
antara masyarakat Timur yang ditulis oleh intelektual pribumi yang telah terkontruksi oleh
pemikiran barat. Visi postkolonial tidak ada kaitan dengan masalah-masalah sosial politis secara
praktis. Dalam analisis, khususnya dalam karya sastra, tidak mesti dikaitkan dengan intense
pengarang. Kebesaran; demikian juga kegagalan sebuah karya tidak disebabkan oleh adanya
unsur-unsur oriental, melainkan bagaimana unsur-unsur tersebut ditampilkan secara estetis. Visi
postkolonial menelusuri pola-pola pemikiran kelompok orientalis dalam rangka membangun
superioritas Barat, dengan konsekuensi logis terjadinya inferioritas Timur. Oleh karena itu,
sasaran visi postkolonial adalah subjek kolektif intelektual barat, kelompok oriental menurut
pemahaman Edward Said.
Said (Lomba,2003: 74-75) melangkah lebih jauh, menelusuri ideologi rasionalitas,
kemajuan ilmu pengetahuan secara maksimal, yang dianggap sebagai proyek zaman pencerahan.
Menurutnya, kemajuan yang dicapai masyarakat barat memiliki tujuan tersembunyi dalam
rangka menanamkan hegemoni terhadap bangsa lain sehingga seolah-olah sejarah yang
minolinear itu memperoleh persetujuan dari bangsa yang dijajah. Pada tataran ini sebagian
imperealisme sudah terlaksana. Dengan kata lain, pada dasarnya imperealisme tidak harus
dilakukan secara langsung.

Sebaliknya (Said,2003: 44-45), visi postkolonialisme menunjukkan bahwa pada masa penjajahan
yang ditanamkan adalah perbedaan, sehigga jurang pemisah antara kolonial dengan pribumi
bertambah lebar. Untuk mempertahankan perbedaan yang sudah ada maka pribumi harus tetap
bodoh. Bahasa pribumi dianggap bahasa mati, bahasa lama, sebaliknya bahasa Belanda dianggap
sebagai bahasa ilmu pengetahuan, bahasa modern. Oleh karena itu, untuk menghambat
kemajuannya, pribumi harus tetap berbahasa dareah. Dominasi kolonial juga membawa naskah-
naskah lama yang secara fisik seolah-olah dipenjarakan di museum-museum Eropa.

2. Bill Ashcroft

Secara defenitif (Bill Ashcroft, dkk 2003: xxii-xxiii ) teori postkolonial lahir sesudah
kebanyakan Negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaannya. Teori postkolonial mencakup
seluruh khazanah sastra nasional yang pernah mengalami imperial sejak awal kolonisasi hingga
sekarang. Sastra yang dimaksudkan, diantranya Afrika, Austalia,Bangladesh, Canada,Karibia,
India, Malta, Selandia Baru, Pakistan, Singapura, kepulauan fasifik Selatan, Srilangka, Malaysia,
dan Indonesia. Sastra Amerika justru dimasukkan sebagai prototipe postkolonial sebab sejak
abad ke-18 telah mengembangkan konsep sastra nasional Amerika yang dibedakan dengan sastra
Inggris. Postkolonial dengan demikan sangat relevan untuk menyebutkan kritik lintas budaya
sekaligus wacana yang ditimbulkannya. Tema-tema yang perlu dikaji sangat luas dan beragam,
meliputi hampir seluruh aspek kebudayaan, diantaranya : politik, ideologi, agama, pendidikan,
sejarah, antropologi, ekonomi, kesenian, etnisitas, bahasa, dan sastra, sekaligus dengan bentuk
praktik di lapangan, seperti perbudakan, pendudukan, pemindahan penduduk, pemaksaan bahasa,
dan berbagai bentuk invasi kultural yang lain.meskipun demikian, keberagaman permasalahan
tersebut dipersatukan oleh tema yang sama, yaitu kolonialisme.
Pengertian pertama memiliki jangkauan paling sempit, postkolonialisme semata-mata
wakil masa pascakolonial. Di Indonesia mulai pertengahan abad ke 20, sejak proklamasi
kemerdekaan tahun 1945 hingga sekarang. Pengertian kedua lebih luas meliputi semua tulisan
sejak kedatangan bangsa- bangsa Barat di Indonesia untuk pertama kali, diawali dengan
kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol awaql abad ke 16 disusul oleh bangsa Belanda awal
abad ke 17. Pengertian ketiga paling luas, dimulai sebelum kehadiran bangsa Barat secara fisik di
Indonesia, tetapi memiliki citra tertentu terhadap bangsa timur. Sebagai bagian integral
postmodernisme, Menurut Hutcheon (2004 : 283) poskolonialisme seolah-olah tidak memiliki
batas. Wilayah penelitiannya meliputi segala bangsa, bahasa, dan budaya dunia. Untuk kasus
penelitian Indonesia, dalam rangka penelitian awal cukup dimulai dengan pengertian pertama.
Dalam karya sastra misalnya, mulai dengan menganalisis karya-karya sejak sastra Melayu
Tionghoa, Balai Pustaka, dan seterusnya hingga sekarang. Mishra dan Hodge (1994 :284)
mencoba menyederhanakan keberagaman tersebut dengan membedakan menjadi dua macam,
yaitu : a) Postkolonialisme oposisional, postkolonialisme yang secara historis objeknya lahir
sesudah masa colonial, dan b) postkolonialisme terlibat, postkolonialisme sebagai proses
langsung kolonialisme tetapi dengan bentuk-bentuk berbeda.

Sebagai studi kultural, postkolonialisme merupakan wilayah kajian multidisiplin. Bill


Ashcroft, dkk (2003: 1-2) dalam kaitannya dengan bekas koloni inggris membedakan model
penelitian postkolonial menjadi empat ciri sebagai berikut :

1. Model nasional atau regional, berbagai gambaran yang berbeda mengenai kebudayaan
nasional dan regional, timbulnya kesadaran nasionallah yang memicu munculnya wacana
postkolonial.

2. Model berbasis ras, mengidentifikasi sastra nasional, seperti karyas sastra diaspora kulit
putih, diaspora kulit hitam, atau gabungan antara keduanya.

3. Model perbandingan, menganalisis dua karya sastra postkolonial atau lebih, menjelaskan
ciri-ciri linguistik, sejarah, dan kebudayaan tertentu yang melintasi dua kesusastraan
postkolonial.

4. Model perbandingan lebih luas, dengan menonjolkan hibriditas dan sinkretis


Perlu dipahami bahwa model hanya berfungsi sebagai asumsi sebab dalam praktik dilapangan
lebih sering beroprasi secara bersama-sama. Ashcroft menunjuk Amerika Serikat sebagai
masyarakat postkolonial pertama (skitar abad ke 18 yang mengembangkan sastra nasional.
Dikaitkan dengan aspek bahasanya, (Ashcroft, dkk. 2003: 43) membedakan masyarakat
postkolonial menjadi tiga kelompok yaitu :

1. Kelompok monoglosik menggunakan hanya satu bahasa sebagai bahasa ibu, yaitu bahasa
Inggris.

2. Kelompok diglosik dengan bilingualisme, seperti India, Afrika, dan Fasifik Selatan.

3. Poliglosik, yaitu beragam dialek saling terjalin membentuk kontinum linguistik, seperti
kreolisasi di kepulauan Karibia, wilayah yang dianggap menyediakan berbagai kasus teori
postkolonial.

3. Frantz Fanon

proyek postkolialisme pertama kali dikemukakan oleh Frants fanon dengan bukunya yang
berjudul Black Skin, White Masks and the Wretched of the Earth (1967). Fanon adalah wseorang
psikiater yang mengembngkan analisis yang sangat cermat mengenai dampak psikologis dan
sosiologis yang ditimbulkan oleh kolonisasi. Fanon menyimpulkan bahwa melalui diktomi
kolonial, penjajah –terjajah, wacana oriental telah melahirkan alienasi dan menganalisasi
psikologis yang sangat dahsyat.

D. Contoh Penerapan Teori Postkolonial

Salah satu penerapan teori postcolonial adalah novel Salah Asuhan karangan Abdoel Moeis,
terbit pertama kali tahun 1928, menceritakan hubungan antara kebudayaan Barat dan kebudayaan
Timur. Hubungan antara Corrie dengan Hanafi yang sejak semula telah tidak disetujui oleh
keluarga kedua belah pihak akhirnya tidak bisa dipertahankan. Cerita berakhir dengan tragedi.
Nasihat C. du Bussee, orang tua Corrie kepada Hanafi (Salah Asuhan, 1974: 59) Sekaligus
menunjukan bagaimana sikap bangsa Barat terhadap bangsa Timur dan bagaimana seharusnya
bangsa Timur bersikap terhadap Bangsa Barat.

BAB III

KESIMPULAN
Secara etimologis poskolonial berasal dari kata ‘post’ dan kolonial, sedangkan kata kolonial itu
sendiri berasal dari kata coloni, bahasa Romawi, yang berarti tanah pertanian atau pemukiman.
Jadi, secara etimologis kolonial tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan
konotasi ekploitasi lainnya

Di dunia Anglo Amerika, postkolonialisme dirintis oleh Edward Said. Pertama kali dikemukakan
melalui bukunya yang berjudul Orientalism (1978). Sebelum adanya uraian Orientalism oleh Edward Said,
postkolonialisme telah muncul sejak tahun 1960 dengan terbitnya buku-buku karangan Frantz Fanon.
Sedangkan postkolonialisme Indonesia muncul baru sekitar tahun 1990-an bersamaan dengan
munculnya teori postrukturalisme.Adapun tokoh-tokoh poskolonialisme yaitu Edward W.Said, Bill
Ashcroft, dan Frantz Fanon.

DAFTAR PUSTAKA
www.jurnal.umrah.ac.id
https://www.academia.edu
Ratna Kutha. 2015. Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai