Anda di halaman 1dari 109

SEJARAH AL-QUR’AN

Makalah ini diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah


Studi Al-Qur’an yang diampu oleh :
Dr. H. Makinudin, S.H., M.Ag

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1

1. Habibur Rochman (05030320068)


2. Eva Nabilla (05040320079)
3. Muhammad Hasan Makki (05040320088)
4. Ravika Putri Auliya (05040320091)

HPI-C / SEMESTER II
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM (JINAYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2021

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Sejarah Al-Qur’an” ini
tepat pada waktunya.
Dengan segala keterbatasan, akhirnya makalah ini telah tersedia di hadapan para
pembaca. Ibnu Atsir, sejarawan Muslim terkemuka pernah berkata, “Saya melihat ilmu itu ada
dua; yang terdengar dan tertulis. Akan tetapi yang terdengar tidak akan bermanfaat, sebelum ia
tertulis. Sebagaimana matahari tidak akan terlihat, jika mata ini tidak pernah terbuka.” Kata bijak
inilah yang menjadikan penulis bersemangat untuk menyelesaikan karya ini.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Makinudin, S.H., M.Ag
Selaku Dosen Mata Kuliah Studi Al-Qur’an yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mempermudah para pembaca
dalam memahami sejarah Al-Qur’an. Oleh karena itu, guna memudahkan untuk memahami isi
dari makalah ini, diawali dengan pembahasan seputar (1) Pengertian dan nama-nama Al-Qur’an;
(2) Sejarah turunnya Al-Qur’an (Nuzulul qur’an); (3) Proses pewahyuan Al-Qur’an; (4) Hikmah
diturunkannya Al-Qur’an secara bertahap; (5) Bahasa Arab sebagai Bahasa Al-Qur’an.

Sebagai bentuk ijtihad, tulisan ini memungkinkan untuk terjadinya kekurangan dan
kesalahan; sehingga perlu kiranya untuk diperbaiki. Maka dari itu, kritik dan saran sangat penulis
harapkan mengingat keterbatasan yang penulis miliki dalam penulisan naskah makalah ini.

Semoga karya ini dapat bermanfaat.

Al-Haqqu min rabbik,

Fala takunanna minal mum tarin!

Surabaya, 14 Maret 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
A…Latar Belakang Masalah 4
B…Rumusan Masalah 4
C…Tujuan Pembahasan 4
BAB II PEMBAHASAN 6
A…Pengertian dan Nama-nama Al-Qur’an 6
B…Sejarah Turunnya Al-Qur’an (Nuzulul qur’an) 7
C…Proses Pewahyuan Al-Qur’an 8
D…Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an Secara Bertahap 11
E…Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al-Qur’an 12
BAB III PENUTUP 14
A…Kesimpulan 14
DAFTAR PUSTAKA 15

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an bagi kaum muslimin adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Jibril a.s. selama kurang lebih dua puluh tiga
tahun. Kitab suci ini memiliki kekuatan luar biasa yang berada di luar kemampuan
seluruh makhluk Allah SWT. “Sekiranya kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah
gunung, maka kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah karena takut kepada Allah
SWT” (QS.al-Hasyr [59]: 21). Kandungan pesan ilahi yang disampaikan oleh Nabi SAW
dalam bentuk Al-Qur’an ini telah menjadi landasan kehidupan individual dan sosial kaum
Muslimin dalam segala aspeknya, bahkan masyarakat Muslim mengawali eksistensinya
dan telah memperoleh kekuatan hidup dengan merespons dakwal Al-Qur’an. Itulah
sebabnya Al-Qur’an berada di jantung kehidupan umat Muslim. Namun tanpa
pemahaman yang semestinya terhadap Al-Qur’an, kehidupan, pemikiran, dan
kebudayaan kaum Muslim sangat sulit dipahami.
Al-Qur’an juga telah memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifatnya,
di antarannya bahwa ia merupakan kitab yang dijamin keautentikannya. “Kami yang
menurunkan Al-Qur’an ini, dan kami pula yang menjaganya” (QS. Al-Hijr [15] : 9).
Sebagai wahyu ilahi, maka ia berlaku sepanjang zaman. Kedalaman dan ruang cakupan
Al-Qur’an sangatlah luas, namun karena keterbatasan kemampuan manusia untuk
mengkaji dan meneliti kedalaman apa yang terkandung di dalamnya menjadikan Al-
Qur’an sebagai petunjuk yang asing dari kehidupan manusia. Kewajiban akan
mempelajari Al-Qur’an telah memecah keterbatasan tersebut sehingga rahasia-rahasia
misteri yang terkandung dalam surah maupun ayat dapat terungkap.
Kebenaran dalam perspektif Al-Qur’an adalah pembenaran mutlak yang datang
langsung dari Tuhan. Hal ini dapat dibuktikan: pertama, bahwa Al-Qur’an berasal dari
Tuhan yang menciptakan segalanya, Yang Maha Mengetahui semua kebutuhan hamba-
Nya.oleh karena itu, Al-Qur’an sudah didesain sesuai kemampuan dan kebutuhan umat
manusia. Kedua, bahwa Al-Qur’an secara keseluruhan merupakan satu kesatuan kukuh
yang tidak bisa terpisahkan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya sehingga manusia
tidak akan pernah mampu membuat semisalnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan nama-nama yang ada di dalam Al-Qur’an?
2. Bagaimana sejarah turunnya Al-Qur’an (Nuzulul Qur’an)?
3. Bagaimana proses pewahyuan dalam Al-Qur’an?
4. Apa sajakah hikmah dari diturunkannya Al-Qur’an secara bertahap?
5. Bagaimana Bahasa Arab yang digunakan di dalam Al-Qur’an?

C. Tujuan Pembahasan
Tujuan penulisan makalah ini adalah agar penulis dapat memberikan pemahaman
kepada pembaca untuk menambah kaidah wawasan mengenai sejarah Al-Qur’an, baik itu

4
mengenai pengertian dan nama-nama Al-Qur’an, sejarah turunnya Al-Qur’an (Nuzulul
qur’an), proses pewahyuan Al-Qur’an, hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara bertahap
dan Bahasa Arab sebagai Bahasa Al-Qur’an.

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Nama-nama Al-Qur’an
Al quran sebagai kitab suci utama umat islam sebagai mukjizat yang di turunkan
kepada Nabi Muhammad SAW secara bertahap selama 22 tahun 2 bulan 22 hari lewat
perantara malaikat jibril sebagai pembawa wahyu.
Secara bahasa menurut M. Quraish Shihab, Alquran secara harfiyah berarti
bacaan yang sempurna. Ia merupakan suatu nama pilihan Allah yang tepat, karena tiada
suatu bacaanpun sejak manusia mengenal tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat
menandingi Alquran, bacaan sempurna lagi mulia1
Dan Secara istilah Al quran adalah firman Allah SWT. Yang disampaikan oleh
Malaikat Jibril dengan redaksi langsung dari Allah SWT. Kepada Nabi Muhammad
SAW, dan yang diterima oleh umat Islam dari generasi ke generasi tanpa ada perubahan2
Al – Quran memiliki banyak sekali nama atau julukannya yang telah di jelaskan
di dalam al quran sendiri, yang mana akan kami rangkum sebagai berikut:3
1. Al-Kitab (buku)
Al kitab (buku) adalah salah satu nama yang sangat familar di kalangan umum.
Yang mana di perkuat oleh dalil di bawah ini:
َ ِ‫ب فِي ۛ ِه هُ ٗدى لِّ ۡل ُمتَّق‬
٢ ‫ين‬ َ ِ‫ٰ َذل‬
َ ۛ ‫ك ۡٱل ِك ٰتَبُ اَل َر ۡي‬
Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa (QS. Al-Baqarah [2]:2)
2. Al-Furqan (pembeda benar salah)
Al quran sebagai mukjizat yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW yang
mana sebagai pembeda yang benar dan salah. Yang telah di jelaskan di dalam al quran
sebagai berikut:
َ ‫ون لِ ۡل ٰ َعلَ ِم‬
١ ‫ين نَ ِذيرًا‬ َ َ‫ك ٱلَّ ِذي نَ َّز َل ۡٱلفُ ۡرق‬
َ ‫ان َعلَ ٰى َع ۡب ِدِۦه لِيَ ُك‬ َ َ‫تَب‬
َ ‫ار‬
Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al-Qur'an) kepada hamba-
Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. (QS. Al Furqaan
[25]:1)
3. Adz-Dzikr (pemberi peringatan)
Dari berbagai arti ada pula Adz dzikir yang berarti pemberi peringatan. Yang
mana berupa peringatan untuk orang orang yang beriman dan untuk orang-orang yang
belum beriman, yang dari keterangan tadi akan di perkuat oleh salah satu ayat al quran di
bawah ini :
َ ُ‫ِإنَّا نَ ۡح ُن نَ َّز ۡلنَا ٱل ِّذ ۡك َر َوِإنَّا لَ ۥهُ لَ ٰ َحفِظ‬
٩ ‫ون‬
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr (Al-Qur'an), dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al Hijr [15]:9)
4. Al-Mau'idhah (pelajaran/nasihat)
Al mau’idhah adalah salah satu julukan yang di berikan kepada al quran karena
banyak sekali kisah kisah para kaum terdahulu yang bisa kita ambil hikmahnya dan

1
Anshori, Ulumul Quran, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), p.17
2
Anshori, Ulumul Quran, (Jakarta: Rajawali Press, 2013),...p.18
3
https://id.wikipedia.org/wiki/Nama_lain_Al-Qur%27an (di tinjau pada 13/03/2021)

6
menjadi pembelajaran bagi kita agar tidak mengulangi kesalahan kaum kaum terdahulu,
dan di dalam al quran terdapat ayat ayat yang menguatkan argumen ini. Yaitu sebagai
berikut:
‫ور َوهُ ٗˆدى‬ ُّ ‫ لِّ َمˆˆا فِي‬ٞ‫ة ِّمن َّربِّ ُكمۡ َو ِشفَٓاء‬ٞ َ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلنَّاسُ قَ ۡد َجٓا َء ۡت ُكم َّم ۡو ِعظ‬
ِ ‫ٱلصˆ ُد‬
٥٧ ‫ين‬ َ ِ‫ة لِّ ۡل ُم ۡؤ ِمن‬ٞ ‫َو َر ۡح َم‬
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat
bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus [10]:57)
5. Asy-Syifa' (obat/penyembuh)
Penyembuh adalah nama lain dari al quran. Yang mana sebagai penyembuh dr
segala penyakit hati maupun fisik yang mana itu semua adalah atas izin dan kehendak
dari Allah SWT. Dan di bawah ini adalah dalil penguat tentang sebutan as syifa:
‫ور َوهُ ٗˆدى‬ ُّ ‫ لِّ َمˆˆا فِي‬ٞ‫ة ِّمن َّربِّ ُكمۡ َو ِشفَٓاء‬ٞ َ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلنَّاسُ قَ ۡد َجٓا َء ۡت ُكم َّم ۡو ِعظ‬
ِ ‫ٱلصˆ ُد‬
٥٧ ‫ين‬ َ ِ‫ة لِّ ۡل ُم ۡؤ ِمن‬ٞ ‫َو َر ۡح َم‬
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat
bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus [10]:57)
6. Al-Hukm (peraturan/hukum)
Al quran di dalamnya banyak tersimpan hukum hukum yang telah allah putuskan
dan allah tetapkan dengan jelas. Yang mana telah di jelaskan di bawah ini:
‫ك ِم َن ۡٱل ِع ۡل ِم َما‬ َ ‫نز ۡل ٰنَهُ ح ُۡك ًما َع َربِ ٗيّ ۚا َولَِئ ِن ٱتَّبَ ۡع‬
َ ‫ت َأ ۡه َوٓا َءهُم بَ ۡع َد َما َجٓا َء‬ َ ِ‫َو َك ٰ َذل‬
َ ‫ك َأ‬
٣٧ ‫اق‬ ٖ ‫ك ِم َن ٱهَّلل ِ ِمن َولِ ٖ ّي َواَل َو‬ َ َ‫ل‬
Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al-Qur'an itu sebagai peraturan (yang
benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah
datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara
bagimu terhadap (siksa) Allah. (QS. Ar Ra'd [13]:37)
7. Al-Huda (petunjuk)
Al quran sebagai salah satu sumber hukum islam juga menjadi sebagai petunjuk
bagi orang orang yang beriman.yang mana penjelasan ini di perkuat oleh dalil berikut:
‫اف بَ ۡخ ٗس ˆا َواَل َرهَ ٗقˆ ا‬ ٓ ٰ ‫َوَأنَّا لَ َّما َس ِم ۡعنَا ۡٱلهُ َد‬
ُ ‫ى َءا َمنَّا بِ ِۖۦه فَ َمن ي ُۡؤ ِم ۢن بِ َربِِّۦه فَاَل يَ َخ‬
١٣
Dan sesungguhnya kami tatkala mendengar petunjuk (Al-Qur'an), kami beriman
kepadanya. Barangsiapa beriman kepada Tuhannya, maka ia tidak takut akan
pengurangan pahala dan tidak (takut pula) akan penambahan dosa dan kesalahan. (QS.
Al Jin [72]:13)

B. Sejarah Turunnya Al Quran (Nuzulul Quran)


Menurut penyelidikan ahli sejarah, turunnya al quran secara bertahap di tandai
dengan terjadinya peristiwa yang di alami Nabi SAW.. Ketika, Beliau Sedang beribadah
atau mengasingkan diri di gua hira’. Waktu itu jibril datang menyekap Nabi ke dadanya
lalu melepaskanya (meelakukannya demikian 3 x), sambil mengatakan iqra’ (bacalah)
pada setiap kalinya.

7
Peristiwa itu terjadi pada malam senin, 17 ramadhan tahun ke – 40 usia Nabi
Muhammad SAW. Dan di saat nilah trunlah ayat pertama yang di turunkan pada saat itu
adalah al alaq ayat 1-5 .4
Di dalam sebuah kisah di jelaskna bahwa surah pertama yang turun pertama
setelah terhentinya wahyu adalah surat mudatstdir. Karena di kisahkan setelah turunnya
suruh al alaq 1-5 pernah terjadi masa fatrah (fakum, masa renggang). Yang mana juga di
jelaskna di dalamnya bahwa surat pertama yang turun secara lengkap adalah surat al
mudatsthir dan untuk kenabian adalah al alaq 1-5.
Sedangkan mengenai ayat yang terakhir di turunkan menurut pendapat ulama
yang kuat menyatakan bahwa ayat terakhir yang turun atau sebagai penutup wahyu
adalah surat al baqarah ayat 281.5

C. Proses Pewahyuan Al-Qur’an


Nabi Muhammad sebagai manusia biasa menerima bisikan dari Allah yang
disebut dengan wahyu. Bisikan itu berisi misi atau risalah ilahiyah yang disampaikan
kepadanya melalui Jibril. Artinya, pewahyuan al-Qur’an kepada Nabi menggambarkan
terjadinya perumpamaan antara makhluk material (jasmani), yaitu Nabi Muhammad
dengan makhluk immaterial (rohani), yaitu Jibril.
Diterimanya wahyu oleh Nabi Muhammad dari Allah, berarti interaksi antara
makhluk dengan Khaliq. Al-Qur’an menyebutkan, ada tiga cara penyampaian misi
ilahiyah itu kepada para nabi dan rasul, yaitu melalui wahyu, pembicaraan di balik hijab,
dan atau Allah mengirim seorang utusanNya. Allah berfirman dalam surat Asy-Syura
[42] ayat 51:

ˆٍ ‫ان لِبَ َش ٍر اَ ْن يُّ َكلِّ َمهُ هّٰللا ُ اِاَّل َوحْ يًا اَ ْو ِم ْن َّو َر ۤاِئ ِح َجا‬
‫ب اَ ْو يُرْ ِس َل َرس ُْواًل‬ َ ‫َو َما َك‬
‫فَي ُْو ِح َي بِاِ ْذنِ ٖه َما يَ َش ۤا ُء ۗاِنَّهٗ َعلِ ٌّي َح ِك ْي ٌم‬
Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata dengannya
kecuali dengan perantaraan wahyu, atau di belakang tabir atau dengan mengutus
seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizinNya apa yang Dia
kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.

Berdasarkan ayat di atas, wahyu Allah yang turun kepada para nabi bervariasi.
Pertama, pemberitahuan Allah dengan cara wahyu diturunkan tanpa perantaraan.
Termasuk dalam kategori ini adalah mimpi yang tepat dan benar, misalnya Nabi Ibrahim
pernah menerima perintah menyembelih putranya, yakni Nabi Isma‘il.

Turunnya wahyu yang berkaitan dengan mimpi yang benar juga pernah dialami
Rasulullah. Allah menurunkan surat al- Kautsar [108] ayat 1-3 berdasarkan mimpi. Allah
berfirman :

‫ك هُ َو ااْل َ ْبتَ ُر‬ َ َ‫ك ْال َك ْوثَ َر ف‬


َ ‫صلِّ لِ َرب َِّك َوا ْن َحرْ اِ َّن َشانَِئ‬ َ ‫اِنَّٓا اَ ْعطَي ْٰن‬

4
Muhammad yasir, Studi al quran, Hal. 58
5
Muhammad yasir, studi al quran, Hal. 59

8
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka
dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang
membencimu, dialah yang terputus.

Kedua, Allah menyampaikan wahyu di balik tabir. Pembicaraan di balik tabir


adalah salah satu cara Allah menyampaikan risalah. Nabi tidak melihat Allah, tetapi ia
dapat menerima hidayah atau risalah tersebut, misalnya wahyu Allah kepada Nabi Musa
yang diceritakan dalam surat Thaha [20] ayat 11-13, al-A‘raf [7] ayat 143 dan an-Nisa’
[4] ayat 164 :

ِ ‫ك ۖ ِإنَّكَ بِ ْال َوا ِد ْال ُمقَ َّد‬


‫س طُ ًوى‬ َ ُّ‫ي يَا ُمو َس ٰى نِّي َأنَا َرب‬
ْ َ‫ك ف‬
َ ‫اخلَ ْع نَ ْعلَ ْي‬ َ ‫فَلَ َّما َأتَاهَا نُو ِد‬
ْ ‫َوَأنَا‬
َ ‫اختَرْ تُكَ فَا ْستَ ِم ْع لِ َما ي‬
‫ُوح ٰى‬
Ketika Nabi Musa datang ke tempat api itu, ia dipanggil oleh Tuhan: “Wahai
Musa, sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu. Karena itu, lepaskanlah terompahmu;
sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, yakni Thuwa. Dan Aku telah
memilihmu, maka dengarkanlah apa yang diwahyukan.” Surat Thaha [20] ayat 11-13

‫ك قَا َل لَ ْن‬َ ۗ ‫َولَ َّما َج ۤا َء ُم ْو ٰسى لِ ِم ْيقَاتِنَا َو َكلَّ َمهٗ َربُّهٗۙ قَا َل َربِّ اَ ِرنِ ْٓي اَ ْنظُرْ اِلَ ْي‬
ٗ‫ف تَ ٰرىنِ ۚ ْي فَلَ َّما تَ َج ٰلّى َربُّه‬ َ ‫تَ ٰرىنِ ْي َو ٰل ِك ِن ا ْنظُرْ اِلَى ْال َجبَ ِل فَاِ ِن ا ْستَقَ َّر َم َكانَهٗ فَ َس ْو‬
‫ْك َواَنَ ۠ا اَ َّو ُل‬ َ ‫ْت اِلَي‬
ُ ‫ك تُب‬ َ َ‫ال ُسب ْٰحن‬ َ َ‫ق ق‬ َ ‫ص ِعقً ۚا فَلَ َّمٓا اَفَا‬
َ ‫لِ ْل َجبَ ِل َج َعلَهٗ َد ًّكا َّو َخ َّر ُم ْو ٰسى‬
‫ْال ُمْؤ ِمنِي َْن‬
Dan ketika Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang telah Kami tentukan
dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, (Musa) berkata, “Ya Tuhanku,
tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” (Allah) berfirman,
“Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di
tempatnya (sebagai sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Maka ketika
Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) kepada gunung itu, gunung itu hancur luluh
dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, “Mahasuci Engkau, aku
bertobat kepada Engkau dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.” Surat Al-
A’raf [7] ayat 143

ُ ‫ْك َۗو َكلَّ َم هّٰللا‬


َ ‫ْك ِم ْن قَ ْب ُل َو ُر ُساًل لَّ ْم نَ ْقصُصْ هُ ْم َعلَي‬
َ ‫صصْ ٰنهُ ْم َعلَي‬
َ َ‫َو ُر ُساًل قَ ْد ق‬
‫ُم ْو ٰسى تَ ْكلِ ْي ًم ۚا‬
Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami ceritakan
tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang
mereka kepadamu. Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung. Surat An-Nisa
[4] ayat 164

9
Ketiga, penyampaian wahyu dengan perantaraan Malaikat Jibril. Dalam hal ini,
Malaikat Jibril terkadang menampakkan wajah atau bentuknya yang asli. Penyampaian
wahyu dalam bentuk ini jarang terjadi. Nabi Muhammad hanya dua kali melihat Jibril
dalam bentuknya yang asli, yaitu ketika Nabi Muhammad diisra’kan di Sidrat al-
Muntaha dan ketika Nabi Muhammad menerima wahyu yang pertama. Untuk kasus yang
terakhir ini, Allah berfirman dalam surat al-‘Alaq [96] ayat 1-5:

‫ق اِ ۡق َر ۡا َو َرب َُّك ااۡل َ ۡك َر ۙ ُم الَّ ِذ ۡى‬ َ ‫ق ااۡل ِ ۡن َس‬


‌ٍۚ َ‫ان ِم ۡن َعل‬ ‌َۚ َ‫ك الَّ ِذ ۡى خَ ل‬
َ َ‫ق َخل‬ ۡ ِ‫اِ ۡق َر ۡا ب‬
َ ِّ‫اس ِم َرب‬

َ ‫َعلَّ َم ِب ۡالقَلَ ۙ ِم َعلَّ َم ااۡل ِ ۡن َس‬


ؕ ۡ‫ان َما لَمۡ يَ ۡعلَم‬
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu Maha Pemurah,
yang mengajari (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahui.

Mayoritas ulama berpendapat, al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah selama


kurang lebih 23 tahun. Ayat al-Qur’an yang pertama turun adalah surat al-‘Alaq ayat 1-5.
Wahyu kemudian berhenti selama tiga tahun. Setelah itu, surat Nun turun dan dilanjutkan
surat al-Muzzammil, kemudian al-Muddatstsir.

Rasulullah menerima wahyu al-Qur’an tidak sekaligus tapi berangsur-angsur.


Turunnya wahyu al-Qur’an secara berangsur-angsur dapat memperbaiki sikap dan
perilaku umat dan memunculkan kesadaran. Proses turun wahyu al-Qur’an secara
berangsur-angsur terdapat dalam surat al-Isra’ [17] ayat 106:

ٍ ‫اس َع ٰلى ُم ْك‬


‫ث َّونَ َّز ْل ٰنهُ تَ ْن ِز ْياًل‬ ِ َّ‫َوقُرْ ٰانًا فَ َر ْق ٰنهُ لِتَ ْق َراَ ٗه َعلَى الن‬
Dan Al-Qur'an (Kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau (Muhammad)
membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara
bertahap

Ayat al-Qur’an turun kepada Rasulullah melalui proses dan tidak datang dengan
sekali tetapi berangsur-angsur mengikuti satu peristiwa ke peristiwa yang lain. Ayat
dhihar turun tentang Salamah bint Shakhr, ayat li‘an turun tentang Hilal bin ‘Umayyah,
qadzaf turun tentang orang yang menuduh ‘A’isyah berbuat zina, ayat kiblat turun
sesudah hijrah Rasulullah dan sesudah umat Islam menghadap ke Bait al-Maqdis selama
sepulah bulan lebih, demikian juga turun-nya ayat tentang penggunaan maqam Ibrahim
sebagai mushalla. Ayat tentang hijab, tawanan perang Badar, dan lain-lain juga turun
setelah adanya peristiwa. Selain itu, sebagian ayat al-Qur’an turun kepada Rasulullah
tanpa sebab. Dengan demikian, turunnya al-Qur’an tidak semuanya ada pertanyaan atau
peristiwa.

10
Ayat al-Qur’an turun sedikit demi sedikit berdasarkan kebutuhan; terkadang turun
satu-dua atau beberapa ayat, antara 5 sampai 10 ayat, bahkan pernah terjadi satu ayat al-
Qur’an diturunkan beberapa kali.

D. Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an Secara Bertahap

Al-qur’an diturunkan pada malam 17 ramadhan tahun 41 dari kelahiran nabi sampai 9
dzulhijjah pada waktu haji wada’ tahun 63 dari kelahiran nabi, jadi jika dijumlahkan
diturunkannya al-qur’an itu sekitar 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Proses diturunkannya al-qur’an kepada nabi Muhammad saw melalui 3 tahapan :
1. Al-qur’an turun secara sekaligus dari allah ke lauh al-mahfuzh. Proses pertama ini
disyaratkan dalam Q.S.Al-Buruj Ayat 21-22 :

)٢١( ‫) بَلْ هُ َو قُرْ ٰا ٌن َّم ِج ْي ۙ ٌد‬٢٢( ࣖ ‫ح َّمحْ فُ ْو ٍظ‬


ٍ ‫فِ ْي لَ ْو‬
Artinya :
“21. Bahkan (yang didustakan itu) ialah Al-Qur'an yang mulia, 22. yang (tersimpan)
dalam (tempat) yang terjaga (Lauh Mahfuzh)”. (Q.S. Al-Buruj:21-22)

2. Al-qur’an diturunkan dari lauh al-mahfuzh itu ke bait al-izzah (tempat yang berada
dilangit dunia). Proses kedua ini disyaratkan dalam Q.S. Ad-Dukhan Ayat 3 :

‫اِنَّٓا اَ ْن َز ْل ٰنهُ فِ ْي لَ ْيلَ ٍة ُّم ٰب َر َك ٍة اِنَّا ُكنَّا ُم ْن ِذ ِري َْن‬


Artinya :
“sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi. Sungguh, Kamilah
yang memberi peringatan”. (Q.S. Ad-Dukhan:3)

3. Al-qur’an diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati nabi dengan jalan berangsur-angsur
sesuai dengan kebutuhan. Proses ketiga ini disyaratkan dalam Q.S. Asy-Syu’ara’ Ayat
193-195 :

َ ِ‫ َع ٰلى قَ ْلب‬١٩٤
‫ نَ َز َل بِ ِه الرُّ ْو ُح اَأْل ِمي ُْن‬١٩٣ ‫ك لِتَ ُك ْو َن ِم َن ْال ُم ْن ِذ ِري َْن‬
١٩٥ ‫ان َع َربِ ٍّي ُّمبِي ٍْن‬ ٍ ‫بِلِ َس‬
Artinya :
“193. dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), 194. ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan, 195. dengan bahasa Arab yang jelas.”(Q.S. Asy-Syu’ara’:193-195)
Al-qur’an diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril tidak
secara sekaligus, Melainkan turun dengan sesuai kebutuhan, seperti saat menjawab
pertanyaan para sahabat yang dilontarkan kepada nabi atau membenarkan perbuatan Nabi

11
SAW dan banyak pula ayat atau surat yang diturunkan tanpa melalui latar belakang
pertanyaan atau kejadian tertentu.

Dalam kenyataan tersebut terkandung hikmah dan faedah yang besar,


Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Furqan ayat 32 :

َ ‫ِّت بِ ِهۦ فَُؤ ا َد‬


ۖ‫ك‬ ˆَ ِ‫ان ُج ْملَةً ٰ َو ِح َدةًˆ ۚ َك ٰ َذل‬
َ ‫ك لِنُثَب‬ ۟ ‫ين َكفَر‬
ُ ‫ُوا لَ ْواَل نُ ِّز َل َعلَ ْي ِه ْٱلقُرْ َء‬ َ ‫ال ٱلَّ ِذ‬ َ َ‫َوق‬
‫َو َرتَّ ْل ٰنَهُ تَرْ تِياًل‬
Artinya : “Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak
diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu
dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar)”. (Q.S. Al-
Furqan:32)
Disamping hikmah yang telah disyaratkan ayat diatas, masih banyak hikmah yang
terkandung dalam hal diturunkannya al-qur’an secara berangsur-angsur, antara lain
sebagai berikut :
1. Memantapkan hati nabi.
Ketika menyampaikan dakwah, nabi sering berhadapan dengan para penentang.
Turunnya wahyu yang beransur-ansur itu merupakan dorongan tersendiri bagi nabi untuk
terus melakukan dakwah.
2. Menentang dan melemahkan para penentang al-qur’an.
Orang musyrik sering melontarkan pertanyaan yang sulit kepada nabi saw dengan tujuan
melemahkan nabi saw, jadi turunnya wahyu yang beransur-ansur itu untuk menjawab
pertannyaan bahkan untuk menantang mereka membuat sesuatu yang serupa dengan al-
qur’an dan ketika mereka tidak mampu memenuhi tantangan, hal itu merupakan salah
satu mukjizat al-qur’an.
3. Memudahkan untuk dihafal dan dipahami.
Al-qur’an pertama kali turun ditengah-tengah masyarakat yang ummi, turunnya wahyu
secara beransur-ansur memudahkan mereka untuk memahami dan menghadapinya.
4. Mengikuti setiap kejadian (yang karenanya ayat al-qur’an turun) dan melakukan
penahapan dalam penetapan syari’at.
5. Membuktikan dengan pasti bahwa Al-qur’an turun dari Allah Yang Maha Bijaksana.

E. Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al-Qur’an


Berbeda dengan kitab suci agama sebelum Islam yangdiperuntukkan khusus
kepada kalangan terbatas, Al-Qur’an diperuntukkan untuk seluruh makhluk yang
bernama manusia. Maka bahasa yang digunakan AL-Qur’an haruslah bahasa yang punya
posisi strategis bagi semua bangsa manusia. Dan bahasa itu adalah bahasa Arab dengan
sekian banyak alasannya. Di antaranya :6
1. Bahasa Arab Adalah Bahasa Tertua Di Dunia
6
Wiwin dita wahyu triningsih, Jurnal bahasa arab bahasa al quran, STAIN sorong papua

12
Ahli sejarah berpendapat bahwa bahasa tertua adalah bahasa arab, dikarenakan
di dalam beberapa riwayat telah di ceritakan bahwa bahasa surga adalah bahasa arab.
Dan adam dan hawa sebelum di turunkan ke dunia ini mereka berada di surga,
sehingga, bahasa yang pertama kali di gunakan di bumi adalah bahasa yang di
gunakan oleh adam dan hawa yaitu: bahasa arab
2. Bahasa Arab Paling Banyak Memiliki Kosa Kata
Sudah menjadi hal yang lumrah bahwa bahasa arab meemilik kosa kata
terbanyak. Bukan tidak lain di karenakannya sebagai bahasa tertua sehingga memiliki
banyak sekali kosa kata.
Sebagai contohnya, di dalam bahasa arab kosa kata yang mengacu pada satu
hewan yaitu unta memiliki 800 padanan kata. Sedangkan untuk kata anjing memiliki
100 padanan kata. Yang mana fenomena ini belum pernah terjadi di bahasa selain
bahasa arab.

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Secara bahasa menurut M. Quraish Shihab, Alquran secara harfiyah berarti
bacaan yang sempurna. Dan Secara istilah Al quran adalah firman Allah SWT.
Yang disampaikan oleh Malaikat Jibril dengan redaksi langsung dari Allah SWT.
Kepada Nabi Muhammad SAW, dan yang diterima oleh umat Islam dari generasi
ke generasi tanpa ada perubahan.
2. Al – Qur’an memiliki banyak sekali nama atau julukannya yang telah di jelaskan
di dalam al quran sendiri, yang mana akan kami rangkum sebagai berikut : Al-
Kitab (buku), Al-Furqan (pembeda benar salah), Adz-Dzikr (pemberi peringatan),
Al-Mau'idhah (pelajaran/nasihat), Asy-Syifa' (obat/penyembuh), Al-Hukm
(peraturan/hukum), dan Al-Huda (petunjuk).
3. Menurut penyelidikan ahli sejarah, turunnya al quran secara bertahap di tandai
dengan terjadinya peristiwa yang di alami Nabi SAW.. Ketika, Beliau Sedang
beribadah atau mengasingkan diri di gua hira’. Peristiwa itu terjadi pada malam
senin, 17 ramadhan tahun ke – 40 usia Nabi Muhammad SAW.
4. Ada 3 proses pewahyuan dalam Al-Qur’an, yaitu Pertama, pemberitahuan Allah
dengan cara wahyu diturunkan tanpa perantaraan. Kedua, Allah menyampaikan
wahyu di balik tabir. Ketiga, penyampaian wahyu dengan perantaraan Malaikat
Jibril.
5. Adapun hikmah diturunkannya al-qur’an secara berangsur-angsur, antara lain
sebagai berikut : Memantapkan hati nabi, Menentang dan melemahkan para
penentang al-qur’an, Memudahkan untuk dihafal dan dipahami, Mengikuti setiap
kejadian (yang karenanya ayat al;qur’an turun) dan melakukan penahapan dalam
penetapan syari’at dan Membuktikan dengan pasti bahwa al-qur’an turun dari
Allah Yang Maha Bijaksana.
6. Bahasa yang digunakan AL-Qur’an haruslah bahasa yang punya posisi strategis
bagisemua bangsa manusia. Dan bahasa itu adalah bahasa Arab. Karena, Bahasa
Arab adalah Bahasa tertua di dunia dan Bahasa Arab paling banyak memiliki kosa
kata.

14
DAFTAR PUSTAKA

Hamid, Abdul. 2016. Pengantar Studi Al-Qur'an. Jakarta: Prenadamedia Group.


Rosihon, Anwar. 2017. Ulum Al-Qur'an. Bandung: Pustaka Setia.
Sahid. 2016. Ulum Al-Qur'an (Memahami Otentifikasi al-Qur'an). Surabaya: Pustaka Idea.

15
MAKALAH

Pemeliharaan dan Penulisan Al-Quran

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah

Studi Al-Quran

Disusun Oleh :

Erika Fardianingtyas (05040320078)

Fahmi Arinda W (05040320080)

Suci Nur Maulida (05040320094)

Yahya Putra Zakaria (05020320067)

Dosen pengampu :

Dr. H. Makinuddin, S.H, M. Ag

PRODI HUKUM HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2021

16
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum.wr.wb.

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. karena telah memberikan
kelancaran dan kemurahan-Nya terhadap kami, sehingga dapat menyelesaikan tugas mata
kuliah”Studi Al-Quran” dalam bentuk makalah, sholawat serta salam semoga senantiasa
terlimpahkan kepada junjungan kita Nabiyullah Muhammad SAW.

Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa sesuai dengan kemampuan dan
pengetahuan yang terbatas, maka makalah yang berjudul “Pemeliharaan dan Penulisan Al-
Quran” ini, masih jauh dari kata sempurna.

Kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini, kami berharap dari makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat dan
menambah wawasan bagi kami dan pembaca aamiin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Surabaya, 30 Maret 2021

Penyusun

17
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .............................................................................................I

KATA PENGATAR ................................................................................................II

DAFTAR ISI ............................................................................................................III

BAB I : PENDAHULUAN .....................................................................................1

A. Latar belakang ..............................................................................................1


B. Rumusan masalah .........................................................................................2
C. Tujuan penulisan .........................................................................................2

BAB II : PEMBAHASAN .......................................................................................3

A. Pemeliharaan di masa Nabi............................................................................3


B. Pengumpulan Al-Quran di masa Abu-Bakar.................................................4
C. Penulisan Al-Quran di masa Utsman bin Affan.............................................6
D. Penyempurnaan dan Pemeliharaan Quran setelah masa Khalifah.................8

BAB III : PENUTUP ................................................................................................10

A. Kesimpulan ...................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................11

BAB I

18
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci agama is lam, yang mana di
dalamnya terdapat hukum-hukum islam serta pedoman untuk umat manusia dalam
hidupnya didunia. Al-Qur’an sendiri diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui
perantaramalaikat Jibril dan diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Dalam
kurunwaktu itu, potongan-potongan ayat suci Al-Qur’an masih terpotong-potong
danbelum berbentuk satu mushaf. Untuk itulah makalah ini disusun guna
memberipemahaman kepada kita lebih jauh mengenai proses pemeliharaan dan
sejarahpenyusunan Al-Qur’an hingga menjadi seperti Al-Qur’an yang sekarang kita baca.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pemeliharaan Al-Quran di masa Nabi?
2. Bagaimana Pengumpulan Al-Quran di masa Abu-Bakar?
3. Bagaimana Penulisan Al-Quran di masa Utsman bin Affan?
4. Bagaimana Penyempurnaan dan Pemeliharaan Quran setelah masa Khalifah ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Pemeliharaan Al-Quran di masa Nabi
2. Untuk mengetahui Pengumpulan Al-Quran di masa Abu-Bakar
3. Untuk mengetahui Al-Quran di masa Utsman bin Affan
4. Untuk mengetahui Penyempurnaan dan Pemeliharaan Quran setelah masa Khalifah

19
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemeliharaan AL-Quran di masa Nabi
Pada permulaan Islam bangsa Arab adalah merupakan bangsa yang buta huruf dan amat
sedikit di antara mereka yang mengenal tulis-baca, mereka belum mengenal kertas
sebagaimana sekarang. Perkataan Al Waraq (daun) yang lazim pula dipakaikan dengan arti
kertas di masa tersebut hanyalah dipakaikan pada daun kayu saja. Adapun kata al qirthos
yang dari padanya terambil kata bahasa Indonesia kertas oleh mereka hanyalah dipakaikan
untuk benda-benda (bahan-bahan) yang dipergunakan untuk menulis yaitu kayu, tulang
binatang, kulit binatang, Pelepah kurma dan lain sejenisnya maupun bebatuan yang tipis.
Setelah mereka menaklukkan negeri Persia yaitu setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW
barulah mereka mengenal yang namanya kertas, orang Persia memberikan nama kertas
dengan "kaqhid', maka dipakailah nama itu untuk kertas oleh bangsa Arab semenjak itu
pula.9 Adapun sebelum Nabi maupun pada saat Nabi masih hidup kata-kata kaqhid tidak ada
dalam pemakaian untuk bahasa Arab maupun Hadits-hadits Nabi, kemudian kata-kata al
qirthos itupun dipakai pula oleh bangsa Arab kepada apa yang dinamakan kaqhid dalam
bahasa Persia. Kitab atau buku tentang apapun, juga belum ada pada masa mereka kata-kata
kitab' pada masa itu hanyalah berarti sepotong kulit, batu atau tulang dan sebagainya yang
telah bertuliskan atau berarti seperti kata “kitab” dengan ayat 28 surat 27 (An Naml).
Begitu juga kata “kutub” (Jama' kitab ) yang dikirimkan oleh Nabi kepada Raja-raja di
masanya untuk menyerah kepada Islam, kepada mereka belum mengenal kitab atau buku
sebagaimana yang dikenal masa sekarang ini sebab itu di waktu Al Qur'an itu dibukukan
pada masa Khalifah Ustman bin Affan - sebagaimana akan diterangkan nanti - tidak tahu
mereka dengan apa Al Qur'an yang mereka bukukan tersebut diberi nama, bermacam-macam
pendapat para sahabat tentang nama yang harus diberikan, akhirnya mereka sepakat
memberikan nama "Al Mushhaf” (isim maf’ul dari ashhafa) yang artinya mengumpulkan
sumif, jama' dari shahifah, lembaran-lembaran yang telah tertulis.10 Setiap diturunkan ayat
Al Quran, Nabi selalu menyuruh menghafalnya dan menuliskanya di bebatuan, kulit
binatang, pelepah kurma dan lain sejenisnya, seperti benda-benda tipis yang dapat ditulisi dan
pula Nabi menerangkan akan bagaimana ayat-ayat itu nantinya disusun dalam sebuah surat,
artinya oleh Nabi diterangkan bagaimana ayat-ayat itu mesti disusun secara tertib urutan ayat-
ayatnya, di samping itu Nabi juga membuat aturan, yaitu hanya Al Qur'an sajalah yang
diperbolehkan untuk ditulis dan melarang selainnya termasuk Hadits maunpun pelajaran-
pelajaran yang keluar dari mulut Nabi SAW. Hal ini bertujuan agar apa yang dituliskannya
adalah betul-betul Al Qur'an dan tidak tercampur adukkan, dengan yang hanya Al Qur'an
betul-betul terjamin kemumiannya. Nabi menganjurkan supaya Al Qur'an itu dihafalkan di
20
dalam dada masing-masing sahabat dan diwajibkan pula untuk dibaca pada setiap shalat.
Dengan jalan demikian itu maka banyaklah para sahabat yang mampu menghafal Al Qur'an
surat yang satu macam dihafal oleh ribuan manusia dan banyak yang mampu menghafal Al
Qur'an secara keseluruhan. Dalam pada itu tidak satu ayat pun yang tidak tertuliskan. Pada
masa perang Badar orang-orang Musyrikin yang ditawan oleh Nabi Muhammad SAW, yang
tidak mampu menebus dirinya dengan uang, tetapi pandai menulis dan membaca masing-
masing diharuskan mengajar 10 orang muslim untuk membaca dan menulis sebagai tebusan.
Dengan demikian semakin bertambahlah keinginan untuk membaca dan menulis dan
bertambah banyaklah di antara orang Islam yang pandai membaca dan menulis, sehingga
banyak pula orang-orang yang menulis ayat-ayat Al Qur'an yang telah diturunkan. Sementara
Nabi sendiri memiliki beberapa orang penulis wahyu yang diturunkan untuk beliau secara
khusus. Di antara para penulis itu ialah: Ali bin Abi Thalib, Ustman bin Affan, Ubai bin
Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Muawiyah bin Abi Shofyan Dalam pada itu oleh Malaikat Jibril
diadakan ulangan (repetisi) sekali dalam satu tahun, diwaktu ulangan Nabi disuruh untuk
mengulangi memperdengarkan wahyu yang telah diturunkan kepadanya, di tahun beliau
wafat ulangan itu diadakan oleh Jibril sebanyak dua kali. Nabi sendiri pun sering
mengadakan ulangan di hadapan para sahabatnya, pendeknya Al Qur'an tersebut sangat
terjaga dan terpelihara secara baik dan Nabi telah menjalani cara yang amat praktis di dalam
memelihara dan menyiarkan Al Qur'an yang sesuai dengan kondisi bangsa Arab pada saat itu.
B. Pengumpulan Al-Quran di masa Abu-Bakar
Abu Bakar menjalankan urusan Islam sesudah Rasulullah saw. ia dihadapkan pada
peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu ia
segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang
murtad itu.
Di antara peristiwa yang paling mengguncang umat Islam di masa kekhalifahan Abu Bakar
adalah wafatnya para penghafal Al-Quran dalam pertempuran Yamamah.
Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar shahabat
yang hafal al-Qur’an. Dan dalam peperangan ini gugur 70 qari dari shahabat. Umar bin
Kaththab merasa sangat khawatir melihat kenyataan ini, Para shahabat telah berpencar ke
berbagai pelosok untuk menyampaikan dakwah Islam. Mati syahid menjadi idaman mereka
semua. Sementara Al-Quran tersimpan di dalam dada mereka. Bertolak dari pemikiran
itu,lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar ia mengumpulkan
dan membukukan al-Qur’an dalam satu mushaf karena dikhawatirkan akan musnah, sebab
peperangan Yamamah telah banyak membunuh para qari.
Dari segi lain Umar merasa khawatir juga kalau-kalau peperangan di tempat lain akan
membunuh banyak qari pula sehingga al-Qur’an akan hilang dan musnah. Abu Bakar
menolak usulan ini dan keberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah saw. Bagaimana mungkin dia melangkahi nabi, Namun Umar tidak lekas

21
menyerah, dia terus berusaha meyakinkan Abu Bakar dan menjelaskan berbagai sisi positif
dari upaya pengumpulan Al-Quran tersebut. Sehingga Allah membukakan pintu hati Abu
Bakar untuk menerima usulan tersebut.
Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, mengingat kedudukannya dalam
qira’at, penulisan, pemahaman dan kecerdasannya serta kehadirannya pada pembacaan
terakhir kali. Abu Bakar menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar. Pada
mulanya Zaid menolak seperti halnya Abu Bakar sebelum itu. Keduanya lalu berdiskusi,
sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan al-Qur’an
tersebut.
Zaid bin Tsabit memulai tugasnya yang berat ini dengan bersandar pada hafalan yang ada
dalam hati para qurra dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian lembaran-lembaran
[kumpulan] itu disimpan di tangan Abu Bakar. Setelah ia wafat mushaf itu berpindah ke
tangan Hafshah, putri Umar. Pada permulaan kekhalifahan Utsman, Utsman memintanya dari
tangan Hafshah.
Zaid bin Tsabit berkata: “Abu Bakar memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai
korban perang Yamamah. Ternyata Umar sudah ada di sana. Abu Bakar berkata: ‘Umar telah
datang kepadaku dan mengatakan, bahwa perang di Yamamah telah menelan banyak korban
dari kalangan qurra; dan ia khawatir kalau-kalau terbunuhnya para qurra itu juga akan terjadi
di tempat-tempat lain, sehingga sebagian al-Qur’an akan musnah. Ia menganjurkan agar aku
memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan al-Qur’an. Maka aku katakan kepadanya,
bagaimana mungkin kita akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah? Tetapi Umar menjawab dan bersumpah, Demi Allah perbuatan tersebut baik. Ia
terus menerus membujukku sehingga Allah membukakan pintu hatiku untuk menerima
usulnya, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar.’”
Zaid berkata lagi: “Abu Bakar berkata kepadaku: ‘Engkau seorang pemuda yang cerdas dan
kami tidak meragukan kemampuanmu. Engkau telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah.
Oleh karena itu carilah al-Qur’an dan kumpulkanlah.’”
“’Demi Allah.’” Kata Zaid lebih lanjut. “Sekiranya mereka memintaku untuk
memindahkan gunung, rasanya tidak lebih berat bagiku daripada perintah mengumpulkan
al-Qur’an. Karena itu aku menjawab: ‘Mengapa anda berdua ingin melakukan sesuatu
yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah?’ Abu Bakar menjawab: ‘Demi Allah, itu
baik.’ Abu Bakar tetap membujukku sehingga Allah membukakan pintu hatiku
sebagaimana Dia telah membukakan pintu hati Abu Bakar dan Umar. Maka aku pun
mulai mencari al-Qur’an. Kukumpulkan ia dari pelepah kurma, kepingan-kepingan batu

22
dan dari hafalan para penghafal, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surah at-Taubah
berada pada Abu Khuzaimah al-Anshari, yang tidak kudapatkan pada orang lain,
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri….” hingga
akhir surah. Lembaran-lembaran [hasil kerjaku] tersebut kemudian disimpan di tangan
Abu Bakar hingga wafatnya. Sesudah itu berpindah ke tangan Umar sewaktu masih
hidup, dan selanjutnya berada di tangan Hafshah binti Umar.”
Zaid bin Tsabit bertindak sangat teliti, hati-hati. Ia tidak mencukupkan pada hafalan
semata tanpa disertai dengan tulisan. Kata-kata Zaid dalam keterangan di atas: “Dan aku
dapatkan surah at-Taubah pada Abu Khuzaimah al-Anshari, yang tidak aku dapatkan
pada orang lain” tidak menghilangkan arti kehati-hatian tersebut dan tidak pula berarti
bahwa akhir surah at-Taubah itu tidak mutawatir. Tetapi yang dimaksud adalah bahwa ia
tidak mendapatkan akhir surah at-Taubah tersebut dalam keadaan tertulis selain pada Abu
Khuzaimah. Zaid sendiri hafal dan demikian pula banyak para shahabat yang
menghafalnya. Perkaaan itu lahir karena Zaid berpegang pada hafalan dan tulisan. Jadi
ayat akhir surah at-Taubah itu telah dihafal oleh banyak shahabat; dan mereka
menyaksikan ayat tersebut dicatat. Tetapi catatannya hanya terdapat pada Abu
Khuzaimah al-Anshari.
Ibn Abu Daud (yaitu Abdullah bin Sulaiman bin Asy’as al-Azadi as-Sijistani salah
seorang tokoh penghafal hadits. Ia mempunyai banyak kitab, antara lain: al-Musaahif, al-
Musnad, at-Tafsiir, as-Sunan, al-Qiraa’aat dan an-Naasikh wal Mansuukh, lihat al-
A’laam,oleh Zarkali, jilid 4 hal. 224) ia meriwayatkan melalui Yahya bin Abdurrahman
bin Hatib, yang mengatakan: “Umar datang lalu berkata: ‘Barangsiapa menerima dari
Rasulullah sesuatu dari al-Qur’an, hendaklah ia menyampaikannya.’ Mereka menuliskan
al-Qur’an dari lembaran kertas, papan kayu dan pelepah kurma, dan Zaid tidak mau
menerima dari seseorang mengenai al-Qur’an sebelum disaksikan oleh dua orang saksi.”
Ini menunjukkan bahwa Zaid tidak merasa puas hanya dengan adanya tulisan semata
sebelum tulisan itu disaksikan oleh orang yang menerimanya secara pendengaran
[langsung dari Rasulullah], sekalipun Zaid sendiri hafal. Ia bersikap demikian itu karena
berhati-hati.
Dan diriwayatkan pula oleh Ibn Abu Daud melalui Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, bahwa
Abu Bakar berkata kepada Umar dan Zaid: “Duduklah kamu berdua di pintu masjid. Bila ada
yang datang kepadamu membawa dua orang saksi atas sesuatu dari kitab Allah, maka
tulislah.” Para perawi hadits ini orang-orang terpercaya, sekalipun hadits tersebut munqathi’

23
[terputus]. Ibn Hajar mengatakan: “Yang dimaksud dengan dua orang saksi adalah hafalan
dan catatan.”
As-Sakhawi [lengkapnya Ali bin Muhammad bin ‘Abdus Samad, terkenal dengan nama as-
Sakhasi. Ia menyusun sekumpulan syair tentang qira’at yang dikenal dengan nama as-
Sakhawiyyah. Wafat 643 H) ia menyebutkan dalam Jamalul Qurra’, yang dimaksudkan ialah
kedua saksi itu menyaksikan bahwa catatan itu tertulis di hadapan Rasulullah saw; atau dua
saksi itu menyaksikan bahwa catatan tadi sesuai dengna salah satu cara yang dengan itu al-
Qur’an diturunkan. Abu Syamah berkata: “Maksud mereka adalah agar Zaid tidak
menuliskan al-Qur’an kecuali diambil dari sumber asli yang dicatat di hadapat Nabi saw.,
bukan semata-mata dari hafalan. Oleh sebab itu Zaid berkata tentang akhir surah at-Taubah,
‘Aku tidak mendapatkannya pada orang lain’ maksudnya ‘Aku tidak mendapatkannya dalam
keadaan tertulis pada orang lain.’ Sebab ia tidak menganggap cukup hanya didasarkan pada
hafalan tanpa adanya catatan.” (lihat al-Itqaan jilin 1 hal 58)
Kita sudah mengetahui bahwa al-Qur’an sudah dicatat sebelum masa itu, yaitu pada masa
Nabi; tetapi masih berserakan pada kulit-kulit, tulang dan pelepah kurma. Kemudian Abu
Bakar memerintahkan agar catatan-catatan tersebut dikumpulkan dalam satu mushaf,
dengan ayat-ayat dan surah-surah yang tersusun serta dituliskan dengan sangat berhati-
hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu al-Qur’an diturunkan. Dengan demikian,
Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf
dengan cara seperti ini, di samping terdapat juga mushaf-mushaf pribadi pada sebagian
shahabat, seperti mushaf Ali, mushaf Ubai dan mushaf Ibn Mas’ud. Tetapi mushaf-
mushaf itu tidak ditulis dengan cara seperti di atas dan tidak pula dikerjakan dengan
penuh ketelitian dan kecermatan, juga tidak dihimpun secara tertib yang hanya memuat
ayat-ayat yang bacaannya tidak dimansukh dan secara ijma’ sebagaimana mushaf Abu
Bakar. Keistimewaan-keistimewaan seperti itu hanya ada pada himpunan al-Qur’an yang
dikerjakan oleh Abu Bakar.
Para ulama berpendapat bahwa penamaan al-Qur’an dengan “mushaf” itu baru muncul
sejak saat itu, di saat Abu Bakar mengumpulkan al-Qur’an. Ali berkata: “Orang yang
paling besar jasanya dalam pembuatan mushaf adalah Abu Bakar. Dialah yang pertama
kali mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf.Semoga Allah melimpahkan rahmat-
Nya kepada Abu Bakar. Dialah orang pertama yang mengumpulkan Kitab Allah.”
Pengumpulan ini dinamakan pengumpulan kedua.

C. Penulisan Al-Quran di masa di masa utsman bin Affan

24
Al Qur'an pada masa Khalifah Ustman bin Affan tetap masih dalam keadaan demikian,
artinya, telah ditulis dalam satu naskah yang lengkap di atas lembaran-lembaran yang
serupa ayat-ayat dalam satu surat tersusun secara tertib yang ditunjukkan oleh Nabi,
lembaran-lembaran itu digulung dan diikat dengan benang disimpan.
Pada pemerintahan Utsman wilayah Islam semakin luas dan para qurra’ mengajarakan
bcaan Al-Quran dengan bacaan(qira’ah) yang berbeda-beda sesuai dengan yang mereka
terima dari para gurunya.
Pada suatu waktu, para penduduk Islam dari berbagai wilayah bertemu dalam perang
Armenia, dan Azerbaijan dengan penduduk Irak, di antara orang yang menyerbu kedua
tempat itu adalah Hudhayfah bin al-Yaman. Dalam pertemuan itu mereka mengetahui
adanya perbedaan bacaan Al-Quran. Sebagian mereka merasa heran akan adanya perbedaan
bacaan itu, dan sebagian mengkalaim bacaaannya yang paling benar, tetapi sebagian lainnya
ada yang merasa puas karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu disandarkan
kepada Rasulallah SAW. Kondisi seperti itu tidak dapat dibiarkan karena hal itu dapat
menimbulkan keraguan bagi generasi yang tidak bertemu langsung dengan Rasulallah
SAW. Jendar Hudhayfah yang mengetahui hal itu mengajukan usul kepada Khalifah
Utsman bin Affan agar segera mengusahakan keseragaman bacaan Al-Quran dengan jalan
menyeragamkan penulisan Al-Quran.
Oleh Ustman dibentuklah kepanitiaan untuk menyalinnya dengan anggota sebagai berikut:
Zaid bin Tsabit sebagai Ketua dan sebagai anggota: Abdullah bin Zubair, Sa'id bin Ash,
Abdurrahman bin Kharits bin Hisyam. Tugas dari kepanitiaan itu adalah membukukan Al
Qur'an dan menyalin sebuah lembaran-lembaran tersebut menjadi sebuah buku. Dalam
pelaksanaan tugas ini Ustman menasehatkan supaya : 1. Mengambil pedoman kepada
bacaan mereka yang hafal Al Qur'an.. Kalau ada perselisihan di antara mereka tentang
bahasa (bacaan) maka haruslah dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab Al Qur'an
diturunkan menurut dialek mereka. Maka dikerjakanlah oleh panitia tersebut sebagaimana
yang telah ditugaskan kepadanya, dan setelah selesai maka lembaran-lembaran Al Qur'an
yang telah dipinjamnya dikembalikan lagi pada Khafshah. Al Qur'an yang telah dibukukan
dinamai dengan "Al Mushhaf" dan oleh panitia ditulis sebanyak lima buah, empat buah di
antaranya dikirim ke Makkah, Syiria, Bashrah dan Kuffah dan yang satu buah di Madinah
untuk Khalifah Ustman bin Affan sendiri, dan inilah yang dinamai dengan Musfhaf Al
Imam. Sesudah itu, Khalifah Ustman memerintahkan untuk mengumpulkan semua
lembaran-lembaran yang bertulis Al Qur'an sebelum itu dan membakarnya, dan dengan
demikian mushhaf yang ditulis pada masa Ustman itu kaum Muslimin menyalinnya.

25
Dengan demikian maka pembukuan Al Qur'an pada masa Ustman faedahnya sangat besar
antara lain : l. Menyatukan kaum Muslimin kepada satu macam Mushhaf yang seragam
bacaan dan tulisannya. 2. Menyatukan tertib susunan surat-surat menurut tertib unit
sebagaimana yang kelihatan pada Mushhaf pada masa sekarang.
Dari penjelasan singkat tentang sejarah pemeliharaan Al-Quran di atas dapat diketahui
bahwa ada perbedaan latar belakang pengumpulan Al-Quran pada Khalifah Abu Bakar.
Dengan penulisan Utsman bin Affan. Latar belakang pengumpulan Al-Quran pada masa
Abu Bakar adalah kekhawatiran akan hilangnya Al-Quran dikarenakan banyaknya para
penghafal Quran yang gugur dalam medan peperangan melawan orang-orang murtad dan
orang-orang yang ingkar membayar zakat, yang biasa dikenal dengan perang yamamah.
Pemeliharaan Al-Quran pada masa ini adalah memindahkan Al-Quran dan menuliskannya
kembali dari catatan-catatan para sahabat, baik di atas pelepah kurma, kulit-kulit binatang
maupun batu-batu tipis ke dalam satu mushaf secara tertib ayat yang diajarkan oleh
Rasulallah. Sedang pemeliharaan Al-Quran pada masa Utsman bin Affan dilatarbelakangi
adanya fenomena perbedaaan bacaan Al-Quran yang dapat mengakibatkan perpecahan umat
islam.
D. Penyempurnaan dan Pemeliharaan Quran setelah masa Khalifah
Sebelum Rasulullah SAW wafat, Al Qur’an secara keseluruhan telah selesai
penulisannya dengan urutan surah-surah dan ayat-ayat berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW
sendiri. Penulisannya di masa itu masih menggunakan alat-alat yang sangat sederhana, seperti
pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu dan kepingan-kepingan tulang, sehingga
sulit untuk dihimpun dalam satu kumpulan.
Masa Khulafaur Rasyidin diadakan penulisan ulang Al Qur’an dengan memakai
lembaran-lembaran kertas atau suhuf. Lembaran-lembaran atau suhuf yang bertuliskan ayat-
ayat Al Qur’an itu kemudian diikat dengan benang sehingga membentuk
satu mushaf (kumpulan lembaran).
Sebelum ditemukan mesin cetak, Al Qur’an disalin dan diperbanyak dari mushaf
Usmani dengan cara tulisan tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke-16, ketika
Eropa menemukan mesin cetak dapat digerakkan (dipisah-pisahkan). Al Qur’an pertama kali
dicetak di Hamburg (Jerman) pada tahun 1694. Naskah tersebut sepenuhnya dilengkapi
dengan tanda baca. Adanya mesin cetak ini mempermudah umat Islam
memperbanyak mushaf Al Qur’an. Mushaf pertama yang dicetak oleh kalangan imam sendiri
ialah mushaf edisi Malay Usman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan di St.
Petersburg, Rusia.

26
Kemudian sejak tahun 1976 Al Qur’an dicetak dalam berbagai ukuran dan jumlah oleh
percetakan yang dikelola oleh pengikut Sa’id Nursi di Berlin (Jerman). Sekarang kita dapat
menjumpai berbagai bentuk dan ukuran Al Qur’an dari tulisan yang bentuknya sederhana
sampai tulisan yang indah.  
Dengan demikian, Al Qur’an terjaga dari segala bentuk kekeliruan dan kesalahan, baik
disengaja ataupun tidak disengaja Sebagaimana diketahui, bahwa bentuk tulisan Al-Qur’an
dan tulisan-tulisan berbahasa Arab lainnya pada masa awal (masa Nabi dan
Khulafaurrasyidin) ditulis tanpa titik dan baris (syakal). Sejalan dengan perkembangan agama
Islam, semakin banyak orang-orang non-Arab memeluk Islam, maka timbul persoalan bagi
mereka untuk membaca Al-Qur’an yang tanpa titik dan baris itu. Bahkan tidak jarang
kesalahan baris (harakat) dalam bacaan Al-Qur’an dapat mengakibatkan perubahan makna
yang sangat fundamental.

Sebagai contoh, suatu ketika Abul-Aswad ad-Du’ali mendengar seorang qari membaca Surat
at-Taubah ayat 3: ‫ أن هللا بˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆريئ من المشˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆركين و رسˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆولُه‬.

Ayat ini seharusnya dibaca dengan tanda dhammah pada huruf lam lafazh ‫رسولُه‬. Akan tetapi
oleh qari’ tersebut dibaca ‫ و رسولِه‬ dengan membaca kasrah pada huruf lam.
Hal ini mengejutkan Abul Aswad dan ia berkata: “Maha Tinggi Allah untuk
meninggalkan rasul-Nya”. Kemudian Abul Aswad melaporkan hal ini kepada Ziyad bin
Samiyyah, Gubernur Basrah pada masa pemerintahan Mu’awiyah (661-680 M).
Lalu Abul Aswad diminta untuk membubuhkan tanda baca (syakal) guna menghindari
kesalahan membaca di kalangan kaum muslimin.
Memenuhi permintaan tersebut Abul Aswad memikirkan dan merumuskan tanda baca
berupa : titik satu di atas huruf ( • ) sebagai tanda fathah (bunyi vokal ‘a’); titik satu di bawah
huruf ( .) sebagai tanda kasrah (bunyi vokal ‘i’) dan titik satu di depan huruf ( ·– ) sebagai
tanda dhammah (bunyi vokal ‘u’). Dalam penulisan mushhaf, tanda harakat ini diberi warna
berbeda dengan tulisan hurufnya, dan ia tidak dibubuhkan pada setiap huruf melainkan hanya
pada huruf terakhir setiap kata sebagai tanda i’rab.
Setelah pemberian tanda syakal/harakat tersebut selesai, persoalan lain yang muncul
dalam pembacaan mushhaf Al-Qur’an adalah kesamaan bentuk beberapa huruf yang tidak
bisa dibedakan kecuali oleh orang yang sudah terbiasa dengan huruf-huruf tersebut, atau
mereka yang sudah hafal Al-Qur’an. Seperti huruf bā’, tā’, tsā’, nūn’, dan yā’ yang
dilambangkan dengan bentuk huruf yang sama, tanpa titik (‫ )ٮ‬untuk Kelima, macam huruf

27
tersebut. Demikian pula huruf jīm, hā dan Khā yang ditulis tanpa titik (‫ ;)ح‬huruf dāl dan dzāl
ditulis ‫ ; د‬huruf rā dan zāy ditulis ‫ ; ر‬huruf sīn dan syīn ditulis ‫ ;س‬dan lain-lainnya. Sehingga
tidak bisa dibedakan antara huruf yang satu dengan yang lainnya, kecuali bagi orang yang
sudah hafal atau pernah mempelajarinya secara lisan.

Untuk mengatasi kesulitan ini (membedakan huruf-huruf yang berlambang sama),


Gubernur Irak, Al-Hajjaj bin Yusuf (714 M) menugaskan kepada Nashr bin Ashim (708 M)
dan Yahya bin Ya’mur (747 M) – keduanya adalah murid Abul Aswad ad-Du’ali – untuk
membubuhkan tanda-tanda pembeda antara huruf-huruf yang bersimbol sama. Dalam
menjalankan tugasnya, Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur membubuhkan titik-titik
diakritis untuk membedakan huruf-huruf yang bersimbol sama. Hasil dari karya mereka
berdua maka jadilah bentuk abjad huruf Arab seperti yang kita kenal sekarang ini.
Setelah pembedaan huruf-huruf konsonan yang bersimbol sama sudah selesai dilakukan,
persoalan lain yang muncul adalah, bagaimana membedakan antara tanda titik yang
menunjukkan syakal (yang dibuat oleh Abul Aswad Ad-Du’ali) dengan tanda titik diakritis
yang menunjukkan jenis huruf (yang dibuat oleh Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur)?
Untuk mengatasi masalah ini, maka Al-Khalil bin Ahmad (718–786 M), melakukan
penyempurnaan terhadap karya Abul Aswad Ad-Du’ali dengan mengganti tanda titik yang
menunjukkan bunyi vokal ‘a’, ‘i’ dan ‘u’, masing-masing diganti dengan huruf-huruf layyin
(alif, yā’ dan wāw).
Huruf-huruf tersebut ditulis dalam bentuk kecil pada posisi titi-titik tanda vokal yang
digantikannya. Sehingga untuk bunyi vokal ‘a’ diberi tanda alif kecil di atas huruf ( -‫)–ا‬,
untuk bunyi vokal ‘i’ diberi tanda huruf ya’ kecil di bawah huruf ( –‫ى‬- ), dan untuk bunyi
vokal ‘u’ diberi tanda huruf waw kecil di depan huruf (–‫)و‬.
Dalam perkembangan selanjutnya, tanda vokal dalam bentuk huruf alif, yā’ dan wāw
dipandang kurang efisien, maka digantilah huruf-huruf tersebut dengan tanda baris seperti
yang kita kenal sekarang ini.

28
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Al-Qur’an sebagai kalam Allah yang telah diturunkan kepada Rasul-Nya
Muhammad Saw untuk disampaikan kepada umat telah dijamin langsung oleh Allah
akan keotentikannya
2. Penulisan al-Qur’an telah dimulai sejak masa Rasulullah Saw masih hidup, yang
kemudian dilanjutkan pengumpulannya pada masa khalifah Abu Bakar dan
selanjutnya dibukukan pada masa khalifah Utsman bin Affan.
3. Pemeliharaan al-Qur’an pada masa Rasulullah Saw lebih banyak mengandalkan
kemampuan hafalan, sedangkan penulisannya hanya sedikit seperti pada pelepah
kurma, tulang belulang, batu-batuan, hal ini karena pada masa tersebut belum dikenal
kertas seperti sekarang ini, disamping juga karena banyaknya umat Islam yang buta
huruf.
4. Adapun pada masa khalifah Abu Bakar, pemeliharaan al-Qur’an telah dilakukan
dengan pengumpulan dalam satu Mushaf, yang kemudian diperbanyak pada masa
khalifah Utsman bin Affan.

DAFTAR PUSTAKA

http://datakampussaya.blogspot.com/2013/05/ulumul-quran.html
http://belajarulumulquran.blogspot.com/2018/02/penyempurnaan-
pemeliharaan-al-quran.html?m=1
http://hanifahrifqi.blogspot.com/2015/01/makalah-ulumul-quran-tentang.html?
m=1
http://datakampussaya.blogspot.com/2013/05/ulumul-quran.html

29
http://belajarulumulquran.blogspot.com/2018/02/penyempurnaan-
pemeliharaan-al-quran.html?m=1
http://hanifahrifqi.blogspot.com/2015/01/makalah-ulumul-quran-tentang.html?
m=1
Ichsan Muhammad, SEJARAH PENULISAN DAN PEMELIHARAAN AL-
QUR’AN PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW DAN SAHABAT
Muslimin, pembukuan dan pemeliharaan al-quran

30
[Type here]

Makalah
Ilmu Asbab Al-Nuzul
Dosen Pengampu : Dr. H. Makinudin, S.H., M.Ag
Mata Kuliah : Studi Al-Qur’an

Disusun oleh :
1. Alifatul Istikhomah -05040320072
2. Ilham Yulian Syah Dwi Rachmatulloh -05040320083
3. Irfan Ma’ruf Alimudin -05040320084
4. Viriza Nailil Husna Awaly -05040320096

Progam Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah)


Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negri Sunan Ampel Surabaya
2021

31
[Type here]

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas nikmat yang telah
dilimpahkan-Nya kepada kita semua, sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah ini
dengan sebaik mungkin. Tidak lupa juga shalawat serta salam kami haturkan kepada
Nabi Agung Rosululloh SAW, yang syafaat-Nya kita nanti-nantikan.

Terimakasih juga kami sampaikan kepada Bapak Dr. H. Makinudin, S.H., M.Ag selaku dosen
pengampu dalam Mata Kuliah Studi Al-Qur’an yang telah memberi materi ini, sehingga kami
dapat membuat dan menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.
Kami menyadari bahwa makalah ini, masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
menerima kritik dan saran yang bersifat membangun. Serta kami harap makalah ini
bisabemanfaat bagi kami dan para pembaca. Atas kurang lebihnya, kami ucapkan terimaksih.

Penyususun

32
[Type here]

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

 A. Latar Belakang
 B. Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

 A. Pengertian Asbabul Nuzul


 B. Redaksi Riwayat Tentang Asbabul Nuzul
 C. Klasifikasi Asbabul Nuzul Dan Contohnya
 D. Urgensi Ilmu Asbabul Nuzul

BAB III PENUTUP

 A. Simpulan

33
[Type here]

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketika mendefinisikan asbab an-Nuzul, banyak ulama yang memiliki pendapat
yang berbeda-beda, antara lain Az-Zarqani, Ash-Shabuni, Shubhi Pious, dan
Manna'Khalil Al-Qattan.Namun, meskipun definisi tajuk rencana di atas sedikit
berbeda, namun mereka semua memiliki pendapat yang berbeda. Sampai pada
kesimpulan. Asbabul nuzul adalah suatu peristiwa atau peristiwa yang menyebabkan
turunnya ayat Alquran, dan tujuannya adalah untuk menjawab, menjelaskan dan
memecahkan masalah yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut. Asbab an-nuzul
merupakan materi sejarah yang dapat digunakan untuk memberikan informasi tentang
wahyu ayat-ayat Alquran dan memberikan informasi latar belakang untuk memahami
perintah-perintahnya. Tentu saja, bahan-bahan ini hanya mencakup peristiwa (ash at-
tanzil) saat Alquran masih turun. Dari segi alasan kemunduran dan kitab suci, kita
dapat berbagi asbab an-nuzul dengan Ta'addud Al-Asbab Wa Al-Nazil Wahid dan
Ta'adud an-nazil wa al-asbab.
Ungkapan-ungkapan atau redaksi yang digunakan oleh teman Menunjukkan
bahwa penurunan Alquran tidak selalu sama. Seseorang tidak dapat mencapai
pemahaman yang baik Kalau belum paham sejarah puisi asbab an-nuzul. Memahami
anuzul asbab akan sangat membantu dalam memahami konteks kitab suci. Itu sangat
Yang penting adalah menerapkan tulisan suci pada situasi dan kesempatan yang
berbeda. Jika Anda mengabaikan sejarah, Anda cenderung membuat kesalahan Asbab
an-nuzul (asbab an-nuzul). Alquran diturunkan untuk membimbing umat manusia
Patuhi prinsip-prinsip kehidupan, raih tujuan yang indah dan jalan yang lurus Ini
didasarkan pada iman kepada Allah dan pesannya. Beritahu secara bersamaan
peristiwa masa lalu, peristiwa terkini dan berita yang akan datang.
Pembahasan mengenai asbab al-nuzul ini sangat penting dalam pembahasan
ulum al-Quran, karena pembahasan ini merupakan kunci pokok dari landasan
keimanan terhadap pembuktian bahwa Alquran itu benar turunnya dari Allah SWT.
Pembahasan ini juga merupakan pembahasan awal dari Alquran guna melangkah

34
[Type here]

kepada pembahasan-pembahasan selanjutnya. Landasan bagi signifikansi pembahasan


ini adalah firman Allah swt dalam.
B. Rumusan Masalah
 Pengertian Asbabul Nuzul
 Redaksi Asbabul Nuzul
 Klasifikasi Asbabul Nuzul
 Urgensi Asbabul Nuzul

35
[Type here]

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Asbabul Nuzul


Secara etimologis asbabun ‫ أسباب‬adalah bentuk jamak dari sabab ‫ سبب‬dengan
arti sebab. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebab adalah hal yang
menyebabkan sesuatu, lantaran, karena dan asal mula.7 Nuzul artinya turun,
sedangkan turun adalah bergerak dari atas ke bawah bergerak ke tempat yang
lebih rendah daripada tempat semula. Meskipun segala fenomena yang melatar
belakangi terjadinya sesuatu dapat disebut asbab an-nuzul, dalam pemakaiannya,
ungkapan asbab an-nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab
yang melatarbelakangi turunnya Alquran, seperti halnya asbab alwurud secara
khusus digunakan bagi sebab terjadinya hadist.
Banyak pengertiannya terminologi yang di rumuskan oleh para ulama, di
antaranya:
1. Menurut Az-zarqoni: “Asbab an-nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang
terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat al-qur’an yang berfungsi sebagai
penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
2. Ash-shabuni: “Asbab an-nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang
menyebabkan turunnya satu ayat atau beberapa ayat mulai yang berhubungan
dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan
kepada nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama”
3. Ma’na Al-Qathan : "Asbabul Nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan
kemunduran Alquran. Itu terjadi dalam bentuk acara atau pertanyaan yang
diajukan Nabi".
Dalam bentuk pristiwa misalnya, apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari
jalur ‘Ikrimah dari Ibn ‘Abbas bahwasanya Hilal ibn Umayyah mengadukan
kepada Rasulullah SAW bahwa isterinya berzina dengan Syarik ibn Samhak, lalu
Nabi memintanya menunjukkan bukti dengan menghadirkan empat orang saksi.
Kalau tidak, justru punggung Hilâl yang akan dicambuk. Hilal menyatakan kepada
Nabi, apakah jika seseorang mendapatkan isterinya sedang berzina dengan

7
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 790

36
[Type here]

seorang laki-laki, dia harus pergi mencari saksi terlebih dahulu? Nabi tetap dengan
keputusannya, yaitu apabila Hilâl tidak dapat menghadirkan empat orang saksi,
maka justru dia sendirilah yang akan dihukum. Karena tidak dapat berbuat apa-
apa lagi, maka Hilal berharap Allah akan menurunkan ayat yang akan
membebaskan dirinya dari hukuman karena dia merasa benar. Hilal berkata:
“Demi Allah, Dzat yang mengutus engkau dengan haq, sesungguhnya aku benar
dan mudah-mudahan Allah menurunkan sesuatu yang menghindarkanku dari
hukum cambuk”. Maka turunlah Jibril AS membawa surat An-Nur 6-9 sebagai
petunjuk bagaimana seharusnya menyelesaikan masalah seperti ini.8
B. Redaksi Riwayat Tentang Asbabul Nuzul
Ada dua macam redaksi atau shighat asbabun nuzul:
1. Sharîhah
Shighat atau redaksi yang digunakan perawi secara tegas dan jelas menunjukkan
asbabun nuzul. Dinilai sharihah, apabila dalam meriwayatkannya perawi:
a) menggunakan kalimat ‫( كذا اآلية نزول سبب‬sebab turun ayat ini adalah begini).
b) menggunakan fa’ sababiyah. Dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan
dengan maka. Misalnya perawi menyatakan: “telah terjadi peristiwa ini, maka
turunlah ayat ini”. Atau perawi menyatakan: “Rasulullah SAW ditanya tentang
masalah ini, maka turunlah ayat ini...”
(c) menceritakan bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang suatu hal, lalu turun
wahyu dan beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan wahyu tersebut tanpa
menggunakan kata sabab atau fa’ sababiyah, tetapi dipahami dari jawaban tersebut
bahwa pertanyaan yang diajukan itu merupakan sebab turunnya ayat.9
2. Muhtamalah
Shighat atau redaksi yang digunakan perawi tidak secara tegas dan jelas
menunjukkan asbabun nuzul, hanya mengandung kemungkinan asbabun nuzul.
Dinilai muhtamalah, apabila dalam meriwayatkannya perawi :
a. Menggunakan kalimat ‫ ( نزلت هذه اآلية يف كذا‬diturunkan ayat ini tentang hal ini). Kata
tentang (fi) tidak secara tegas menunjukkan sebab turun ayat, barangkali hanya
menyebutkan kandungan ayat atau makna ayat.
b. Menggunakan kalimat ‫( أحسˆˆب هˆˆذه اآليˆˆة نˆˆزلت يˆˆف كˆˆذا‬saya kira ayat ini diturunkan
tentang hal ini)
8
Qamaruddin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayatayat Al-Qur’an (Bandung:
Diponegoro, 1985), hlm. 343 dan lihat juga az-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm Al-Qur’an...I:111.
9
Az-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm Al-Qur’an...I:107-108.

37
[Type here]

c. Menggunakan kalimat ‫( ما أحسب هذه اآلية نزلت إال يف كˆˆذا‬saya tidak mengira ayat ini
diturunkan kecuali tentang hal ini) 10

C. Klasifikasi Asbabul Nuzul Dan Contohnya


1. Ta’addud Al-Asbab Wa Al-Nazil Wahid Beberapa sebab yang hanya
melatarbelakangi turunnya satu ayat/ wahyu. Terkadang wahyu turun untuk
menanggapi beberapa peristiwa atau sebab,3 misalnya turunnya Q.S. Al-Ikhlas: 1-
4, yang berbunyi: Artinya: “Katakanlah:”Dia-lah Allah, yang maha Esa. Allah
adalah tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Tiada berada beranak
dan tiada pula di peranakkan. Dan tiada seoarangpun yang setara dengan dengan
dia. Ayat-ayat yang terdapat pada surat di atas turun sebagai tanggapan terhadap
orang-orang musyrik makkah sebelum nabi hijrah, dan terhadap kaum ahli kitab
yang ditemui di madinah setelah hijrah. Contoh yang lain: “peliharalah semua
shalat(mu), dan (peliharah) shalat wustha. Berdirilah untuk Allah(dalam shalatmu)
dengan khusyu’. Ayat di atas menurut riwayat diturunkan berkaitan dengan
beberapa sebab yaitu :
a) Dalam sustu riwayat dikemukakan bahwa nabi saw. Shalat dzuhur di waktu hari
yang sangat panas. Shalat seperti ini sangat berat dirasakan oleh para sahabat.
Maka turunnlah ayat tersebut di atas. (HR. Ahmad, bukhari, abu daud)
b) Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa nabi saw.. Shalat dzuhur di waktu
yang sangat panas. Di belakang rasulullah tidak lebih dari satu atau dua saf saja
yang mengikutinya. Kebanyakan diantara mereka sedang tidur siang, adapula
yang sedang sibuk berdagang. Maka turunlah ayat tersebut diatas (HR.ahmad, an-
nasa’i, ibnu jarir)
c) Dalam riwayat lain dikemukakan pada zaman rasulullah SAW. Ada
orangorang yang suka bercakap-cakap dengan kawan yang ada di sampingnya saat
meraka shalat. Maka turunlah ayat tersebut yang memerintahkan supaya diam
pada waktu sedang shalat (HR. Bukhari muslim, tirmidhi, abu daud, nasa’i dan
ibnu majah)
d) Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ada orang-orang yang
bercakapcakap di waktu shalat, dan ada pula yang menyuruh temannya
menyelesaikan dulu keperluannya(di waktu sedang shalat). Maka turunlah ayat ini
yang sedang memerintahkan supaya khusyuk ketika shalat.
10
Mannâ’ al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qur’an (Riyadh: Muassasah ar-Risâlah, 1976), hlm. 85-86.

38
[Type here]

2. Ta’adud an-nazil wa al-asbab wahid Satu sebab yang melatar belakangi


turunnya beberapa ayat. Contoh: Q.S. Ad-dukhan/44: 10,15 dan16, Asbab an-
nuzul dari ayat-ayat tersebut adalah; dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika
kaum Quraisy durhaka kepada nabi saw.. Beliau berdo’a supaya mereka
mendapatkan kelaparan umum seperti kelaparan yang pernah terjadi pada zaman
nabi yusuf. Alhasil mereka menderita kekurangan, sampaisampai merekapun
makan tulang, sehingga turunlah (QS. Ad-dukhan/44: 10). Kemudian mereka
menghadap nabi saw untuk meminta bantuan. Maka rasulullah saw berdo’a agar
di turunkan hujan. Akhirnya hujanpun turun, maka turunnlah ayat selanjutnya
(QS. Ad-dukhan/44: 15), namun setelah mereka memperoleh kemewahan
merekapun kembali kepada keadaan semula (sesat dan durhaka) maka turunlah
ayat ini (QS. Ad-dukhan/44: 16) dalam riwayat tersebut dikemukakan bahwa
siksaan itu akan turun di waktu perang badar
3) Al-'ibratu Bi 'Umumil Lafdzi La Bi Khushushi Assabab
Apabila ayat yang diturunkan sesuai dengan sebab yang umum atau sesuai dengan
sebab yang khusus, maka yang umum diterapkan pada keumumannya dan yang
khusus pada kekhususannya.
Contoh yang pertama seperti :

ْ َ‫يض َوالَتَ ْق َربُوه َُّن َحتَّى ي‬


َ‫طهُرْ نَ فَِإ َذا تَطَهَّرْ ن‬ ِ ‫يض قُلْ ه َُو َأ ًذى فَا ْعت َِزلُوا النِّ َسآ َء فِي ْال َم ِح‬
ِ ‫ك ع َِن ْال َم ِح‬
َ َ‫َويَسَْئلُون‬
ُ ‫فَْأتُوه َُّن ِم ْن َحي‬
َ‫ْث َأ َم َر ُك ُم هللاُ ِإ َّن هللاَ يُ ِحبُّ التَّوَّابِينَ َوي ُِحبُّ ْال ُمتَطَه ِِّرين‬
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:"Haidh itu adalah suatu
kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri” (Albaqarah : 222)
Jika Asbab Nuzul itu bersifat khusus, sedang ayat itu turun berbentuk umum,
maka para ahli ushul berselisih pendapat : yang dijadikan patokan itu apakah
lafadz yang umum atau sebab yang khusus?

1. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadi patokan adalah lafadz yang
umum dan bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari lafadz yang

39
[Type here]

umum itu melampaui sebab yang khusus. Misalnya ayat Li’an yang turun
berkenaan dengan tuduhan Hilal bin Umayah kepada istrinya

Urgensi Ilmu Asbabul Nuzul

Mengetahui asbabun nuzul sangat penting dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an,


terutama menyangkut masalah hukum. Tanpa mengetahui asbabun nuzul seorang
mufassir dapat melakukan kekeliruan dalam menetapkan hukum,Tanpa
mengetahui sabab an-nuzûl ayat tersebut seseorang bisa saja langsung
menyimpulkan bahwa shalat tidak harus menghadap kiblat. Bukankah dengan
jelas ayat di atas menyebutkan boleh shalat menghadap ke mana saja karena Allah
ada di mana-mana. Padahal ayat tersebut turun dilatar belakangi oleh beberapa
kasus di mana para sahabat tidak dapat menentukan arah kiblat. Misalnya kasus
yang dialami oleh Jâbir dan rombongan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn
Mardawaih. Mari kita kutip keterangan Jâbir: “Kami telah diutus oleh Rasulullah
SAW dalam satu pasukan kecil. Sedang kami berada di tengah perjalanan
kegelapan mencekam kami, sehingga kami tidak mengetahui arah kiblat.
Segolongan di antara kami berkata: “Kami telah mengetahui arah kiblat, yaitu ke
sana, ke arah utara. Maka mereka shalat dan membuat garis di tanah. Tatkala hari
subuh dan mataharipun terbit, garis itu mengarah ke arah yang bukan arah kiblat.
Tatkala kami kembali dari perjalanan dan kami tanyakan kepada Rasulullah SAW
tentang peristiwa itu, maka Nabi diam dan turunlah ayat: “Dan kepunyaan Allah-
lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap (shalat) di situlah wajah
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
(Q.S. Al-Baqarah 2:115)17 Dari membaca latar belakang turunnya ayat di atas
jelaslah bagi kita bahwa yang dimaksud oleh ayat itu bukanlah bebas menghadap
ke mana saja dalam shalat, tapi dalam keadaan tidak normal, artinya bila tidak
bisa menentukan dengan pasti ke mana arah kiblat, seseorang boleh shalat ke
mana saja yang diduganya sebagai arah kiblat. Dengan melihat ayat tersebut saja
timbul pertanyaan, kenapa sa’i dimasukkan ke dalam salah satu rukun haji?
Padahal dalam ayat itu Allah cuma mengatakan “tidak ada dosa baginya
mengerjakan sa’i”. Kalau redaksinya seperti itu mestinya sa’i itu tidak rukun,

40
[Type here]

tidak wajib dan tidak pula sunnah, paling tinggi mubah. Pertanyaan tersebut akan
terjawab dengan membaca keterangan dari Ummu al-Mu’minin ‘Aisyah R.A.
Diriwayatkan oleh Bukhâri dan Muslim bahwa ‘Aisyah RA meluruskan
pemahaman yang keliru dari ‘Urwah terhadap Surat Al-Baqarah ayat 158 tersebut.
Menurut ‘Urwah, seseorang yang melaksanakan haji atau umrah tidak berdosa
jika tidak melakukan sa’i antara Shafa dan Marwa. Menurut ‘Aisyah ayat tersebut
turun berkenaan dengan kaum Anshâr, yang sebelum masuk Islam mengadakan
upacara keagamaan kepada berhala Manat, dan waktu melaksanakan ibadah haji
mereka enggan melakukan sa’i dari dua bukit kecil itu. Mereka menanyakan hal
itu kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami di zaman
jahiliyah berkeberatan untuk sa’i dari Shafa ke Marwah. Maka Allah SWT
menurunkan ayat (“Sesugguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar
Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka
tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya..”)‘Aisyah RA tentang
sebab turun ayat ini, bahwa kalimat “tidak ada dosa baginya” bukan ditujukan
kepada perbuatan sa’inya tapi kepada tempatnya yaitu Shafa dan Marwah.

41
[Type here]

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Sebagian besar Alquran pada mulanya diturunkan untuk tujuan-tujuan yang
bersifat umum sebagai petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam menjalani
kehidupan di dunia ini. Namun, kehiupan para sahabat bersama Rasulullah SAW
telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di antara
mereka peristiwa khususyang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih
kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah SAW untuk
Sebagian besar Alquran pada mulanya diturunkan untuk tujuan-tujuan yang
bersifat umum sebagai petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam menjalani
kehidupan di dunia ini. Namun, kehiupan para sahabat bersama Rasulullah SAW
telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di antara
mereka peristiwa khususyang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih
kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah SAW untuk
mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka Alquran turun untuk peristiwa
khusus tau atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti inilah yang
dinamakan dengan asbab al nuzul.
Asbab an-nuzul merupakan bahan sejarah yang dapat di pakai untuk
memberikan keterangan terhadap turunnya ayat Alquran dan memberinya konteks
dalam memahami perintah-perintahnya. Sudah tentu bahan-bahan ini hanya
melingkupi peristiwa pada masa Alquran masih turun (ashr at-tanzil). Dari segi
jumlah sebab dan ayat yang turun, asbab an-nuzul dapat kita bagi kepada;
Ta’addud Al-Asbab Wa Al-Nazil Wahid danTa’adud an-nazil wa al-asbab wahid.
Ungkapan-ungkapan atau redaksi yang di gunakan oleh para sahabat untuk
menunjukkan turunnya al-qur’an tidak selamanya sama. Redaksi itu secara garis
besar dikelompokkan dalam dua kategori yaitu Sarih (jelas) dan Muhtamilah
(masih kemungkinan atau belum pasti).Asbab an-nuzul mempunyai arti penting
dalan menafsirkan al-qur’an. Seseorang tidak akan mencapai pengertian yang baik
jika tidak memahami riwayat asbab an-nuzul suatu ayat. Pemahaman asbab an-
nuzul akan sangat membantu dalam memahami konteks turunnya ayat. Ini sangat
penting untuk menerapkan ayat-ayat pada kasus dan kesempatan yang berbeda.
42
[Type here]

Peluang terjadinya kekeliruan akan semakin besar jika mengabaikan riwayat


asbab an-nuzul.

43
[Type here]

DAFTAR PUSTAKA

44
[Type here]

ILMU MAKKY DAN MADANI


MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
Studi Al Qur’an
Dosen Pengampu :
Dr. H. Makinuddin, S.H, M. Ag.

Disusun oleh :
Kelompok 4
1. Anggun Nur Indah S. (05040320073)
2. Marsilah Fardhila (05040320086)
3. Muhammad Burhanudin (05040320087)
4. Wisma Bayu S. (05040320097)

Prodi Hukum Pidana Islam

Fakultas Syari’ah dan Hukum

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

2020-2021

45
[Type here]

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
kami bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Ilmu Makky dan Madani”
sebagai tugas mata kuliah Studi Al Qur’an.
            Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Makinuddin,
S.H, M. Ag. selaku dosen pengampu pada mata kuliah Studi Al Qur’an yang telah memberikan
bimbingan kepada kami, sehingga makalah ini bisa terselesaikan tepat pada waktunya.
            Melalui makalah ini, kami berusaha memaparkan ilmu dalam mempelajari sejarah Al-
Qur’an, di mana pembahasan pada makalah ini lebih menekankan pada tahap-tahap Al-Qur’an
diturunkan, khususnya pembahasan pada kota atau tempat Al-Qur’an diturunkan yaitu di
Makkah dan di Madinah yang pada akhirnya muncul istilah Makky dan Madani. Tentu
pemahaman tentang Ilmu Makky dan Madani, menjadi penting untuk dikaji dan diteliti lebih
lanjut. Oleh sebab itu kami berharap makalah ini bisa bermanfaat khusunya dalam memahami
tentang Ilmu Makky dan Madani. Sebagai penyusun makalah ini, kami menyadari bahwa
penulisan makalah ini masih jauh dari yang diharapkan. Oleh karena itu, kami selaku penyusun
senantiasa meminta kritik dan saran yang membangun, agar kami bisa memperbaiki penulisan
kami yang selanjutnya.

Sidoarjo, 07 Maret 2021

Penyusun

46
[Type here]

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Makky dan Madani

B. Klasifikasi Ayat dan Surah al-Quran dalam Kelompok Makki dan Madani

C. Karakteristik ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah dan Contohnya

D. Urgensi Ilmu Makky dan Madani

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

C. Penutup

47
[Type here]

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Mempelajari Al-Qur’an merupakan hal wajib bagi umat Islam. Dalam kita
mempelajari tentang Al-Qur’an tentu tidak akan terlepas dari mempelajari sejarah ilmu
Al-Qur’an itu sendiri. Pengetahuan tentang sejarah ilmu Al-Quran tentu juga akan
mencakup pembahasan mengenai tahap-tahap Al-Qur’an itu diturunkan. Dalam kita
mempelajari tentang tahap-tahap Al-Qur’an diturunkan, tentu akan membuat kita
mengenal istilah “makiyyah” dan “madaniyyah”.
Istilah makkiyah dan madaniyah dalam Ulumul Qur’an menjadi penting untuk
kita pelajari. Karena dengan mengetahui tentang makkiyah dan madaniyah dalam Ulumul
Qur’an, maka secara tidak langsung kita dapat memperdalam ilmu tentang Al-Qur’an
khusunya pada tahapan-tahapan Al-Qur’an diturunkan.
Oleh sebab itu, pada pembahasan makalah ini, kita akan membahas tentang
makkiyah dan madaniyah, mulai dari pengertian hingga manfaat yang kita dapatkan bila
kita memahami lebih jauh tentang makkiyah dan madaniyah.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Ilmu Makky dan Madani

2. Klasifikasi Ayat dan Surah al-Quran dalam Kelompok Makki dan Madani

3. Karakteristik ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah dan Contohnya

4. Urgensi Ilmu Makky dan Madani

48
[Type here]

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MAKKY DAN MADANI

Secara etimologis kata al-Makky berasal dari kata “Makkah” dan al-Madany
berasal dari kata “Madinah”. Secara harfiah, al-Makky atau al-Makkiah berarti yang
bersifat Makkah atau yang berasal dari Makkah, sedangkan al-Madany  atau al-Madaniah
berarti yang bersifat Madinah atau yang berasal dari Madinah. Maka ayat atau surah yang
turun di Makkah disebut dengan ayat-ayat al-Makkiah sedangkan yang diturunkan di
Madinah disebut dengan ayat-ayat al-Madaniah. 

Sedangkan menurut terminology al-Makki wal-Madani berarti suatu ilmu yang


secara kusus membahas tentang tempat, waktu dan periode turunnya surah atau ayat al-
Quran, baik di Makkah ataupun di Madinah. Ayat atau surah yang turun pada periode
Makkah disebut dengan al-Makkiah dan ayat/surah yang turun pada periode Madinah
disebut dengan al-Madaniyah.

Secara sederhana dapat dipetakan perbedaan pendapat para pakar ulumul Qur’an
dalam mendefinisikan al-Makkiah dan al-Madaniyah tersebut, sebagai berikut:

1. Al-Makki adalah surah atau ayat yang diturunkan di Makkah dan sekitarnya, walaupun
setelah hijrah. Sedangkan al-Madani adalah surah atau ayat yang turun di Madinah dan
sekitarnya.
2. Al-Makki adalah ayat-ayat yang lebih khusus menyeru kepada penduduk Makkah
sedangkan al-Madani adalah ayat-ayat yang menyeru kepada penduduk Madinah.
3. Al-Makki adalah surah atau ayat yang turun kepada Nabi sebelum hijrah, sedangkan al-
Madani adalah surah atau ayat yang turun kepada Nabi setelah hijrah. Berdasarkan
definisi ini, maka ayat yang turun di Makkah setelah Nabi hijrah ke Madinah termasuk
dalam kategori ayat al-Madaniyah.

Perbedaan pendapat diatas terjadi disebabkan oleh berbedanya standard atau cara
pandang para ulama dalam menentukan definisi. 

49
[Type here]

Ada tiga standard yang dijadikan sebagai dasar: 

1. Tempat turun ayat (makan an-nuzul); 


2. person atau masyarakat yang menjadi objek pembicaraan;  
3. Waktu turunnya ayat(zaman an-nuzun) .  

Diantara ketiga definisi diatas dan dari standard yang dipakai masing-masing,
nampak jelas yang paling masyhur adalah definisi terakhir, yaitu menentukan al-Makki
dan al-Madani berdasarkan waktu sebelum dan sesudah hijrah nabi, maka yang turun
sebelum hijrah adalah al-Makkiah, adapun sesudahnya maka al-Madaniah. 

B. KLASIFIKASI AYAT DAN SURAH AL QUR’AN DALAM KELOMPOK


MAKKY DAN MADANI

Pada umumnya, para ulama’ membagi surat-surat al-Qur’an menjadi dua


kelompok, yaitu Makkiyah dan Madiniyyah. Mereka berbeda pendapat dalam
menetapkan jumlah masing-masing kelompoknya. Sebagian ulama’ mengatakan bahwa
jumlah surat Makiyyah ada 94 surat, sedangkan Madaniyyah ada 20 surat. Sebagian
ulama’ lain mengatakan bahwa jumlah surat Makiyyah ada 84 surat, sedangkan yang
Madaniyyah ada 30 surat.
           Perbedaan-perbedaan pendapat para ulama’ itu dikarenakan adanya sebagian surat yang
seluruhnya ayat-ayat Makkiyah atau Madaniyyah dan juga ada sebagian surat lain yang
tergolong Makkiyah dan Madaniyyah, tetapi didalamnya berisi sedikit ayat yang lain statusnya.
Surat-surat al-Qur’an itu terbagi menjadi empat macam:
1.      Surat-surat Makkiyah murni
Yaitu surat-surat Makiyayah yang seluruh ayat-ayatnya juga bersetatus Makiyyah
semua, tidak ada satupun yang Madaniyyah.
2.      Surat-surat Madaniyyah murni
Yaitu surat-surat Madaniyyah yang seluruh ayat-ayatnya juga bersetatus
Madaniyyah semua, tidak ada satupun yang Makiyyah.

50
[Type here]

3.      Surat-surat Makiyyah yang berisi ayat Madaniyyah


Yaitu surat-surat yang sebetulnya kebanyakan ayat-ayatnya adalah Makiyyah,
sehingga bersetatus Makiyyah, tetapi didalamnya juga ada sedikit ayatnya yang berstatus
Madaniyyah.
4.      Surat-surat Madaniyyah yang berisi ayat Makiyyah
Yaitu surat-surat yang sebetulnya kebanyakan ayat-ayatnya adalah Madaniyyah,
sehingga bersetatus Madaniyyah, tetapi ada juga didalamnya sedikit ayatnya yang
bersetatus Makiyyah.

C. KARAKTERISTIK AYAT-AYAT MAKKIYAH DAN MADANIYAH

Untuk bisa membedakan ayat-ayat yang masuk pada kategori Makiyyah dan
Madaniyyah, para sarjana muslim merumuskan  melalui cirri-ciri spesifik dalam
menguraikan  kronologis al-Qur’an, dalam dua titik tekan dalam usahanya itu,yaitu titik
tekan analogi dan titik tekan tematis.

Ciri-ciri melalui titik tekan analogi


1.      Makiyyah.
a.       Didalamnya terdapat ayat sajdah.
b.      Ayat-ayatnya di mulai dengan kata-kata “ Kalla.”
c.       Dimulai dengan “ Ya ayyuha an-nas.” dan tidak ada kalimat “ Ya ayyuhalladzi na amanu
“,  kecuali tujuh ayat ayat yang tetap tergolong Madaniyyah; yaitu : Q.S. al-Baqarah : 21,168, an-
Nisa’ : 1, 133, 170, 174, al- Hujurat : 13, dan juga surat al-Hajj : 73 ( yang masih di perselisihkan
para ulama’ ).
d.      Ayat-ayatnya mengandung kisah para Nabi, Rasul dan umat-umat terdahulu, kecuali Q.S. al-
Baqarah.
e.       Ayat-ayatnya berbicara tentang Nabi Adam dan iblis, kecuali Q.S. al-Baqarah
f.    Ayat-ayatnya dimulai dengan huruf terpotong-potong ( al-ahraf al-
muqatha’ah  atau fawaatihussuwar)  , seperti “Alim lam mim, alim lam ra,ha mim “, kecuali Q.S
Al-Baqoroh dan Ali ‘Imron, sedang Q.S. al-Ra’ad masih diperselisihkan, dalam al-Qur’an

51
[Type here]

terdapat 29 surat yang diawali dengan al-ahraf al-muqatha’ah yaitu : Q.S. al-Baqarah, ali Imran,
al-An’am, Yunus, Hud, Yusuf, al-Ra’d, Ibrahim, al-Hijr, Maryam,Thaha, as-Syu’ara, al-Namh,
al-Qashash, al-Ankabut, al-Ruum, Luqman, al-Sajdah, Yasin, Shad, al-Mukmin, Fushilat/
Hamim as-Sajdah, al-Syura, al-Zukhruf, al-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf, Qaf, dan al-Qaham.
g.      Surat atau ayat yang di awali atau di dalamnya terdapat kata-kata Alhamdulillah
( hamdalah ) dan kata-kata al-Hamd ( pujian ) lainnya, kecuali kata “ bihamdirabbika “ yang
terdapat pada Q.S. al-Baqarah :30 yang tergolong Madaniyyah.

2.      Madaniyyah.
a.       Mengandung ketentuan-ketentuan faraid dan had.
b.      Berisi sindiran terhadap kaum munafik, kecuali surat Al-ankabut.
c.       Mengandung uraian perdebatan dengan Ahli kitab ( Yahudi dan Nasrani ), yang berisi seruan
menuju islam, kecurangan terhadap kitab, tindakan mereka menjauhi kebenaran, kecuali Q.S. al-
An’am, al-Ra’d, al-Ankabut, al-Muddatstsir, dalam al-Qur’an kata “ ahlul kitab” di sebut
sebanyak 31 kali dalam 9 surat dan 31 ayat. Sedangkan “ utul kitab “dan “ atinal kitab “ terulang
sebanyak 10 surat dan 25 ayat.

Ciri-ciri melalui titik tekan tematis


1.      Makiyyah.
a.       Banyak mengandung kata-kata sumpah ( qasam ).
b.      Ayat dan suratnya pendek-pendek dan bernada agak keras, misalkan dalam juz 30 ( juz
‘amma ) kecuali Q.S. al-Bayyinah, dan an-Nashr, dan kelompok surat panjang al-sab’u al-
Thiwal hanya dua surat saja yang termasuk Makiyyah yaitu Q.S. al-An’am dan al-A’raf. 
c.       Menjelaskan ajakan monotheisme, ibadah kepada Allah semata, risalah kenabian, hari
kebangkitan dan pembalasan, hari kiamat, surga, neraka, dan mendebat kelompok musrikin
dengan argumentasi-argumentasi rasional dan naqli.
d.      Menetapkan fondasi-fondasi umum pembentukan hukum syara’ dan keutamaan akhlaq yang
harus di miliki masyarakat.

2.      Madaniyyah.
a.       Mengungkap langkah-langkah orang-orang munafik, selain Q.S. al-Ankabut.

52
[Type here]

b.      Menjelaskan permasalahan ibadah, muamalah, hudud, bangunan rumah tangga, warisan,


serta persoalan-persoalan hukum syara’, keutamaan jihad, hubungan social, hubungan
internasional.
c.       Surat dan sebagian ayat-ayatnya panjang-panjang serta menjelaskan hukum dengan terang
dan menggunakan ushlub yang terang pula, seperti kelompok  “al-Sab’u al-Thiwal “ ( tujuh
surat terpanjang ) yaitu : Q.S. al- Baqoroh, an- Nissa’, ali Imron, al- Maidah, al-A’raf, al-An’am,
dalam penentuan satu surat lagi terjadi perbedaan pendapat dari kalangan ulama’, yaitu : Q.S. al-
Anfal, at-Taubah, al-Kahfi, al-Mukminun.

D. URGENSI ILMU MAKKY DAN MADANI

1.      Membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an


             Pengetahuan tentang para musafir dalam peristiwa diseputar turunya Al-Qur’an tentu
sangat membantu memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, walaupun ada teori yang
mengatakan bahwa keumuman redaksi ayat yang harus menjadi patokan dan bukan kekhususan
sebab. Dengan mengetahui kronologis Al-Qur’an pula, seorang mufasir dapat memecahkan
makna yang kontradiktif dalam dua ayat yang berbeda, yaitu dengan memecahkan
konseb nasikh-mansukh yang hanya dapat diketahui melalui kronologi Al-Qur’an.

2.      Pedoman bagi langkah-langkah dakwah


             Setiap kondisi pasti memerlukan ungkapan yang relevan. Ungkapan dan intonasi berbeda
yang digunakan ayat-ayat Makkiyah dan ayat-ayat Madaniyyah memberikan informasi
metodologi bagi cara-cara menyampaikan dakwah agar dengan orang-orang yang diserunya.
Karena itu, dakwah islam berhasil mengetuk hati dan menyembuhkan segala penyakit rohani
orang-orang yang diserunya. Disamping itu, setiap langkah dakwah memiliki objek kajian dan
metode tertentu, seiring dengan perbedaan kondisi sosio-kultural manusia.
Periodesasi Makkiyah dan Madaniyyah telah memberikaan contoh untuk itu.

3.      Memberi informasi tentang sirah kenabian


               Penahapan turunya wahyu adalah seiring dengan perjalanan dakwah nabi. Baik di
Mekkah dan di Madinah, mulai diturunkanya wahyu pertama sampai ditirunkanya wahyu

53
[Type here]

terakhir. Al-Qur’an adalah rujukan otentik bagi perjalanan dakwah Nabi itu. Informasinya tidak
bisa dieagukan lagi.

4.      Mengetahui nasikh dan mansukh


          Contohnya adalah ketika seseorang dihadapkan dua ayat atau lebih yang membahas
persoalan yang sama sementara hukum yang ada dalam ayat-ayat tersebut berbeda antara yang
satu dengan yang lainnya.
5.      Mengetahui sejarah pensyari’atan dan proses penurunannya yang berangsur-angsur
         Dari sini akan dimengerti keagungan dan kemuliaan ajaran islam dalam proses doktrinasi
dan pendidikan kepad umat manusia baik secara pribadi maupun kelompok. Metode inilah yang
seharusnya dipakai untuk membangun tatanan peradaban yang maju dan bersahaja.
6.      Memperkuat keyakinan umat islam tentang otensitas dan orisinalitas Al-Qur’an
           Al-Qur’an benar-benar terjaga dari interferensi manusia dan tidak ada perubahan
sedikitpun di dalamnya. Sangat tidak masuk akal jika kemudian mereka melakukan interferensi
atau bahkan merombak isi Al-Qur’an.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Secara etimologis kata al-Makky berasal dari kata “Makkah” dan al-Madany
berasal dari kata “Madinah”. Secara harfiah, al-Makky atau al-Makkiah berarti yang
bersifat Makkah atau yang berasal dari Makkah, sedangkan al-Madany  atau al-Madaniah
berarti yang bersifat Madinah atau yang berasal dari Madinah. Maka ayat atau surah yang
turun di Makkah disebut dengan ayat-ayat al-Makkiah sedangkan yang diturunkan di
Madinah disebut dengan ayat-ayat al-Madaniah. Sedangkan menurut terminology al-
Makki wal-Madani berarti suatu ilmu yang secara kusus membahas tentang tempat,
waktu dan periode turunnya surah atau ayat al-Quran, baik di Makkah ataupun di

54
[Type here]

Madinah. Ayat atau surah yang turun pada periode Makkah disebut dengan al-Makkiah
dan ayat/surah yang turun pada periode Madinah disebut dengan al-Madaniyah. para
ulama’ membagi surat-surat al-Qur’an menjadi dua kelompok, yaitu Makkiyah dan
Madiniyyah. Mereka berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah masing-masing
kelompoknya. Sebagian ulama’ mengatakan bahwa jumlah surat Makiyyah ada 94 surat,
sedangkan Madaniyyah ada 20 surat. Sebagian ulama’ lain mengatakan bahwa jumlah
surat Makiyyah ada 84 surat, sedangkan yang Madaniyyah ada 30 surat.
Ciri-ciri Makiyyah
         Didalamnya terdapat ayat sajdah.
         Ayat-ayatnya di mulai dengan kata-kata “ Kalla.”
Ciri-ciri Madaniyyah
         Mengandung ketentuan-ketentuan faraid dan had.
         Berisi sindiran terhadap kaum munafik, kecuali surat Al-ankabut.
Urgensi Mempelajari Al-mkakky dan Al-madany
         Membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an
         Pedoman bagi langkah-langkah dakwah
         Member informasi tentang sirah kenabian

B. SARAN

Dari uraian makalah ilmu makki dan madani ini, maka tidak tertutup
kemungkinan lepas dari kesalahan. Oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran perbaikan makalah Ulumul Quran. Demi kesempurnaan makalah
selanjutnya. Penulis berharap dengan terbitnya karya tulis Makalah Ilmu Makki dan
Madani sekiranya dapat menjadi tambahan pengetahuan yang bermanfaat bagi para
pembaca. Dan penulis pun juga berharapagar kita semua bisa menjadikan Al-Quran
sebagai pedoman hidup kita sehingga bisa mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

55
[Type here]

DAFTAR PUSTAKA

https://catatanmetalsa.blogspot.com/2014/11/pengertian-al-makky-dan-al-
madany.html

https://slideplayer.info/slide/13770296/#:~:text=Makkiyah%20adalah%20ayat
%20yang%20turun,setelah%20Nabi%20Hijrah%20ke%20Medinah.&text=Hanya
%20dengan%20batasan%20sebelum%20dan,di%20antara%20dua%20masa%20itu

56
[Type here]

MAKALAH
STUDY AL QURAN
ILMU NASIKH DAN MANSUKH
Dosen Pengampu: Dr. H. Makinuddin,S.H,MAg

Disusun oleh :
1) ELISA FEBRILIA (05040320077)
2) NOVIE NURYANINGSIH (05040320090)
3) RAWENDRA AHMAD FAUZ (05040320092)
4) FENDA SEPTYA ANGGARA (05040320081)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
HUKUM PIDANA ISLAM ( JINAYAH ) SEMESTER 2
2021

57
[Type here]

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.,

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan kenikmatnya

sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu yang ditentukan. Shalawat dan

salam semoga elalu dilimpahkan kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW.

Makalah yang berjudul “ILMU NASIKH DAN MANSUKH” ini disusun guna

memenuhi tugas dari mata kuliah STUDY AL QUR’AN. Tak lupa ucapan

terimakasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu kami sehingga makalah

kami dapat terselesaikan dengan baik.Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah ini jauh

dari kata sempurna baik dalam segi bahasa,penyusunan, maupun pengetikannya, untuk itu kami

mengharapkan kritik dan saran untuk kami terkait makalah ini agar kami bisa menyusun makalah

lebih baik lagi.

Sekali lagi kami selaku penulis mengucapkan maaf dan terimakasi dan memohon maaf sebesarbesarnya
kepada para pembaca makalah ini.

Wassalamu’alaikum Wr, Wb,.

SIDOARJO, 5 MARET 2021

Penyusun,

58
[Type here]

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………….ii
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………...…………………………………………...1
A.LATAR BELAKANG………………………………………………………………….………1
B.RUMUSAN MASALAH………………………………………………………………….……1
C.TUJUAN ………………………………………………………………………….……………1
BAB 2 PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………2
A. PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH…………………………….…………..….2
B. RUKUN DAN SYARAT NASIKH………’………………..……………………………2
C. JENIS-JENIS NASKH…………………………………………………………….……..3
D. MACAM-MACAM NASIKH………………………………………………….………..4
E. BENTUK-BENTUK NASIKH…………………………………………………/……….4
F. KEDUDUKAN DAN HIKMAH KEBERADAAN NASKH……………………………5
G. CARA MENGETAHUI NASIKH DAN MANSUKH…………………..………………6
BAB 3 PENUTUP……………………………………………………………………………………7
A. KESIMPULAN……………………………………………………………………………….7
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………….8

59
[Type here]

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu
dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan bagian satu pada yang lain. Dari segi
kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup
jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat,
hanya Allah yang mengetahui maksudnya.
Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus
menjadi landasan pengertian. sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum,
hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-
ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang
sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat
dengan ayat lainnya.
Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur historis cukup
nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap
pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi itulah kita
membicarakan masalah nasikh-mansukh.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Nasikh dan Mansukh?
2. Apakah rukun dan syarat naskh?
3. Apa saja jenis–jenis naskh?
4. Bagaimana kedudukan dan hikmah keberadaan naskh?
5. Bagaimana cara mengetahui naskh dan Mansukh?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan Naskh
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Mansukh
3. Untuk Mengetahui pendapat para ulama megenai Naskh dan Mansukh
4. Untuk mengetahui pembagian yang terdapat didalam Naskh

60
[Type here]

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk beberapa
pengertian:
a. Nasikh, dapat bermakna ‘izalah (menghilangkan).
b. Nasikh dapat bermakna tabdil (mengganti/menukar).
c. Nasikh dapat bermakna tahwil (memalingkan).
d. Nasikh dapat bermakna menukilkan dari suatu tempat ke tempat yang lain. [1]
Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian terminologis.
Perbedaan terma yang ada antara ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada
sudut pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.
Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'i yang ditetapkan kemudian, tidak
hanya untuk ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku
sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan berakhirnya
masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi
juga mencakup pengertian pembatasan bagi suatu pengertian bebas (muthlaq). Juga dapat
mencakup pengertian pengkhususan (makhasshish) terhadap suatu pengertian umum ('am).
Bahkan juga pengertian pengecualian (istitsna).
Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut untuk
mempertajam perbedaan antara nasikh dan makhasshish, muqayyid, dan lain sebagainya,
sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang kemudian,
untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang
terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan yang ditetapkan terakhir
dan menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu
pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian, dan di lain pihak dalam perkembangan
selanjutnya naskh membatasinya hanya pada satu pengertian.

B. RUKUN DAN SYARAT NASIKH


Sesuai dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum, hubungan antara ketentuan hukum
satu dengan yang lainnya harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara
satu ayat dengan ayat lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, ada beberapa rukun dan syarat yang
harus diterapkan:

61
[Type here]

1. Adat naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah
ada.
2. Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya,
nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan menghapusnya.
3. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, yang dihapuskan, atau dipindahkan.
4. Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
Adapun syarat-syarat naskh:
1. Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
2. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
3. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti
perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti dinasikh setelah selesai melaksanakan
puasa tersebut.
4. Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian.

C. JENIS-JENIS NASKH
Masalah pertama yang ingin disoroti dalam bagian ini ialah adanya naskh antara satu
syari'at dengan syari'at lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat kita amati antara syari'at hukum
agama Islam dengan syari'at Nabi Isa as yang lebih dahulu ada. Dalam hubungan ini, dapat
kita katakan bilamana kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at, dengan sendirinya kita
mengaku adanya naskh, karena syari'at-syari'at sebelumnya tidak akan kita anut lagi dan
semua hukumnya pun tidak akan kita berlakukan, sepanjang tidak dikukuhkan kembali oleh
syari'at Nabi Muhammad saw.
Jika sudah melihat adanya nasikh-mansukh antar syari'at, di dalam satu syari'at juga
terjadi nasikh-mansukh antara hukum yang satu dengan hukum yang lainnya. Kembali pada
syari'at Islam sendiri, akan menemui beberapa kasus. Seperti Sesudah hijrah ke Madinah, kaum
Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan kemudian, Allah
menetapkan ketentuan lain. Keharusan berkiblat ke arah Bait al-Haram[5]. Ini berarti terjadi
nasikh-mansukh dalam hukum kiblat. Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya
menyangkut bidang ibadat. Di bidang lain ada pula perubahan-perubahan yang menyangkut
ketentuan hokum pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.
Dari seluruh kasus-kasus tersebut berimplikasi bahwa memang terbukti adanya nasikh-mansukh
yang sifatnya intern dalam syari'at Islam. Beberapa ketentuan hukum yang sudah berlaku,
kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan ketentuan hukum
lain.
Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut segi formalnya. Jenis lain yang
menyangkut segi materialnya, ada yang bersifat eksklusif (sharih) dan inklusif (dlimmi).
62
[Type here]

Untuk yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan mansukhnya, misalnya hukum
kiblat. Ketentuan yang nasikh (pengganti) ditetapkan secara jelas. Sedangkan contoh lain
misalnya hukum ziarah kubur. Didalam hadits disebutkan, pernah dilarang dalam
melakukan ziarah kubur. Selanjutnya, ayat itu ternasikh oleh ayat yang membolehkannya
seorang ziarah kubur. Berbeda dengan hal tersebut diatas, nasikh yang bersifat dlimmi
tidak memuat penegasan didalamnya bahwa ketentuan yang mendahuluinya tercabut, tetapi
isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang mendahuluinya.

D. MACAM-MACAM NASIKH
1. Al-Quran dinasikhkan dengan Al-Quran
Ulama Sepakat Mengatakan ini diperbolehkan. Demikian juga mengenai jatuhnya. Umpama
menurut ayat masa iddah bagi perempuan itu lamanya satu tahun. Ayat iddah ini ternasikhkan
oleh ayat lain. Masa iddah itu cukup empat bulan sepuluh hari.
2. Al-Quran dinasikhkan dengan Sunnah
Yang termasuk dalam hal ini, terdapat dua macam definisi, yaitu:
Pertama, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Ahad. Menurut jumhur tidak diperbolehkan,
karena Al-Quran itu mutawatir, harus diyakini. Sedangkan hadist ahad masih diragukan.
Kedua, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Mutawatir. Hal ini diperbolehkan menurut imam
malik, abu hanifah dan ahmad bin hambal.
3. Sunnah dinasikhkan dengan Al-Quran
Ini diperbolehkan menurut jumhur. Menghadap sembahyang ke baitul mukaddis itu ditetapkan
oleh sunnah, sedangkan di dalam Al-Quran tidak ada yang menunjukkan demikian itu. Di sini
dinasikhkan oleh Al-Quran QS 2:144.
4. Sunnah dinasikhkan dengan Sunnah
Yang termasuk golongan ini ada empat macam, yaitu:
1. Mutawatir dinasihkan dengan mutawatir pula.
2. ahad dinasihkan dengan ahad pula.
3. ahad dinasikhkan dnegan mutawatir.
4. mutawatir dinasikhkan dengan ahad.

E. BENTUK-BENTUK NASIKH
Nasikh di dalam Al-quran terdapat tiga bentuk, yaitu:

63
[Type here]

1. Nasikh tilawah dan hukumnya sekaligus.


Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata:

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬


َ ‫ت فَتُ ُوفِّ َي َرسُو ُل اللَّ ِه‬
ٍ ‫س َم ْعلُو َما‬
ٍ ‫ت ي َُح ِّر ْمنَ ثُ َّم نُ ِس ْخنَ بِ َخ ْم‬
ٍ ‫ت َم ْعلُو َما‬ ِ ْ‫َكانَ فِي َما ُأ ْن ِز َل ِمنَ ْالقُر‬
َ ‫آن َع ْش ُر َر‬
ٍ ‫ض َعا‬
‫ُأ‬
ِ ْ‫ َوه َُّن فِي َما يُ ْق َر ِمنَ ْالقُر‬.
‫آن‬
Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan
yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali
penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan itu
termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]
2. Nasikh hukum dan tetap adanya tilawah.
Contohnya firman Allah Azza wa Jalla:

َ‫صابِرُونَ يَ ْغلِبُوا ِماَئتَ ْي ِˆن َوِإن يَّ ُكن ِّم ْن ُك ْم ِماَئةٌ يَ ْغلِبُوا َأ ْلفًا ِّمنَ الَّ ِذين‬
َ َ‫ض ْال ُمْؤ ِمنِينَ َعلَى ْالقِتَا ِل ِإن يَ ُكن ِّمن ُك ْم ِع ْشرُون‬
ِ ‫يَآَأيُّهَا النَّبِ ُّي َح ِّر‬
َ‫َكفَرُوا بَِأنَّهُ ْم قَوْ ٌم الَ يَ ْفقَهُون‬
Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.
ُ‫ف يَ ْغلِبُوا َأ ْلفَي ِْن بِِإ ْذ ِن هللاِ َوهللا‬
ٌ ‫صابِ َرةٌ يَ ْغلِبُوا ِماَئتَ ْي ِن َوِإن يَ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم َأ ْل‬ َ ‫ْالَئانَ خَ فَّفَ هللاُ عَن ُك ْم َو َعلِ َم َأ َّن فِي ُك ْم‬
َ ٌ‫ض ْعفًا فَِإن يَ ُكن ِّمن ُكم ِّماَئة‬
َ‫َم َع الصَّابِ ِرين‬
3. Menasikhkan tilawah disamping tetapnya hukum.
Contoh: lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:

ِ ‫ال َّش ْي ُخ َوال َّش ْي َخةُ ِإ َذا َزنَيَا فَارْ ُج ُموهُ َما ْالبَتَّةَ نَ َكاالً ِمنَ هللاِ َو هللاُ ع‬
‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬
Laki-laki tua dan perempuan tua apabila berzina, maka rajamlah keduanya. Pembalasan itu pasti
dari Allah. Dan Allah itu maha Gagah lagi Maha Bijaksana. [8]

F. KEDUDUKAN DAN HIKMAH KEBERADAAN NASKH


Masalah naskh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang berada
dalam disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu Ushul Fiqh. Dalam kaitan ini Imam Subki menerangkan
adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan naskh. naskh berfungsi mencabut (raf) atau
menjelaskan (bayan)[9]. Dilihat dari jenis-jenis naskh yang diuraikan di atas. Jika ditinjau dari
segi formalnya maka fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau dari segi
materinya, maka fungsi penjelasannya lebih menonjol. Meski demikian, pada akhirnya dapat
dilihat adanya suatu fungsi pokok bahwa naskh merupakan salah satu interpretasi hukum.

Hikmah Keberadaan Naskh Menurut Manna Al-Oaththan terdapat empat ketentuan naskh, yaitu:

64
[Type here]

1. Menjaga kemaslahatan hamba.


2. Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring dengan
perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian di hapus.
4. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila ketentuan nasikh lebih
berat daripada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala.
Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh, itu berarti
kemudahan bagi umat. [10]

G. CARA MENGETAHUI NASIKH DAN MANSUKH


Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai berikut.
1. Keterangan tegas dari nabi atau sahabat, seperti hadis yang artinya:
Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah ke kubur, sekarang Muhammad telah.mendapat izin
untuk menziarahi ke kubur ibunya, kini berziarahlah kamu ke kubur. Sesungguhnya ziarah kubur
itu mengingatkan pada hari akhir. (Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi).
2. Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu mansukh.
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif sejarah.
Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau keadaan dalil-dalil
yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman seseorang dari dua perawi.
Ketiga-tiga persyaratan tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan adanya nasakh dan
mansukh dalam Alquran. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa nasakh
mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum dan tidak termasuk penghapusan yang bersifat
asal (pokok). [11]

65
[Type here]

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Nasikh menurut bahasa yaitu mengaitkan kepada arti yang hilang. Nasikh mengandung beberapa
makna yaitu: menghilangkan, mengganti, memalingkan, dan menukilkan. Sedangkan menurut
istilah, ialah membuang hukum syar’i dengan kitab syar’i. Ulama’ mutaqoddim memberi batasan
naskh sebagai dalil syar’i yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan-ketentuan
hukum, tapi juga mencakup pengertian pembatasan bagi suatu pengertian bebas. Sebaliknya
ulama’ mutaakhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut untuk mempertajam
perbedaan antara nasikh, mukhossim, dan muqoyyid sehingga pengertian naskh terbatas hanya
untuk ketentuan hukum yang datang kemudian.
Adapun bagaimana cara mengetahui nasikh adalah harus melalui banyak jalan, diantaranya:
naskh yang sharih dari Rosulullah SAW, keterangan para sahabat, perlawqanan yang tidak dapat
dikompromikan, serta diketahui tarih turunnya ayat-ayat itu. Masalah nasikh bukanlah sesuatu
yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang berada dalam disiplin ilmu tafsir dan ilmu ushul
fiqih.

66
[Type here]

DAFTAR KEPUSTAKAAN

file:///C:/Users/User/Downloads/makalah%20ovi%20(2).pdf
http://makalahkampus15.blogspot.com/2017/10/makalah-studi-quran-nasikh-dan-mansukh.html
http://digilib.uinsgd.ac.id/21405/41/BAB%20I.pdf

67
[Type here]

MAKALAH
MUNASABAH AL QUR’AN

Disusun Oleh :
1. Ach. Irfa'udin (05040320070)
2. Anisatul Wardah (05040320074)
3. Ghilang Muhammad Pratama Putra (05040320082)
4. Sekar Arum Mumpuni Jaya (05040320093)

Dosen Pengampu :

Dr. H. Makinuddin, S.H, M. Ag.

Program studi hukum pidana islam


Universitas islam negeri sunan ampel surabaya
Fakultas syari’ah dan hukum
April 2021

KATA PENGANTAR

68
[Type here]

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayahnya sehingga dapat kami menyusun makalah mengenai Alam
Pikiran Manusia Dan Perkembangannya tepat pada waktunya. Maklah ini kami
susun guna untuk memenuhi persyaratan mata kuliah Studi Al Qur’an.
Dalam pengumpulan data, kami di bantu oleh berbagai pihak yang terkait
termasuk sesama rekan mahasiswa lainnya. Atas terselesainya makalah ini kami
mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Studi Al Qur’an.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan. Dengan segala kerendahan hati, kami mengharap kritikdan saran
demi perbaikan makalah ini. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua khususnya kelompok kami.

Surabaya, 13 April 2021


Penyusun

Kelompok 06

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………….…. i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………..….. ii
BAB I PENDAHULUAN …………………...………………………….…..……... 1

69
[Type here]

BAB II PEMBAHASAN…………………………………....……………....……..2
BAB III PENUTUP……………………………….....…………………..……….. .7
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al – Qur’an adalah suatu mukjizat, pedoman, tolak ukur, petunjuk
yang di turunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Al – Qur’an pula yang
isinya kalam Allah Swt yang mana akan menjadi pegangan umat islam
sampai hari kiamat. Pesan dalam Al – Qur’an sendiri perlu di pahami utuh
bukan hanya dengan pemahaman parsial.
Tentu saja dengan apa yang telah di jelaskan beberapa di atas maka
dalam Al – Qur’an sendiri memiliki beberapa koherensi dan kolerasi ayat

70
[Type here]

– ayat. Maka dari itu mncul ilmu munasabah, yang mana dengan adanya
ilmu munasabah ini bakal menyatukan ayat – ayat yang terpisah. Adanya
ilmu Munasabah sendiri Menurut Qurasih Shihab, prinsip memersatukan
ayat – ayat dengan tema pokok suratnya kini merupakan pandangan
jumhur ulama tafsir. Usaha – Usaha ulama dalam membuktikan kebenaran
begitu banyak, Walaupun kadar keberhasilannya bermacam – macam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Ilmu Munasabah ?
2. Bagaimana Latar Belakang munculnya Ilmu Munasabah?
3. Apa saja Macam – macam Munasabah dalam Al – Qur’an ?
4. Apa dasar Munasabah dalam Al – Qu’an ?
5. Apa Faedah Ilmu Munasabah ?
6. Bagaimana Urgensi Munasabah dalam penafsiran Al – Qur’an?

C. Tujuan Masalah
1. Agar mengetahui Ilmu Munasabah
2. Agar mengetahui Latar belakang munculnya Ilmu Munasabah
3. Agar mengetahui macam – macam Ilmu munasabah
4. Agar mengatahui dasar munasabh dalam Al – Qur’an
5. Agar mengetahui faedah Ilmu Munasabah
6. Agar mengetahui Urgensi Munasabah dalam penafsiran Al – Qur’an

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Munasabah
Secara etimologi, ”munasabah” semakna dengan “musyakalah” dan
“muraqobah”, yang berarti serupa dan berdekatan atau hubungan atau
relevansi, Ialah hubungan antara ayat / surat satu dengan ayat / surat yang
sebelumnya atau sesudahnya. As – Suyuti berpendapat al munasabah berarti al
mushakalah ( keserupaan ) dan al muqarabah ( kedekatan).
Secara istilah munasabah atau ilmu tanasub al – ayat wa as – suwar adalah
ilamu untuk mengetahui alasan – alasan penerbitan dari bagian – bagian Al –
Qur’an yang mulia. Sehingga munasabah dapat diartikan sebagai ilmu atau
pengetahuan yang membahas tentang hubungan al-Qur’an dari berbagai
sisinya. Tokoh yang memelopori munasabah adalah Abu Bakar an-Naysaburi.
Beliau adalah soerang alim berkebangsaan Irak yang sangat ahli ilmu syariah

71
[Type here]

dan kesustraan Arab. Selain itu, ada pula Abu Ja’far bin Zubair dengan
karyanya “Al-Burhan fi Munasabah Tartib Suwar a l-Qur’an”, Burhanuddin
Al-Biqa’i dengan karyanya “Nuzhum Adh-Dhurar fi Tatanasub A l-Ayi wa
As-Suwar” dan As-Sayuti dengan karyanya “Tanasuq Adh-Dhurar fi Tanasub
As-Suwar”.
Ilmu munasabah menjelaskan tentang segi hubungan antara beberapa ayat
atau beberapa surat Al – Qur’an. Untuk pengertihan munasabah ini tidak
hanya sesuai dalam arti sejajar dan pararel saja, melainkan yang
kontradiksipun termasuk munasabah. Karena ayat – ayat Al – Qur’an itu
kadang – kadang merupakan Takhsis (pengkhususan) dari ayat – ayat yang
umum.
B. Latar Belakang Munculnya Ilmu Munasabah
Lahirnya pengetahuan tentang korelasi (munasabah) ini berawal dari
kenyataan bahwa bahwa sistematika Al-Qur’an sebagaimana terdapat
dalam Mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan fakta kronologis
turunnya Al-Qur’an. Itulah sebab terjadi perbedaan pendapat di kalangan
ulama-ulama salaf tentang urutan surat di dalam Al-Qur’an. Pendapat
pertama bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi SAW. Golongan
kedua berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad para sahabat
setelah mereka bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat
adalah tauqifi. Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan
pertama, kecuali surat Al-Anfal dan Al-Bara’ah yang dipandang bersifat
ijtihadi. Pendapat pertama didukung antara lain oleh Al-Qadi Abu Bakar
dalam satu pendapatnya, Abu Bakar Ibn Al-Anbari, Al-Kirmani, dan Ibn
Al-Hisar. Pendapat kedua didukung oleh Malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam
pendapatnya yang lain, dan Ibn Al-Faris. Pendapat ketiga dianut oleh Al-
Baihaqi. Salah satu penyebab perbedaan ini adalah adanya mushaf-mushaf
ulama salaf yang urutan suratnya bervariasi. Ada yang menyusunya
berdasarkan kronologis turunnya, seperti Mushaf Ali yang dimulai dengan
ayat iqra’, sedangkan ayat lainya disusun berdasarkan tempat turunya
Makki kemudian Madani. Adapun Mushaf Ibnu Mas’ud dimulai dengan
surat Al-Baqarah, kemudian An-Nisa’, lalu surat Ali Imran.
Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika
masalah korelasi Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama’
yang menekuni Ulum Al-Qur’an. Tokoh yang disebut-sebut sebagai orang
yang pertama yang melopori keberadaan Ilmu Munasabah ialah Abu Bakar
An-Naisaburi, seorang alim bekebangsaan Irak yang sangat ahli dalam
ilmu syariah dan kesustraan arab. Dalam berbagai kesempatan
perbincangan ayat Al-Qur’an, An-Naisaburi konon selalu
mempertanyakan perihal segi hubungan antara bagian demi bagian dan
antara ayat demi ayat Al-Qur’an, serta selalu mempertayakan apa hikmah
yang terjadi di balik rangkaian ayat yang seperti ini? Namun kitab tafsir
An-Naisaburi yang dimaksud sukar dijumpai sekarang. Sebagaimana

72
[Type here]

dinyatakan Adh-Dhahabi, besarnya perhatian An-Naisaburi terhadap


munasabah nampak dari ungkapan As-Suyuti yaitu;
“Setiap kali ia (An-Naisaburi) duduk di atas kursi apabila dibacakan Al-
Qur’an kepadanya, beliau berkata: Mengapa ayat ini diletakkan di samping
ayat ini, dan apa rahasia diletakkan surat ini di samping surat ini? Beliau
mengkritik para ulama’ Baghdad lantaran mereka tidak mengetahui”.
Tindakan An-Naisaburi merupakan kejutan dan langkah baru dalam
dunia tafsir waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap
persesuaian, baik antar ayat maupun antar surat, terlepas dari segi tepat
atau tidaknya. Satu hal yang jelas, beliau dipandang sebagai bapak Ilmu
Munasabah. Dalam perkembangannya, Ilmu Munasabah meningkat
menjadi salah satu cabang dari ilmu-ilmu Al-Qur’an. Ulama-ulama yang
datang kemudian menyusun pembahasan ilmu munasabah secara khusus.
Pengetahuan tentang munasabah ini sangat bemanfaat dalam memahami
keserasian antar makna, mukjizat Al-Qur’an secara retorik, kejelasan
keterangannya, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya
bahasanya. Hal ini sebagaimana dijelaskan firman Allah:

artinya: “Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan


secara terinci, diturunkan dari sisi Allah Yang Maha bijaksana dan Maha
mengetahui.” (QS. Hud/11:1).
C. Macam-macam Munasabah Dalam Al-qur’an
Dalam Al-Qur’an sekurang-kurangnya terdapat tujuh macam
munasabah. yaitu sebagai berikut:
1. Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya As-Sayuti
menyimpulkan bahwa munasabah antar stau surta dengan surat
sebelumnya berfungsi menerangkan atau menyempurnakan
ungkapan pada surat sebelumya. Sebagai contoh Qur’an surat Al-
Baqarah ayat 2
‫ذالكˆ الكتب ال ريب فيه‬...
Artinya : inilah kitab yang tidak ada keraguan padanya. Korelasi
dengan surat Ali Imran ayat 3
‫ق مص ّدقا لّما بين يديه وأنزال‬
ّ ‫ن ّزل عليك الكتب با الح‬
‫التوراىة واألانجيل‬
Artinya: Dia menurunkan Al-Kitab kepadamu dengan sebenarnya;
membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan
menurunkan Taurat dan Injil.
2. Munasabah Antarnama Surat dan Tujuan Turunnya Setiap surat
mempunyai tema pembicaraan yang menonjol. Hal itu tercrmin
pada namanya masing-masing. Misalnya Surat Al-Baqarah (sapi
betina) bercerita tentang Nabi Musa dan kaumnya tentang sapi
betina yang harus disembelih oleh Bani Isra’il (Al-Baqarah ayat
67-71). Cerita tentang sapi betina dalam ayat tersebut dapat

73
[Type here]

diambil tujuan turunnya surat, yaitu kekuasaan Tuhan


membangkitkan orang mati. Dengan kata lain tuajuannya adalah
menyangkut keimanan pada hari kemudian dan menyangkut
kekuasaan Tuhan.
3. Munasabah Antar Bagian Suatu Ayat Munasabah antar bagian
suatu ayat sering berbentuk pola munasabah perlawanan.
Contohnya pada Surat Al-Hadid ayat 4:
‫يعلم ما يلج فى األرض وما يخرج منها وما ينزل من‬
‫السّماءوما يعرج فيها‬
Artinya :...Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan
apa yang keluuar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa
yang naik kepadanya... Dari kata-katanya sudah sangat jelas
terdpat korelasi yang berlawanan.
4. Munasabah Atarayat yang letaknya berdampingan Munasabah
antarayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas,
namun sering pula tidak jelas. munasabah antarayat yang terlihat
jelas umumnya menggunakan pola ta’kid(penguat), tafsir
(penjelas), i’tiradh(bantahan), dan tasydid(penegasan).
5. Munasabah Antar Suatu Kelompok Ayat dengan Kelompok Ayat
di Sampingnya. Dalam surat al-Baqarah ayat 1 sampai 3,misalnya,
Allah memulai penjelasan-Nya tentang kebenaran dan fungsi al-
Qur’an bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat-
ayat berikutnya dibicarakan tiga kelompok manusia dan sifat
merekayang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.
6. Munasabah Antar Fashilah (pemisah) dan Isi Ayat Macam
munasabah ini mengandung tujuan tertentu. Diantaranya adalah
menguatkan makna yang terkandung dalam suatu ayat.
Umpamanya dalam surat an-Naml ayat 80:
‫ص ّم ال ّدعاء إذا ولّو̂ا‬
ّ ‫إنّك ال تسمع الموتى وال تسمع ال‬
‫مدبر ين‬
Artinya: Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang
yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang
yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling
membelakang.
7. Munasabah Antar Awal Surat dengan Akhir Surat yang Sama
Tentang munasabah ini, as-Suyuti mengarang sebuah buku yang
berjudul Marasid al-Mathali fi Tanasub al-Maqti wa al- Mathali.
Contoh munasabh ini terdapat dalam surat al-Qashas yang bermula
dengan menjelaskan perjuangan Nabi Musa dalam menghadapi
kekejaman Fir’aun.Atas perintah dan pertolongan Allah, Nabi
Musa berhasil keluar dari Mesir dengan penuh tekanan. Di akhir
surat, Allah menyampaikan kabar gembira kepada Nabi

74
[Type here]

Muhammad yang menghadapi tekanan dari kaumnya dan jajni


Allah atas kemenangannya. Di awal surat dikemukakan bahwa
Nabi Musa tidak akan menolong orang kafir. Munasabah di sini
terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi
tersebut.
8. Munasabah Antar Penutup Suatu Surat dengan Awal Surat
Berikutnya Jika diperhatiakn pada setiap pembukaan surat,
dijumpai munasabah dengan akhir surat sebelumnya, sekalipun
tidak mudah untuk mencarinya. Umpamanya, pada permulaan
surat Al-Hadiddi mulai dengan tasbih:
‫سبّح هلل ما فى السّموات واألرض وهوالعز الحكيم‬
Artinya : Semua yang ada di langit dan bumi bertasbih kapada
Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. Ayat ini munasabah dengan akhir
sebelumnya, al-Waqi’ah yang memerintahkan bertasbih:
‫فسبّح با سم ربّك العظيم‬
Artinya : Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
Yang Maha Besar.

D. Dasar-Dasar pemikiran adanya Munasabah dalam Al-Qur’an


Ash-Shatibiy menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung
banyak masalah, namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu
dengan yang lainnya. Sehingga seseorang jangan hanya mengarahkan
pandangan pada awal surah, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir
surah, atau sebaliknya. Karena bila tidak demikian akan terabaikan maksud
ayat-ayat yang diturunkan itu.
Mengenai hubungan antara satu ayat atau surah dengan ayat atau surah
lain (sebelum atau sesudah), tidaklah kalah pentingnya dengan mengetahui
sebab nuzul ayat. Sebab mengetahui adanya hubungan antara ayat dan surat-
surat itu dapat pula membantu kita memahami dengan tepat ayat-ayat dan
surat-surat yang bersangkutan.
Ilmu munasabah dapat berperan mengganti ilmu asbab an-nuzul, apabila
kita tidak dapat mengetahui sebab turunya suatu ayat, tetapi kita bisa
mengetahui adanya relevansi ayat-ayat itu dengan ayat lainnya. Sehingga
dikalangan ulama’ timbul masalah: mana yang di dahulukan antara
mengetahui sebab turunnya ayat dengan mengetahui hubungan antara ayat itu
dengan ayat lain. Seorang ulama’ bernama burhanuddin al-Biqa’i menyusun
kitab yang sangat berharga dalam ilmu ini, yang diberi nama: “ Nazm ad-
Duwar Fi Tanasub al- Ayat Wa as-Suwar”.
Segolongan dari antara ulama’ islam ada yang berpendapat, bahwa ayat-
ayat Al-Qur’an itu satu dengan yang lain ada hubungannya, selalu ada

75
[Type here]

relevansinya dengan ayat atau surat yang lainnya. Ada pula yang berpendapat,
bahwa hubungan itu tidak selalu ada. Hanya memang sebagian besar ayat-ayat
dan surah-surah ada hubungannya satu sama lain. Di samping itu, ada pula
yang berpendapat, bahwa mudah mencari hubungan antara suatu ayat dengan
ayat yang lainnya, tetapi sukar sekali mencari hubungan antara suatu suarat
dengan surat yang lain.
E. Faedah Ilmu Munasabah
Secara umum, ada empat hal yang menunjukkan pentingnya kajian
tentang munasabah dalam Al-Qur’an:
1. Mengetahui kolerasi antara ayat dengan ayat atau surah dengan surah
menunjukkan, bahwa Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh
tersusun secara sistimatis dan berkesinambungan, walaupun diturunkan
secara terpisah-pisah dalam rentang waktu sekitar 23 tahun. Hal ini akan
memperkuat keyakinan, bahwa Al-Qur’an merupakan mukjizat dari Allah
swt.
2. Munasabah memperlihatkan keserasian susunan redaksi ayat-ayat maupun
kalimat-kalimat Al-Qur’an sehingga keindahannya dapat dirasakan
sebagai hal yang sangat luar biasa bagi orang yang memiliki dhauq’araby.
3. Mengetahui persambungan atau hubungan antara bagian Al-Qur’an, baik
antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surah-surahnya yang satu
dengan yang lain, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan
pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an, dan memperkuat keyakinan
terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya. Karena itu, ‘Izzud Abd. Salam
mengatakan, bahwa Ilmu Munasabah itu adalah ilmu yang baik sekali.
Ketika menghubungkan kalimat yang satiu dengan kalimat yang lain,
beliau mensyaratkan harus jatuh pada hal-hal yang berkaitan betul, baik di
awal maupun di akhirnya.
4. Dengan Ilmu Munasabah akan sangat membantu dalam menafsirkan ayat-
ayat Al-Qur’an, setelah di ketahui hubungan sesuatu kalimat atau sesuatu
ayat dengan kalimat atau ayat yang lain, terutama terhadap ayat-ayat yang
tidak memiliki sabab an-nuzul, sehinnga dalam menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur’an sangat mempermudah pengistimbatan hukum-hukum atau isi
kandungannya.

F. Urgensi Munasabah Dalam Penafsiran Al-qur’an


Ilmu munasabah merupakan bagian dari ilmu-ilmu al-Qur’an yang
posisinya sangat penting dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-
Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Hal ini karena suatu
ayat dengan yang lain memiliki keterkaitan, sehingga bisa saling
menafsirkan. Dengan demikian al-Qur’an adalah kesatuan yang utuh yang
jika dipahami sepotong-sepotong akan terjadi model penafsiran atomostik.
Secara mudahnya ilmu munasabah berfungsi sebagai ilmu pendukung
ilmu tafsir. Bahkan tidak jarang pendekatan ilmu munasabah, penafsiran
akan semakin jelas, mudah dan indah. Sehingga ilmu munasabah cukup

76
[Type here]

memiliki peranan dalam mengingatkan kualitas penafsiran ayat-ayat al-


Qur’an.
Menurut Az-Zakasyi munasabah adalah ilmu yang sangat mulia, dengan
ilmu ini bisa diukur kemampuan (kecerdasan) seseorang, dan dengan ilmu
ini pula bisa diketahui kadar pengetahuan seseorang dalam
mengemukakan pendapat/pendiriannya. Banyak para analis tafsir yang
menyatakan adalah salah dugaan sebagian orang memandang tidak perlu
melakukan penggalian ilmu munasabah dalam menafsirkan al- Qur’an.
Karena ilmu tafsir tanpa ilmu munasabah itu tidaklah sempurna.
Suatu hal yang patut diingatkan di sini adalah bahwa pekerjaan mencari
hubungan antara 77esame ayat al-Qur’an memang bukan merupakan
perkara mudah yang bisa dilakukan sembarang orang. Menelusuri
munasabah al-Qur’an antar bagian demi bagian merupakan pekerjaan yang
benar-benar menuntut ketekunan dan kesabaran seseorang, bahkan boleh
jadi hanya mungkin dilakukan manakala orang yang bersangkutan
memang bersungguh-sungguh memiliki keinginan untuk itu. Karenanya,
mudah dipahami jika kenyataan memang menunjukkan bahwa tidak begitu
banyak mufassir yeng melibatkan ilmu munasabah dalam memaparkan
penafsiran al- Qur’an.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Munasabah adalah ilmu ilmu atau pengetahuan yang membahas tentang
hubungan al-Qur’an dari berbagai sisinya. Cara mengetahui munasabah adalah
dengan cara mencari terlebih dahulu topik yang dibicarakan diayat tersebut,
mencari sub-bab dari topik dan mencari unsur-unsur dari subtopik. Urgensi dan
manfaat dari ilmu munasabah adalah sebagai pendukung ilmu tafsir,
mengokohkan pembicaraan yang satu dengan yang lain, membantu dalam
pentakwilan pemahaman dengan baik dan cermat, dapat mengetahui kesesuaian
antar ayat dan antar surat, dann lain sebagainya.

77
[Type here]

DAFTAR PUSTAKA
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43116/1/BUKU
%20DISKURSUS%20MUNASABAH%20ALQURAN%20DALAM
%20TAFSIR%20AL-MISHBAH%20BY%20HASANI.pdf
http://makalahkampus15.blogspot.com/2017/10/makalah-studi-quran-
munasabah-al-quran.html

78
[Type here]

AL-MUHKAM DAN AL-MUTASYABIH

Makalah

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Studi Al-Qur’an

Dosen Pengampu:

Dr. H. Makinuddin, S.H, M.Ag.

Oleh:

Muhklas Thohari (05040320089)

Mahmudin Samin (05040320085)

Taufiqurrhman

Muhammad Farid

SEMESTER 2

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

2021

79
[Type here]

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr-Wb

Puji syukur kehadirat Allah yang Maha Kuasa atas liampahan nikmat yang
selalu diberi-Nya kepada kita. Juga solawat serta salam semoga tetap
tersembahkan kepada Nabi akhiruzzaman yang telah memberi jalan yang hak
terhadap kita sebagai ummat manusia.

Kami selaku dari kelompok yang diberi mandat untuk mempresentasikan


makalah yang berjudul pengertian al-muhkam dan al-mutasyabih, tentunya kami
sangatlah berterima kasih kepada bapak Dr. H. Makinuddin, S.H, M.Ag. yang
telah mengampu dalam mata kuliah ini. Karena dengan tugas ini kami banyak
mendapatkan banyak informasi tentang al-muhkam dan al-mutasyabih. Semoga
dengan makalah yang kami buat ini banyak pelajaran yang dapat diperoleh oleh
pembaca terutama pemuat.

Juga kami mengharap kepada pembaca untuk sudinya memberikan


masukan serta saran terhadap makalah yang telah kami susun ini, karena makalah
ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan.

Wassalamualaikum Wr-Wb

Bangkalan, 04 Mei 2021

Penulis

80
[Type here]

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kitab Al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab. Maka dari itu, untuk
memahami hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an diperlukan 
pemahaman dalam kebahasaan. Para ulama’ yang ahli dalam bidang ushul fiqh,
telah mengadakan penelitian secara sesama dan secara cermat terhadap nash-nash
al-Qur’an, lalu hasil penelitian itu diterapkan dalam kaidah-kaidah yang menjadi
pedoman umat Islam supaya bisa memahami kandungan al-Qur’an dengan baik
dan benar.
Adapun ilmu yang mempelajari tentang muhkam dan mutasyabih adalah
Ilmu muhkam wal Mutasyabih. Ilmu ini dilatar belakangi oleh adanya perbedaan
pendapat ulama tentang adanya hubungan ayat atau surat yang lain. Sementara
yang lain mengatakan bahwa didalam Al-Qur’an ada ayat atau surat yang tidak
berhubungan. Oleh karena itu, suatu ilmu yang mempelajari ayat atau surat Al-
Qur’an begitu penting posisinya. Di sisi lain muhkam dan mutasyabih adalah
Sebuah kajian yang sering menimbulkan kontroversial dalam sejarah penafsiran
Al-Qur’an, karena perbedaan interpretasi/penafsiran antar ulama mengenai
hakikat muhkam dan mutasyabih.

B. Rumusan masalah

1. Apa Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih?

81
[Type here]

2. Apa Saja Krateristik al-Muhkam dan al-Mutasyabih?

3. Bagaimana Pendapat Para Ulama’ Terhadap Ayat-ayat al-Muhkam dan al-


Mutasyabih?

4. Apa Saja Penyebab Ayat Muhkam dan Mutasyabih?

5. Apa Saja Maca-macam Ayat Muhkam dan Mutasyabih?

C. Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih

2. Mengetahui krakteristik al-Muhkam dan al-Mutasyabih

3. Mengetahui Pendapat Para Ulama’ Terhadap Ayat-ayat al-Muhkam dan al-


Mutasyabih

4. Mengetahui Sebab-sebab Ayat al-Muhkam dan Mutasyabih

5. Mengetahui Macam-macam Ayat al-Muhkam dan Mutasyabih

BAB II

PEMBAHASAN

82
[Type here]

A. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih

Kata Muhkam berasal dari kata  Ihkam, yang mempunyai arti kekukuhan,


kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Sedangkan secara
terminologi, Muhkam adalah ayat-ayat yang telah kongkret maknanya, dan tidak
membutuhkan keterangan dari ayat-ayat lain. Kata Mutasyabih berasal dari
kata tasyabuh, secara etimologi berarti keserupaan dan kesamaan yang bisa
mengarah kepada kesamaran antara dua hal. Sedangkan secara
terminoligi Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelas dalam maksudnya, dan
mempunyai banyak kemungkinan takwilnya, maknanya yang tersembunyi dan
memerlukan keterangan tertentu, atau hanya Allah yang mengetahuinya dari
redaksi tersebut.11

Ibnu Abbas berpendapat bahwa Muhkam adalah ayat yang penakwilannya


cuma mengandung makna yang tunggal. Sedangkan Mutasyabihat adalah ayat
yang mengandung pengertian bervariasi atau bermacam-macam. Menurut
prespektif Imam as Suyuthi muhkam adalah suatu yang jelas artinya,
sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya. Sedangkan menurut Manna’ Al
Qaththan, Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung
tanpa memerlukan penjelasan dari ayat lain. Sedangkan Mutasyabih sebaliknya, ia
memerlukan keterangan dari ayat lain yang ditunjuknya.

Dengan demikian al-Muhkam adalah ayat yang sudah jelas dari segi makna
dan lafadznya, serta mudah difahami. Sedangkan al-Mutasyabih adalah ayat-ayat
yang masih bersifat global dan membutuhkan ta’wil serta sukar untuk difahami.

B. Krakteristik al-Muhkam dan al-Mutasyabih

11
Anwar, Rosihon. 2012. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.

83
[Type here]

Begitu banyak kontroversial pendapat mengenai muhkan dan mutasyabih,


sungguh lumayan menyulitkan untuk membuat sebuah kriteria ayat yang termasuk
muhkan dan mutasyabih.

Mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat barwa yang termasuk


kriteria ayat-ayat muhkam adalah jika ayat-ayat tersebut berhubungan dengan
kenyataan. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah yang menuntut harus ada
penelitianpenelitian.

Ar-Raghib al-Ashfihani berpendapat bahwa kriteria ayat-ayat muhkam dan


mutasyabih sebagai berikut :

1. Al-Muhkam
a. Ayat-ayat yang membatalkan ayat lain
b. Ayat-ayat yang menghalalkan atau membatalkan ayat lain
c. Ayat-ayat yang mengandung kewajiban yang harus diimani dan diamalkan
2. Al-Mutasyabih
a. Ayat-ayat yang tidak diketahui hakikat maknanya seperti tibanya hari kiamat
b. Ayat-ayat yang dpat diketahui maknanya sarana bantu baik itu dengan ayat
muhkan atau hadist
c. Ayat yang hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmunya ,
seperti do’a Rasulallah untuk Ibnu Abbas “yaa Allah karuniailah ia ilmu
yang mendalam mengenai ilmu agama dan limpahkanlah pengetahuan
tentang ta’wil kepadanya”12

C. Perbedaan Pendapat Para Ulama’ Terhadap al-Muhkam dan Mutasyabih

Kita sudah sering menemukan ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an


yang penjelasannya memerlukan penjelasan dari ayat-ayat yang lain. Mengenai
hal tersebut, para ulama memiliki pendapat yang bersifat kontroversi Antara lain:

1. Kalangan Ulama Hanafiyah berpendapat, lafadz muhkam ialah lafadz


yang jelas petunjuknya, dan tidak mungkin telah dinasikh kan. Sedang
lafadz mutasyabih adalah lafadz yang sama maksud petunjuknya
sehingga tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia. Sebab
lafadz mutasyabih itu termasuk hal-hal yang diketahui Allah saja
artinya. Contohnya seperti hal-hal yang ghaib.

12
Ibid.

84
[Type here]

2. Mayoritas ulama golongan ahlu fiqh yang berasal dari pendapat


sahabat Ibnu Abbas mengatakan, lafadz muhkam ialah lafadz yang
tidak bisa dita’wil kecuali satu arah. Sedangkan
lafadz mutasyabih adalah artinya dapat dita’wilkan dalam beberapa
segi, karena masih sama.
3. Madzhab salaf, yaitu para ulama dari generasi sahabat. Mereka
berusaha untuk mengimaninya dan menyerahkan makna serta
pengertiannya hanya kepada Allah SWT. Bagi kaum salaf, ayat –
ayat mutasyabihat tidak perlu dita'wilkan. Sebab yang mengetahui
hakikatnya hanyalah Allah SWT, mereka hanya berusaha
mengimaninya.
4. Madzhab khalaf, seperti Imam Huramain. Mereka berpendapat bahwa
ayat – ayat mutasyabihat harus ditetapkan maknanya dengan
pengertian yang sesuai dan sedekat mungkin dengan dzat-Nya. Mereka
menta'wil lafdz istiwa' (besemayam) dengan maha berkuasa
menciptakan sesuatu tanpa susah payah. Kalimat ja'a
rabbuka (kedatangan Allah) dalam Qs. Al-Fajr: 22, dita'wilkan dengan
kedatangan perintah-Nya.13

D. Sebab-sebab Adanya Mutasyabih

Sebab adanya ayat Muhkam dan Mutasyabih ialah karena Allah SWT
menjadikan demikian. Allah membedakan antara ayat – ayat yang Muhkam dari
yang Mutasyabih, dan menjadikan ayat Muhkam sebagai bandingan ayat yang
Mutasyabih.

Imam Ar-Raghib Al- Asfihani  dalam kitabnya Mufradatil Qur’an menyatakan


bahwa sebab adanya kesamaran dalam Alquran terdapat 3 hal, yaitu sebagai
berikut:

13
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1993. Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta:Bulan Bintang.

85
[Type here]

1. Kesamaran dari aspek lafal saja. Kesamaran ini ada dua macam, yaitu sebagai
berikut:14

a. Kesamaran dari aspek lafal mufradnya, karena terdiri dari lafal yang gharib
 

(asing), atau yang musyatarak (bermakna ganda), dan sebagainya.

b. Kesamaran lafal murakkab disebabkan terlalu ringkas atau terlalu luas. Contoh


tasyabuh (kesamaran) dalam lafal murakkab terlalu ringkas, terdapat di dalam
surah An-Nisa ayat 3:
َ ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء َم ْثن َٰى َوثُاَل‬
‫ث َو ُربَا َع‬ َ ‫ط‬َ ‫َوِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تُ ْق ِسطُوا فِي ْاليَتَا َم ٰى فَا ْن ِكحُوا َما‬
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat…”
Ayat di atas sulit diterjemahkan. Karena takut tidak dapat berlaku adil terhadap
anak yatim, lalu mengapa disuruh menikahi wanita yang baik-baik, dua, tiga atau
empat. Kesukaran itu terjadi karena susunan kalimat ayat tersebut terlalu singkat.

2. Kesamaran dari aspek maknanya, seperti mengenai sifat-sifat Allah SWT, sifat-
sifat hari kiamat, surga, neraka, dan sebagainya. Semua sifat-sifat itu tidak
terjangkau oleh pikiran manusia.

3. Kesamaran dari aspek lafal dan maknanya. Kesamaran ini ada lima aspek,
sebagai berikut:

a. Aspek kuantitas (al-kammiyyah), seperti masalah umum atau khusus.


Contohnya, ayat 5 surah At-Taubah:

‫فا قتلوا المشر كين حيث وجد تموهم (التو بة‬:

Artinya: “Maka bunuhlah kaum musyrikin itu di manapun kalian temukan


mereka itu”.
Di sini batas kuantitasnya yang harus dibunuh masih samar.

b. Aspek cara (al-kaifiyyah), seperti bagaimana cara melaksanakan kewajiban


agama atau kesunahannya. Contohnya, ayat 14 surah Thoha:

):‫واقم الصلوة لذ كر ى (طه‬

Artinya: “Dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku (Allah)”.

14
Ibid.

86
[Type here]

Dalam ayat ini terdapat kesamaran, dalam hal bagaimana cara salat agar
dapat mengingatkan kepada Allah SWT.
d. Aspek waktu, seperti batas sampai kapan melaksanakan sesuatu
perbuatan. Contohnya, dalam ayat 102 surat Ali Imran:

):‫يايها الذين امنوا اتقوا هللا حق تقاته (ال عمران‬

 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah


sebenar-benar taqwa kepada-Nya”.
Dalam ayat ini terjadi kesamaran, sampai kapan batas taqwa yang benar-
benar itu.
d.Aspek tempat, seperti tempat mana yang dimaksud dengan balik rumah,
dalam ayat 189 surah Al-Baqarah:

):‫وليس البر بآن تآتوا البيو ت من ظهور ها (البقة‬

Atinya: “ Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah, juga samar”.


Tempat mana yang dimaksud dengan baliknya rumah, juga samar.

D. Macam-macam al-Muhkam dan al-Mutasyabih

Macam-macam ayat Mutasyabihat ada tiga macam:15

1. Ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia,
kecuali Allah SWT. Contoh:

ِ ‫َو ِع ْن َدهُ َمفَاتِ ُح ْال َغ ْي‬


‫ب اَل يَ ْعلَ ُمهَا ِإاَّل هُ َو‬

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang
mengetahuinya, kecuali Dia sendiri” (QS. al-An’am: 59)

2. Ayat-ayat yang Mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan
pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Seperti pencirian mujmal,
menentukan mutasyarak, mengqayyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang
tertib.

3. Ayat-ayat Mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sains,
bukan oleh semua orang, apa lagi orang awam. Hal ini termasuk urusan-urusan

15
Hermawan, Acep. 2011. Ulumul Quran. Bandung:Remaja Rosdakarya.

87
[Type here]

yang hanya diketahui Allah SWT dan orang-orang yang rosikh (mendalam) ilmu
pengetahuan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

al-Muhkam adalah ayat yang sudah jelas dari segi makna dan lafadznya, serta
mudah difahami. Sedangkan al-Mutasyabih adalah ayat-ayat yang masih bersifat
global dan membutuhkan ta’wil serta sukar untuk difahami.

88
[Type here]

Kriteria ayat al-Muhkam dan al-Mutasyabih:

3. Al-Muhkam
d. Ayat-ayat yang membatalkan ayat lain
e. Ayat-ayat yang menghalalkan atau membatalkan ayat lain
f. Ayat-ayat yang mengandung kewajiban yang harus diimani dan diamalkan
4. Al-Mutasyabih
e. Ayat-ayat yang tidak diketahui hakikat maknanya seperti tibanya hari kiamat
f. Ayat-ayat yang dpat diketahui maknanya sarana bantu baik itu dengan ayat
muhkan atau hadist
Ayat yang hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmunya , seperti do’a
Rasulallah untuk Ibnu Abbas “yaa Allah karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai
ilmu agama dan limpahkanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya”

B. Saran

Selaku penulis kami sangat menyadari bahwa makalah yang sederhana ini
masih sangat jauh dari kata sempurna dan di dalamnya terdapat banyak kesalahan
yang mungkin tidak disadari oleh penulis. Maka dari itu kami sebagai penulis
mengharap kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah ini kepada
para pembaca pada umumnya dan kepada dosen pengampu pada khususnya.
Terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. 2012. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1993. Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta:Bulan Bintang.

Hermawan, Acep. 2011. Ulumul Quran. Bandung:Remaja Rosdakarya.

89
[Type here]

MAKALAH

I’JAZ AL-QUR’AN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

STUDI AL-QUR’AN

Dosen Pengampu:

Dr. H. Makinuddin, S.H, M. Ag.

Disusun Oleh:

Achmad Firmansyah 05040320069

Ahmad Mursalin 05040320071

Dea Ayu Mirela 05040320075

Devita Rianto 05040320076

SEMESTER 2

PRODI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2021

KATA PENGANTAR

90
[Type here]

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt penguasa seluruh alam semesta atas rahmat dan
karunianya penulis bisa menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa sholawat serta salam kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Makalah ini berjudul I’jaz Al-Qur’an untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Studi Al-
Qur’an dengan tepat waktu. Dengan terselesaikannya makalah ini, penulis berterimakasih
kepada kedua orang tua yang selalu mendoakan dan mendukung selalu. Tidak lupa juga kami
bertemikasih kepada Bapak Dosen Dr. H. Makinuddin, S.H, M. Ag. yang telah memberikan
pengetahuan tentang Studi Al-Qur’an. Dan juga berterimakasih kepada teman serta sahabat yang
telah telah memberikan sebagian pengetahuannya kepada penulis.

Penulis juga menyadari makalah masih jauh dari kata sempurna. Karena itu, kritik dan
saran yang membangun semoga menambah peningkatan bagi penulis. Semoga saja makalah ini
bisa bermanfaat bagi pembaca,dan menjadi amal sholeh bagi kita semua.

Kediri, 25 April 2021

Penulis

91
[Type here]

DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN MAKALAH

BAB II

PEMBAHASAN

A. SEJARAH I’JAZ AL-QUR’AN


B. PENGERTIAN MU’JIZAT AL-QURAN
C. MACAM-MACAM MU’JIZAT DAN SEGINYA
D. TUJUAN I’JAZ
E. HIKMAH I;JAZ

DAFTAR PUSTAKA

92
[Type here]

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
I’jāz Alqurān sebagai mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw, menjadi populer untuk digunakan dalam menggungulkan Alqurān dari teksteks
lain pada budaya Arab bahkan mukjizat-mukjizat Nabi lain sebelum Nabi
Muhammad. Menurut Quraish Shihab, pembicaraan mengenai mukjizat Alqurān
adalah tentang bagaimana mukjizat (bukti kebenaran) itu datang dari dalam Alqurān
itu sendiri, bukan kebenaran yang datang dari luar atau faktor luar. Para ulama
berpendapat bahwa Alqurān dapat difahami sebagaimana keseluruhan dari firman
Allah tersebut, tetapi juga dapat bermakna dari sepenggal ayat-ayat dalam Alqurān
itu sediri.
, I’jaz adalah bagaimana karakteristik teks yang membedakannya dari teks-
teks lain dalam kebudayaan, dan yang menjadikannya lebih unggul daripada teks-
teks tersebut. Sedangkan Manna al-Qaththan mendefinisikan i’jaz ialah kenampakan
kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai Rasul, dengan menampakkan
kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu al-Qur’an,
dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah i’jaz Al-Qur’an?
2. Apa pengertian mu’jizat?
3. Apa saja macam-macam mu’jizat ?
4. Hikmah apa saja yang dapat di ambil?
C. TUJUAN MAKALAH
Untuk menambah wawasan kita tentang i’jaz Al-Quran dan memahami apa
macam-macam mu’jizat dan hikmah apa saja yang dapat kita ambil dari materi i’jaz
Al-Quran ini.

93
[Type here]

BAB II

PEMBAHASAN

I’JAZ AL-QURAN

A. SEJARAH I’JAZ AL-QUR’AN


Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, I’jaz adalah bagaimana karakteristik teks
yang membedakannya dari teks-teks lain dalam kebudayaan, dan yang
menjadikannya lebih unggul daripada teks-teks tersebut. Sedangkan Manna al-
Qaththan mendefinisikan i’jaz ialah kenampakan kebenaran Nabi dalam
pengakuannya sebagai Rasul, dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk
menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu al-Qur’an, dan kelemahan generasi-
generasi sesudah mereka. Hampir serupa dengan yang disampaikan oleh Manna,
disampaikan oleh Quraish Shihab bahwa mukjizat didefinisikan sebagai suatu hal
atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku nabi, sebagai
bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada yang ragu, untuk mendatangkan atau
melakukan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan itu.
Mengenai konsep I’jaz dalam Alquran sendiri telah banyak dikaji oleh
banyak kalangan. Telah banyak karya yang membahas mengenai I’jaz al-Qur’an.
Karyanya pun selalu bermunculan dalam masa yang berbeda-beda, sehingga
memunculkan karakteristik I’jaz yang beragam. Tulisan ini akan mencoba mengkaji
mengenai perkembangan I’jaz dari masa ke masa dengan menggunakan buku karya
Dr. Issa J. Boullata sebagai referensi utama yakni I’jaz al-Qur’an al-Karim ‘Abra at-
Tarikh yang telah diterjemahkan ke dalam versi bahasa Indonesia, dengan judul Al-
Qur’an yang Menakjubkan.
Konsep mengenai I’jaz Alquran sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Nabi
dan para sahabat, walaupun tidak spesifik menggunakan istilah “I’jaz”. Istilah I’’jaz
baru dicetuskan pertama kali oleh Abul Hasan ar-Rummani pada tahun 996 M.
dalam karyanya al-Nukat fi I’jaz al-Qur’an. Sejarah I’jaz timbul tidak terlepas dari
kedua kubu besar yang berseteru mengenai hakikat Alquran. Muktazilah dan Sunni.
Muktazilah yang berpendapat bahwa Alquran adalah Hadits (baru) dengan dalih
bahwa senyatanya Alquran ini terikat oleh huruf-huruf. Juga konsepsi penurunan

94
[Type here]

Alquran yang berarti bahwa Alquran merupakan perbuatan dari Kalamullah.


Sedangkan golongan Sunni yang diwakili oleh Abu al-Hasan al-Asy’ariy, yang
dulunya mengikuti aliran Muktazilah, dan Abu Manshur al-Maturidi. Keduanya
berpendapat bahwa Alquran yang dibawakan oleh Nabi Muhammad merupakan
kalam Allah yang majazy dan masih ada kalam Allah yang hakiki yang bersifat
Qadim yakni sifat Allah ‘kalam’. Dari sini timbul pemahaman bahwa Muktazilah
berpegang bahwa Alquran menjadi sumber inspirasi yang bisa digali sedalam-
dalamnya oleh manusia karena telah turun dalam bahasa manusia (sifatnya
antroposentris). Sedangkan golongan Sunni memiliki pemahaman bahwa Alquran
merupakan bukti realitas dari Kalamullah yang hakiki yang berada di Lauh Mahfudz
sehingga manusia hanya bisa memahami sebagian makna Alquran saja.
Dalam konsep I’jaz, tokoh-tokoh yang berkembang nantinya banyak yang
bermunculan dari kubu Muktazilah. Hal ini karena pemahaman terhadap Alquran
yang memang menjadi landasan hidup bagi manusia sehingga penggalian terhadap
Alquran cukup serius dilakukan. Untuk mempermudah pembahasan kali ini, akan
dipaparkan rangkuman tabel perkembangan I’jaz.

Tokoh Wafat Karya


Hisyam al-Fuwathi 218 H / 833 M
an-Nazhzham 232 H / 846 H
Abu Utsman al-Jahizh 255 H / 869 M Hujjah al-Nubuwwa
Nazhm al-Qur’an
Ali bin Raban ath-Thabari 250 / 864 M ad-Din wa ad-Dawlah
As-Sijistani 316 H / 928 M
al-Balkhi 322 H / 933 M
Ibn al-Ikhsyid 326 H / 937 M
Abu al-Hassan al-Rummani 386 H / 996 M al-Nukat fi I’jaz al-Qur’an
Abu Sulaiman al-Khaththabi 388 H / 998 M Bayan I’jaz al-Qur’an
Abu Bakar M. Al-Baqillani 403 H / I’jaz al-Qur’an
1013M
Qadhi Abdul Jabbar 415 H / al-Mughni fi Abwab at-

95
[Type here]

1025M Tawhid wa al-Adl


Abdul Qahir al-Jurjani 470 H / Dalail al-I’jaz
1078M Asrar al-Balaghah
az-Zamakhsyari 538 H / 1144 al-Kasysyaf
M
Fakhruddin ar-Razi 606 H /
1209M
as-Sakkaki 626 H / 1229

Burhanuddin al-Biqai 885 H / 1480 Nazhm ad-Durar fi


M Tanasub al-Ay wa as-
Suwar
Muhammad Abduh 1905 M Risalah at-Tauhid
Tafsir al-Manar
Abdul Alim 1993 M
Na’im al-Himshi Menyusul
Abdul Alim
Abdul Karim al-Khatib 1964 I’jaz alQur’an
Musthafa Shadiq al-Rafii 1973 M I’jaz al-Qur’an wa al-
Balaghah wa an-
Nabawiyyah
Sayyid Quthub 1966 M al-Muqtathaf (1939)
Masyahid al-Qiyamah fi
al-Qur’an
Aisyah Abdurrahman bintu 1998 M Tafsir al-Bayan
Syahthi
M. Quraish Shihab Mukjizat al-Qur’an

Konsep I’jaz pada awalnya condong kepada dakwah Muhammadiyah, yaitu


dalam rangka penyebaran agama Islam dengan cara mengalahkan hujjah-hujjah

96
[Type here]

yang diutarakan oleh lawan, biasanya permasalahan yang dibahas adalah masalah
teologi. Model lain I’jaz pada masa awal ini adalah penyampaian berita-berita gaib
dan kabar-kabar masa dahulu yang pada masa itu sangat sulit untuk ditemukan.
Kecondongan I’jaz ini sampai pada masa al-Jahiz dan ath-Thabari. Salah satu yang
cukup menarik adalah konsep sharfah yang dikeluarkan oleh an-Nazhzham, seorang
tokoh Muktazilah.

Masuk ke masa Abu al-Hasan ar-Rummani, konsep I’jaz lebih condong kepada
dunia Balaghah. Ar-Rummani adalah tokoh pertama yang menggunakan istilah
“I’jaz” yang disandingkan dengan lafal “Alquran”. Ar-Rummani menegaskan bahwa
balaghah Alquran berada pada puncak keindahan, sementara manusia hanya mampu
mencapai tingkat balaghah yang paling rendah. Seiring berkembangnya masa,
muncul tokoh-tokoh I’jaz Alquran yang pembahasan Balaghah semakin terfokus.
Seperti al-Baqillani yang fokus I’jaz-nya pada uslub (gaya bahasa) Alquran. Ahli
Balaghah lain yang menjadi sorotan adalah Abdul Qahir al-Jurjani yang
mengemukakan konsep nadzm dalam I’jaz Alquran. Menurutnya, I’jaz Alquran
terletak pada pemilihan kata (diksi) lalu menyusunnya dengan pola tertentu hingga
tampak makna yang dimaksudkan. Al-Jurjani merupakan bapak strukturalisme yang
pertama kali mengemukakan secara final konsep penataan dan susunan (nazhm)
Alquran.
Pada masa berikutnya muncul Muhammad Abduh dengan tafsirnya al-Manar
dan kitab teologinya Risalah Tauhid. I’jaz Abduh tidak terpaku dengan kajian
Balaghah yang menurutnya begitu rumit. Abduh mencoba memperkenalkan
pandangan baru dalam pemahaman I’jaz Alquran. Fokus yang diambil Abduh lebih
kepada bagaimana Alquran menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat muslim,
layaknya seperti pada zaman Nabi dan para sahabat yang menjadikan Alquran
sebagai sumber inspirasi. Hal ini terbukti dengan tafsirnya yang bercorak al-adab al-
ijtima’iy (civil society: orientasi kepada masyarakat).
Namun pada periode berikutnya muncul nama Sayyid Quthub yang
mengembalikan kembali pemahaman I’jaz Alquran ke dalam dunia Balaghah.
Menurutnya, Alquran mengungkapkan dengan gambaran konkrit imajinatif terhadap
makna-makna abstrak, suasana jiwa, pemandangan yang terlihat, dalam setiap uslub-

97
[Type here]

uslub-nya. Sehingga berpengaruh terhadap jiwa pendengar. Hal yang hampir serupa
muncul pada masa Aisyah Abdurrahman bintu Syathi. Dalam kajian I’jaz-nya, Bintu
Syathi (nama pena) mengemukakan bahwa I’jaz Alquran bukan hanya sekedar
keterkaitan antar kata, diksi, ataupun uslub-uslubnya. I’jaz Alquran yang
dikemukakan hingga mencapai tataran huruf-hurufnya, semisal adalah huruf qasam
(sumpah).
Berikutnya, karya dalam hal I’jaz Alquran pada masa sekarang adalah karya
M. Quraish Shihab. Di dalamnya terdapat tiga pembahasan I’jaz yang dikemukakan
oleh Quraish Shihab yakni dalam tataran bahasa, isyarat ilmiah, dan pemberitaan
gaib. Hal baru yang diajukan oleh Quraish Shihab adalah bahwa Alquran
mengandung isyarat-isyarat ilmiah yang ternyata banyak tersingkap dalam
perkembangan zaman. Bahkan hingga sekarang banyak peneliti yang mengkaitkan
penemuan-penemuan mereka dengan Alquran. Dalam bukunya Quraish Shihab
memberikan contoh ihwal reproduksi manusia, ihawal kejadian alam semesta, ihwal
pemisah dua laut, dan masih banyak yang lain.

98
[Type here]

B. PENGERTIAN I’JAZ (MUKJIZAT )AL-QUR’AN


1. Pengertian Mukjizat (I’jaz)
Kata mukjizat berasal dari kata a’jaza-yu’jizu-i’jaz yang memiliki arti
membuat seseorang atau sesuatu menjadi lemah dan tidak berdaya apapun.
Sedangkan menurut Hasan Dhiyauddin, kata mukjizat merupakan isim fa’il
(pelaku pekerjaan) yang berasal dari kata al-‘ajzu yang berati antonim dari
mampu (al-qudrah), sehingga diartikan sebagai sesuatu yang melemahkan
penentangnya ketika terdapat sebuah tantangan, dan huruf ha’ pada kata
mukjizat dalam bahasa arab diartikan mubalaghah (superlatif).
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan mukjizat berarti
peristiwa ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia.Terdapat
beberapa pengertian mukjizat yang dikemukakan oleh Ulama. Imam Al-Jurjani
dalam kitab ta’rifat mendefinisikan mukjizat dengan perkara yang terjadi di luar
adat kebiasaan yang mengajak kepada kebaikan dan kebahagiaan dengan
disandarkan kepada pengakuan kenabian seorang Nabi yaitu bertujuan untuk
menampakkan kebenaran orang yang mengaku-ngaku dirinya sebagai utusan
dari Allah SWT. Definisi mukjizat lain diungkapkan oleh Fakhruddin Al-Razi,
Mukjizat biasanya diartikan sebagai perkara ajaib.
Definisi ini berdasarkan pada surat Al-Ankabut ayat 50:
Artinya: “Dan orang-orang kafir Mekah berkata: "Mengapa tidak diturunkan
kepadanya mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?" Katakanlah: "Sesungguhnya
mukjizat-mukjizat itu terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya aku hanya
seorang pemberi peringatan yang nyata".
2. Pengertian Kemukjizatan Al-Qur’an
Telah dijelaskan pada keterangan di atas bahwa mukjizat merupakan bentuk
isim fa’il. Jadi, kata kemukjizatan yang dalam bahasa arab yaitu i’jaz merupakan
berupa isim masdar yang menunjukkan arti bentuk mukjizat atau dengan arti
dasarnya berupa melemahkan atau membuat sesuatu tidak mampu. Sedangkan
secara arti kata dari fi’il madhi a’jaza bermakna tidak memiliki kemampuan atau
kekuatan. Kata qara'a dengan makna bacaan tidak dikenal dalam masyarakat

99
[Type here]

Arab pra-Islam. Mereka mengunakan kata tersebut untuk seekor onta yang
mandul. Seperti kalimat (‫) قط سˆˆلى تقˆˆرأ لم الناقˆˆة ھذه‬Kemudian kata qara'a dengan
makna bacaan seperti yang kita kenal sekarang adalah hasil arabisasi (serapan)
dari bahasa Armenia yang sudah dikenal jauh sebelum Islam. Kemudian pada
perjalanan selanjutnya, kata al-Qur’an yaitu kitab suci agama Islam yang dikenal
luas oleh masyarakat, baik muslim maupun non-muslim. Tetapi ketika al-Qur’an
menjadi istilah tetap, justru menimbulkan problematika definitif tersendiri. Al-
Qur'an, dalam timbangan ilmu logika, merupakan bagian dari wahyu,
sebagaimana Taurat, Injil, Zabur, dan yang lain dari semua jenis wahyu.
Sebagimana diketahui, dalam ilmu logika. Jika kita berkata "mukjizat Alquran"
maka ini berarti bahwa mukjizat (bukti kebenaran) tersebut adalah mukjizat yang
dimiliki atau yang terdapat di dalam Alquran, bukan bukti kebenaran yang
datang dari luar al-Qur’an atau faktor luar. Alquran didefinisikan "firman-firman
Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril sesuai redaksi-Nya kepada nabi
Muhammad saw., dan diterima umat Islam secara tawatur." Para ulama
menegaskan bahwa "Alquran" dapat dipahami sebagai nama dari keseluruhan
firman Allah tersebut, tetapi juga dapat bermakna "sepenggal dari ayat-ayat-
Nya". Karena itu kata mereka, "jika anda berkata, saya hafal Alquran, padahal
yang anda hafal hanya satu ayat, maka ucapan anda itu tidak salah, kecuali jika
anda berkata, "saya hafal seluruh Alquran".
Dalam konteks uraian tentang kemukjizatan Alquran, maka yang dimaksud
dengan "Alquran" adalah satu surah walau pendek, atau tiga ayat atu satu ayat
yang panjang seperti ayat "al-Kursi" ada dalam surah al-Baqarah [2]:255.

C. MACAM-MACAM MU’JIZAT (I’JAZ) DAN SEGINYA


1. Macam-macam I’jaz (Mu'jizat) Al-Qur’an Secara umum mu'jizat itu di bagi
menjadi dua klasifikasi:
a. Indrawi (hissiyah)
I’jaz (Mu'jizat) yang tampak dan dapat di tangkap oleh panca indera. I’jaz
(Mu’jizat) ini biasanya diperlihatkan kepada manusia biasa, yakni manusia yang
tidak bisa menggunakan kecerdasan pikirannya dan rendah hatinya, seperti

100
[Type here]

contoh Mu’jizat tongkat Nabi Musa yang dapat berubah menjadi ular dan dapat
membelah lautan, Mu'jizat Nabi Nuh membuat perahu yang sangat besar dalam
waktu yang cepat dan singkat, Nabi Ibrahim yang tidak terbakar dalam api.
Keseluruhannya bersifat indrawi dan sampai dengan wafat masing-masing Nabi.
b. Rasional (aqliyah)
I’jaz (Mu'jizat) yang hanya dapat dipahami oleh akal pikiran (rasional),
seperti contoh al-Qur'an sebagai Mu’jizat Nabi Muhammad atas umatnya yaitu
dari segi keindahan sastranya yang tidak seorangpun dapat menandinginya
karena itulah Mu’jizat al-Qur’an ini dapat dijangkau oleh setiap orang dan bisa
abadi sampai hari kiamat.

2. Dimensi I’jaz (Mu'jizat) Al-Qur'an


Melihat al-Qur’an yang termasuk Mu’jizat terbesar yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw. Di samping itu, al-Qur’an mempunyai Ijaz (mu'jizatnya) sendiri
yang dibagi menurut segi-seginya, yaitu:
a. Segi bahasa dan susunan redaksinya
Dari segi Bahasa al-Qur'an berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman hidup
umat manusia yang mampu membuat orang kagum karena isi kandungannya.
Bentuk mu’jizat yang terjadi dalam struktur syair, karangan, dan tulisan. Seperti
contoh Q.S An-Naziat: 1-5:
(4). ‫ت غَرْ قًا‬ ِ َّ‫ َوالن‬.)1( ‫ت نَ ْشطًا‬
ِ ‫ازعَا‬ ِ ‫ َوالسَّابِ َحا‬.)3( ‫ت َس ْبقًا‬
ِ ‫ َوالنَّا ِشطَا‬.)2( ‫ت َس ْبحًا‬ ِ ‫فَالسَّابِقَا‬
(5). ‫ت َأ ْمرًا‬
ِ ‫فَ ْال ُم َدب َِّرا‬

Artinya:
1. Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras
2. Demi (malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut,
3. Demi (malaikat) yang turun dari langit dengan cepat,
4. dan (malaikat) yang mendahului dengan kencang,
5. dan (malaikat) yang mengatur urusan (dunia). (Q.S.An-Nazi'at/79: 1-5).

101
[Type here]

Sejarah telah menyaksikan bahwa bangsa Arab pada saat turunnya al-
Quran telah mencapai tingkat yang belum pernah dicapai oleh bangsa manapun
yang ada di dunia ini, baik sebelum dan sesudah mereka dalam bidang
kefashihan bahasa (balaghah). Dengan demikian, bangsa Arab telah mencapai
taraf yang jauh dalam bahasa dan seni sastra, karena sebab itulah al-Quran
menantang mereka. Padahal mereka memiliki kemampuan bahasa yang tidak
biasa dicapai orang lain seperti kemahiran dalam berpuisi, sya'ir atau prosa
(natsar), memberikan penjelasan dalam gaya sastra yang tidak sampai oleh selain
mereka. Walaupun begitu mereka tetap dalam ketidakberdayaan ketika
dihadapkan dengan al-Quran.
b. Segi isyarat ilmiyah
Al-Qur'an dalam konteks ini bukan merupakan buku ilmiah, namun al-
Qur'an mampu memberikan isyarat ilmiah sebelum manusia menyadari
kebenarannya. Sebagai contoh perihal reproduksi manusia yang diterangkan
dalam surah al-Mu'minun:
‫طفَةَ َعلَقَةً فَ َخلَ ْقنَا‬ْ ُّ‫) ثُ َّم خَ لَ ْقنَا الن‬13( ‫ار َم ِكي ٍن‬ ٍ ‫طفَةً فِي قَ َر‬ ْ ُ‫) ثُ َّم َج َع ْلنَاهُ ن‬12( ‫َولَقَ ْد َخلَ ْقنَا اإل ْن َسانَ ِم ْن سُاللَ ٍة ِم ْن ِطي ٍن‬
‫ك هَّللا ُ َأحْ َسنُ ْالخَ الِقِين‬ َ َ‫ْال َعلَقَةَ ُمضْ غَةفَ َخلَ ْقنَا ْال ُمضْ َغةَ ِعظَا ًما فَ َك َسوْ نَا ْال ِعظَا َم لَحْ ًما ثُ َّم َأ ْن َشْأنَاهُ َخ ْلقًا آ َخ َر فَتَب‬
َ ‫ار‬
Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari
suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air
mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani
itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang,
lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami
jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci lah Allah,
Pencipta Yang Paling Baik. (QS. al-Mu'minun/23:12-14)

Pemaknaan kemukjizatan al-Quran dalam segi ilmiyah adalah dorongan


al-Qur’an kepada manusia untuk selalu berfikir keras atas dirinya sendiri dan
alam semesta yang mengelilinginya. Al-Qur’an memberikan ruang sebebas-
bebasnya pada pemikiran-pemikiran ilmu pengetahuan sebagaimana halnya yang
tidak ditemukan pada kitab-kitab agama lainnya yang malah cenderung bersifat

102
[Type here]

terbatas. Pada akhirnya, teori ilmu pengetahuan yang telah lulus uji kebenaran
ilmiahnya akan selalu berhubungan dengan al-Quran.

Al-Quran dalam mengemukakan dalil-dalil, dan penjelasan ayat-ayat


perihal ilmiah, menyebutkan isyarat-isyarat ilmiah yang sebagiannya baru
terungkap pada zaman atom, planet dan penaklukan angkasa luar sekarang ini.
Diantaranya yaitu:
1. "Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit
dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami
pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang
hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS. Al-Anbiya':
30). Dalam ayat ini dijelaskan isyarat ilmiah tentang sejarah tata surya dan
asal mulanya yang padu, kemudian terpisah-pisahnya benda-benda langit
(planet-planet), sebagian dari yang lain secara gradual. Dengan kata laim, di
dalamnya terdapat isyarat tentang asal-usul kehidupan yaitu dari air.
2. "Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh tumbuhan)
dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air
itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya." (QS. Al-Hijr: 22)
ayat ini memberikan isyarat tentang peran angin dalam turunnya hujan begitu
juga tentang pembuahan serbuk bunga tumbuh tumbuhan.
3. "Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam Keadaan bermacam-
macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka,"
(QS. Al-Zalzalah: 6) adanya pemeliharaan dan pengabadian segala macam
perbuatan manusia di dunia. Dan jika ini dapat dilakukan manusia, maka
pastilah itu jauh lebih mudah bagi Allah SWT.
4. "Bukan demikian, sebenamya Kami Kuasa menyusun (kembali) jari
jemarinya dengan sempurna." (QS. Al-Qiyamah: 4) dianatara kepelikan
penciptaan adalah sidik jarinya. Ayat ini menyebutkan kenyataan ilmiah
bahwa tidak ada jari-jari tangan seorang manusia yang bersidik jari yang
sama dengan manusia yang lainnya.
c. Segi pemberitaan yang ghaib

103
[Type here]

Surat-surat/ayat-ayat dalam al-Quran mencakup banyak redaksi tentang


hal ghaib. Kemampuan al-Quran dalam memberikan informasi-informasi tentang
hal-hal yang ghaib seakan menjadi prasyarat utama penopang eksistensinya
sebagai kitab Mu’jizat.
Terkandungnya penggabaran tentang hal-hal gaib yang tidak mampu
dilakukan oleh manusia dan tidak bisa ditandinginya misalnya, janji Allah
kepada nabi Muhammad saw. Bahwa Dia akan mengunggulkan agama-Nya atas
agama-agama lain. Firman Allah di dalam surah at-Taubah [9]: 33
ْ ‫ق لِي‬
َ‫ُظ ِه َر ۥهُ َعلَى ٱلدِّي ِن ُكلِّ ِهۦ َولَوْ َك ِرهَ ْٱل ُم ْش ِر ُكون‬ ِّ ‫ين ْٱل َح‬
ِ ‫ى َأرْ َس َل َرسُولَ ۥهُ بِ ْٱلهُد َٰى َو ِد‬
ٓ ‫هُ َو ٱلَّ ِذ‬
Artinya: Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa)
petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas
segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.
Akan tetapi, pemberian informasi akan segala hal yang ghaib ini
tidaklah mendominasi seluruh aspek I’jaz al-Quran itu sendiri. Di antara
contohnya adalah:
a. Keghaiban masa lampau. Al-Quran sangat jelas dan fasih sekali
dalam menjelaskan cerita masa lalu seakan-akan menjadi saksi mata
yang langsung mengikuti jalannya cerita. Dan tidak ada satupun dari
kisah-kisah tersebut yang tidak terbukti kebenarannya. Diantaranya
adalah: Kisah nabi Musa: Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada
kaumnya: "Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyembelih
seekor sapi betina." Mereka bertanya, "Apakah kamu hendak
menjadikan Kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung
kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang
bodoh".
b. Keghaiban masa sekarang. Terbukanya niat busuk orang munafik
di masa Rasulullah. Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya
tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya
kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia adalah
penantang yang paling keras. (QS. Al-Baqoroh: 204)
c. Keghaiban masa yang akan datang. Redaksi dalam al-Qur'an yaitu:

104
[Type here]

‫) فِي بِضْ ِع ِسنِينَ هَّلِل ِ األ ْم ُر ِم ْن قَ ْب ُل‬3( َ‫ض َوهُ ْم ِم ْن بَ ْع ِد َغلَبِ ِه ْم َسيَ ْغلِبُون‬ ِ ْ‫) فِي َأ ْدنَى األر‬2( ‫ت الرُّ و ُم‬ ِ َ‫) ُغلِب‬1( ‫الم‬
)5( ‫ص ُر َم ْن يَ َشا ُء َوهُ َو ْال َع ِزي ُز ال َّر ِحي ُم‬
ُ ‫) بِنَصْ ِر هَّللا ِ يَ ْن‬4( َ‫َو ِم ْن بَ ْع ُد َويَوْ َمِئ ٍذ يَ ْف َر ُح ْال ُمْؤ ِمنُون‬

Artinya: Alif Laam Mim. Bangsa Romawi telah dikalahkan,


di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan
menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum
dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa
Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena
pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang Dia kehendaki. Dan
Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. (Q.S. Ar-Rum:1-
5)

d. Segi petunjuk penetapan hukum syara'


Bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah yang mana dikandungannya terdapat
syari'at paling ideal bagi umat manusia, undang-undang yang paling lurus bagi
kehidupan, yang dibawa al-Quran utnuk mengatur kehidupan manusia yang
mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Antara lain contohnya:
a. Keadilan. "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran". (QS. An
nahl: 90)
b. Mencegah pertumpahan darah. "Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu
hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang
manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan Barangsiapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya. Dan Sesungguhnya telah datang kepada

105
[Type here]

mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan


yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-
sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi."
c. Pertahanan untuk menghancurkan fitnah dan agresi. "Dan
perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga)
ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari
memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap
orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah: 193).
D. Tujuan I’jaz Qur’an
Dari pengertian i’jaz dan mukjizat di atas, dapatlah diketahui bahwa
tujuanI’jazil Qur’an itu banyak, di antaranya yaitu:
a. Membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW yang membawa mukjizat
kitab Alquran itu adalah benar-benar seorang Nabi/Rasul Allah.
b. Membuktikan bahwa kitab Alquran itu adalah benar-benar wahyu Allah
SWT, bukan buatan Malaikat Jibril dan bukan tulisan Nabi Muhammad
SAW.
c. Menunjukkan kelemahan mutu sastra dan balaghah bahasan manusia,
karena terbukti pakar-pakar pujangga sastra dan seni bahasa Arab tidak
ada yang mampu menandingi Alquran.
E. Hikmah/ Manfaat I’jazil Qur’an
1. Sebagai petunjuk jalan yang lurus
Al-Quran memberikan petunjuk agar umat manusia dapat terus berjalan di
jalan yang lurus. Yang di maksut adalah manusia harus hidup dengan baik dan
benar atau dalam istilahnya adalah di jalan yang luru. Di dalam Al-Quran sudah
dijelaskan mana yang salah dan mana yang benar, serta peringatan-peringatan
agar terus bertakwa kepada Allah.
2. Merupakan mukjizat bagi Nabi Muhammad SAW
Al-Quran adalah muksizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW.
Berbeda dengan nabi-nabi lainnya yang diberikan mukjizat seperti berbicara
dengan binatang, menyembuhkan penyakit, dan lain sebagainya. Al-Quran

106
[Type here]

merupakan sumber dari segala sumber hukum dan penyempurna dari kitab-kitab
yang terdahulu.
3. Menjelaskan kepribadian manusia
Fungsi Al-Quran selanjutnya adalah menjelaskan kepribadian manusia
dibandingkan dengan makhluk lainnya yang ada di bumi. Manusia adalah
makhluk yang diberikan akal, bisa membedakan baik dan buruk, dan
membuatnya berbeda dengan binatang yang sama-sama ciptaan Allah.
4. Merupakan penyempurna bagi kitab-kitab sebelumnya.
Sebelum Al-Quran, ada beberapa kitab Allah yang juga diturunkan kepada
para nabi, seperti Injil, Taurat,dan Zabur. Kitab-kitab Allah sebelumnya
ditujukan hanya pada umat pada zaman tersebut saja, berbeda dengan Al-Quran
yang digunakan sampai akhir zaman.
5. Menjelaskan masalah yang pernah diperselisihkan umat sebelumnya. Di
dalam Al-Quran terdapat cerita-cerita dari masa lalu yang kemudian berdasarkan
kisahb umat terdahulu kita bisa belajar agar tidak mengulangi kesalahan yang
pernah mereka buat sebelumnya.
6. Al-Quran memantapkan iman Islam
Dengan membaca Al-Quran, mempelajarinya dan mengamalkannya, kita
bisa memantapkan iman kita. Isi Al-Quran akan membuat kita semakin yakin
bahwa agama Islam adalah agama yang memang harus dianut.
7. Tuntunan dan hukum untuk menjalani kehidupan
Al-Quran berisi tentang hukum dan juga tuntunan manusia dalam menjalani
kehidupan di dunia. Di dalam Al-Quran mengatur bagaimana tentang
berhubungan dengan orang lain, berdagang, warisan, zakat, dan masih banyak
lagi.

107
[Type here]

BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan
Mukjizat al-Qur’an berarti bahwa mukjizat (bukti kebenaran) tersebut ialah mukjizat yang
dimiliki atau yang terdapat dalam al-Qur’an, bukan bukti kebenaran yang datang dari luar al-
Qur’an. Menurut sejarahnya I’jaz Al-qur'an telah ada sejak masa Rosulullah, karena untuk
melemahkan dan melumpuhkan celaan/hujatan orang-orang kafir terhadap al-Qur'an yang
mereka kira sebuah syair yang dibuat-buat oleh Nabi Muhammad SAW.
Adapun berbagai macam kemu'jizatan yang terdapat dalam al-Qur'an. Salah satunya dari segi
Bahasanya, yang indah dan teratur. Di sini juga menjelaskan tujuan dan hikmahnya sebagaimana
yang harus diketahui oleh Umat Muslim.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
108
[Type here]

Manna’ Khalil Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq el-Mazni,
Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2015, hal. 323.

JURNAL

BAB II KEMUKJIZATAN AL-QURAN DAN PERKEMBANGAN SAINS, jurnal ilmiah,


https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://digilib.uinsby.ac.i
d/14650/38/Bab
%25203.pdf&ved=2ahUKEwjuhJrwyq3wAhUVOSsKHdp8C4UQFjAEegQIRAC&
usg=AOvVaw0ptYFeis-0-Q4royLMqe7k , diaksen pada tanggal Minggu 25 April
2021.

Aqsho,Muhammad,I’JAZAL-QURAN, I’jaz, unsur-unsur Mukjizat, I’jaz al-Adad,


http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/t!@file_artikel_abstrak/Isi_Artikel_278250
663541.pdf , di akses pada tanggal selasa, 20 april 2021 20.30

Romziana, Luthviyah, Kemukjizatan Al- Qur’an, I’JAZ AL-QUR’AN,


https://www.academia.edu/24345482/IJAZ_AL_QURAN di akses pada tanggal
Selasa, 20 April 2021 20.45

109

Anda mungkin juga menyukai