al-MuhkaM wa al-Mutasyabih
Begitu juga halnya dalam kemampuan berfikirpun ada hal-hal yang dipahami oleh semua
orang dan ada hal-hal yang hanya bisa dipahami oleh ulama tertentu. Serta ada juga yang sama
sekali tidak bisa dipahami oleh seluruh insan.
Terkait itu pula Allah jadikan didalam al-Qur’an hal-hal yang bisa dipahami secara
menyeluruh, juga hal-hal yang hanya dipahami oleh orang tertentu dan hal-hal yang hanya Allah
sajalah yang memahami maknanya. Hal yang semacam ini disebut oleh para ulama sebagai
pembahasan al-Muhkam dan al-Mutasyaabih yang in syaa Allah akan menjadi pembahasan
makalah kita dalam kesempatan ini.
Dan semoga makalah yang kami susun ini dapat memiliki manfaat bagi para pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar..........................................................................................................2
Daftar Isi....................................................................................................................
3
Pendahuluan..............................................................................................................4
A. Latar Belakang ………………………...……………………………………4
B. Poin Pembahasan ……………………………………………………………4
Pembahasan...............................................................................................................5
1. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih ……………..……………………5
2. Macam-macam al-Mutasyabih …….........……………………………………8
3. Al-Mutasyabihat dalam ayat-ayat tentang sifat Allah …………….………….9
4. Perdebatan ulama seputar al-mutasyabihat …………………………………10
5. Hikmah mengetahui al-Muhkam dan al-Mutasyabih ..................................... 11
Kesimpulan ……………………...………...……………………………………..13
Daftar Pustaka ……………………...…………………….…………….…….…13
PENDAHULUAN
ِ A. Latar Belakang
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia dengan berbagai macam
bentuk, kekuatan, kecerdasan yang berbeda-beda. Sehingga ada beberapa
amalan yang tidak mampu dilakukan oleh seluruh orang, dan ada pula amalan
yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kuat tertentu saja.
Begitu juga halnya dalam kemampuan berfikirpun ada hal-hal yang dipahami oleh
semua orang dan ada hal-hal yang hanya bisa dipahami oleh ulama tertentu. Serta
ada juga yang sama sekali tidak bisa dipahami oleh seluruh insan.
Terkait itu pula Allah jadikan didalam al-Qur’an hal-hal yang bisa dipahami secara
menyeluruh, juga hal-hal yang hanya dipahami oleh orang tertentu dan hal-hal
yang hanya Allah sajalah yang memahami maknanya. Hal yang semacam ini
disebut oleh para ulama sebagai pembahasan al-Muhkam dan alMutasyaabih yang
in syaa Allah akan menjadi pembahasan makalah kita dalam kesempatan ini.
Menimbang pentingnya pembahasan ini perlu rasanya penulis sedikit
bersumbangsih meski banyak kendala dalam penulisan makalah ini yang
mendasar terutama banyaknya istilah-istilah syar’i yang sulit untuk dituangkan
maknanya kedalam bahasa Indonesia secara sempurna. Namun tiada pilihan lain
kecuali tetap kita upayakan untuk menyajikannya sebatas kemampuan dalam
sebuah pengabdian, mohon maaf atas segala kekeliruan dan semoga bisa
bermanfaat serta dicatat oleh Allah sebagai sebuah amal shalih amin Ya Rabbal
‘Alamin.
B. Poin Pembahasan
1. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih
2. Macam-macam al-Mutasyabih
3. Al-Mutasyabihat dalam ayat-ayat tentang sifat Allah
4. Perdebatan ulama seputar al-mutasyabihat
5. Hikmah mengetahui al-Muhkam dan al-Mutasyabih
PEMBAHASAN
A. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih
Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih Secara Bahasa.
Al-Muhkam secara bahasa berasal dari kata dasar م م مyang mana Ibnu Faris –rahimahullahmengatakan:
م اّْ ص ح ّْ م َم و م َم ح م ام ص م ص م م م م امص م ص م ح م ا
ام ص مام م ا ص ما م, م م م ام ص م ص م. ظ ص ح َ
صدماحٌد صمَم
“Huruf al-Ha’, al-Kaf dan al-Mim adalah sebuah asal kata yang bermakna larangan. Kata pertama
yang berakar dari tiga huruf tersebut adalah Hukum yang berarti melarang dari sebuah kedzhaliman.”
Kemudian maknanya berubah dengan bertambahnya huruf alif jika dikatakan ح ص ما ما – َم ص م مyang
bermakna صم م َ صما ً ما – َمَ حartinya adalah menguatkan atau mengokohkan, seperti jika dikatakan: َ ََ
صم م ِا ح
َ صم م م ص ا ُ مص م ص م اّْ و ص م مي َم ص مartinya aku menguatkan sesuatu dan melarangnya
ُ صم م ِم ّْمم
dari kerusakan. Abu Hilal al‘Askariy –rahimahullah- berkata:
صما َ م اّْ و ص ح ح ص م مِ م
َ َم و ح, “ م ا ص حإ ص ما ُ م ح ص م ِا م ا ص ح ص حitqhannya sesuatu maksudnya adalah
memperbaikinya, dan ihkam adalah menyempurnakan perbuatan dan menguasinya dengan baik”.
Maka al-Muhkam ام ص م ص م مsecara bahasa adalah bentuk isim maf’ul dari ََ م ص م مyang bermakna
sesuatu yang dikokohkan atau dikuatkan atau disempurnakan.
مخ ح م مص م ّْمم ّْمو م َم ٌمم ا ّْوص َم ص حح م اّْ ص ظ صب ٌمم م ّْ م ا: { م صي } م َم م ا ح ح ُمم م ِا ح ما
َما م ا ََّْ ََّْ ا ى، صم ص مى ّْ ََّْ ََ ََ َُ و م ِا مح م
صما ما َ م َم ََّّْصم م ماح م اّْ ح ما ِِم
صم م َ ََّْ ََ م ص حبِم ِم صمِ م مص ما ّْم ص ًما م م ص ما م م ح
Asy-Syubhah adalah tidak bisa membedakan antara satu dengan yang lain disebabkan adanya
kemiripan antara keduanya secara kasat mata ataupun makna, Allah Ta’ala berfirman: “mereka diberi
buah-buahan yang serupa…”, maksudnya adalah sebagiannya menyerupai warna sebagian yang lain,
bukan rasa atau hakikatnya.
Maka al-Mutasyabih secara bahasa adalah “sesuatu yang memiliki kemiripan satu dengan yang lain”.
“Adapun secara istilah al-Muhkam adalah apa yang telah ditetapkan atau dikuatkan dengan perintah
dan larangan dan penjelasan tentang halal dan haram.”
“Adapun al-mutasyabih pada dasarnya adalah kemiripin lafadz secara dhzahir sementara maknanya
berbeda.”
Kemudian beliau memaparkan pendapat ulama seputar al-Muhkam dan al-Mutasyabih, kurang lebihnya
seperti yang diikuti oleh Imam as-Suyuthiy dalam ungkapannya sebagai berikut;
Al-Muhkam Al-Mutasyabih
Sesuatu yang diketahui maksudnya baik secara apa saja yang hanya diketahui oleh Allah seperti hari
dzhahir atau ta’wil kiamat, keluarnya dajjal dan huruf-huruf muqatta’ah
diawal-awal surat
sesuatu yang tidak memiliki kemungkinan ta’wil sesuatu yang berkemungkinan lebih dari satu
lebih dari satu penta’wilan
Apa saja yang termasuk ma’qulu al-ma’na Apa saja yang termasuk ghairu ma’quli al-ma’na
Apa saja yang berdiri sendiri -tanpa butuh yang Apa saja yang tidak berdiri sendiri dan
lain sebagai penjelas- membutuhkan kepada yang lain –sebagai penjelas-
Apa saja yang penta’wilannya sesuai dengan nash Apa saja yang tidak dapat diketahui kecuali dengan
turunnya(teksnya). ta’wil
penta’wilannya
Makna yang jelas yang tidak Makna yang tidak jelas yang
Ath-Thayyibiy menimbulkan kesamaran menimbulkan kesamaran
B. Macam-macam Mutasyabih
Berkait tentang pengelompokan macam-macam mutasyabih ini ada beberapa pendapat ulama
didalamnya, seperti pada kedelapan hijriyah Imam asy-Syatibiy menuliskan bahwasanya alMutasyabih
itu ada tiga: haqiqiy dan idhafiy sert al-Mutasyabih yang terdapat dalam istinbatnya bukan nash
dalilnya.
1. Al-Mutasyabih al-Haqiqiy adalah bagian dari al-Qur’an yang mana kita tidak dapat
memahami maknanya, bahkan seorang mujtahidpun saat menelitinya tidak bisa
mendapatkan maknanya yang muhkam.
2. Al-Mutasyabih al-Idhafiy adalah bagian dari al-Qur’an yang sebenarnya maknanya bisa
dimengerti dalam syariat akan tetapi terkadang dirancukan oleh kejahilan atau hawa nafsu
sehingga dalam pandangannya menjadi mutasyabih yang sebenarnya lebih condong kepada
muhkam. Jenis kedua ini disebut juga dengan istilah al-Mutasyabih an-Nisbiy yang relative
dan hanya ulama tertentu saja yang dapat memahami maknanya.
3. Al-Mutasyabih dalam istinbat hukum bukan pada ayat atau dalilnya akan tetapi pada
‘illahnya. Contoh; ayat tentang haramnya bangkai dan halalnya hewan yang disembelih
secara syari sangatlah jelas, namun timbul syubhat saat kedua daging tersebut tercampur
apakah halal untuk dikonsumsi atau menjadi haram.
Sementara Imam as-Suyuthiy membagi al-Mutasyabih dari tiga sudut pandang; dari segi lafadz saja,
dari segi makna saja dan dari segi lafadz dan makna secara bersamaan:
b. Terdapat pada lafadz yang tersusun lebih dari satu, seperti َُ ََ ََِ ََ ََّْ ََّْ س َََ َِثََِ ّْ ِشkarena
seandainya diucapkan َُ َََ ِ ََ ََّْ ََّْ س ثََِ ّْ ِشmaka ini lebih jelas untuk dipahami oleh yang
mendengarnya.
2. Dari segi makna saja, seperti makna dari sifat-sifat Allah Ta’ala. Karena sifat-sifat ini tidak dapat
kita pahami gambaran hakikatnya.
3. Dari segi lafadz dan makan terbagi menjadi lima macam al-Mutasyabih;
b. Dari segi tatacaranya, seperti wajib atau sunnah dalam firman Allah Ta’ala surat an-Nisa’ ayat 3:
َِما ً ص ح َما م اما ّْم م م ص ح م ا ّْحََ ّْ َ ما ح
e. Dari segi syarat yang menjadi standar sah tidaknya ibadah seperti syarat shalat dan nikah.
Kemudian beliau menyimpulkan bahwa dari penjelasan diatas maka bisa dipahami bahwasanya secara
umum al-Mutasyabih terbagi menjadi tiga:
[ اّْ و ص م مTaha:5] , ص م م ح م
ِ [ مم ص ب مى مAr-Rahman:27] ,[ ّْ مم ولح ِم صم َم ص ّْح ح صAl-Fath:10]
صم م ى
ُ ا صم ص ح ّْ م مى ا
Dan lainnya yang mana para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi ayat tentang sifat-sifat menjadi
bebera madzhab sebagaimana yang paparkan oleh Imam as-Suyutihiy:
1. Madzhab jumhur ahli sunnah dari kalangan salaf dan ahli hadits.
Yang berpendapat dengan mengimani sifat-sifat tersebut dengan mengembalikan makna yang
dimaksud kepada Allah tanpa mentafsirkan sebagai bentuk tadzih atau mensucikan hakikatnya.
3. Madzhab Mutawassith.
Disini Imam as-Suyuthiy menukil perkataan Ibnu Daqiq al-‘Id yang mana beliau berkata: jika
penta’wilan itu dekat pengertiannya dalam bahasa arab maka kami tidak mengingkarinya, jika jauh dari
pengertian bahasa arab maka kami tawaqquf darinya dan mengimani maknanya sesuai dengan yang
diinginkan oleh Allah dengan menjaga kesucian maknanya.
Yang menjadi dasar perdebatan mereka adalah letak waqf atau berhentinya tanda baca pada ayat:
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang
muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-
ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya,
Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan
kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
(Q.S Ali Imran [3]:7) Pendapat pertama:
Firman Allah م ا ِوََ ّْ اّْ ح م َمََ َ ح ا ص ح ص حadalah mubtada dan ََّْ م ّْم َم مsebagai khabarnya, sehingga
huruf
ََ pada م ا ِوََ ّْ اّْ ح م َمََ َ ح ا ص ح ص حbermakna isti’naf yang menandakan sebagai kalimat permulaan
dan waqf bacaan terhenti pada صم ّْم م ص ّْحََ ّْ م م ح و ولمّْ م ما ّْ مyang berkonsekwensi bahwa hanya Allah
sajalah yang tahu makna ayat-ayat al-mutasyabihah tersebut.
Pendapat kedua:
“bahwa yang berpendapat seperti pendapat kedua sangatlah sedikit diantaranya Mujahid yang
membawakan riwayat gurunya Ibnu Abbas yang mana beliau berkata dalam ayat:
Adapun mayoritas sahabat, tabi’in dan pengikut setelahnya terkhusus ahlusunnah maka mereka
berpendapat seperti pendapat pertama yaitu hanya Allahlah yang mengetahui al-Mutasyaabih dan ini
riwayat yang paling shahih dari Ibnu Abbas”. Pendapat jumhur ini diperkuat oleh qiraat Ibnu Abbas:
“Dan tidaklah ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah, dan berkatalah orang yang kokoh
keilmuanya; kami beriman dengannya”
Muhyiddin ad-Darwisy dalam kitabnya I’rab al-Qur’an membawakan perkataan wajibnya waqf pada
َ م ا ِو ّْ اّْ ح م َمََ َ ح ا ص حmenjadi kalimat permulaan.
kalimat ح و ولمsehingga kalimat ص
Imam ar-Raziy memberikan enam dalil bahwa waqf yang shahih adalah pada kalimat ح و ولم, diantara
argumen beliau adalah:
1. Ayat ini menunjukkan bahwa mencari-cari ta’wil adalah tercela, Allah berfirman:
ّْ م ص د ِمَّْ م و
حب م ص حمََ ََّْ ح َََ م محح ّْ
َ َََِ م م وا او
صم ا ص ح ما م ا صح ُص م ح م ا ِ ما ّْم م ِا م م ح م
ص ح ما م ّْم ص ح ّْحََ ّْ ح
2. Kalau seandainya kalimat م ا ِوََ ّْ اّْ ح م مmengikut atau athfu kepada lafadz Allah maka kedudukan
kalimat ََّْ م مََّْ َ م م آ ّْموا ح حmenjadi mubtada’ dan ini jauh dari kefasihan atau kebenaran dari
segi kaidah bahasa arab.
Dari sinilah lahir kaidah tafsir “ََّْ م ح م اََّّْ ّْ م م م حا ِمََ ّْ ص م ح اَ حإ ص ما َ م ِا ِمََ ّْ ََُ م م ِا ح حwajib beramal
dengan yang muhkam dan beriman dengan yang mutasyaabih”.
1. Merupakan sebuah rahmat bagi manusia saat manusia tidak mengetahui hal-hal yang
mutasyaabih seperti perkara hari kiamat supaya mereka bersemangat dalam hidup ini dan
tidak bermasalas malasan sekedar duduk ibadah mempersiapkan datangnya hari kiamat, hal
ini juga membuat manusia tidak stress, gundah dan selalu gelisah ketika mereka mengetahui
hakikat kematian, kiamat dan lain-lain.
2. Sebagai ujian bagi manusia apakah mereka beriman dengan sesuatu yang ghaib hanya
dengan berita yang dibawa syariat?
3. Mengambil pelajaran bahwa dakwah haruslah dengan bahasa dan kadar kemampuan yang
sesuai dengan yang didakwahi.
4. Penegakan dalil akan kelemahan dan kebodohan manusia.
5. Beragamnya pendapat yang bisa ditoleran, sehingga tak bisa kita bayangkan kalaulah semua
ayat itu muhkam maka tidak akan ada madzhab kecuali hanya satu pendapat saja.
KESIMPULAN
1. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih diantaranya adalah apa yang disimpulkan oleh Imam
az-Zarkasyiy –rahimahullah- berkata:
ُ َمََ ّْ م ا حَا ِ م َم وا ح ص اَ حص حط م ِ ح ِم م م ما َم ص م ُمص م حاأم ص حم اََّّْ ّْ ََّْ و
صح َََ َِ ّْمما َ ح ا ص م م
ح
“Adapun secara istilah al-Muhkam adalah apa yang telah ditetapkan atau dikuatkan dengan perintah
dan larangan dan penjelasan tentang halal dan haram.”
“Adapun al-mutasyabih pada dasarnya adalah kemiripin lafadz secara dhzahir sementara maknanya
berbeda.”