Anda di halaman 1dari 16

FIQIH AL-HADIS (MUHAMMAD GHAZALI)

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Studi Hadis Kontemporer
Dosen Pengampu : DR. MUHAMAD NURUDIN, M.AG.

Disusun Oleh:
Muhammad Lutfi al Fatih (2030410043)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


FAKULTAS USHULUDDIN
PRODI ILMU HADIST
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas Pendidikan dan Pengajaran Hadis. Kami sangat berharap makalah ini
dapat dapat bermanfaat dan berguna dalam menambah wawasan serta pengetahuan kita tentang
FIQIH AL-HADIS (MUHAMMAD GHAZALI)
Kami juga menyadari bahwa dalam dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kesalahan-kesalahan ataupun kekurangan. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi
siapapun yang membaca. Dan sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-
kata yang kurang berkenan didalam makalah yang kami buat tersebut.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kajian terhadap hadis-hadis Nabi SAW, tidak hanya terbatas pada kajian ilmu riwayah,
yaitu yang mempelajari tentang periwayatan hadis, atau ilmu dirayah yaitu berua kaidah-kaidah
yang bertujuan untuk mengetahui apakah sebuah hadis dapat diterima sebagai riwayat yang
bersumber dari Nabi SAW (maqbul) atau tidak (mardud). Tetapi lebih luas meliputi berbagai
aspek: yaitu Aspek Bahsu al-Asasi ; ilmu hadis yaitu ilmu dirayah hadis (sanad dan matn) yang
hasil shahih atau kehujjahan dan qabul dan rad, Aspek historis (zaman rasul-sekarang)
kodifikasi, Aspek metodologi (fiqh al-Hadits), Aspek ketokohan dan literatul (al-‘alam al-
Mushannafat) manhaj al-Muhadditsin, Aspek problematika kontemporer.

B. Rumusan masalah
1) Fiqh al-Hadits
2) Pemikira Muhammad al-Ghazali
BAB II

PEMBAHASAN

A. Fiqh al-Hadits

Fiqh al-hadîts terdiri dari dua kata yaitu fiqh dan al-hadîts. Kata fiqh berasal dari kata
fiqhun yang secara etimologi (bahasa) berarti mengerti dan memahami 1 juga diartikan
pengetahuan, pemahaman atau pengertian.2 Adapun secara terminologi (istilah) fiqh
didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syar‟iyyah „amaliah yang diperoleh dari dalil-
dalil yang terperinci.3 Tetapi kata fiqh yang dimaksudkan disini, adalah kata fiqh dalam makna
dasarnya. Kata ini sebanding dengan kata fahm yang juga bermakna memahami. Kata yang lebih
popular dipakai untuk menunjukkan pemahaman terhadap suatu teks keagamaan atau cabang
ilmu agama tertentu adalah fiqh. Hal ini wajar, meskipun kedua kata ini sama-sama bermakna
memahami, namun kata fiqh lebih menunjukkan kepada makna “memahami secara dalam”. Itu
pula sebabnya, Ibnû al-Qayyim menyatakan bahwa kata fiqh lebih spesifik dari kata fahm,
karena fiqh lebih memahami maksud yang di inginkan pembicara. Jadi fiqh lebih dari sekedar
memahami maksud yang diinginkan pembicaraan secara lafaz dalam konteks kebahasaan.4

Sedangkan kata al-hadîts secara etimologi (bahasa) berarti baru dan berita. 5 Adapun
secara terminologi (istilah) al-hadîts adalah sesuatu yang diriwayatkan Nabi Muhammad saw.
Setelah kenabian, baik itu perkataan, perbuatan, atau ketetapan beliau. 6 Dengan demikian, maka
fiqh al-hadîts dapat dikatakan sebagai salah satu aspek ilmu hadis yang mempelajari dan
berupaya memahami hadis-hadis Nabi dengan baik dan sebagai ilmu tentang hukum-hukum
syar‟iyyah „amalîah yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci.

1. Sejarah Fiqh al-Hadîts

1
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), 1067.
2
Muhammad ibn Muhammad al-Ifrîqî al-Mishrî ibn Manzhuri, Lisân al-„Arab, Vol. 5,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), 3450.
3
Syekh al-Islâm Zakariyyâ ibn Muhammad al-Anshârî, Fath al-Wahhâb bi Syarh Minhâj alThullâb, (Beirut: Dâr al-
Kutub al-„Ilmiyyah, 1998), 8.
4
Maizuddin, “Fiqh al-Hadîts (Aspek Penting ilmu hadis)” dalam http://maizuddin.wordpress.com/fiqh al-hadits-
aspek penting ilmuhadis, diakses pada tanggal 1 maret 2016. .
5
5Maizuddin, “Fiqh al-Hadîts (Aspek Penting ilmu hadis)” dalam http://maizuddin.wordpress.com/fiqh al-hadits-
aspek penting ilmuhadis, diakses pada tanggal 1 maret 2016.
6
Muhammad „Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîts; Ulûmuh wa Mushthalâhuh, (Beirut: Dâr alFikr, 1989), 19.
Kajian fiqh al-hadîts pada tahap awalnya masih terbatas, kemudian tumbuh secara
berangsur-angsur dan meluas hingga menjadi sebuah cabang ilmu yang dikenal dengan nama
syarah al-hadîts dan fiqh al-hadîts.7 Sejarah pertumbuhan awalnya tidak dapat dilepaskan dari
perjalanan historis periwayatan hadis. Sejarah periwayatan hadis secara pasti sudah berlangsung
sejak periode Nabi saw. Ketika terjadi kegiatan periwayatan hadis dari Nabi saw. Kepada para
sahabat, selain melibatkan hafalan atau tulisan, seringkali juga terjadi proses pemahaman.

Perjalanan historis pemahaman hadis (fiqh al-hadîts) terus berlanjut hingga memasuki
periode sahabat. Pada periode ini, syârah atau fiqh al-hadîts belum mempunyai bentuk tersendiri,
artinya apa yang menjadi penjelasan sahabat terhadap hadis Nabi saw. Dinamai syarah atau fiqh
al-hadîts, melainkan disebut sebagai atsar.8

Masa sahabat menampakkan perbedaan dari masa Nabi saw. Karena para sahabat telah
mengarahkan perhatian terhadap pengumpulan dan pembukuan alQur‟an serta usaha untuk
mentadbur (meneliti dan memahami) sunnah.hal ini terlihat dalam usaha mereka mengikuti
Umar dengan sedikitnya meriwayatkan hadis Nabi saw. Menurut Umar, Jika periwayatan telah
banyak maka orang akan menjadi lalai, sehingga akan terabaikan pemahaman dan dirâyah-nya,
sedangkan jika periwayatan sedikit maka orang akan berusaha untuk memahami dan
menjaganya, Ibn „Abd al-Bâr berpendapat bahwa hal ini terjadi karena meraka takut akan terjadi
kedustaan terhadap Nabi saw. dan takut umat akan sibuk untuk mentadabbur (meneliti dan
memahami) sunnah dari pada al-Qur‟an9

Perkembangan studi fiqh al-hadîts yang lebih nyata terjadi pada periode tabi‟in dan
generasi setelahya. Al-Hakim al-Nasyabûri telah mencatat nama-nama ahli fiqh al-hadîts, dari
generasi tabi‟in, atbâ al-tâbi‟în, atbâ‟ atbâ‟ tâbi‟în dan seterusnya. Diantara mereka adalah
Muhammad ibn Muslim ibn Syihâb al-Zuhrî, Yahyâ ibn Sa‟îd al-Anshârî, „Abd al-Rahmân ibn
„Amr al-Auzâ‟î, Sufyân ibn „Uyainah, „Abdullâh ibn Mubârak al-Hanzâlî, Yahyâ ibn Sa‟îd al-
Qaththân, „Abd alRahmân ibn Mahdî, Yahyâ ibn Yahyâ al-Tamîmî, Ahmad ibn Muhammad ibn
Hanbal, „Alî ibn „Abdillâh ibn Ja‟far al-Madînî, Yahyâ ibn Ma‟în, Ishâq ibn Ibrâhîm al-Hanzali,
Muhammad ibn Yahyâ al-Dzuhlî, Muhammad ibn Isma‟îl al-Bukhârî, Abû Zur‟ah „Ubaidillâh

7
Muhammad Thâhir al-Jawâbî, Juhûd al-Muhadditsîn Fi Naqd Matn al-Hadîs al-Nabâwî alSyarîf (Tunisia :
Mu‟assasat „Abd al-Karîm ibn „Abdillah, t.th), 128.
8
A. Hasan Asy‟ari „Ulama‟i, “Sejarah dan Tipologi Syarh Hadis”, Teoligia, vol 19, no.2, Juli 2008, 340.
9
Abû Yasîr Khalid al-Raddadî, Jami‟ Bâyan al-„Ilmi wa Fadlihî, (Kairo, Dâr al-Fikr, t.th),
ibn „Abd al-Karîm, Abu Hatîm Muhammad ibn Idrîs alHanzalî, Ibrâhîm ibn Ishâq al-Harbî al-
Baghdâdî, Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyayrî, Abû „Abdillâh Muhammad ibn Ibrâhîm al-„Abdî,
„Utsmân ibn Sa‟îd al-Dârimî, Abû „Abdillâh Muhammad ibn Nashr al-Maruzî, Abû „Abd al-
Rahmân Ahmad ibn Syû‟ayb al-Nasâ‟î dan Abû Bakr Muhammad ibn Ishâq ibn Khuzaymah.10

Studi fiqh al-hadîts justru mengalami perkembangan metodologis yang lebih signifikan
pasca berakhirnya periode periwayatan hadis. Dalam periodisasi sejarah hadis, setidaknya mulai
pertenganhan abad VII H sampai sekarang, berlangsung apa yang disebut sebagai “‟ashr al-syarh
wa al-jam‟ wa al-takhrîj wa al-bahts” ( periode pen-syarh-an penghimpunan, pen-takhrîj-an dan
pembahasan). Pada periode ini muncul kitab-kitab syarah hadis, seperti Fath al-Bârî karya Ibn
Hajar al-Asqalânî ( w. 825 H ), „Umdat al-Qârî karya Muhammad ibn Ahmad al-„Ainî (w. 855
H), Irsyâd al-Sârî karya Muhammad al-Qasthalânî (w. 923 H), al-Minhaj karya al-Nawâwî (w.
676 H), Ikmâl al-Ikmâl karya Zawâwî (w. 743H), „Awn al-Ma‟bud karya Syams alHaq al-
„Azhîm al-Abadi, Syarh Zawâid Jami‟ al-Tirmidzî karya Ibn Mulaqqîn (w. 804 H), Misbâh al-
Zujâjah karya al-Suyuthî (w. 911 H), Subul al-Salâm karya Ismâ‟îl al-Shan‟ânî (w. 1182 H), dan
Nayl al-Awthâr karya at-Syawkânî (w. 1250 H).11

Islam semakin berkembang dan umatnya tersebar di berbagai penjuru negeri.


Perkembangan Islam sesuai dengan perkembangan zaman, ini menuntut pemeliharan dan
pemahaman yang benar terhadap hadis Nabi saw. Kondisi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya
pemalsuan hadis Nabi saw. dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Untuk menghindari
pemahaman yang tidak benar dan ketidak otentikan sebuah hadis, maka para tabi‟in setelah
sahabat melakukan berbagai upaya pemeliharaan terhadap hadis dan membuat karya-karya yang
mendukung untuk memahami hadis yang menjadi sumber kedua dari hukum Islam. Di antara
usaha yang dilakukan oleh para tabi‟in adalah dengan menyusun karya yang berkaitan dengan
ilmu hadis, dan pemahaman hadis (fiqh al-hadîts) seperti ditulis oleh Imam Malik (w. 179 H)
dalam karyanya al-Muwaththa.

Menurut Abu Yasir, bahwa kondisi fiqh al-hadîts pada masa tabi‟in ini cukup
berkembang, ini terlihat dari usaha yang telah melakukan upaya-upaya untuk dapat memahami
hadis dengan baik dan benar sehingga hadis Nabi saw. Dapat dipahami kandungan dari hadis
10
Abû „Abdillâh Muhammad ibn „Abdillah al-Hafîzh al-Naisyâburî al-Hâkim, Ma‟rîfah „Ulûm al-Hadîts,
(Hayderabat: Dairat al-Ma‟arif al-„Utsmaniyyah, t.th), 63-83.
11
Muhammad Hasby al-Shiddqi, Sejarah Perkembangan Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1998), 123-128.
apakah hadis tersebut bersifat hukum atau tidak. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ini di
dukung oleh:

a. Munculnya keinginan untuk menggunakan kaidah fiqh al-hadîts;


b. Meluasnya permasalahan khilafîyyah dalam memahami hadis;
c. Berkembangnya pembukuan terhadap sunnah atau hadis12

Sejarah berkembangnya fiqh al-hadîts secara garis besar terdapat dua kelompok aliran
dalam memahami hadis Nabi saw. Pertama, kelompok yang lebih mementingkan makna lahirlah
teks hadis yang disebut dengan ahl al-hadîts (tekstual). Kedua, kelompok yang mengembangkan
penalaran terhadap faktor-faktor yang ada dibelakang teks hadis yang disebut dengan ahl al-ra‟yi
(kontekstual).13 Kecenderungan terhadap pemahaman hadis yang lebih bercorak tekstualis dan
kontekstualis sesungguhnya telah muncul seak periode sahabat dan kemudian mengalami
perkembangan secara lebih luas pada periode tabi‟in atau setelahnya dengan munculnya
kelompok ahl al-hadîts yang berpusat di Madinah dan kelompok ahl al-ra‟yi yang berpusat di
Irak.

Fiqh al-hadîts pada dasarnya bertujuan untuk bagaimana cara memahami hadis Nabi saw.
Sesuai apa yang dimaksud oleh Nabi saw. Itu sendiri. Hadis-hadis ini dan juga beberapa hadis
lain, adalah kontekstual dan komunikatif pada zamannya. Tetapi setelah begitu jauh berlalu jarak
antara masa Nabi saw. Dengan dunia modern sekarang ini membuat sebagian hadis-hadis
tersebut terasa tidak lagi komunikatif dengan realitas zaman kekinian. Hal ini wajar karena hadis
lebih banyak sebagai penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al-Qur‟an dalam
merespon persoalan dan pertanyaan para sahabat Nabi saw. Dengan demikian ia merupakan
interpretasi Nabi saw. yang dimaksud untuk menjadi pedoman bagi para sahabat dalam
mengamalkan ayat-ayat al-Qur‟an.14

Pemahaman hadis juga bertujuan tidak hanya sebatas mengkomunikasikan dengan


realitas zaman, tetapi juga mengembangkan makna-makna sejauh yang dapat dijangkau oleh
redaksi hadis. Karena itu, memanfaatkan berbagai teori dari berbagai disiplin ilmu merupakan

12
Abû Yâsir Khalid al-Raddâdî, Jami‟ Bayân al-„Ilmi wa Fadhlihi, (Kairo: Dâr al-Fikr, t,th), 21.
13
Suryadi, Metode Memahami Hadis Nabi: Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusuf alQardhawi, (Yogyakarta:
Teras, 2008), 73.
14
Maizuddin, “Fiqh al-Hadîts (Aspek Penting ilmu hadis)” dalam http://maizuddin.wordpress.com/fiqh al-hadits-
aspek penting ilmuhadis, diakses pada tanggal 1 maret 2016.
langkah positif dan maju dalam memahami kembali hadishadis Nabi saw. Dalam dunia modern.
Perkembangan ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah dan filsafat
sangat membantu dalam memahami kembali hadis-hadis Nabi ini. Hadis-hadis yang awalnya
terasa mudah dan tidak sulit dipahami, sebagiannya telah ditolak karena sulit memahaminya.
Fiqh al-hadîts, sebagai salah satu aspek ilmu hadis yang mempelajari metode dan pendekatan
dalam memahami hadis-hadis Nabi saw. Sangat penting dalam antisipasi terhadap penolakan
hadis-hadis yang secara validitas dapat diyakini sebagai riwayat yang berasal dari Nabi saw.
Selain itu, juga bertujuan agar umat tidak salah dalam menerapkan hadis Nabi saw. Karena tidak
semua hadis tersebut harus dilakukan oleh umat terutama hal yang dikhususkan untuk Nabi
saw.15

B. Pemikira Muhammad al-Ghazali

Memperhatikan fakta keragaman kaidah kritik matan hadis terutama pada tataran aplikasi
metodologisnya, maka muncul kecenderungan mengekang diri dari upaya mengkaji ulang atas
status matan yang data dokumetasi hadisnya telah terkoleksi dalam kitab hadis standar 16.
Psikologisnya terkait: a) dituduh sebagai inkar al-Sunnah. b) menguji kembali hasil verifikasi
ulama mutaqaddimin yang telah memperoleh pengakuan. c) melawan arus terhadap pengakuan
atas pembakuan teks matan hadis yang telah terbukukan dalam kitab hadis standar.

Namun kenyataannya ada beberapa matan hadis yang tampak bertentangan. meskipun
sanadnya sama-sama shahih. Dengan adanya hadis yang tampak kontroversi itu, maka ulama
hadis telah membahas dan mengajukan berbagai solusi metode penyelesaiannya. Dalam
menyebut kandungan matan hadis yang tampak bertentangan itu, ulama tidak sependapat.
Sebagian ulama menyebutnya dengan istilah mukhtalif al- hadis, sebagiannya lagi menyebutnya
dengan mukhalafat al-hadis dan pada umumnya ulama menyebutnya dengan al-ta'arud

Pada defenisi operasionalnya tidak ditemukan perbedaan yang mendasar bahkan


terkadang dimaknai sama dan sebagaimana yang diyakini oleh al-Ghazali, bahwa yang perlu
dimengerti secara mendasar adalah pemahaman sunnah dan hadis itu sendiri dari sisi
keshahihannya. Dan ini yang dijadikan sebagai pijakan awal, kemudian dituangkan dalam
bukunya, sebagaimana yang dinukil dari para ulama ahli hadis yang menetapkan lima
15
Maizuddin, Metodologi Pemahaman Hadis, (Padang: Hayfa Press, 2008), 23.
16
(Abbas, 2004, hlm. 82)
persyaratan keshahihan hadis-hadis Nabi saw.: tiga berkenaan dengan sanad (mata rantai para
perawi) dan dua berkenaan dengan matan (materi hadis).

Lima syarat dalam menentukan keshahihan hadis yang juga menjadi pijakan al- Ghazali
sebagai ukuran standar dalam menentukan keshahihan hadis sebagai berikut 17

1. Setiap perawi dalam sanad suatu hadis haruslah seorang yang dikenal sebagai
penghafal yang cerdas dan teliti dan benarbenar memahami apa yang didengarnya.
Kemudian meriwayatkannya setelah itu, tepat seperti aslinya (dhabith).
2. Di samping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus seorang yang mantap
kepribadiannya dan bertakwa kepada Allah, serta menolak dengan tegas setiap
pemalsuan atau penyimpangan ("Adalah).
3. Kedua sifat tersebut di atas (butir 1 dan 2) harus dimiliki oleh masing- masing perawi
dalam seluruh rangkaian para perawi suatu hadis. Jika hal itutak terpenuhi pada diri
seseorang saja dari mereka, maka hadis tersebut tidakdianggap mencapai derajat
shahih.
4. Mengenai matan hadis itu sendiri, ia harus tidak bersifat syadz (yakni salah seorang
perawinya bertentangan dalam periwayatannya dengan perawi lainnya yang dianggap
lebih akurat dan lebih dapat dipercaya).
5. Hadis tersebut harus bersih dari Illah qadihah (yakni cacat yang diketahui oleh para
ahli hadis, sedemikian sehingga mereka menolaknya).

Dari lima syarat sebagai pijakan awal al-Ghazali dalam mengukur keshahihan hadis tidak
ada perbedaan dengan ulama sebelumnya, meski ada satu poin yang dianggapnya berbeda yaitu
ketersambungan sanad namun bukan berarti al-Ghazali berbeda atau menolak ketersambungan
sanad sebagai syarat yang harus terpenuhi dalam kajian sanad.

Selain itu pula, orientasi kajian penelitian hadis Muhammad al-Ghazali terhadap hadis
Nabi menitik beratkan kepada kritik matan, dalam artian mengkaji otentisitas sebuah matan hadis
dan mengungkap makna (memahami hadis Nabi). Beliau menganggap penelitian matan hadis
adalah sesuatu yang sangat urgen. Bahkan Muhammad al-Ghazali berpendapat bahwa
17
(al-Ghazali, 1989, hlm. 20):
bagaimanapun kualitas sanad sebuah hadis jika matannya bertentangan dengan al-Quran,
kebenaran ilmiah dan tidak sesuai dengan fakta historis, maka hadis tersebut ditolak. Sebagai
konsekuensinya, kritik matan tetap terbuka sekalipun tanpa meneliti sanad terlebih dahulu. Oleh
karena itu adalah wajar bila Muhammad al-Ghazali menolak berbagai matan hadis sekalipun
sanadnya shahih 18

Syekh Al-Ghazali mengemukakan ada beberapa ketentuan umum dalam memahami


hadis, yaitu: (1) Sunah harus sesuai dengan petunjuk al-Quran karena dia penjelas tidak boleh
bertentangan. (2) Menghimpunkan hadis-hadis yang terjalin dalam satu tema untuk
dikomparasikan satu dengan yang lain. (3) Penggabungan dan penarjihan hadis-hadis yang
kontra. (4) Memahami hadis dengan mempertimbangkan konteks latar belakang, situasi, kondisi,
dan tujuan (5) Membedakan antar sarana yang berubah-ubah dan yang tetap. (6) Membedakan
makna hakikat dan majas. (7) Membedakan antara alam gaib dan semesta. Berita gaib untuk
diimani dan alam lahir dapat dirasionalisasikan. (8) Memastikan makna konotasi hadis 19

Delapan kriteria tersebut bila disederhanakan juga mengarah kepada empat pengujian
yang digunakan oleh Muhammad al-Ghazali dalam memahami hadis Nabi, yaitu: (1) pengujian
dengan ayat al-Quran, (2) pengujian dengan hadis lain, (3) pengujian dengan fakta historis, dan
(4) pengujian dengan kebenaran ilmiah 20

a. Pengujian dengan al-Quran

Muhammad al-Ghazali menulis dalam bukunya bahwa untuk menetapkan shahihnya


suatu hadis dari segi matannya diperlukan ilmu yang mendalam tentang al- Quran serta
kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat-ayatnya, baik secara langsung atau tidak
21
Apabila hadis telah memperoleh penilaian maqbul dan diterima kehujjahannya, namun konsep

18
(Suryadi, 2008, hlm. 196).
19
(Khon, 2011, hlm. 208).
20
(Suryadi, 2012, hlm. 126).
21
(al-Ghazali, 1989, hlm. 25-29).
yang dikandung diduga berlawanan dengan petunjuk sharih al-Quran, yakni dalalah yang
muhkam, maka rumusan konsep hadis harus berpihak pada eksplisitas al-Quran 22

Bayan hadis dengan al-Quran sudah muncul dari masa sahabat (bahkan pada masa Nabi,
karena apa yang diungkapkan oleh Nabi tidak pernah bertentangan dengan al-Quran. Perbedaan
pensyarahan ulama' kontemporer dengan ulama klasik adalah apabila bertemu dengan hadis-
hadis shahih yang matannya musykil (salah satunya bertentangan dengan Alquran dan tidak
ditemukan jawabannya, maka mereka mendiamkan saja hadis tersebut, sedangkan beberapa
ulama kontemporer ada yang dengan mudah mengatakan hadis tersebut tertolak. Mereka tidak
segan-segan menolak begitu saja hadis yang bertentangan dengan Alquran 23

b. Pengujian dengan Hadis

Jumhur ulama sepakat bahwa salah satu pengujian hadis setelah membandingkannya
dengan al-Quran adalah tidak bertentangannya hadis dengan hadis mutawatir yang statusnya
lebih kuat atau sunnah yang lebih mahsyur 24

c. Pengujian dengan Fakta Historis

Sesuatu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa hadis muncul dalam historisitas tertentu, oleh
karenanya antara hadis dan sejarah memiliki hubungan sinergis yang saling menguatkan satu
sama lain. Adanya kecocokan antara hadis dengan fakta sejarah akan menjadikan hadis memiliki
sandaran validitas yang kokoh, demikian pula sebaliknya bila terjadi penyimpangan antara hadis
dengan sejarah, maka salah satu di antara keduanya diragukan kebenarannya25

d. Pengujian dengan Kebenaran Ilmiah

Dimaksudkan pengujian ini dapat diartikan bahwa setiap kandungan matan hadis tidak
boleh bertentangan dengan teori ilmu pengetahuan atau penemuan ilmiah secara faktual dan juga
memenuhi rasa keadilan atau tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Jika dicermati

22
(Abbas, 2004, hlm. 113).
23
(Suryadilaga, 2012, hlm. 105).
24
(Suryadi, 2012, hlm. 146).
25
(Suryadi, 2008, hlm. 84).
indikator yang ditawarkan oleh Muhammad al- Ghazali dalam kritik matan bukanlah sesuatu
yang baru. Muhammad al-Ghazali sendiri mengakui bahwa apa yangdilakukannya sudah
dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu. Imam as-Syafi'i yang terkenal dengan ulama fiqih serta
pelopor kaidah-kaidah ushul fiqh pertama dimana di dalamnya memuat aturan tata cara
memahami teks-teks keagamaan, selain itu as-Syafi'i juga mendapat gelar "Nashiru al-Sunnah"
sebagai pembela sunnah. Berbagai gelar disandangkan kepada as-Syafi'i menunjukkan betapa
kepiawainnya beliau dalam memahami teks keagamaan.

Kaidah di atas sejalan sebagaimana ditegaskan oleh Ali Hasan Mathar dalam karyanya
"Manhaj Naqd al-Matn fi Tashhih al-Riwayat wa Tad ifiha" 26 bahwa hadis dapat diterima
sebagai hujah agama apabila tidak bertentangan dengan akal sehat, tidak bertentangan dengan
fakta sejarah, tidak bertentangan dengan akidah dan syari'at dan tidak bertentangan dengan rasa
atau insting yang telah teruji kebenarannya.

Selain langkah-langkah di atas perhatian al-Ghazali terhadap hadis-hadis yang berderajat


ahad juga menjadi tema pokok dalam sorotan al-Ghazali. Mengenai hadis ahad, Yusuf al-
Qardhawi mengatakan; Muhammad al-Ghazali tidak mau mempergunakan hadis ahad dalam
menetapkan akidah. Menurut Muhammad al- Ghazali, masalah akidah harus berdasarkan
keyakinan, bukan dugaan. Hadis-hadis ahad meskipun shahih tidak memberikan keyakinan, dan
hanya hadis mutawatir yang memberikan nilai keyakinan 27

Pada bagian Muqaddimah, Nashruddin Syarif mengemukakan bahwa kesimpulan yang


dipaparkan al-Ghazali dalam karya tersebut; al-Ghazali dalam menguraikan hadis Nabi
khususnya hadis-hadis yang berderajat ahad tidak menggunakan metode baru melainkan Ghazali
hanya ingin menegaskan dalam memahami hadis harus ada kerja sama antara ahli hadis dengan
ahli fiqih karena keduanya saling melengkapi.

Untuk menemukan 'illah dan keganjilan dalam susunan kalimat (matn) suatu hadis tidak
merupakan monopoli ahli hadis, perlu kerjasama antara Muhaddits dengan berbagai ahli di
bidang Tafsir, Ushul, Kalam dan Fikih28 Sikap al- Ghazali terhadap hadis ahad nampak jelas
dalam ungkapan beliau, "hadis-hadis ahad, walaupun sanadnya sahih, kehilangan validitasnya

26
(Mathar, 2018, hlm. 6)
27
(Suryadi, 2008, hlm. 36).
28
(Baqir, 2015, hlm. 27).
(kesahihannya) apabila terdapat padanya cacat tertentu yang diistilahkan dengan syadz atau 'illah
qadihah" 29

Penolakan Muhammad al-Ghazali terhadap sunnah yang dinilainya bertentangan dengan


ayat-ayat al-Qur'an telah menimbulkan pro dan kontra. Bahkan ada yang menuduhnya sebagai
inkär al-sunnah. Namun bagi Muhammad al-Ghazali, apa yang dilakukannya itu justru
merupakan pembelaan terhadap sunnah Nabi Muhammad. Bentuk-bentuk pembelaan sunnah
sesungguhnya tidak terbatas pada pembuktian otentisitasnya, namun juga pemberian interpretasi
yang sesuai. Inilah yang tampak diupayakan oleh Muhammad al-Ghazali dalam memahami
hadis. Jadi Muhammad al-Ghazali menjadikan pengujian ayat-ayat al-Qur'an sebagai acuan
utama, namun Ghazali belum memberikan kaidah maupun konsep yang aplikatif. Sementara itu,
hasil pemahaman maupun interpretasi terhadap nash sangat subjektif tergantung siapa dan
tujuannya apa. Penolakan Ghazali terhadap hadis yang bertentangan dengan al-Qur'an ini
memiliki akar sejarah dengan pemikiran yang berkembang sebelumnya (pada masa sahabat). Di
antara sahabat saling mengkritik jika yang diriwayatkan memang dirasa ada kejanggalan sanad
maupun matannya. Di sini Muhammad al- Ghazali mengakui telah terpengaruh istri Nabi
Muhammad, Aisyah ra. (w. 58 H), yang telah menolak hadis dari Umar ra. dan Ibn Umar ra.
yang berbunyi:

‫إن الميت ليعذب ببكاء اهله عليه‬

Aisyah kemudian menolak hadis yang telah diriwayatkan oleh keduanya tersebut karena
bertentangan dengan Q.S. al-Fatir: 18 dan Q.S. al-An'am: 164 yang artinya: "Dan seseorang tidak
akan memikul beban dosa orang lain". Bukan hanya Aisyah ra. yang telah menolak hadis yang
bertentangan dengan al-Qur'an, Umar bin Khathab ra. (w. 23 H) juga telah menolak hadis
tentang tidak adanya tunjangan dan tempat tinggal bagi wanita yang dicerai tiga oleh suaminya.
Hadis yang dimaksud diriwayatkan oleh sahabat Fatimah binti Qais, kemudian ditolak Umar
karena bertentangan dengan makna zahir Q.S. al-Thalaq: 1. Untuk menguji dalam memutuskan
bahwa hadis tidak bertentangan dengan al-Qur'an merupakan proses yang tidak mudah dan tidak
instan.

29
(Baqir, 2015, hlm. 32).
Contoh di atas diambil sebagai sample oleh al-Ghazali bukan bermaksud bahwa hadis itu
bertentangan dengan al-Qur'an tetapi hadis yang disampaikan oleh sahabat Umar tidak sempurna,
tandas Aisyah30 Adapun kalimat lengkapnya menurut Aisyah adalah, "innallah yazidul kafir bi
buka'i ahlihi 'alaihi". Artinya, bahwa orang meninggal ditambah siksaannya disebabkan
kekafirannya bukan karena tangisan keluarganya. Kalimat ini telah ditegaskan oleh al-Ghazali
pula dalam karyanya31 sebenarnya bila kita mau memperhatikan serta mau melacak pada hadis-
hadis lainnya, niscaya tidak akan beranggapan bahwa hadis tersebut bertentangan dengan al-
Qur'an. Untuk itu penting hadis satu dengan hadis lainnya dikomparasikan karena suatu hadis
bisa jadi sebagai bayan untuk hadis lainnya.

Hal ini pula telah dijelaskan oleh Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim 32

‫ش]]ة‬ َ ‫ َوال َك َرتْ عَاِئ‬،‫ض َي هللا َع ْن ُه َما‬ ِ ‫ت لَيُ َع ِّذب بِبُ َكا ِء َأهْل ِه ( َعلَ ْي ِه َو َه ِذ ِه ال ِّر َوايَات ِمنْ ِر َوايَة ُع َم َر ْب ِن ا ْل َخطَاب َوا ْبنه عبد هللا َر‬
ِ ِّ‫ِإنَّ ا ْل َمي‬
‫احت ََجتْ بِقَ ْولِ ِه تَ َعالَى ( َواَل تَ ِز ُر‬ َ ‫ َوَأ ْن َك َرتْ َأنْ يَ ُكون النبي صلى هللا َعلَ ْي ِه َو‬،‫سبَ ْتها إلى النسيان واالشتباء َعلَ ْي ِه َما‬
ْ ‫ َو‬،َ‫سلَّ َم قَا َل ذلِك‬ َ َ‫َون‬
‫]ذب بِ ُك ْف ِرهَا في‬َّ ]‫سلَّ َم فِي يَ ُهو ِديَّة َأنَّ َها ل َع َّذب َو ُه ْم يَ ْب ُك]]ونَ َعلَ ْي َها يَ ْعنِي تَ َع‬ َ ‫ َوِإنَّ َما قال النبي‬: ْ‫َوا ِز َرةٌ ِو ْز َر ُأ ْخ َرى قَالَت‬
َ ‫صلَّى هَّللا ِ َعلَ ْي ِه َو‬
‫ب البُكاء‬ِ َ ‫سب‬ َ ‫حال بُكاء َأ ْهلَ َها اَل ِب‬.

Aisyah mengingkari matan hadis yang diriwayatkan sahabat Umar Atas ketidak
sempurnaan kalimat dalam riwayat tersebut bukan berarti Umar yang salah, tetapi Aisyah curiga
bahwa sahabat Umar barangkali lupa atas riwayat tersebut. Kemudian Aisyah mempertegas
dengan mengutip ayat 164 dari surah al-An'am yang berbunyi, "wala taziru wazirotun wizra
ukhra". Ini menegaskan bahwa konteks hadis lahir terkait ada orang yahudi meninggal dan
ditangisi oleh pihak keluarga lainnya maka Nabi bersabda dengan kalimat di atas. Untuk itu
mayat disiksa bukan karena sebab tangisan keluarga yang hidup, melainkan sebab kekafiran
mereka dan membuat orang lain kafir maka itu sebabnya mayat bertambah siksanya.

Maka contoh di atas mempertegas bahwa kadang ada sebagian hadis yang dianggap
bertentangan dengan al-Qur'an namun sebenarnya tidak, oleh sebab itu bagi al-Ghazali adalah

30
(al-Damini, 1984, hlm. 62-63).
31
(al-Ghazali, 1989, hlm. 27),
32
(al- Nawawi, 2015, hlm. 222);
pemahaman sahabat Umar lebih kepada tekstual sementara Aisyah lebih kepada kontekstual,
dengan kata lain bahwa Aisyah adalah madzhab fiqih pertama dalam tradisi pengambilan
istinbath hukum.

Untuk itu dalam proses pengujian dibutuhkan ilmu, skill, kejernihan hati, dan kehati-
hatian. Karena al-Qur'an merupakan kitab yang tidak sistematis susunannya, walaupun
ketidaksistematisannya itu justru menjadikan kelebihannya sehingga al- Qur'an tidak akan usang.
al-Qur'an bisa dipahami dan dipegangi oleh siapapun dan kapanpun umat itu ada, baik oleh
kelompok yang kategorinya tekstualis, kontekstualis, maupun ekstrimis. Di samping susunan
yang tidak sistematis, karakter ayat-ayat dan bahasa al-Qur'an adalah interpretable sehingga
terbuka oleh siapapun dan kapanpun untuk bisa memahami dan memeganginya.

BABIII

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Fiqh al-Hadits adalah pemahaman terhadap perkataan, perbuatan, ketetapan dari Rasulullah


SAW. Secara historis Fiqh al-Hadits sudah ada semenjak  masa Rasullullah SAW dengan metode
sahabat menanyakan langsung kepada Rasul tentang hadis yang sukar untuk dipahami, kemudian
perkembangannya setelah masa Rasul adalah masa sahabat, yang menerapkan metode Ijtihad
untuk memahami Hadis Rasulullah SAW.

Fiqh al-Hadits terus berkembang ke era berikutnya yaitu masa Tabi’in yang sudah
memulai memahami hadis dan memeliharanya dari keotentikannya, dengan menerbitkan karya
yang membantu untuk memahami hadis seperti karya Imam Malik, yaitu al-Muatha’. Fiqh al-
Hadits terus berkembang sehingga Imam Syafi’i telah menawarkan metode untuk memahami
hadis dengan teori tentang hadis Mukhtalif, dengan bentuk penyelesaian diantranya adalah
mengkompromikan, Naskh dan Mansukh, dan dalam bentuk tarjih.

Fiqh al-Hadits pada dasarnya bertujuan untuk bagaimana cara untuk memahami hadis
Rasulullah SAW, sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Rasul itu sendiri
Dari pemaparan di atas Muhammad al-gazali, kelihatannya lebih fokus pada kajian matan
bukan pada sanad, hanya saja al-Gazali lebih mengandalkanAlquran dibandingkan metode-
metode lain, Pemikiran beliau bukan hal yang sama sekali baru. Beberapa kriteria yang
ditawarkan beliau merupakan refleksi terhadap realita masyarakat dan berbagai konsep yang
ditawarkan para ulama sebelumnya. Beliau termasuk pemikir kontekstual, dan cenderung
liberal,. Implikasi yang muncul telah mengarah pada upaya pengembangan pemikiran hadis
sebagai sesuatu yang positif untuk dikembangkan. Beberapa metode yang ditawarkan minimal
dapat membuka mata untuk terus menggali nilai-nilai hadis yang relevan dengan konteks saat ini

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka


Progressif, 1997), 1067.
Muhammad ibn Muhammad al-Ifrîqî al-Mishrî ibn Manzhuri, Lisân al-„Arab, Vol. 5,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), 3450.
Syekh al-Islâm Zakariyyâ ibn Muhammad al-Anshârî, Fath al-Wahhâb bi Syarh Minhâj alThullâb,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1998), 8.
Maizuddin, “Fiqh al-Hadîts (Aspek Penting ilmu hadis)” dalam http://maizuddin.wordpress.com/fiqh al-
hadits-aspek penting ilmuhadis, diakses pada tanggal 1 maret 2016. .
5Maizuddin, “Fiqh al-Hadîts (Aspek Penting ilmu hadis)” dalam http://maizuddin.wordpress.com/fiqh al-
hadits-aspek penting ilmuhadis, diakses pada tanggal 1 maret 2016.
Muhammad „Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîts; Ulûmuh wa Mushthalâhuh, (Beirut: Dâr alFikr, 1989), 19.
Muhammad Thâhir al-Jawâbî, Juhûd al-Muhadditsîn Fi Naqd Matn al-Hadîs al-Nabâwî alSyarîf
(Tunisia : Mu‟assasat „Abd al-Karîm ibn „Abdillah, t.th), 128.
A. Hasan Asy‟ari „Ulama‟i, “Sejarah dan Tipologi Syarh Hadis”, Teoligia, vol 19, no.2, Juli 2008, 340.
Abû Yasîr Khalid al-Raddadî, Jami‟ Bâyan al-„Ilmi wa Fadlihî, (Kairo, Dâr al-Fikr, t.th),
Abû „Abdillâh Muhammad ibn „Abdillah al-Hafîzh al-Naisyâburî al-Hâkim, Ma‟rîfah „Ulûm al-Hadîts,
(Hayderabat: Dairat al-Ma‟arif al-„Utsmaniyyah, t.th), 63-83.
Muhammad Hasby al-Shiddqi, Sejarah Perkembangan Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1998), 123-128.
Abû Yâsir Khalid al-Raddâdî, Jami‟ Bayân al-„Ilmi wa Fadhlihi, (Kairo: Dâr al-Fikr, t,th), 21.
Suryadi, Metode Memahami Hadis Nabi: Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusuf alQardhawi,
(Yogyakarta: Teras, 2008), 73.
Maizuddin, “Fiqh al-Hadîts (Aspek Penting ilmu hadis)” dalam http://maizuddin.wordpress.com/fiqh al-
hadits-aspek penting ilmuhadis, diakses pada tanggal 1 maret 2016.
Maizuddin, Metodologi Pemahaman Hadis, (Padang: Hayfa Press, 2008), 23.
(Abbas, 2004, hlm. 82)
(al-Ghazali, 1989, hlm. 20):

(Suryadi, 2008, hlm. 196).


(Khon, 2011, hlm. 208).
(Suryadi, 2012, hlm. 126).
(al-Ghazali, 1989, hlm. 25-29).

(Abbas, 2004, hlm. 113).


(Suryadilaga, 2012, hlm. 105).
(Suryadi, 2012, hlm. 146).
(Suryadi, 2008, hlm. 84)

(Mathar, 2018, hlm. 6)


(Suryadi, 2008, hlm. 36).
(Baqir, 2015, hlm. 27).
(Baqir, 2015, hlm. 32).
(al-Damini, 1984, hlm. 62-63).
(al-Ghazali, 1989, hlm. 27),
(al- Nawawi, 2015, hlm. 222);

Anda mungkin juga menyukai