Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Syarah Hadist
Dosen Pengampu : Hasan Su’aidi, M.S.I
Disusun Oleh :
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hadist sebagai salah satu sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an
merupakan sebuah rujukan normatif yang berfungsi sebagai penjelas dari maksud
kandungan al-Qur’an, dan jumhur ulama sepakat menyangkut hal ini. Lebih jauh
lagi, sebagaimana diungkapkan Yusuf al-Qaradawi bahwa hadist berfungsi
menyikap keterangan yang masih global dari al-Qur’an, mentahsis, serta
membatasi kemutlakan al-Qur’an.1 Hal ini dikarenakan sebagai teks normatif yang
berkedudukan setelah al-Qur’an, maka keduanya mempunyai banyak perbedaan,
baik pada tingkat kepastian dalam teks maupun tingkat kepastian dalam argumen.
Selain itu, tidak bisa dipungkiri bawasannya hadist sendiri juga termasuk bagian
dari sejarah bahkah kembarannya sekalipun tidak mempunyai persamaan identik,
sebagaimana diungkapkan oleh Nabia Abbott: Islamic tradition and history were
twin, though nt identical, disciplines. Ia merupakan sebuah kumpulan data sejarah
yang berisi segala informasi yang bersumber dari Nabi Muhammad, mulai dari
perkataan (qawli), perilaku (fi’li), ketetapan (taqriri), ataupun sifat (ahwali).2
1
Wasman, “Hermeneutika Hadist Hukum”, dalam Al-Manahij Jurnal Hukum Islam, Vol. 8, No. 2,
(Desember 2014), hlm. 1
2
Benny Afwadzi, “Kritik Hadist dalam Perspektif Sejarawan” dalam Mutawatir Jurnal Keilmuan
Tafsir Hadith, Vol. 7, No. 1, (Juni 2017), hlm. 2.
3
Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik, (Jakarta: Mizan, 2000), hlm. 171.
dan wasilah demi memahami suatu hadist. Oleh karenanya pernyataan akhir yang
diperoleh ialah dalam memahami suatu hadis, dibutuhkannya suatu proses yang
biasa disebut dengan kaidah. Dalam kaidah ilmu syarah sendiri, terdapat
banyak kaidah serta beberapa keilmuan seperti halnya ilmu Syarah hadis
ialahal-wasilah al-mutaghayyirah wa al-hadf al-tsabit. Hadaf dan wasilah ialah
dua kata dari satu kaidah dan dua hal yang memiliki arti yang berbeda namun
dari satu kaidah ilmu Syarah hadis al-wasilah al-mutaghayyirah wa al-hadf al-
tsabit. Penulis memaksudkan dari makalah ini maka akan dibahas mengenai
heberapa hal yang berkaitan dengan hadaf dan wasilah.4
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana definisi hadaf dan wasilah?
b. Bagaimana penerapan kaidah hadaf dan Wasilah?
c. Apa saja contoh hadist terkait wasilah dan Hadaf beserta perbedaan antara
keduanya?
3. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui definisi hadaf dan wasilah dalam sebuah hadist
2. Mengetahui penerapan kaida hadaf dan wasilah dalam sebuah hadist
3. Memahami hadist serta perbedaan antara hadaf dan wasilah
4
Akhmad Sagir, Perkembangan Syarah Hadist Dalam Tradisi Keilmuan Islam, Juli 2010,
Vol. 9, No. 2, hlm. 129
BAB II
PEMBAHASAN
Hadaf dan wasilah berasal dari satu kaidah pemaknaan hadis dan juga
dua kalimat yang dihubungkan dengan kata wa yang kalimat asalnya ialah al-
wasilah al- mutaghayyirah wa al-hadf al-tsabit. Hadaf artinya maksud atau
setiap aspek yang krusial, bisa juga disebut sebagai tujuan, sedangkan wasilah
ialah objek yang disifati, memiliki arti yaitu suatu penghubung yang
mendekatkan antara satu hal dengan lainnya, atau dalam bahasa yang lebih
simpel ialah alat atau instrumen.5 Dengan demikian, dua kalimat yang terdiri
dari empat kata ini jika rangkai dan diterjemahkan sesuai analisis semantik di
atas Menjadi sebuah istilah yang padu, yaitu sebagai ‘instrumen yang Berubah-
ubah dan tujuan yang permanen’. 6 Jadi, kaidah al-Wasilah al-Mutaghayyirah wa
al-Hadf al-Tsabit merupakan kaidah pemaknaan hadis yang mencoba
menjelaskan dan Mengklasifikasi antara instrumen atau sarana yang berubah-
ubah dan Tujuan yang permanen dalam sebuah teks hadis.
Oleh karenanya bisa disimpulkan bahwa hadaf dan wasilah ialah dua
kalimat dari satu kaidah pemaknaan hadis yaitu al-wasilah al-mutaghayyirah
wa al-hadf al-tsabityangjikadipisah menjadi Al-wasilah al-mutaghayyirah dan
al-hadf al-tsabit. Kedua hal ini memiliki arti yang berbeda yaitu al-wasilah
artinya objek yang bisa juga disebut alat maupaun instrumen, kedua ialah hadf
yang artinya maksud atau juga bisa disebut tujuan. Arti dari kalimat itu ialah
instrumen yang berubah-ubah dan tujuan yang permanen.
5
Limatus sauda’, Kaidah Pemaknaan hadis “al-wasilah al-mutaghayyirah wa al-hadf al-tsabit”
karya Yusuf Al-qaradawi, Skripsi jurusan Tafsir hadis IAIN Sunan Ampel, 2012, bab 4, hal. 62-63.
6
Eko Zulfikar, Pemahaman Hadist Yusuf Al-Qardhawi: Telaah Atas Kaidah Al-Tamyiz Bayna
Al-Wasilah Al-Mutaghayyirah Wa Al-Hadhf Al-Thabit, Islamika,. INSIDE: Jurnal Keislaman dan
Humaniora, Volume 5, Nomor 2, Desember 2019, hal. 153
beberapa variasi hadist tentang model pakaian terdapat dalam beberapa
periwayatan diantaranya yaitu : Shahih bukhari, Shahih muslim, Sunan abu
daud, Sunanat-Tirmidzi, Sunanan-Nasa’I, Sunan ibn Majah.
Shahih Bukhari
اي الثیاب كان احب الئ انبي: قلت لھ: قال, عن انس, عن قتا دة, حدثنا ھمام,حدثنا عمرو بن عاصم
Artinya: Telah bercerita kepada kami : umar bin ashim, telah bercerita
Qattadah, Annas, Qattadah berkata saya berkata Annas, pakaian apa yang
membuat Senang Rasulullah ? Annas menjawab “ Jubah berwarna hitam “,
( H.R Bukhari )
Shahih Muslim
اي اللباس كان احب الئ رسول هللا: قلنا النس بن مالك: قال, حدثنا قتا دة, حدثنا ھمام,حدثنا ھداب بن خالد
الحب: او اعجب الئ رسول صلئ هللا یلیھ وسلم ؟ قال,صلئ هللا علیھ و سلم
كان احب الثیاب الئ: قال, عن انس, عن قتادة, حدثني ابي, ححدثنا معاذ بن ھشام,حدثنا محمد بن المثنئ
رسو صلئ هللا یلیھ وسلم الحبرة
عن عبد, عبد المؤمن بن حالدj حدثني: قال, حدثنا ابو تمیلة,حدثنا زیاد بن ایوب
لئjjول صjjوب احب الئ رسjj لم یكن ث: قالت, عن ام سلممة, عن ابیھ,بن بر ییدة
هللا علیھ و سلم من قمیص
Artinya : Telah bercerita kepada kami Ziyad bin ayub, bercerita
kepada kami, Abu Tamiylah, bercerita kepada saya Abdul mu’min bin
kholid, dari Abdullah bin baridah dari ayahnya dari Ummu Salamah, dia
berkata ‘ tiak ada pakaian yang disenangi Rasulullah selain gamis ( H.R
Abu Dawud)
Sunanal-Tirmidzi
عن, عن امھ, عن عبد بن بریدة, عن عبد المؤمن بن خالد, حدثنا ابو تمیلة: قالjحدثنا زیاد بن ایوب البغدادي
كان احب الثیاب الئ النبي صلئ هللا علیھ وسلم القمیص: ام ثلمة قالت
كان احب الثیاب: عن انس قال, عنقتادة, حدثني ابي: حدثنا معاذ بن ھشام قال: قال,اخبرنا عبد هللا بن سعید
الئ نبي هللا صلئ هللا علیھ و سلم الحبرة
Sunan IbnMajah
عن, عن امة, غن ابن بریدة, عن عبد المؤمن بن حالد, حدثنا ابو تمیلة: حدثن یعقوب بن ابرھیم الدورقي قال
لم یكن ثوب احب الئ هللا صلئ هللا علیھ و سلم من القمیص: ام سلمة قالت
7
Yusuf al-Qaradawi, Kaifa Nata’amalu ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah, cet. ke-2, (Kairo: Dar asy-
Syuruq, 2004), hlm. 139.
harus dijadikan pegangan oleh umat Islam pada sebuah hadist yaitu tujuan dan
maksud yang terkandung didalamnya, karena media hanya sebagai pendukung
bagi tercapainya sebuah maksud suatu hadist.8
Imam al-Qarafi (w. 684 H / 1285 M) mengklasifikasikan antara hadaf dan
wasilah, dengan menyatakan:“sumber hukum itu terbagi menjadi dua, yaitu
hadaf/maqasid/tujuan dan wasilah/wasail. Hadaf didalamnya terkandung
maslahat dan mafsadah, sedangkan wasilah adalah suatu jalan guna mencapai
hadaf. Wasilah untuk sebaik-baik hadaf ialah wasilah yang paling baik,
sedangkan wasilah yang digunakan untuk seburuk-buruk hadaf ialah wasilah
yang paling buruk. Apabila hadaf gugur, maka gugur pula wasilah tersebut
karena wasilah selalu mengiringi hadaf dari segi hukumnya.”9
Dari ungkapan al-Qarafi itulah maka mampu ditarik sebuah pemahaman
mawassannya hadaf merupakan suatu hukum yang mengandung maslahat dan
mafsadat. Dengan kata lain, hadaf merupakan suatu hukum yang dimaksd dalam
itu sendiri, haram atau wajib. Sementara wasilah merupakan sebuah metode yang
dimaksudkan guna mencapai hadaf. Diantara wasilah tersebut ada yang berubah
dari masa ke masa maupun sari satu tempat ke tempat lain. Ibnu al-Qayyim (w.
751 H/ 1350 M) juga memberikan pengklasifikasian mengenai hukum syariat
yang berhukum tetap serta berubah-ubah.10 Yang mana dari pernyataannya
mampu disimpulkan bahwa sebuah hukum (fatwa mampu berubah-ubah sesuai
dengan perubahan masa, tempat, situasi, kondisi, dan niat. Sehingga apabila dalam
hadist terdapat sarana (wasilah) lain yang lebih mudah serta mampu
meminimalisir suatu kesalahan, maka wasilah tersebut dapat menggantikan
wasilah lama dengan tujuan (hadaf) yang sama.11
Sebagaimana contoh penjelasan perbedaan antara hadaf dengan wasilah
yaitu sebagaimana dalam hadist Rasulullah saw:“Siwak merupakan kebersihan
bagi mulut dan keridhaan bagi Allah” (HR. Sahih Ahmad, Irwaul Ghalil no.
66).
8
Abdul Mufid, Criticism Of The Methods Of Interpretation Yusuf Al-Qardawi Against The Hadith
Rukyat Hilal (Kritik Terhadap Metode Interpretasi Yusuf Al-Qaradawi Terhadap Hilal Hadith), Kontemplasi:
Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. 8, No. 2, Desember 2020.
9
Al-Qarafi, al-Furuq (Anwar al-Buruq fi Anwa al-Furuq), Ed. Khalil Mansur, vol. 2 (Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), hlm. 61.
10
Yusuf al-Qaradawi, Madkhal li Dirasah asy-Syari’ah al-Islamiyyah, (Kairo: Wahbah, 2001), 201.
11
Yusuf al-Qaradawi, Kaifa Nata’amalu ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah, cet. ke-2, (Kairo: Dar asy-
Syuruq, 2004), hlm. 146.
Mengenai tujuan atau maksud (hadaf) dalam seperti odol dan sikat gigi
serta segala macam barang yang sama kedudukannya dengan siwak hadist ini
sebetulnya adalah membersihkan mulut sehingga Allah menjadi ridha kerena
kebersihan tersebut. Sedangkan siwak hanyalah media (wasilah) guna mencuci
mulut. Mengenai hadist ini, Yusuf al-Qardawi menuturkan bawasannya hal
demikian terjadi karena siwak cocok serta mudah didapatkan pada jazirah Arab
kala itu. oleh karenanya, siwak bisa diganti dengan barang lainnya.
Hal ini juga berlaku sebagaimana ru’yat al-hilal guna menetapkan
ramadhan. Pada saat itu melihat bulan dengan mata telanjang merupakan cara
paling mudah, tetapi kemudian teknologi menawarkan media (wasilah) yang lebih
mudah serta akurat, sehingga melihat bulan dengan mata telanjang tidak lagi
termasuk sebuah keharusan disebabkan terdapat media (wasilah) lain yang kiranya
lebih mudah serta akurat.12
12
Abdul Mufid, Criticism Of The Methods Of Interpretation Yusuf Al-Qardawi Against The Hadith
Rukyat Hilal (Kritik Terhadap Metode Interpretasi Yusuf Al-Qaradawi Terhadap Hilal Hadith), Kontemplasi:
Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. 8, No. 2, Desember 2020.
BAB III
KESIMPULAN
Hadaf dan wasilah berasal dari satu kaidah pemaknaan hadis dan juga dua
kalimat yang dihubungkan dengan kata wa yang kalimat asalnya ialah al-wasilah
al- mutaghayyirah wa al-hadf al-tsabit. Hadaf artinya maksud atau setiap aspek
yang krusial, bisa juga disebut sebagai tujuan, sedangkan wasilah ialah objek yang
disifati, memiliki arti yaitu suatu penghubung yang mendekatkan antara satu hal
dengan lainnya, atau dalam bahasa yang lebih simpel ialah alat atau instrumen.
Oleh karenanya tidak mengherankan apabila penerapan kaidah hadaf dan wasilah
perlu diketahui dalam rangka pemahaman pemaknaan suatu hadist. Adapun contoh
penjelas perbedaan antara hadaf dengan wasilah yaitu sebagaimana dalam hadist
Rasulullah saw: “Siwak merupakan kebersihan bagi mulut dan keridhaan bagi
Allah” (HR. Sahih Ahmad, Irwaul Ghalil no. 66)
Mengenai tujuan atau maksud (hadaf) dalam seperti odol dan sikat gigi serta
segala macam barang yang sama kedudukannya dengan siwak hadist ini sebetulnya
adalah membersihkan mulut sehingga Allah menjadi ridha kerena kebersihan tersebut.
Sedangkan siwak hanyalah media (wasilah) guna mencuci mulut. Mengenai hadist ini,
Yusuf al-Qardawi menuturkan bawasannya hal demikian terjadi karena siwak cocok
serta mudah didapatkan pada jazirah Arab kala itu. oleh karenanya, siwak bisa diganti
dengan barang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Afwadzi. Benny. Juni 2017. “Kritik Hadist dalam Perspektif Sejarawan” dalam
Mutawatir Jurnal Keilmuan Tafsir Hadith, Vol. 7, No. 1.
Al-Furuq dan Al-Qarafi. 1998. (Anwar al-Buruq fi Anwa al-Furuq), Ed. Khalil
Mansur, vol. 2. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Qaradawi. Yusuf. 2004. Kaifa Nata’amalu ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah. cet.
ke-2. Kairo: Dar asy-Syuruq.
Lee. D Robert. 2000. Mencari Islam Autentik. Jakarta: Mizan.
Mufid. Abdul. Desember 2020. Criticism Of The Methods Of Interpretation Yusuf Al-
Qardawi Against The Hadith Rukyat Hilal (Kritik Terhadap Metode
Interpretasi Yusuf Al-Qaradawi Terhadap Hilal Hadith), Kontemplasi:
Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. 8, No. 2.
Sagir. Akhmad. Juli 2010. Perkembangan Syarah Hadist Dalam Tradisi Keilmuan
Islam, Vol. 9, No. 2.