Anda di halaman 1dari 12

Nama : Okta Riski Tata Negara

Kelas. : H Pendidikan Agama Islam

Nim : 2111210184

A. PENGERTIAN HADIS

Menurut Ibn Manzhur, hadis berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata al-hadits, jamaknya: al-ahadits al-
haditsan dan al-hudtsan. Secara etimologis, kata ini memiliki banyak arti, di antaranya: al-Jadid (yang
baru), lawan dari al-qadim (yang lama), dan al-khabar, yang berarti kabar atau berita.1
Penjelasan Ibn Manzhur ini dinyatakan pula oleh Mahmud Yunus,2 yang menyatakan bahwa kata al-
hadits sekurang-kurangnya mempunyai dua pengertian: (a) jadid (baru), lawan dari qadim, jamaknya
hidats dan hudatsa; (b) khabar, berita atau riwayat, jamaknya ahadits, hidtsan, dan hudtsan.

Secara terminologis, hadis dirumuskan dalam pengertian yang berbeda-beda di antara para ulama.
Perbedaan-perbedaan pandangan itu lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan
masingmasing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya.

Ulama hadis mendefinisikan hadis sebagai berikut:

‫كل ما أثر عن النبي صلى هللا عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير أوصفة خلقية أو خلقة‬

Artinya:

"Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW. baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat
maupun hal ihwal Nabi."3

Menurut istilah ahli ushul fiqh, pengertian hadis ialah:

‫ كل ما صدر عن النبي صلى هللا عليه وسلم غير القران‬.

Muhammad Ibn Mukaram Ibn Manzhur, Lisan Al-Arab, 1992, juz II, hlm. 131.

2 3 Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Quran, 1973, hlm. 98.
Muhammad Ajaj Al-Khathib, As-Sunnah Qabla At-Tadwin, Kairo: Maktabah Wahbah, 1975, him. 19.

1
Artinya:

"Hadis yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW selam Al-Quran Al-Karim, baik berupa
perkataan perbuatan per Nabi yang bersangkutanat dengan backum syar

Tidak termasuk dalam istilah hadis adalah sesuatu yang tidak bersangkut paut dengan hukum, seperti
urusan pakaian yang merupakan bagian kebudayaan. Akan tetapi, dalam cara-cara berpakaian seperti
menutup aurat merupakan bagian dari hadis karena merupakan tuntutan syariat Islam. Itu sebabnya,
dalam kajian fiqh. berpakaian termasuk Jibiliyah, yaitu sebagian merupakan tuntutan kebudayaan,
sebagian lagi merupakan tuntutan syariat.

Adapun menurut istilah para fuqaha, hadis adalah:

‫ كل ما ثبت عن النبي صلى هللا عليه وسلم ولم يكن من باب الفرض وال الواجب‬.

Artinya:

"Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu
atau wajib.“S

Apabila ditinjau dari segi bentuknya, Ibn As-Subki (w. 771 H/ 1370 M) berpendapat bahwa pengertian
hadis adalah segala sabda dan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Ibn As-Subki tidak memasukkan taqrir
Nabi sebagai bagian dari rumusan definisi hadis. Alasannya, taqrir telah tercakup dalam afal, yakni
segala perbuatan. Apabila kata tajrir dinyatakan secara eksplisit, rumusan definisi akan menjadi ghair
mani”, yakni tidak terhindar dari sesuatu yang tidak didefinisikan.

Sementara kalangan ulama menyatakan bahwa hadis itu bukan hanya berasal dari Nabi SAW., melainkan
yang berasal dari sahabat

Ibid.
Ibid.

M. Syuhudi Ismail, Kaedah-kaedah Keshahihan Sanad Hadits, Telah Kritis dan Timpan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1988, hlm. 24.

Ulum Al-Hadis

61

dan tabi'in juga disebut hadis. Sebagai buktinya, telah dikenal adanya istilah hadis marfu', yaitu hadis
yang dinisbahkan kepada Nabi SAW., hadis mauquf, yaitu hadis yang dinisbahkan pada sahabat, dan
hadis maqtu', yaitu hadis yang dinisbahkan kepada tabi'in. Sebagian ulama berpendapat bahwa apabila
kata hadis itu berdiri sendiri, dalam arti tidak dikaitkan dengan kata atau istilah lain, biasanya yang
dimaksudkan adalah apa yang berasal dari Nabi SAW. Hanya saja, kadang-kadang kata hadis yang berdiri
sendiri itu memiliki pengertian tentang apa yang dinisbahkan kepada sahabat atau tabi'in.

Perbedaan sifat peninjauan tersebut kemudian melahirkan dua macam pengertian hadis, yakni
pengertian yang terbatas dan pengertian yang luas.
Pengertian hadis yang terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh Jumhur Al-Muhaditsin, ialah:

‫ما أضيف إلى النبي صلى هللا عليه وسلم قوال وفعالً أو تقريرا أو‬

Artinya:

"Sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir),
dan sebagainya."8

Dengan demikian, menurut umumnya ulama hadis, esensi hadis ialah segala berita yang berkenaan
dengan sabda, perbuatan, taqrir, dan 1 ihwal Nabi Muhammad SAW. Hal ihwal di sini adalah segala sifat
dan keadaan pribadi Nabi SAW.

*Adapun pengertian hadis secara luas, sebagaimana dikatakan Muhammad Mahfuzh At-Tirmidzi, ialah:

‫ان الحديث ال يختص بالمرفوع اليه صلى هللا عليه وسلم برجاء بإطالقه أيضا للموقوف وهو ما أضيف إلى‬

chur Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadits, Bandung: Al-Ma'arif, 1991, hlm. 6.

Ibid.

‫ والمقطوع وهو ما أضيف للشابي كذلك‬،‫)الصحابي من قول أوكيه‬.


Artinya:

"Sesungguhnya hadis itu bukan hanya yang dimarfukan kepada Nabi Muhammad SAW. saja, melainkan
dapat pula disebutkan pada apa yang maukuf (dinisbahkan pada perkataan dan sebagainya dari
sahabat), dan pada apa yang maqthu' (dinisbahkan pada perkataan dan sebagainya dari tabi'in)."9

Hal ini jelas menunjukkan bahwa para ulama beragam dalam mendefinisikan hadis karena mereka
berbeda dalam meninjau objek hadis itu sendiri.

Menurut ahli hadis, hadis ialah segala ucapan Nabi, perbuatan, taqrir, dan keadaannya. Adapun menurut
ahli ilmu ushul, hadis ialah segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi yang berkaitan dengan hukum
atau berdampak hukum.

Perbedaan antara ahli hadis dan ahli ushul di atas, dilatarbelakangi adanya perbedaan disiplin ilmu yang
secara spesifik berbeda antara satu dan lainnya sehingga menciptakan pandangan yang berbeda pula
terhadap pribadi Nabi SAW. sesuai dengan disiplin ilmu yang bersangkutan. Mushthafa As-Siba'i
berpendapat bahwa adanya perbedaan pengertian tentang istilah hadis itu karena adanya perbedaan
tujuan masing-masing ahli di berbagai bidang ilmunya.¹⁰

Ulama hadis, menurut As-Siba'i, dalam membahas pribadi dan perilaku Nabi sebagai tokoh penuntun
(pemimpin) yang telah digelari Allah sebagai yang pantas dijadikan teladan dan tuntunan (uswah wa
qudwah) oleh kita. Mereka mencatat segala kebiasaan, peristiwa,

Ibid., hlm. 12.

10 Mushthafa As-Siba'i, As-Sunnah wa Makanatuha fi At-Tasyri' Al-Islam, terjemahan Djafar Abd.


Muchith, Bandung: Diponegoro, cet. I, 1979, hlm. 70.

9
ucapan, dan perbuatan yang berkaitan dengan Nabi SAW., baik yang berupa penetapan hukum syara
maupun tidak.

Adapun ulama ushul membahas pribadi dan perilaku Nabi SAW. sebagai peletak dasar hukum syara yang
dijadikan landasan ijtihad oleh kaum mujtahid pada zaman sesudah beliau. Di samping itu, mereka
memandang beliau sebagai pemberi penjelasan tentang undang-undang kehidupan. Ucapan, perbuatan,
dan taqrir yang dimaksud di sini adalah yang berkaitan dengan penetapan hukum dan pengukuhannya.

Dengan pendapat tersebut, jelaslah perbedaan antara ahli hadis dan ahli ushul mengenai istilah
tersebut. Ulama hadis mengambil segala hal yang berhubungan dengan Nabi SAW., seperti biografi,
akhlak, berita-berita, ucapan, dan perbuatannya baik yang berkaitan dengan hukum syara maupun tidak.
Adapun ulama ushul hanya memandang Rasul Allah SAW. segi ucapan dan perbuatan serta
keputusankeputusan yang menetapkan hukum-hukum dan memutuskannya.

Oleh karena itu, definisi hadis yang dikemukakan oleh ahli ushul yang hanya mencakup aspek hukum
dari beberapa aspek hal ihwal Nabi SAW. penggunaannya terbatas dalam lingkup pembicaraan tentang
hadis sebagai sumber tasyri'. Adapun definisi yang dikemukakan oleh ahli hadis mencakup hal-hal yang
lebih luas.

Dalam khazanah ilmu hadis, istilah hadis sering disebut juga dengan istilah sunnah, khabar, dan atsar.

B. PENGERTIAN SUNNAH

Sunnah, menurut bahasa ialah:

‫الطريقة محمودة كانت أو مذمومة‬

Artinya:
"Jalan yang dilalui, baik terpuji atau tercela."

Adapun menurut istilah, pengertian sunnah antara lain sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Ajaj
Al-Khathib:

2001• ‫ النبي صل هللا عليه وسلم من قول أو فعل وصفة خلقية أو سيرة سواء كان قبل البعثة أو بعدهـا‬,

Artinya:

"Segala yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat,
kelakuan, perjalanan hidup, baik sebelum Nabi diangkat jadi Rasul maupun sesudahnya.""

Adapun kaitannya dengan lafazh sunnah, meskipun menurut kebanyakan ulama adalah sinonim
(muradif) dari lafazh hadis, tetapi ada juga yang membedakan antara keduanya. Hasbi Ash-Shiddieqy
menyatakan pendapatnya sebagai berikut:

"Tegasnya, antara sunnah dan hadis ada perbedaan yang tegas. Menamai sunnah dengan hadis adalah
istilah para mutaakhirin saja. Ahli hadis banyak memakai kata 'hadis', sedangkan ahli ushul banyak
memakai kata 'sunnah'." 12

Akan tetapi, Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan pula bahwa sunnah sama dengan hadis. Hadis dan sunnah
hanya dapat dibedakan dalam hal bahwa hadis konotasinya adalah segala peristiwa yang dinisbahkan
kepada Nabi SAW. walaupun hanya sekali beliau mengucapkannya atau mengerjakannya, walaupun
diriwayatkan oleh perseorangan saja. Adapun sunnah adalah sesuatu yang diucapkan atau dilaksanakan
oleh Nabi SAW. terus-menerus, dinukilkan dari masa ke masa dengan jalan mutawatir. Nabi SAW.
melaksanakannya beserta para sahabat, kemudian oleh para tabi'in dan generasi berikutnya sampai
pada masamasa berikutnya menjadi pranata sosial dalam kehidupan umat Islam. Abdurrahman ibn
Mahdy, ketika ditanya tentang keulamaan

Sufyan Ats-Tsaury, Al-A'uza'i dan Malik, ia mengatakan:


11 M. Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits 'Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar Al-Fikr, 1975, hlm. 19.

12 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1988, hlm. 31.

‫سفيان الثوري امام الحديث وليس بإمام فيالسنة ف واألوزاعي إمام في السنة وليس بإمام في الحديث ومالك أمام فيها‬

Artinya:

"Sufyan Ats-Tsaury adalah ulama ahli hadis dan bukan ahli di bidang sunnah dan Al-Auzai adalah ulama
ahli di bidang sunnah dan bukan di bidang hadis, sedangkan Malik adalah ulama yang ahli keduanya."13

Pendapat-pendapat tersebut memberi pengertian bahwa lafazh “hadis” dari segi istilah tidak identik
dengan lafazh “sunnah”. Demikian juga, ditinjau dari segi bahasa, kedua lafazh tersebut memang
berbeda.

Secara bahasa, lafazh “sunnah” berarti jalan yang dijalani, terpuji atau tercela. Suatu tradisi yang sudah
dibiasakan dinamai sunnah, walaupun tradisi itu tidak baik. Jamaknya adalah sunnan.¹4

Adapun lafazh "sunnah" disebutkan dalam syara, maka yang dimaksud adalah sesuatu yang
diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Nabi SAW., baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Oleh karena itu, dalam dalil-dalil syara disebut Al-Kitab dan As-Sunnah, yang berarti Al-Quran dan Al-
Hadis. ¹5

Dengan demikian, sunnah dan hadis bersumber dan bersandar kepada Nabi SAW. Hanya, sunnah lebih
spesifik dan khusus karena merupakan soal-soal praktis yang dicontohkan Nabi SAW., kemudian berlaku
sebagai tradisi di kalangan umat Islam.

Mengenai perbedaan pendapat tentang identik dan tidaknya pengertian hadis dan sunnah, sebaiknya
kita tidak berlebihan dalam menyikapinya sebab bagaimanapun, keduanya mempunyai sumber yang
sama. Sunnah adalah jejak dan langkah Nabi SAW. yang
13 M. Ajaj Al-Khathib, op.cit., hlm. 19-20. 14 Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 24. 15

M. Ajaj Al-Khathib, op.cit., hlm. 15.

terbentuk melalui tindakan dan ucapan-ucapan Nabi. Sedangkan hadis adalah berita tentang
ucapan, perbuatan, dan hal ihwal Nabi SAW. Jejak dan langkah Nabi tersebut di samping
dicontohkan juga diberitakan.

Berita yang benar tentang sunnah merupakan pedoman, dan berpedoman pada sunnah akan
kehilangan kontrol tanpa hadis yang memberikan gambaran yang benar tentang sunnah itu.
Sunnah merupakan bagian dari materi hadis, sedangkan hadis sebagiannya adalah berita
tentang sunnah.

C. PENGERTIAN KHABAR DAN ATSAR

1. Khabar

Khabar, secara etimologis berasal dari kata: khabar, yang berarti 'berita', dan lafazh atsar,
artinya 'bekas sesuatu'.16

Adapun secara terminologis, para ulama hadis tidak sepakat dalam menyikapi lafazh-lafazh
tersebut. Sebagian mereka berpendapat bahwa khabar adalah sinonim dari kata hadis dan
sebagian lagi tidak demikian. Hal ini karena khabar adalah berita, baik berita dari Nabi SAW.,
maupun dari sahabat atau berita dari tabi'in.

2. Atsar

Kata atsar akan lebih jelas pengertiannya apabila diberi keterangan di belakangnya, misalnya:
atsar Nabi, atsar sahabat, dan sebagainya. Akan tetapi, dalam istilah ilmu hadis, kata atsar
diidentikkan kepada yang diterima dari sahabat, tabi'in, dan lain-lain.

Memahami hakikat hadis melalui pembahasan ta'rif di atas merupakan pembahasan secara
teoretis. Secara real, hadis adalah yang tercantum dalam kitab-kitab hadis sebagai koleksi hadis
hasil upaya tadwin, yakni kegiatan mendokumentasikan hadis yang ditekuni para

Mahmud Yunus, op.cit., hlm. 113 dan 33.

16
‫ رواه الحاكم عن أبي هريرة‬. . ‫ تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما كتاب هللا تي‬-
Artinya:

"Telah kutinggalkan untukmu dua perkara (pusaka), tidak sekali-kali kamu tersesat selama-
lamanya, selama kamu masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku."
(H.R. Al-Hakim dari Abu Hurairah)

Melihat kedudukan Al-Hadis yang sangat penting itu, setiap umat Islam harus mempelajari hadis
dan mendalami ilmu-ilmunya agar mengetahui dan memahami hal-ihwal Al-Hadis secara
maksimal untuk pengamalan syariat Islam dan melakukan istinbath hukum agar mengetahui
problematikanya sehingga diharapkan mampu meletakkan Al-Hadis pada proporsi yang
sebenarnya.

Untuk pengamalan syariat dan istinbath hukum dengan mempergunakan hadis, kita harus
mengetahui hadis dan nilai dari hadis tersebut, apakah hadis yang dipakai dalil itu sahih, hasan
atau dha'if? Oleh karena itu, kita perlu mendalami ilmunya ('ulum al-hadis), baik yang berkenaan
dengan ilmu riwayah maupun ilmu dirayah-nya.

Memahami hadis secara jelas merupakan keharusan bagi umat Islam. Sering kita tahu tentang
sebutan hadis, tetapi tidak jelas yang mana hadis itu dan dari mana kita memperoleh hadis
untuk keperluan pengamalan ajaran Islam sehari-hari itu? Dengan ilmu riwayah, kita akan
mengetahui hadis secara teoretis dan mengetahui mana yang sebenarnya hadis itu? Adapun
tentang hadis yang terkoleksi dalam kitab-kitab hadis itu, penulisannya secara individu telah
berlangsung semenjak masa Nabi SAW., yang kemudian dikodifikasi secara resmi pada masa
khalifah Umar ibn 'Abd Al-´Aziz, hingga terkoleksi pada akhir abad III Hijriah dalam kitab
Mushannaf, Musnad, Sunan, dan kitab Shahih.

Dari hadis-hadis yang di-tadwin pada kitab-kitab hadis tersebut, setelah diseleksi oleh para
mudawin-nya, kualitasnya ada yang sahih,

wa

hasan, dan dha'if, bahkan ada yang maudhu'. Dari kenyataan itu, penting sekali mendalami ilmu
hadis dirayah yang berisi kaidah penentu maqbul dan mardud-nya suatu hadis.

Tadwin hadis sebagai proses periwayatan telah selesai pada abad III Hijriah. Akan tetapi, untuk
kemudahan pemahaman segi teksnya, sejak abad IV Hijriah telah ditekuni pula upaya
pembinaan terhadap teks hadis itu, berupa penyusunan kitab-kitab: Jami', Zawaid, Takhrij,
Athraf, Syarah, Mukhtashar, kitab materi khusus, dan lain-lain.
Segi ini pun harus diketahui oleh umat Islam. Dengan demikian, umat Islam di samping
memahami hadis dari segi periwayatannya, juga mengetahui sejarah perkembangan hadis itu
sendiri. Hal ini karena periwayatan itu merupakan sejarah perjalanan hadis hingga terkoleksi
pada diwan/kitab hadis. Sejarah perkembangan hadis ini terus berlanjut sampai kapan pun,
yakni berupa deskripsi tentang upaya pembinaan hadis sebagai dasar syariat Islam.

Kedudukan Al-Hadis sebagai dasar ajaran Islam, mengalami persepsi dan pandangan yang
bervariasi, baik di kalangan umat Islam sendiri maupun pandangan dari luar umat Islam.

" Problematika ini bersumber dari aspek sejarah periwayatan hadis dan karena kondisi kualitas
hadis itu sendiri. Di sinilah letak pentingnya memahami kaidah atau kriteria yang digunakan para
muhaditsin dalam menyeleksi hadis. Kaidah tersebut tersusun secara berkembang pada ilmu
hadis dirayah, baik yang berkaitan dengan rawi, sanad maupun matan. Dengan memahami teori
atau kaidah tersebut, kita bukan saja tahu cara para muhaditsin dari kalangan mutaqaddimin
menyeleksi hadis, melainkan dapat melanjutkan pengkajian segi kualitas hadis dengan
menggunakan kaidah-kaidah yang tersusun dan petunjuk dari hasil arya para muhaditsin
terdahulu itu, di samping bisa meng-gunakan banh i teori dan metodologi dari ilmu-ilmu lain
yang relevan.

Anda mungkin juga menyukai