Disusun Oleh :
KELOMPOK 13
1
QS. Ad-Dhukhan ayat 21
2
Qamus Al-Muhiith, Juz 4 Hal. 15
3
Washil bin Atha lahir tahun 80 H, murid dari Hasan Al-Bashri, tidak keluar dari
majlisnya sampai terjadi kasus al-manzilah bainal manzilatain. Pendiri kelompok Muktazilah.
Menulis beberapa kitab seperti Ashnaf Al-Murjiah, Ma’ani Al-Quran. Wafat pada tahun 131 H.
4
Abu Said Al-Hasan bin Abi Hasan bin Yasar Al-Bashri, termasuk pembesar pada masa
Tabi‟in. Ayahnya adalah maula Zaid bin Tsabit ra dan ibnunya maula Ummu Salamah ra. Wafat
110 di Bashrah.
5
Al -Jurjaani, At-Ta’riifaat, hal. 238
berdiri sendiri pada zat. Ada yang menjuluki dengan istilah kaum al-
Qadariyah, karena mereka menganut paham manusia memiliki kebebasan
berkehendak dan kemampuan berbuat. Ada yang menamakan dengan al-
Wa‟idiyah, karena mereka mengajarkan paham ancaman Tuhan terhadap
orang-orang yang tidak taat pasti berlaku. Dan ada yang menjuluki
Mu‟tazilah dengan Jahmiyah karena kedua kelompok ini banyak memiliki
persamaan dalam hal meniadakan ru‟yah dan shifat, Al-Quran adalah
makhluk dan dalam masalah keyakinan lainnya, bahkan Bukhari dan Imam
Ahmad menyamakan Mu‟tazilah dengan Jahmiyah dalam bukunya Ar-
Radd alal Jahmiyah dimana yang dimaksud Jahmiyah adalah kelompok
Mu‟tazilah.6
Nama yang diberikan pihak Mu‟tazilah
Mu‟tazilah menyebut dirinya sebagai Ahl al-„adl wa al-
tauhidsebagaimana disebutkan oleh As-Sahrastani, namun menurut Harun
Nasution, walaupun lebih senang disebut Ahl al-„adl wa al-tauhid, mereka
tidak menolak disebut Mu‟tazilah. Bahkan dari ucapan-ucapan pemuka
Mu‟tazilah dapat disimpulkan bahwa mereka sendirilah yang
menimbulkan nama itu. Al-Qadhi Abd al-Jabbar misalnya mengatakan
bahwa dalam al-Quran terdapat kata I‟tazalayang mengandung arti
menjauhi yang salah atau tidak benar, dengan demikian Mu‟tazilah
mengandung arti pujian. Ia juga menambahkan adanya hadits nabi yang
menerangkan bahwa umat akan terpecah menjadi 73 golongan dan yang
paling patuh dan terbaik di antaranya adalah golongan Mu‟tazilah.7Mereka
juga menyebut dirinya sebagai Ahlul Haq, Al-Firqatun Najiyah dan Al-
Munazzihuun Allah „Anin Naqshi. Mereka menyebutkan demikian karena
menganggap berada dalam kebenaran dan selainnya dalam kebatilan.8
6
Awad bin Abdullah Al-Mu‟tiq, Al-Mu’tazilah wa Ushuluhum Al-Khamsah wa Mauqifu
Ahlus Sunnah Minha, hal. 21-24
7
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, Jurnal Ilmu
Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, hal. 90
8
Awad bin Abdullah Al-Mu‟tiq, Al-Mu’tazilah wa Ushuluhum Al-Khamsah wa Mauqifu
B. SEJARAH LAHIRNYA MU’TAZILAH
Setelah mengetahui arti kata Mu‟tazilah secara bahasa dan istilah dan
nama lain Mu‟tazilah, kita mempelajari asal penamaan Mu‟tazilah itu sendiri.
Ketika membahas asal Muktazilah, ahli sejarah terbagi menjadi dua kaca mata
yaitu kaca mata politik dan kaca mata agama.
Dari kaca mata Agama
Pendapat yang mengatakan bahwa nama Mu‟tazilah mulai muncul sejak
peristiwa keluarnya Washil dari pengajian Hasan al-Bashri, di mana dari Hasan
Bashri muncul ucapan “I‟tazala „Anna”. Dari kata-kata tersebut muncullah
kemudian sebutan Mu‟tazilah bagi Washil dan para pengikutnya. Pendapat
mayoritas ini dipegang oleh penulis buku buku firaq seperti Al-Baghdadi dan
As-Sahrastani. Mereka meriwayatkan bahwa Wasil bin Atha‟ telah berbeda
dengan gurunya Hasan Bashri9. Washil bin Atha‟ ber-pendapat bahwa bagi
orang yang melakukan dosa besar sedang ia tidak bertaubat, maka pada hari
akhirat kelak ia berada di antara dua tempat (antara surga dan neraka) yang
diistilahkan dengan Al-Manzilah Baina Al-Manzilatain. Washil bin Atha‟
kemudian memisahkan diri dari gurunya dan diikuti oleh beberapa murid
Hasan Bashri, seperti „Amr ibn „Ubayd. Atas peristiwa ini Hasan al-Bashri
mengatakan: “Washil menjauhkan diri dari kita (I‟tazala „anna)”. Kemudian
mereka digelari kaum Mu‟tazilah.10
Ada riwayat lain tentang penyebutan nama Mu‟tazilah sebagaimana
disebutkan Ibnu Khalkan, Qatadah ibn Da‟amah pada suatu hari masuk ke
Mesjid Bashrah dan menuju ke majelis „Amr ibn „Ubaid yang disangkanya
adalah Hasan al-Bashri. Setelah ternyata yang didapatinya bukan majelis Hasan
al-Bashri, ia berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata: “Ini kaum
9
Namanya adalah Abu Said Al-Hasan bin Abil Hasan bin Yasar Al-Bashri. Sangat
dihormati dan ulama besar dari kalangan Tabi‟in. Ayahnya maula Zaid bin Tsabit dan ibunya
maula dari Ummu Salamah. Wafat tahun 110 H.
10
Analiansyah, Peran Akal dan Kebebasan Bertindak dalam Filsafat Ketuhanan
Muktazilah, Jurnal Substantia, Vol.15 No.1, April, 2013, hal. 93. Peristiwa tersebut menurut
Ahmad Amin semata- mata bertema agama, bukan bertema politik. Lihat Ahmad Amin, Fajrul
Islam, h. 288-289.
Mu‟tazilah”. Semenjak itu mereka disebut kaum Mu‟tazilah.11Mu‟tazilah ini
muncul disebabkan karena persoalan agama.12 Mu‟tazilah inilah yang
kemudian melahirkan ilmu baru dalam Islam yang dikenalkan Mu'tazilah, yaitu
“Ilmu Kalam” yang berisi perpaduan antara Filsafat dan Logika dengan ajaran-
ajaran agama Islam, sehingga merupakan gagasan-gagasan baru, konsepsi-
konsepsi filsafat mengenai teologi Islam .
Dari kaca mata Politik
Nama Muktazilah pernah muncul satu abad sebelum munculnya
Muktazilah yang dipelopori oleh Wasil bin Atha‟. Sebutan Mu‟tazilah ketika
itu merupakan julukan bagi kelompok yang tidak mau terlibat dengan urusan
politik, dan hanya menekuni kegiatan dakwah dan ibadah semata. Secara
khusus sebutan Mu‟tazilah itu ditujukan kepada mereka yang tidak mau ikut
peperangan, baik perang Jamal antara pasukan Saidina Ali ibn Abi Thalib
dengan pasukan Siti Aisyah, maupun perang Siffin antara pasukan Saidina Ali
ibn Abi Thalib melawan pasukan Mu‟awiyah. Kedua peperangan ini terjadi
karena persoalan politik.13Akibat perang ini umat Islam terbagi menjadi
beberapa kelompok mengenai pelaku dosa besar yang dipelopori oleh Khawarij
yang menganggap bahwa Ali dan pendukung arbitase adalah pelaku dosa besar
karena mereka mengambil hukum tidak berdasarkan hukum Allah SWT
sehingga mereka dicap kafir. Pernyataan ini dibantah oleh kelompok Murjiah,
menurut mereka pelaku dosa besar tetap mukmin dan persoalan dosanya
dikembalikan kepada Allah SWT.
Reaksi dari dua kelompok tersebut, memicu timbulnya kelompok baru
yaitu Muktazilah, menurut mereka pelaku dosa besar tempatnya antara mukmin
dan kafir (al-manzilah bainal manzilatain).14Mu‟tazilah sempat eksis pada
masa dinasti Umayyah dan mengalami puncaknya pada masa dinasti
11
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta: UI
Press, 1972), hal. 38-39. Lihat juga Wafayatul A’yan: 4 hal.85
12
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, Jurnal Ilmu
Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, hal. 89
13
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, Jurnal Ilmu
Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, hal. 89
14
Ahmad Zaeny, Idiologi dan Politik Kekuasaan Kaum Muktazilah, Jurnal TAPIs Vol.7
No.13 Juli-Desember 2011 hal.95
Abbasiyah. Berikut penjelasan singkat perkembangan Mu‟tazilah pada masa
Umayyah dan Abbasiyah.
19
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Antara Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 64
20
Kata Mihnah berasal dari kata bahasa Arab yang artinya mencobai, menguji.
Sedangkan Mihnah dalam konteks aliran Mu‟tazilah adalah pengujian keyakinan terhadap para
ahli fiqh dan ahli Hadits tentang kemakhlukan Al Qur‟an, serta sangsi hukum yang harus mereka
terima sehubungan dengan keyakinan mereka tersebut.Lihat: Harun Nasution, Sejarah Pemikiran
Dalam Islam, hal.77
Dan parahnya, sikap ulama tersebut dijadikan sebagai bentuk rekomendasi
dan dukungan tentang pernyataannya, karena para pengusung ajaran Jahmiyah
itu selanjutnya menyeru kepada masyarakat untuk menerima doktrin tersebut
dengan menyertakan jawaban para ulama di atas, akibatnya banyak dari
mereka yang terpengaruh dengan seruan bid‟ah ini sehingga terjadilah fitnah
yang amat besar. Kemudian Al-Makmun memerintahkan kepada Ishaq bin
Ibrahim untuk memanggil ulama periode kedua, di antara mereka adalah
Ahmad bin Hanbal, Qutaibah bin Sa‟id, Bisyr bin Al-Walid, Abu Hasan Al-
Ziyadi, Ali bin Abu Muqatil, Sa‟dawaih Al-Washiti, Ali bin Ja‟di, Ishaq bin
Abu Israil, Ibnu Al-Hars, Ibnu Aliyah Al-Akbar, Yahya bin Abdul Hamid Al-
Umari, Abu Nashr Al-Tamr, Abu Ma‟mar Al-Qathi‟i, Muhammad bin Hatim
bin Maimun, Muhammad bin Nuh, Al-Fadhl bin Ghanim, Ubaidillah bin Umar
Al-Qawariri, Al-Hasan bin Hammad Sajadah dan lainnya. Setelah mereka
terkumpul Ishaq bin Ibrahim membacakan surat dari khalifah Al-Makmun
kepada mereka.Empat orang saja yang tetap tegar tidak mengakui pernyataan
tesebut, keempatnya adalah Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Nuh, Al-
Hasan bin Hammad Sajadah dan Ubaidillah bin Amr Al-Qawariri, dan
akhirnya mereka dibelenggu dengan rantai besi.
Keesokan harinya mereka diinterogasi kembali, Sajadah mengakui
kemakhlukan Al-Quran, lalu ia dilepaskan dari belenggunya dan dibiarkan
pergi, hari berikutnya giliran Al-Qawariri yang mengakui bahwa Al-Quran itu
makhluk sehingga ia dilepaskan menyusul rekannya Sajadah, hingaa yang tetap
ditahan adalah Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh.Sebelum
meninggal dunia al Ma‟mun menulis surat wasiat kepada penggantinya yaitu
Abu Ishak Muhammad al Mu‟tashim, agar tetap terus melaksanakan mihnah.
Al Mu‟tashim sendiri dibesarkan dalam suasana ketentaraan, sehingga beliau
lebih menyenangi kemiliteran dari pada ilmu pengetahuan, sehingga
Mu‟tazilah tidak lagi mendapat prioritas yang utama. Mihnah sendiri tetap
dilaksakan, hanya saja sebatas pemenuhan surat wasiat. Akan tetapi bagi yang
membangkang ia akan diberi hukuman tegas.
Dalam pelaksanaan wasiat ini al Mu‟tashim melakukan mihnah dengan
lebih kejam kepada para ulama. Bahkan sebagian ada yang dibunuh. Ahmad
Ibnu Hambal dicambuk dan dipenjarakan karena faham khalq Al Qur‟an dan ia
menerimanya dengan tabah.Setelah al Mu‟tashim meninggal dunia dan
digantikan oleh Abu Ja‟far Harun al Watsiq. Pada periode ini mihnah tetap
dilaksanakan, bahkan ia sendiri yang membunuh pembangkang yang menolak
mihnah. Kemudian ia meninggal dunia. Khaliafah selanjutnya adalah Abu
Ja‟far Al Mutawakkil. Al Mutawakkil bukan penganut Mu‟tazilah, sehingga
pada masanya, mihnah hanya berlangsung 2 tahun saja. Kemudian ia
menurunkan aliran ini dari mazhab resmi negara dan membebaskan Ahmad
Ibnu Hambal.
A. Tokoh Muktazilah
Dalam perkembangannya, Muktazilah tidak hanya berpusat di kota Basrah
sebagai kota kelahirannya, tetapi juga berpusat di kota Bagdad, yang
merupakan ibu kota pemerintahan. Karena itu, jika berbicara tentang tokoh
pendukungnya maka kita harus melihatnya dari kedua kota tersebut.Menurut
analisa Yoesoef Sou‟yb, antara kedua daerah tersebut terdapat beberapa
perbedaan karakteristik, yaitu :
Pertama, Pemuka Mu‟tazilah di Basrah cenderung menghindari jabatan
birokrasi di pemerintahan maupun di pengadilan. Dengan demikian mereka
dapat lebih fokus pada bidang agama dan keilmuan dan dapat mengemukakan
pemikiran secara leluasa tanpa terikat dengan kepentingan pemerintah atau
pihak lainnya. Sedangkan di Bagdad, mereka menggunakan kesempatan untuk
menduduki jabatan-jabatan dengan tujuan untuk mendapat dukungan sekaligus
perlindungan.
Kedua, Pemuka di Basrah menyebarkan paham tanpa pemaksaan dan
kekerasan, melainkan lebih banyak menanti kesadaran umat untuk
mengikutinya. Sedangkan di Bagdad, terkadang berusaha secara sungguh-
sungguh dan melakukan kekerasan agar masyarakat mengikuti aliran
Mu‟tazilah.21
21
Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Pikiran Islam, (Jakarta:
PustakaAl-Husna, 1982), cet.I, h.265.
3. Jarullah Abul Qasim Muhammad ibn Umar (467-538 H/1075-1144 M).
Ia lebih dikenal dengan panggilan al-Zamakhsyari. Ia lahir di
Khawarazm (sebelah selatan lautan Qazwen), Iran. Ia tokoh yang telah
menelorkan karya tulis yang monumental yaitu Tafsir Al-Kasysyaf.
4. Abul Hasan Abdul Jabbar ibn Ahmad ibn Abdullah al-Hamazani
alAsadi. (325-425 H). Ia lahir di Hamazan Khurasan dan wafat di Ray
Teheran. Ia lebih dikenal dengan sebutan Al-Qadi Abdul Jabbar. Ia
hidup pada masa kemunduran Mu‟tazilah. Kendati demikian ia tetap
berusaha mengembangkan dan menghidupkan paham-paham
Mu‟tazilah melalui karya tulisnya yang sangat banyak. Di antaranya
yang cukup populer dan berpengaruh adalah Syarah Ushul al-Khamsah
dan Al-Mughni fi Ahwali Wa al-Tauhid.
22
Mudasir bin Rosder, Masalah Uluhiyah dalam Aliran Muktazilah, Jurnal Islamiyyat,
Vol.15 No.3-14, hal. 4
Sahrastani menjelaskan beberapa faktor terjadinya perbedaan pandangan yang
menyebabkan lahirnya sekte atau golongan dalam Islam:Pertama, masalah sifat
dan keesaan Allah SWT, termasuk sifat azali-Nya, sebagian ada yang
menerima atau mengakui sifat Allah dan sebagian ada yang menolaknya.
Begitu juga tentang sifat yang wajib, mustahil dan jaiz. Masalah ini menjadi
ajang perdebatan di antara golongan Asyariyah, Karamiyah, Mujassimah dan
Muktazilah. Kedua, masalah qadha, qadar, keadilan Allah, jabar dan kasab,
keinginan berbuat baik dan jahat dan masalah yang berada di luar kemampuan
manusia. Masalah ini diperdebatkan oleh Qadariyah, Najariyah, Asyariyah dan
Karamiyah.
Ketiga, masalah janji (wa‟ad), wa‟id (ancaman) dan asma Allah. Masalah
ini diperdebatkan oleh Murji‟ah, Wa‟diyah, Muktazilah, Asyariyah dan
Karamiah.
Keempat, masalah wahyu, akal, kenabian dan imamah. Sebagian golongan
menyatakan imam sudah ditunjuk oleh Nabi dan sebagian yang lain
menyatakan imam harus dipilih, sementara mengenai cara penggantian
imam,ada yang mengatakan melalui penunjukan dan ada yang mengatakan
melalui pemilihan. Masalah ini diperdebatkan oleh Syiah, Khawarij,
Muktazilah, Karmiyah dan Asyariyah.23
Menurut Abu Zahrah, dalam menetapkan akidah, Mu‟tazilah berpegang
pada premis-premis logika, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak dapat
dijangkau akal. Mereka mempercayai kemampuan dan kekuatan akal. Setiap
masalah yang timbul mereka hadapkan kepada akal. Yang dapat diterima akal,
mereka terima, dan yang tidak dapat diterima akal mereka tolak.Muktazilah
sering disebut filosof Islam karena banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat
Yunani dan logika dalam menemukan landasan-landasan paham mereka.
Penyebabnya adalah karena mereka menemukan dalam filsafat Yunani,
keserasian dengan kecenderungan pemikiran mereka, kemudian mereka
jadikan sebagai metode berpikir dan berargumentasi. Dan ketika pihak dari luar
23
Zuhelmi, Epistimologi Pemikiran Muktazilah Pengaruhnya terhadap Perkembangan
Pemikiran Islam di Indonesia, Jurnal LIA, No.2, Desember 2013, Th XIV, hal. 128
Islam berusaha meruntuhkan dasar ajaran Islam dengan argumentasi logis,
Muktazilah dengan gigih menolak mereka dengan menggunakan metode
diskusi dan debat.24
Menurut pemuka Mu‟tazilah, Abu al-Husain al-Khayyat, seseorang belum
bisa diakui sebagai anggota Mu‟tazilah kecuali jika sudah mengakui dan
menerima lima dasar ajaran Mu‟tazilah (al-ushul al-khamsah).25 Sehingga
Mu‟tazilah adalah aliran yang mendasarkan faham keagamaan mereka pada
lima ajaran ini. Lima ajaran ini adalah : 1) “at-tauhid” keesaan Tuhan, 2) “al-
adl” keadilan Tuhan, 3) “al-wa‟du wal wa‟id” janji dan ancaman 4) “al-
manzilah bainal manzilatain” posisi antara dua posisi dan 5) “amar makruf nahi
mungkar” (menyuruh berbuat kebaikan dan melarang segala kemungkaran).
24
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, Jurnal Ilmu
Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, hal. 94
25
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, juz III, (Cairo Al-Nahdhah al-Mishriyah, 1966), h.22.
26
Khaitunnas Jamal, Peran Muktazilah dalam Menafsirkan Al-Quran, Jurnal
An-Nur, Vol.4 No.2, 2015, hal. 241
melahirkan dan tiada dilahirkan, tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan
tidak bisa digambarkan dengan akal pikiran. Ia Maha mengetahui, Yang
Berkuasa dan Yang Hidup. Hanya Ia sendiri Yang Qodim, tiada yang Qodim
selain- Nya, tiada pembantu bagi-Nya dalam menciptakan.27
Dari pengertian di atas, nampak jelas bahwa pikiran-pikiran Mu'tazilah
mengambil istilah-istilah filsafat seperti syahs, jauhar, aradl, teladan
(contah/idea) dan sebagainya. Prinsip Tauhid ini dipertahankan dan diberi
argumentasi sedemikian rupa, sehingga betul betul murni.
Pemahaman Tauhid di atas juga berimplkasi pada pernyataan
kemakhlukan Al-Quran sebagai konsekuensi peniadaan tajsim dan nafyus
shifatkarena dianggap mengotori keesaan Allah.
Beberapa contoh pendapat Mu‟tazilah terkait konsep Tauhid pendapat
Muktazilah tentang ayat yang menunjukkan Tuhan punya tangan, tangan di sini
diartikan kekuasaan dan dalam ayat yang menunjukkan Tuhan bertempat
dalam Arsy‟ diartikan bahwa Tuhan menguasai dan sebagainya. Alasan
Mu'tazilah menta‟wilkan ayat-ayat tersebut, karena apabila diartikan secara
harfiah tidak masuk akal dan bertentangan dengan ayat yang lain serta akan
mengurangi kesucian Tuhan sendiri. oleh sebab itu di dalam menjabarkan
Tuhan Yang Maha Esa ini mensifatinya dengan sifat-sifat salbiyah (negatif)
seperti tidak berjisim, tidak berarah, tidak berupa, tidak dan sebagainya yang
pada prinsipnya tidak sama dengan sifat makhluk.
Contoh lainnya dalam masalah melihat Tuhan. dikatakan bahwa Tuhan
tidak berjisim, maka juga tidak berarah. Jika Tuhan tidak berarah, maka
manusia tidak dapat melihat-Nya karena setiap sesuatu yang dapat dilihat itu
pasti berada pada suatu tempat atau arah, disamping dibutuhkan beberapa
syarat seperti adanya cahaya, warna dan sebagainya, dan yang demikian itu
mustahil bagi Allah.28
27
Imam Al-Asy‟ari, Maqalatul Islamiyyin wa Ikhtilaful Mushalliin, (Dar
Faraznir, 1980, cet.3), hal.156
28
Analiansyah, Peran Akal dan Kebebasan Bertindak dalam Filsafat Ketuhanan
Muktazilah, Jurnal Substantia, Vol.15 No.1, April, 2013, hal. 92
Keadilan Tuhan (Al-Adl)
Keadilan Tuhan bagi Mu'tazilah erat hubungannya dengan keesaan Tuhan
(At-Tauhid). Kalau At-Tauhid adalah mensucikan Tuhan dari adanya
persamaan dengan makhluk, maka Al-Adl adalah mensucikan Tuhan dari
perbuatan dhalim. Keadilan Tuhan adalah salah satu sendi pokok setalah
keesaan Tuhan dalam pokok ajaran Muktazilah. Mereka bangga menamakan
diri sebagai ahlul „adl wat tauhid. Meskipun seluruh kaum muslimin mengakui
bahwa Allah adalah Maha Adil, namun Muktazilah memberi penekanan khusus
pada keadilan Tuhan.
Ada tiga hal pokok yang menjadi penekanan Muktazilah sehubungan
dengan prinsip keadilan yaitu: Pertama, Allah mengarahkan makhluknya
kepada suatu tujuan dan bahwa Allah menghendaki yang terbaik bagi hamba-
Nya.Kedua, Allah tidak menghendaki keburukan, maka dari itu tidak
memerintahkan yang buruk. Ketiga, Allah tidak menciptakan perbuatan
hamba-Nya yang baik maupun yang buruk; manusia itu bebas dan ia
menciptakan perbuatannya dan itu menjadi dasar adanya pahala dan hukuman.
Menurut Muktazilah, Tuhan yang Maha Bijaksana tidak akan bertindak
secara semena-mena, akan tetapi dalam tindakan-Nya itu terkandung
kebijaksanaan dan tujuan. Orang bijak mungkin berbuat untuk kepentingan
dirinya atau untuk kepentingan orang lain, akan tetapi Tuhan mustahil berbuat
untuk kepentingan diri-Nya sendiri karena mengejar kepentingan diri sendiri
adalah pertanda kekurangan. Oleh karena itu pastilah Tuhan berbuat baik untuk
kepentingan orang lain dalam hal ini makhluk-Nya.
Maka kebaikan dan kemaslahatan makhluk adalah tujuan yang terkandung
dalam perbuatan Tuhan. Demi keadilan-Nya Allah tidak akan pernah berbuat
buruk atau dzalim terhadap makluk-Nya. Bahkan menurut suatu pandangan
Muktazilah, Tuhan wajib melakukan yang terbaik bagi hamba-Nya.29
Konsekuensi lanjut dari keadilan menurut Muktazilah bahwa manusia
menciptakan perbuatannya. Penegasan ini untuk menjelaskan arti tanggung
29
Drs. H. Achmad Ghalib, M.A, Rekonstruksi Pemikiran Islam, UIN Jakarta
Press, Ciputat, hal. 48
jawab manusia. Menurut mereka, tidak adil jika manusia tidak menciptakan
perbuatannya sehingga Tuhan menghukumnya atas sesuatu yang ia tidak
berdaya apa apa terhadapnya. Konsekuensi selanjutnya Muktazilah
memberikan penghargaam yang tinggi kepada kemampuan manusia dan
kompetensi akalnya untuk mengetahui yang baik dan yang buruk. Menurut
Muktazilah baik dan buruk itu bersifat dzati (objektif), padanya terdapat
suatu kualitas yang dapat dipatoki untuk menentukan baik dan buruk.30
30
Syamsul Anwar, Tiga Aliran Epistemologi Hukum Islam, Jurnal Al-Mawarid
Edisi Pertama, September- Desember 1993, hal. 13
menyangkut perkara kafir dan mengkafirkan orang muslim yang kedapatan
telah melakukan dosa besar (fasik).
Bagi kaum khawarij, mereka yang fasik itu (para pendosa) bisa
digolongkan kedalam orang-orang yang kufur, oleh karena itu mereka sama
saja dengan orang kafir. Atau tegasnya, menurut kaum khawarij mereka itu
adalah kafir.
Sebaliknya, menurut kelompok murjiah, sepanjang imannya masih utuh
walaupun seseorang telah melakukan kejahatan dan berdosa besar maka dia
masih tetap dianggap orang muslim. Alasan kelompok ini sederhana, bahwa
urusan hati siapa yang tahu. Dan iman adalah urusan hati. Jadi sepanjang
hatinya masih beriman maka dia adalah tetap orang muslim.
Kaum Mu‟tazilah tampil ditengah-tengah mereka dengan mengatakan
bahwa untuk perkara seperti itu maka manzilah wal manziltain- lah dia. Orang
yang melakukan perbuatan dosa besar itu adalah ada diantara dua posisi, yakni
antara kafir dan muslim. Orang yang melakukan perbuatan fasik itu bukanlah
termasuk kedalam golongan kaum muslimin dan bukan pula termasuk kedalam
golongan kafir, mereka ada diantara dua posisi itu.
Doktrin inilah yang kemudian melahirkan aliran Mu‟tazilah yang digagas
oleh Washil ibn Atha. Wasil memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa
besar selain syirik, tidak mukmin tidak pula kafir, tetapi fasik. Jadi kefasikan
adalah suatu hal yang berdiri sendiri antara iman dan kafir. Tingkatan orang
fasik di bawah orang mukmin dan di atas orang kafir. jalan tengah ini
diambilnya dari:
1. Ayat-ayat Quran dan hadis-hadis yang menganjurkan kita mengambil
jalan tengah dalam segala sesuatu.
2. Pikiran-pikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa ke-utamaan
(fadilah) ialah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.
3. Plato yang mengatakan bahwa ada suatu tempat diantara baik dan
buruk.
Amar Makruf Nahi Mungkar
Ajaran ini berhubungan dengan pembinaan moral, dimana dalam membina
moral umat, Muktazilah berpendapat bahwa amar ma‟ruf nahi mungkar
sebagai suatu bentuk dari kontrol sosial wajib dijalankan. Kalau dapat cukup
dengan seruan, tetapi kalau terpaksa dengan kekerasan.31
Sejarah mencatat, Mu'tazilah pernah memakai kekerasan dalam
menyiarkan ajarannya yang menyangkut seorang ulama besar, yakni Ahmad
ibn Hambal terpaksa masuk penjara karena berbeda pendapatnya mengenai
status AlQur‟an, dalam peristiwa “Mihnah”, semacam ujian monoloyalitas
bagi pejabatpejabat negara.
31
Drs. H. Achmad Ghalib, M.A, Rekonstruksi Pemikiran Islam, UIN Jakarta
Press, Ciputat, hal. 49
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Aliran Mu‟tazilah pernah berkembang di dunia Islam zaman klasik
dari abad kedua Hijrah hingga abad ketujuh Hijrah. Aliran yang
dipelopori oleh Washil ibn Atha ini sempat meraih kemajuan dan
kejayaan pada abad ketiga Hijrah pada masa Dinasti Abbasiyah.
Kemudian mengalami kemunduran dan akhirnya hilang sama sekali
setelah penyerangan pasukan Mongolia ke Bagdad tahun 1258 M.
2. Berkembangnya aliran ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain :
Pemikiran teologi Mu‟tazilah yang bercorak rasional dan liberal serta
pemujaan terhadap akal/rasio menarik minat banyak pihak terutama
para filosuf, ulama dan juga penguasa pada masa itu.
a. Aliran ini mendapat dukungan dan pengakuan resmi dari
pemerintah, sehingga ia mendapat perlindungan dari penguasa.
Karena itu mereka dapat lebih leluasa menyebarkan paham
danpemikirannya sampai melakukan pemaksaan dan tindak
kekerasan.
3 Aliran ini kemudian mengalami kemunduran dan akhirnya lenyap,
disebabkan oleh antara lain :
a. Karena mereka terlalu mengagungkan akal, berpikir rasional dan
liberal, sehingga terkesan mengabaikan wahyu dan sunnah
sebagai sumber utama akidah/teologi. Hal ini akhirnya
menimbulkan ketidak senangan kaum muslimin..
b. Terjadinya tindak kekerasan bahkan pemenjaraan terhadap
sejumlah ulama menambah timbulnya kebencian masyarakat
terhadap aliran ini, sehingga mereka pun meninggalkannya.
c. Mulai berkembangnya aliran yang dipelopori Imam al-Asy‟ari,
yang lebih bercorak tradisional dan moderat. Teologi ini
kemudian banyak mendapat simpati kaum muslimin.
d. Intervensi penguasa dalam bentuk pencabutan aliran resmi
Negara, sekaligus pelarangan menganut aliran Mu‟tazilah, turut
melemahkan posisi aliran ini, sehingga akhirnya lenyap dari
dunia Islam.
B. Saran
Pemakalah menyadari bahwa sepenuhnya makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, pemakalah mengharapkah kritik dan saran
tentang materi ini yakni Aliran Mu‟tazilah untuk disempurnakan lebih baik lagi
dan dapat menjadi pelajaran untuk selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ghalib, M.A, Rekonstruksi Pemikiran Islam, UIN Jakarta Press, Ciputat,
Cet. 1 tanpa tahun.
Ahmad Zaeny, Idiologi dan Politik Kekuasaan Kaum Muktazilah, Jurnal TAPIs
Vol.7 No.13 Juli-Desember 2011
Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Raja Grafindo
Persada Jakarta, 2000
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta,
1973
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Antara Pustaka, Jakarta, 1996