Waljama’ah
Disusun Oleh:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
Jl. Hariangbanga No. 2 Tamansari – Bandung
Telp: (022) 4203368 | Fax: (022) 4231213
Aliran Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah Waljama’ah
Aliran Mu’tazilah adalah aliran yang membawa persoalan persoalan teologi lebih
mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum
Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan mereka banyak memakai akal sehingga
mereka mendapat nama “Kaum Rasionalitas Islam”. (Harun Nasution, 1986:38)
Berbagai analisa diajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka.
Uraian yang biasa disebut buku-buku ‘Ilm Al-Kalam berpusat pada peristiwa yang
terjadi antara Wasil Ibn Atha serta temanya ‘Amr Ibn Ubaid dan Hasan Al-Basri di
Basrah. Waasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan Al-Basri
di Masjid Basrah. Pada suatu hari datang seseorang bertanya mengenai pendapatnya
tentang orang yang berdosa besar. Sebagaimana diketahui kaum Khawarij
memandang mereka kafir, sedangkan kaum Murji’ah memandang mereka Mukmin.
Ketika Hasan Al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri
dengan mengatakan: “saya berpendapat bahwa orang berdosa besar, bukanlah
mukmin dan bukan pula kafir”. Kemudian berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan
Al-Basri pergi ke tempat lain di Masjid, disana ia mengulangi pendapatnya kembali.
Atas peristiwa ini Hasan Al-Basri mengatakan: Wasil menjauhkan diri dari kita
(‘itazala’ anna).” Dengan demikian ia dan teman-temannya, kata al-Syahrastani,
disebut kaum Mu’tazilah. (Lihat al-Milal, 1/48) Menurut Al-Bagdadi, Wasil dan
temannya, ‘Amr ibn ‘Ubaid diusir oleh Hasan Al- Basri dari majlisnya karena
adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qodar dan orang-orang yang
berdosa besar. (al-farq, 20-21)
mempunyai lima doktrin pokok yang populer dengan sebutan al-Ushul al-
Khamsah. Kelima doktrin itu adalah al-Tauhid, al-Adl, al-Wa’d wa al- Wa’id, al-
Manzilah bain al-Manzilatain, dan al-Amr bi al-ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-
Munkar.
a. Al-Tauhid (Kemaha Esa-an Tuhan).
Tuhan dalam faham mereka, akan betul-betul Maha Esa, hanya kalau Tuhan
merupakan suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia. Oleh karena
itu mereka menolak faham anthropomorphisme. Seperti yang diketahui faham ini
menggambarkan Tuhan dekat menyerupai Mahluk-Nya. (‘Abd al-Jabbar Ahmad,
tt. : 196). Karena sifat ini yang betul-betul hanya ada pada tuhan, maka ‘Abdul al-
Jabbar senantiasa memakai kata al-Qodim, dan bukan kata-kata lain separti
designatie Tuhan). Faham ini mendorong kaum Mu’tazilah untuk meniadakan
sifat-sifat Tuhan, yaitu sifat-sifat yang mempunyai wujud sendiri diluar zat
Tuhan. Ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak diberi sifat-sifat oleh kaum
Mu’tazilah. Kemudian kaum Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan kedalam 2
golongan :
1) Sifat-sifat yang merupakan Esensi Tuhan dan disebut sifat Zatiah. Sifat-sifat ini
seperti wujud, kekekalan dimasa lampau (Al-qidam), hidup (alhayat), kekuasaan
(al-qudroh).
2) Sifat-sifat yang merupakan perbuatan Tuhan yang disebut sifat fi’liyah. sifat-
sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat yang mengandung arti hubungan antara
Tuhan dengan Mahluk-Nya, seperti kehendak (Al- Iradah), sabda (kalam),
keadilan (Al-‘Adl), dst.
b. Al-‘Adl (keadilan Tuhan)
ada hubungannya dengan At-Tauhid, kalau dengan At-Tauhid kaum Mu’tazilah
ingin menyucikan diri Tuhan dari persamaan dengan mahluk, maka dengan
Al-‘Adl mereka ingin menyucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan
perbuatan mahluk. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil, Tuhan tidak bisa berbuat
Zalim. Pada mahluk terdapat perbuatan zalim.
c. Al-Wa’d wa Al-Wai’d (Janji dan Ancaman)
Tuhan dapat disebut adil, jika Dia tidak memberi pahala kepada orang yang
berbuat baik dan tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan
menghendaki supaya orang yang berbuat salah diberi hukuman dan orang yang
berbuat baik diberi upah, sebagaimana dijanjikan tuhan.
d. Al-Manzilah baina Al-Manzilatain
Posisi diantara dua posisi dalam arti posisi menengah. Menurut ajaran ini, orang
yang berdosa besar bukan kafir, bukan pula mukmin. Kata mukmin dalam
pendapat Wasil, merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan
kepada orang fasik, dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir, tidak pula dapat
diberikan kepadanya, karena dibalik dosa besar, dia masih mengucapkan
syahadat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Orang serupa ini jika
meninggal tanpa tobat, akan kekal dalam neraka, hanya siksaan yang di
terimanya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
e. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat dianggap sebagai kewajiban,
bukan hanya oleh kaum Mu’tazilah saja, tetapi oleh golongan umat Islam lainnya.
Perbedaan yang terdapat antara golongan-golongan itu adalah pelaksanaannya.
Kaum Mu’tazilah berpendapat, kalau dapat, cukup dengan seruan, tetapi kalau
tidak dapat dengan seruan, dengan menggunakan kekerasan. Sejarah
membuktikan, bahwa Mu’tazilah pernah memakai kekerasan dalam menyiarkan
ajaran-ajaran mereka.Ahmad Amin sendiri berpendapat, bahwa kaum Mu’tazilah
adalah golongan Islam yang pertama, memakai senjata (argumentasi logika) yang
dipergunakan lawan-lawan Islam dari golongan Yahudi, Kristen, Majusi dan
materialistis, dalam menangkis serangan-serangan terhadap Islam pada awal
pemerintahan kerajaan Daulah Abbasiyah. Ahmad Amin mengatakan, bahwa
sebenarnya hanya merekalah yang memikul beban itu. (Jilid III. Tt.:206). Hanya
Allah yang mengetahui bahaya apa yang akan menimpa umat Islam, jika
sekiranya kaum Mu’tazilah tidak membela Islam diwaktu itu dan malapetaka
terbesar yang menimpa umat Islam adalah lenyapnya Kaum Mu’tazilah. Menurut
Al-Khayyat, orang yang diakui menjadi pengikut Mu’tazilah, hanyalah orang
yang mengakui dan menerima kelima dasar itu. Orang yang menerima hanya
sebagian dari dasar-dasar tersebut tidak dapat dipandang sebagai orang
Mu’tazilah.
Wasil mempunyai dua murid penting yaitu Bisyr Ibn Sa’id dan Abu Usman Al-
Za’farani. Dari kedua murid inilah dua pemimpin lainnya, Abu Al-Huzail
Al-‘Allaf dan Bisyr Ibn Mu’tamar menerima ajaran-ajaran Wasil. Bisyr sendiri
kemudian menjadi pemimpim Mu’tazilah cabang Bagdad. Al-Huzail tetap di
Basrah dan menjadi pemimpin ke-2 dari cabang Basrah setelah Wasil. Ia lahir
pada tahun 135 H dan wafat pada tahun 235 H dan banyak berhubungan dengan
filsafat Yunani. Pengetahuannya tentang filsafat melapangkan jalan baginya untuk
menyusun dasar-dasar Mu’tazilah secara teratur. (lihat al-milal, 1/46) Salah
seorang dari murid Al-Huzail, yang kemudian menjadi pemuka Mu’tazilah,
bernama Ibrahim Ibn Sayyar Ibn Hani Al-Nazzam. Literatur mengenai beliau,
memberikan gambaran tentang dirinya yang memiliki kecerdasan yang lebih
tinggi daripada gurunya Abu Al-Huzail. (Al-Milal, 1/54) di zaman modern dan
kemajuan Ilmu pengetahuan serta teknologi sekarang, ajaran-ajaran Mu’tazilah
yang bersifat rasional itu telah, mulai timbul kembali di kalangan umat Islam,
terutama di kalangan kaum terpelajar. Secara tidak sadar, mereka telah
mempunyai faham-faham yang sama atau dekat dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Mempunyai faham-faham yang demikian, tidaklah membuat mereka keluar dari
Islam. Aliran Mu’tazilah masih dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari
Islam, dan dengan demikian, tidak disenangi oleh sebagian umat Islam terutama
di Indonesia. Pandangan tersebut timbul, karena kaum Mu’tazilah dianggap tidak
percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh dengan
perantara rasio (akal).
Lahir pada akhir masa kekuasaan Bani Umayyah, ketika Hasan Al- Basri, ditanya
untuk memberikan pendapat, tentang suatu masalah yang menjadi pertentangan
antara Khawarij dan Mur’jiah. Kontroversi ini berhubungan dengan dosa besar
yang dilakukan oleh seorang mukmin. Murid Hasan Al-Basri yang berasal dari
Persia, Wasil Ibn Atha al-Gazal, menjawab bahwa orang yang semacam ini tidak
termasuk orang kafir, tetapi akan berada di derajat antara keduanya (al-manzilah
bain al-manzilatain). Wasil menolak pendapat Hasan Al-Basri, bahwa orang
tersebut adalah seorang munafik. Karena ketidaksetujuannya dengan Hasan Al-
Basri, ia kemudian menghindarkan (diri) di salah satu ujung masjid, dan mulai
menerangkan tentang pendapatnya kepada kelompok teman-temannya yang
berkumpul di sekelilingnya. Ketika mendengar tentang hal ini Hasan Al-Basri
berkata, “Wasil sudah melarikan diri dari kita (I’tazala ‘anna).” Sejak saat itu,
pengikutpengikut Wasil dinamakan Mu’tazilah atau separatis. (Mujar Ibnu Syarif
& Khamami Zada : 59). Adapun intisari pandangan-pandangan politis mereka
ialah:
a. Menunjuk dan menetapkan seorang imam (menegakkan suatu negara) menurut
mereka, adalah wajib menurut syari’at. Tapi ada pula sebagian dari mereka
menganggap, bahwa secara mutlak tidak harus ada seorang imam, sehingga
apabila umat sendiri dapat menegakkan dasar-dasar keadilan, maka penunjukkan
seorang imam adalah perbuatan yang sia-sia dan tidak perlu.
b. Pemilihan umum diserahkan kepada umat, dan imamah tidak sah kecuali
dengan pemilihan umat.
c. Umat dapat memilih seseorang dari kalangan kaum muslimin yang dianggap
paling baik dan paling memiliki keahlian, tanpa terikat dengan persyaratan,
apakah ia seorang Quraisy atau bukan, atau apakah ia seorang Arab atau seorang
Ajam.
d. Tidak dibolehkan bershalat di belakang seorang imam yang fajir (yang
melakukan dosa keji terutama zina)
e. Amr bil-ma’ruf dan nahi ‘anil munkar termasuk diantara prinsip-prinsip asasi
mereka juga. ( Abul A’la Al-Maududi, 1916: 281-283).
2. Ajaran-Ajaran Pokok
a. Tentang pelaku dosa besar tidak menjadi kafir, ia tetap mukmin. Sebagai orang
berdosa masih terbuka baginya pintu tobat untuk memperoleh ampunan dari
Allah.
b. Soal Imamah. Tidak jauh berbeda dengan Khawarij dan Mu’tazilah. Karena
Islam sesudah Rasulullah, maka menunjuk imam, harus didasarkan azas
musyawarah dan pilihan sah.
c. Al-Qur’an bukan diciptakan. Al-Qur’an sebagai kalamullah adalah Qadim
bukan Hadis atau diciptakan. Sedangkan Al-Qur’an yang terdiri dari huruf-huruf
dan suara adalah baru.
d. Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat. Dasarnya firman Allah surat
Al-Qiyamah ayat 22-23 yang artinya “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu
berseri-seri. Kepada Tuhan-Nyalah mereka melihat”.
e. Perbuatan-perbuatan manusia diciptakan Tuhan. Menurut Al-Asy’ari Tuhan
adalah pencipta alam raya ini, termasuk manusia dengan segala perbuatannya.
Seperti contoh, patung hasil pahatan tukang pahat. Kerja mereka memahat itu,
Allahlah yang menciptakan. Adapun batu atau kayu yang menjadi bahan
pembuatan itu jelas ciptaan Allah, bukan hasil dari tukang tersebut. (Nukman
Abbas, 2002 :125)
f. Semua yang diperintahkan adalah baik dan sebaliknya yang dilarang Tuhan
adalah buruk. Namun, tidak ada baik dan buruk secara mutlak, karena semua itu
dari Allah. Keadilan Tuhan adalah kekuasaan mutlak dari Tuhan yang tanpa
batas. Adil adalah apabila Tuhan mensurgakan dan menerakakan semua orang.
(Bashori dan Mulyono, 2010:138).
3. Macam-macam Aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah Ahlus Sunnah wal
Jama'ah
adalah suatu golongan yang telah Rasulullah SAW janjikan akan selamat di antara
golongan-golongan yang ada. Landasan mereka bertumpu pada ittiba'us sunnah
(mengikuti as-Sunnah) dan menuruti apa yang dibawa oleh Nabi, baik dalam
masalah ‘aqidah, ibadah, petunjuk, tingkah laku, akhlak dan selalu menyertai
jama'ah kaum Muslimin. Definisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak keluar dari
definisi Salaf. Salaf ialah mereka yang mengenalkan Al-Qur’an dan berpegang
teguh dengan As-Sunnah. Jadi Salaf adalah Ahlus Sunnah yang dimaksud oleh
Nabi SAW. Dan ahlus sunnah adalah Salafush Shalih dan orang yang mengikuti
jejak mereka. Ahlus Sunnah Wal Jamah dikodifikasikan dengan lebih jelas oleh
Imam Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi (wafat 429 H) dalam bukunya Al Farq
Bain Al Firaq (perbedaan diantara aliran-aliran), beliau merumuskan ada delapan
kelompok yang termasuk golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah yaitu:
a. Mutakallimin (ulama kalam/theolog) yaitu orang yang memahami secara
tepat masalah-masalah keesaan Tuhan, kenabian, hukum-hukum, janji dan
ancaman, pahala dan ganjaran, syarat ijtihad, Imamah, dan pimpinan ummat,
dengan mengikuti metodologi aliran as-Shifatiah (menetapkan sifatsifat Tuhan)
yang tidak terseret ke dalam faham antropomorfis (tasybih) dan ta’thil
(meniadakan sifat-sifat Allah), serta bid’ah kaum Syi’ah, Khawarij dan sederet
golongan bid’ah lainnya.
b. Fuqaha (ulama fiqih) yaitu para Imam Mazhab Fiqih, baik dari ahlur ra’yi
maupun ahlul Hadits, yang menganut aliran al-Shifatiah (menerima sifatsifat
Allah) dalam masalah teologi menyangkut Tuhan dan sifat-sifat yang azali,
membersihkan diri dari faham Qadariah dan Mu’tazilah. Menetapkan adanya
ru’yah (melihat Tuhan di hari kemudian), kebangkitan, pertanyaan kubur, telaga,
jembatan, syafa’at dan pengampunan dosa selain syirik, serta menetapkan
kekekalan nikmat bagi ahli surga dan kekekalan siksa, terhadap orang-orang kafir
dalam neraka. Di samping itu, ia mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar,
Usman dan Ali, dan tetap menghormati Salaf, menetapkan wajibnya shalat Jum’at
di belakang para Imam yang tidak terkena bid’ah dan wajibnya menetapkan
hukum dari Qur’an, hadits dan Ijma’. Dan mengatakan sahnya menyapu dua khuf
(sejenis sepatu), jatuhnya thalaq tiga, mengharamkan mut’ah, dan memandang
wajib mentaati seorang pemimpin selama bukan maksiat.
c. Muhaditsin (ulama hadits) yaitu mereka yang ahli dalam melacak jalurjalur
Hadits dan Atsar dari Nabi, mampu membedakan antara yang shahih dan tidak,
menguasai al-Jahr wat-Ta’dil (sebab-sebab kebaikan dan kelemahan seorang
perawi Hadits) dan tidak terlibat dalam perilaku bid’ah yang sesat.
d. Ahlul Lughot (ulama bahasa Arab) yaitu mereka yang ahli di bidang
kesusasteraan, Nahwu, Sharaf, dan mengikuti jejak pakar bahasa semisal al-
Khalil, Abu Amr bin Al-‘Ala, Sibawaihi, al-Farra’, al-Akhfasy, al-Ashma’i, al-
Muzany, Abu Ubaid dan sederet tokoh-tokoh lainnya dari Kufah dan Basrah,
yang tidak tercampur ilmunya dengan bid’ah kaum Qadariah atau Rafidah atau
Khawarij.
e. Mufassirin (ulama tafsir) yaitu mereka yang mengetahui aneka ragam Qira’at
Al-Qur’an dan orientasi penafsirannya dan pena’wilannya, sesuai dengan aliran
Ahlussunnah wal Jama’ah, tanpa terpengaruh kepada pena’wilan para pengikut
hawa nafsu yang sesat.
f. Mutasawwifin (ulama tasawuf) yaitu para Zuhad Sufi yang giat beramal
dengan tulus ikhlas dan menyadari sepenuhnya, bahwasanya baik pendengaran,
penglihatan dan hati semuanya dipertanggungjawabkan di depan sang Khaliq,
yang takkan bisa lalai sebiji atom pun dari pandangannya. Olehnya itu, mereka
giat beramal tanpa banyak bicara, konsisten dalam ketauhidan, menafikan tasybih
serta menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
g. Mujahidin yaitu mereka yang bertempat di pos-pos pertahanan kaum
Muslimin untuk menjaga kemanan negara dari serangan musuh, menjaga
kehormatan umat Islam, baik materil maupun moril, dengan berupaya
menumbuhkan di pos-pos pertahanan mereka aliran Ahlussunnah wal Jama’ah.
h. Semua orang di semua negara yang di dalamnya dikuasai oleh syi’ar
Ahlussunnah wal Jama’ah dan yang mengikuti ketujuh kelompok diatas.