Anda di halaman 1dari 16

Pemikiran dan Perbandingan Aliran Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah

Waljama’ah

Disusun Oleh:

Namira Ramadanty Fortuna Rahmat 10100118007


Muhammad Rifky Dzikrillah 10100119041
Raihan Sapariski 10100119055
Salsa Bellanisa 10100119057
Indri Rahmawati 10100119115
Jini Surya Aditia 10100119129
Silmi Hizba Hunafa 10100119167
Dzikra Nurfadila Putri 10100119199

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
Jl. Hariangbanga No. 2 Tamansari – Bandung
Telp: (022) 4203368 | Fax: (022) 4231213
Aliran Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah Waljama’ah

1. Sejarah dan Latar Belakangnya

Aliran Mu’tazilah adalah aliran yang membawa persoalan persoalan teologi lebih
mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum
Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan mereka banyak memakai akal sehingga
mereka mendapat nama “Kaum Rasionalitas Islam”. (Harun Nasution, 1986:38)
Berbagai analisa diajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka.
Uraian yang biasa disebut buku-buku ‘Ilm Al-Kalam berpusat pada peristiwa yang
terjadi antara Wasil Ibn Atha serta temanya ‘Amr Ibn Ubaid dan Hasan Al-Basri di
Basrah. Waasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan Al-Basri
di Masjid Basrah. Pada suatu hari datang seseorang bertanya mengenai pendapatnya
tentang orang yang berdosa besar. Sebagaimana diketahui kaum Khawarij
memandang mereka kafir, sedangkan kaum Murji’ah memandang mereka Mukmin.
Ketika Hasan Al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri
dengan mengatakan: “saya berpendapat bahwa orang berdosa besar, bukanlah
mukmin dan bukan pula kafir”. Kemudian berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan
Al-Basri pergi ke tempat lain di Masjid, disana ia mengulangi pendapatnya kembali.
Atas peristiwa ini Hasan Al-Basri mengatakan: Wasil menjauhkan diri dari kita
(‘itazala’ anna).” Dengan demikian ia dan teman-temannya, kata al-Syahrastani,
disebut kaum Mu’tazilah. (Lihat al-Milal, 1/48) Menurut Al-Bagdadi, Wasil dan
temannya, ‘Amr ibn ‘Ubaid diusir oleh Hasan Al- Basri dari majlisnya karena
adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qodar dan orang-orang yang
berdosa besar. (al-farq, 20-21)

Al-Mas’ud memberikan keterangan lain yaitu Mu’tazilah mengambil posisi antara


kedua posisi itu (mukmin dan kafir) yakni Al-Manzilah bainal Manzilatain.
(Ibid,76) karena kaum Mu’tazilah membuat orang yang berdosa besar jauh dari
(dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir. (fajr al-Islam, hlm. 290 )
Jadi kata “I’tazala” dan “Mu’tazilah” telah dipakai kira-kira 100 tahun sebelum
peristiwa Wasil dengan Hasan Al-Basri, dalam arti golongan yang tidak mau ikut
campur dalam pertikaian politik yang ada di zaman mereka. (golongan Murji’ah.
supra, hlm. 20). C.A.Nallino, seorang orientalias Italia mempunyai pendapat
bahwa golongan Mu’tazilah kedua memiliki hubungan erat dengan golongan
Mu’tazilah pertama. (‘Adb al-Rahman Badawi, 1965 :185) .Untuk mengetahui
asal-usul nama Mu’tazilah itu dengan sebenarnya memang sulit. Berbagai
pendapat diajukan ahli-ahli, tetapi belum ada kata sepakat antara meraka. Yang
jelas ialah bahwa nama Mu’tazilah, sebagai designate bagi aliran teologi rasional
dan liberal Islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan Hasan Al-Basri di
Basrah dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa Basrah itu, telah pula
terdapat kata-kata I’tazala al- Mu’tazilah. Tetapi kalau kita kembali ke ucapan-
ucapan kaum Mu’tazilah itu sendiri, akan kita jumpai keterangan-keterangan yang
dapat memberi kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang memberikan nama itu
kepada golongan mereka. (Nasy’ah, hlm. 430/6) Selanjutnya mereka
menerangkan adanya hadist Nabi yang mengatakan bahwa umat akan terpecah
menjadi 73 golongan dan yang paling patuh dan terbaik seluruhnya dari golongan
Mu’tazilah. Bahkan menurut Al-Murtada kaum Mu’tazilah sendirilah, dan bukan
orang yang memberikan nama itu kepada golongan mereka. (fi ‘ilm al-kalam,
75/6)

2. Tokoh-tokok Pendukung Aliran Mu’tazilah

Dalam perkembangannya, aliran Mu’tazilah tidak hanya berpusat di kota Basrah


sebagai kota kelahirannya, tetapi juga berpusat di kota Bagdad, yang merupakan
ibu kota pemerintahan. Karena itu, jika berbicara tentang tokoh pendukungnya
maka kita harus melihatnya dari kedua kota tersebut. Tokoh-tokoh yang ada di
Basrah :
a. Wasil ibn Atha (80-131 H).
Ia dilahirkan di Madinah dan kemudian menetap di Basrah. Ia merupakan
tokoh pertama yang melahirkan aliran Mu’tazilah. Karenanya, ia diberi gelar
kehormatan dengan sebutan Syaikh al-Mu’tazilah wa Qadimuha, yang berarti
pimpinan sekaligus orang tertua dalam Mu’tazilah. (Muhammad Ali Shabih,
1958:74-76).
b. Abu Huzail Muhammad ibn Huzail ibn Ubaidillah ibn Makhul al- Allaf.
Ia lahir di Basrah tahun 135 dan wafat tahun 235 H. Ia lebih populer dengan
panggilan al-Allaf karena rumahnya dekat dengan tempat penjualan makanan
ternak. Gurunya bernama Usman al-Tawil salah seorang murid Washil ibn
Atha. (Ali Mushthafa al-Ghuraby: 148).
c. Ibrahim ibn Sayyar ibn Hani al-Nazham.
Tahun kelahirannya tidak diketahui, dan wafat tahun 231 H. Ia lebih populer
dengan sebutan Al- Nazham.
d. Abu Ali Muhammad ibn Ali al-Jubba’i.
Dilahirkan di Jubba sebuah kota kecil di propinsi Chuzestan Iran tahun 135 H
dan wafat tahun 267 H. Panggilan akrabnya ialah Al-Jubba’i dinisbahkan
kepada daerah kelahirannya di Jubba. Ia adalah ayah tiri dan juga guru dari
pemuka Ahlussunnah Wal Jamaah Imam Abu Hasan al-Asy’ari. Selanjutnya
tokoh-tokoh yang berdomisili di Bagdad adalah :
a. Bisyir ibn al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M).
Ia merupakan pendiri Mu’tazilah di Bagdad.
b. Abu al-Husain al-Khayyat (wafat 300 H/912 M).
Ia pemuka yang mengarang buku Al-Intishar yang berisi pembelaan terhadap
serangan ibn Al-Rawandy.
c. Jarullah Abul Qasim Muhammad ibn Umar (467-538 H/1075-1144 M).
Ia lebih dikenal dengan panggilan al-Zamakhsyari. Ia lahir di Khawarazm
(sebelah selatan lautan Qazwen), Iran. Ia tokoh yang telah menelorkan karya
tulis yang monumental yaitu Tafsir Al-Kasysyaf.
d. Abul Hasan Abdul Jabbar ibn Ahmad ibn Abdullah al-Hamazani al-
Asadi. (325-425 H).
Ia lahir di Hamazan Khurasan dan wafat di Ray Teheran. Ia lebih dikenal
dengan sebutan Al-Qadi Abdul Jabbar. Ia hidup pada masa kemunduran
Mu’tazilah. Kendati demikian ia tetap berusaha mengembangkan dan
menghidupkan faham-faham Mu’tazilah melalui karya tulisnya yang sangat
banyak.

Menurut analisis Yoesoef Sou’yb, antara kedua daerah tersebut


terdapat beberapa perbedaan karakteristik, yaitu :
a. Pemuka Mu’tazilah di Basrah cenderung menghindari jabatan
birokrasi di pemerintahan maupun di pengadilan. Dengan demikian mereka
dapat lebih fokus pada bidang agama dan keilmuan dan dapat mengemukakan
pemikiran secara leluasa, tanpa terikat dengan kepentingan pemerintah atau
pihak lainnya. Sedangkan di Bagdad, mereka menggunakan kesempatan untuk
menduduki jabatan-jabatan dengan tujuan untuk mendapat dukungan
sekaligus perlindungan.
b. Pemuka di Basrah menyebarkan faham tanpa pemaksaan dan
kekerasan, melainkan lebih banyak menanti kesadaran umat untuk
mengikutinya. Sedangkan di Bagdad, terkadang berusaha secara sungguh-
sungguh dan melakukan kekerasan agar masyarakat mengikuti aliran
Mu’tazilah. (Joesoef Sou’yb, 1982:265).
c. Pemuka di Basrah tidak begitu dipengaruhi oleh filsafat. Sedangkan
pemuka di Bagdad lebih banyak dipengaruhi filsafat, sehingga mempengaruhi
pola pikir mereka ke arah rasional dan liberal. (A. Hanafi:70). Walaupun
terdapat perbedaan karakteristik antara kedua daerah tersebut, namun secara
umum, teologi Mu’tazilah telah memperlihatkan corak rasional dan liberal.
Hal ini tidak terlepas dari metode pemikiran yang mereka gunakan dalam
memahami serta memecahkan masalah-masalah teologi.
3. Doktrin-Doktrin Mu’tazilah Kaum Mu’tazilah

mempunyai lima doktrin pokok yang populer dengan sebutan al-Ushul al-
Khamsah. Kelima doktrin itu adalah al-Tauhid, al-Adl, al-Wa’d wa al- Wa’id, al-
Manzilah bain al-Manzilatain, dan al-Amr bi al-ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-
Munkar.
a. Al-Tauhid (Kemaha Esa-an Tuhan).
Tuhan dalam faham mereka, akan betul-betul Maha Esa, hanya kalau Tuhan
merupakan suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia. Oleh karena
itu mereka menolak faham anthropomorphisme. Seperti yang diketahui faham ini
menggambarkan Tuhan dekat menyerupai Mahluk-Nya. (‘Abd al-Jabbar Ahmad,
tt. : 196). Karena sifat ini yang betul-betul hanya ada pada tuhan, maka ‘Abdul al-
Jabbar senantiasa memakai kata al-Qodim, dan bukan kata-kata lain separti
designatie Tuhan). Faham ini mendorong kaum Mu’tazilah untuk meniadakan
sifat-sifat Tuhan, yaitu sifat-sifat yang mempunyai wujud sendiri diluar zat
Tuhan. Ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak diberi sifat-sifat oleh kaum
Mu’tazilah. Kemudian kaum Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan kedalam 2
golongan :
1) Sifat-sifat yang merupakan Esensi Tuhan dan disebut sifat Zatiah. Sifat-sifat ini
seperti wujud, kekekalan dimasa lampau (Al-qidam), hidup (alhayat), kekuasaan
(al-qudroh).
2) Sifat-sifat yang merupakan perbuatan Tuhan yang disebut sifat fi’liyah. sifat-
sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat yang mengandung arti hubungan antara
Tuhan dengan Mahluk-Nya, seperti kehendak (Al- Iradah), sabda (kalam),
keadilan (Al-‘Adl), dst.
b. Al-‘Adl (keadilan Tuhan)
ada hubungannya dengan At-Tauhid, kalau dengan At-Tauhid kaum Mu’tazilah
ingin menyucikan diri Tuhan dari persamaan dengan mahluk, maka dengan
Al-‘Adl mereka ingin menyucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan
perbuatan mahluk. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil, Tuhan tidak bisa berbuat
Zalim. Pada mahluk terdapat perbuatan zalim.
c. Al-Wa’d wa Al-Wai’d (Janji dan Ancaman)
Tuhan dapat disebut adil, jika Dia tidak memberi pahala kepada orang yang
berbuat baik dan tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan
menghendaki supaya orang yang berbuat salah diberi hukuman dan orang yang
berbuat baik diberi upah, sebagaimana dijanjikan tuhan.
d. Al-Manzilah baina Al-Manzilatain
Posisi diantara dua posisi dalam arti posisi menengah. Menurut ajaran ini, orang
yang berdosa besar bukan kafir, bukan pula mukmin. Kata mukmin dalam
pendapat Wasil, merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan
kepada orang fasik, dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir, tidak pula dapat
diberikan kepadanya, karena dibalik dosa besar, dia masih mengucapkan
syahadat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Orang serupa ini jika
meninggal tanpa tobat, akan kekal dalam neraka, hanya siksaan yang di
terimanya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
e. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat dianggap sebagai kewajiban,
bukan hanya oleh kaum Mu’tazilah saja, tetapi oleh golongan umat Islam lainnya.
Perbedaan yang terdapat antara golongan-golongan itu adalah pelaksanaannya.
Kaum Mu’tazilah berpendapat, kalau dapat, cukup dengan seruan, tetapi kalau
tidak dapat dengan seruan, dengan menggunakan kekerasan. Sejarah
membuktikan, bahwa Mu’tazilah pernah memakai kekerasan dalam menyiarkan
ajaran-ajaran mereka.Ahmad Amin sendiri berpendapat, bahwa kaum Mu’tazilah
adalah golongan Islam yang pertama, memakai senjata (argumentasi logika) yang
dipergunakan lawan-lawan Islam dari golongan Yahudi, Kristen, Majusi dan
materialistis, dalam menangkis serangan-serangan terhadap Islam pada awal
pemerintahan kerajaan Daulah Abbasiyah. Ahmad Amin mengatakan, bahwa
sebenarnya hanya merekalah yang memikul beban itu. (Jilid III. Tt.:206). Hanya
Allah yang mengetahui bahaya apa yang akan menimpa umat Islam, jika
sekiranya kaum Mu’tazilah tidak membela Islam diwaktu itu dan malapetaka
terbesar yang menimpa umat Islam adalah lenyapnya Kaum Mu’tazilah. Menurut
Al-Khayyat, orang yang diakui menjadi pengikut Mu’tazilah, hanyalah orang
yang mengakui dan menerima kelima dasar itu. Orang yang menerima hanya
sebagian dari dasar-dasar tersebut tidak dapat dipandang sebagai orang
Mu’tazilah.

4. Perkembangan Mu’tazilah Menurut Al-Malatti,

Wasil mempunyai dua murid penting yaitu Bisyr Ibn Sa’id dan Abu Usman Al-
Za’farani. Dari kedua murid inilah dua pemimpin lainnya, Abu Al-Huzail
Al-‘Allaf dan Bisyr Ibn Mu’tamar menerima ajaran-ajaran Wasil. Bisyr sendiri
kemudian menjadi pemimpim Mu’tazilah cabang Bagdad. Al-Huzail tetap di
Basrah dan menjadi pemimpin ke-2 dari cabang Basrah setelah Wasil. Ia lahir
pada tahun 135 H dan wafat pada tahun 235 H dan banyak berhubungan dengan
filsafat Yunani. Pengetahuannya tentang filsafat melapangkan jalan baginya untuk
menyusun dasar-dasar Mu’tazilah secara teratur. (lihat al-milal, 1/46) Salah
seorang dari murid Al-Huzail, yang kemudian menjadi pemuka Mu’tazilah,
bernama Ibrahim Ibn Sayyar Ibn Hani Al-Nazzam. Literatur mengenai beliau,
memberikan gambaran tentang dirinya yang memiliki kecerdasan yang lebih
tinggi daripada gurunya Abu Al-Huzail. (Al-Milal, 1/54) di zaman modern dan
kemajuan Ilmu pengetahuan serta teknologi sekarang, ajaran-ajaran Mu’tazilah
yang bersifat rasional itu telah, mulai timbul kembali di kalangan umat Islam,
terutama di kalangan kaum terpelajar. Secara tidak sadar, mereka telah
mempunyai faham-faham yang sama atau dekat dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Mempunyai faham-faham yang demikian, tidaklah membuat mereka keluar dari
Islam. Aliran Mu’tazilah masih dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari
Islam, dan dengan demikian, tidak disenangi oleh sebagian umat Islam terutama
di Indonesia. Pandangan tersebut timbul, karena kaum Mu’tazilah dianggap tidak
percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh dengan
perantara rasio (akal).

5. Corak Pemikiran Mu’tazilah

Lahir pada akhir masa kekuasaan Bani Umayyah, ketika Hasan Al- Basri, ditanya
untuk memberikan pendapat, tentang suatu masalah yang menjadi pertentangan
antara Khawarij dan Mur’jiah. Kontroversi ini berhubungan dengan dosa besar
yang dilakukan oleh seorang mukmin. Murid Hasan Al-Basri yang berasal dari
Persia, Wasil Ibn Atha al-Gazal, menjawab bahwa orang yang semacam ini tidak
termasuk orang kafir, tetapi akan berada di derajat antara keduanya (al-manzilah
bain al-manzilatain). Wasil menolak pendapat Hasan Al-Basri, bahwa orang
tersebut adalah seorang munafik. Karena ketidaksetujuannya dengan Hasan Al-
Basri, ia kemudian menghindarkan (diri) di salah satu ujung masjid, dan mulai
menerangkan tentang pendapatnya kepada kelompok teman-temannya yang
berkumpul di sekelilingnya. Ketika mendengar tentang hal ini Hasan Al-Basri
berkata, “Wasil sudah melarikan diri dari kita (I’tazala ‘anna).” Sejak saat itu,
pengikutpengikut Wasil dinamakan Mu’tazilah atau separatis. (Mujar Ibnu Syarif
& Khamami Zada : 59). Adapun intisari pandangan-pandangan politis mereka
ialah:
a. Menunjuk dan menetapkan seorang imam (menegakkan suatu negara) menurut
mereka, adalah wajib menurut syari’at. Tapi ada pula sebagian dari mereka
menganggap, bahwa secara mutlak tidak harus ada seorang imam, sehingga
apabila umat sendiri dapat menegakkan dasar-dasar keadilan, maka penunjukkan
seorang imam adalah perbuatan yang sia-sia dan tidak perlu.
b. Pemilihan umum diserahkan kepada umat, dan imamah tidak sah kecuali
dengan pemilihan umat.
c. Umat dapat memilih seseorang dari kalangan kaum muslimin yang dianggap
paling baik dan paling memiliki keahlian, tanpa terikat dengan persyaratan,
apakah ia seorang Quraisy atau bukan, atau apakah ia seorang Arab atau seorang
Ajam.
d. Tidak dibolehkan bershalat di belakang seorang imam yang fajir (yang
melakukan dosa keji terutama zina)
e. Amr bil-ma’ruf dan nahi ‘anil munkar termasuk diantara prinsip-prinsip asasi
mereka juga. ( Abul A’la Al-Maududi, 1916: 281-283).

F. Ahli Sunnah Waljama’ah

1. Sejarah dan Latar Belakang


Aliran Ahlu Sunnah Wal Jamaah didirikan oleh Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Isma’il Al-
Asy’ari (lahir di Basrah 873 M-935 M wafat di bagdad) dan Abu Mansur
Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud Al-Maturidi (lahir di samarkand 944
M). Maka aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah disebut juga aliran Asy’ariyah dan
aliran Maturidiyah, dan sekarang banyak di sebut dengan golongan Sunni yang
artinya yaitu aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah. Al-Asy’ari adalah penganut aliran
Mu’tazilah selama 40 tahun, Al-Asy’ari kemudian memutuskan untuk keluar
karena berbeda faham. Didasarkan atas mimpinya bertemu dengan nabi
Muhammad SAW mengatakan kepadanya, bahwa mazhab Ahli Hadist-lah yang
benar dan mazhab aliran Mu’tazilah yang salah. Atas ketidak puasannya dengan
aliran Mu’tazilah, Al-Asy’ari memutuskan untuk keluar dari aliran Mu’tazilah.
Nama Asy’ariyah diambil dari seorang tokoh yang nama lengkapnya Abu Hasan
Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin
Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Beliau dilahirkan di Basrah, Irak pada
tahun 260 H/875 M. Setelah berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Bagdad
dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M. Menurut Ibn ‘Asakir (w. 571 H),
ayah Al-Asy’ari adalah seorang berfaham Ahlussunnah dan ahli hadits. Ia wafat
ketika Al-Asy’ari masih kecil.

2. Ajaran-Ajaran Pokok
a. Tentang pelaku dosa besar tidak menjadi kafir, ia tetap mukmin. Sebagai orang
berdosa masih terbuka baginya pintu tobat untuk memperoleh ampunan dari
Allah.
b. Soal Imamah. Tidak jauh berbeda dengan Khawarij dan Mu’tazilah. Karena
Islam sesudah Rasulullah, maka menunjuk imam, harus didasarkan azas
musyawarah dan pilihan sah.
c. Al-Qur’an bukan diciptakan. Al-Qur’an sebagai kalamullah adalah Qadim
bukan Hadis atau diciptakan. Sedangkan Al-Qur’an yang terdiri dari huruf-huruf
dan suara adalah baru.
d. Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat. Dasarnya firman Allah surat
Al-Qiyamah ayat 22-23 yang artinya “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu
berseri-seri. Kepada Tuhan-Nyalah mereka melihat”.
e. Perbuatan-perbuatan manusia diciptakan Tuhan. Menurut Al-Asy’ari Tuhan
adalah pencipta alam raya ini, termasuk manusia dengan segala perbuatannya.
Seperti contoh, patung hasil pahatan tukang pahat. Kerja mereka memahat itu,
Allahlah yang menciptakan. Adapun batu atau kayu yang menjadi bahan
pembuatan itu jelas ciptaan Allah, bukan hasil dari tukang tersebut. (Nukman
Abbas, 2002 :125)
f. Semua yang diperintahkan adalah baik dan sebaliknya yang dilarang Tuhan
adalah buruk. Namun, tidak ada baik dan buruk secara mutlak, karena semua itu
dari Allah. Keadilan Tuhan adalah kekuasaan mutlak dari Tuhan yang tanpa
batas. Adil adalah apabila Tuhan mensurgakan dan menerakakan semua orang.
(Bashori dan Mulyono, 2010:138).
3. Macam-macam Aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah Ahlus Sunnah wal
Jama'ah
adalah suatu golongan yang telah Rasulullah SAW janjikan akan selamat di antara
golongan-golongan yang ada. Landasan mereka bertumpu pada ittiba'us sunnah
(mengikuti as-Sunnah) dan menuruti apa yang dibawa oleh Nabi, baik dalam
masalah ‘aqidah, ibadah, petunjuk, tingkah laku, akhlak dan selalu menyertai
jama'ah kaum Muslimin. Definisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak keluar dari
definisi Salaf. Salaf ialah mereka yang mengenalkan Al-Qur’an dan berpegang
teguh dengan As-Sunnah. Jadi Salaf adalah Ahlus Sunnah yang dimaksud oleh
Nabi SAW. Dan ahlus sunnah adalah Salafush Shalih dan orang yang mengikuti
jejak mereka. Ahlus Sunnah Wal Jamah dikodifikasikan dengan lebih jelas oleh
Imam Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi (wafat 429 H) dalam bukunya Al Farq
Bain Al Firaq (perbedaan diantara aliran-aliran), beliau merumuskan ada delapan
kelompok yang termasuk golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah yaitu:
a. Mutakallimin (ulama kalam/theolog) yaitu orang yang memahami secara
tepat masalah-masalah keesaan Tuhan, kenabian, hukum-hukum, janji dan
ancaman, pahala dan ganjaran, syarat ijtihad, Imamah, dan pimpinan ummat,
dengan mengikuti metodologi aliran as-Shifatiah (menetapkan sifatsifat Tuhan)
yang tidak terseret ke dalam faham antropomorfis (tasybih) dan ta’thil
(meniadakan sifat-sifat Allah), serta bid’ah kaum Syi’ah, Khawarij dan sederet
golongan bid’ah lainnya.
b. Fuqaha (ulama fiqih) yaitu para Imam Mazhab Fiqih, baik dari ahlur ra’yi
maupun ahlul Hadits, yang menganut aliran al-Shifatiah (menerima sifatsifat
Allah) dalam masalah teologi menyangkut Tuhan dan sifat-sifat yang azali,
membersihkan diri dari faham Qadariah dan Mu’tazilah. Menetapkan adanya
ru’yah (melihat Tuhan di hari kemudian), kebangkitan, pertanyaan kubur, telaga,
jembatan, syafa’at dan pengampunan dosa selain syirik, serta menetapkan
kekekalan nikmat bagi ahli surga dan kekekalan siksa, terhadap orang-orang kafir
dalam neraka. Di samping itu, ia mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar,
Usman dan Ali, dan tetap menghormati Salaf, menetapkan wajibnya shalat Jum’at
di belakang para Imam yang tidak terkena bid’ah dan wajibnya menetapkan
hukum dari Qur’an, hadits dan Ijma’. Dan mengatakan sahnya menyapu dua khuf
(sejenis sepatu), jatuhnya thalaq tiga, mengharamkan mut’ah, dan memandang
wajib mentaati seorang pemimpin selama bukan maksiat.
c. Muhaditsin (ulama hadits) yaitu mereka yang ahli dalam melacak jalurjalur
Hadits dan Atsar dari Nabi, mampu membedakan antara yang shahih dan tidak,
menguasai al-Jahr wat-Ta’dil (sebab-sebab kebaikan dan kelemahan seorang
perawi Hadits) dan tidak terlibat dalam perilaku bid’ah yang sesat.
d. Ahlul Lughot (ulama bahasa Arab) yaitu mereka yang ahli di bidang
kesusasteraan, Nahwu, Sharaf, dan mengikuti jejak pakar bahasa semisal al-
Khalil, Abu Amr bin Al-‘Ala, Sibawaihi, al-Farra’, al-Akhfasy, al-Ashma’i, al-
Muzany, Abu Ubaid dan sederet tokoh-tokoh lainnya dari Kufah dan Basrah,
yang tidak tercampur ilmunya dengan bid’ah kaum Qadariah atau Rafidah atau
Khawarij.
e. Mufassirin (ulama tafsir) yaitu mereka yang mengetahui aneka ragam Qira’at
Al-Qur’an dan orientasi penafsirannya dan pena’wilannya, sesuai dengan aliran
Ahlussunnah wal Jama’ah, tanpa terpengaruh kepada pena’wilan para pengikut
hawa nafsu yang sesat.
f. Mutasawwifin (ulama tasawuf) yaitu para Zuhad Sufi yang giat beramal
dengan tulus ikhlas dan menyadari sepenuhnya, bahwasanya baik pendengaran,
penglihatan dan hati semuanya dipertanggungjawabkan di depan sang Khaliq,
yang takkan bisa lalai sebiji atom pun dari pandangannya. Olehnya itu, mereka
giat beramal tanpa banyak bicara, konsisten dalam ketauhidan, menafikan tasybih
serta menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
g. Mujahidin yaitu mereka yang bertempat di pos-pos pertahanan kaum
Muslimin untuk menjaga kemanan negara dari serangan musuh, menjaga
kehormatan umat Islam, baik materil maupun moril, dengan berupaya
menumbuhkan di pos-pos pertahanan mereka aliran Ahlussunnah wal Jama’ah.
h. Semua orang di semua negara yang di dalamnya dikuasai oleh syi’ar
Ahlussunnah wal Jama’ah dan yang mengikuti ketujuh kelompok diatas.

G. Perbandingan Antara Aliran Mu’tazilah dengan Asy’riyah (Ahlu Sunnah


wal Jama’ah)
Di bawah ini perbandingan Ahlu Sunnah wal Jama’ah dengan aliran Mu’tazilah
tentang:
1. Perbuatan Tuhan
sebagai aliran kalam berpendapat, bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada
hal-hal yang dikatakan baik. Ini bukan berarti, bahwa Tuhan tidak mampu
melakukan perbuatan buruk. Perbuatan buruk tidak dilakukan-Nya, karena Ia
mengetahui keburukan perbuatan buruk itu. Dasar pemikiran serta konsep tentang
keadilan Tuhan, berjalan sejajar dengan faham adanya batasan-batasan bagi
kekuasaan dan kehendak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk
berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia.
Sedangkan bagi aliran Asy’ariah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan
terbaik bagi manusia, tidak dapat diterima oleh aliran ini, karena bertentangan
dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan demikian, aliran
Asy’ariah tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Faham mereka,
bahwa Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk, mengandung
arti bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa. (Rozak dan Rosihon.
2016:184).
2. Perbuatan Manusia
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas.
Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free will. Perbuatan
manusia bukan diciptakan Tuhan pada diri manusia, melainkan manusia yang
mewujudkan perbuatan. Dengan faham tersebut, aliran Mu’tazilah masih
mengakui Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai
pihak yang mempunyai kreasi untuk mengubah bentuknya. Dalam faham
Asy’ariah, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil
yang tidak mempunyai pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih
dekat dengan faham Jabariyah daripada dengan faham Mu’tazilah. Pada
prinsipnya, aliran Asy’ariyah berpendapat, bahwa perbuatan manusia diciptakan
Allah. Daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah
menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula – pada diri manusia
– daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan adalah ciptaan Allah
dan kasab (perolehan) bagi manusia. (Rozak dan Rosihon. 2016:193).
3. Sifat-sifat Tuhan
Aliran Mu’tazilah yang memberikan daya yang besar pada akal berpendapat,
bahwa Tuhan tidak dapat dikatakan mempunyai sifat-sifat jasmani. Apabila
Tuhan dikatakan mempunyai sifat jasmani, tentu Tuhan mempunyai ukuran
panjang, lebar, dan dalam, atau Tuhan diciptakan sebagai kemestian dari sesuatu
yang bersifat jasmani. Selanjutnya, Mu’tazilah berpendapat, bahwa Tuhan bersifat
immateri, sehingga tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Dua argumen pokok
yang diajukan oleh Mu’tazilah untuk menjelaskannya, bahwa Tuhan tidak dapat
dilihat dengan mata jasmani. Pertama, Tuhan tidak mengambil tempat, oleh
karena itu tidak dapat dilihat. Kedua, apabila Tuhan dapat dilihat dengan mata
kepala, berarti Tuhan dapat dilihat sekarang di dunia ini. Bertentangan dengan
pendapat Mu’tazilah di atas, aliran Asy’ariah mengatakan, bahwa Tuhan
mempunyai sifat. Menurut Al-Asy’ari, tidak dapat diingkari bahwa Tuhan
mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatannya, di samping menyatakan bahwa
Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan sebagainya, juga menyatakan
bahwa Ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya. Al-Asy’ari lebih jauh
berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah)
dan sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki. (Rozak dan Rosihon.
2016:213).
4. Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan Tuhan
Aliran Mu’tazilah berprinsip keadilah Tuhan, mengatakan bahwa Tuhan itu adil
dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-
Nya, kemudian hambalah yang harus menanggung akibat perbuatan- Nya.
Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan
perbuatannya, tanpa ada paksaan sedikit pun dari Tuhan. Dengan kebebasan
itulah, manusia dapat bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Tidak adil,
jika Tuhan memberikan pahala atau siksa kepada hamba-Nya, jika tanpa diiringi
dengan pemberian kebebasan terlebih dahulu. Sedangkan menurut kaum
Asy’ariah, perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Sebab, yang
mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu, semata-mata karena kekuasaan dan
kehendak mutlak-Nya, bukan karena kepentingan manusia atau tujuan yang lain.
Mereka mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu di tempat yang
sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki,
serta mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya.

Anda mungkin juga menyukai