Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

FILSAFAT HUKUM ISLAM


“Pemikiran Mazhab Syafií dan Hambali dalam Hukum Islam”

Disusun Oleh :
Dafna Aisya Delatri (2130203012)
Fajar Hidayattullah ( 2130203022)
Fiero Wazir Ahmad ( 2130203030)

Dosen Pengampu :
Drs.H.Emrizal,M.M
Johan Efendi,Lc.,M.H

Jurusan Hukum Tata Negara (Siyasah)


Fakultas Syariah
UIN MAHMUD YUNUS BATUSANGKAR
TAHUN 2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia yang
dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pemikiran
Mazhab Syafií dan Hambali dalam Hukum Islam” ini tepat waktu.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Makalah Kelompok tiga belas Mata Kuliah
Filsafat hukum islam. Penulis menyadari bahwa makalah ini dapat selesai karena dukungan
dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu proses peyelesaian makalah ini.Dan penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada bapak Drs.H.Emrizal,M.M dan Johan efendi Lc.,M.H selaku dosen pengampu Mata
Kuliah filsafat hukum islam.
Semoga dengan makalah ini dapat menmbah pengetahuan bagi pembaca. Dan penulis
merasa bahwasannya makalah ini sudah dibuat dengan baik, akan tetapi penulis tidak
menutup kemungkinan bagi pembaca untuk memberi kritik dan saran yang mendukung agar
lebih baik lagi kedepannya.

Batusangkar,13 desember 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1
B.Rumusan Masalah..........................................................................................................................1
C.Tujuan.............................................................................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................2
A.Biografi imam Syafi’i.......................................................................................................................2
B.Pemikiran hukum imamSyafi’i........................................................................................................4
C.Biografi imam Ahmad bin Hambal..................................................................................................5
D.Pemikiran hukum imam Ahmad bin Hambal..................................................................................8
BAB III....................................................................................................................................................9
PENUTUP...............................................................................................................................................9
A.Kesimpulan.....................................................................................................................................9
B.Kritik dan Saran............................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Imam Syafi’i adalah salah seorang ulama yang sangat masyhur. Setiap orang yang
memperhatikannya akan tertarik untuk mengetahui lebih dalam pribadinya,
perilakunya serta peninggalannya yang telah membuat orang yang memperhatikannya
menghormati, memuliakan dan mengagungkannya.

1 Ia ulama mujtahid (ahli ijtihad) dibidang Fiqih dan salah seorang dari empat imam
madzhab yang terkenal dalam Islam. Ia hidup di masa pemerintahan khalifah Harun
al-Rasyid, al-Amin dan al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah.2 Ia dilahirkan di Gaza,
sebuah kota kecil di Laut Tengah pada tahun 150 H./767 M.3 Nama lengkap Imam
Syafi’i adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Idris al-Syafi’i. Ia sering juga dipanggil
dengan nama Abu Abdullah, karena salah seorang putranya bernama Abdullah.

Setelah menjadi ulama besar dan mempunyai banyak pengikut, ia lebih dikenal
dengan nama Imam Syafi’i dan madzhabnya disebut Madzhab Syafi’i. Kata Syafi’i
dinisbatkan kepada nama kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi’i ibn al-Saib. Ayahnya
bernama Idris ibn Abbas ibn Usman ibn Syafi’i ibn al-Saib ibn Abdul Manaf,
sedangkan ibunya bernama Fatimah binti

B.Rumusan Masalah
1. Apa biografi imam syafi i
2. Apa pemikiran hukum imam Syafi'i
3. Apa biografi imam imam Ahmad bin Hambal
4. Apa pemikiran hukum imam Ahmad bin Hambal
C.Tujuan

1. Untuk mengetahui biografi imam abu Syafi'i


2. Untuk mengetahui pemikiran hukum imam Syafi'i
3. Untuk mengetahui biografi imam Ahmad bin Hambal

1
4. Untuk mengetahui pemikiran hukum Ahmad bin Hamba

BAB II

PEMBAHASAN
A.Biografi imam Syafi'i

Nama lengkap Imam Syafi‟i ialah Abu Abdillah Muhammad bin Idris Abbas bin
Utsman bin Syafi‟i as-Syafi‟i al-Muthallibi. Beliau dilahirkan di Hajjah as-Qalan,
pada tahun 150 H atau 767 M. Wafat pada bulan Rajab tahun 204 H atau 2
Januari 820 M di Futsah Mesir di kebumikan pada pemakaman Banu Abdil-
Hakim di kaki gunung Qatham Mesir.

1Imam Syafi‟i ialah imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran. Beliau
adalah pendukung terhadap ilmu hadits dan pembaharu dalam agama (mujaddid)
dalam abad kedua hijriah.2

1
Mayoritas sejarawan berpendapat bahwa ayah sang Imam berasal dari Bani
Muthalib suku Quraisy. Silsilah nasabnya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas
bin Utsman bin Syafi bin saib bin „Abid bin Abdu yazid ibnu Hisyam bin
Muthalib bin Abdu Manaf.
Mengenai asal usul ibunnya, beliau berasal dari al-Azd. Sebagian orang yang
fanatik dengan Imam Syafi‟i mengatakan bahwa ibunya juga berasal dari suku
Quraisy, Akan tetapi riwayat yang sahih menyatakan bahwa ibunya berasal dari al-
Azd.3Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Imam Syafi‟i adalah
seorang ulama yang memilki garis keturunan Quraisy dari pihak ayah. Imam

Abdullah ibn al-Hasan ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Dari garis keturunan ayahnya,
Imam Syafi’i bersatu dengan keturunan Nabi Muhammad SAW.4 Pada Abdul M
1
Abdurrahman. Perbandingan Mazhab, cet.I, (Bandung: Sinar Baru.1991), hlm.28 2 Ahmad Asy-Syurbasi,
Sejarah dan Biografi Empat Mazhab Hanafi-Maliki-Syafi’i-Hambali, cet. II, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm.
139 3Muhammad Abu Zahrah, Imam Syafi’i:Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik, dan
Fiqih, terjemahan oleh Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, (Jakarta: Lentera, 2005), hlm. 29-30

2
B.Pemikiran hukum imam Syafi‟i

al-Syafi'i muncul pada titik balik sejarah yurisprodensi Islam, yang membawa nafas
baru dalam perkembangan teori hukum. Di atas terlihat namanama pemikir hukum
yang mewakili daerah-daerah yang berbeda-beda. Seperti telah disebut-sebut nama
Abu Hanifah,
Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan sebagai wakil aliran kedaerah Irak, sementara
Imam Malik bin Anas sebagai wakil aliran kedaerahan Hijaz. Umumnya orang
mengira bahwa mereka memperoleh ketenaran karena ijtihad bebas mereka yang
didasarkan pada penalaran murni dalam lingkup hukum.

Ini tampaknya membuat kita mempercayai bahwa para ahli hukum ini tidak
dipengaruhi oleh lingkungan di mana mereka masing-masing. Hal ini teritu saja tidak
benar, mengingat mereka dipengaruhi baik oleh praktek maupun pemikiran daerah
mereka masing-masing. Ini nyata sekali dari penalaran mereka.

Di Madinah misalnya, sebelum tampilnya Malik di atas gelanggang pemikiran,


kecenderungan pendapat khusus telah ada sebelumnya. Sebelum Malik, di Madinah
telah hidup sejumlah sahabat maupun tabi'in yang memiliki wawasan luas dalam ilmu
hukum. Mereka umumnya dikenal dengan tujuh ahli figh dari Madinah, yang telah
banyak menyumbangkan pemikiran terhadap pembentukan pendapat hukum di
Madinah. Para pendahulu Malik ini meninggalkan warisan pendapatan hukum yang
melimpah di samping tradisi yang melekat dalam masyarakat yang mengakibatkan
terkendalinya perkembangan pemikiran ijtihad dengan mengandalkan rasio. Inilah
mengapa kemudian alirannya begitu mengamalkan praktek yang hidup di lingkungan
Madinah saja. Kondisi serupa juga terjadi di Irak.

2
Suatu kecenderungan pendapat di Irak sudah terbentuk sebelum tampilnya Abu
Hanifah. Tokoh-tokoh seperti Ibn Mas'ud, Ibrahim al-Nakha'i, al-Sya'bi dan Iain-lain
adalah orang-orang yang banyak meninggalkan warisan keputusan hukum. Hanya saja
2
14 Al-Syarqawi, Aimmah, him. 123.

3
karena sebagai kota metropolitan kala itu, Irak memiliki problematika yang lebih
komplek sesuai dengan mobilisasi dan interaksi sosial masyarakat yang telah maju.
Sementara tradisi awal sebelum masuknya Islam di sana tidak banyak yang perlu
dipertahankan sebagai
Di antara konsep pembaharuan al-Syafi'i, yang lebih merupakan upaya merujukkan
kedua aliran yang mendahuluinya, adalah rumusan tentang sistimatika sumber hukum
setelah al-Qur'an.16 Yakni:

1. al-Sunnah Berbeda dengan pandangan kaum rasionalis ekstrim yang menolak sunnah
sebagai sumber hukum, tetapi juga berbeda
a. dengan konsep sunnah mazhab Malik yang terlalu longgar, alSyafi'i
menawarkan konsep sunnah yang betul-betul otentik dari Nabi.17 Jika di
dalam al-Qur'an tidak ditemukan secara normatif teks yang relevan untuk
menjawab persoalan tersebut, syafi'I menawarkan hadis sebagai sumber kedua
Hukum Islam, Tetapi posisi hadis tidak sebagaimana al-Qur'an, ia hanya
berfungsi sebagai penjelas apa yang terdapat secara samar dalam alQur'an,
memerinci yang global dan memutuskan yang tidak disinggung secara
normatif aleh al-Qur'an18

2. Ijma' Urutan ketiga sumber hukum yang dikemukakan al-Syaf i'i adalah ijma' umat.
Dia menolak konsep ijma'nya Imam Malik yang hanya terbatas pada kesepakatan
Ulama. Menurutnya umat tak mungkin bersepakat dalam kesalahan.19

3. Qiyas Berbeda dengan kaum rasionalis yang menempatkan qiyas dalam urutan di atas
ijma' atau bahkan hadis ahad, juga berbeda dengan ahli hadis yang menolak
penggunaan qiyas, maka alSyafi'i berpednapat bahwa qiyas dapat digunakan dalam
kondisi tidak ditemukannya ijma' atau nas. Konsep ini sesungguhnya dikemukakan
untuk menolak penggunaan ro'y yang tak terbatas yang menurutnya bersifat arbriter
dan subyektif . 20
Sedangkan illustrasi-ilustrasi tentang perubahan produk ijtihad beliau dalam masalah partikular, yang
disebabkan oleh kondisi sosio historis yang berbeda di antaranya dapat kita temukan dalam ijtihadnya
mengenai air. Imam Syafi'i semula sependapat dengan Imam Malik bahwa pemilik tanah yang ada

4
sumurnya boleh menjual sumur itu. Untuk kondisi daerah yang air terlalu berharga karena langkanya
3
seperti di daerah Hijaz tentu 4saja pendapat ini bisa dibenarkan. Akan tetapi di daerah sungai Nil
yang subur dan air tidak terlalu merisaukan, maka pendapatnya di atas kurang tepat. Itulah sebabnya
buru-buru ia merubah pendapatnya dengan menyatakan bahwa pemilik tanah itu tidak berhak menjual
sumurnya, tetapi dia mendapat prioritas untuk menggunakan airnya.21

Demikian halnya dalam masalah saksi, dimana ketika di Irak al-Syafi'i berpendapat bahwa satu orang
laki-laki cukup saksi ditambah dengan sumpah. Tetapi ketika di Mesir pendapat ini kemudian
dirubahnya dan kembali pada pendapat bahwa saksi harus dua laki-laki.22 Jika dilacak secara sosio
historis, pendapat yang pertama diajukan lebih disebabkan oleh kondisi masyarakat Irak yang
individualistis sebagai cerminan masyarakat kota, sedangkan ketika di Mesir kondisi serupa itu tidak
lagi menonjol sesuai dengan karakteristik masyarakat Mesir yang kaya dengan peradaban dan cinta
keadilan.

C.Biografi imam Ahmad bin Hamba

Imam Ahmad yang nama lengkapnya Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal asy-
Syaibani adalah seorang ulama hadits terkemuka, baik pada masanya ataupun sesudahnya.
Menurut sebagian riwayat, beliau dilahirkan di kota Marwin, kemudian dalam keadaan masih
kecil beliau dibawa ibunya ke Baghdad. Akan tetapi, menurut riwayat yang masyhur, bahwa
beliau dilahirkan di kota Baghdad pada bulan Rabi'ul Awwal tahun 164 H (780 M), tepatnya
pada masa pemerintahan Islam dipegang oleh Khalifah Muhammad al-Mahdi dari Bani
'Abbasiyyah yang ke III.

Sejak kecil, yang mulia Imam Ahmad kendati dalam keadaan yatim dan miskin, namun
berkat bimbingan ibunya yang shalihah beliau mampu menjadi manusia yang teramat cinta
kepada ilmu, kebaikan dan kebenaran.

Dalam usianya yang masih dini yakni 16 tahun, setelah menamatkan pendidikannya di kota
Baghdad, beliau berangkat ke Kufah, Bashrah, Syam, Yaman, Jazirah, Makkah dan Madinah.
Perjalanan yang jauh dan cukup melelahkan ini tidak ada bekal bagi Imam Ahmad selain dari
semangat, keprihatinan dan doa ibunya.Dikabarkan, demi untuk membiayai perjalanan
keilmuan tersebut beliau sampai menyewakan pusaka ayahnya, yakni sebuah rumah dan baju

3
" Al-SyaB'i, al-Um, him. VII: 179, 274. 13 Al-qur'an dan hadis biasa disebut sebagai sumbe rmateriil.
Sedangkan Ijma' dan qiyas sebagai sumber prinsipil. 19 Al-Syafl'i, al-Risalah, terj, Ahmadie Toha (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1986), Mm. 66
4

5
bersulam. Demikian pula dalam suatu riwayat, ketika beliau kehabisan bekal di tengah
perjalanan saat menuju kota Shan'a (Yaman), maka dengan penuh keprihatinan beliau
terpaksa bekerja pada sebuah kafilah. Dan pada kesempatan lain guna menutupi
kebutuhannya, beliau pun terpaksa menjual baju kurungnya. Hal itu beliau lakukan tiada lain
demi memelihara dirinya daripada meminta atau ditolong.

Sungguh pun demikian, dalam suasana yang serba kekurangan itu, tekad Imam Ahmad di
dalam menuntut ilmu tidak pernah berkurang. Bahkan lebih terpuji lagi, sekali pun beliau
sudah menjadi Imam dan diikuti oleh banyak kaum muslimin, pekerjaannya menuntut ilmu
dan mendatangi guru-guru yang lebih 'alim tidak pernah berhenti. Melihat keteguhannya di
dalam menuntut ilmu dan semangatnya yang tidak pernah pudar, seraya orang pun bertanya,
"Sampai kapan engkau berhenti dari mencari ilmu, padahal engkau sekarang sudah mencapai
kedudukan yang tinggi dan telah pula menjadi imam bagi kaum muslimin?" Maka beliau pun
menjawabnya dengan singkat, "Beserta tinta sampai liang lahat."

Ujian dan tantangan yang dihadapi Imam Ahmad dalam sejarah hidupnya adalah berupa
hempasan badai filsafat atau paham-paham Mu'tazilah yang sudah merasuk di kalangan
para penguasa, tepatnya di masa Al-Ma'mun dengan idenya atas kemakhlukan Al-Qur'an.

5
Al-Ma'mun, penguasa Bani Abasiyah yang berhasil dipengaruhi oleh kaum Mu'tazilah dan
cinta akan kehidupan berfilsafat itu, kendati terkenal sebagai pemandu ilmu dan cinta akan
pengetahuan, namun dalam masa kekuasaannya telah memperlihatkan suatu sikap yang
tiada patut dihormati. la dengan segala kesewenangannya telah memaksa Imam Ahmad
untuk berkonfrontasi pemikiran dengan memberikan ancaman dera dan kurungan penjara.

D.Pemikiran hukum imam Ahmad bin Hamba

Meskipun Imam Hanbal banyak membahas dan mengeluarkan fatwa dalam bidang
fikih ,tidak ditemukan kitab-kitab fikih orisinil karya Imam Ahmad. Imam Ahmad
memang tidak membukukan fatwa-fatwa fikihnya dan tidak pula mendiktekan fatwa-
fatwa tersebut kepada murid-muridnya. Ini adalah kebijakan dan prinsip Ahmad.
Suatu ketika seseorang yang hadir dalam majelis Ahmad mencatat fatwa-fatwanya.
Ahmad berkata: "Jangan kamu tulis pendapatku. Bisa saja aku berpendapat pada hari
ini, lalu aku ubah besok". (al-Jundi, 1970: 279). Warisan fikih Imam Ahmad

5
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, 2000), Cet.ke-2, hlm. 122.

6
diperoleh melalui aktivitas para murid dan pengikutnya yang diyakini sebagai
presentasi dari pemikiran fikih Imam Ahmad.

Pemikiran fikih Imam Ahmad sangat dipengaruhi oleh kedalaman pengetahuannya


tentang hadis. Hadis menempati posisi sentral, di samping Alquran dalam mazhab
fikihnya. Dia menentang

keras pendapat yang berdasarkan kepada Alquran semata dengan mengabaikan hadis.
Tetapi bukan berarti Imam Ahmad bersikap pesimis dalam menerima hadis. Hadis-
hadis diseleksinya dengan ketat, terutama hadis-hadis hukum. Hadis-hadis yang tidak
berkaitan langsung dengan masalah hukum, dia memperlonggar seleksi
penerimaannya. Imam Ahmad dapat menerima hadis dha’if sebagai hujjah dalam
masalah fadha'il al-'amal, selama kedhaifannya bukan karena perawinya pembohong.
(Dahlan, 1996: 513). Abdul Wahab, salah seorang murid Imam Ahmad,
menggambarkan keluasan pengetahuan Ahmad tentang hadis dan intensitas
penggunaan hadis dalam fatwa-fatwa Imam Ahmad dengan berkata: "Saya belum
pernah melihat orang seperti Ahmad. Dia ditanya mengenai 60.000 masalah, lalu dia
jawab dengan haddatsana … ahkbarana…." (al-Jundi, 1970, 254). Maksudnya Ahmad
menjawab semua masalah tersebut dengan memakai hadis.

Karena keteguhan dan intensitas Ahmad menggunakan hadis, maka mazhab fikihnya
dikenal dengan mazhab fikih al-sunnah. (alQaththan, 1989: 245). Ahmad berprinsip
bahwa fatwa harus berdasarkan dalil-dalil yang bisa diterima dan
dipertanggungjawabkan. Dia menentang fatwa tanpa dasar yang kuat atau fatwa yang
berdasarkan pemikiran saja. Ahmad menasihati murid-muridnya: :jauhilah memsberi
fatwa dalam masalah yang tidak ada tuntutannya". Abu Bakar al-Marwazy –murid
Ahmad–pernah menanyakan suatu masalah yang belum jelas bagi Ahmad sendiri.
Ahmad secara terus terang menjawab: "saya belum mengetahui". (al-Jundi, 1970:
271).

Ahmad memiliki metode sendiri dalam menginstimbathkan hukum. Metodologi fikih


Ahmad dapat disarikan dari fatwa-fatwa fikih yang disampaikan murid dan
pengiktunya. Ibnu Qayyim dalam kitabnya I'lam al-Muqqi'in menjelaskan lima dalil
yang menjadi dasar istimbath hukum Ahmad, yakni 1) Nash (Alquran dan Sunnah

7
marfu'ah), 2) Fatwa sahabat yang tidak ada perselisihan di antara mereka, 3) Fatwa
sahabat yang diperselisihkan di antara mereka, 4) Hadis Mursal dan hadis dha'if, dan
5) Qiyas. Dalil-dalil tersebut digunakan dengan urutan prioritas

Nash Alquran dan Sunnah

Alquran dan Sunnah disebutkan secara bersamaan dan pada tempat yang sejajar di
peringkat pertama urutan sumber dan dalil hukum. Keduanya mempunyai hubungan
timbal balik yang erat. Kehujjahan sunnah ditetapkan melalui aqidah, sementara itu
sunnah sendiri merupakan penjelasan bagian Alquran. Meskipun demikian pada
hakekatnya sunnah ditempatkan pada peringkat kedua. Apabila Ahmad menemukan
nash dalam Alquran atau sunnah, maka ditetapkan hukum berdasarkan dalil tersebut.
Dia tidak mempertimbangkan dalil lain yang mungkin memiliki perbedaan dalam
penunjuk hukum dengan nash-nash tersebut, meski berupa fatwa sahabat sekalipun.
Misalnya, Ahmad tidak menerima fatwa Mu'az bin Jabal dan Mua'awiyah yang
membolehkan seorang muslim mewarisi harta orang kafir, sebab bagi Ahmad sudah
cukup jelas dan shahih hadis yang melarang hubungan kewarisan antara muslim dan
kafir karena perbedaan agama (Musa, 1953: 167).

Fatwa Sahabat

Apabila para sahabat mengeluarkan fatwa tentang suatu masalah hukum dan tidak
terdapat perbedaan pendapat di antara mereka, maka Ahmad menerimanya sebagai
sumber dan dalil hukum setelah alQur'an dan Sunnah. Meskipun tidak terdapat
perbedaan pendapat, Ahmad tidak menyebutnya sebagai ijmak. Ahmad lebih suka
menyebutnya dengan fatwa sahabat. (Qaththan, 1989, 245)
. Ketika Ahmad tidak menemukan fatwa sahabat seperti di atas, Ahmad mencari fatwa
yang diperselisihkan di kalangan sahabat dengan memiliki fatwa yang lebih sesuai
dengan Alquran dan Sunnah. Pada hakekatnya Ahmad juga memakai fatwa tabi'in
apabila tidak ditemukan fatwa yang dikemukakan sahabat. (Zahra, t th.: 492).

Hadis Mursal dan Hadis Dha'if

Dalil dan sumber hukum selannjutnya menurut Ahmad adalah hadis mursal dan hadis
dha'if. Ahmad membagi tingkatan hadis ditinjau dari kualitas perawinya kepada hadis
shahih dan hadis dha'if.

8
BAB III

PENUTUP
A.Kesimpulan
Sosok Imam Ahmad sebagai seorang Muhaddis dan sekali fakih tidak dapat dipungkiri. Kitab
al-Musnad menjadi bukti monumental kepakarannya di bidang hadis. Sedangkan keahliannya di
bidang fikih dapat ditelusuri terutama dari kegiatan para murid dan pengikutnya yang sangat berjasa
mengumpulkan, mereformulasi, mengodifikasi dan mengembangkan fatwa-fatwa fikih Imam Ahmad.

Pemikiran fikih Imam Ahmad sangat dipengaruhi oleh hadis dan keluasan pengetahuannya tentang
hadis. Hal ini terlihat jelas dari penempatan posisi hadis dalam ushul fikihnya dan intensitas
penggunaan hadis dan fatwa-fatwanya. Oleh sebab itu corak pemikiran fikih Ahmad Ibn Hanbal
disebut juga dengan fikih sunnah.

B.Kritik dan Saran


Demikian makalah yang dapat kami tulis semoga dapat memberi kemanfaatan bagi
kita semua, tentu masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi penulisan dan isi makalah.
Oleh karena itu saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan dari para pembaca
guna perbaikan penulisan makalah selanjutnya.

9
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abdul Azis (ed.). 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid I-II.
Cet. I Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Ismail, Sya'ban Muhammad. 1995. al-Tasyri al-Islami: Mashadiruhu
wa Athwaruhu. Kairo Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah.
Jundi, Abd. Al-Halim. 1970. Ahmad Ibn Hanbal Imam Ahl al-Sunnah.
Uni Emirat Arab. Al-majlis al-A'la li Syuun al-Islamyyah.
Kholil, Munawar. 1995. Empat Serangkai Imam Mazhab. Jakarta:
Bulan Bintang.
Musa, Muhammad Yusuf. 1953. al-Madkhal li al-Dirasah al-Fiqh alIslamy. Misra: Dar al-
Ma'ari
Abu Zahroh, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Kairo, Dar al-Fikr
al-Arabi, tt.
Abu zaid, Nasr Hamid, Syafi'I Moderatisme, Eklektisisme,
Arabisme, yogyakarta: LkiS, 1997
. al-Ta/kirfi Zaman al-Takfir, Mesir: Sinali al-Nasr, 1990
Bik, Khudori, Tarikh al-Tasyri al-Islami. Jakarta, Maktabah Salim
Nabhan, tt.

10

Anda mungkin juga menyukai