Anda di halaman 1dari 20

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM IBNU HAZM

MAKALAH
Diajukan Sebagai Bahan Diskusi Pada Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam
Prodi Pendidikan Agama Islam Semester II

Disusun Oleh:
Radia Bachtiar (22020001)
Rosmala (22020020)

Dosen Pengampuh:

Dr. Sahjad M. Aksan, M.Pd

PASCA SARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TERNATE

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur kita panjatkan kepada ‫ ﷲ‬yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya, begitu besar rasa syukur yang kami rasakan karena berkat ridho-Nyalah
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu
Hazm” makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata Sejarah Pemikiran
Pendidikan Islam

Di dalam makalah ini memiliki beberapa poin yang telah kami susun sebaik
mungkin dengan usaha dan kemampuan kami. Kami berharap semoga dengan makalah
ini dapat memberikan ilmu kepada kita semua baik pembaca ataupun pada kami,
penyusun makalah ini.

Kami sadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Karena hal
tersebut kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan agar kedepannya kami
dapat menjadi lebih baik. Sekian kami ucapkan terima kasih.

Wa’alaikumssalam Wr. Wb.

Ternate, 25 Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN................................................................................................

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3

A. Biografi Ibnu Hazm.....................................................................................3


B. Politik Di Masa Ibnu Hazm ........................................................................6
C. Pendidikan Ibnu Hazm................................................................................7
D. Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Hazm..................................................9

BAB III PENUTUP..............................................................................................15

A. Kesimpulan.................................................................................................15
B. Saran............................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mengenal sejarah tentang kebangkitan pemikiran Andalusia, berarti membicarakan
tentang pemikiran yang ada di Cordoba. Cordoba merupakan salah satu ibukota provinsi
Andalusia. Selama menjadi ibukota provinsi, Cordoba telah melahirkan banyak pemikir-
pemikir besar seperti Ibn Rusyd, dan Ibn Hazm. Disisi lain dunia keilmuan Andalusia
menjadi lebih hidup dengan adanya kemajuan yang segnifikan di Cordoba. Keadaan dan
suasana keilmuan Andalusia khusunya Cordoba pada masa itu mendukung kemajuan
intelektual terutama dibidang kajian teoritis. Perpustakaan dan universitas di Cordoba
juga berkembang dengan pesat. Disamping itu adanya dukungan penguasa menjadi hal
yang penting, dengan mendatangkan ulama-ulama dan kitab-kitab dari timur. Sebut saja
dukungan penguasa Abdurrahman al-Nasir yang berkuasa selama lima puluh tahun,
sehingga menjadikan Cordoba pesaing Baghdad yang terkenal dengan peradaban
keilmuanya pada saat itu.1
Dalam makalah ini saya akan mencoba membahas salah satu pemikir Cordoba yaitu,
Ibnu Hazm. Beliau merupakan ulama besar, pakar fiqh, ushul fiqh, ahli hadits, dan ahli
teologi. Beliau juga dikenal sebagai pengembang madzhab Dhahiri, bahkan dinilai
sebagai pendiri kedua madzhab Dhahiri. Ia juga dikenal karena kedalaman ilmunya,
sebab hampir seluruh hidupnya “diwakafkan” dan hanya diabdikan untuk memperdalam
ilmu pengetahuan dan bukan untuk mengumpulkan harta serta kedudukan, sehingga tidak
kurang dari 400 judul buku yang telah ditulis oleh beliau dalam berbagai bidang disiplin
ilmu dalam bidang fiqh, hadits, filsafat, tafsir, logika dan lain-lainnya.
Gejolak politik pada saat itu merupakan latar belakang pendidikan beliau dan juga
situasi keamanan serta banyaknya pemikir sangatlah berpengaruh terhadap pemikiran
Ibnu Hazm. Dalam makalah ini akan dibahas sedikit tentang biografi Ibnu Hazm serta
pokok-pokok pemikiran beliau mengenai pendidikan.

1
Muhammad Abed al- jabiri, at-Turots wa al-Hadatsah,cet ke-1 (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah,
1991), hlm. 178-180

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi kehidupan dari Ibnu Hazm?
2. Bagaimana pemikiran pendidikan Islam prespektif Ibnu Hazm?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui biografi kehidupan Ibnu Hazm.
2. Untuk mengetahui pokok-pokok pemikiran Ibnu Hazm tentang pendidikan Islam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Ibnu Hazm

Pada akhir abad keempat Hijriyah atau akhir abad kesepuluh masehi, lahir seorang
bayi laki-laki yang kelak menjadi seorang mufakkir (pemikir) Islam terkemuka. Bayi
tersebut adalah Ibnu Hazm, seorang tokoh besar intelektual muslim Andalusia.

Nama lengkap Ibnu Hazm adalah Ali bin Ahmad bin Ahmad bin Sai’d bin Hazm bin
Ghalib bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid. 2 Ibnu Hazm lahir pada hari Rabu
akhir bulan Ramdhan, sebelum terbitnya matahari setelah imam shalat subuh
memberikan salam pada tahun 384 bertepatan dengan tanggal 8 November 994 M di
Cordova, andalusia3 dan wafat pada hari terakhir bulan sya’ban tanggal 28 tahun 456 H
bertepatan dengan tanggal 15 Agustus 1064 M di Manta Lisham.4

Walaupun kelahirannya di Andalusia, tetapi apabila di telusuri silsilah sampai


kakeknya yang bernama Khallaf sesungguhnya ia masih keturunan Persia, karena
kakeknya itu berasal dari Persia yang kemudian diambil sebagai budak oleh salah seorang
keturunan dari Dinasti Umayyah berimigrasi ke Andalusia sehingga dengan meruntut
silsilah Ibnu Hazm itu sampai kepada kakeknya bernama Khallaf telah menimbulkan
anggapan sebagai sejarawan bahwa asal-usul Ibnu Hazm itu adalah dari Persia. Namun
demikian tetap ada sebagian yang lain lagi menggapnya masih keturunan Quraisy. 5
Terlepas dari perbedaan sejarawan tentang asal-usul yang sebenarnya dari Ibnu Hazm,
yang jelas leluhur Ibnu Hazm sangat rapat hubungannya dengan Dinasti Bani Umayyah.

Pada masa kanak-kanak ia mendapatkan pendidikan dilingkungan keluarga yang


serba kecukupan, baik dari segi harta, kehormatan maupun kedudukan. Kehidupan Ibnu
2
Ibn Taimiyah, Ibn Hazm Marātib al-Ijma’ fi al-Ibādat wa Nagd Marattib al-Ijma’, ( Beirut : Dār al-Afaq al-Jadĩdā,
1980 ), cet ke II, hal. 5. Selanjutnya dalam muqaddimah kitab Ibnu Hazm, alIhkām, I, hal. 3. Dan juga ‘Aṭif al-Iraqi
hal. 7, menyebutkan Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin Ghalib bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid. Bandingkan
dengan Muhammad Abu Zahrah, Ibnu Hazm, op, cit, hal. 22 menyebutkan, Ali Muhammad bin Ahmad bin Sa’id
bin Ghalib bin Saleh bin Sufyan bin Yahya
3
‘Aṭif al-Iraqi, al-Ushūl wa al-Furū’, (Kairo : Dār an-Nahdhāh, 1970), hal. 15
4
M.Th. Houtsma, et.al.ed., E.J.Brill’s First, Encyclopedia Of Islam 1913-1936, (Leiden : E.J. Brill, 1987 ), vol. III,
hal. 384
5
Op. Cit, ‘Aṭif al-Iraqi, hal. 9

3
Hazm diarahkan untuk mencari ilmu yang di dasari semangat yang tinggi. Ia mendapat
pendidikan khusus dari ayahnya, sekalipun posisinya sebagai menteri banyak menyita
kesibukannya. Kesempatan ini tampaknya dimanfaatkan betul oleh Ibnu Hazm untuk
terus berkonsentrasi dan membina ilmu. Pendidikan pertama ia peroleh dari perempuan-
perempuan yang mengasuhnya berupa menghafal Al-Qur’an, belajar syair-syair, serta
tulis-menulis.6

Setelah menginjak usia remaja ayahnya mencarikan guru yang pertama adalah Abd
al-Husain Ali al-Farisi. Ibnu Hazm mulai belajar ilmu Nahwu, bahasa dan ilmu hadits
dari Ahmad bin al-Jasur, bahkan dari beliau Ibnu Hazm sempat meriwayatkan hadits.
Selain itu Ibnu Hazm juga banyak menimbah ilmu dari berbagai guru dalam disiplin
ilmu hadits yang pelajari dari al-Hamzani, Abu Bakar Muhammad ibn Ishaq serta ulama-
ulama hadits yang lain yang berada di Cordoba. Seorang ulama fikih yang terkenal di
Andalus, selalu memberi fatwa di Cordoba juga menjadi guru Ibnu Hazm, yaitu Abdullah
ibn Yahya ibn Ahmad ibn Dahun. Sedangkan ilmu filsafat dan logika Ibnu Hazm peroleh
dari gurunya yang bernama Muhammad Ibn Hasan Ibn Abdullah yang lebih dikenal
dengan sebutan al-Kattani sehingga dengan pengaruhnya pula Ibnu Hazm menyukai
filsafat dan logika sekaligus mengarang dalam kedua bidang itu.

Kemudian Ibnu Hazm juga sempat belajar dengan tokoh-tokoh ahli hadits yang lain
seperti, Baqi’ Ibn Mukhallad, salah seorang murid dari Ahmad Ibn Hanbal, Qasim Ibn
Ashbagh dan Muhammad Ibn Ayman. Sederetan jumlah guru Ibnu Hazm ini paling tidak
dapat menggambarkan gairah dan semangat keilmuan yang dimiliki oleh Ibnu Hazm
dalam mencari ilmu sehingga pada akhirnya ia menjadi orang yang terkenal di panggung
sejarah dengan karya-karya yang sangat mengagumkan. Sudah merupakan hal yang wajar
jika Ibnu Hazm dikatakan sebagai seorang sejarawan, filosof, ahli hukum, sastrawan,
bahkan sebagai bapak perbandingan agama pertama di dunia Islam.7

Pengalaman belajar Ibnu Hazm dilaluinya dengan berpindah-pindah yakni dari


Cordoba, Murcia, Jativa, Valencia dan kota-kota lain sekitar Cordoba. Perpindahan yang

6
Muhammad Abū Zahrah, Ibnu Hazm Hayātuhu wa Asruhu wa Fiqhuhu, (Beirut : Dār al- Fikr al-‘Araby, th), hal.
123
7
W. Montgomery Watt menyebut Ibnu Hazm sebagai teolog pertama Spanyol. W. Montgomery Watt, Islamic
Teology and Philosopy, terj Umar Basalami, ( Jakarta : P3M, 1987 ), hal. 159

4
di alaminya berkaitan dengan keadaan politik Andalusia yang tidak menentu, sedang
dirinya juga diancam oleh maut. Keadaan inilah yang membentuk dan mengubah karakter
Ibnu Hazm menjadi sangat keras. Sebagai seorang ahli hukum, ahli ushul, ahli fikih dan
seorang mujtahid, Ibnu Hazm mengikuti jejak dan langkah mazhab ahli qiyas dan ahli
ra’yi. Hal ini disebakan karena Ibnu Hazm belajar dan menimba ilmu keislaman pada
mazhab yang ada di Andalus ketika itu yang meletakkan asas-asas metode pengkaji fikih
dengan berpegang teguh kepada hadits, dan inilah pulalah yang merupakan salah satu
sebab mengapa pada akhirnya Ibnu Hazm menjadi seorang tokoh Zahiri. Ibnu Hazm
dalam menekuni dunia ilmiah sering melakukan perjalanan dari satu kota ke kota yang
lain, sampai pada akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya di kota kelahirannya
Lavla, Multijatmo.8

Salah satu sifat yang paling penting untuk diketahui dari kepribadian Ibnu Hazm
adalah ia tidak pernah merasa puas terhadap satu pemikiran tertentu. Pada awalnya Ibnu
Hazm memperdalam mazhab maliki, mazhab yang resmi dan sangat memasyarakat di
Andalus. Guru-guru Ibnu Hazm yang telah disebutkan diatas juga bermazhab Maliki
sehingga Ibnu Hazm sempat mempelajari kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik yang
sangat terkenal. Sebagai akibat kuatnya mazhab Maliki di Andalus pada gilirannya terjadi
kepengikutan tanpa kritik (taqlid) dari mayarakat Andalus dan hal itu juga terjadi pada
ulama-ulama Andalus. Bahkan dikatakn keluar dari mazhab maliki seolah-olah sama
halnya keluar dari agama Islam. Hal ini membuat Ibnu Hazm resa dan gelisah serta ia
tidak menyukai sikap seperti itu.

Kemudian Ibnu Hazm pindah ke mazhab asy-Syafi’I, walaupun mazhab ini tidak
begitu terkenal di Andalus pada waktu itu. Bahkan karya asy-Syafi’I yang yang berjudul
‘ikhtilaf malik’ yang merupakan kritik asy-Syafi’I terhadap gurunta imam Malik sempat
dibaca doleh Ibnu Hazm dan ternyata karya ini sangat besar pengaruhnya kepada jiwa
kritis dalam diri Ibnu Hazm. Ibnu Hazm sangat kagum dengan asy-Syafi’i karena
keberaniannya dalam mengkritik gurunya Imam Malik, serta kuatnya asy-Syafi’I
berpegang kepada nash, menolak penggunaan ra’yu terutama ketika asy-Syafi’I menolak
istihsan. Sebagai akibat langsung dari perjalanan keberagamaan Ibnu Hazm dalam

8
H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, ed, Shorter Encyclopedi Of Islam, ( Leiden : E.J. Brill, 1981 ), hal. 149

5
bermazhab dan sebagai factor lainnya, pada akhirnya ia memilih mazhab al-Zahiri
sebagai pilihan terakhirnya. Hal ini disebabkan karena mazhab ini hanya berpegang
kepada nash serta menolak segala penggunaan ra’yu. Pilihan Ibnu Hazm kepada mazhab
az-Zahiri bukan berarti ia pengikut mazhab tersebut, akan tetapi kezahirian Ibnu Hazim
itu lebih didasarkan kepada metode pengkajian mazhab az-Zahiri.9

B. Politik di Masa Ibnu Hazm

Karakter, kepribadian dan bahkan kualitas seseorang tidak terlepas dari pengaruh
lingkungannya, Karl Manheim, sosiolog berkebangsaan Jerman pernah menyatakan
bahwa manusia memiliki kualitas fundamental berupa fleksibilitas perilakunya, sehingga
kehidupannya di tengah masyarakat dapa membawa konsekuensi tertentu. Lagi pula
secara naluriah manusia senantiasa akan menyesuaikan perilaku dirinya terhadap
lingkungan sekitar. Dikatakan bahwa penyesuaian diri ini merupakan proses paling
penting yang mendasari aktifitas manusia.

Sebagai seorang anak menteri, Ibnu Hazm mulai berkenalan dengan dunia politik
ketika ia berusia lima tahun. Pada saat itu suasana politik di Andalusia sangat tidak stabil,
dimana pemberontakan terjadi berulang-ulang. Perebutan kekuasaan Al-Mansur dan
Hisyam II (sebelum Al-Mansur) berujung pada perpecahan intern pada umat Islam yang
nanti di kemudian hari setelah semakin mengental akan menjadi faktor fundamental
jatuhnya Andalusia ke tangan raja Kristen Alvonso VI pada tahun 1072 M.10

Keterlibatan Ibnu Hazm di dunia politik secara langsung terjadi pada masa
pemerintahan Khalifah Abdurrahman V Al-Mustahdir (1023 M) dan Khalifah Hakam III
Al-Mu’tamid (1027-1031 M). Pada masa kedua khalifah ini, Ibnu Hazm menduduki
jabatan menteri, pada masa pemerintahan Abdurrahaman V, Ibnu Hazm bersama-sama
dengan khalifah berusaha memadamkan berbagai kerusuhan dan mencoba merebut
wilayah Granada di Spanyol dari tangan musuh, akan tetapi dalam usaha merebut
wilayah itu khalifah terbunuh dan Ibnu Hazm tertanggak lalu kemudian ia dipenjarakan.

9
‘Aṭif al-Iraqi, al-Ushūl wa al-Furū’, (Kairo : Dār an-Nahdhāh, 1970), hlm 79-80
10
Muhammad Abu Zahrah, Ibu Hazm, Hayatuhu wa ‘Ashruhu, Arauhu wa Fiquhu, hlm. 34-37

6
Dikarenakan faktor politik ini ia beberapa kali terlibat revolusi berdarah karena
membela salah satu dari dua kelompok yang memperebutkan posisi khalifah. Karena
sikap politiknya ini juga ia beberapa kali dipenjara dan diasingkan dari Cordoba ke
Sevilla. Dikemudian hari setelah ia menyadari bahwa keterlibatannya di bidang politik
praktis hanya menghasilkan kenihilan, ia merubah haluan dan mengabdikan hidupnya
hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kebesaran agama Islam.11

C. Pendidikan Ibnu Hazm

Sejak kecil Ibnu Hazm telah diasuh oleh para pembantu keluarga dan pembantu
istana. Sedangkan dalam segi pendidikan Ibnu Hazm dibimbing dan dididik secara privat
oleh guru-gurunya tentang al-Qur’an, sya’ir Arab dan kaligrafi. Meenginjak masa remaja,
Ibnu Hazm mulai mempelajari fikih dan hadits dari gurunya yang bernama Husain bin
Ali al-Farisi dan Ahmad bin Muhmmad bin Jasur. Ketika dewasa, ia baru mempelajari
ilmu-ilmu lainnya, seperti filsafat, bahasa, teologi, etika, mantiq, di samping beliau juga
memperdalam fikih dan hadits.

Selanjutnya pada masa dewasa, Ibnu Hazm mengarahkan pendidikannya ke majlis


ta’lim di masjid-masjid Cordoba. Di sana ia mulai berdialog dengan guru dan pakar ilmu
agama. Beberapa di antara gurunya di bidang hadits, bahasa, logika dan teologi adalah
Yahya bin Mas’ud bin Wajah al-Jannah dan Abu al-Qasim Abdurrahman bin Abi Yazid
al-Azdi. Di bidang fikih dan peradilan, ia belajar dari al-Khiyar al-Lughawi. Sedangkan
guru khusus di bidang fikih adalah Abi Amr Ahmad bin al-Husain, Yusuf bin Abdullah
(Hakim Cordoba), Abdullah bin Rab’ al-Tamimi, dan Abi Amr al-Tamankin.

Dalam ranah fikih, sebelum memilih untuk menganut mazhab Dzahiri, Ibnu Hazm
adalah seorang pengikut mazhab Maliki, sebab mazhab ini adalah mazhab resmi yang
dipakai di Andalusia dan Afrika Utara saat itu. Ibnu Hazm mulai mempelajari kitab al-
Muwato’ yang merupakan kitab dari Imam Malik lewat mufti Cordoba yaitu Ahmad bin
Duhun. Ketika masih mengikuti mazhab ini kecenderungan untuk tidak terbelenggu
dengan ikatan mazhab sesungguhnya sudah ada pada dirinya, sehingga wajar di
kemudian hari ia memutuskan keluar dari Mazhab Maliki dan pindah ke Mazhab Syafi’i.

11
H.Zuhri, Filsafat Ibnu Hazm, hlm. 10-11

7
Faktor yang membuatnya tertarik dan terkagum-kagum pada mazhab ini adalah
keberpihakan dan penguasaan Syafi’i terhadap nash, penolakan terhadap konsep istihsan
dan masalah mursalah.12

Hanya bertahan beberapa saat di Mazhab Syafi’i ia memutuskan untuk hengkan.


Beliau merasa tidak puas karena mazhab ini masih menggunakan qiyas yang merupakan
instrumen dari ijtihad bil ra’yi yang sangat ia kecam, beliau akhirnya memutskan
menarik diri dari mazhab Syafi’i dan memilih mazhab Dzahiri yang didirikan oleh Abu
Dawud (w. 883 M/270 H) sari Ashfahan (340 km di selatan Teheran ibu kota Iran).
Alasan utama beliau memilih mazhab ini tampaknya lebih cocok untuk pribadinya yang
cenderung berpikiran netral dan independen, tidak mau terikat dengan mazhab tertentu.
Sebagaimana diketahui, mazhab Dzahiriah memang memberikan kebebasan berfikir
tanpa terikat pada suatu mazhab tertentu, melainkan hanya mengikuti nash, dengan
berpedoman pada pengertian literalnya. Di lain sisi Ibnu Hazm menganut mazhab Dzahiri
yang dia dapatkan dari pengaruh gurunya Abu al-Khiyar.13

Kepindahan Ibnu Hazm ke mazhab Dzahiri juga didukung oleh kondisi yang ada pada
abad ke 3 Hijriyah. Banyak ulama Cordoba yang belajar ke timur seperti Baghdad yang
menjadi pusat dinasti Abbasiah. Diantara ulama Cordoba yang belajar ke Baghdad adalah
Baqqu bin Mukhalid, Abu Abdullah bin Wahbah Bazbazi dan Qasim bin Asbagh bin
Muhammad bin Yusuf. Mereka tertarik kepada madzhab Dzahiri setelah tidak puas
dengan madzhab yang mereka pelajari dari fikih Maliki, Hanafia, Syafi’i dan Hambali.
Sebab ketertarikan mereka adalah karena mazhab Dzahiri hanya terikat kepada al-Qur’an
dan sunnah. Maka ditangan merekalah madzhab Dzahiri berkembang di Andalusia.

Hal lain yang mendorong Ibnu Hazm adalah kondisi Andalusia kala itu yang
mencapai puncak keilmuan. Saat itu lahir ulama-ulama terkenal yang luas ilmunya dalam
segala disiplin ilmu seperti Ibnu Abd Bar. Disamping ilmu-ilmu keislaman Andalusia
terkenal dengan ilmu-ilmu filsafat yang melahirkan filosof-filosof muslim seperti Ibn
Rusyd dan Ibn Bajah. Kondisi tersebut didukung juga oleh penguasa kala itu,

12
Muhammad Abu Zahrah, Ibu Hazm, Hayatuhu wa ‘Ashruhu, Arauhu wa Fiquhu, hlm. 541
13
Dia Adalah Abu Al Khiyar Mas’ud bin Sulaiman bin Muflit Al Andalusi (w. 426 H.), guru Ibnu Hazm yang
mengusung kebebasan berfikir dan tidak terpaku pada satu madzhab tertentu, akan tetapi dia menganut metode
Dawud al Ashbihani dalam menentukan sebuah hukum.

8
Abdurrahman al-Nasir yang berkuasa selama lima puluh tahun. Beliau mendatangkan
ulama-ulama timur, dan juga membangun perpustakaan dan mendatangkan kitab-kitab
yang berkembang di timur.14

Diantara guru-guru Ibnu Hazm yang mewarnai pemikirannya adalah: Ibn Abd Bar al-
Maliki, Abu Umar Ahmad bin Husein, Yahya bin Mas’ud, Abu al-Khiyar Mas’ud bin
Sulaiman al-Dzahiri, Yunus bin Abdullah al-Qadhi, Muhammad bin Said bin Sa’i,
Abdullah bin al-Rabi’ al-Tamimi, Abdullah bin Yusuf bin Nami. Selain itu Ibnu hazm
juga mempunyai beberapa murid setia yang menyebarkan pendapat-pendapatnya,
diantara mereka adalah : Abu Abdullah al-Humaidi, Suraih bin Muhammad bin Suraih al-
Muqbiri, Abu Rafi’, Abu Usamah Ya’qub, Abu Sulaiman al-Mus’ib, Imam Abu
Muhammad bin al-Magribi.15

D. Pemikiran Ibnu Hazm Tentang Pendidikan Islam


1. Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Hazm pendidikan harus memiliki tujuan yang harus dicapai, yaitu
membentuk manusia yang berakhlak dan jauh dari kebodohan. Ibnu Hazm
berpendapat bahwa pendidikan itu bertujuan untuk mengetahui akhlak yang mulia
untuk kemudian di amalkannya walaupun dalam keterasingan, dan mengetahui akhlak
yang buruk untuk kemudian ditinggalkan, dan mendengarkan pujian-pujian buruk
untuk kemudian lari darinya, maka dari pengantar ini memperjelas bahwa ilmu akan
memiliki setiap bagian dari kebaikan, sedangkan kebodohan memiliki setiap bagian
dari kehinaan.16
2. Epistemology Ibnu Hazm
Manusia difitrahkan tidak mempunyai pengetahuan tentang kehidupannya
sewaktu dilahirkan. Kemudian perjalanan hidupnya menuntut untuk bertindak
melawan kegundahan dan ia mulai mencapai pemenuhan hajat hidupnya yang berupa
ilmu. Manusia dibantu oleh empat kekuatan dalam mencari ilmu, yaitu; indera,
asumsi, intuisi, dan akal pikiran. Adapun metode dalam memperoleh ilmu itu sendiri

14
Muhammad Abed al- jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, cet ke-1, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah,
1989), hlm. 448
15
Ghanie, Biografi dan Pemikiran Ibnu Hazm, dalam www.ghanie-np.blogspot.com , diakses pada tanggal 18 Maret
2015
16
Ibn Hazm, Akhlak wa siyar, Hlm.8

9
dapat ditempuh melalui tiga cara: 1) mendengar, 2) membaca, dan 3) menulis-
mengawasi-observasi.
a. Panca Indra
Ibnu Hazm menekankan betapa pentingnya panca indra dalam mencapai suatu
ilmu dan pengetahuan, karena panca indra terkait dengan jiwa seseorang. Ibnu
Hazm memandang panca indra terhadap jiwa seperti pintu, gang, jendela dan
jalan yang tidak dapat bekerja sendirian tanpa bantuan jiwa. Apabila jiwa
mendapat halangan atau cidera, maka seluruh panca indra tidak berfungsi.
b. Akal
Mengenai akal, Ibnu Hazm memandanya sangat penting sehingga orang yang
mengabaikannya sama saja dengan membatalkan tauhid. Hanya saja, Ibnu
Hazm menegaskan akal ini harus diiringi dengan wahyu. Oleh karenanya, jika
berkaitan dengan prinsip kebenaran, khususnya ketuhanan dan hukum syariah,
akal tidak bisa berdiri sendiri. Ibnu Hazm berkata “barang siapa yang
membatalkan akal berarti ia telah membatalkan tauhid, sebab tanpa akal
manusia tidak pernah Allah”.
c. Prasangka dan Khayalan
Ibnu Hazm mencela orang yang menggunakan prasangka untuk mendapatkan
ilmu, karena prasangka dan khayalan adalah sedusta-dustanya dalil. Hal itu
sebagaimana ditegaskan oleh firman Allah swt dalam Qs. Al-Hujurat ayat
12:”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa…”
3. Hak Pendidikan Untuk Perempuan
Ibnu Hazm memiliki perhatian yang sangat besar dalam masalah kesetaraan
pendidikan perempuan dengan laki-laki, bahkan beliau mewajibkan wanita untuk
safar walaupun dengan jarak yang jauh demi mencari ilmu. 17 Beliau menulis kitab
khusus yang diberi nama “Risalah Fii al-Ummahat”, yang berbicara tentang
keutamaan para wanita mulia, dimulai dari peran ummahatul mukminin yang begitu
besar dalam menyebarkan ilmu syari’ah, dan juga kitab thuq al-hamamah yang
banyak menyanjung akan kelebihan wanita.

17
lihat , al-ahkam, juz 3 , hal.325

10
Pendidikan adalah hak setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam
bahasa hadits “menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim” 18 setiap muslim
berarti siapapun yang muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Menurut Rashid
Ridha, para ulama sependapat bahwa laki-laki dan perempuan dalam hal ini adalah
sama.19 Allah swt berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amalan
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan.”(QS
Ali 'Imran [3]: 195)
Dalam catatan Imam Bukhari, istri Nabi Muhammad SAW yaitu Aisyah binti Abu
Bakar pernah memuji para perempuan anshar yang selalu belajar “perempuan terbaik
adalah mereka dari anshar, mereka tidak pernah malu untuk selalu belajar agama” 20
bahkan mereka memberanikan diri memohon kepada Nabi SAW ketika mereka
merasakan bahwa hak belajar mereka tidak terpenuhi bila dibandingkan dengan
kesempatan yang diberikan kepada sahabat laki-laki. Hal itu sebagaimana hadits yang
diriwayatkan dari Abi Said al-Khudriyy ra, berkata “bahwa suatu saat beberapa
perempuan mendatangi Nabi Muhammad SAW, mereka mengadu; “mereka yang
laki-laki telah banyak mendahului kami, bisahkah kamu mengkhususkan waktu untuk
kami para perempuan?”. Nabi bersedia mengkhususkan waktu untuk mengajari
mereka, memperingatkan dan mensehati mereka”. Dalam catatan lain, ada seorang
perempuan yang datang menuntuk kepada Nabi SAW, ia berkata “wahai Rasul, para
laki-laki telah jauh menguasai pelajaran darimu, bisakah kamu peruntukkan waktu
khusus untuk kami perempuan, untuk mengajarkan apa yang kamu terima dari Allah?
Nabi merespon “Ya, berkumpullah pada hari ini dan di tempat ini”. Kemudian para
perempuan berkumpul di tempat yang telah ditentukan dan belajar dari Rasulullah
tentang apa yang diterima dari Allah SWT.21
Jadi perempuan memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Dengan
demikian, semestinya tidak ada alasan lagi untuk menelantarkan pendidikan
perempuan. Dalam teks lain, yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan at-

18
Riwayat Ibn Majah, al-Baihaqi dan Ibn Abd al-Barr. Dalam catatan al-Ajlûni, ulama berbeda pendapat
tentang status hadits ini, Ibn 'Abd al-Barr menyatakan lemah sementara al-'Iraqi dan al-Mizzi menyatakan
baik [hasan] dan kuat [shahih], lihat: Kasyf al-Khafâ, juz II, vo l. 43-45
19
al-Mar'ah fi al-Islam, 1982:73
20
Lihat: Ibn al-Atsir, juz XI, hal. 467, nomor hadits: 8698
21
Riwayat Bukhari dan Muslim, lihat: Ibn al-Atsîr, juz X, hal. 359, nomor hadis: 7340

11
Tarmidzi, Nabi SAW menyatakan “Izinkanlah para perempuan untuk pergi ke masjid
pada malam hari” dalam riwayat lain “Apabila istrimu meminta izin untuk pergi ke
masjid, maka janganlah dihalangi” atau “Janganlah menghalangi para perempuan
yang ingin pergi ke masjid allah”.22
4. Tingkatan Ilmu
Ibnu Hazm membagi tingkatan ilmu menjadi sepuluh tingkatan sebagai berikut: 23
a. Belajar menulis
b. Belajar membaca
c. Belajar ilmu nahwu
d. Belajar bahasa
e. Belajar sya’ir
f. Belajar berhitung
g. Belajar ilmu astronomi
h. Belajar mantiq dan fisika
i. Belajar sejarah
j. Belajar metafisika

Tingkatan-tingkatan ini adalah merupakan tahapan-tahapan pembelajaran yang


diberikan kepada peserta didik yang dimulai sejak dini, yang menurut Ibnu Hazm
hendaknya dimulai sejak usia lima tahun, karena anak pada usia ini dianggap sudah
siap secara fisik maupun akalnya, dan perlu diingat bahwa pembagian ini dilandasi
oleh kepentingan yang lebih utama bagi seorang anak.24

Prioritas yang dilakukan oleh Ibnu Hazm ini berbeda dengan konsep dan praktek
pengalaman yang selama ini berkembang di dunia Islam termasuk di negeri kita
Indonesia, yang mana lebih mendahulukan pembelajarn membaca, ketimbang
menulis. Hal itu terinspirasi dengan wahyu yang pertama kali turun ke muka bumi
yaitu surat al-alaq ayat 1-5 yang memerintahkan untuk membaca.

22
Lihat: Ibn al-Atsir, juz XI, hal. 467, nomor hadits: 8698
23
Ibn Hazm : Rasa'il , juz 4, hlm. 65, hasan Muhammad Hasan, Ibn Hazm Al-andalusi , ( kairo : dar al-fikr ), hlm.
124-142
24
ibid, hlm. 122

12
Ibnu Hazm mendahulukan pengajaran menulis daripada membaca, karena
berangkat dari penelitiannya terhadap anak buta yang belajar membaca, disini Ibnu
Hazm melihat anak buta yang berlatih membaca dengan huruf brile dengan
menyentuh dan merangkainnya secara otomatis ia akan mampu membaca. 25 Jadi
ketika anak didik mampu menulis maka akan secara langsung ia akan mampu untuk
membaca. Kemudian Ibnu Hazm melihat bahwa setelah anak mahir menulis dan
membaca, maka dilanjutkan dengan mempelajari nahwu dan bahasa dan ilmu nahwu
serta bahasa adalah semacam ilmu alat yang bias digunakan untuk membuka semua
ilmu.26

Menurut Ibnu Hazm belajar sya’ir merupakan bagian dari sastra, peserta didik
tidak akan mampu untuk mendalaminya sebelum bahasa dan nahwu matang, namun
Ibnu Hazm menekankan untuk belajar syai’r-sya’ir yang bermanfaat dan melarang
keras mempelajari sya’ir-sya’ir yang menyulut permusuhan, kefasikan, kemungkaran
seperti sya’ir ghozl, hija’ yang berlebihan.27

Ibnu Hazm juga menekankan pentingnya ilmu berhitung untuk anak didik, karena
dengan berhitung diharapkan mampu mengetahui tiga ha, yaitu; 1) mampu
mengetahui ukuran bumi, perbintangan, jarak dekat maupun jauh, sebab-sebab
bertambahnya siang dan malam, panjang dan lebar, orbit matahari dan bulan, 2)
mampu memahami ciptaan Allah dan hitungan keindahan ciptaan-Nya, 3) mampu
menghitung struktur bangunan, pasang surut air, beban dan pembuktian alat.28

Adapun maksud dari mempelajari ilmu perbintangan dalam pandangan Ibnu


Hazm bukan untuk mengetahui ramalan ghaib karena itu dilaang oleh Alqur’an dan
sunah, akan tetapi Ibnu Hazm lebih menekankan untuk mengetahui peredaran
pebintangan dan tempat orbitnya.29 Menurut Ibnu Hazm ketika seseorang sudah
matang daya berfikirnya sangat dianjurkan untuk mempelajari ilmu mantiq, karena
ilmu mantiq merupakan suatu alat untuk mengusik suatu kebenaran dan memacu

25
Ibn Hazm, Al-Taqrib li had al-mantiq, 162
26
Ibn Hazm, Rasa'il Ibn Hazm, 65
27
hasan Muhammad Hasan, Ibn Hazm Al-andalusi , ( kairo : dar al-fikr ), hlm. 131
28
Ibn Hazm, Rasa'il Ibn Hazm, 67-68
29
Ibid, hlm 71

13
seseorang untuk berfikir lebih maju, maka dari itu Ibnu Hazm menulis kitab yang
diberi judul al-taqrib li had al-mantiq.30

Setelah seseorang menguasai ilmu mantiq maka ia akan pandai menganalisa suatu
masalah, maka disinilah Ibnu Hazm melihat bahwa ketika seseorag telah menguasai
mantiq aka hendaklah dilanjutkan untuk mempelajari sejarah, karena di dalamnya
banyak pelajaran yang mencakup pemikiran, analisa-analisa, sebab akibat, sehingga
diharapkan mampu mengambil ibrah yang bias dijadikan pandangan hidup. Lalu Ibnu
Hazm juga memasukkan ilmu metafisika ke dalam mata pelajaran, bukan berarti
metafisika yang dipahami oleh pemikir yunani kuno, akan tetapi lebih cenderung
untuk mengkokohkan ketuhanan dan kenabian.31

5. Penyederhanaan Ilmu

Ilmu dan pendidikan merupakan poros utama kebudayaan Islam. Ibnu Hazm
merupakan orang yang giat menyebarkan pemikiran kepada orang giat menyebarkan
pemikiran kepada orang lain. Cara yang ditempuh oleh Ibnu Hazm dalam
menyampaikan buah pikirannya kepada orang lain adalah melalui tulisan beliau
dalam Risalah At-Taqrib, yakni mengenai penyedarhanaan ilmu dan penyebarannya
serta mendorong orang kaya agar mau turut memenuhi kebutuhan para penuntut ilmu.

Oleh karena itu, para sultan dan para pendidik seharusnya mempermudah para
pelajar. Hal ini dimaksudkan untuk memperlancar dan mendorong keingin mereka.
Selain itu, dengan kemudahan tersebut memungkinkan para pelajar akan lebih
banyak memperoleh ilmu pengetahuan dengan nyaman, tanpa terbebani biaya dan
yang lebih penting, dengan berilmu seseorang mempunyai beberapa keutamaan antara
lain sebagai berikut:

a. Orang yang berilmu akan disayangi dan dihormati, sedangkan orang bodoh
akan dijauhi dan ditinggalkan.
b. Dengan ilmu dapat menghilangkan rasa cemas dan gundah yang tidak
berguna.

30
Hasan Muhammad Hasan, Ibn Hazm Al-andalusi , ( kairo : dar al-fikr ), hlm. 137
31
Ibid, hlm 141

14
c. Dengan ilmu dapat diketahui keutamaan sesuatu atau sebaliknya.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di atas maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:
1. Ibnu Hazm tidak hanya diakui sebagai tokoh dalam Ilmu fikih, sejarah, fisafat, akan
tetapi Ia juga termasuk tokoh pendidikan.
2. Pendidikan harus memiliki tujuan yang harus dicapai, yaitu membentuk manusia
yang beraklak dan jauh dari kebodohan.
3. Pentingnya memberikan perhatian khusus terhadap pendidikan anak usia dini, karena
masa usia dini merupakan masa keemasan (golden age), yang pada masa ini stimulasi
seluruh aspek perkembangan berperan penting untuk tugas perkembangan
selanjutnya.
4. Ibnu Hazm membagi tingkatan ilmu menjadi sepuluh tingkatan, dimulai dari menulis
sampai metafisika.
5. Dalam penyederhanaan ilmu dan penyebarannya Ibnu Hazm berpendapat bahw orang
kaya atau para sultan harus mampu mendorong, memudahkan serta memberikan
fasilitas kepada para penuntut ilmu.

B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Sebagai mahasiswa kita harus
mengembangkan ilmu yang kita peroleh dan mencari kebenaran ilmu itu semoga dapat
bermanfaat bagi kita semua, akhir kata kami menyadari bahwa makalah ini bukanlah
proses akhir, tetapi merupakan langkah awal yang masih banyak memerlukan perbaikan.
Karena itu kami sangat mengharapkan tanggapan, saran dan kritik yang membangun
demi sempurnanya makalah kami yang selanjutnya. atas perhatiannya kami sampaikan
terimakasih.

16
DAFTAR PUSTAKA

‘Aṭif al-Iraqi, al-Ushūl wa al-Furū’, (Kairo : Dār an-Nahdhāh, 1970)

H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, ed, Shorter Encyclopedi Of Islam, ( Leiden : E.J.
Brill, 1981 )

Hasan Muhammad Hasan, Ibn Hazm Al-andalusi , ( kairo : dar al-fikr )

Muhammad Abed al- jabiri, at-Turots wa al-Hadatsah,cet ke-1 (Beirut: Markaz


Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1991)

Ibnu Hazm, Akhlak wa siyar

Ibnu Hazm : Rasa'il , juz 4

Ibnu Hazm, Al-Taqrib li had al-mantiq

Ibnu Hazm, Rasa'il Ibn Hazm

Ibnu Taimiyah, Ibn Hazm Marātib al-Ijma’ fi al-Ibādat wa Nagd Marattib al-
Ijma’, ( Beirut : Dār al-Afaq al-Jadĩdā, 1980 ), cet ke II

M.Th. Houtsma, et.al.ed., E.J.Brill’s First, Encyclopedia Of Islam 1913-1936,


(Leiden : E.J. Brill, 1987 ), vol. III

Muhammad Abū Zahrah, Ibnu Hazm Hayātuhu wa Asruhu wa Fiqhuhu, (Beirut :


Dār al- Fikr al-‘Araby, th)

Watt, Islamic Teology and Philosopy, terj Umar Basalami, ( Jakarta : P3M, 1987 )

17

Anda mungkin juga menyukai