1
dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah
Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan
azab yang besar baginya.(QS An Nisa: 93)
b. Hadits
Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali satu dari tiga hal: kufur sesudah beriman, berzina
setelah berkeluarga, dan membunuh seseorang yang benar karena semata berbuat dhalim dan
permusuhan. (HR. Muslim)
4. Hikmah Pembunuhan
a. Manusia tidak berbuat semena-mena terhadap harga diri manusia, sebaliknya ia akan menghargai
keberadaan manusia.
b. Manusia akan menempatkan manusia yang lain dalam kedudukan yang tinggi baik di mata hukum
maupun dihadapan Allah SWT.
c. Menjaga dan menyelamatkan jiwa manusia.
3
C. Menjelaskan ketentuan hukum Islam tentang diyat dan hikmahnya
1. Pengertian Diyat
Diyat artinya denda yang diwajibkan kepada pembunuh yang tidak dikenakan hukuman qishash
dengan membayarkan sejumlah barang atau uang sebagai pengganti hukum qishash karena dimaafkan
oleh anggota keluarga.
2. Sebab-Sebab Diyat
a. Pembunuhan disengaja apabila dimaafkan oleh keluarga korban.
b. Pembunuhan yang tidak disengaja.
c. Pelaku pembunuhan yang lari sebelum diqishash atasnya, maka yang dikenakan diyat adalah
anggota keluarganya.
d. Memotong atau membuat cacat anggota badan seseorang, lalu dimaafkan.
3. Macam-Macam Diyat
a. Diyat mughalladzah atau denda berat
Yaitu membayar denda 100 ekor unta, terdiri dari 30 ekor hiqqah (unta betina umur 3 tahun), 40
ekor jadzah (unta betina 4-5 tahun), 40 ekor khilfah (unta betina yang bunting). Diyat ini
diwajibkan kepada:
1) Pembunuhan yang disengaja, tapi dimaafkan oleh keluarga korban, dibayarkan tunai.
2) Pembunuhan seperti sengaja, dibayarkan selama 3 tahun, dan setiap tahunnya sepetiga dari
ketentuan di atas.
3) Pembunuhan tidak sengaja yang dilakukan pada bulan haram, seperti bulan Zulqadah, Zulhijjah,
Muharram, dan bulan Rajab.
4) Pembunuhan tidak sengaja yang dilakukan di tanah haram, yaitu makkah dan madinah.
5) Pembunuhan tidak sengaja terhadap mahrom kecuali pembunuhan orang tua terhadap anaknya.
b. Diyat mukhaffafah, atau denda ringan
Yaitu membayar 100 ekor unta yang terdiri dari: 20 ekor hiqqah, 20 ekor jazah, 20 ekor binta labun
(unta betina umur 2 tahun), 20 ibnu labun (unta jantan umur 2 tahun), 20 ekor binta makhad (unta
betina umur lebih dari setahun). Diyat ini diwajibkan kepada:
1) Pembunuhan tidak disengaja selain di tanah haram. Masa pembayarannya selama 3 tahun,
setiap tahunnya sepertiganya.
2) Orang yang dengan sengaja memotong atau membuat cacat atau melukai anggota badan
seseorang, tapi dimaafkan oleh korban atau anggota keluarga.
4. Diyat Selain Pembunuhan
a. Membayar diyat mukhoffafah penuh, yaitu bagi orang yang melakukan kejahatan, memotong dua
tangan, dua kaki, dua telinga, hidung, lidah, dua bibir, kemaluan laki-laki, merusak dua mata, tempat
keluarnya suara, penglihatan, atau merusak pendengaran.
b. Membayar setengah diyat, yaitu bagi orang yang memotong salah satu anggota tubuh yang
berpasangan.
c. Membayar diyat 5 ekor unta, yaitu bagi orang yang melukai sebuah gigi sampai copot.
5. Hikmah Diyat
a. Dapat mencegah kejahatan terhadap raga manusia.
b. Diyat menjadi obat pelipur lara bagi keluarga korban.
c. Timbulnya ketenangan dan ketentramandalam kehidupan bermasyarakat.
d. Memberi kesempatan kepada pembunuh untukbertobat dan lebih hati-hati dalam melakukan suatu
perbuatan.
e. Mendidik jiwa pemaaf, baik bagi keluarga korban maupun pelaksana diyat.
3. Hikmah
a. Manusia benar-benar jera dan menyesali atas perbuatan yang pernah dilakukan.
b. Agar manusia lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c. Memberikan ketenangan kepada pembunuh karena merasa yakin bahwa dengan dipenuhinya
semua tuntutan agama akibat kejahatannya, tobatnya diterima Allah SWT .
6
SKL FIKIH 2
TADARUS
QS An Nisa:15-16
15. dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji , hendaklah ada empat orang saksi diantara
kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian,Maka kurunglah mereka
(wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain
kepadanya.
16. dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada
keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
7
Ahmad bin Hanbal. Dasarnya adalah peristiwa yang terjadi saat eksekusi Maiz yang saat itu dia lari
karena tidak tahan atas lemparan batu hukuman rajam. Lalu orang-orang mengejarnya beramai-ramai
dan akhirnya mati. Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau menyesali perbuatan
orang-orang itu dan berkata, Mengapa tidak kalian biarkan saja dia lari?Sedangkan bila seseorang
tidak mau mengakui perbuatan zinanya, maka tidak bisa dihukum. Meskipun pasangan zinanya telah
mengaku.
Dasarnya adalah sebuah hadits, Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata bahwa dia telah
berzina dengan seorang wanita. Lalu Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk memanggilnya dan
menanyakannya, tapi wanita itu tidak mengakuinya. Maka Rasulullah SAW menghukum laki-laki yang
mengaku dan melepaskan wanita yang tidak mengaku.
b. Zina Ghairu Muhshan
Adalah zina yang dilakukan oleh orang laki-laki/perempuan yang belum pernah melakukan ikatan
pernikahan dan orang itu adalah orang mukallaf. Hukumannya adalah dicambuk 100x dan diasingkan.
berdasarkan QS An Nur: 2.Menurut Imam Syafii dan Imam Ahmad adalah pengasingan dari daerah
yang dijadikan untuk zina ke daerah lain. Sedangkan menurut Imam Malik dan Abu Hanifah tarhgrib
adalah menahan (untuk tidak melakukan kegiatan di masyarakat).
Sedangkan dalil untuk pengasingan selama 1tahun adalah hadits yang jumlahnya sangat banyak,
diantaranya, Rasulullah SAW bersabda:Ambillah oleh kalian hukum dariku! Sesungguhnya Allah telah
menjadikan bagi kaum wanita jalan keluar yang lain, yaitu janda dan duda ( yang berzina )
hukumannya didera 100 kali dan dirajam dengan batu (sampai mati), sedangkan gadis dan jejaka
(ghoiru muhshan ) hukumannya didera 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. ( HR. Muslim, Ahmad,
Addarimy, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Al Baihaqi ).
Setiap yang memabukkan itu khamr, sedangkan setiap khamr itu haram. (HR. Muslim)
Khamr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi akal. (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Dasar Pelarangan Mengkonsumsi Khamr
QS Al Maidah: 90 dan 91
90. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
91. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara
kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Mayoritas ulama memahami dari pengharaman khamr dan penamaannya sebagai rijs/keji serta
perintah menghindarinya, sebagai bukti bahwa khamr adalah sesuatu yang najis. Dan bahwa
mengkonsumsi khamr, banyak maupun sedikit, adalah haram. Berdasar hadis Nabi SAW :
Apa saja yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun haram. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At
Tirmidzi)
Nabi SAW melaknat sepuluh orang berkenaan dengan khamr ini, yaitu: orang yang memerasnya, orang
yang minta diperaskan, orang yang meminumnya, orang yang membawakannya (menghidangkannya),
orang yang dibawakannya, orang yang menuang-kannya, orang yang menjualnya, orang yang memakan
harganya (uang hasil penjualannya), orang yang membelinya, dan orang yang minta dibelikannya. (HR. At
Tirmidzi dan Ibnu Majjah)
Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr. Oleh karena itu, barangsiapa yang mengetahui ayat ini
dan dia masih mempunyai khamr, maka janganlah dia meminumnya dan jangan pula menjualnya. (HR.
Muslim)
Dalam suatu hadits dinyatakan :
9
Barangsiapa yang menahan anggur pada musim-musim memetiknya, kemudian dijualnya kepada seorang
Yahudi atau Nasrani, atau kepada orang yang hendak membuatnya menjadi khamr (meskipun dia Muslim),
maka sesungguhnya jelas dia akan masuk neraka. (HR. At Tahabrani).
3. Hukuman Mengkonsumsi Khamr
Imam Syafi'i dan Abu Daud berpendapat bahwa had bagi peminum khamr dicambuk 40 kali dera, karena
demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah SAW dan yang diperintahkan pada masa Abu Bakar. Hal
ini didasarkan pada hadits:
( )
"Dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi SAW didatangkan kepadanya seseorang meminum khamr, maka
Nabi menderanya 40 kali. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad berpendapat bahwa hukuman bagi peminum khamr adalah 80
kali dera. Berdasarkan pada apa yang dilakukan Umar di mana menurut mereka hal itu menjadi Ijma' pada
masa Umar, karena tidak seorangpun dari sahabat mengingkarinya. Mereka juga beralasan dengan saran
yang diberikan oleh Ali kepada Umar agar hukuman peminum khamr itu dijadikan 80 kali, karena
dipersamakan dengan hukuman membuat kebohongan, sebagaimana disebutkan oleh Ali ra :
Apabila ia minum maka ia mabuk. Apabila ia mabuk maka ia mengigau, maka ia membuat kedustaan.
Hukuman pembuat kedustaan adalah 80 kali dera. (HR. Bukhari).
4. Jenis Khamr
a. Red Wine adalah wine yang dibuat dari anggur merah (red grapes). Beberapa jenis anggur merah yang
terkenal di kalangan peminum wine di Indonesia adalah merlot, cabernet sauvignon, syrah/shiraz, dan
pinot noir.
b. White Wine adalah wine yang dibuat dari anggur putih (white grape). Beberapa jenis anggur hijau yang
terkenal di kalangan peminum wine di Indonesia adalah chardonnay, sauvignon blanc, semillon,
riesling, dan chenin blanc.
c. Rose Wine adalah wine yang berwarna merah muda atau merah jambu yang dibuat dari anggur merah
namun dengan proses ekstraksi warna yang lebih singkat dibandingkan dengan proses pembuatan Red
Wine. Di daerah Champagne, kata Rose Wine mengacu pada campuran antara White Wine dan Red
Wine.
d. Sparkling Wine adalah wine yang mengandung cukup banyak gelembung karbon dioksida di dalamnya.
Sparkling Wine yang paling terkenal adalah Champagne dari Prancis. Hanya Sparkling Wine yang dibuat
dari anggur yang tumbuh di desa Champagne dan diproduksi di desa Champagne yang boleh disebut
dan diberi label Champagne.
e. Sweet Wine adalah wine yang masih banyak mengandung gula sisa hasil fermentasi (residual sugar)
sehingga membuat rasanya menjadi manis.
f. Fortified Wine adalah wine yang mengandung alkohol lebih tinggi dibandingkan dengan wine biasa
(antara 15% hingga 20.5%).
g. Bir
Bir secara harfiah berarti segala minuman beralkohol yang diproduksi melalui proses fermentasi
bahan berpati(mengandung gula) dan tidak melalui proses penyulingan setelah fermentasi. Proses
pembuatan bir disebut brewing.
h. Brendy
Brendi (bahasa Inggris: brandy, berasal dari bahasa Belanda, brandewijn adalah istilah umum untuk
minuman anggur hasil distilasi, dan biasanya memiliki kadar etil alkohol sekitar 40-60%. Bahan baku
brendi bukan hanya anggur, melainkan juga pomace (ampas buah anggur sisa pembuatan minuman
anggur) atau fermentasi sari buah. Bila bahan baku tidak ditulis pada label, brendi tersebut dibuat dari
buah anggur.
i. Vodka
Vodka (bahasa Polandia: wdka) adalah sejenis minuman beralkohol berkadar tinggi, bening, dan tidak
berwarna, yang biasanya disuling dari gandum yang difermentasi. Kecuali untuk sejumlah kecil perasa,
vodka mengandung air dan alkohol (etanol). Vodka biasanya memiliki kandungan alkohol sebesar 35
sampai 60% dari isinya.
5. Akibat Mengkonsumsi Khamr
Para peminum dapat terkena GMO biasanya mengalami perubahan perilaku, seperti ingin berkelahi atau
melakukan tindakan kekerasan lainnya, tidak mampu menilai realitas, terganggu fungsi sosialnya, dan
terganggu pekerjaannya. Perubahan fisiologis juga terjadi, seperti cara berjalan yang tidak mantap, muka
merah, atau mata juling. Oleh karenanya Nabi SAW., riwayat At Thabrani melalui Ibn Umar
menyatakan Khamr itu adalah induknya segala dosa.
6. Hikmah Larangan Mengkonsumsi Khamr
a. Mengkonsumsi khamar disamping ada manfaatnya tetapi keburukan yang ditimbulkan jauh lebih
besar.
10
b. Pengharaman mengkonsumsi khamr didasarkan atas akibat yang ditimbulkannya yakni hilangnya
akar nalar yang ada pada diri manusia.
c. Sanksi hukum yang diterapkan pada pengkomsumsi khamr pada dasarnya untuk menjaga kesadaran
dalam beribadah, memberi efek jera pada pelakunya dan menjaga keteraturan dalam masyarakat.
C. Ketentuan hukum Islam tentang mencuri, menyamun, dan merampok beserta hikmahnya
1. Pengertian
Pencurian adalah tindakan mengambil hak milik orang lain tanpa sepengetahuan si pemilik, dapat juga
berarti tindakan menahan apa yang seharusnya menjadi miliknya orang lain. Pada pengertian pertama
bersifat aktif dan kedua bersifat pasif.
2. Dasar Larangan Mencuri
a. Al Quran
38. laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. 39. Maka Barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan
kejahatan itu dan memperbaiki diri, Maka Sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Maidah : 38-39)
b. Hadits
Dari Ibnu Umar r.a berkata, Beliau (Rasulullah) memotong tangan pencuri karena mencuri perisai (baju
besi) seharga 3 dirham (Al Bukhari dan Muslim)
Dari Aisyah r.a, Nabi bersabda, Tangan harus dipotong karena mencuri dinar atau lebih (redaksi Al
Bukhari dalam Al Hudud no.6789) redaksi Muslim dalam Al Hudud no.1684/2, Tangan pencuri tidak
dipotong melainkan karena mencuri dinar atau lebih.
Dari Rafi bin Khudaij menuturkan, Aku mendengar Rasulullah bersabda: tidak ada hukum potong
karena mengambil buah-buahan, begitu pula tandan kurma. (HR Ahlus Sunan, Abu Dawud).
3. Syarat dan Ketentuan
Pencurian dapat dikenakan had mencuri apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Orang yang mencuri adalah mukalaf, yaitu sudah baligh dan berakal.
b. Pencurian itu dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi.
c. Orang yang mencuri sama sekali tidak mempunyai andil memiliki terhadap barang yang dicuri.
d. Barang yang dicuri adalah benar-benar milik orang lain.
e. Barang yang dicuri mencapai jumlah nisab.
f. Barang yang dicuri berada di tempat penyimpanan atau di tempat yang layak.
4. Dampak Pencurian
Dampak mencuri dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a. Bagi Pelakunya
1) Mengalami kegelisahan batin, pelaku pencurian akan selalu dikejar-kejar rasa bersalah dan takut
jika perbuatanya terbongkar.
2) Mendapat hukuman, apabila tertangkap, seorang pencuri akan mendapatkan hukuman sesuai
undang-undang yang berlaku.
3) Mencemarkan nama baik, seseorang yang telah terbukti mencuri nama baiknya akan tercemar di
mata masyarakat.
4) Merusak keimanan, seseorang yang mencuri berarti telah rusak imanya. Jika ia mati sebelum
bertobat maka ia akan mendapat azab yang pedih.
b. Bagi Korban dan Masyarakat
1) Menimbulkan kerugian dan kekecewaan, peristiwa pencurian akan sangat merugikan dan
menimbulkan kekecewaan bagi korbannya.
2) Menimbulkan ketakutan.
3) Munculnya hukum rimba, perbuatan pencurian merupakan perbuatan yang mengabaikan nilai-
nilai hukum.
5. Syarat Dihukum Potong Tangan
a. Pencuri tersebut; sudah baligh, berakal, dan melakukan pencurian dengan kehendaknya bukan
paksaan.
b. Barang yang dicuri sampai nisab (+ 93,6 gram emas), dan barang itu bukan milik si pencuri.
6. Sanksi Hukum Pencuri
Mencuri adalah dosa besar dan orang yang mencuri wajib dihukum, yaitu:
a. Mencuri yang pertama kali, maka dipotong tangan kanannya.
b. Mencuri kedua kalinya, dipotong kaki kirinya.
c. Mencuri yang ketiga kalinya, dipotong tangan kirinya.
d. Mencuri yang ke empat kalinya, dipotong kaki kanannya.
e. Kalau masih mencuri, maka ia dipenjara sampai tobat.
7. Sanksi Hukum Perampok
a. Bagi perampok yang membunuh orang yang dirampoknya dan mengambil hartanya. Dalam hal ini
hukumnya wajib di bunuh; sesudah dibunuh, kemudian disalibkan (dijemur).
11
b. Bagi perampok yang membunuh orang yang dirampoknya, tetapi hartanya tidak diambil. Hukumnya
hanya dibunuh saja.
c. Bagi perampok yang hanya mengambil harta bendanya saja, sedang orang orang yang dirampoknya
tidak dibunuh, dan harta yang diambil sampai nisab, maka hukumanya potong tangan kanan dan kaki
kirinya.
d. Bagi perampok yang hanya menakut-nakuti saja, tidak membunuh dan tidak mengambil harta benda.
Hukumannya adalah penjara atau hukuman lainnya yang dapat membuat jera, agar ia tidak
mengulanginya.
b. Hadits
Dari ibnu umar r.a. dari nabi SAW beliau bersabda: mendengar dan menaati terhadap imam yang adil
merupakan kewajiban orang muslim, baik yang ia sukai maupun yang ia benci selama ia tidak diperintah
melakukan maksiat, tidaklah boleh didengar dan ditaati. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Umar R.A. ia berkata Telah bersabda Rasulullah SAW. Tahukah engkau bagaimana hukum
Allah dalam perkara orang-orang yang telah jadi kaum bughat dari umat ini? Seorang dari sahabat
berkata, Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu, Rasulullah bersabda tidak boleh ditambah lukanya, tidak
boleh dibunuh tawanannya, tidak perlu dicari mereka yang lari, dan tidak boleh dibagi-bagi rampasan
nya (HR. Al Bazzar dan Hakim).
3. Syarat-syarat disebut Bughat
Jarimah Siasiyah belum dinamakan tindak pidana politik yang sebenarnya, kecuali kalau memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Perbuatan itu ditunjukkan untuk menggulingkan negara dan semua badan eksekutif lainnya atau tidak
mau lagi mematuhi pemerintah nya.
b. Ada alasan yang mereka kemukakan, sebabnya mereka memberontak, walaupun alasan itu lemah
sekali.
c. Pemberontak telah mempunyai kekuatan dengan adanya orang yang mereka taati (pengatur
pemberontakan) atau ada pimpinannya.
d. Telah terjadi pemberontakan yang merupakan perang saudara dalam negara, sesudah mereka
mengadakan persiapan atau rencana.
e. Setelah diajak berunding dengan bijaksana sebagaimana yang telah dilakukan oleh khalifah Ali ra
terhadap ahli ramal dan shiffin.
Keterangan tentang persoalan ini dapat dijumpai dalam sepucuk surat yang dikirim oleh khalifah Ali
kepada kaum Bughat.
Dari Abdullah bin Syaddad ia berkata, berkata Ali ra kepada kaum khawarij, kamu boleh berbuat
sekehendak hatimu dan antara kami dan antara kamu hendaklah ada perjanjian, yaitu supaya kamu jangan
menumpahkan darah yang diharamkan (membunuh). Jangan merampok di jalan, jangan menganiaya
seseorang. Jika kamu berbuat itu, penyerangan akan diteruskan terhadap kamu sekalian (HR. Ahmad dan
Hakim).
4. Penyelesaian Bughat
Kaum bughat yang tertawan hendaklah diperlakukan;
a. Kalau ada yang luka jangan ada yang menambah lukanya, seperti memukul dan sebagainya.
b. Tidak boleh dibunuh.
c. Mereka yang lari tidak perlu di cari, kecuali bila ia mengganggu keamanan.
d. Harta bendanya tidak boleh dijadikan rampasan.
Cara penyelesaian perkaranya:
a. Diperangi lebih dahulu sebagai langkah utama.
b. Diadili di muka pengadilan sebagai langkah terakhir.
5. Hikmah
12
a. Pemerintah yang melaksanakan tugas dengan adil sesuai dengan ajaran Islam yang termaktub dalam
Al Qurandan hadis wajib ditaati.
b. Perbuatan yang dilakukan secara indifidu dan atau kelompok yang secara
13
SKL FIKIH 3
TADARUS
QS An Nisa: 58
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.
A. Pengertian Peradilan
1. Bahasa
Peradilan/qada menurut bahasa, berasal dari kata qadha-yaqdhi-qadhaan yang artinya selesai, ketetapan,
menentukan, mengakhiri dan sebagainya
2. Istilah
a. Menurut Al Khathib Asy Syarbini
Penyelesaian perselisihan di antara dua orang atau lebih dengan hukum Allah SWT.
b. Menurut Ibn Abd As Salam
Keputusan hukum yang dilakukan seorang qdhi (hakim) yang memiliki wewenang tidak lain adalah
menampakkan hukum syariat dalam masalah yang terjadi mengenai orang-orang yang wajib dikenai
hukum.
c. Menurut Agisbhi Qisti
Lembaga yang menempatkan perkara-perkara hukum sesuai dengan tempatnya.
d. Menurut Moh. Rifai
Sebuah lembaga yang dibentuk pemerintah atau negera untuk menyeelsaikan atau menetapkan
keputusan atas setiap perkara dengan adil berdasarkan hukum yang berlaku.
Jadi, peradilan adalah sebuah lembaga yang dibentuk pemerintah/negara untuk menyelesaikan atau
menetapkan keputusan atas setiap perkara dengan adil berdasarkan hukum yang berlaku dan sesuai
dengan tempatnya.
B. Dasar Hukum
1. Al Quran
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha mendengar lagi Maha melihat. (QS-An Nisa : 58)
2. Hadits
a. Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibn Majah meriwayatkan: Buraidah berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Hakim itu ada 3, 2 diantaranya akan masuk api neraka dan satu akan masuk surga.
Seseorang yang mengetahui kebenaran dan menghakiminya dengan kebenaran itu ?dialah yang akan
masuk surga, seseorang yang mengetahui kebenaran namun tidak memutuskan berdasarkan kebenaran
itu, dia akan masuk neraka. Yang lain tidak mengetahui kebenaran dan memutuskan sesuatu dengan
kebodohannya, dan dia akan masuk neraka.
b. Ahmad dan Abu Daud mengisahkan: Sahabat Ali. Berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Wahai Ali,
jika 2 orang datang kepadamu untuk meminta keadilan bagi keduanya, janganlah kamu memutuskan
sesuatu dari orang yang pertama hingga kamu mendengarkan perkataan dari orang kedua agar kamu
tahu bagaimana cara memutuskannya (menghakiminya).
D. Hakim
Hakim adalah sebuah gelar yang mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang tinggi nilainya,
Dalam literatur Islam istilah hakim sering disebut dan digunakan untuk filosof.
Menurut Husni Rahim, hakim adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk menyelesaikan dakwaan-
dakwaan dan persengakataan.
Kedudukan hakim sangat mulia, selama ia berlaku adil, sabda Nabi SAW:
)
(
Apabila seorang hakim duduk ditempatnya (sesuai dengan kedudukan hakim adil) maka 2 malikat
membenarkan, menolong dan menunjukkannya selama tidak seorang /menyeleweng), apabila menyeleweng
maka kedua malaikat akan meninggalkannya (H.R. Baihaqi).
E. Macam-macam Hakim
Mengingat beratnya tanggung jawab dan banyaknya godaan pada diri hakim, maka Nabi Muhammad
SAW pernah mensinyalir bahwa hakim itu dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: satu masuk surga dan dua
masuk neraka. Sabda Rasulullah SAW:
,
( )
F. Syarat Hakim
1. Islam
Abu Hanifah berkata: Orang kafir boleh diangkat menjadi hakim untuk orang-orang kafir, kendati
pengangkatan orang kafir tersebut terjadi dalam tradisi penguasa, namun pengangkatannya adalah
pengangkatan menjadi pejabat, dan bukan pengangkatan menjadi hakim.
2. Baligh (berakal untuk mengetahui perintah)
Seorang hakim harus mempunyai pengetahuan tentang hal-hal dzaruri (perintah) untuk diketahui, hingga
ia mampu membedakan segala hal sesuatu dengan benar, cerdas, dan jauh dari sifat lupa. Dengan
kecerdasannya, ia mampu menjelaskan apa yang tidak jelas, dan memutuskan urusan-urusan yang pelik.
3. Laki-laki
Syarat ini menjadi syarat sah menurut Mazhab Maliki, Syafii, dan Hanbali, sekiranya dilantik perempuan
menjadi hakim maka pelantikan itu tidak sah. Sabda Rasulullah:
Tiada berjaya kaum yang melantik perempuan menjadi wali urusan mereka.
Menurut madzhab Imam Abu Hanifah bahwa perempuan boleh diangkat menjadi qodli selain urusan had
dan qishash karena ke dalam dua hal tersebut kesaksian perempuan tidak diterima. Akan tetapi Ibnu Jarir
dan At-thabari mengatakan perempuan itu boleh menjadi qodli tanpa terkecuali.
Imam Mawardi menambahkan dalam syarat ini berarti seseorang haruslah baligh. Baligh merupakan
konsekuensi dari adanya konsep taklif dalam amal perbuatan, di mana tindakan hukum seseorang baru
sah dan berimplikasi hukum setelah mencapai baligh. Tentang wanita dalam jabatan kehakiman, Imam
Abu Hanifah berkata, Wanita diperbolehkan memutuskan perkara-perkara yang ia dibenarkan menjadi
saksi di dalamnya, dan tidak diperbolehkan memutuskan perkara-perkara yang ia tidak boleh menjadi saksi
di dalamnya.
4. Merdeka, (tidak budak)
Kesaksian budak dalam kasus-kasus hukum tidak diterima, Jika budak telah bebas, ia diperbolehlan untuk
menjabat sebagai hakim.
5. Adil
Syarat adil ini berlaku dalam semua jabatan. Adil ialah berkata benar, jujur, bersih dari hal-hal yang
diharamkan, menjauhi dosa-dosa, jauh dari sifat ragu-ragu, terkontrol ketika senang dan marah, serta
menggunakan sifat muruah (ksatria) dalam agamanya dan dunianya.
6. Sehat Jasmani (pendengaran dan penglihatan)
Agar dengan pendengaran dan penglihatan yang sehat, ia dapat membedakan antara pendakwa dengan
terdakwa, membedakan pihak yang mengaku dengan pihak yang tidak mengaku, membedakan kebenaran
dengan kebatilan, dan mengenali pihak yang benar dan pihak yang salah.
15
G. Etika Hakim
1. Bertempat tinggal di kota (tempat) pemerintahan sebab lebih cepat bertindak dan melakukan keputusan
peradilan.
2. Sebaiknya tidak memutuskan perkara di masjid sebab masjid tidak bisa bebas seperti bersuara keras dan
tidak semua perempuan bisa masuk.
3. Dalam mengadili hakim duduk di tempat terbuka yang bisa dilihat oleh terdakwa penggugat dan
pengunjung.
4. Tidak boleh menerima hadiah dari yang bersengketa
Sabda Rasulullah SAW:
( )
Allah melaknat orang yang memberi suap dan yang diberi suap dalam hukum (H.R. Ahmad & Tirmidzi)
5. Ketika memutuskan perkara tidak dalam keadaan marah
6. Berada dalam Majlis Pengadilan
Antara orang yang berselisih harus diperlakukan sama dalam 3 hal ;
a. Tempat duduk, artinya masing-masing di beri tempat duduk yang sama
b. Kata-kata, artinya masing-masing diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat.
c. Perhatian, artinya alasan-alasannya diperhatikan dan pandangan hakim ke arah yang sama.
H. Saksi
Kata saksi jika dilihat dari pengertian terminologi berarti orang yang mempertunjukkan, memperlihatkan,
sebagai bukti. Sedangkan menurut istilah syara ialah orang yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Menurut Husni Rahim, saksi adalah orang yang diperlukan oleh pengadilan untuk memberikan keterangan
yang berkaitan dengan suatu perkara demi tegaknya hukum dan tercapainya keadilan dalam pengadilan.
Menurut Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah bahwa yang dimaksud dengan saksi adalah memberitahukan
seseorang tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya.
Dasarnya QS An Nisa:135
135. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi
saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya
ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan
menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
QS Al Baqarah: 283
283. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah
kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
QS Atthalaq: 2
apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah
mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah
kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. (QS Atthalaq: 2).
I. Syarat Saksi
Saksi-saksi yang dipanggil ke muka sidang pengadilan mempunyai kewajiban menurut hukum yaitu :
1. Kewajiban untuk menghadap atau datang memenuhi panggilan persidangan, yang mana dirinya
dipanggil dengan patut dan sah
2. Kewajiban untuk bersumpah sebelum memberi keterangan, sumpah ini menurut ketentuan agamanya
dan bagi suatu agama yang tidak memperkenankan adanya sumpah maka diganti dengan mengucapkan
janji
3. Kewajiban untuk memberikan keterangan yang benar
16
Untuk memberitahukan kesaksian yang dapat diterima serta dapat di jadikan pembuktian kuat wajib
memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu :
1. Beragam Islam
Saksi dalam hal ini haruslah beragama Islam karena syarat para fuqaha menetapkan, bahwa dalam
kesaksian ini yang dapat diterima bagi kesaksian seseorang haruslah beragama Islam.
2. Baliqh
Saksi yang belum mencapai usia baliqh tidak dapat dijadikan sebagai saksi, terlebih memberikan
kesaksian.
3. Berakal
Persaksian dari pada saksi dapat dijadikan saksi sebagai pembuktian dalam Peradilan Agama jika saksi
memiliki akal dan jiwa yang sehat sebagai salah satu syarat yang harus dimiliki oleh saksi dalam suatu
persaksian.
4. Merdeka
Merdeka ialah saksi dalam memberikan kesaksian harus termasuk orang yang merdeka yaitu tidak
sebagai budak atau orang yang tidak memiliki kebebasan hidup seperti manusia lainnya.
5. Adil
Sifat keadilan dari saksi dalam memberikan kesaksian sangatlah menentukan dalam penilaian hakim
karenanya sifat adil dalam hal ini ialah menjauhi perbuatan dosa, baik hati, menjaga kehormatan diri, dan
bukan musuh atau lawan dari pihak yang berperkara.
6. Merdeka (tidak sebagai budak atau orang yang tidak memiliki kebebasan hidup seperti manusia lainnya)
17
Dokumen setidaknya ada tiga jenis, yaitu dokumen yang bertanda tangan, dokumen resmi yang
dikeluarkan oleh negara dan dokumen yang tidak bertanda tangan. Namun, jika ia mengingkarinya maka
dokumen tersebut tertolak.
Dokumen yang dianggap valid menjadi alat bukti bagi pendakwa hanya diterima jika dihadirkan di
pengadilan. Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ahmad meriwayatkan Ummu Salamah berkata: Dua laki-
laki telah berselisih tentang warisan dan mengdatangi Rasulullah SAW, tanpa membawa bukti. Beliau SAW
bersabda: kalian berdua membawa perselisihan kalian kepadaku, sedang aku adalah seseorang yang seperti
kalian dan salah seorang diantara kalian mungkin berbicara lebih fasih, sehingga aku mungkin menghakimi
berdasarkan keinginannya. Dan jika aku menghukumnya dengan sesuatu yang bukan menjadi miliknya dan
aku mengambilnya sebagai hak saudaranya maka ia tidak boleh mengambilnya karena apapun yang aku
berikan padanya akan menjadi serpihan api neraka dalam perutnya dan dia akan datang dengan
menundukkan lehernya dihari pembalasan. Kedua orang itu menangis dan salah satu dari mereka berkata,
aku berikan bagianku pada saudaraku. Rasulullah SAW bersabda: Pergilah kalian bersama-sama dan
bagilah warisan itu diantara kalian dan dapatkan hak kalian berdua serta masing-masing dari kalian saling
mengatakan, Semoga Alloh mengampunimu dan mengikhlaskan apa yang dia ambil agar kalian berdua
mengdapat pahala.
L. Hikmah Peradilan
1. Terwujudnya perdamaian dalam masyarakat.
2. Terwujudnya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa
3. Terwujudnya perlindungan hak setiap orang.
4. Terwujudnya keadilan bagi manusia.
5. Mewujudkan sifat taqwa bagi semua pihak.
18
SKL FIKIH 4
USHUL FIQIH
TADARUS
QS Ali Imran: 18
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah),yang menegakkan
keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan
melainkan Dia (yang berhak disembah),yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
19
5. Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam meng-istinbat-kan
hukum dari dalil-dalilnya, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang
akan dicapai oleh suatu nash (ayat atau hadits).
Dengan demikian terlihat jelas perbedaan antara obyek ushul fiqih dan obyek fiqih itu sendiri. Obyek
kajian ushul fiqih adalah dalil-dalil, sedangkan obyek fiqih adalah perbuatan seseorang yang telah mukallaf
(telah dewasa dalam menjalankan hukum). Jika ahli ushul fiqih membahas dalil-dalil dan kaidah-kaidah yang
bersifat umum, maka ahli fiqih mengkaji bagaimana dalil-dalil juz'i (sebagian) dapat diterapkan pada
peristiwa-peristiwa khusus. Misalnya, perintah adalah wajib, hal ini merupakan ketentuan universal yang
sesuai dengan bagian-bagiannya sebagaimana firman Allah dalam Al Quran bahwa aqimu al Shalah
(dirikanlah sholat) dan atu al zakah (keluarkan zakat).
Sedangkan cara menggunakan ketentuan-ketentuan universal dalam menggali hukum syara ialah, firman
Allah aqimu kalimat perintah yang menunjukkan makna thalab (tuntutan) yaitu kerjakan dan tidak ada
tanda-tanda yang mengalihkan perkataan dari makna perintah kepada makna lainnya. Oleh karena itu, setiap
kalimat yang menunjukkan arti perintah selama tidak ada hal yang mengalihkan dari makna asalnya maka
kalimat tersebut menunjukkan wajib. Hasilnya, bahwa aqimu menuntut wajibnya pekerjaan yang dituntut
aqimu yaitu sholat. Akhirnya, sebuah produk hukum yang dikandung dalam aqimu al Shalah bahwa shalat itu
wajib.
20
2. Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenai hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu
sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan,
apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
3. Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak,
apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
4. Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh
usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid
muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
5. Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang
beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
6. Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunaannya, fungsi
dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
7. Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al Quran, Sunnah, ijma, qiyas, istihsan, istishlah,
istishhab, mazhabus shahabi, al 'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus
syari'ah/ususus syari'ah.
8. Masa'ah rayu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, alwashful munasib, as sabru wat taqsim,
tanqihul manath, ad dauran, assyabhu, ilghaul fariq dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat
tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.
F. Hubungan antara Usul Fiqih dan ilmu lainnya
1. Hubungan ilmu ushul fiqih dengan ilmu fiqih
Ilmu fiqih membahas dalil-dalil untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan
perbuatan manusia. Sedangkan ilmu ushul fiqih meninjau dari segi penetapan hukum, klasifikasi
argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dalil tersebut. Hubungan antara ushul
fiqih dan fiqih, fiqih adalah hasil istimbath, sedangkan cara istinbath dipelajari dalam ilmu ushul fiqih. Jadi
hasil perolehan dari ushul fiqih akan dibahas oleh ilmu fiqih yang tergolong dalam hukum lima yaitu
halal,haram, sunnah, wajib dan makruh. Kesimpulannya seorang ahli fiqih tidak dapat terlepas dari ushul
fiqih.
2. Hubungan ilmu ushul fiqih dengan ilmu qowaidul fiqih
Ilmu qawaid fiqihiyah membahas tentang kaidah-kaidah hukum secara umum yang diambil dari berbagai
permasalahan fiqih yang berserakan. Masalah-masalah fiqih yang mempunyai persamaan dalam hukum
dijadikan satu, sehingga menghasilkan sebuah kaidah. Ilmu ushul fiqih membahas tentang kaidah-kaidah
di dalam fiqih.
3. Hubungan Ilmu Ushul Fiqih dengan Bahasa Arab
Ilmu bahasa Arab, yaitu ilmu-ilmu yang membahas tentang bahasa Arab dengan segala cabangnya. Ilmu
ushul fiqih bersumber dari bahasa Arab, karena ilmu ini mempelajari teks-teks yang ada di dalam Al
Quran dan hadis yang keduanya menggunakan bahasa Arab. Ilmu bahasa Arab ini mempunyai hubungan
yang paling erat dengan ilmu ushul fiqih, karena mayoritas kajiannya adalah berkisar tentang metodologi
penggunaan dalil-dalil syari, baik yang bersifat al-lafdhi (tekstual) maupun yang bersifat al manawi
(substansial) dimana keduanya adalah pembahasan tentang bahasa Arab
4. Hubungan ilmu ushul fiqih dengan ilmu ushuluddin
Ilmu ushuludin, yaitu ilmu-ilmu yang membahas masalah keyakinan. Ilmu ushul fiqih bersumber dari
ilmu ushuludin, karena dalil yang dibahas di dalam ushul fiqih adalah dalil yang terdapat di dalam Al
Quran dan sunnah, dan keduanya diturunkan oleh AllahSWT. Kalau tidak ada keyakinan seperti ini,
niscaya ilmu ushul fiqih ini tidak akan pernah muncul ke permukaan, karena salah satu tujuan ilmu ini
adalah meletakkan kaidah-kaidah di dalam proses pengambilan hukum dari kedua sumber tadi.
5. Hubungan ilmu ushul fiqih dengan ilmu mantiq
Ilmu mantiq merupakan kaidah berfikir yang memelihara akal agar tidak terjadi kerancuan dalam berfikir.
Sedang ilmu ushul fiqih merupakan kaidah yang memelihara fuqaha agar tidak terjadi kesalahan dalam
meng-istinbat-kan hukum. Istimbat hukum dan penyusunan kaidah-kaidah fiqih, ilmu mantiq sangat
penting dalam istimbat hukum.
6. Hubungan ilmu ushul fiqih dengan ilmu Al Quran dan hadits
Ilmu ushul fiqih pembahasannya didasarkan pada dalil yang bersumber dari Al Quran dan hadis, maka
pengetahuan menyangkut kedua ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan. Artinya pembahasan ilmu ushul
fiqih tidak akan keluar dari sumber dalil nash yang paling absah kebenarannya.
21
SKL FIKIH 5
SEJARAH USHUL FIQIH
TADARUS
QS Ali Imran: 18
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan
keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan
melainkan Dia (yang berhak disembah),yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
22
sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh
Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber
hukum.
Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab tidak menjatuhkan hukuman potong
tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/ terpaksa). Dan sahabat Ali bin Abi
Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum
ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mutah. Beliau menyamakan kedudukan wanita
tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan
maharnya, maka oleh syara ditetapkan hak mutah baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah
yang artinya: Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum
kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu
memberikan mutah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang
yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al Baqarah: 236).
Pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam
berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabat telah terjadi praktek
berijtihad, hanya saja pada waktu itu tidak disusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan ilmu
ushul fiqih karena pada waktu itu tidak dibutuhkan adanya. Semua itu disebabkan mereka mengetahui
sebab-sebab turun (asbabun nuzul) ayat, sebab-sebab datang (asbabul wurud) hadis, mempunyai
ketajaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-dasar syara dalam menetapkan hukum
yang mereka peroleh.
b. Pada Masa Tabiin
Pada masa tabiin, tabiit-tabiin dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah
kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang
bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat
istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit
penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam.
Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu
pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan
ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.Pada masa ini juga semakin banyak
terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang
ditempuhnya.
Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi
juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah. Kenyataan-kenyataan tersebut
mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syariah yakni kaidah-kaidah yang bertalian
dengan tujuan dan dasar-dasar syara dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syariah dan kaidah-kaidah kebahasaan dalam berijtihad pada abad II
Hijriyah, maka telah terwujudlah ilmu ushul fiqih. Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama
kali menyusun kitab ilmu ushul fiqih ialah Imam Abu Yusuf (murid Imam Abu Hanifah) akan tetapi kitab
tersebut tidak sampai kepada kita. Menurut Abdul Wahhab Khallaf, ulama yang pertama kali membukukan
kaidah-kaidah ilmu ushul fiqih dengan sejumlah alasannya adalah Muhammad bin Idris asy Syafii (150-
204 H) dalam karya yang fenomenal yakni kitab Ar Risalah. Beliau adalah orang pertama yang
mengembangkan ilmu ushul fiqih.
3. Pembukuan Ilmu Ushul Fiqih
Salah satu yang mendorong diperlukannya pembukuan ilmu ushul fiqih adalah perkembangan wilayah
Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum
diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum
yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Golongan Hanafiyah misalnya mengklaim bahwa yang pertama menyusun ilmu Ushul Fiqih ialah Abu
Hanifah, Abu Yusuf dan Ibnu Ali Al Hasan. Alasan mereka bahwa Abu Hanifah merupakan orang yang pertama
menjelaskan metode istinbath dalam kitabnyanya Ar Rayu. Dan Abu Yusuf adalah orang yang pertama
menyusun ushul fiqih dalam madzhab Hanafi, demikian pula Muhammad Ibnu Al Hasan telah menyusun
ushul fiqih sebelum Imam Syafii, bahkan Imam Syafii berguru kepadanya. Golongan Syafiiyah juga
mengklaim bahwa Imam Syafii lah orang yang pertama yang menyusun kitab ushul fiqih.
4. Tahapan perkembangan Ushul Fiqih
a. Tahap awal (abad 3 H)
Pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian timur, khalifah-
khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al Mamun (w. 218 H), Al Mutashim (w. 227 H), Al Wasiq
(w. 232 H), dan Al Mutawakil (w. 247 H) pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah
dikalangan Islam yang dimulai sejak kekhalifahan Harun Al Rasyid. Salah satu hasil dari kebangkitan
berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqih yang pada giliranya
mendorong untuk disusunnya metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqih.
Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqih yang pertama-tama tersusun secara utuh dan terpisah dari
kitab-kitab fiqih ialah Ar Risalah karya Imam Syafii. Kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang
bernilai tinggi. Selain kitab Ar Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushul fiqih
lainnya. Isa Ibnu Iban (w. 221 H\ 835 M) menulis kitab Itsbat Al Qiyas. Ibrahim Ibnu Syiar Al Nazham (w.
221 H\ 835 M) menulis kitab An Naql dan sebagainya.
b. Tahap perkembangan (abad 4 H)
23
Pada masa ini abad (4 H) merupakan abad permulaan kelemahan dinasti Abbasiyah dalam bidang politik.
Dinasti Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan.
Namun demikian tidak berpengaruh terhadap perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama
ketika itu. Karena masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan negerinya dengan
memperbanyak kaum intelektual.
Khusus dibidang pemikiran fiqih Islam pada masa ini mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka
sejarah hukum Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad berhenti pada abad ini. mereka
mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi
mengeluarkan pemikiran yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqih
semakin mantap exsitensinya, apa lagi disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan
adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab sewaktu-
waktu. Sehingga pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup dengan indikasi sebagai berikut:
1) Kegiatan para ulama terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung hanya
mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya.
2) Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uraian yang singkat
3) Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah permasalahan.
Kitab-kitab ushul fiqih yang merupakan hasil karya ulama-ulama fiqih pada abad ke-4 H diantaranya:
1) Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Hasan Ubaidillah Ibnu Husain Ibnu Dilal Dalaham Al Kharkhi,
(w. 340 H.)
2) Kitab Al Fushul Fi Fushul Fi Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar Razim yang juga terkenal
dengan Al Jasshah (305H.)
3) Kitab Bayan Kasf Al Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badaruddin Mahmud Ibnu Ziyad Al Lamisy Al
Hanafi.
c. Tahap penyempurnaan (abad 5-6 H)
Dalam sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan periode penulisan
ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang menjadi kitab standar dalam pengkajian
ilmu ushul fiqih selanjutnya. Kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan
adanya kitab ushul fiqih bagi masing-masing mazhab, juga menunjukkan adanya aliran ushul fiqih, yakni
aliran hanafiah yang dikenal dengan aliran fuqaha, dan aliran Mutakalimin.
24
SKL FIKIH 6
HUKUM SYARA
A. Hukum Syari
Makna bahasa dari kata Syariah adalah sumber air yang tidak ada habis di mana orang-orang
memenuhi dahaganya. Sesuai dengan arti secara bahasa makna Syariah adalah hukum Islam yang menjadi
sumber petunjuk. Sebagaimana air yang merupakan dasar kehidupan, hukum Islam juga merupakan sumber
penting untuk mengarahkan kehidupan manusia.
Syariah adalah hukum-hukum dan aturan yang Allah syariatkan buat hambanya untuk diikuti dan
hubungan mereka sesama manusia. Disini kami maksudkan makna secara yang istilah yaitu syariat tertuju
kepada hukum yang didatangkan al-quran dan rasulnya, kemudian yang disepakati para sahabat dari hukum
hukum yang tidak datang mengenai urusannya sesuatu nash dari al-quran atau as-sunnah. Kemudian hukum
yang diistimbatkan dengan jalan ijtihad, dan masuk ke ruang ijtihad menetapkan hukum dengan perantaraan
qiyas, karinah, tanda-tanda dan dalil-dalil
Syariah terdiri dari semua hukum yang diperoleh dari sumber hukum Islam. Hukum ini tidak terbatas
pada masalah pernikahan atau perceraian saja, tetapi mencakup setiap perbuatan individu atau masyarakat.
Kata Syariah juga merupakan sinonim dari fiqih
Istilah hukum Syara dalam bahasa Arab maksudnya adalah seruan Pembuat Hukum (asy Syari)
berkenaan dengan perbuatan kita. Islam membahas semua perbuatan kita apakah boleh atau tidak. Setiap
perbuatan kita harus mengikuti hukum Syara. Allah berfirman:
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim. (Al-Maidah: 45)
Hukum syara/ syari menurut istilah pakar ushul fiqih adalah seruan (khithab) syara yang berkaitan
dengan aktivitas hamba (manusia), berupa tuntutan (al-iqtidla), penetapan (al-wadli) dan pemberian pilihan
(at-takhyir). Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku
manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
pembahasan tentang hukum syara sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi orang yang sudah baligh
(dewasa) dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat
yang beragama Islam.
Seruan syara yang berkaitan dengan penjelasan hukum atas perbuatan manusia, berupa tuntutan dan
pemberian pilihan disebut dengan khithab taklifi, yaitu seruan yang berarti tuntutan, baik tuntutannya pasti
(jazm) atau tidak pasti (ghair jazm), atau yang dimaksudkan seruannya berupa pilihan antara megerjakan
atau tidak. Sedang seruan syara yang menjelaskan perkara-perkara yang dituntut oleh hukum atas perbuatan
manusia, yaitu perkaraperkara yang menentukan terwujudnya suatu hukum atau kesempurnaannya disebut
dengan khithab wadli.
B. Hukum Taklifi
1. Pengertian Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung tuntutan untuk melakukan, meninggalkan atau
memilih antara melakukan atau meninggalkan. Hukum ini disebut dengan taklifi karena di dalamnya ada
beban bagi manusia. Beban itu terlihat jelas karena merupakan suatu tuntutan, baik tuntutan untuk
mengerjakan atau meninggalkan, dan takhyir (memilih). Seperti hukum yang menyangkut perintah seperti
shalat, membayar zakat dan lain-lain.
Perbuatan manusia perlu diketahui hukum syara nya, karena Allah mewajibkan setiap muslim agar
memperhatikan setiap perbuatan yang akan dikerjakannya, dan mengetahui hukum syara atas perbuatan
tersebut sebelum dikerjakan, karena Allah akan meminta pertanggungjawaban atas perbuatannya kelak.
QS. al-Hijr: 92-93
92. Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, 93. tentang apa yang telah mereka
kerjakan dahulu.
2. Macam-macam Hukum Taklifi
a. Perintah
Perintah adalah keadaan kukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat. Kondisi hukum yang
mengandung tuntutan untuk dikerjakan dapat digolongkan dalam 2 kategori hukum taklifi, yakni wajib
dan sunah
1) Wajib
Wajib/ fardhu adalah suatu perbuatan apabila perbuatan itu dikerjakan oleh seseorang maka akan
mendapat pahala, dan apabila perbuatan itu ditinggalkan akan mendapat siksa. Jumhur fuqaha
menyamakan antara wajib dan fardu, sedangkan ulama Hanafiyah membedakan kedua istilah ini.
Apabila tuntutan untuk mengerjakan sesuatu perbuatan itu berdasarkan dalil-dalil qathi, baik dari
25
Alquran maupun hadis mutawatir dinamai fardu, dan apabila berdasarkan dalil-dalil dhanni, yakni
hadis-hadis ahad, maka disebut wajib.
103. Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman. (QS Annisa: 103)
103. ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. (QS Attaubah: 103).
a) Ditinjau dari sisi pembebanannya: wajib/ fardu ain dan wajib/ fardu kifayah
1) Wajib ain adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap mukallaf tanpa kecuali.
Kewajiban ini harus dilaksanakan sendiri dan tidak bisa diganti orang lain. Seperti sholat
(QS. An Nur: 56)
dan dirikanlah sembahyang,
2) Wajib kifayah adalah kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukallaf dan dapat gugur
manakala telah dilaksanakan oleh sebagian dari mereka. Seperti sholat jenazah.
:
:
. .
Dari Salamah bin Al-Akwa,pada suatu saat kami duduk-duduk dekat Nabi Saw.Ketika itu
dibawa seorang mayat, beliau berkata kepada kami, shalakanlah teman kamu .
b) Ditinjau dari sisi kandungan perintah: wajib muayyan dan wajib mukhayyar
1) Wajib muayyan adalah suatu kewajiban yang telah ditentukan dan tidak ada pilihan bagi
mukallaf, seperti puasa di bulan ramadlan (QS. Al Baqarah: 183).
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
2) Wajib mukhayyar adalah suatu kewajiban yang boleh dipilih oleh mukallaf atas beberapa
alternatif. Misalnya membayar kifarat (denda) bagi seseorang yang melanggar sumpah, maka
ia wajib memilih salah satu dari 3 hal dalam membayar kifarat, yakni memberi makan 10
fakir miskin atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak.
c) Ditinjau dari sisi waktu pelaksanaannya: wajib mutlak dan wajib muaqqat
1) Wajib mutlak adalah suatu kewajiban yang waktu pelaksanaannya tidak dibatasi oleh waktu
tertentu. Seperti mengqada puasa ramadlan yang tertinggal (QS. Al Baqarah: 184).
Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-
hari yang lain.
2) Wajib muaqqat adalah suatu kewajiban yang pelaksanannya dibatasi oleh waktu tertentu.
Seperti sholat lima waktu.
2) Sunah/ Mandhub
Sunnah atau Mandub adalah perbuatan yang apabila perbuatan itu dikerjakan, maka orang yang
mengerjakannya mendapat pahala dan apabila ditinggalkan, maka orang yang meninggalkannya
tidak mendapat siksa. Seperti pada QS Albaqarah: 281
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya
Menulis dan mencatat hutang itu tidaklah wajib, walaupun dalam firman tersebut dilukiskan
dengan fiil amr, yang pada umumnya fiil amr itu mengandung arti wajib.
Hukum mandub atau sunnah terbagi dalam 3 kategori hukum, diantaranya:
a. Sunnah muakkad adalah sunnah yang sangat dianjurkan, sebab sunnah ini selalu dilakukan oleh
Nabi SAW dan sangat jarang ditinggalkan. Misalnya salat jamaah
Shalat jamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dua puluh tujuh derajat
b. Sunah ghairu muakkad adalah sunnah yang biasa dianjurkan, sebab sunnah ini biasa dilakukan
oleh Nabi SAW, namun terkadang ditinggalkan. Misalnya memberikan sodaqah kepada orang
yang tidak dalam kondisi terdesak.
26
c. Sunah zawaid adalah sunnah yang biasa dilakukan oleh Nabi SAW sebagai seorang manusia
biasa, seperti adat kebiasan nabi dalam hal makan, minum duduk, berpakaian.
b. Larangan
Larangan adalah keadaan hukum yang melarang kepada mukallaf untuk berbuat. Kondisi hukum yang
mengandung larangan untuk dikerjakan dapat digolongkan dalam 2 kategori hukum taklifi, yakni
haram dan makruh.
1) Haram
Haram adalah perbuatan yang apabila ditinggalkan, maka orang yang meninggalkannya akan
mendapat pahala, dan apabila perbuatan itu dikerjakan mendapat siksa.
Katakanlah: marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia. (QS Alanam: 151)
Hukum haram terbagi dalam 2 kategori hukum yaitu :
a) Haram li dzatihi adalah sesuatu yang diharamkan oleh syariat Islam karena esensinya
mengandung kerusakan dan bahaya bagi kehidupan manusia. Contoh berzina (QS. Al Isra : 32)
dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
dan suatu jalan yang buruk.
b) Haram li ghoirihi adalah sesuatu yang diharamkan oleh syariat bukan karena esensinya, namun
karena membawa kepada esensi haram. Seperti jual beli pada saat adzan jumat (QS. Al Jumuah :
9)
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli..
2) Makruh
Makruh adalah suatu perintah yang dilarang mengerjakan, tetapi tidak bersifat harus (mengikat),
yang ditunjukkan dengan dalil yang menyatakan tidak haram Atau perbuatan yang apabila
perbuatan itu ditinggalkan, maka orang yang meninggalkannya akan mendapat pahala dan apabila
dikerjakan, maka orang yang mengerjakannya tidak mendapat siksa. Seperti pada QS. An Nahl : 116
dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta
"Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu. (QS Almaidah: 101)
Larangan menanyakan sesuatu yang membahayakan itu adalah makruh bukan haram, karena Allah
memerintahkan kepada kita untuk menanyakan kepada para ahli tentang hal-hal yang belum kita
ketahui. Sebagaimana firman Allah QS An nahl: 43,
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Hukum makruh terbagi dalam 2 kategori hukum, diantaranya:
a) Makruh tanzih adalah makruh yang tidak dicela bila dikerjakan, tetapi terpuji bila ditinggalkan
seperti merokok, makan jengkol. Contoh lain dari dari makruh adalah Sabda Rosulullah saw :
Janganlah salah satu dari kalian memegang kemaluan-nya dengan tangan kanan, ketika sedang
kencing, dan jangan cebok dengan tangan kanan, serta jangan bernafas ketika minum. ( HR
Bukhari, Muslim)
Larangan dalam hadist di atas, menurut mayoritas ulama adalah larangan yang tidak tegas, maka
dihukumi makruh , bukan haram. Kalau ada pertanyaan, apa ciri yang membedakan antara
larangan tegas dan tidak tegas ? maka jawabannya : untuk hadist ini kita katakan bahwa larangan di
sini berhubungan dengan adab dan akhlaq saja, dan tidak berhubungan dengan ibadah mahdho.
b) Makruh tahrim adalah makruh yang dekat kepada hukum haram, yaitu haram yang dalilnya belum
qathi (pasti). Contoh seorang berkemampuan menikah tetapi tidak dilaksanakan
27
Barangsiapa yang mampu tetapi tidak menikah, maka bukan (termasuk) golonganku
Seperti halnya juga larangan yang tersebut dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar
ra bahwa Rosulullah SAW bersabda :
Jangalah seseorang diantara kamu meminang atas pinangan saudaranya , dan janganlah
membeli atau pembelian sauadaranya,kecuali dengan ijin-nya (HR Abu Daud)
c. Boleh (Mubah)
Boleh adalah keadaan hukum yang menghendaki agar mukallaf memilih antara berbuat dan
meninggalkan. Kondisi hukum yang mengandung pilihan untuk mengerjakan atau tidak dinamakan
mubah
Contoh: mengqasar shalat (QS An-Nisa: 101), berpakaian indah ketika masuk masjid dan masalah
makan pada (QS. Al-Araf: 31), mengkonsumsi makanan yang terlarang dengan batas tertentu (QS Al
Baqarah: 173)
dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar..
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan (QS. Al-Araf: 31)
tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. (QS Al Baqarah: 173)
Untuk perkara yang mubah, ada beberapa yang perlu diperhatikan :
a) Jangan berlebihan.
b) Jangan membuat perkara baru (bidah) dalam agama yang tanpa ada contoh atau tanpa ada
maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana kemaslahatan yang lain.
c) Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.
C. Hukum Wadli
1. Pengertian Hukum Wadli
Adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang lain.
Hukum ini disebut dengan wadli karena merupakan perantara antara dua hal dengan hubungan sebab,
syarat, atau penghalang (mani) yang telah ditetapkan Allah. Atau hukum yang berkaitan dengan ketetapan
hukum baik perintah maupun larangan karena seban, syarat, halangan tertentu. misalnya perintah Allah
yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain atau sebagai syarat bagi sesuatu
yang lain. Contoh, perintah shalat menjadikan wajibnya wudhu. Akan tetapi orang yang berwudhu tidak
wajib melaksanakan shalat.
2. Macam-macam Hukum Wadli
a. Sebab (al-Sabab)
Secara etimologis, sebab artinya sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan.
dari kata inilah dinamakan jalan, itu sebagai sabab, karena jalan bisa menyampaikan seseorang
kepada tujuan. Secara istilah sebab adalah sesuatu yang dijadikan pokok pangkal bagi adanya
musabbab (hukum). Artinya dengan adanya sebab terwujudlah musabbab (hukum) dan dengan
tiadanya sebab, tidak terwujudlah suatu musabbab (hukum). Oleh karena itu, sebabnya haruslah jelas
lagi tertentu dan dialah yang dijadikan oleh Syari' sebagai 'illat atas suatu hukum. Misalnya, tindakan
perzinahan menjadi sebab, atau alasan bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya, keadaan gila
menjadi sebab (alasan) bagi keharusan ada pembimbingnya, dan tindakan perampokan menjadi sebab
bagi adanya kewajiban mengembalikan harta yang dirampok kepada pemiliknya.
Para ulama ushul fiqh membagi sebab kepada dua macam:
1) Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf dan berada diluar kemampuannya. Namun
demikian sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi, karena syari'at telah
menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang
mukallaf. Misalnya, tergelincirnya matahari menjadi sebab (alasan) datangnya shalat zuhur (QS. Al
Isra : 78)
dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir
2) Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batas kemampuannya. Misalnya perjalanan
menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa disiang hari romadhon (QS. Al Baqarah: 184) demikian
juga larangan berzina yang merupakan sebab bagi ancaman hukuman (QS. An Nur : 2)
Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain
(QS. Al Baqarah: 184)
28
perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera(QS. An Nur : 2)
b. Syarat (al Syarthu)
Menurut bahasa kata syarat berarti "sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain" atau
"sebagai tanda". Menurut istilah syarat adalah sesuatu yang menyebabkan adanya hukum dengan
adanya syarat dan bila tidak ada syarat maka hukum pun tidak ada. Atau sesuatu yang dijadikan
syariat sebagai pelengkap terhadap perintah syara, tidak sah pelaksanaan suatu perintah kecuali
dengan adanya syarat tersebut. Dan bahwa syarat mempunyai arti penting karena sesuatu yang lain
tergantung kepada adanya syarat tersebut. Dengan tidak terpenuhi syarat tersebut, maka suatu
perintah syara menjadi tidak sah.
1) Wudlu sebagai syarat sahnya salat. Hal ini menunjukkan bahwa syarat sahnya salat tergantung
adanya wudlu.
2) Adanya wali dan saksi dalam pernikahan merupakan syarat sah akat nikah.
3) Si A berkata kepada si B: jika kamu membantu saya maka hutangmu lunas. Membantu di sini adalah
sebagai syarat hutang si B lunas.
Para ulama ushul fiqh membagi syarat kepada dua macam:
1) Syarat syar'i, yaitu syarat yang datang langsung dari syari'at itu sendiri. Misalnya, keadaaan rusyd
(kemampuan untuk mengatur pembalanjaan sehingga tidak jadi mubazir) bagi seorang anak
yatim dijadikan oleh syari'at sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya.
2) Syarat ja'li, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukallaf itu sendiri. Misalnya, seorang
suami berkata kepada istrinya: "jika engkau memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah talaqmu
satu", dan seperti pernyataan seorang bahwa ia harus bersedia menjamin untuk membayarkan
utang si fulan dengan syarat si fulan itu tidak mampu membayar utangnya itu.
c. Penghalang (al Mani)
Kata mani' secara etimologi berarti "penghalang dari sesuatu". Secara istilah mani' adalah sesuatu
yang ditetapkan sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi hukum atau
penghalang bagi berfungsinya suatu sebab. Sebuah akad misalnya, dianggap sah bilamana telah
mencukupi syarat-syaratnya dan akad yang sah itu mempunyai akibat hukum selama tidak terdapat
padanya suatu penghalang (mani'). Misalnya akad perkawinan yang sah karena telah mencukupi
syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab waris mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa
jadi terhalang disebabkan suami misalnya telah membunuh istrinya. Tindakan pembunuhan dalam
contoh tersebut adalah mani' (penghalang) bagi hak suami untuk mewarisi istrinya. Contoh lain
diantaranya membunuh istri sebagai mani (penghalang) suami tidak mendapat warisan istri. Haidl
sebagai mani (penghalang) seorang wanita mukallaf melakukan sholat Hutang sebagai mani
(penghalang) seseorang tidak wajib mengeluarkan zakat.
Para ulama ushul fiqh membagi syarat kepada dua macam:
1) Mani' al-hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum.
Misalnya, keadaan haidh bagi wanita ditetapkan Allah sebagai mani' (penghalang) bagi kecakapan
wanita itu untuk melakukan shalat, dan oleh karena itu shalat tidak wajib dilakukannya waktu
haidh.
Dari Aisyah sesungguhnya ada seorang wanita yang bertanya mengqodho shalat, Aisyah berkata:
"anda terbebas, sebab dulu dimasa Nabi SAW kami pernah haidh dan setelah suci beliau tidak
menyuruh mengqodho shalat". (HR. ibnu Majah)
2) Mani' al-sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu
sebab sehingga dengan bahwa sampainya harta minimal satu nisab, menjadi sebab bagi wajib
mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun jika pemilik
harta itu dalam keadaan berutang dimana utang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari
satu nishab maka dalam kajian fiqh keadaaan berutang itu manjadi mani' (penghalang) bagi wajib
zakat pada harta yang dimilikinya itu. Dalam hal ini keadaan seorang dalam berutang itu, telah
menghilangkan kewajiban zakat harta.
d. Sah (Al Shihhah)
Sah adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhnya sebab, syarat dan tidak
ada mani (halangan). Maksudnya,suatu perbuatan dikatakan sah, apabila terpenuhi sebab dan
syaratnya, tidak ada halangan dalam melaksanakannya, serta apa yang diinginkan syara dari perbuatan
itu berhasil dicapai. Dengan kata lain ss-sihhah adalah apabila kita akan mengerjakan sesuatu
dikatakan sah apabila sudah ada sebab dan syarat itu terpenuhi, dan tidak ada penghalang dari kedua
hal tersebut.
Misalnya, mengerjakan shalat duhur setelah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudu (syarat),
dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas, dan sebagainya). Dalam hal
ini, pekerjaan yang dilaksanakan itu hukumnya sah.
29
maghrib sebelum tergelincirnya matahari atau tidak memakai wudhu atau sudah ada keduanya tetapi
dilakukan oleh wanita yang sedang haid.
30
b. Diketahui secara pasti oleh orang mukallaf bahwa perintah itu datang dari pihak yang berwenang
membuat perintah yang dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya.
c. Perbuatan yang diperintahkan atau di larang hruslah berupa perbuatan yang dalam batas kemampuan
manusia untuk melakukan atau meninggalkannya. Hal itu disebabkan karena tujuan dari perintah atau
larangan adalah untuk ditaati. Oleh sebab itu tidak mungkin ada dalam Alquran dan sunah sebuah
perintah yang mustahil menurut akal untuk dilakukan oleh manusia. Misalnya perintah terbang tanpa
memakai alat.
()
Diangkat pembebanan hukum dari 3 (jenis orang) orang tidur sampai ia bangun,anak kecil sampai
baligh, dan orang gila sampai sembuh.(HR Bukhori, Tirmdzi, Nasai, dan Ibnu majjah)
2. Syarat Mahkum Alaihi
a. Sanggup memahami khitab-khitab pembebanan yakni sanggup memahami sendiri atau dengan
perantaraan orang lain nash-nash Al Quran dan sunnah.
Karena orang yang tidak sanggup memahami khitab Allah baik langsung maupun dengan perantaraan
niscaya tidak akan dapat tergerak hatinya untuk memenuhi tuntunan syara dan tidak akan dapat
mencapai tujuan yang di cita-citakan. Kesanggupan memahami khitab taklif itu hanya terletak kepada
akal dan nash-nash yang dibebankan kepada ahli fiqh atau untuk memahami dan menyerap dan akal
itu pula yang mendorong manusia berkehendak untuk mematuhiNya oleh karena itu orang gila dan
anak-anak yang belum dewasa tidak dibebani suatu taklif. Karena keduanya belum sanggup
memahami khitab-khitab untuk membina ketaatan kepada syari demikian pula orang yang dalam
keadaan lupa sedang tidur atau sedang mabuk tidak dibebani suatu kewajiban,karena pada saat itu
mereka tidak sanggup memahami kitab.
a) Adakalanya ahliyatul wajibnya itu kurang sempurna kemampuan seseorang menerina hak dan
kewajiban dikatakan kurang sempurna apabila seseorang hanya menerima hak saja, sedangkan
untuk memikul kewajiban belum pantas.
b) Adakalanya ahliyatul wajib sempurna apabila seseorang sudah pantas menerima hak dan
memikul kewajiban. Kemampuan itu muncul sejak lahir hingga meninggal.
31
pidana badan atau harta .Dengan demikian ahliyatul ada itu adalah soal pertanggungjawaban
dengan asasnya atau cakap bertindak.
a) Adakalanya seseorang itu tidak mempunyai ada sedikitpun. Misal anak yang belum dewasa
dan orang gila.
b) Adakalanya orang itu mempunyai ahliyatul ada yang kurang sempurna. Seperti anak yang
mumayyiz yakni anak yang sudah mampu membedakan yang baik dan buruknya perbuatan.
Akan tetapi pengetahuannya belum kuat (anak yang berada dalam umur 7 tahun sampai 15
tahun).
c) Adakalanya seseorang itu mempunyai ahliyatul ada yang sempurna. Yakni orang yang telah
dewasa(15 tahun). Akal dikur dari kedewasaan ketika sudah dewasa maka akalnya sudah
sempurna.
3. Halangan Mahkum Alaihi
a. Samawiyah
Samawiyah adalah hal-hal yang dapat menghilangkan kemampuan bertindak yang berada diluar
usaha/ kemampuan dan ikhtiyar manusia. Diantaranya :
1) Keadaan belum dewasa.
2) Sakit gila
3) Kurang akal
4) Keadaan tidur
5) Pingsan
6) Lupa
7) Sakit
8) Menstruasi
9) Nifas
10) Meninggal dunia
b. Kasabiyah
Kasabiyah adalah perbuatan-perbuatan yang diusahakan manusia yang menghilangkan atau
mengurangi kemampuan bertindak.
1) Boros
2) Mabuk
3) Bepergian
4) Lalai
5) Bergurau (main-main)
6) Bodoh (tidak mengetahui)
7) Terpaksa.
32
SKL FIKIH 7
HUKUM PERNIKAHAN DALAM ISLAM
a. Sunah, yakni bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah dan mampu pula mengendalikan diri
dari perzinahan walaupun tidak segera menikah.
b. Wajib, yakni bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah dan ia khawatir berbuat zina jika tidak
segera menikah.
c. Makruh, yakni bagi orang yang ingin menikah tetapi belum mampu memberi nafkah kepada isteri dan
anaknya kelak.
d. Haram, yakni bagi orang yang bermaksud menyakiti perempuan yang ingin dinikahinya, demikian pula
dengan pernikahan orang yang berbeda agama serta pernikahan yang dilakukan dengan mahram.
3. Tujuan Pernikahan
Berdasar QS. Ruum (30) ; 21, pada dasarnya tujuan pernikahan adalah mawaddah dan rahmah.
a. Mawaddah
Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Dia adalah cinta plus.
Bukankah yang mencintai, sesekali hatinya kesal sehingga cintanya pudar bahkan putus. Tetapi yang
bersemai dalam hati mawaddah, tidak lagi akan memutuskan hubungan, seperti yang bisa terjadi pada
orang yang bercinta. Ini disebabkan karena hatinya begitu lapang dan (kosong dari keburukan
sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin
datang dari pasangannya).
b. Rahmah
Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan
sehingga mendorongyang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan
keluarga, masing-masing suami dan istri akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi
mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang belengganggu dan
mengeruhkannya.
Apabila tujuan pernikahan secara umum itu diuraikan, maka tujuan pernikahan sebagai berikut :
a. Tercapainya ketentraman hati dan ketenangan pikiran karena kehidupan yang diliputi cinta,
mawaddah wa rahmah lahir dan batin antara suami dan istri (QS. Ar-Rum: 21).
b. Untuk memperoleh keturunan yang sah (QS. Asy-Syura: 11 dan 49-50).
c. Sebagai alat kendali bagi manusia agar tidak terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan (QS. Al-Isra
{17}: 32).
d. Untuk mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera (keluarga sakinah) (HR. Jamaah).
e. Memenuhi kebutuhan seksual yang sah dan suci (QS. Al-Baqarah: 187 dan 223).
4. Rukun dan Syarat Pernikahan
a. Ada calon pengantin pria dan perempuan
Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain, atau tidak dalam
keadaan 'iddah (masa menunggu) baik karena wafat suaminya, atau dicerai, hamil, dan tentunya
tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi.
b. Ada wali pengantin perempuan (kecuali janda)
Wali dari pihak calon suami tidak diperlukan, tetapi wali dari pihak calon istri dinilai mutlak
keberadaan dan izinnya oleh banyak ulama berdasar sabda Nabi SAW, tidak sah nikah kecuali dengan
(izin) wali
c. Ada dua orang saksi pria dewasa
Imam Abu Hanifah, Syafi'i, dan Maliki mensyaratkan adanya saksi-saksi pernikahan, hanya
mereka berbeda pendapat apakah kesaksian tersebut merupakan syarat kesempurnaan
33
pernikahan yang dituntut. Sebelum pasangan suami istri "bercampur" (berhubungan seks) atau
syarat sahnya pernikahan, yang dituntut kehadiran mereka saat akad nikah dilaksanakan.
Betapapun perbedaan itu, namun para ulama sepakat melarang pernikahan yang dirahasiakan,
berdasarkan perintah Nabi untuk menyebarluaskan berita pernikahan. Dalam konteks ini terlihat
betapa pentingnya pencatatan pernikahan yang ditetapkan melalui undang-undang, namun disisi
lain pernikahan yang tidak tercatat selama ada dua orang saksi-tetap dinilai sah oleh agama.
d. Mahar/ mas kawin
Secara tegas Al Quran memerintahkan kepada calon suami untuk membayar mahar. Pemberian
mahar besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan
dengan ikhlas, demikian pesan Allah dalam QS. An Nisa ; 4,
berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.
Suami berkewajiban menyerahkan mahar atau mas kawin kepada calon istrinya. Mas kawin adalah
lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya,
dan selama mas kawin itu bersifat lambang, maka sedikit pun jadilah. Bahkan menurut Nabi SAW :
Sebaik-baik mas kawin adalah seringan-ringannya. walaupun Al Quran tidak melarang untuk
memberi sebanyak mungkin mas kawin (QS. An Nisa' : 20-21). Ini karena pernikahan bukan akad jual
beli, dan mahar bukan harga seorang perempuan. Menurut Al-Quran, suami tidak boleh mengambil
kembali mas kawin itu, kecuali bila istri merelakannya.
dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan
kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali
dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan
yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ? bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri.
dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.
e. Ada ijab (penyerahan wali pengantin perempuan) dan ada qabul (penerimaan dari pengantin pria)
Adapun ijab dan kabul hakikatnya adalah ikrar dari calon istri, melalui walinya, dan dari calon suami
untuk hidup bersama. Ijab seakar dengan kata wajib, sehingga ijab dapat berarti: atau paling tidak
mewujudkan suatu kewajiban yakni berusaha sekuat kemampuan untuk membangun satu rumah
tangga sakinah. Penyerahan disambut dengan qabul (penerimaan) dari calon suami.
5. Perempuan yang Haram di Nikahi (Mahram)
Al Quran dan Sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan, lebih-lebih karena
masyarakat yang ditemuinya melakukan praktek-praktek yang amat berbahaya serta melanggar nilai-
nilai kemanusiaan, seperti misalnya mewarisi secara paksa istri mendiang ayah (ibu tiri) (QS. An Nisa':
19).
dan janganlah kamu kawini perempuan-perempuan yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-
buruk jalan (yang ditempuh).
QS. An Nisa : 23-24 menyebutkan siapa saja yang tidak boleh dinikahi, diantaranya : 23. diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya;
(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 24. dan (diharamkan juga kamu mengawini) perempuan
yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri
dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri)
di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan
Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan
mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
34
Dari redaksi QS. An Nisa : 23-24 diatas diantara sebab perempuan haram dinikahi adalah :
a. Hubungan nasab, yaitu :
1) Ibu kandung (dan seterusnya ke atas)
2) Anak perempuan kandung (dan seterusnya ke atas)
3) Saudara perempuan ( sekandung, sebapak atau seibu)
4) Saudara perempuan dari bapak
5) Saudara perempuan dari ibu
6) Anak perempauan dari saudara laki-laki (dan seterusnya ke bawah)
7) Anak perempauan dari saudara perempuan (dan seterusnya ke bawah)
b. Hubungan sesusuan
1) Ibu yang menyusui
2) Saudara sesusuan
c. Hubungan pernikahan
1) Ibu dari isteri (mertua)
2) Anak tiri ( anak dari isteri dengan suami lain), apabila suami sudah berkumpul dengan ibunya
3) Ibu tiri ( isteri dari ayah ), baik sudah bercerai maupun belum
4) Menantu ( isteri dari anak laki-laki), baik sudah bercerai maupun belum
d. Hubungan pertalian darah dengan isterinya
Haram melakukan poligami (memperisteri sekaligus) dengan 2 perempuan bersaudara baik
sekandung, sebapak maupun seibu demikian pula dengan bibinya dan kemenakannya.
6. Kewajiban Suami dan Isteri
Kewajiban suami merupakan hak bagi istri, begitu juga kewajiban istri merupakan hak bagi suami, di
samping itu ada kewajiban bersama (QS. Al-Baqarah : 228).
a. Kewajiban suami :
1) Memberi nafkah, sandang, pangan dan tempat tinggal kepada isteri dan anaknya sesuai dengan
kemampuan yang telah diusahakan secara maksimal
2) Memimpin serta membimbing isteri dan anak-anak agar kelak menjadi orang yang berguna bagi
diri sendiri, keluarga, agama masyarakat serta bangsa dan negara
3) Bergaul dengan isteri dan anak-anak dengan baik
4) Memelihara isteri dan anak-anak dari bencana baik lahir maupun batin, duniawi maupun ukhrawi
5) Membantu isteri dalam tugas sehari- hari, terutama dalam mengasuh anak-anak agar menjadi anak
shaleh
b. Kewajiban isteri :
1) Taat kepada suami dalam batas-batas sesuai denga ajaran agama Islam
2) Memelihara diri serta kehormatan dan harta benda suami, baik dihadapan maupun dibelakangnya
3) Membantu suami dalam memimpin kesejahteraan dan keselamatan keluarganya
4) Menerima dan menghormati pemberian suami walaupun sedikit serta mencukupkan nafkah yang
diberikan suami sesuai dengan kekuatan dan kemampuannya, hemat, cermat dan bijaksana
5) Hormat dan sopan pada suami dan keluarganya
6) Memelihara dan mengasuh serta mendidik anak agar menjadi anak yang shaleh
7. Hikmah Pernikahan
a. Memperkokoh hubungan indifidu dan masyarakat. firman Allah QS.An-Nur : 32 yang artinya Dan
nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (untuk nikah)...
b. Sebagai penangkal dan penerus kelangsungan hidup manusia, kesinambungan hidup manusia dan
kebudayaan merupakan prasyarat utama terlaksananya tugas khalifah di muka bumi (QS. An-Nisa: 1).
c. Merupakan perlindungan bagi terjaganya akhlak dan tata susila. Kecenderungan melakukan hubungan
lawan jenis merupakan sesuatu yang fitrah dalam diri manusia sedangkan bingkai yang benar dari
dorongan ini adalah dengan cara menikah.
d. Merupakan jalan bagi berlangsungnya proses pembentukan dan penanaman nilai, serta pembentukan
kepribadian, pembagian tugas yang jelas antara suami istri dan anak, akan membuat proses
penanaman nilai ini berlangsung mulus (QS. At-Tahrim: 6).
e. Tumbuhnya ketentraman batin dan kasih sayang hakiki (QS. Al-Anfal: 63)
36
1) Memberi sesuatu yang berharga kepada istrinya, tergantung kepada kemampuan suami. Pemberian
ini disebut Mutah (QS. Al-Baqarah : 236 dan 241).
2) Bertindak bijaksana kepada mantan istrinya dengan sebaik-baiknya. Perhatikan QS. Ath-Thalaq : 1-7
dan QS. Al-Baqarah : 228-232).
b.Talaq Khulu (Talaq Tebus).
Maksud dari talaq ini adalah talaq yang dijatuhkan suami, karena menyetujui dan memenuhi
permintaan cerai istrinya dengan membayar tebusan dari pihak istri atau pengembalian mahar.
c. Talaq Fasakh.
Pengertian dari talaq ini adalah talaq yang dijatuhkan oleh hakim atau pengaduan istri. Talaq Fasakh
dapat dilakukan karena :
1) Adanya aib atau cacat pada salah satu pihak.
2) Suami tidak mampu memberikan nafkah (keterangan surat Al-Ahzab : 49 dan QS. AL-Baqarah: 229).
3) Adanya penipuan dari pihak suami.
4) Diketahui adanya hubungan mahram antara suami-istri (QS. An-Nisa: 23).
4. Jumlah atau Batas Talaq
a. Suami-Istri yang telah bercerai masih mungkin untuk berkumpul kembali, namun untuk menghindari
tindakan sewenang-wenang, maka jumlah talaq yang membolehkan suami kembali kepada istrinya
dibatasi hanya sampai dua kali.
b. Setelah talaq tiga kali, suami-istri tidak boleh lagi kembali kecuali istri telah kawin lagi dengan orang
lain, atas dasar suka sama suka sesudah bergaul dan cerai lagi (pahami QS. Al-Baqarah: 229-230).
c. Bila terjadi talaq kesatu dan kedua, konsekuensinya adalah suami dapat berkumpul kembali, disebut
Talaq Raji. Sedangkan bila terjadi talaq ketiga dinamakan Talaq Bain, dengan konsekuensi suami
sudah tidak dapat berkumpul kembali kecuali dengan syarat-syarat di atas.
5. Macam-macam Perceraian/ talaq
a. Ditinjau dari segi cara menceraikan kepada isteri
1) Talak sunny ialah talak yang di bolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang
suci dan tidak dicampuri alam waktu suci tersebut.
2) Talak bid'i ialah talak yang dilarang yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan
haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
b. Ditinjau dari boleh tidaknya melakukan ruju
1) Talak raji ialah Talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya (talak 1 dan 2) yang belum habis masa
iddahnya. Dalam hal ini suami boleh rujuk pada istrinya kapan saja selama masa iddah istri belum
habis.
DR. Syaba'iy menyatakan bahwa talak raj'i adalah talak yang tidak membutuhkan pembaruan aqad
nikah saat suami kembali kepada istrinya, termasuk juga tidak memerlukan mahar dan persaksian.
Firman Allah dalam QS. Al Baqarah ; 229, (Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan
penerimaan 'iwadh. Kulu' Yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut
'iwadh).
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari
yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah
kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-
orang yang zalim.
Talak raji tidak menghalangi mantan suami berkumpul dengan mantan isterinya, sebab akad
perkawinannya tidak hilang dan tidak menghilangkan hak (pemilikan), serta tidak mempengaruhi
hubungannya yang halal (kecuali persetubuhan).
Segala akibat hukum talak baru berjalan sesudah habis masa iddah dan jika tidak ada ruju.
Sedangkan apabila masa iddah telah habis maka tidak boleh ruju danberarti perempuan itu telah
ter talak bain. Jika masih ada dalam masa iddah maka talak raji yang berarti tidak melarang suami
berkumpul dengan isterinya kecuali bersengggama. Jika ia menggaulinya istrinya berarti ia telah
ruju. Selama dalam masa iddah, isteri yang ditalak raji masih berhak memperoleh tempat tinggal,
pakaian, dan uang belanja dari mantan suaminya. Dan selama dalam masa iddah bekas isteri wajib
menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Rasulullah SAW
bersabda dalam riwayat Muslim : Perempuan yang berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal
dari mantan suaminya adalah apabila mantan suaminya itu berhak merujuk kepadanya .
37
2) Talak Ba'in Sughra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya (talak 1 dan 2) yang telah habis
masa iddahnya. suami boleh rujuk lagi dengan istrinya, tetapi dengan aqad dan mahar yang baru.
Akibat talak Bain Sughra menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas isterinya tetapi
tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk menikahi kembali dengan mantan isterinya,
artinya bekas suami boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas isteri, baik dalam masa
iddah-nya maupun sesudah berakhir masa iddah-nya.
Dengan talak Bain Shughra maka seorang suami berkedudukan seperti seorang yang melamar
perempuan. Yaitu jika menghendaki perempuan tersebut akan menerimanya melalui penyerahan
mahar baru atau melalui proses akad nikah, sebaliknya jika menghendaki isteri ia juga boleh
menolaknya
3) Talak Ba'in Kubra adalah talak yang mengakibatkan hilangnya hak rujuk kepada bekas isteri
walaupun kedua bekas suami isteri itu ingin melakukan, baik di waktu iddah atau sesudahnya. Atau
talak yang dijatuhkan suami pada istrinya bukan lagi talak 1 dan 2 tetapi telah talak 3. Dalam hal ini,
suami juga masih boleh kembali dengan istrinya, tetapi dengan catatan, setelah istrinya menikah
dengan orang lain dan bercerai secara wajar. Seprti firman Allah dalam QS. Al Baqarah ; 230. Oleh
karena itu nikah seseorang dengan mantan istri orang lain dengan maksud agar mereka bisa
menikah kembali (muhallil) maka ia dilaknat oleh Rasulullah SAW.
kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi
halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk
kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
Perempuan yang menjalani iddah talak bain, jika tidak hamil, ia hanya berhak memperoleh tempat
tinggal (rumah), sedangkan jika ia hamil maka ia berhak tempat tingggal dan nafkah. Sebagaimana
dalam QS. At Talaq : 6.
tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu
dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka
(isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya
hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu)
dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak
itu) untuknya.
6. Cara Menjatuhkan Talaq.
Ada dua cara untuk menjatuhkan Talaq :
a.Dengan kata-kata yang jelas (sharih), misalnya suami berkata kepada istrinya, Engkau saya talaq,
engkau saya ceraikan. Maka dengan perkataan tersebut jatuh talaqnya, sekalipun tidak disertai dengan
niat.
b.Dengan kata-kata samar atau sindiran (kinayah), misalnya suami berkata: Pergi engkau dari sini,
atau Pulang ke rumahorang tuamu. Dengan perkataan serupa ini, talaq belum jatuh apabila tidak
disertai dengan niat.
Peraturan Khusus :
1) Lian yaitu suami dan istri saling melaknat. Suami menuduh istri berzina tapi tidak dapat
membuktikannya dengan 4 saksi, maka dia harus bersumpah 4x sumpah dengan menyatakan:
Kalau saya dusta, maka laknat Allah untuk diri saya, Kemudian istrinya menolak dengan 4x
sumpah dengan ucapan seperti si atas. Setelah itu, maka suami-istri menjadi cerai. (QS. An-Nur : 6-
9).
2) Zhihar yaitu mengharamkan istri dengan menyamakannya seperti ibu sendiri (seperti
mengatakan : Kamu seperti punggung ibuku), maka untuk menghalalkan kembali suami wajib
membayar kifarat (baca QS. Al-Mujadalah : 3-4).
3) Ila yaitu seorang suami yang marah sampai mengharamkan istrinya bergaul dengannya atau
bersumpah hendak menjauhkan dirinya dari istrinya untuk dapat menggauli kembali istrinya, wajib
membayar kifarat sumpahnya (QS. Al-Baqarah : 226-227).
38
4) Ihdad yaitu berkabungnya seorang istri karena suaminya wafat, yaitu tidak memakai wangi-
wangian dan lain-lain (tidak mempercantik diri) (HR. Bukhari dan Muslim).
5) Talik Talaq yaitu seorang suami yang melanggar janjinya ketika diucapkan saat aqad nikah, seperti
tidak memberi nafkah istri 6 bulan berturut-turut, atau menyakiti badan istri, dan istri tidak ridho
kemudian mengadukan ke Pengadilan Agama maka jatuhlah talaq satu.
7. Tata Cara Perceraian/ talaq
Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan, sedangkan tata cara mengajukan gugatan diatur
dengan Pasal 14 dan 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, yang bunyinya sebagai berikut :
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan menceraikan
istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan ditempat tinggalnya yang sesuai pemberitahuan bahwa ia
bermaksud menceraikan istrinya dengan alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan agar diadakan
sidang untuk keperluan itu.
Perkawinan serta sahnya perceraian hanya dapat dibuktikan dengan keputusan pengadilan Agama untuk
orang-orang Islam. Akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian baik bagi pihak suami maupun
istri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata demi kepentingan anak.
Bagi pasangan suami istri yang beragama Islam, dimana ia akan mengakhiri perkawinan dengan jalan
perceraian, maka harus mengikuti tata cara melakukan perceraian sebagaimana Pasal 129-131 Kompilasi
Hukum Islam berikut :
a. Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya, mengajukan Pengadilan Agama di
wilayah tempat tinggal isteri disertai alasan serta meminta agar diadakan sidang.
b. Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan
tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi.
c. Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dalam waktu selambat-lambatnya 30
hari
8. Akibat Perceraian/ talaq
Menurut Hukum Islam setelah terjadinya suatu perceraian akan menimbulkan akibat hukum diantaranya:
a. Kompilasi Hukum Islam Pasal 156, yaitu:
1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah
meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :
a) Perempuan-perempuan dalam garis lurus dari ibu.
b) Ayah.
c) Perempuan-perempuan dalam garis Iurus ke atas dari ayah.
d) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.
e) Perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu
f) Perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
2) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.
3) Apabila keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat
memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
4) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya,
sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
5) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama
memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
6) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk
pemeliharaan dan pendidikan anak yang tidak turut padanya.
b. Menurut Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu :
1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya; semata-mata
berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusannya.
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikannya yang diperlukan
anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
9. Hikmah Perceraian/ talaq
Perceraian adalah jalan keluar terakhir (way out )untuk mengakhiri perkawinan yang sudah tidak
mungkin lagi dapat dipertahankan dan perceraian ini dilakukan demi kebahagian yang dapat diharapkan
sesudah terjadinya perceraian. Perceraian hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti adanya alasan-
alasan yang dapat dibenarkan oleh hukum Agama dan Undang-undang yang berlaku.
39
D. Konsep Iddah
1. Pengertian Iddah
a. Bahasa
Iddah dalam bahasa Arab artinya bilangan. Yakni, bilangan waktu yang Allah tetapkan bagi seorang
perempuan untuk berada pada masa penantian (setelah ditalak).
b. Istilah
1) Menurut Imam Hanafi iddah adalah batasan-batasan waktu yang ditentukan menurut syara karena
ada bekas waktu yang tersisa, atau dengan pengertian lain yaitu waktu menunggu yang diwajibkan
bagi perempuan untuk melanjutkan atau memutuskan pernikahan.
2) Menurut Imam Maliki, Syafii, dan Hambali iddah adalah waktu menanti bagi seorang perempuan
untuk memastikan apakah ada janin yang dikandungnya atau tidak, juga sebagai tanda pengabdian
diri kepada Allah, dan berkabung karena ditinggal mati oleh suami. Dengan demikian, iddah adalah
waktu yang ditentukan oleh syara sesudah perceraian yang wajib bagi seorang perempuan untuk
menunggu dengan tidak menikah sebelum habis masa iddahnya.
2. Macam-macam Iddah
a. Iddah perempuan yang dicerai oleh suaminya
Setiap perceraian yang terjadi antara suami istri, kecuali talak ditinggal mati, iddahnya adalah iddah
talak, baik hal itu terjadi melalui khulu, lian, fasakh karena adanya cacat, maupun fasakh akibat
persaudaraan sesusuan atau perbedaan agama.
Betapapun, para ulama mazhab sepakat atas wajibnya iddah bagi perempuan yang ditalak sesudah
dicampuri oleh suaminya, dan bahwasanya iddah yang harus dijalaninya adalah salah satu dari ketiga
macam iddah di bawah ini, yaitu antara lain:
1) Bagi perempuan yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil, maka perempuan itu harus menjalani
iddahnya hingga ia melahirkan bayi yang dikandungnya. Hal ini berdasarkan QS. At Thalaq : 4,
dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya
Ulama mazhab sepakat apabila seorang perempuan mengandung lebih dari satu orang bayi maka ia
baru dikatakan keluar dari iddahnya apabila semua bayi yang dikandungnya itu telah lahir. Namun
mereka berbeda pendapat apabila perempuan itu keguguran, yakni bayi yang lahir itu belum
sempurna. Imam Hanafi, Syafii dan Hambali mengatakan perempuan itu belum dianggap selesai
masa iddahnya sebelum keluar janinnya secara keseluruhan. Imam Malik mengatakan perempuan
itu dianggap telah selesai iddahnya meskipun yang keluar itu hanya sepotong dari janinnya.
2) Bagi perempuan yang baligh tetapi tidak pernah mengalam haidh sama sekali dan perempuan yang
menopause, maka masa iddahnya adalah tiga bulan.
dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-
perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah
tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid
Imam Hanafi, Maliki, Syafii berpendapat bahwa perempuan yang belum mencapai umur sembilan
tahun tetapi sudah dicampuri wajib untuk menjalani iddah seperti iddah perempuan yang
menopause. Namun Imam Hambali berbeda pendapat, ia mengatakan bahwa tidak ada kewajiban
menjalani iddah bagi perempuan yang belum mencapai usia sembilan tahun
3) Bagi perempuan yang telah berusia sembilan tahun, tidak hamil, bukan menopause dan sudah
mengalami haidh, maka iddahnya adalah tiga quru, firman Allah QS. Al Baqarah : 228,
Perempuan-perempuan yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
Para ulama mazhab berbeda pendapat menanggapi pengertian quru. Imam Maliki dan Syafii
menginterpretasikan quru dengan masa suci (dalam keadaan tidak haid) yang apabila seorang
suami menjatuhkan talak kepada istrinya pada masa suci (sedang tidak haidh) maka iddahnya
dihitung sejak masa itu yang kemudian disempuranakan dengan dua kali masa suci sesudahnya.
Sedangkan Imam Hanafi dan Hambali menginterpretasikan quru itu dengan masa haidh, yang
apabila seorang perempuan dicerai suaminya dalam keadaan suci, maka iddahnya dihitung sejak
pertama kali ia haidh setelah berakhir masa sucinya ketika ia diceraikan. Dengan kata lain ia harus
menjalani iddahnya tiga kali haidh secara penuh.
Jika seorang istri itu berada dalam masa iddah karena ditinggal mati suaminya, maka istri tersebut wajib
berkabung atas kematian suaminya dengan meninggalkan pemakaian perhiasan dan wangi-wangian, istri
juga wajib tinggal di rumah suaminya, artinya dia wajib menghabiskan masa iddahnya di rumah suaminya,
dia tidak boleh keluar rumah dengan berlebihan, kecuali ada keperluan.
Namun ulama mazhab berbeda pendapat mengenai nafkah dan tempat tinggal bagi istri yang ditalak bain.
Istri yang ditalak bain. Apabila seorang istri itu hamil, maka suami wajib menyediakan tempat tinggal dan
nafkah untuknya. Namun apabila seorang istri yang ditalak bain itu tidak hamil, menurut Imam Hanafi ia
juga berhak mendapat nafkah dari suaminya. Tetapi menurut imam Hambali tidak wajib baginya nafkah.
Sedangkan menurut imam Malik dan SyafiI wajib untuknya tempat tinggal, namun tidak wajib untuknya
nafkah.
4. Batas Iddah
Apabila seorang istri mengalami haidh, lalu berhenti akibat menyusui atau karena penyakit, maka imam
Maliki dan Hambali mengatakan bahwa iddahnya adalah setahun penuh. Sedangkan syafiI mengatakan
bahwa perempuan tersebut selamanya berada dalam masa iddah hingga dia mengalami haidh, atau
memasuki usia menopause dan sesudah itu beriddah selama tiga bulan.
Sedangkan imam Hanafi mengatakan apabila seorang perempuan mengalami satu kali haidh lalu karena
sakit atau menyusui haidhnya terputus sama sekali dan dia tidak lagi pernah mengalami haidh, maka
perempuan tersebut tidak dinyatakan keluar dari iddahnya sampai kelak dia memasuki masa menopause.
Dengan demikian menurut imam Hanafi dan SyafiI masa iddah dapat berlanjut selama 40 tahun.
Apabila seorang istri ditalak suaminya dalam keadaan hamil, namun suaminya meninggal sebelum masa
iddahnya habis maka iddahnya adalah sampai dia melahirkan walapun masa kehamilannya sudah
mencapai 8 bulan, atau bahkan kehamilannya hamper lahir. Maka hal ini merupakan masa iddah paling
singkat.
5. Hikmah adanya Iddah
1) Allah mensyariatkan iddah, karena di dalam iddah terkandung beberapa hikmah yang merupakan
salah satu sumber keteraturan hidup, yang antara lain adalah penegasan apakah dalam rahim
perempuan itu telah terkandung benih janin atau tidak, juga memberikan kesempatan kepada suami
apakah suami mau merujuk istrinya kembali setelah ia menceraikannya atau tidak.
41
2) Dengan iddah juga akan semakin tampak jelas betapa besar belas kasih Tuhan kepada hamba-Nya,
karena dengan iddah, orang akan memahami betapa nikmatnya berkeluarga dan betapa malangnya
perceraian sehingga Allah membenci perbuatan itu.
3) Bila iddah itu untuk istri yang ditinggal mati oleh suaminya, maka di waktu itu ia lebih nampak
berkabung, sehingga semakin terasa penghormatannya terhadap suami.
E. Konsep Rujuk
1. Pengertian Rujuk
Kata ruju berasal dari kata dalam Bahasa Arab rajaa-yarjiu-rujan yang berarti kembali, dan
mengembalikan. Menurut istilah adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan
perkawinan dalam masa iddah sesudah ditalak raji.
Adapun yang dimaksud rujuk disini adalah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh
setelah terjadi talak rajI yang dilakukan oleh mantan suami terhadap mantan istrinya dalam masa
iddahnya dengan ucapan tertentu.
Bila sesorang telah menceraikan istrinya, maka ia dibolehkan bahkan di anjurkan untuk rujuk kembali
dengan syarat keduanya betul-betul hendak berbaikan kembali (islah). Dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 63 bahwa Rujuk dapat dilakukan dalam hal:
a. Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang di jatuhkan
qabla al dukhul.
b. Putus perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan
khuluk.
2. Macam-macam Rujuk
a. Rujuk Pasca Talak 1 atau 2
Karena besarnya hikmah yang terkandung dalam ikatan perkawinan, maka bila seorang suami telah
menceraikan istrinya, ia telah diperintahkan oleh Allah SWT agar merujukinya kembali. Allah
menjelaskan dalam QS. Al Baqarah : 231,
apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah
mereka dengan cara yang maruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang maruf (pula).
Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu
Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah
padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah).
Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada
Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Dalam suatu hadist disebutkan : dari Ibnu Umar r.a. waktu itu ia ditanya oleh seseorang, ia berkata,
Adapun engkau yang telah menceraikan ( istri) baru sekali atau dua kali, maka sesungguhnya
Rasulullah SAW telah menyuruhku merujuk istriku kembali (H.R. Muslim)
b. Rujuk Pasca Talak 3
Hukum rujuk pada talak bain sama dengan pernikahan baru, yaitu tentang persyaratan adanya mahar,
wali, dan persetujuan. Hanya saja jumhur berpendapat bahwa utuk perkawinan ini tidak
dipertimbangkan berakhirnya masa iddah.
3. Pendapat Ulama tentang Rujuk
a. Imam Syafii
Rujuk harus dilakukan dengan ucapan atau tulisan. Karena itu, ruju tidak sah bila dilakukan dengan
mencampurinya walau hal itu diniatkan sebagai ruju. Suami haram mencampurinya dalam iddah.
Kalau dia melakukan itu, ia harus membayar mahar mitsil, sebab percampuran tersebut tergolong
pencampuran syubhat.
Menurut pendapat Imam SyafiI, bahwa rujuk itu disamakan dengan perkawinan dan Allah SWT
memerintahkan untuk diadakan persaksian, sedang persaksian hanya terdapat dalam kata-kata. Yakni
dengan ucapan terang dan jelas dimengerti misalnya diucapkan dengan kalimat : saya rujuk kamu,
Tidak boleh rujuk dengan persetubuhan, ciuman, dan rangsangan-rangsangan nafsu birahi. Firman
Allah QS. Al Baqarah :228,
dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah
b. Imam Malik
42
Ruju boleh dilakukan melalui perbuatan yang di sertai dengan niat untuk ruju. Akan tetapi bila suami
mencampuri istrinya tersebut tanpa niat ruju, maka perempuan tersebut tidak akan bisa kembali
kepadanya. Namun percampuran tersebut tidak mengakibatkan adanya hadd (hukuman) maupun
keharusan membayar mahar. Anak yang lahir dari perempuan dikaitkan nasabnya kepada laki-laki
yang mencampurinya itu. Perempuan tersebut harus menyucikan dirinya dengan haidh manakala dia
tidak hamil.
c. Imam Hambali
Ruju hanya terjadi melalui percampuran begitu terjadinya percampuran, maka ruju pun terjadi,
sekalipun laki-laki tersebut tidak berniat ruju. Sedangkan bila tindakan itu bukan percampuran,
misalnya sentuhan ataupun ciuman yang disertai birahi dan lain sebagainya, sama sekali tidak
mengakibatkan terjadinya ruju
d. Imam Hanafi
Ruju bisa terjadi melalui percampuran, sentuhan dan ciuman, dan hal-hal sejenis itu, yang dilakukan
oleh laki-laki yang menalak dan perempuan yang ditalaknya, dengan syarat semuanya itu disertai
dengan birahi. Ruju juga bisa terjadi melalui tindakan (perbuatan) yang dilakukan oleh orang tidur,
lupa, dipaksa, dan gila. Misalnya seorang laki-laki menalak istrinya, kemudian dia terserang penyakit
gila, lalu istrinya itu dicampurinya sebelum ia habis masa iddahnya.
f. Ibnu Hazm
Ibn Hazm berkata: Dengan menyetubuhinya bukan berarti merujuknya, sebelum kata rujuk itu di
ucapkandan menghadirkan saksi, serta mantan istri diberi tahu terlebih dahulu sebelum masa iddahnya
habis. Menurut Ibn Hazm jika ia merujuk harus dengan saksi, berdasar QS. At Talaq : 2,
apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau
lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara
kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah
4. Hukum Rujuk
a. Wajib apabila Suami yang menceraikan salah seorang isteri-isterinya dan dia belum menyempurnakan
pembahagian giliran terhadap isteri yang diceraikan itu.
b. Haram Apabila rujuk itu menjadi sebab mendatangkan kemudaratan kepada isteri tersebut.
c. Makruh Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.
d. Sunah sekiranya mendatangkan kebaikan.
5. Syarat Rujuk
a. Dua Saksi untuk rujuk
b. Rujuk dengan kata-kata atau pergaulan istri
c. Istri baru dicerai dua kali
Jika istri telah ditalak tiga maka tidak sah rujuk lagi, melainkan harus telah menikah dengan orang lain
kemudian bercerai, barulah boleh rujuk kembali dengan akad yang baru, berdasar Q.S. Al-Baqarah : 230.
kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi
halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah oR kum-hukum
Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
Jika bercerainya dari istri karena fasakh atau khulu atau talak bain atau istri yang dicerai belum pernah
dicampuri, maka rujuknya tidak sah. QS. Al Ahzab : 49,
43
Hai orang-oran yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman
kemudian kamu ceraikan sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka
iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya maka berikanlah mereka mutah dan
lepaskanah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.
6. Rukun Rujuk
a. Ada suami yang merujuk atau wakilnya
b.Ada istri yang dirujuk dan sudah dicampuri
c. Kedua belah pihak sama-sama suka dan ridho
d.Dengan pernyataan ijab dan qobul, misalnya, Aku rujuk engkau pada hari ini atau Telah kurujuk istriku
yang bernama pada hari ini dan lain sebagainya yang semakna.
7. Prosedur Rujuk
Pasangan mantan suami-istri yang akan melakukan rujuk harus dapat menghadap PPN (pegawai pencatat
nikah) atau kepala kantor urusan agama (KUA) yang mewilayahi tempat tinggal istri dengan membawa
surat keterangan untuk rujuk dari kepala desa/lurah serta kutipan dari buku pendaftaran talak/cerai atau
akta talak/ cerai.
Adapun prosedurnya adalah sebagaiu berikut:
a. Dihadapan PPN suami mengikrarkan rujuknya kepada istri disaksikan mimimal dua orang saksi.
b. PPN mencatatnya dalam buku pendaftaran rujuk, kemudian membacanya di hadapan suami-istri
tersebut serta saksi-saksi, dan selanjutnya masing-masing membubuhkan tanda tangan.
c. PPN membuatkan kutipan buku pendaftaran rujuk rangkap dua dengan nomor dan kode yang sama.
d. Kutipan diberikan kepada suami-istri yang rujuk.
e. PPN membuatkan surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan dan mengirimnya ke pengadilan
agama yang mengeluarkan akta talak yang bersangkutan.
f. Suami-istri dengan membawa kutipan buku pendaftaran rujuk datang ke pengadilan agama tempat
terjadinya talak untuk mendapatkan kembali akta nikahnya masing-masing.
g. Pengadilan agama memberikan kutipan akta nikah yang bersangkutan dengan menahan kutipan buku
pendaftaran rujuk.
8. Hikmah Rujuk
a. Dapat menyambung semula hubungan suami isteri untuk kepentingan kerukunan numah tangga
b. Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian.
Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian.
2. Dasar Hukum
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.
Pada ayat ini orang tua di tuntut untuk memelihara keluarganya agar terpeliharadari api neraka, agar
seluruh anggota keluarganya melaksanakan perintah dan meninggalkan laranganya, termasuk anggota
keluarga disini yakninya anak. Betapa banyaknya ayat-ayat Al Quranyang memerintahkan kita (ibu-
bapak) untuk memelihara serta menjaga dan bertanggung jawab dalam memelihara keluarganya.
44
3. Hukum Pengasuhan Anak (hadhanah)
Hadhnah/ kaflah (pengasuhan) anak-anak hukumnya wajib karena menelantarkan mereka akan
menyebabkan mereka binasa. Selain wajib, (hadhnah/ kaflah) juga berkaitan dengan hak kerabat anak
karena kerabat anak itu memiliki hak atas pengasuhannya. Jadi, pengasuhan (hadhnah/ kaflah) itu
berkaitan dengan hak sekaligus kewajiban. Pengasuhan itu adalah hak setiap anak dan setiap orang yang
telah diwajibkan oleh Allah untuk mengasuhnya.
a. Menurut Imam Malik bahwa pemeliharaan anak itu ada di bawah hak ibu. Untuk anak laki-laki hingga
ia baligh, sedangkan untuk anak perempuan maka batasannya hingga ia menikah.
b. Menurut madhab Hanafi bahwa pemeliharaan anak laki-laki di bawah ayah, dengan alasan bahwa jika
seorang anak laki-laki sudah bisa memenuhi kebutuhan dasarnya, maka yang ia butuhkan adalah
pendidikan dan perilaku laki-laki. Sedangkan untuk anak perempuan bahwa manakala anak
perempuan tersebut telah mengalami menstruasi, maka ia diserahkan kepada ayahnya.
c. Menurut madhab Hanbali bahwa anak laki-laki diberi kesempatan untuk memilih antara bapak atau
ibunya. Sedangkan untuk anak perempuan diserahkan kepada ayahya setelah berumur 7 tahun.
d. Menurut Imam SyafiI berkata jika seorang anak laki-laki telah mencapai baligh dalam usia delapan
tahun, di mana usia ini adalah usia tamyiz, maka dia diberi kesempatan untuk memilih di antara kedua
orang tuanya. Sebab pada usia itulah pada umumnya anak yang bersangkutan telah pintar karena
tergerak keinginannya untuk belajar al-Quran, sopan santun, dan kewajiban ibadah lainnya. Dan
dalam hal ini tidak ada bedanya laki-laki ataupun perempuan.
45
f. Paman dari ayah ibu, lalu paman dari pihak ayah. Al-hadhnah tidak boleh diserahkan kepada paman
dari pihak ibu.
g.Para bibi (al-khalat)-nya ibu dari pihak ibu, lalu para bibi (al-khalat)-nya ayah dari pihak ibu, kemudian
para bibi (al-amat)-nya ayah dari pihak ayah. Al-hadhnah tidak diserahkan kepada bibi (al-amat)-nya
ibu dari pihak ibu, karena mereka semua mengalir dari pihak ibu, dan tidak berhak mengasuh anak.
46
SKL FIKIH 8
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12. dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka
tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar
hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
47
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
QS.An Nissa:176
176. mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah*). Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika
ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian
dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat.
dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
* Kalalah ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.
3. Kewajiban sebelum Harta Waris dibagikan
a. Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya,
dengan catatan tidak boleh berlebihan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.: Jiwa (ruh) orang
mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan.
b. Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta
peninggalannya.
c. Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai
ketetapan Al Quran, As Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma).
4. Sebab-sebab Waris
a.Kerabat hakiki/ nasabiyah: yaitu yang ada ikatan nasab, seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman,
dan seterusnya.
b.Pernikahan: yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syari) antara seorang laki-laki dan perempuan,
sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun
pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
c. Al Wala yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al itqi dan wala an-nimah. Yang
menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal
ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan
wala al-itqi.
5. Rukun dan Syarat Waris
Rukun waris ada 3, yakni :
a. Pewaris (Al-Muwarrits), yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi
harta peninggalannya.
b. Ahli waris (Al-Warits), yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan
pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
c. Harta warisan (Alhaqqul Mauruts), yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan
pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
Diantara syarat waris adalah :
a.Meninggalnya seseorang baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
b.Adanya ahli waris yang hidup (Al-Warits) secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
c. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing
6. Penghalang Menerima Harta Waris
a. Budak
Seorang budak tidak bisa mewarisi dan tidak pula mendapat waris, karena dia milik tuannya.
b. Pembunuhan
Pembunuh tidak berhak untuk mendapat waris dari orang yang dibunuhnya. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah SAW, Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya.
c. Perbedaan Agama
Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafirpun tidak mewarisi Muslim .
48
Dari Usamah bin Zaid r.a Rasulullah bersabda: Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir,
dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim. (Bukhari dan Muslim)
7. Ahli Waris dalam Islam
a. Ahli Waris Golongan Laki-laki
Ahli waris (yaitu orang yang berhak mendapatkan warisan) dari kaum laki-laki ada lima belas: (1)
anak laki-laki, (2) cucu laki-laki (dari anak laki-laki), (3) bapak, (4) kakek (dari pihak bapak), (5)
saudara kandung laki-laki, (6) saudara laki-laki seayah, (7) saudara laki-laki seibu, (8) anak laki-laki
dari saudara kandung laki-laki, (9) anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, (10) paman (saudara
kandung bapak), (11) paman (saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki dari paman (saudara
kandung ayah), (13) anak laki-laki paman seayah, (14) suami, (15) laki-laki yang memerdekakan
budak.
Catatan: Bagi cucu laki-laki yang disebut sebagai ahli waris di dalamnya tercakup cicit (anak dari cucu) dan
seterusnya, yang penting laki-laki dan dari keturunan anak laki-laki. Begitu pula yang dimaksud dengan kakek,
dan seterusnya.
b. Ahli Waris Golongan Perempuan
Adapun ahli waris dari kaum perempuan ada sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu, (3) anak
perempuan (dari keturunan anak laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek (ibu dari bapak), (6)
saudara kandung perempuan, (7) saudara perempuan seayah, (8) saudara perempuan seibu, (9) istri,
(10) perempuan yang memerdekakan budak.
Catatan: Cucu perempuan yang dimaksud di atas mencakup pula cicit dan seterusnya, yang penting perempuan
dari keturunan anak laki-laki. Demikian pula yang dimaksud dengan nenek baik ibu dari ibu maupun ibu dari
bapakdan seterusnya.
2. Ashabah
a. Pengertian Ashabah
Kata ashabah dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian,
dikarenakan mereka menguatkan dan melindungi. Dalam kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata
ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat. Ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli
waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian di dalam Al Quran dan As Sunnah dengan tegas.
Pengertian ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang menguasai harta
waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan
setelah ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing. Dasarnya QS. An-Nisa: 11
dan ayat 176.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah SAW.:Bagikanlah harta
peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling
utama. (HR Bukhari)
b. Macam Ashabah
1) Ashabah bil ghair
50
Ashabah bil ghair adalah setiap perempuan ahli waris yang termasuk ashhabul furudh, dan akan
menjadi ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya. Dalil bagi hak waris para ashabah bi
ghairih dijelaskan dalam firman Allah yaitu: an-Nisa: 11dan (an-Nisa: 176).
Ashabah bi ghairihi hanya terbatas pada empat orang ahli waris yang kesemuanya perempuan:
a) Anak perempuan, menjadi ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya (yakni anak
laki-laki).
b) Cucu perempuan keturunan anak laki-laki menjadi ashabah bila berbarengan dengan saudara
laki-lakinya, atau anak laki-laki pamannya
c) Saudara kandung perempuan menjadi ashabah bila bersama saudara kandung laki-laki.
d) Saudara perempuan seayah menjadi ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya, dan
pembagiannya, bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
Adapun sebab penamaan ashabah bi ghairihi adalah karena hak ashabah keempat perempuan itu
bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, akan tetapi karena adanya
ashabah lain yakni ashabah bi nafsihi, seperti saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki
seayah mereka. Bila para ashabah bi nafsihi itu tidak ada, maka keempat perempuan tersebut
mendapat hak warisnya secara fardh.
Ashabah bi Ghairihi tidak akan terwujud kecuali dengan beberapa persyaratan berikut:
a) Haruslah perempuan yang tergolong ashhabul furudh.
b) Laki-laki yang menjadi ashabah (penguat) harus yang sederajat.
c) Laki-laki yang menjadi penguat harus sama kuatnya dengan ahli waris perempuan shahibul
fardh. Misalnya, saudara laki-laki seayah tidak dapat mentashih saudara kandung perempuan.
Sebab saudara kandung perempuan lebih kuat kekerabatannya daripada saudara laki-laki
seayah.
2) Ashabah bi Nafsi
Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum perempuan,
mempunyai empat arah, yaitu:
a) Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit, dan
seterusnya.
b) Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak laki-laki,
misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
c) Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-
laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan
seterusnya. Arah ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk
keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak
termasuk ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
d) Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah, termasuk
keturunan mereka, dan seterusnya.
Keempat arah ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah anak lebih
didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada arah saudara.
Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh, maka sebagai ashabah
mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada
ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para ashabah pun tidak mendapat bagian.
3) Ashabah maa al Ghairi
Ashabah maal Ghair ini khusus bagi para saudara kandung perempuan maupun saudara
perempuan seayah apabila mewarisi bersamaan dengan anak perempuan yang tidak mempunyai
saudara laki-laki. Jadi, saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah bila
berbarengan dengan anak perempuan, atau cucu perempuan keturunan anak laki-laki dan
seterusnya, akan menjadi ashabah. Jenis ashabah ini di kalangan ulama dikenal dengan istilah
ashabah maal ghair. Sedangkan dalam ashabah maal ghair tidak terdapat sosok ashabah bi
nafsih.
Dasar bagi hak waris ashabah maal ghair adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
lainnya, bahwa Abu Musa al-Asyari ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, dan saudara perempuan (sekandung atau seayah). Abu Musa menjawab:
Bagian anak perempuan separo, dan bagian saudara perempuan separo. Penanya itu lalu pergi
menanyakannya kepada Ibnu Masud r.a., dan dijawab: Aku akan memvonis seperti apa yang
diajarkan Rasulullah SAW., bagian anak perempuan setengah (1/2) dan bagian cucu perempuan
keturunan anak laki-laki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), sedangkan
sisanya menjadi hak saudara perempuan kandung atau seayah.
Dari penjelasan Ibnu Masud dapat disimpulkan bahwa hak saudara perempuan bila mewarisi
bersama-sama dengan anak perempuan mengambil sisa harta pembagian yang ada. Hal ini berarti
saudara kandung perempuan atau saudara perempuan seayah sebagai ashabah maal ghair.
Jadi, secara ringkas, pada ashabah bil ghair para ashabah bi nafsih menggandeng kaum perempuan
ashhabul furudh menjadi ashabah dan menggugurkan hak fardh-nya. Sedangkan ashabah maal ghair
tidaklah demikian. Seorang saudara perempuan sekandung atau seayah tidak menerima bagian seperti
bagian anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Akan tetapi, anak perempuan
atau cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian secara fardh, kemudian saudara
perempuan sekandung atau seayah mendapatkan sisanya. Inilah perbedaan keduanya.
51
3. Hijab dan Mahjub
a. Hijab (penghalang)
Hijaab adalah ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sehingga ahli
waris yang lebih jauh tidak dapat menerima, atau bisa menerima, tetapi bagiannya menjadi berkurang.
Hijab dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1) Hijab hirma,yaitu ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sama
sekali tidak menerima bagian. Contohnya, kakek terhalang oleh bapak, dan cucu terhalang oleh
anak
2) Hijab nuqsan (mengurangi), yaitu ahli waris lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang
lebih jauh sehingga ahli waris yang lebih jauh bagiannya berkurang Contoh, jika jenazah
meninggalkan anaknya, suami mendapat 1/4, dan jika tidak meninggalkan anak mendapat 1/2
b. Mahjub (terhalang)
Mahjub adalah ahli waris yang lebih jauh terhalang oleh ahli waris waris yang lebih dekat sehingga
sama sekali tidak dapat menerima, atau menerima, tetapi bagiannya berkurang
4. Contoh perhitungan dalam pembagian harta waris
Contoh 1
Ada seseorang perempuan meninggal dunia, ahli warisnya adalah bapak, ibu, suami, dua anak laki-laki,
dan satu anak perempuan.Harta peninggalannya sebanyak Rp 1.800.000.
Bagian masing-masing ahli waris adalah :
Catatan
Sebelum memulai pembagian harta warisan, lebih dulu harus ditetapkan angka asal masalah, yaitu mencari
angka ( kelipatan persekutuan ) terkecil yang dapat dibagi oleh masing-masing angka penyebut dari bagian
ahli waris guna memudahkan dalam operasional hitungan. Misalnya bagian ahli waris 1/2 dan 1/3, angka
asal masalahnya ( KPK ) adalah 6 karena 6 dapat dibagi 2 dan 3 ( penyebutnya ). Bagian ahli waris 1/4, 2/3,
1/6, 1/4 angka asal masalahnya adalah 12 karena angka 12 dapat dibagi 2, 3, dan 6. Bagian ahli waris 1/8
dan 2/3, angka masalahnya 24 karena angka 24 dapat dibagi 8 dan 3. Demikian seterusnya.
a. Bapak = 1/6 ( karena ada anak laki-laki )
b. Ibu = 1/6 ( karena ada anak )
c. Suami = 1/4 ( karena ada anak )
d. Anak = Asabah ( karena ada anak laki-laki dan perempuan )
Asal masalah (KPK) = 12
Bapak = 1/6 X 12 = 2
Ibu = 1/6 X 12 = 2
Suami = 1/4 X 12 = 3
Jumlah = 7
Sisa ( bagian anak ) = 12 7 = 5
a. Bagian bapak = 2/12 X Rp 1.800.000 = Rp 300.000
b. Bagian ibu = 2/12 X Rp 1.800.000 = Rp 300.000
c. Bagian suami = 3/12 X Rp 1.800.000 = Rp 450.000
d. Bagian anak = 5/12 X Rp 1.800.000 = Rp 750.000
e. Untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan sehingga dua anak laki-laki
mendapat empat bagian dan seorang anak perempuan mendapat satu bagian. Harga warisan sisanya
dibagi lima(5).
f. Bagian seorang anak laki-laki =2/5 X Rp750.000 = Rp300.000
g. Bagian seorang anak perempuan =1/5 X Rp750.000 = Rp150.000
Contoh 2
a. Seseorang meninggal dunia, mewarisi harta sebesar Rp 12.000.000. Ahli warisnya terdiri dari suami,
anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan sekandung, masing-masing mendapat
bagian 3-6-2-1, pembagiannya adalah :
1) Suami ( 1/4 ) = 3/12 X Rp 12.000.000 = Rp 3.000.000
2) Anak perempuan ( 1/2 ) = 6/12 X Rp 12.000.000 = Rp 6.000.000
3) Cucu perempuan ( 1/6 ) = 2/12 X Rp 12.000.000 = Rp 2.000.000
4) Saudara perempuan (1/2) = 1/12 X Rp 12.000.000 = Rp 1.000.000
b. Seseorang meninggal dunia, meninggalkan harta warisan sebesar Rp 36.000.000 dan ahli waris terdiri
dari ibu, suami, dan dua saudara seibu, masing-masing mendapat bagian 1, 3, 2, pembagiannya adalah:
1) Ibu (1/6) = 1/6 X Rp 36.000.000 = Rp 6.000.000
2) Suami (1/2) = 3/6 X Rp 36.000.000 = Rp 18.000.000
3) 2 Saudara (1/3) = 2/6 X Rp 36.000.000 = Rp 12.000.000
c. Si Fulan meninggal dunia meninggalkan harta warisan senilai Rp 14.400.000 dan meninggalkan ahli
waris terdiri dari istri, cucu perempuan serta ibu masing-masing mendapat bagian 3, 12, 4, pembagian
sebagai berikut:
1) Istri (1/8) = 3/24 X Rp 14.400.000 = Rp 1.800.000
2) Cucu perempuan (1/2) = 12/24 X Rp 14.400.000= Rp 7.200.000
3) Ibu (1/6) = 4/24 X Rp 14.400.000 = Rp 2.400.000
Keterangan sisa harta Rp 3.000.000 diberikan kepada baitul mal.
Hal-hal yang harus kita perhatikan sebelum menghitung pembagian hak waris adalah sebagai berikut:
52
a. Supaya diperhatikan susunan ahli waris, apakah ada yang terhalang ( mahjub ) atau tidak ( gairu
mahjub )
b. Kita harus bisa membedakan atau memisahkan antara ahli waris zawil furud atau asabah. Jika ternyata
ada asabah lebih dari 1 kelompok maka asabah yang urutannya lebih besar atau jauh supaya mengalah,
dan turun derajatnya menjadi ahli waris zawil furud.
C. Hikmah Waris
1. Menjunjung tinggi hukum Allah dan Sunnah Rasulullah.
2. Menghindari terjadinya persengketaan dalam keluarga karena masalah pembagian harta warisan
3. Menghidari timbulnya fitnah.
4. Memperhatikan orang-orang yang terkena musibah karena ditinggalkan oleh anggota keluarganya.
D. Pengertian Wasiat
Kata wasiat itu berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata was-sha, yang berarti menjadikan, menaruh kasih
sayang, menyuruh dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. Sedangkan secara istilah artinya
pesan terhadap sesuatu yang baik, yang harus dilaksanakan atau dijalankan sesudah seorang meninggal
dunia dapat pula berarti hibah seseorang kepada orang lain berupa barang, hutang atau manfaat, dengan
ketentuan pihak yang diberi wasiat berhak memiliki pemberian tersebut setelah kematian pemberi wasiat.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain
atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (pasal 171 huruf f). Jadi wasiat adalah
pesan seseorang untuk mentasarrufkan/ membelanjakan harta yang ditinggalkan jika ia telah meninggal
dunia, dengan cara yang baik yang telah ditetapkan.
53
Rasulullah sendiri tidak melakukan wasiat tatkala Beliau akan meninggal dunia, sebab memang beliau
tidak meninggalkan harta yang banyak. Akan tetapi, para Khalifah dan sahabat-sahabat banyak yang
melakukan wasiat itu. Diantaranya Khalifah Abu Bakar Siddik yang mewasiatkan 1/5 dari harta bendanya;
Umar bin Khattab mewasiatkan 1/4 dari kekayaannya. Demikian keterangan dalam Tafsir Qurthubi.
2. Tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah seluruh harta
Syarat yang kedua dalam melakukan wasiat itu tidak boleh melebihi 1/3 dari harta yang ditinggalkan. Hal
itu dijelaskan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Saad bin Abi Waqash
ra, ia bertutur: Nabi SAW pernah datang menjengukku waktu di Makkah. Dan saya tidak suka meninggal
dunia di daerah yang saya pernah hijrah darinya. Sabda Beliau, Mudah-mudahan Allah melimpahkan
rahmat-Nya kepada Ibnu Afrak. (Saad) jawab, Ya Rasulullah bolehkah saya mewasiatkan seluruh harta
kekayaanku? Jawab Beliau, Tidak (boleh). Tanya saya, Separuh? Jawab Beliau, Tidak (juga). Saya
bertanya (lagi), Sepertiga? Dijawab, Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya engkau
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan mampu itu jauh lebih baik daripada engkau meninggalkan
mereka dalam keadaan miskin hingga meminta-minta kepada orang lain. Sesungguhnya, betapapun
kecilnya belanja yang kau nafkahkan, maka sesungguhnya itu adalah shadaqah, sampai pun sepotong
makanan yang kau suapkan ke mulut isterimu (itu adalah shadaqah), dan mudah-mudahan Allah
mengangkat (derajat)mu, sehingga orang-orang (muslim) mendapat banyak manfaat darimu dan orang-
orang lain (kaum musyrikin) tertimpa bahaya. Sedangkan pada waktu itu dia hanya memiliki seorang
putri. (HR. Muttafaq Alaihi)
Dari hadits ini, maka Jumhur Ulama menarik kesimpulan, bahwa tidak dibolehkan membuat wasiat lebih
daripada 1/3 jumlah harta benda.
Sesungguhnya wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banyak
b. Dapat berpindah miliki dari seseorang kepada orang lain
c. Harus ada ketika wasiat diucapkan
d. Harus dapat memberi manfaat
e. Tidak bertentangan dengan huk syara.
4. Ijab Qabdul (Shighat Wasiat)
a.Kalimat dapat dimengerti maupun dipahami baik dengan lisan maupun tulisan.
b.Penerimaan wasiat diucapkan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.
Dalam konteks kehidupan globalisasi seperti sekarang ini, tentang pelaksanaan wasiat tentu diperlukan
kepastian hukum dalam pengalihan harta melalui wasiat ini.
Pasal 195 ayat (1) KHI menyebutkan wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi atau
tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris.
Pasal 203 ayat (1) dikemukakan pula bahwa surat wasiat dibuat dalam keadaan tertutup, maka
penyimpanannya dilaksanakan ditempat notaris yang membuatnya atau disimpan dalam protokol
notaris. Hal ini penting karena implikasi dari pelaksanaan wasiat ini sangat berpangaruh kepada
pelaksanaan perpindahan hak milik seseorang kepada orang lain secara permanen yang sangat diperlukan
adanya kepastian hukum, keadilan dan bermanfaat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan
wasiat tersebut.
J. Hikmah Wasiat
1. Mentaati perintah Allah
2. Sebagai amal jariyah seseorang setelah dirinya meninggal dunia
3. Menghormati nilai-nilai kemanusiaan, terutama bagai kerabat atau orang lain yang tidak mendapat
warisan
55
SKL FIKIH 9 DAN 10
Aku tinggalkan di antara kamu semua dua perkara; yang kamu semua tidak akan tersesat selama
kamu semua berpegang teguh kepada dua perkara itu; yaitu kitab Allah (Al-Qur'an) dan Sunnah
Rasul (H.R.Muslim)
2. Hadis
a. Pengertian
Hadis ialah segala hal yang datang dari Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan,
ketetapan Nabi SAW. Hadis dapat berdiri sendiri dalam mengadakan hukum-hukum, seperti
menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Kekuatannya sama dengan Al Quran, ketika pada
masalah hukum tidak terdapat di dalamnya.
b. Dasar hukum
1) QS Alhasyr : 7
7. apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah.
2) QS An Nisa : 59
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).
3) Hadis riwayat Abu Daud dan Tirmidzi
57
(Rasul bertanya), bagaimana kamu akan menetapkan hukum bila dihadapkan padamu sesuatu
yang memerlukan penetapan hukum? Mu'az menjawab: saya akan menetapkannya dengan kitab
Allah. Lalu Rasul bertanya; seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah, Mu'az
menjawab: dengan Sunnah Rasulullah. Rasul bertanya lagi, seandainya kamu tidak
mendapatkannya dalam kitab Allah dan juga tidak dalam Sunnah Rasul, Mu'az menjawab: saya
akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri. Maka Rasulullah menepuk-nepuk belakangan Mu'az
seraya mengatakan "segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan utusan seorang Rasul dengan
sesuatu yang Rasul kehendaki".(HR. Abu Daud dan AI Tirmidzi).
c. Kedudukan Hadis sebagai Sumber Hukum
Telah disepakati bahwa pengertian hadis sebagai segala yang disandarkan kepada Nabi SAW, yang
dijadikan dasar hukum dalam memunculkan produk hukum dalam ajaran Islam. Hal ini
dimungkinkan karena Nabi SAW adalah sosok yang mulia yang oleh hadis dijadikan sebagai suri
tauladan bagi umat manusia. Penempatan hadis sebagai sumber pokok ajaran setelah Al Quran
didasarkan atas argumen bahwa antara Al Quran dan hadis terdapat perbedaan ditinjau dari segi
redaksi dan cara penyampaian atau cara penerimaannya.
Diyakini bahwa Al Quran adalah wahyu yang redaksinya disusun langsung oleh Allah SWT sedang
malaikat Jibril sekedar penyampai tanpa perubahan sedikitpun kepada Nabi SAW. Atas dasar ini, Al
Quran dinilai mempunyai nilai ketetapan yang otentik tanpa ada perubahan. Hadis dari aspek
redaksinya merupakan hasil dari hafalan sahabat dan tabi'in sehingga nilai ketetapanya bersifat
dugaan (dhanny), tergantung dari kualitas hafalan mereka.
d. Fungsi Hadis terhadap Al Quran
1) Bayan Taqrir ( )
Adalah fungsi hadis terhadap Al Quran dengan menetapkan dan menguatkan atau
menggarisbawahi kembali maksud redaksi wahyu. Contoh: Hadis tentang penentuan kalender
bulan berkenaan dengan kewajiban di bulan Ramadhan. Hadis tersebut menggarisbawahi
kembali maksud redaksi surah Al Baqarah : 185
( ) .
Apabila kalian melihat bulan, maka puasalah, juga apabila melihat bulan, berbukalah.(HR. Muslim)
2) Bayan Tafsir ( )
Adalah fungsi hadis berkenaan dengan menjelaskan atau memberikan keterangan atau
menafsirkan dan merinci redaksi Al Quran yang bersifat global (umum). Contoh: hadis Nabi SAW
menafsirkan surah Al Qadr: 1-5 dengan memberi penjelasan tentang waktu terjadinya.
( ) .
(malam) lailatul qadr berada pada malam gajil pada sepuluh akhir bulan Ramadhan.
3) Bayan Tasyri ( )
Adalah fungsi hadis dalam menetapkan hukum yang tidak dijelaskan oleh Al Quran. Hal ini
dilakukan atas inisiatif Nabi SAW atas berkembangnya permasalahan sejalan dengan luasnya
daerah penyebaran Islam dan beragamnya pemikiran para pemeluk Islam. Contoh: Pada masalah
zakat, Al Quran tidak secara jelas menyebut berapa yang harus dikeluarkan seorang muslim
dalam mengeluarkan zakat fitrah. Nabi SAW menjelaskan dalam hadis sebagai berikut :
( ) .
Rasul telah mewajibkan zakat fitrah kepada manusia (muslim). Pada bulan Ramadhan satu sho'
(sukat) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau sahaya, laki-laki atau
perempuan muslim. (HR Bukhari dan Muslim)
3. Ijma
a. Pengertian
Ijma dalam pengertian bahasa memiliki arti berupaya (tekad) terhadap sesuatu dan kesepakatan.
Menurut pengertian istilah, ijma adalah kesepakatan seluruh ulama dari kaum muslimin pada
suatu masa sesudah wafat Rasulullah SAW atas suatu hukum syara pada suatu kejadian/ masalah.
58
Hal yang demikian pernah dilakukan pula oleh khalifah Abu Bakar apabila terjadi kepada dirinya
perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia menemukan hukumnya maka ia
berhukum padanya. Jika tidak terdapat dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari
Rasulullah SAW, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul
SAW, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan
pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.
b. Dasar Hukum
1) QS. An Nisa :59
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).
Kata ulil amri yang terdapat pada ayat di atas mempunyai arti hal, keadaan atau urusanyang
bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja,
kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para
mujtahid.
2) Hadis Nabi SAW
Sabda Rasulullah SAW:
Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan.
Apabila para mujtahid telah melakukan ijma dalam menentukan hukum syara dari suatu
permasalahan hukum, maka keputusan ijma itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin
melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta.
c. Rukun Ijma
Kesepakatan itu dapat dikelompokan menjadi 4 hal:
1) Tidak cukup ijma dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang
(mujtahid) saja di suatu masa
2) Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara dalam suatu masalah, dengan
melihat negeri, jenis dan kelompok mereka
3) Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat
yang jelas apakah dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan
4) Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid
d. Macam-macam Ijma
1) Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:
a) ljma' bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik
berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi;
b) Ijma' sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat
dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi
terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di
masanya. Ijma' seperti ini disebut juga ijma' 'itibari.
2) Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada:
a) ljma' qath'i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak
ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan
berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain;
b) ljma' dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada kemungkinan lain
bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad
orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.
4. Qiyas
a. Pengertian
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, sedangkan
menurut Wahbah Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan
hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan
illat/ sebab antara keduanya.
b. Dasar Hukum
1) Al Quran
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syariah dan termasuk
sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang ada. Diantara ayat Al Quran yang
dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah surah An Nisa : 59.
2) Hadis
Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadis Muadz ibn Jabal, tentang
cara menetapkan hukum.
c. Kedudukan Qiyas Menurut Ulama
Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1) Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas
nashnya baik dalam Al Quran, hadis, pendapat sahabat maupun ijma ulama.
2) Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas.
59
3) Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena
persamaan illat/sebab. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan
qiyas sebagai pentaskhih dari keumuman dalil Al Quran dan hadis.
Contoh Qiyas
a) Pengharaman mengkonsumsi minuman keras
Hukum meminum khamr, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Quran yaitu hukumnya
haram. Sebagaimana firman Allah surah Al Maidah ayat: 90
b) Terhalangya warisan bagi pembunuh
Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah
ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan,
karena itu dibunuhlah B. Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW bersabda: Orang yang
membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi. (HR Tirmidzi)
c) Makruh beraktifitas bila adzan salat jumat berkumandang
Ketika ada adzan kemudian masih melakukan sesuatu pekerjaan, seperti mencangkul di
sawah, bekerja di kantor, dan sebagainya setelah mendengar adzan untuk melakukan salat
jumat belum ditetapkan hukumnya. Kemudian dicari perbuatan lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya, yaitu terus menerus melakukan
jual beli setelah mendengar adzan jumat hukumnya makruh.
60
SKL FIKIH 11
61
38. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka.
5) Dasar keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh umat.
Atas dasar prinsip ini, khilafah harus menegakkan persamaan hak bagi segenap warganya. Seperti
petunjuk Al Quran surah An Nahl: 90.
90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
c. Tujuan Khilafah
Khilafah secara umum mempunyai tujuan untuk memelihara agama Islam dan mengatur
terselenggaranya urusan umat manusia agar tercapai kesejahteraan dunia dan akhirat sesuai dengan
ajaran Allah SWT. Namun demikian, tujuan khilafah secara spesifik adalah :
1) Melanjutkan kepemimpinan agama Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW.
2) Untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin yang dilengkapi aparat-aparat pemerintahan.
3) Untuk menjaga stabilitas negara dan kehormatan agama.
4) Untuk membentuk suatu masyarakat yang hidupnya subur, makmur, sejahtera dan berkeadilan,
serta mendapat ampunan dari Allah SWT.
d. Macam-macam Khilafah
Ada dua macam khilafah yang dapat ditegakkan yaitu:
1) Khilafah bersifat nasional
Khilafah nasional adalah lembaga kekuasaan yang mencakup pada wilayah negara tertentu. Dalam
pengertian suatu negara yang mempunyai wilayah khusus, berdaulat dan jelas batas-batasnya,
seperti yang terjadi pada masa Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Kerajaan Turki Utsmani, Kerajaan
Mughal, dan sebagainya. Dewasa ini dapat kita sebut sebagai khilafah seperti negara-negara Arab
Saudi, Kuwait, Qatar, Mesir, Syiria, Pakistan, Brunei Darusalam, dan lain-lain.
2) Khilafah bersifat internasional
Khilafah internasional adalah lembaga kekuasaan yang mencakup seluruh dunia. Dalam pengertian
kekuasaan bagi umat Islam seluruh dunia. Di mana saja umat Islam berada, maka itulah lingkup
wilayah kekuasaannya, hanya saja kekuasaannya tidak menyangkut segala aspek kehidupan umat,
melainkan hanya menyangkut bidang spiritual saja.
e. Hikmah Khilafah
Adanya upaya pengendalian dan pemenuhan aspirasi rakyat yang beragama dapat dipadukan
kepentingan yang beragam dapat diakomodasikan sehingga meskipun pada dasarnya manusia itu
mempunyai karakter yang berbeda, akan tetapi atas nama negara mereka dapat dipersatukan untuk
mewujudkan persatuan dan kesatuan dengan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada.
2. Khalifah
a. Pengertian Khalifah
Khalifah ialah orang-orang yang melanjutkan tugas-tugas Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara
dan pemimpin umat Islam, setelah beliau wafat. Namun tidak berarti menggantikan kedudukan nabi,
sebab setelah Nabi Muhammad SAW. tidak ada lagi nabi yang diutus oleh Allah SWT.
Dalam pandangan politik Sunni, khalifah yang menggantikan posisi nabi Muhammad SAW, sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan dengan gelar khulafa-ur rasyidun (pemimpin-pemimpin yang
bijaksana) adalah khalifah Abu Bakar Shidiq, khalifah Umar bin Khatab, khalifah Utsman bin Affan, dan
khalifah Ali bin Abi Thalib.
Jabatan khalifah berikutnya dipangku oleh para pemuka dari Bani Umayyah seperti khalifah Muawiyah
bin Abi Sofyan, khalifah Umar bin Abdul Aziz dan lain-lain. Pada masa Abbasiyah diantaranya dipegang
oleh khalifah Al Makmun, khalifah Harun Al Rasyid, dan lain-lain. Adapun pimpinan negara sesudahnya
tidak dinamakan dengan khalifah tetapi disebut amir, sultan atau dengan nama yang secara umum
disebut sebagai kepala negara.
b. Syarat-syarat Khalifah
Untuk menjadi khalifah seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Beragama Islam.
2) Memiliki ilmu pengetahuan yang cukup luas.
3) Mampu melakukan pengawasan terhadap aparatur pemerintahan dalarn pelaksanaan hukum,
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
4) Adil dalam arti luas, yang mampu melaksanakan seluruh kewajiban dan menjauhi seluruh larang
serta dapat memelihara kehormatan dirinya.
5) Anggota badan dan panca inderanya tidak cacat.
6) Dipilih oleh ahlul halli wal aqdi
c. Cara Pengangkatan Khalifah
Berdasarkan sejarah, pengangkatan khalifah itu dilakukan sebagai berikut:
1) Dipilih langsung oleh umat Islam, seperti pada saat pemilihan khalifah pertama, yakni khalifah Abu
Bakar Shidiq di balai sidang Bani Saidah.
62
2) Diusulkan oleh khalifah yang sedang menjabat, misalnya pengangkatan khalifah kedua, yakni
khalifah Umar bin Khatab yang diusulkan oleh Abu Bakar Shidiq.
3) Dipilih melalui perwakilan (ahlul halli wal aqdi), misalnya pemilihan khalifah Usman bin Affan.
4) Dipilih oleh perwakilan sebagian besar umat Islam, misalnya Ali bin Abi Thalib.
Keempat sifat pemilihan dan pengangkatan khalifah itu, menunjukkan bahwa Islam mengutamakan
aspirasi dan kehendak rakyat.
Di Indonesia sifat pengangkatan pemimpin dilakukan dalam 2 bentuk ;
1) Pemilihan tidak langsung
Adalah pemilihan melalui perwakilan ahlul halli wal aqdi (DPR/ MPR) yang berhak menentukan
dan memutuskan segala hal yang menyangkut kehidupan umat Islam.
2) Pemilihan secara langsung
Adalah suatu pemilihan yang dilakukan langsung oleh segenap rakyatnya. Setiap warga negara dan
warga masyarakat berhak memilih langsung dan memberikan dukungannya sesuai dengan
kehendak hati nuraninya, seprti pemilihan Presiden RI
d. Baiat
Baiat artinya sumpah setia yang dilakukan oleh seseorang untuk menyatakan kepercayaannya. Baiat
dilakukan oleh kaum muslimin di dalam suatu majlis. Setelah terpilih menjadi khalifah, baiat harus
dijalankan. Artinya khalifah harus diambil sumpahnya dengan menyebut nama Allah dan Rasul-Nya
sebagai saksi. Selanjutnya, khalifah terpilih harus menyampaikan pidato perdananya seperti yang
dilakukan khalifah Abu Bakar Shidiq setelah beliau di baiat. Dalam pidatonya khalifah Abu Bakar
mengatakan: Wahai saudara-saudara, saya telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku
bukanlah yang terbaik di antara kamu. Jika aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutilah aku, tetapi
jika aku berbuat salah hendaklah saudara-saudara betulkan. Orang yang saudara-saudara pandang
kuat, aku pandang lemah, sehingga aku dapat mengambil hak daripadanya, sedangkan orang yang
saudara-saudara anggap lemah, aku pandang kuat, sehingga aku dapat memberikan hak kepadanya.
Hendaklah saudara-saudara taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi bila aku
tidak menaati Allah dan Rasul-Nya saudara-saudara tidak perlu taat kepadaku.
Setelah pidato perdananya, barulah khalifah mulai menjalankan tugasnya sebagai pemimpin agama
dan pemimpin bangsa dan negara, serta menjadi kewajiban umat Islam menaati segala perintah
khalifah, selama khalifah itu menjalankan perintah-perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.
e. Hak Rakyat
Islam melindungi menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak dasar yang diliki oleh tiap indifidu,
baik yang menyangkut kebutuhan immaterial maupun material dan hak yang menyangkut keselamatan
dan kesehatan jasmani, harta benda maupun kehormatannya. Maka siapa saja yang memberi hak-hak
hidupan seorang saja dinilai seakan-akan telah melakukan perbaikan hidup seluruh umat manusia.
Demikian makna ayat 32 surah Al Maidah . Bahkan islam melarang untuk melakukan prasangka buruk.
32. Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan
Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami
dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah
itu. sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
Di antara hak-hak rakyat ialah:
1) Hak kemerdekaan pribadinya.
2) Hak kemerdekaan bertempat tinggal.
3) Hak kemerdekaan harta benda.
4) Hak kemerdekaan berpikir dan berpendapat.
5) Hak kemerdekaan beragama.
6) Hak kemerdekaan belajar.
7) Hak hidup dan jaminan keamanan.
f. Kewajiban Rakyat
Setelah rakyat memilih dan mengambil sumpah khalifah, maka rakyat mempunyai kewajiban, di
antaranya sebagai berikut:
1) Patuh dan taat kepada perintah khalifah, sepanjang khalifah tersebut berpegang teguh kepada
hukum-hukum Allah SWT dan Rasul-Nya.
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya). (QS An Nisa : 59).
63
2) Mencintai tanah air dan mempertahankannya dari ancaman dan gangguan musuh, dengan segala
kekuatan dan potensi yang ada.
193. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya
semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada
permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS. Al Baqarah : 193).
3) Memelihara persatuan dan kesatuan.
103. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai
berai. (QS. Ali Imran: 103).
64
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
(QS An Nisa : 58).
Berdasar surah An Nisa ayat 58 ayat diatas, ada 5 syarat yang harus dilakukan oleh pemerintah
maupun masyarakat untuk mengahadirkan kepemimpinan yang sukses dan pemerintahan yang baik
(good governance) yaitu:
a. Pemberian jabatan kepada orang terbaik (ahlinya)
Memilih seorang pemimpin atau pemangku jabatan haruslah orang-orang yang profesional. Jika
memilih seseorang disebabkan karena adanya hubungan kekerabatan, hubungan saudara,
kesamaan mazhab, hubungan darah, sogokan materi, hubungan kebangsaan dan lain sebagainya
padahal ada orang yang lebih profesional dari mereka, maka hal tersebut merupakan bentuk
pengkhianatan terhadap Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman.
b. Membangun hukum yang adil
Berlaku adil merupakan perintah Allah. Keadilan mencakup semua aspek kehidupan baik sosial,
politik, budaya, ekonomi dan sebagainya. Keadilan harus ditegakkan di dalam setiap aspek
kehidupan, dari mulai penegakan hukum baik pidana maupun perdata, pembagian harta seperti
ghanimah, zakat, dan harta-harta negara lainnya yang harus di salurkan dengan tepat dan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Karena itu Allah SWT memberikan balasan yang cukup besar bagi pemimpin yang adil, Abu
Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: ada tujuh golongan yang akan mendapatkan
naungan dari Allah di hari kiamat nanti dimana tidak ada naungan kecuali naungannya. Dan salah
satu golongan dari ketujuh golongan itu adalah pemimpin yang adil.
c. Dukungan dan kepercayaan dari masyarakat (legitimasi)
Menciptakan kepemimpinan yang sukses bukan hanya tugas para penguasa, masyarakat pun ikut
berperan aktif dalam mewujudkan hal tersebut. Islam sangat menyadari seorang pemimpin tidak
akan mampu melakukan apapun tanpa adanya dukungan dari masyarakatnya. Oleh karena itu
dalam islam masyarakat harus memberikan ketaatan dan kepercayaannya kepada pemerintah
sehingga menghadirkan pemerintahan yang legitimate.
Karakter kepemimpinan dalam islam adalah kepemimpinan yang representatif. Mandat
kepemimpinan dalam islam tidak ditentukan oleh Allah namun dipilih oleh umat. Selama seorang
pemimpin tidak memerintahkan maksiat kepada Allah SWT, maka masyarakat wajib taat dan
percaya terhadap pemimpinnya meskipun dia seorang pemimpin yang non muslim.
d. Ketaatan tidak boleh dalam kemaksiatan
Sering terjadi polemik ditengah-tengah masyarakat kita, apakah masi ada kewajiban untuk
mematuhi pemimpin yang mendurhakai Allah atau tidak. Pemimpin yang dipilih secara langsung
dan ditetapkan berdasarkan Undang-undang dipandang dapat memenuhi syarat kepemimpinan
untuk melaksanakan amanat rakyat. Apabila pemimpin tidak mengindahkan nasihat dan
peringatan serta tetap melakukan kemaksiatan dan kemungkaran, maka tidak ada lagi kewajban
untuk mematuhi perintahnya.
e. Konstitusi yang berlandaskan Al Quran dan Sunnah
Salah satu cara untuk menghadirkan kepemimpinan yang sukses dan baik menurut ayat diatas
adalah jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya). Artinya Al Quran dan sunnah harus menjadi rujukan dalam setiap
penyelesaian masalah yang terjadi didalam negara.
Syekhul islam Ibnu Thaimiyyah mengatakan tugas utama negara ada dua, yakni menegakkan
syariat dan menciptakan sarana untuk menggapai tujuan tersebut. Negara harus menjadi
kepanjangan tangan Allah SWT untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya dimuka
bumi. Ada beberapa alasan penting yang membuat negara dan pemerintahan memiliki kedudukan
yang vital dalam islam berdasarkan Al Quran dan sunnah diantaranya:
1) Al Quran dan sunnah memiliki seperangkat hukum yang pelaksanannya membutuhkan
institusi negara dan pemerintahan.
2) Al Quran dan sunnah meletakkan landasan yang kokoh baik dalam aspek akidah, syariah, dan
akhlak yan berfungsi sebagai bingkai dan menjadi jalan hidup kaum muslimin. Pelaksnaan dan
pengawasan ketiga prinsip tersebut tidak pelak mrnbutuhkan intervensi dan peran negara.
3) Adanya ucapan dan perbuatan Nabi SAW yang dipandang sebagai bentuk pelaksanaan tugas-
tugas negara dan kepemerintahan. Nabi SAW mengangkat gubernur, hakim, panglima perang,
mengirim pasukan, menarik zakat dan pajak (fiskal), mengatur pembelanjaan dan keuangan
negara (moneter), menegakkan hudud, mengirim duta, dan melakukan perjanjian dengan
negara lain.
6. Hikmah Adanya Majlis Syura
a. Melaksanakan perintah Allah dan mencontoh perbuatan Rasulullah tentang musyawarah untuk
menyelesaikan persoalan hidup dan kehidupan umat Islam.
b. Melahirkan tanggungjawab bersama terhadap keputusan yang ditetapkan karena keputusan
tersebut ditetapkan oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih sesuai dengan kemampuan dan
tanggungjawabnya.
65
c. Melahirkan keputusan dan ketetapkan yang baik dan bijaksana karena keputusan tersebut
ditetapkan oleh banyak pihak.
d. Menghindari perselisihan antar golongan yang dapat mengakibatkan kehancuran dan
kerugian negara.
e. Memilih pimpinan yang terbaik dan disetujui semua pihak karena itu kualitasnya akan lebih
dapat dipertanggungjawabkan.
f. Mengurangi bahkan menghilangkan keluh kesah yang mengakibatkan penyelewengan sebagai
akibat dari keputusan yang tidak atau kurang representatif.
g. Menjalin hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhannya dan hubungan sesama umat
manusia, khususnya umat Islam.
h. Menciptakan persatuan dan kesatuan karena hasil musyawarah biasanya merupakan jalan tengah
yang memiliki daya tarik semua pihak. Jadi hasilnya dapat mengikat semua pihak.
i. Mewujudkan keadilan karena putusan hasil musyawarah telah disetujui oleh semua pihak maka
hasilnya bersifat adil untuk semua pihak.
j. Menciptakan kerukunan dan ketahanan umat sehingga dapat menangkal berbagai rongrongan
dan ancaman terhadap negara dan pemerintah.
66
kalimat syahadat, karena kalimat itu di ucapkan di saat terdesak dan ancaman pedang yang
terhunus.
e) Istihsan tidak memiliki batasan yang jelas dan kreteria-kreteria yang bisa dijadikan standar
untuk membedakan antara haq dan batil.
2. Maslahah Mursalah
a. Pengertian
Maslahah mursalah menurut bahasa terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah
berasal dari kata bahasa arab
menjadi
atau
yang berarti sesuatu yang
mendatangkan kebaikan, sedangkan kata mursalah berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan).
Sehingga maslahah mursalah berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan
suatu hukum. Atau suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat). Dalam pengertian istilah,
definisi maslahah mursalah adalah jalan kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syariat untuk
mengerjakannya atau meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau
menghindarkan mudharat.
b. Kedudukan Maslahah mursalah sebagai sumber hukum
1) Jumlah ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan :
a) Bahwa dengan nas-nas dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperhatikan
kemaslahatan umat manusia.
b) Pembinaan hukum Islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti
membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
2) Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam Syafii
boleh berpegang apabila tidak bertentangan dengan Al Quran dan hadis. Alasan pendapat kedua ini
adalah:
a) Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya
b) Para sahabat dan tabi'in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan
maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syari'.
Contoh, langkah sahabat Abu Bakar Shidiq mengumpulkan mushaf Al Quran atas saran Umar bin
Khatab. Begitu pula penyeragaman tulisan Al Quran oleh sahabat Utsman bin Affan.
3. Istishab
a. Pengertian
Secara bahasa istishab berarti menyertakan ,membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu. Menurut
ulama ushul fiqh, definisi istishab adalah menjadikan hukum yang telah tetap pada masa lampau
terus berlaku sampai sekarang karena tidak diketahui ada dalil yang merubahnya.
b. Macam-macam Istishab
1) Istishab aql
Istishab aql adalah suatu keyakinan umum dalam rangka mendalami agama sehingga ulama
membedakan ajaran agama menjadi dua bagian, yaitu ibadah dan muamalah.
2) Istishab Syara
Istishab Syara adalah suatu perbuatan yang perintahkan Allah dan Rasulullah serta tidak ada dalil
yang mengubah perintah tersebut. Contohnya adalah wudu dan jumlah rakaat shalat.
c. Kedudukan Istishab sebagai Sumber Hukum
1) Istishhab dapat dijadikan dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah hukum.
Pendapat ini didukung oleh jumhur ulama Malikiyah, Hanabilah, mayoritas Syafiiyah dan sebagian
Hanafiyah.
a) Firman Allah surah Al Anam ayat 145
Ayat ini menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah hingga
datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya.
145. Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
b) Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalat) lalu mengatakan:
Engkau telah berhadats. Engkau telah berhadats. Maka (jika demikian), janganlah ia
meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara atau mencium bau.(HR Ahmad)
c) Ijma
Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqih yang telah
ditetapkan melalui ijma atas dasar istishhab. Diantaranya, bahwa jika seseorang ragu apakah ia
sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia harus
merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci.
67
2) Istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak
Menurut pendapat mayoritas ulama Hanafiyah istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara
mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun meniadakannya. Diantara alasan pendapat diatas
adalah:
a) Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan dalil.
b) Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan apapun yang
menyebabkan hal itu maka ia adalah batil.
c) Istishhab adalah hujjah pada saat membantah
5. Saddudz Dzariah
a. Pengertian
Saddudz dzariah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzariah. Saddu berarti penghalang, hambatan
atau sumbatan. Sedang dzariah berarti wasilah atau jalan ke suatu tujuan. Saddudz dzariah secara
bahasa berarti menutup jalan kepada suatu tujuan atau menghambat atau menghalangi atau
menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat. Secara istilah, Saddudz dzariah
adalah menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan. Seseornag melakukan
pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tapi tujuan yang
akan ia capai berakhir pada suatu kemafsadatan.
68
Contoh dalam masalah zakat. Sebelum waktu haul (batas waktu perhitungan zakat sehingga wajib
mengeluarkan zakat) datang seseorang yang memiliki sejumlah harta yang wajib dizakatkan,
menghibahkan sebagian harta kepada anaknya, sehingga berkurang nisab harta itu dan ia taerhindar
dari kewajiban zakat. Pada dasarnya menghibahkan harta kepada anak atau orang lain dianjurkan oleh
syara, karena perbuatan ini merupakan salah satu akad tolong menolong. Tetapi karena tujuan hibah
dilakaukan itu adalah untuk menghindari kewajban yaitu membayar zakat, maka perbuatan ini
dilarang. Pelarangan ini didasarkan pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunah menggugurkan
zakat yang hukumnya wajib.
b. Dasar Hukum
1) Al Quran surah Al Anam : 108 dan Annur: 31
108. dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.(QS Al Anam : 108)
31. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.
(QS Annur: 31)
2) Hadis
Sabda Nabi SAW: Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaan-
Nya.Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus ke
dalamnya.(HR Bukhari dan Muslim)
c. Kedudukan Saddudz dzariah sebagai sumber hukum
1) Menurut Imam Malik bahwa Saddudz dzariah dapat dijadikan sumber hukum, sebab sekalipun
mubah tetapi dapat mendorong dan membuka perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama.
Imam Qurtubi (ulama Malikiyah) menyatakan : Sesunggunya apa-apa yang dapat mendorong
terjerumus kepada perkara yang dilarang (maksiat) adakalanya secara pasti menjerumuskan dan
tidak pasti menjerumuskan.
2) Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii, bahwa Saddudz dzariah tidak dapat dijadikan sumber
hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai yang
mubah. Dalam sebuah hadis Nabi SAW bersabda: tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada
apa yang tidak meragukan. Bagi siapa yang berputar-putar di sekitar larangan (Allah) lama
kelamaan dia akan melanggar larangan tersebut.
69
2) Apa yang disyariatkan kepada umat terdahulu tidak disyariatkan kepada umat Nabi SAW. Misalnya
yang disyariatkan kepada Nabi Musa As, seperti dosa orang jahat itu tidak akan terhapus selain
membunuh dirinya sendiri dan pakaian yang terkena najis itu tidak suci kecuali harus dipotong
bagian yang terkena najis tersebut.
7. Mazdhab Shahabi
a. Pengertian
Mazhab sahabi ialah suatu pendapat yang dikemukakan oleh seseorang sahabat berkaitan dengan
hukum syara sesudah wafatnya Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah SAW masih hidup, semua masalah
atau peristiwa yang pemecahan hukumnya tidak terdapat dalam Al Quran diserahkan secara langsung
kepada beliau. Namun, sesudah beliau wafat, tugas tersebut dilakukan oleh sejumlah sahabat yang
mempunyai keahlian di bidang hukum Islam.
b. Kedudukan Mazhab sahabi sumber hukum
1) Mazhab sahabat yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan serta ketetapan Rasul wajib ditaati.
2) Mazhab sahabat yang berdasarkan hasil ijtihad tetapi mereka telah menyepakati (ijma sahabi)
dapat dijadikan hujah dan wajib ditaati.
3) Mazhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujah dan tidak wajib diikuti. Imam
Abu Hanifah dan Imam Syafi'i menyatakan: tidak melihat seorang pun ada yang menjadikan
perkataan sahabat untuk dijadikan hujjah.
Contoh, pendapat Aisyah yang mengatakan bahwa usia janin dalam kandungan itu tidak akan lebih
dari dua tahun: Di dalam perut ibu, kandungan itu tidak berdiam melebihi dua tahun, berdasarkan
ukuran yang biasa mengubah bayang-bayang alat tahun.
70
SKL FIKIH 12
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan
kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (QS Albaqarah: 183)
c. Kaidah Amar
1) Amar menunjukkan kepada wajib
Pada asalnya Amar itu menunjukkan wajib
Hal ini menunjukkan menurut akal dan naqal. Menurut akal adalah orang-orang yang tidak
mematuhi perintah dinamakan orang yang ingkar, sedangkan menurut naqal.
Contoh: salat, membayar zakat dan lain-lain.
2) Amar menunjukkan kepada sunnah
Pada asalnya Amar itu menunjukkan nadab (sunnah)
Amr di sini menunjukkan kepada sunnah, karena ada musyaqat (kesulitan), atau sesuatu perintah
yang tidak ada salahnya memfaedah kepada wajib. Amar juga dapat digunakan antara lain:
a) Untuk doa, seperti pada surah Albaqarah ayat 201:
71
dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka"
b) Untuk penghormatan, seperti pada surah Alhijr ayat 46:
"Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman
c) Untuk petunjuk, seperti pada surah Al Baqarah ayat 282:
apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya.
72
Misal: perintah melakukan tumaninah dalam shalat, dan perintah memerdekakan seorang budak,
tidak memandang harga tapi memandang martabatnya.
10) Amar sesudah larangan
amr sesudah larangan memfaedahkan pada hukum boleh.
Perbuatan yang lebih mudah dimengerti ialah perbuatan yang dibolehkan, seperti pada awalnya
Nabi melarang menziarahi kubur, maka sekarang diperbolehkan. Kalimat amr ini tidak
menunjukkan kewajiban tetapi menunjukkan hukum boleh (ibahah), sabda Nabi SAW :
Dan saya larang kamu menziarahi kuburan, maka sekarang ziarahlah. (HR. Muslim)
2. Nahyu (larangan)
a. Pengertian nahy
Menurut bahasa nahy berarti larangan, sedangkan menurut istilah ialah:
:
Annahy (larangan) ialah tuntutan meninggalkan perbuatan dari yang lebih tinggi kepada yang lebih
rendah (kedudukannya).
Kedudukan yang lebih tinggi di sini adalah syari (Allah atau Rasul Nya) dan kedudukan yang lebih
rendah adalah mukallaf. Jadi nahy adalah larangan yang datang dari Allah atau Rasul-Nya kepada
mukallaf.
73
4) Larangan dalam urusan ibadah
Larangan menunjukkan kebinasaan yang dilarang dalam beribadah.
Untuk mengetahui mana yang syah dan mana yang batil dalam urusan ibadah, harusnya setiap
orang itu mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
b. Macam Takhsis
1) Mentakhshish ayat Al Quran dengan ayat Al Quran
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. (QS. Al Baqarah
(2) :228).
Ketentuan dalam ayat di atas berlaku umum, bagi mereka yang hamil atau tidak. Tapi ketentuan itu
dapat ditakhshish dengan QS. At-Thalaq ayat 4 sebagai berikut:
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya.
Dapat pula ditakhshish dengan surat Al Ahzab:49
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman,
kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib
atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.
Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci tidak
berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.
2) Mentakhshish Al Quran dengan As Sunnah
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (QS. Al Maidah
(5): 38
Dalam ayat di atas tidak disebutkan batasan nilai barang yang telah dicuri. Kemudian ayat di atas
ditakhshish oleh sabda Nabi SAW:
.
Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang yang dicurinya kurang
dari seperempat dinar. (H.R. Al-Jamaah).
Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang dicuri kurang dari seperempat
dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan.
.
Barangsiapa menggantikan agamanya (dari agama Islam ke agama lain, yaitu murtad), maka
bunuhlah dia. (Muttafaq Alaih).
Menurut hadits tersebut, baik laki-laki maupun perempuan yang murtad hukumnya dibunuh.
Tetapi Ibnu Abbas (perawi hadits tersebut) berpendapat bahwa perempuan yang murtad tidak
dibunuh, hanya dipenjarakan saja.
Pendapat di atas ditolak oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa perempuan yang murtad juga
harus dibunuh sesuai dengan ketentuan umu hadits tersebut. Pendapat sahabat yang mentakhshish
keumuman hadits di atas tidak dibenarkan karena yang menjadi pegangan kita, kata Jumhur Ulama,
adalah lafadz-lafadz umum yang datang dari Nabi. Di samping itu, dimungkinkan bahwa sahabat
tersebut beramal berdasarkan dugaan sendiri.
c. Macam-macam Mubayyan
1) Bayan Perkataan
Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada QS Al Baqarah (2) : 196 :
dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. jika kamu terkepung (terhalang oleh
musuh atau karena sakit), Maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu
mencukur kepalamu sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada di antaramu
yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfid-yah,
Yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. apabila kamu telah (merasa) aman, Maka bagi
siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia
menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau
tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu
telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. demikian itu (kewajiban membayar
fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang
yang bukan penduduk kota Mekah). dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
sangat keras siksaan-Nya.
Ayat tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai
kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang yang tidak menemukan
binatang sembelihan atau tidak mampu.
2) Bayan Perbuatan
Penjelasan dengan perbuatan (bayan fili) Contohnya Rasulullah melakukan perbuatan-perbuatan
yang menjelaskan cara-cara berwudhu : memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh,
Rasulullah mempraktekkan cara-cara haji, shalat dan sebagainya.
3) Bayan Isyarat
Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus Firman Allah dalam QS Al-Baqarah (2):43:
dan dirikanlah shalat Perintah mendirikan sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang
masih butuh penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya
Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan sholat hingga sempurna, lalu bersabda:
Shalatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat (HR Bukhary).
4) Bayan dengan Tulisan
Penjelasan dengan tulisan Penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah dengan
cara menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat) dan
dikirimkan kepada petugas zakat beliau.
78
5) Bayan dengan Isyarat
Penjelasan dengan isyarat Contohnya seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan,
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh
jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan
hari.
6) Bayan dengan meninggalkan perbuatan
Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan Contohnya seperti Qunut pada shalat. Qunut pernah
dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan kemudian
beliau meninggalkannya.
7) Bayan dengan taqrir/tidak melarang/diam
Penjelasan dengan diam (taqrir). Yaitu ketika Rasulullah melihat suatu kejadian, atau Rasulullah
mendengar suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak mengomentari atau
memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah tidak melarangnya. Kalau Rasulullah diam tidak
menjawab suatu pertanyaan, itu artinya Rasulullah masih menunggu turunnya wahyu untuk
menjawabnya.
, : singa
, , , : pendidik (guru)
b. Kaidah Muradhif
Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh
syara.
Mempertukarkan dua muradif satu sama lain itu diperbolehkan jika dibenarkan oleh syara. Namun
kaidah ini tidak berlaku bagi Al Quran, karena ia tidak boleh diubah. Bagi mazhab malikiah, takbir
salat tidak boleh dilakukan kecuali dengan lafal Allah akbar. Imam syafiI membolehkan dengan lafal
Allahu Akbar. Sementara imam Abu Hanifah membolehkan lafal Allah Akbar diganti dengan lafal
Allah Al-Azim atau Allah Al-Ajal.
Ulama yang tidak membolehkan beralasan karena adanya halangan syari yaitu bersifat taabudi
(menerima apa adanya tidak boleh diubah). Sedang yang membolehkan, beralasan karena adanya
kesamaan makna dan tidak mengurangi maksud ibadah tersebut.
2. Musytarak
a. Pengertian Musytarak
Musytarak ialah satu lafadz yang menunjukkan dua makna atau lebih. Maksudnya satu lafadz
mengandung maknanya yang banyak atau berbeda-beda.
Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama ushul adalah antara lain:
Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan
yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut
Kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut
secara bersamaan, tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya. Seperti kata yang dalam
pemakaian bahasa arab dapat berarti masa suci dan bias pula masa haidh, lafadz bisa berarti mata,
sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas, kata musytarak antara tangan
kanan dan kiri, kekuasaan kata dapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun
masehi.
b. Kaidah Musytarak
Penggunaan musytarak menurut makna yang dikehendaki ataupun untuk beberapa maknanya itu
diperbolehkan.
Jadi, menetapkan salah satu makna dari suatu lafal musytarak tidak dibatasi. Beberapa makna
musytarak tersebut boleh dipergunakan. Contohnya, kata sujud. Kata ini bisa berarti meletakkan
kepala di tanah dan bisa pula berarti inqiyad (kepatuhan). Lihat misalnya, QS Al Hajj (22) : 26,
79
Dan ingatlah ketika kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), Janganlah
engkau mempersekutukan dengan apa pun dan sucikanlah rumahKu bagi orang-orang yang tawaf,
dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud.
Jumhur Ulama termasuk Imam Syafii, Qodi Abu Bakar dan Al Jubai berpendapat bahwa pemakaian
lafadz musytarak untuk dua atau beberapa makna hukumnya boleh, dengan alasan Firman Allah SWT.,
QS Al Hajj (22): 18
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kepada Allah sujud apa yang ada di langit dan di bumi,
matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, binatang-binatang yang melata dan
sebagian besar manusia? (QS Al-Haj: 18)
Lafadz itu mempunyai dua arti yang sama-sama hakiki yaitu tunduk dan meletakkan dahi di
bumi. Bagi makhluk-makhluk yang tidak berakal seperti matahari, bulan, bintang, gunung, pohon dan
binatang melata, kata sujud berarti tunduk, tetapi bagi manusia yang berakal sujud berarti meletakkan
dahi di atas bumi. Apabila arti sujud ini hanya tunduk maka Allah SWT tidak mengakhiri firman-Nya
dengan . oleh karena itu, imam Syafii mengartikan kata mulamasah dalam firman Allah
SWT: dengan arti menyentuh dengan tangan dan menyentuh dengan bersetubuh secara
bersama-sama.
c. Sebab-sebab terjadinya Lafadz Musytarak
1) Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan
terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata , dalam satu kabilah, kata ini
digunakan menunjukkan arti hasta secara sempurna ( ) . Satu kabilah untuk menunjukkan
(). Sedangkan kabilah yang lain untuk menunjukkan khusus telapak tangan.
2) Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan ))antara makna hakiki dan majaz.
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Lafadz dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti tempat keluarnya darah
haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama diartikan tempat keluarnya darah haidh.
Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap
menggauli istri-istrinya dalam waktu haidh. Sehinnga yang dimaksud lafadz diatas adalah
bukanlah waktu haidh akan tetapi larangan untuk istimta pada tempat keluarnya darah haidh (qubul).
Contoh lain sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al Baqarah (2): 228 sebagai berikut:
80
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Lafadz quru dalam pemakain bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haidh.
Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetaui makna
yang dimaksudkan oleh syari dalam ayat tersebut.
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz qurutersebut diatas. Sebagian ulama yaitu
Imam Syafii mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya
indikasi tanda muannats pada adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaida bahasa arab
madudnya harus mudzakkar, yaitulafadz al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah
mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadz tsalatsah
adalah lafadz yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing quru dan
tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal ini hanya bisa terjadi jika quru diartikan haidh. Sebab jika
lafadz quru diartikan suci, maka hanya ada dua quru (tidak sampai tiga).
Dalam QS. Al Baqarah (2): 229,
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik.
Dalam ayat tersebut di atas lafadz al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara yaitu melepaskan tali
ikatan hubungan suami istri yang sah, bukan diartikan secara bahasa yang berarti melepaskan tali
ikatan secara mutlaq. Seperti dalam hal lain.Dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat. Lafadz pada ayat tersebut dapat bisa mengandung arti dalam istilah bahasa yaitu doadan
bisa pula berarti dalam istilah syara yaitu ibadah yang mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu.
Berikut ini contoh lafadz yang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman Allah
dalam QS. Al Ahzab (33): 56,
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.
Lafadz pada ayat tersebut bukan bermakna sholat dalam ibadah tertentu, akan tetapi
mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena dalam ayat tersebut dinisbatkan
kepada Allah dan para malaikat. Sedangkan sholat dalam istilah syarahanya diwajibkan kepada
manusia.
82
Maka sesungguhnya yang dzohir dari yang dimaksud dengan wudhu adalah membasuh anggota badan
yang empat dengan sifat yang syari bukan wudhu yang berarti membersihkan diri.
2. Takwil
a. Pengertian
Secara etimologi berarti At-Tafsir, Al-Marja, Al-Mashir, sehingga dari sudut bahasa mengandung arti
Tafsir (penjelasan, uraian), atau Al-Marja, Al-Mashir (kembali, tempat kembali), atau Al-Jaza (balasan
yang kembali kepadanya)
Menurut Imam Ghazali takwil merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang
bersisfat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang
ditunjukkan oleh lafaz zhair tersebut.
b. Macam-macam Takwil
1) Tawil yang shahih yang ditunjukkan atas makna tersebut dengan dalil yang shohih,
seperti tawil terhadap firman Allah :
bertanyalah kepada desa.
Kepada makna bertanyalah kepada penduduk desa, karena desa tidak mungkin untuk diberi
pertanyaan kepadanya.
2) Tawil yang rusak: yang tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan makna tersebut,
seperti tawil orang-orang muaththilah (ahli tathil) terhadap firman Allah QS. Thoha (20) : 5
Ar-Rohman bersemayam di atas arsy
Kepada makna istawa (menguasai), dan yang benar bahwa maknanya adalah ketinggian dan
menetap, tanpa takyif dan tamtsil.
c. Syarat Takwil
1) Lafadz yang ditawil harus betul-betul memenuhi kriteria dan kajiannya.
2) Tawil itu harus berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan tawil.
Contoh: tawil dari hukum/nash yang di dalamnya terdapat pertentangan antara zahir hukum/nash
yang mengandung arti juzi dengan dasar umum syariat adalah hadits yang menyatakan bahwa
Rasulullah SAW., bersabda:
Sesungguhnya jenazah itu disiksa oleh tangisan keluarganya
Siti Aisyah menolak hadits tersebut karena menurutnya hal itu bertentangan dengan dasar umum
syariat yang ada dalam Al Quran yaitu firman Allah SWT:
Sebagian mujtahid menawilkan kemutlakan hadits tersebut kemudian mereka menaqyid dengan
jenazah ketika masa hidupnya.
Maka maksud ayat tersebut menjadi tidak bertentangan setelah ditaqyid. Pengompromian ini
dilakukan dengan mengamalkan dua hukum/nash secara bersamaan. Metode seperti itulah yang
dianggap terbaik daripada mencela salah satunya. Dengan contoh di atas dapat diketahui bahwa
tawil itu ada karena adanya pertentangan dalam hukum/nash yang artinya zahir.
a) Tawil berdasarkan dalil adalah maslahat, yang dimaksud maslahat disini bukan berarti bahwa
hikmah syariat itu harus hukum/hukum/nash tertentu, tetapi dalil yang mentaksis dalil umum
atau meng-istisna dari landasan umum baik secara khas ataupun amm, dengan cara seperti itu
dalil yang keluar dari landasan umum melalui taksis, menyalahi hukum yang umum atau
keadaan umum. Taksis merupakan salah satu bagian dari tawil bahkan yang paling banyak
dipakai. Contoh:
Para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh.
Imam Malik mentaksis keumumannya dengan perbuatan adat (urf amaliyah). Dia berpandangan
bahwa seorang ibu diharuskan menyusui anaknya karena kesempurnaan derajatnya. Maka bila
seorang ibu sakit sehingga tidak bisa menyusui anaknya, ia tidak diwajibkan menyusui anaknya
karena menjaga dari kemudharatan. Dan menjaga maslahat adalah maslahat.
b) Mentaksis keadaan umum dengan kemaslahatan, yang dimaksud keadaan umum adalah
kemerdekaan umum atau dasar kebolehan.
Kemerdekaan umum adalah kemerdekaan jual beli dan hak memiliki terhadap barang adalah
sesuatu yang sangat mendasar bagi manusia dengan mengutamakan persamaan karena hal itu
termasuk perbuatan yang dibolehkan.
Rasulullah melarang perdagangan yang diadakan untuk kaum badawi karena jual beli semacam
itu dikategorikan jual beli yang menggambarkan adanya penghinaan terhadap makanan yang
sangat penting terhadap manusia. Taksis seperti itu adalah berdasarkan kemaslahatan umum
begitu pula larangan jual beli yang mengandung riba, karena didalamnya terdapat pengikisan
keadilan dan terdapat unsur memakan harta manusia secara batil, yakni kaidah yang
menghilangkan keridhaan.
83
3) Lafadz yang mencakup arti yang dhasilkan melalui takwil menurut bahasa.
4) Penakwilan menurut bahasa dilakukan dengan cara tekstual, kontekstual atau majaz.
5) Takwil tidak boleh bertentangan dengan nasah yang qathi karena hukum/hukum/nash tersebut
bagian dari aturan syara yang umum.
Takwil adalah metode ijtihad yang bersifat zanni, sedangkan zanni tidak akan kuat melawan yang
qathi. Contohnya menakwillan kisah kisah yang ada dalam Al Quran dengan mengubah arti yang
zahir menjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan seperti itu bertentangan dengan kejelasan ayat
yang qathi yang menjadikan kisah tersebut sebagai kejadian sejarah yang nyata.
6) Arti dari penakwilan hukum/nash/hukum harus lebih kuat dari arti zahir yakni dikuatkan dengan
dalil. Contoh tentang petentangan antara juzi dan dasar umum. Hukum/nash yang berarti juzi
dikompromikan artinya dengan dasar umum yaitu dengan cara mentaqyid dan dasar umum itu
merupkan dalil yang lebih kuat. Telah dijelaskan beberapa mentaqyid hak kekuasaan atas harta
tanpa memadaratkan tetangga dengan mengamalkan dasar umum yakni sabda Nabi SAW:
Tidak madarat dan tidak memadaratkan
Hal itu termasuk kamaslahatan individu, sedang penakwilnnya berdasarkan kemaslahatan umum
yang dijadikan dalil adalah lebih kuat dari pada zahir lafadz. Begitu pula bertentangan antara zahir
dengan hukum/nash/ hukum tidak diragukan lagi bahwa hukum/nash itu menaksis yang zahir
karena hukum/nash lebih kuat dan lebih jelas. Selain itu ucapan juga membutuhkan arti asli
maksud harus diutamakan.
Juga tentang penakwilan yang berdasarkan hikmah pembinaan syariat. Hal itu merupakan roh
hukum/nash yang menguatkan dan merupakan tujuan pokok. Tidak diragukan lagi bahwa maksud
disyariatkannya sesuatu itu lebih kuat daripada zahir lafadznya.
84
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka
adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya
kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar
Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang di waktu pagi hari masih dalam keadaan
junub, sebab ayat ini membolehkan bercampur sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada
kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian memaksa kita berpagi dalam keadaan junub.
2. Mafhum
a. Pengertian Mafhum
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazah tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang
tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.
b. Pembagian Mafhum
1) Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan) yaitu makna yang hukumnya sepadan dengan
manthuq
a) Fahwal Khitab
Fahwal khitab yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih memungkinkan diambil hukumnya
daripada mantuq. Misalnya pada QS. Al Isra (17): 23,
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ah .
Ayat ini mengharamkan perkataan ah yang tentunya akan menyakiti hati kedua orang tua,
maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti
mencaci-maki, memukul lebih diharamkan lagi, walaupun tidak disebutkan dalam teks ayat
b) Lahnul Khitab
Lahnul Khitab yaitu bila mafhum dan hukum mantuq sama nilainya. Misalnya pada QS. An Nisa
(4): 10,
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim maka dengan pemahaman perbandingan sepadan
(mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti: membakar, menyia-nyiakan, merusak,
menterlantarkan harta anak yatim juga diharamkan.
2) Mafhum mukhalafah (perbandingan terbalik) yaitu makna yang hukumnya kebalikan dari
manthuq
a) Mafhum sifat
Mafhum sifat adalah sifat manawi. Contohnya pada QS. Al Hujurat (49): 6,
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita
maka periksalah dengan teliti
Ayat ini memerintahkanmemeriksa dengan meneliti berita yang dibawa oleh orang fasik. Maka
dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) bahwa berita yang dibawa
oleh orang yang tidak fasik tidak perlu diperiksa dan diteliti.
b) Mafhum syarat
Mafhum syarat yaitu memperhatikan syaratnya. Contohnya seperti pada QS. At Talaq (65) 6 :
Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkah.
Dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) maka jika di talak dalam
keadaan tidak hamil tidak perlu diberi nafkah.
c) Mafhum ghayah
Mafhum ghayah.Contohnya dalam QS. Al Baqarah (2): 230,
Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal
lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain
Dengan pemahaman terbalik bila mantan istri sudah ditalak tiga kali kemudian menikah lagi
dengan lelaki lain dan kemudian bercerai maka menjadi halal dinikahi lagi.
d) Mafhum hasr (pembatas, hanya)
85
Mafhum hasr (pembatasan).Misalnya pada QS Al Fatihah 5 :
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon
pertolongan
Dengan pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah kepada selain Allah dan tidak boleh
memohon pertolongan kepada selain Allah.
86
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan
Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar.
Ayat tersebut berarti menasakh hukum sebelumnya tentang tidak bolehnya bersetubuh, makan dan
minum di malam hari.
2) Ijma ulama yang menetapkan bahwa suatu dalil yang menetapkan hukum menasakh dalil lain yang
menetapkan hukum yang berbeda denan itu. Hal itu mendorong arti bahwa nasikhnya hukum ijma
tetapi adalah hukum/nash juga, sedangkan ijma hanya memberi petunjuk mengenai hukum/nash
mana yang nasikh dan mana yang mansukh.
Tarikh, yaitu keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua hukum/nash yang berbeda. Bila
yang datang terkemudian itu disebut nasikh dan yang terdahulu itu disebut mansukh.
g. Kategori Nasakh
1) Nasakh di mana ayatnya diubah dan hukumnya juga diubah. Maksudnya, secara tekstual ayat
tersebut diganti, dan hukumnya juga diganti.
Contoh untuk kategori pertama (nasakh dalam sisi tekstual/ayatnya, sedangkan hukumnya masih
berlaku), yaitu:
Menurut suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa ada satu ayat di
Surah Al-Ahzab yang menyatakan, jika ada orang berzina, sedangkan orang tersebut sudah atau
pernah menikah, maka orang tersebut harus dirajam.
Ayat ini kemudian diangkat oleh Allah dan dihapus keberadaannya, sehingga tekstualnya menjadi
tidak ada tapi hukumnya masih tetap berlaku. Mengapa bisa demikian? Karena diganti oleh ayat
lain pada Surat An-Nuur ayat 2, yaitu:
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (Q.S.
An-Nuur: 2)
Maksud ayat ini (An-Nuur: 2) adalah, bahwa jika ada yang berzina, maka hukumannya adalah
dicambuk sebanyak 100 kali. Ini di antara hukum-hukum yang realitas terjadi, sehingga terlalu sulit
untuk mengingkari adanya nasakh dan mansukh di dalam ayat tersebut. Ayatnya sudah tidak ada,
tetapi hukumnya masih tetap diberlakukan oleh Rasulullah, bahkan hingga akhir zaman nanti.
2) Ayatnya diganti, tetapi hukumnya masih tetap berlaku.
Untuk kategori kedua, yaitu yang lafaz dan hukumnya dua-duanya dicabut. Contohnya adalah
sebagai berikut:
Sayyidatuna Aisyah menyatakan, bahwa Rasulullah pernah mendiktekan ayat Al-Quran kepada
mereka ketika itu, bahwa orang yang menyusui dan disusui mempunyai hubungan nasab
sebagaimana ibu dan anak kandung minimal sepuluh kali. Tetapi ternyata ayat ini dicabut oleh
Allah, termasuk juga hukumnya. Sebagai gantinya, sekali saja menyusui sepanjang itu sudah
mengenyangkan, maka sudah dianggap memiliki hubungan nasab. Yang jelas hukum yang sepuluh
kali itu dicabut.
3) Ayatnya masih ada di dalam Al-Quran, tetapi hukumnya kemudian dinyatakan sudah kadaluwarsa.
Jenis ketiga ini yang paling banyak di dalam Al-Quran.
h. Hikmah adanya Nasikh dan Mansukh
1) Mengukuhkan keberadaan Allah, bahwa Allah takkan pernah terikat dengan ketentuan-ketentuan
yang sesuai dengan logika manusia. Sehingga jalan pikiran manusia takkan pernah bisa mengikat
Allah SWT. Allah mampu melakukan apa saja, sekalipun menurut manusia hal tersebut tidak logis.
Tetapi Allah menunjukkan, bahwa kehendak-Nya lah yang akan terjadi, bukan kehendak kita.
Sehingga diharapkan dari keberadaan nasakh dan mansukh ini mampu meningkatkan keimanan kita
kepada Allah SWT, bahwa Dia-lah yang Maha Menentukan.
2) Dengan nasakh dan mansukh ini diharapkan pula kita akan mempunyai prediksi dan pengertian
bahwa Allah itu memang adalah zat yang Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, bahkan
arhamurrahimin, yaitu lebih kasih daripada yang berhati kasih dan lebih sayang daripada siapa
saja yang berhati sayang. Mengapa? Karena memang pada kenyataannya hukum-hukum nasakh dan
mansukh tersebut semuanya demi untuk kemaslahatan dan kebaikan kita.
87
SKL FIKIH 13
TADARUS
QS. Al Maidah: 35
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya,
dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.
88
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
Maka janganlah kamu mengikuti keduanya. hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu aku kabarkan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
3. Dasar-dasar Jihad dalam Hadits
)
(
Dari Ibn Umar, Rasulullah SAW bersabda, Saya diutus dengan pedang, hingga Allah disembah tiada
serikat bagi-Nya, dan rezkiku dijadikan di bawah naungan tombak, kehinaan bagi siapa yang menyalahi
perintahku, dan siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kepada kaum tersebut. (HR.
Ahmad)
( )
Dari Abu Hurairah bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, seorang
ingin berjihad di jalan Allah, mencari kesenangan dunia." Rasulullah berkata, "Ia tidak dapat pahala, para
sahabat membesar-besarkan peristiwa tersebut dan berkata kepada pemuda tadi, kembalilah bertanya
kepada Rasulullah SAW., mungkin Anda salah paham. Ia berkata, Wahai Rasulullah, seorang ingin
berjihad di jalan Allah mencari kesenangan/keuntungan dunia. Rasulullah menjawab, Ia tidak dapat
pahala, para sahabat berkata lagi, Kembalilah (bertanya) kepada Rasulullah SAW! Rasulullah menjawab
pada kali yang ketiga, Ia tidak dapat pahala.
)
(
Dari Jbir ibn Abd Allh Ra., ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda, Perang itu adalah siasat. (HR.
Bukha riy, Muslim, dan lain-lain)
4. Makna Jihad
Jihad seperti yang terlintas dalam pemahaman masyarakat dewasa ini cenderung mengartikannya
sebagai perang fisik/bersenjata. Setiap mukmin diperintahkan untuk berjihad dengan sebenar-benar jihad
(haqqa jihdih/ QS Alhajj: 78). Memang ada saat-saat setiap Muslim wajib berperang yaitu di saat musuh
menyerang (QS Al Anfal: 15, 16, 45). Beberapa alasan bahwa jihad tidak selalu identik dengan perang
melawan musuh, diantaranya :
a. Perbedaan makna kosa kata yang di pakai Al Quran.
Terdapat kekeliruan dalam pemaknaan kata qitl yang diserupakan dengan kata jihd. Kekeliruan
dalam membedakan keduanya dipengaruhi kesalahan mengidentifikasi semua isyarat jihad dalam
ayat-ayat madaniyah yang diatributkan sebagai jihad bersenjata. Padahal, antara jihad
dan qitl memiliki makna dan penggunaan yang berbeda dalam Al Quran.
Kata qitl berasal dari qatala-yaqtulu-qatl, yang berarti membunuh atau menjadikan seseorang mati
disebabkan pukulan, batu, racun, atau penyakit. Kata qitl hanyalah salah satu aspek dari jihad
bersenjata. Jihad bersenjata adalah konsep luas yang mencakup seluruh usaha seperti persiapan dan
pelaksanaan perang, termasuk pembiayaan perang. Dengan begitu, jihad bersenjata hanyalah salah
satu bentuk dari jihad yang juga melibatkan jihad damai. Atas dasar itu, konteks jihad dalam Al Quran
tidak dapat disamakan dengan qitl.
Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh
Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS Al
Baqarah: 216)
Semasa Nabi Muhammad SAW hidup, peperangan terjadi sebanyak 17 kali. Ada juga yang menyebutnya
19 kali dan 8 peperangan yang diikuti Nabi SAW.Tetapi perang yang dilakukan Nabi SAW adalah untuk
perdamaian. Sebagai contoh, sebuah riwayat menyebutkan bahwa ketika penduduk Yatsrib
89
berkeinginan menghabisi penduduk Mina, Nabi SAW malah menghalanginya, sebagaimana tersebut
dalam hadits berikut:
Demi Allah yang telah mengutusmu atas dasar kebenaran, sekarang engkau mengizinkan niscaya
penduduk Mina itu akan kami habisi besok dengan pedang kami. Rasulullah SAW berkata, Saya
tidak memerintahkan untuk itu. (HR. Ahmad dari Kaab ibn Ma lik).
b. Kata jihad telah digunakan dalam ayat-ayat yang turun sebelum Nabi berhijrah (makkiyyah), padahal
para ulama sepakat menyatakan kewajiban berperang baru turun pada tahun ke 2 hijriyah, yaitu
dengan turunnya firman Allah :
Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah
dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu 40. (yaitu)
orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali
karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah". dan Sekiranya Allah tiada menolak
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara
Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya
banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-
Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa.
Di antara ayat-ayat Makkiyyah yang berbicara tentang jihad yaitu :
1) QS An Nahl: 11 yang berbicara tentang mereka yang berhijrah setelah mengalami berbagai cobaan
dan penderitaan, yaitu para sahabat yang terpaksa berhijrah ke Habsyah saat Nabi dan para
sahabatnya masih berada di Makkah. Surah An Nahl disepakati oleh para ulama sebagai surah
makkiyah yang turun sebelum Nabi berhijrah. Pada ayat tersebut mereka digambarkan sebagai
orang-orang yang jhad wa shabar. Kata jhad di sini tidak berarti perang, tetapi berupaya-
upaya sungguh-sungguh dalam menyampaikan dakwah dan menanggung beban penderitaan
sebagai akibat darinya.
2) Pada pembukaan QS Al Ankabut yang juga disepakati para ulama sebagai surah makkiyyah, Allah
menjelaskan keniscayaan cobaan (fitnah) bagi setiap mukmin, seperti halnya yang dialami oleh
Nabi dan para sahabatnya (ayat 2-3). Lalu pada ayat yang ke 6 dijelaskan,
Dan Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Kata jihad yang dimaksud pada ayat tersebut bukanlah berperang melawan musuh, tetapi jihad
menanggung beban penderitaan dengan bersabar yakni jihad melawan hawa nafsu dan syetan.
Surah Al Ankabut ini juga ditutup dengan ayat yang mengandung kata jihad. Allah berfirman :
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-
orang yang berbuat baik.
3) Pada QS Alfurqan: 52 yang juga turun sebelum Nabi berhijrah (makkiyyah) Allah berfirman :
Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al
Quran dengan Jihad yang besar.
Nabi diminta untuk tidak tunduk pada orang-orang kafir, dan sebaliknya beliau diperintahkan
untuk berjihad dalam menghadapi mereka, bukan dengan memerangi secara fisik, tetapi dengan
menyampaikan Al Quran dengan penjelasan yang kuat dan argumentatif. Dhamr ha pada
kata wajhidhum bih dipahami oleh para ahli tafsir sebagai pengganti atau menunjuk kepada Al
Quran.
Bukti lain dari Al Quran yang menunjukkan bahwa jihad tidak identik dengan perang adalah
firman-Nya dalam QS At Taubah ayat 73:
90
Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap
keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah Jahannam. dan itu adalah tempat kembali yang
seburuk-buruknya.
Ayat di atas menyebutkan sasaran atau obyek jihad adalah orang-orang kafir dan munafik. Seperti
diketahui, orang-orang munafik tidak diperangi seperti halnya orang-orang kafir, sebab secara nyata
mereka adalah Islam walaupun secara batin mereka inkar. Secara nyata mereka melaksanakan
shalat, membayar zakat, bahkan ikut berperang walaupun dengan bermalas-malasan (QS An Nisa :
142 dan QS At Taubah:54).
Nabi hanya diminta untuk menghukumi keislaman seseorang berdasarkan bukti-bukti
lahiriah, sedangkan perkara batin sepenuhnya menjadi wewenang Allah. Dengan begitu, jiwa
mereka terlindungi, dan tidak boleh dibunuh atau diperangi. Maka jihad menghadapi orang-orang
munafik yang diperintahkan oleh ayat di atas dipahami tidak dengan memerangi mereka, tetapi
mengajak/ berdakwah kepada mereka dengan argumentasi yang kuat dan berupaya menghilangkan
keraguan dari diri mereka serta menanamkan keyakinan yang teguh dalam hati mereka.
Dalam konteks kekinian, jihad melalui lisan dan penjelasan petunjuk agama dapat dilakukan
dengan pendekatan verbal (bayn syafahiy), seperti khutbah dan pengajian, pendekatan melalui
tulisan (bayn tahrriy) seperti buku, majalah, bulletin dan lain sebagainya, pendekatan media
(bayn Ilmiy) seperti televisi, radio dan media online, dan pendekatan dialog (hiwr), seperti
dialog antar agama atau dialog peradaban.
Jadi selain jihad militer (bersenjata/ jihd askariy)) ada bentuk-bentuk lain dari jihad dalam
Islam, yaitu jihad spiritual (jihd rhiy) yang obyeknya adalah jiwa manusia yang selalu cenderung
mengikuti hawa nafsu dan jihad dalam bentuk dakwah (jihd da`wiy) dengan menyampaikan
risalah Al Quran secara baik dan benar. Dalam kaitan jihad dakwah ini diperlukan kesabaran dalam
menghadapi berbagai cobaan dan rintangan.
Obyek dakwah sangat luas, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, bidang sosial, ekonomi,
pendidikan, kesehatan/ kedokteran, lingkungan dan aspek-aspek peradaban lainnya. Kewajiban
berjihad disini antara lain berupa upaya mencerdaskan masyarakat melalui pendidikan dan
membangun sekolah yang berkualitas, mengentaskan kemiskinan dan menakan angka
pengangguran, melatih tenaga kerja agar terampil, menangani anak-anak jalanan yang terlantar, dan
menyediakan fasilitas pengobatan yang dapat dinikmati masyarakat luas.
Demikian cakupan makna jihad yang amat luas, yaitu bukan hanya sekadar jihad bersenjata.
Meskipun dalam beberapa literature klasik jihad didefinisikan sebagai perang di jalan Allah tetapi
dalam implementasi dan penerapannya terdapat beberapa prasyarat dan ketentuan yang harus
dipenuhi, di samping perbedaan pendapat di kalangan ulama seputar kewajibannya.
5. Macam-Macam Jihad
Pakar bahasa Al Quran, Raghib Ashfahani, menyebutkan tiga bentuk jihad, yaitu : jihad melawan
musuh yang nyata, jihad melawan setan, dan jihad melawan hawa nafsu.Menurut Ibnu Qayyim Al Jauziyah
ada 4 tingkatan yakni, jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan syetan, jihad melawan orang-orang kafir
dan jihad melawan orang-orang munafik.
Berikut pembahasan tentang macam-macam jihad diantaranya :
a. Jihad melawan hawa nafsu
Jihad melawan hawa nafsu penting dilakukan, sebab jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada
keburukan (QS Yusuf: 53) yang dapat merusak kebahagiaan seseorang, dan itu tidak mudah dilakukan,
sebab hawa nafsu ibarat musuh dalam selimut, seperti dikatakan Imam Ghazali, hawa nafsu adalah
musuh yang dicintai, sebab ia selalu mendorong kepada kesenangan yang berakibat melalaikan.
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh
kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS Yusuf: 53)
Jihad melawan hawa nafsu dapat dilakukan dengan :
1) Mempelajari petunjuk-petunjuk agama yang dapat mengantarkan jiwa kepada keberuntungan dan
kebahagiaan
2) Mengamalkan apa yang ia telah ketahui
3) Mengajak orang lain untuk mengikuti petunjuk agama. Dengan berilmu, beramal dan mengajarkan
ilmunya kepada orang lain seseorang dapat mencapai tingkatan yang disebut dengan rabbaniyy.
4) Bersabar dan menahan diri dari berbagai cobaan dalam menjalankan dakwah
b. Berjihad melawan syetan
Jihad melawan syetan, berupa upaya menolak segala bentuk keraguan yang menerpa keimanan
seseorang dan menolak segala bentuk keinginan dan dorongan hawa nafsu. Keduanya dapat dilakukan
dengan berbekal pada keyakinan yang teguh dan kesabaran. Allah berfirman QS.As Sajadah ayat 24:
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah
Kami ketika mereka sabar. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.
91
Ayat di atas menegaskan bahwa kemuliaan dalam beragama dapat diperoleh dengan dua hal yakni
kesabaran dan keyakinan. Dengan kesabaran seseorang dapat menolak segala bentuk keinginan dan
dorongan hawa nafsu, dan dengan keyakinan seseorang dapat menolak segala bentuk keraguan.
c. Jihad melawan orang-orang kafir dan orang munafik
Jihad melawan orang-orang kafir dan munafik adalah dengan upaya melalui pendekatan hati, lisan,
harta dan jiwa. Selain itu ada bentuk lain dari jihad yaitu melawan kezaliman dan kemaksiatan, juga
dengan pendekatan hati, lisan, harta dan jiwa .
Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap
mereka. tempat mereka adalah Jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.
6. Masalah Jihad Bersenjata
Secara umum jihad bersenjata memiliki dua bentuk:
a. Perang yang bersifat difensif (jihad daf`i), yaitu saat musuh menyerang dan menduduki wilayah Islam,
atau saat mereka merebut jiwa, harta dan kehormatan umat Islam walau tanpa menduduki wilayahnya.
b. Perang yang bersifat opensif (jihd thalab), yaitu saat musuh berada di wilayahnya umat Islam
menyerangnya untuk memperluas wilayah kekuasaan yang akan membuka dan melapangkan jalan
dakwah.
Para ulama berbeda pendapat seputar hukum jihad bersenjata ini. Sebagian ulama seperti Ibnu
Syubrumah dan Ast Tsauri berpendapat jihad dengan pengertian perang yang bersifat opensif hukumnya
sunah, tidak wajib. Ungkapan kutiba `alaykumul qitl (QS. Al Baqarah: 216) dipahami tidak dengan
pengertian wajib, tetapi sunah, sama dengan perintah berwasiat sebelum meninggal yang dipahami
sebagai sunnah padahal juga diawali dengan ungkapan kutiba `alaykum (QS. Al Baqarah: 180). Jumhur
ulama berpendapat hukumnya fardhu kifayah, dengan pengertian apabila telah dilakukan oleh
sekelompok orang maka kewajiban yang lainnya menjadi gugur, dan bila tidak ada seorang pun yang
melakukan maka seluruh umat Islam berdosa. Dalam keadaan tertentu seperti telah dijelaskan di atas
kewajiban jihad bersifat individual (fardhu `ain). Dalam menjelaskan kewajiban yang bersifat kifayah para
ulama memberi batasan, antara lain kewajiban berperang tersebut diputuskan oleh pemimpin tertinggi
dengan pertimbangan kekuatan yang dimiliki umat Islam dapat menandingi kekuatan musuh, bila tidak
seimbang maka tidak diwajibkan maju ke medan perang.
Para ulama menyebutkan bahwa jihad bersenjata menjadi fardhu ain pada tiga kondisi:
a. Apabila pasukan muslim dan kafir bertemu dan sudah saling berhadapan di medan perang, maka tidak
boleh seseorang mundur atau berbalik.
b. Apabila musuh menyerang negeri muslim yang aman dan mengepungnya, maka wajib bagi penduduk
negeri untuk keluar memerangi musuh (dalam rangka mempertahankan tanah air), kecuali wanita dan
anak-anak.
c. Apabila Imam meminta satu kaum atau menentukan beberapa orang untuk berangkat perang, maka
wajib berangkat. Dalilnya adalah surat At Taubah ayat 38-39:
38. Hai orang-orang yang beriman, Apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk
berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas
dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini
(dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit. 39. jika kamu tidak berangkat untuk
berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum
yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.
Dari fakta-fakta historis dan redaksi Al Quran serta hadis yang menjelaskan jihad secara fisik,
Muhammad Abduh menjelaskan etika perang dalam Islam di antaranya:
a. Perintah qitl berkaitan dengan penolakan terhadap intimidasi kaum kafir yang melampaui batas.
Hal ini dilakukan untuk mencegah kerusakan atau kebrutalan serta mengokohkan kemaslahatan
kaum muslim. Kaidah ini dipahami dari pemahaman ayat yang menyatakan agar tidak melampau
batas ketika berperang di jalan Allah SWT. (Al Baqarah: 190).
b. Hendaknya tujuan utama adalah membela diri (defensive) akan teror yang dilancarkan kepada kaum
muslimin dan menciptakan suasana aman dalam menjalankan syariat agama.
92
hidup dengan rasa aman di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam. Kelompok
kafir dzimmi berada dalam jaminan keamanan kaum muslim berdasarkan akad dzimmah. Ahlul Dzimmah
kadang disebut juga kafir dzimmi atau sering disingkat dzimmi saja.
Kelompok Ahlul Dzimmi termasuk ke dalam warga negara Darul Islam. Akad dzimmah mengandung
ketentuan untuk membiarkan orang-orang non muslim tetap berada dalam keyakinan/agama mereka,
disamping menikmati hak untuk memperoleh jaminan keamanan dan perhatian kaum muslim. Syaratnya
adalah mereka membayar jizyah/ pajak serta tetap berpegang teguh terhadap hukum-hukum Islam di
dalam persoalan-persoalan publik.
Dengan demikian Ahlul Dzimmi adalah warga negara daulah khilafah islamiyah yang tetap dalam
keyakinan mereka. Bagi Ahlul Dzimmi yang mau menunjukkan ketundukan dan mau diatur dalam sistem
masyarakat islam, akan dilindungi hak dan darahnya. Sebagaimana warga negara yang lain, ahl dzimmi
juga mendapatkan pelayanan yang serupa dan sama baiknya. Tidak ada pembedaan antara muslim
ataupun tidak dalam hal pelayanan kesehatan, pendidikan, ataupun yang lain.
2. Dasar Perlakuan Ahlul Dzimmah
29. perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian,
dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Alkitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.(QS At Taubah:
29)
3. Syarat-sayarat dinamakan Ahl al Dzimmah
Menurut Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah,yang tergolong ahl dzimmiyaitu Yahudi,
Nasrani dan Majusi
Unsur-unsur seseorang dikatakan Ahlul Dzimmi yaitu:
a. Non-muslim
b. Baligh
c. Berakal
d. Laki-laki
e. Bukan budak
f. Tinggal di dar al-Islam
g. mampu membayar jizyah
4. Perlakuan Hukum Islam Terhadap Ahlul Dzimmah
Hukum islam bersifat universal, para Ahlul Dzimmi mendapatkan hak sebagaimana rakyat lainnya
yang Muslim. Mereka mendapatkan hak untuk dilindungi, dijamin penghidupannya, dan diperlakukan
secara baik dalam segala bentuk muamalah. Kedudukan mereka sama di hadapan penguasa dan hakim.
Tidak boleh ada diskriminasi apa pun yang membedakan mereka dengan rakyat yang Muslim. Negara
Islam wajib berbuat adil kepada mereka sebagaimana berbuat adil kepada rakyatnya yang Muslim.
a. Ahlul Dzimmi tidak boleh dipaksa meninggalkan agama mereka guna masuk Islam.
Rasulullah SAW. telah menulis surat untuk penduduk Yaman (yang artinya), Siapa saja yang beragama
Yahudi atau Nashara, dia tidak boleh dipaksa meninggalkannya, dan wajib atasnya jizyah. (HR Abu
Ubaid). Hukum ini juga berlaku untuk kafir pada umumnya, yang nonYahudi dan non-Nashara. Dengan
demikian, Ahlul Dzimmi dibebaskan menganut akidah mereka dan menjalankan ibadah menurut
keyakinan mereka.
b. Ahlul Dzimmi wajib membayar jizyah/ pajak kepada negara.
Jizyah dipungut dan Ahlul Dzimmah yang laki-laki, balig, dan mampu.Tidak dipungut dari anak-anak,
perempuan, dan yang tidak mampu. Jizyah dipungut berdasarkan kemampuan. Bahkan, bagi yang tidak
mampu, misalnya karena sudah tua atau cacat, bukan saja tidak wajib jizyah, tetapi ada kewajiban
negara (baitul mal) untuk membantu mereka.
Pada saat pengambilan jizyah, negara wajib melakukannya secara baik, tidak boleh disertai kekerasan
atau penyiksaan. Jizyah tidak boleh diambil dengan cara menjual alat-alat atau sarana penghidupan
Ahlul Dzimmah, misalnya alat-alat pertanian atau binatang ternak mereka.
c. Dibolehkan memakan sembelihan dan menikahi perempuan Ahlul Dzimmi jika mereka adalah orang-
orang Ahlul Kitab, yaitu orang Nashara atau Yahudi. Allah berfirman:
Makanan(sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab halal bagimu dan makanan (sembelihanmu)
kamu halal bagi mereka. Demikian pula perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-
perempuan yang menjaga kehormatan dari orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu. (QS Al
Maidah:5)
93
Akan tetapi, jika Ahlul Dzimmi bukan Ahlul Kitab, seperti orang Majusi, maka sembelihan mereka
haram bagi umat Islam. Perempuan mereka tidak boleh dinikahi oleh lelaki Muslim. Dalam surat Rasul
SAWyang ditujukan kepada kaum Majusi di Hajar, Beliau bersabda:Hanya saja sembelihan mereka
tidak boleh dimakan, perempuan mereka juga tidak boleh dinikahi.
Sementara itu, jika Muslimah menikahi laki-laki kafir, maka hukumnya haram, baik laki-laki itu Ahlul
Kitab atau bukan. Allah berfirman:
maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan
mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (QS Almumtahanah: 10).
Boleh dilakukan muamalah antara umat Islam dan ahlu dzimmi dalam berbagai bentuknya seperti jual-
beli, sewa-menyewa (ijarah), syirkah, rahn (gadai), dan sebagainya. Rasulullah pun telah melakukan
muamalah dengan kaum Yahudi di tanah Khaibar, kaum Yahudi itu mendapatkan separuh dari hasil
panen kurmanya. Tetapi ketika muamalah ini dilaksanakan, hanya hukum-hukum Islam semata yang
wajib diterapkan.
94
SKL FIKIH 14
MAZHAB DALAM FIKIH ISLAM
TADARUS
QS Al Maidah: 46-47
46. dan Kami iringkan jejak mereka (nabi Nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan kitab yang
sebelumnya, Yaitu: Taurat. dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk
dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, Yaitu kitab Taurat. dan menjadi
petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa. 47. dan hendaklah orang-orang pengikut Injil,
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.
Dari contoh di atas kita dapat mengetahui bahwa ahli hadis memahami nash-nash ini menurut apa
yang ditunjuk oleh ibarat-ibaratnya secara lahiri, dan mereka tidak membahas illat tasyri (sebab
disyariatkan). Sedangkan ahli rayi memahami nash-nash tersebut menurut maknanya dan maksud
disyariatkannya oleh Allah SWT.
Sebab-sebab terpenting yang membawa ikhtilaf dua pengaruh kelompok tersebut, adalah:
96
Realita yang dihadapi
Realita yang dihadapi ahli hadis
ahli rayi
Memiliki kekayaan atsar-atsar Tidak memiliki kekayaan atsar sehingga
(hadis dan fatwa sahabat) yang berpegangan atas akal mereka, berijtihad
dapat digunakan dalam untuk memahami maqulnya nash dan
membentuk hukum-hukum dan sebab-sebab pembentukan hukum. Dalam
dijadikan sandaran hal ini mereka mengikuti guru mereka
Abdullah ibn Masud ra.
Menghadapi realita masyarakat Menghadapi realita terjadinya fitnah yang
yang cenderung homogen tanpa membawa pada pemalsuan dan
terjadinya hal-hal yang pengubahan hadis-hadis. Karenanya
berpengaruh pada sumber- mereka sangat hati-hati dalam menerima
sumber tasyri. riwayat hadis, mereka menetapkan bahwa
hadis haruslah masyhur di kalangan
fuqaha.
Muamalat, aturan, dan tata tertib Kekuasaan Persia banyak meninggalkan
yang ada di Hijaz sangat aneka ragam bentuk muamalat dan adat
dipengaruhi oleh generasi- kebiasaan, serta aturan tata tertib, maka
generasi Islam terdahulu yang lapangan ijtihad menjadi demikian luas di
memang tinggal di daerah Irak. Para ulama biasa melakukan
tersebut. pembahasan dan menuangkan pemikiran.
c. Perbedaan dalam Prinsip Kebahasaan terhadap Pemahaman Nash.
Redaksi QS Al Baqarah: 228
wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
Dari redaksi ayat diatas, para fuqaha berbeda pendapat tentang kata quru. Kata quru adalah lafal
musytarak (mempunyai arti lebih dari satu) yang bisa berarti suci atau haid. Sebagian ulama Hijaz
berpendapat bahwa iddahnya wanita yang ditalak adalah 3 kali suci. Sedangkan ulama-ulama Irak
berpendapat bahwa iddah wanita yang ditalak adalah tiga kali haid.
4. Pengaruh pemikiran mazhab terhadap perkembangan hukum islam
Munculnya mazhab-mazhab fiqih Islam di mulai dengan tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah,
kebebasan berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu, memiliki ketertarikan sejarah yang
panjang dan tidak dapat di pisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Ulama pendiri mazhab fiqih berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-
pusat studi tentang fiqih yang diberi nama Al Mazhab. Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika
memilih salah satu pendapat dari ulamamazhab ketika menghadapi masalah hukum, sehingga pemerintah
merasa perlu menegakkan hukum Islam dalam pemerintahannya. Perbedaan pendapat di kalangan
muslim yang awam tentang masalah politik seperti pengangkatan khalifah-khalifah dari suku apa, ikut
memberi saham bagi munculnya berbagai mazhab hukum Islam.
Berkembangnya dua aliran ijtihad rasionalisme dan tradisionalisme telah melahirkan mazhab-
mazhab fiqih Islam yang mempunyai metodologi kajian hukum serta fatwa-fatwa fiqih tersendiri, dan
mempunyai pengikut dari berbagai lapisan masyarakat sehingga munculnya mazhab-mazhab fiqih Islam
turut mewarnai perkembangan hukum islam.
97
b. Mazhab Maliki (93-179 H).
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Malik bin Anas Al Asbahi, seorang tokoh kenamaan dan ulama
terkemuka di Darul Hijrah (Madinah). Dilahirkan pada 93 H. dan wafat pada 179 H. ia dibesarkan di
Madinah dan dinegeri itu pula ia belajar kepada Rabiah. Kemudian ia banyak mengunjungi para fuqaha
dari kalangan tabiin untuk belajar kepada mereka dan menerima hadits dari Az Zuhri, Nafi budak
yang dimerdekakan oleh Ibn Umar dan para perawi hadits lainnya. Segala perhatianya dicurahkan
unutk menuntut ilmu dan mengumpulkan hadits, sehingga akhirnya ia menjadi pemuka ahli fiqih
negeri Hijaz yang namanya terkenal diberbagai negeri.
Ketika Khalifah Al Mansur menunaikan ibadah haji, ia berkunjung kepada Malik dan memohon agar ia
menulis sebuah buku yang berisikan masalah-masalah ilmu, maka Malik pun memenuhi permohonan
tersebut dengan menyusun kitab Al Muwatta tentang hadits dan fikih. Ketika Khalifah Al Mahdi datang
ke Hijaz untuk berhaji, tak lupa ia pun mengikuti pengajian Malik dan memberikan hadiah sebanyak
5000 dinar. Kemudian Khalifah Harun Ar Rasyid dan anak-anaknya mengunjungi dan mendengarkan
pengajian Imam Malik, juga ia menganugrahkan berbagai hadiah cukup banyak.
Kitab AlMuwatta yang ditulis dan dibacakan oleh Malik, nampaknya sangat mengesankan danm
mengagumkan hati Khalifah Harun Ar Rasyid. Sehingga ia berusaha menggantungkannya di Kabah dan
menyuruh semua orang berpegang kepadanya. Namun hasrat tersebut ditolak oleh Malik, ia berkata :
Sesungguhnya para sahabat Rasul mempunyai pendapat yang berbeda-beda dalam masalah furu dan
kini mereka telah menyebar di berbagai negeri, dan semuanya adalah benar. Rasyid menjawab :
Semoga Allah memberikan taufik kepada engkau, Abdullah
Al Muwatta telah diriwayatkan dari Imam Malik oleh para ulama, juga Muhammad bin Idris Asy Syafii
dan Muhammad bin Al Hasan, salah seorang murid Abu Hanifah meriwayatkannya langsung dari Malik.
Diantara murid-murid utama Malik yang meriwayatkan Al Muwatta dan yang mempelajari fikih
kepadanya adalah Abdullah bin Wahb dan abdur Rahman bin Al Qasim, yang telah mendampinginya
selama dua puluh tahun. Mereka berdualah yang berjasa besar membukukan mazhab pemikiran fikih
Imam Malik, dibantu oleh murid-murid lainnya. Kemudian mereka menyeberkannya ke berbagai kota-
kota Islam. Penyebaran mazhab ini terus dilanjutkan oleh generasi berikutnya dengan giat. Sehingga
panji-panji mazhab tersebut berkibar megah dinegeri-negeri Mesir, Afrika, Spanyol dan Magribul Aqsa,
belahan dunia bagian barat dan di negeri Basrah, Bagdad dan negeri-negeri lain di belahan timur.
Selain Al Muwatta kitab yang terkenal dalam mazhab Maliki adalah Al Mudawwanah yang ditulis oleh
murid-murid beliau dan menjadi pegangan resmi pemerintahan Umawiyyah di Andalusia Spanyol.
Awal mulanya tersebar di daerah Madinah, kemudian tersebar sampai saat ini di Marokko, Aljazair,
Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait.
c. Mazhab Syafii (150-204 H).
Namanya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy Syafii dikenal dengan sebutan Imam Syafii.
dilahirkan di Guzat, Palestina, pada 150 H. dan wafat di Mesir pada 204 H. Ia belajar dan menghafal Al
Quran di Makkah dan disana pula ia mempelajari berbagai cabang ilmu, seperti Lugat, syair, adab,
hadis dan fikih. Ilmu-ilmu tersebut dikuasainya dengan baik dan sempurna, sehingga hal tersebut
membuat guru-gurunya kagum dan bangga kepada ketajaman hati dan ketajaman nalarnya. Di antara
para ulama yang kepadanya Syafii menimba ilmu, yang paling masyhur adalah Sufyan bin Uyainah dan
Muslim bin Khalid Az Zinji.
Ketika menjelang usia 20 tahun, ia hijrah ke Madinah. Sebelum itu ia telah mendengar popularitas
keilmuan Imam Malik.. hal inilah yang kemudian mendorong untuk kesana dalam rangka belajar fikih
kepadanya. Setelah itu, ia pergi menuju Irak, untuk mengunjungi dan mempelajari fikih kepada murid-
murid Imam Abu Hanifah. Lalu melanjutkan pengembaraanya ke negeri Persia, Irak Utara dan negeri-
negeri lain. Kemudia ia pulang kembali ke Madinah setelah merampungkan safari ilmiyahnya selama
dua tahun, sejak tahun 172 hingga 174 H. perjalanannya itu telah memberinya berbagai ilmu dan
pengetahuan mengenai pelbagai persoalan hidup dan watak manusia.
Mazhab Imam Syafii diterima oleh sejumlah besar ulama. Mereka mencatat segala karangannya dan
beramal sesuai dengan mazhab yang dibentuknya. Di antara murid-muridnya yang paling masyhur
adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam, Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al Muzani, Abu
Yaqub Yusuf bin Al Buwaiti dan Ar Rabi Al Jizi. Demikian juga, Asyhab dan abu Al Qasim (keduanya
murid-murid Imam Malik) mempelajari Fikih Mazhab Syafii dari Imam Syafii sendiri.
Mazhab Imam Syafii tersebar luas di Negara-negara Islam terutama dunia timur. Dari negeri timur ia
menerobos ke beberapa kerajaan dan kota lainnya dan kini mendominasi wilayah-wilayah Mesir, selain
Mesir atas, Palestina, Kurdistan dan Armenia. Mayoritas ahlusunah Persia (Iran), kaum muslimin pulau
Ceylon dan kepulauan Filipina adalah menganut Syafii . kaum muslimin di pulau jawa dan pulau-pulau
sekitarnya, juga muslimin India-Cina dan Australia serta penduduk dunia ketiga adalah penganut
Mazhab Syafii. demikian pula kaum Suni di Yaman, Aden dan Hadramaut bermazhab Syafii, kecuali
Aden yang terdapat juga disana penganut mazhab Hanafi. Selain itu, mazhab Syafii berlaku pula di
Irak, Hijaz dan Suria bersama mazhab-mazhab lain
d. Mazhab Hanbali 164-241 H.
Ia adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Hilal AsySyaibani. Dilahirkan di Bagdad
pada 164 H. dan wafat pada 241 H., menurut pendapat sahih.
Ahmad mulai menuntut ilmu semenjak kecil. Kemudian, dalam rangka menuntut ilmu itu, ia
mengembara ke negeri Suria, Hijaz dan Yaman. Ia mendengar (mempelajari hadits) dari Sufyan bin
Uyainah dan ulama lain yang segenerasi dengannya. Lalu berguru kepada Imam Syafii selama Imam
Syafii menetap di Bagdad. Asy Syafii pernah berkata tentang Ahmad, Saya keluar dari Bagdad dan
tidak saya tinggalkan di sana orang yang paling taqwa, paling zuhud, paling wara dan paling berilmu,
98
melebihi Ahmad bin Hanbal. Hadits-hadits Ahmad diriwayatkan oleh sejumlah besar ulama, termasuk
oleh beberapa orang gurunya. Bukhari dan Muslim juga termasuk orang yang meriwayatkan hadits dari
Ahmad.
Ahmad bin Hanbal telah menulis buku/kitab yang tidak sedikit jumlahnya. Dikatakan, buku-buku
karangannya itu mencapai 12 beban unta. Dikatakan pula bahwa ia meriwayatkan hadits sebanyak satu
juta hadits. Ahmad bin Hanbal mempunyai kitab al-Musnad Kabir, sebuah kitab masnad yang paling
tinggi mutunya serta paling baik susunan dan kritikan-kritiknya. Dalam kitab tersebut, ia hanya
memasukkan hadits-hadits yang dapat dijadikan hujjah, di samping ia pun melakukan kritik terhadap
lebih dari 750.000 hadits. Di bidang fatwa mengenai suatu hal yang tidak ada nasnya, ia senantiasa
memperhatikan dan berusaha keras untuk mendapatkanfatwa-fatwa yang telah diberikan para
sahabat. Sehingga, jika dalam suatu masalah terdapat dua pendapat sahabat, maka kedua pendapat
tersebut diriwayatkannya pula.
Selain itu Ahmad sangat tidak suka, bahkan enggan memberikan fatwa terhadap permasalahan yang
tidak terdapat nas atau pendapat ulama salaf mengenainya. Sikap kaku dan keras Imam Ahmad, bahwa
pada setiap peristiwa harus ada nas atau pendapat salaf dan keengganannya memberikan fatwa
terhadap masalah yang tiada nas atau pendapat salaf (asar) telah menghambat laju mazhabnya untuk
dapat tersebar luas di berbagai negeri sebagai mana mazhab-mazhab yang lain.
Usaha dan perhatian murid-murid Ahmad sepeninggalnya hanya terfokus pada sejumlah pendapat
dalam fatwa-fatwanya, tidak lebih dari itu. Berbeda dengan pengikut mazhab yang lain. Mereka telah
melakukan ijtihad dengan mengikuti pola dan kaidah mazhab imamnya setiap timbul peristiwa baru.
Bahkan sering kali mereka berbeda pendapat dengan imamnya, dalam masalah furu (cabang),
kendatipun ijtihad mereka berpedoman pada kaidah-kaidah usuliah yang digariskan imamnya. Oleh
karena itu, pengikut mazhab Hanbali di kawasan yang mazhabnya dapat dikembangkan tidak cukup
banyak. Sebaliknya, kawasan dimana terdapat cukup banyak pengikut Hanbali terlampau sempit. Ini
pun tersebar di kerajaan-kerajaan atau daerah-daerah yang di kawasan tersebut telah tersebar luas
mazhab-mazhab yang lain. Mazhab Hanbali ini pertama kali timbul di Bagdad, kemudian tersebar di
negeri-negeri yang lain.
2. Mazhab Fiqih Syiah
Istilah syia berasal dari bahasa Arab syii ( )bermakna pembela dan pengikut seseorang.
Sedangkan secara terminologi, syiah adalah golongan umat Islam yang menyatakan bahwa Sahabat Ali bin
Abi Thalib sangat utama di antara para shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk
kepemimipinan kaum Muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. Mazhabsyiah awalnya
bukan merupakan mazhab fiqih, tetapi sebagai aliran politik. Dalam politik mereka berpendapat bahwa
yang berhak menjadi khalifah setelah Nabi Muhammad SAW wafat adalahAli bin Abi Thalib bukan Abu
Bakar, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan.
Selain pendapat di atas, mereka berargumen juga bahwa pengangkatan khalifah (kepala
pemerintah/pemimpin) termasuk rukun Islam, oleh sebab itu wajib hukumnya bagi umat Islam untuk
melaksanakannya. Belum sempurna islam seseorang kalau belum melaksanakan itu. Oleh karena itu,
golongan Syiah selain menjadi mazhab politik juga mazhab fiqih. Sebagai mazhab fiqih memiliki berbagai
pendiri mazhab juga sebagaimana dalam Mazhabsunni.
a. Mazhab Zahidiyah
Mazhab ini dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin (w. 122 H./740 M.) adalah seorang mufasir,
muhaddis, dan faqih di zaman-nya. Ia banyak menyusun buku dalam berbagai bidang ilmu. Dalam
bidang fiqih ia menyusun kitab Al Majmu yang menjadi rujukan utama fiqih zaidiyah. Imam Zaid di
zamannya dikenal sebagai seorang faqih yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah, sehingga
tidak mengherankan apabila Imam Zaid menulis sebuah kitab fiqih. KitabAl Majmu kemudian disyarah
oleh Syarifuddin Al Husein bin Haimi Al Yamani Ash Shanani (w.1221 H.) dengan judul ArRaud An
Nadir Syarh Majmu, AlFiqih-ul Kabir.
Para pengembang mazhabZaidiyah yang populer diantaranya adalah Imam Al Hadi Yahya bin Husein
bin Qasim (w. 298 H).Pada dasarnya fiqih mazhabZaidiyah tidak banyak berbeda dengan fiqih
ahlussunnah. Perbedaan yang bisa dilacak antara lain: ketika berwudu tidak perlu menyapu telinga,
haram memakan makanan yang disembelih non-muslim, dan haram mengawini wanita Ahlul Kitab.
Disamping itu, mereka tidak sependapat dengan syiah Imamiyah yang menghalalkan nikah mutah.
Menurut Muhammad Yusuf Musa, pemikiran fiqih mazhab Zaidiyah lebih dekat dengan pemikiran fiqih
ahlu rayi
b. Mazhab Imamiyah
Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendiri sebenarnya fiqih syiah adalah Abu Jafar Muhammad bin
Hasan bin Farwaij As Saffar Al Araj Al Qummi (w. 290 H.). Dasar pemikiran fiqih syiah Imamiyah dapat
dilihat dalam karyanyaBasyair Ad Darajat fi Ulum Ali Muhammad wa ma Khassahum Allah bihi. Setelah
itu mazhabsyiah Imamiyah disebarluaskan dan dikembangkan oleh Muhammad bin Yaqub bin Ishaq Al
Kulaini (w. 328 H.) melalui kitabnya, AlKafi fi ilm Ad Din.
Menurut Muhammad Yusuf Musa, fiqih syiah Imamiyah lebih dekat dengan fiqih mazhab Imam Syafi i
dengan beberapa perbedaan yang mendasar.Dalam berijtihad, apabila mereka tidak menemukan
hukum suatu kasus dalam Al Quran, mereka merujuk pada sunnah yang diriwayatkan para imam
mereka sendiri. Menurut mereka, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Mazhab Syiah Imamiyah tidak
menerima qiyas sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara. Alasannya, qiyas merupakan
ijtihad dengan menggunakan rasio semata. Hal ini dapat dipahami, karena penentu hukum di kalangan
mereka adalah imam, yang menurut keyakinan mereka terhindar dari kesalahan (maksum). Atas dasar
99
keyakinan tersebut, mereka juga menolak ijma sebagai salah satu cara menetapkan hukum syara,
kecuali ijma bersama imam mereka.
Kitab fiqih pertama yang disusun oleh imam mereka, Musa Al Kazim (128-183 H), diberi judul AlHalal
wa Al Haram. Kemudian disusul oleh Fiqih ArRidha yang disusun oleh Ali Ar Ridla (w. 203 H/
818M).Syiah Imamiyah sekarang banyak dianut oleh masyarakat Iran dan Irak. Mazhab ini merupakan
mazhab resmi pemerintah Republik Islam Iran sekarang.
Perbedaan mendasar fiqih Syiah Imamiyah dengan jumhur Ahlussunnah antara lain:
1) Syiah Imamiyah menghalalkan nikah mutah yang diharamkan ahlus sunnah.
2) Syiah Imamiyah mewajibkan kehadiran saksi dalam talak, yang menurut pandangan ahlus sunnah
tidak perlu.
3) Syiah Imamiyah, termasuk syiah Zaidiyah, mengharamkan lelaki muslim menikah dengan wanita
Ahl-ul Kitab.
3. Mazhab Fiqih yang Terlupakan
a. Mazhab AtsTsauri
Tokoh pemikirnya adalah Sufyan Ats Tsauri (w. 161 H./778 M.). Ia hidup sezaman dengan Imam Abu
Hanifah dan termasuk salah seorang mujtahid ketika itu. Akan tetapi, pengikut Ats Tsauri tidaklah
banyak. Mazhab ini pun tidak lagi dianut masyarakat sejak wafatnya penerus mazhabAts Tsauri yaitu
Abu Bakar Abdul Gaffar bin Abdurrahman Ad Dinawari pada tahun 406 H. Ia adalah seorang mufti
dalam mazhabAts Tsauri di Masjid Al Mansur di Baghdad.
b. Mazhab Al Awzai
Tokoh pemikirnya adalah Abdurrahman Al Auzai (88-157 H.). Ia adalah seorang ulama fiqih terkemuka
di Syam (Suriah) yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah. Beliau dikenal sebagai salah seorang
ulama besar Damaskus yang menolak qiyas. MazhabAl Auzai pernah dianut oleh masyarakat Suriah
sampai Mazhab Syafii menggantikannya. Mazhab ini juga dianut masyarakat Andalusia, Spanyol,
sebelum Mazhab Maliki berkembang di sana. Pemikiran MazhabAl Auzai saat ini hanya ditemukan
dalam beberapa literatur fiqih. Pemikiran Al Auzai dapat dilihat dalam kitab fiqih yang disusun oleh
Abu Jafar Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (w. 310 H./923 M, mufasir dan faqih) yang
berjudul Ikhtilaf Al Fuqaha. Mazhab Al Auzai tidak dianut lagi oleh masyarakat sejak awal abad kedua
Hijriyah.
c. Mazhab Az Zahiri
Tokoh pemikirnya adalah Daud Az Zahiri yang dijuluki Abu Sulaiman. Pemikiran mazhab ini dapat
ditemui sampai sekarang melalui karya ilmiah Ibnu Hazm, yaitu kitab Al Ahkam fi Usul Ahkam di bidang
usul fiqih dan Al Muhalla di bidang fiqih.
Sesuai dengan namanya, prinsip dasar mazhab ini adalah memahami nash secara literal. Apabila suatu
masalah tidak dijumpai hukumnya dalam nash, maka mereka berpedoman pada ijma. Ijma yang
mereka terima adalah ijma seluruh ulama mujtahid pada suatu masa tertentu, sesuai dengan
pengertian ijma yang dikemukakan ulama usul fiqih dan menolak qiyas, istihsan, maslahah mursalah
dan metode istimbat lainnya yang didasarkan pada rayu.
Sekalipun para tokoh MazhabAz Zahiri banyak menulis buku di bidang fiqih, mazhab ini tidak
berkembang karena pengikut fanatiknya tidak banyak. Akan tetapi, dalam literatur-literatur fiqih,
pendapat mazhab ini sering dinukilkan ulama fiqih sebagai perbandingan antar mazhab. Mazhab ini
pernah dianut oleh sebagian masyarakat Andalusia, Spanyol.
100
a) Mengambil jalan tengah antara pemikiran fiqih Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Dalam
menentukan hujjah, dasar pijakan adalah Al Qurandan Hadis dengan analisa aqliah.
b) Dasar mazhabnya: Al Quran, sunnah, ijma dan qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat
karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah.
c) Tidak mengambil istihsan sebagai dasar mazhabnya, menolak maslahah mursalah dan perbuatan
penduduk Madinah. Imam Syafii mengatakan,barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah
menciptakan syariat.
4. Karakteristik Mazhab Hanbali
a) Dasar mazhab Ahmad adalah Al Quran, sunnah, fatwah sahahabat, ijma, qiyas, istishab, maslahah
mursalah, saddudzarai.
b) Mazhab ini muncul sebagai reaksi yang wajar terhadap sikap-sikap keterlaluan sebagian aliran islam
seperti Syiah, Khawarij, Mutazilah, Jahmiyah dan Murjiah.Mutazilah misalnya, berpendapat bahwa Al
Quranadalah makhluk (mihnah).
c) Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa ijtihad itu sendiri harus dilawan dengan berpegangteguh pada
Al Qurandan sunnah.
101
padahal imam itu membaca? Janganlah kamu mengerjakannya, hendaklah seseorang membaca Al
Fatihah pada dirinya (dengan suara rendah yang hanya didengar sendiri)
Mengenai bacaan Al Fatihahbagi makmum dalam shalat berjamaah. Sebagaimana diterangkan oleh Ibn
Rusyd dalam Bidaya-tul Mujtahid, bahwa ulama telah sepakat, di mana Imam Malik tidak menanggung
makmum mengenai fardu shalat, kecuali bacaan Al Fatihah. Mengenai bacaan Al Fatihah bagi makmum
para ulama telah berbeda pendapat. Imam Malik berpendapat bahwa makmum dalam
shalat sirri membaca Al Fatihah bersama-sama imam, dan tidak membacanya dalam shalat jahar. Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa bacaan Al Fatihah gugur pada pihak makmum, baik pada
shalat sirri maupun pada shalat jahar. Sedangkan Imam Syafii berpendapat bahwa makmum wajib
membaca Al Fatihah saja dalah shalat jahriyah, dan membaca Al Fatihah beserta surat apabila
shalat sirriyah. Imam Ahmad ibn Hanbal mewajibkan membaca Al Fatihahwaktu tidak terdengarnya
bacaan imam, baik karena bacaannya sirr atau karena jauhnya, dan melarang membacanya waktu
didengarnya bacaan imam.
3. Puasa bagi Orang Hamil dan Menyusui
: .
: .( )
.( )
. :
Menurut Hadis Anas ibn Malik al-Kabiyyi bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Sungguh Tuhan Allah Yang
Maha Besar dan Mulia telah membebaskan puasa dan separoh shalat bagi orang yang bepergian, serta
membebaskan puasa dari orang hamil dan menyusui (HR al-Khamsah). Dan Ibn Abbas berkata kepada
jariyahnya yang hamil: Engkau termasuk orang yang keberatan berpuasa, maka engkau hanya wajib
berfidyah dan tidak usah mengganti puasa (HR. al-Bazzar ditashihkan oleh al-Daruquthni). Dan
diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibn Abbas, bahwa ia berkata: Ditetapkan bagi orang yang
mengandung dan menyusui untuk berbuka dan sebagai gantinya memberi makan kepada orang miskin
setiap harinya
Masalah apakah orang hamil dan menyusui yang meninggalkan puasanya wajib qadha atau fidyah saja,
juga masalah baru dalam masalah khilafiyah. Dalam masalah ini terdapat perbedaan mazhab. Menurut
Abu Hanifah dan para sahabatnya, bahwa orang hamil dan menyusui wajib mengqada saja, dan tidak perlu
membayar fidyah. Menurut Imam Syafii, bahwa orang hamil dan menyusui itu keduanya harus mengqada
dan juga membayar fidyah.
102
SKL FIKIH 15
PERSOALAN PENGEMBANGAN
HUKUM ISLAM
TADARUS
QS Ali Imran: 190-191
190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-
tanda bagi orang-orang yang berakal, 191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari
siksa neraka.
A. Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad
a. Menurut Bahasa
Menurut bahasa, ijtihad (Arab ; )berartikemampuan, potensi, dan kapasitas. Juga dapat berarti
mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban. Secara kebahasaan ijtihad dapat diartikan
sebagai mengeluarkan segala kemampuan dalam menggapai sesuatu.
b. Menurut Istilah
Menurut Al Amidi ijtihad adalah :
Pengerahan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang zhoni dari hukum-hukum syara.
Menurut Abu Zahrah ijtihad adalah :
Upaya seseorang ahli fiqih dengan kemamapuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amalaiah
yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
Adapun pengertian ijtihad menurut istilah hukum Islam ialah mencurahkan tenaga (memeras fikiran)
untuk menemukan hukum agamamelalui salah satu dalil syara dengan cara-cara tertentu.
2. Dasar-dasar Ijtihad
a. Al Quran
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An Nisa: 59)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir. (QS Ar Rum: 21)
103
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu
tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan
jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-
tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. (QS Az Zumar: 42)
b. Hadis
"Dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya Rasulullah SAW., ketika mengutusnya ke Yaman Bersabda:
"bagaimana kamu menetapkan hukum jika diajukan kepadamu sesuatu yang harus diputuskan, Muadz
menjawab saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah, Rasulullah berkata:"jika kamu tidak
menemukan dalam kitab Allah ? Muadz menjawab: "saya akan memutus berdasarkan sunnah
Rasulullah. Rasululloh berkata: "jika kamu tidak menemukan dalam sunnah Rasulullah, Muadz
menjawab saya akan berijtihad dengan pendapatku dan dengan seluruh kemampuanku. Maka
Rasulullah merasa lega dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan
Rasulullah (Muadz) dalam hal yang diridhai oleh Rasulullah. (HR Abu Dawud).
Apabila seorang hakim memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya itu benar,
maka baginya mendapat dua pahala. Dan apabila ia memutuskan suatu perkara, lalu ia berijtihad
kemudian ternyata ijtihadnya keliru, maka ia mendapat satu pahala. (HR. Bukhari dan Muslim).
3. Obyek Ijtihad
Objek ijtihad adalah hukum syara yang bersifat amaliyah yang tidak ditemukan hukum/nash qath'i (Al
Quran dan hadis) di dalamnya. Terlepas masalah itu bersifat ubudiyah dan furuiyyah selagi tidak adanya
hukum/nash qath'i dilalah (yang benar-benar menunjukkan pada status dalam syara) maka itu adalah
obyek seorang mujtahid dengan berbagai penguasaan disiplin ilmu guna menghasilkan produk ijtihad
yang diharapkan benar sesuai dengan Syariat.
4. Syarat-syarat Ijtihad
Syarat-syarat mujtahid menurut Abu Zahrah sebagai berikut:
a. Mengetahui makna ayat-ayat hukum yang terdapat didalam Al Quran baik secara bahasa maupun
secara istilah.
b. Mengetahui makna hadis-hadis hukum secara bahasa maupun istilah.
c. Mengetahui nasikh-mansukh baik dari Al Quran maupun sunnah.
d. Mengetahui ijma sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijma terdahulu.
e. Mengetahui qiyas dan syarat-syarat yang disepakati karena qiyas merupakan salah satu metode ijtihad,
rincian hukum banyak dijelaskan dengan cara tersebut.
f. Mengetahui ilmu bahasa Arab, seperti nahwu, sharaf, maani, dan bayan, karena Al Quran dan sunnah
disusun dalam bahasa Arab.
g. Mengetahui ilmu ushul fiqh karena didalamnya dibahas dasar-dasar dan rukun-rukun ijtihad.
h. Mengetahui rahasia-rahasia hukum dari makna-makna lafal.
5. Tingkatan Mujtahid
a.Mujtahid mutlaq atau mujtahid mustaqil yaitu mujtahid yang mempunyai pengetahuan lengkap untuk
beristinbath dengan Al Qurandan hadis dengan menggunakan kaidah mereka sendiri dan diakui
kekuatannya oleh tokoh agama yang lain. Para mujtahid ini yang paling terkenal adalah imam madzhab
empat.
b.Mujtahid muntasib yaitu mujtahid yang terkait oleh imamnya seperti keterkaitan murid dan guru mereka
adalah imam Abu Yusuf, Zarf bin Huzail yang merupakan murid imam Abu Hanifah.
c. Mujtahid fil madzhab yaitu para ahli yang mengikuti para imamnya baik dalam usul maupun dalam furu'
misalnya imam Al Muzani adalah mujtahid dari madzhab Syafii
d.Mujtahid tarjih yaitu mujtahid yang mampu menilai memilih pendapat sebagian imam untuk
menentukan mana yang lebih kuat dalilnya atau mana yang sesuai dengan situasi kondisi yang ada
tanpa menyimpang dari hukum/nash-hukum/nash qot'i dan tujuan syariat, misalnya Abu Ishaq Al
syirazi, imam Ghazali.
104
6. Macam-macam Ijtihad
a. Ijma
Ijma menurut bahasa arab berarti kesepakatan atau sependapat dengan suatu hal, menurut istilah
ijma adalah kesepakatan mujtahid tentang hukum syara dari suatu peristiwa setelah Rasul wafat.
Sebagai contoh adalah setelah Rasulullah SAW meninggal diperlukan pengangkatan pengganti beliau
yang disebut dengan khalifah. maka kaum muslimin pada waktu itu sepakat mengangkat Abu Bakar
sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada mulanya ada yang tidak setuju dengan pengangkatan beliau,
namun pada akhirnya semua kaum muslimin menyetujuinya.
b. Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan,membandingkan atau mengukur seperti menyamakan si A
dengan si B karena keduanya memiliki tinggi yang sama, wajah yang sama dan berat yang sama. Secara
istilah qias adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar
hukum/nashnya dengan cara membandingkan dengan suatu kejadian yang telah ditetapakan
hukumnya berdasarkan hukum/ nash karena ada persamaan illat/ sifat diantara kejadian atau
peristiwa itu. Contoh narkotika di Qiaskan dengan meminum khamar karena persamaan illat yakni
memabukkan.
c. Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik, menurut istilah istihsan
adalah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan
berdasarkan dalil syara menuju hukum lain dari peristiwa itu juga. karena ada suatu dalil syara yang
mengharuskan untuk meninggalkanya.
Contoh: Syara melarang jual beli benda yang ada atau mengadakan akad pada sesuatu yang tidak ada.
Namun ia memberi kemurahan secara istihsan pada pemesanan, sewa menyewa, muzaraah,
mukhobaroh dan lain-lain. Semuanya itu adalah akad sedangkan sesuatu yang diakadkan tidak ada
pada waktu akad berlangsung. Segi istihsanya adalah kebutuhan manusia dan kebiasaan mereka.
d. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan dimana syara tidak mensyariatkan sutau hukum untuk
merealisir kemaslahatan itu dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuanya atau
pembatalanya.
Contoh kemaslahatan yang karenanya para sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, pencetakan
mata uang, penetapan tanah pertanian, memungutan pajak dan lain-lain.
e. Urf
Urf menurut bahasa adalah kebiasaan sedangkan menurut istilah sesuatu yang telah dikenal orang
banyak dan menjadi tradisi mereka dan tentunya tradisi disini adalah kebiasaan yang tidak dilarang.
Contoh : saling pengertian manusia terhadap jual beli dengan cara saling memberikan tanpa adanya
ucapan/shighat tertentu, halal bi halal dan sebagainya.
f. Istishab
Istishab menurut bahasa adalah pengakuan adanya perhubungan. secara istilah adalah menetapkan
hukum terhadap sesuatu berdasar keadaan sebelumnya sehingga ada dalil yang menyebutkan atas
perubahan keadaan tersebut.
Contoh : Apabila seorang mujtahid ditanyai tentang hukum sebuah perjanjian dan ia tidak menemukan
jawaban di hukum/nash dan tidak pula menemukan dalil syara yang membicarakan hukumnya maka ia
memutuskan dengan kebolehan perjanjian tersebut berdasar kaidah : inna al ashla fi syaiin al ibahah.
7. Fungsi Ijtihad
Sebagai salah satu alat penentu hukum segala persoalan baru karena adanya perubahan yang terus
bergulir, sebagai sumber modernisasi hukum dalam Islam sebagai perwujudan Islam Rahmatan lil 'alamin,
sebagai salah satu sistem berfikir ilmiah yang Islami, sebagai salah satu penopang budi daya kreativitas
manusia.
Seperti itulah fungsi ijtihad sebagai salah satu alat penggerak, sebab tanpa ijtihad sumber hukum Islam
akan menjadi stagnan dan statis. Maka dengan menempatkan ijtihad pada posisi yang sebenarnya, hukum
Islam akan tetap memancarkan sinar kemanfaatannya yang tak akan bisa ditemui pada aturan hukum
keagamaan lainnya.
8. Tujuan Ijtihad
a. Agar dalam mengembangkan operasionalisasi ajaran Islam sesuai dengan dasar asasinya. Khususnya
hal-hal yang berkaitan dengan hukum yang belum ditemukan secara pasti dari dzahir ayat Al Quran
atau hadis Nabi Muhammad SAW.
b. Agar dapat mengistinbathkan hukum-hukum secara baik dan benar sesuai dengan yang dikehendaki
oleh Syarii itu sendiri.
105
c. Agar hukum-hukum hasil istinbath itu tidak bersifat statis sehingga hasilnya selalu aktual dan dapat
diamalkan sesuai dengan perkembangan zaman yang selalu menuntutnya.
9. Perkembangan Ijtihad
Ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak awal Islam, yaitu pada masa shahabat dan perkembangnannya
bertambah pesat pada masa tabiin serta generasi selanjutnya hingga kini. Dalam perjalanan yang panjang
tersebut, tentu perkembangannya mengalami pasang-surut dengan ciri khas masing-masing pada setiap
periode.
a. Ijtihad pada Periode Sahabat
Ijtihad pada periode klasik ini dimulai pada akhir periode sahabat (101 H) dan awal dari periode
tabiin dan tabiit tabiin (abad 11 H - pertengahan abad IV H). Mayoritas ulama berpendapat bahwa
para shahabat telah melakukan ijtihad pada waktu Rasulullah hidup. Walaupun, nantinya ijtihad
sahabat tersebut harus mendapatkan legitimasi dari Rasulullah.
Seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khattab dan Ammar ketika berhadas besar dalam suatu
perjalanan. Keduanya tidak menemukan air, sementara waktu shalat sudah tiba. Lalu, Ammar
melumuri badannya dengan tanah sebagai ganti air untuk menghilangkan hadas besar. Adapun Umar
bin Khatab ia menunda shalatnya sampai ia memperoleh air karena menurutnya tayamum hanya
digunakan untuk menghilangkan hadas kecil.
Ketika kedua shahabat ini melaporkan apa yang telah mereka lakukan, Rasulullah mengatakan bahwa
kedua pendapat itu adalah keliru. Pendapat Ammar bertentangan dengan cara penggunaan tanah
(tayamum) yang disebutkan dalam QS Al Maidah: 6.
.Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali
dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah
itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Rasulullah menjelaskan kepada Umar bin Khattab bahwa tayamum tidak hanya digunakan untuk
menghilangkan hadas kecil, tetapi juga dapat digunakan untuk menghilangkan hadas besar, sesuai
dengan ayat di atas.
b. Ijtihad pada periode tabiin dan tabiit tabiin (imam-imam madzhab)
Periode ini terjadi kurang lebih pada abad II H hingga pertengahan abad IV H. Setelah berakhir masa
shahabat, muncul masa tabiin. Generasi tabiin ini terdiri atas murid-murid para shahabat. Mereka
mendasarkan pendapat mereka kepada pendapat para sahabat. Secara garis besar, para tabiin
melakukan ijtihad dengan dua cara:
1) Mengikuti sahabat tertentu
Mereka mengutamakan pendapat seorang sahabat dari pendapat shahabat yang lain, bahkan
kadang mengutamakan pendapat seorang tabiin dari pendapat seorang sahabat. Hal itu jika
pendapat yang diutamakannya itu menurut ijtihadnya lebih dekat dengan Al Quran dan sunnah.
2) Mereka sendiri berijtihad.
Menurut Ahmad Hasan bahwa pembentukan hukum Islam sesungguhnya secara professional
dimulai pada periode tabiin ini.
Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin meningkat. Para sejarawan bahkan
menyebutnya dengan periode ijtihad dan masa keemasan fikih Islam. Setiap kota memiliki mujtahid
yang menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah yang
bersangkutan. Di Mekkah muncul tokoh seperti Atha ibnu Abi Rabah, di Madinah muncul Said bin
Musayyab, Urwah bin Zubair, di Bashrah muncul Muslim bin Yasar, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain.
Pada periode ini ulama dalam menetapkan hukum terbagi dalam dua golongan:
1) Ahlul Hadis
Golongan ini berkembang di Hijaz. Dalam menetapkan hukum golongan ini pertama-tama sangat
terikat kepada teks-teks Al Quran dan sunnah. Jika dalam menetapkan suatu masalah tidak
terdapat dalil dalam keduanya, mereka berpaling kepada praktik dan pendapat shahabat. Mereka
menggunakan rayu hanya dalam keadaaan sangat terpaksa. Namun jika tidak didapatkan dalil dari
ketiganya, mereka sepakat untuk menggunakan ijtihad dengan metode dan proporsi yang berbeda.
106
Tokoh-tokoh golongan ini yang terkenal ialah Said bin Musayyab kemudian diikuti oleh Al Zuhry, Al
Tausry, Imam Malik, Imam Syafii, Ahmad bin Hambal, dan Dawud Al Zhawahiry.
2) Ahlul Rayi
Golongan ini berkembang di Kufah (Irak). Dalam menetapkan hukum, madzhab ini berlandaskan
pada beberapa asumsi dasar, antara lain:
a) Hukum/nash-hukum/nash syariah sifatnya terbatas, sedangkan peristiwa-peristiwa hukum
selalu baru dan senantiasa berkembang. Oleh karena itu, terhadap peristiwa-peristiwa yang
tidak ada hukum/nashnya, ijtihad didasarkan kepada rayu, sebagaimana ucapan Muadz bin
Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman.
b) Setiap hukum syara dikaitkan dengan illat tertentu dan ditujukan untuk tujuan tertentu. Tugas
utama seorang faqih ialah menemukan illat ini. Oleh karena itu, ijtihad merupakan upaya
menghubungkan suatu kasus dengan kasus lain karena illlatnya, atau membatalkan berlakunya
satu hukum karena diduga tidak ada illatnya.
Dalam periode ini pula tampil tokoh-tokoh mujtahid yang paling berpengaruh dalam
perkembangan fikih selanjutnya. Mereka yang dikenal sebagai pendiri dan imam-imam madzhab
ialah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafii, dan Imam Ahmad. Keempat tokoh
tersebut dikenal dengan sebutan Aimmah Al Arbaah (para imam yang empat).
3) Ijtihad pada generasi setelah para Imam Madzhab
Periode ini terjadi pada pertengahan abad IV H- akhir abad XIII H. Pada periode ini ijtihad mengalami
kemunduran, bahkan bisa dikatakan menjadi beku. Dalam memecahkan masalah-masalah
ijtihadiyah, umumnya para mujtahid enggan mengistinbath hukum dengan secara langsung merujuk
kepada Al Quran dan sunnah melalui metode ijtihad seperti yang dilakukan oleh mujtahid
pendahulu mereka. Mereka lebih cenderung untuk mencari dan menerapkan produk-produk ijtihad
para mujtahid sebelumnya.
B. Taarudl Al Adillah
1. Pengertian Taarudl Al Adillah
a. Pengertian Bahasa
Taarrud al adilah ditinjau dari aspek etimologi, tarud ( ) berarti pertentangan dan adillah ( )
adalah jama dari dalil ( ) yang berarti alasan, argumen,dan dalil. Persoalan tarud aladillah
dibahas para ulama dalam ilmu ushul fiqh,ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu
dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama.
b. Pengertian Istilah
1) Menurut Imam SyaukaniTaarrud al adilahadalah suatu dalil yang menentukan hukum tertentu
terhadap satu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum
tersebut.
2) Menurut Kamal ibnu Humam (790-861 H/1387-1456 M) dan Al Taftahzani (w. 792 H), keduanya
ahli fiqih Hanafi, Taarrud al adilah adalah pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan
pengompromian antara keduanya.
3) Menurut Ali Hasaballah (ahli ushul fiqih kontemporer dari Mesir) Taarrud al adilah adalah
terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil
lainnya,yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.
4) Menurut Wahbah Az Zuhaili, Taarrud al adilah adalah pertentangan antara kedua dalil atau hukum
itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan pemahaman, analisis dan
kekuatan logikanya bukan pertentangan actual,karena tidak mungkin terjadi bila Allah dan Rasul
Nya menurunkan aturan-aturan yang saling bertentangan.
Oleh sebab itu,menurut Imam Al Syatibi, pertentangan itu bersifat semu, bisa terjadi dalam dalil yang
qathi (pasti benar) dan dalil yang dhanni (relative benar) selama kedua dalil itu satu derajat. Apabila
pertentangan itu antara kualitas dalil yang berbeda,seperti pertentangan dalil yang qathi dengan dalil
yang zhanni,maka yang diambil adalah dalil yang qathi atau apabila yang bertentangan itu adalah ayat
Al Quran dengan hadis Ahad (hadis yang diriwayatkan oleh satu,dua atau tiga orang atau lebih yang
tidak sampai tingkat mutawatir) maka dalil yang diambil adalah Al Quran karena dari segi
periwayatannya ayat-ayat Al Quran bersifat qathi, sedangkan Hadis Ahad bersifat dzhany.
2. Metode Penyelesaian Taarudl Al Adillah
a. Al Jamu wa Al Taufiq
Al Jamu wa Al Taufiq yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian
mengompromikannya. Hasil kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya, karena kaidah fiqih
mengatakan: mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang
lain.
107
Menurut ulama Syafiiyah, Malikiyah dan Zhahiriyah menyatakan bahwa metode pertama yang harus
ditempuh adalah mengumpulkan dan mengompromikan kedua dalil tersebut sekalipun dari satu sisi
saja. Alasan mereka adalah kaidah fiqih yang dikemukakan oleh Hanafiyah yakni mengamalkan kedua
dalil itu lebih baik daripada meninggalkan salah satu di antaranya.Mengamalkan kedua dalil sekalipun
dari satu segi menurut mereka dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1) Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bisa dibagi, maka lakukan cara pembagian yang
sebaik-baiknya. Apabila dua orang saling menyatakan bahwa rumah A adalah miliknya, maka kedua
pernyataan itu jelas bertentangan dan sulit diselesaikan, karena pemilikan terhadap sesuatu
bersifat menyeluruh. Akan tetapi,bila barang yang dipersengketakan adalah barang yang bisa
dibagi, maka penyelesaiannya adalah dengan membagi dua rumah tersebut.
2) Apabila hukum yang bertentangan itu sesuatu yang terbilang, seperti sabda Nabi yang menyatakan:
( )
Tidak dinamakan shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid.
Dalam hadis ini ada kata yang dalam ushul fiqh mempunyai pengertian banyak yaitu bisa
berarti tidak sah juga bisa berarti tidak sempurna, dan juga bisa berarti tidak utama.Oleh sebab itu
mujtahid boleh memilih salah satu pengertian mana saja asalkan didukung oleh dalil lain.
3) Apabila hukum tersebut bersifat umum dan mengandung beberapa hukum, seperti kasus iddah
bagi wanita hamil atau kasus persaksian. QS Al Baqarah: 234 bersifat umum dan QS At Thalaq: 4
bersifat khusus,maka dari satu sisi iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan
kandungan surat At Thalaq ayat 4.
b. Tarjih
Tarjih adalah menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni untuk dapat diamalkan. Dua dalil yang
bertentangan dan akan ditarjih salah satunya itu adalah sama-sama qathi atau dzhanni.
Tarjih dilakukan dengan pengompromian kedua dalil itu tidak bisa dilakukan, maka mujtahid boleh
menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya. Tata cara tarjih yang dikemukakan
para ahli ushul fiqh bisa ditempuh dengan berbagai cara, umpamanya dengan menarjih yang
perawinya sedikit, bisa juga melalui penarjihan sanad, bisa melalui penarjihan dari sisi matan (lafal
hadis) atau ditarjih berdasarkan indikasi lain diluar hukum/nash.
c. Nasakh
Membatalkan suatu hukum dengan dalil yang akan datang kemudian. Adapun yang dibatalkan disebut
mansukh, sedang yang membatalkan disebut nasikh. Baik menurut akal maupun riwayat, nasakh dapat
terjadi. Pendapat ini sudah disepakati ulama ushul kecuali nasakh terhadap hukum/nash-hukum/nash
(ayat) Al Quran.
Apabila dengan cara tarjih,kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan,maka cara ketiga yang ditempuh
adalah dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandunng kedua dalil tersebut dengan syarat
harus diketahui mana dalil yang pertama kali datang dan mana yang datang kemudian. Dalil yang
datang kemudian inilah yang diambil dan diamalkan,seperti sabda Rasulullah SAW: Dahulu saya
melarang kamu untuk menziarahi kubur,tetapi sekarang ziarahilah.
Dalam hadis ini mudah sekali dilacak mana hukum yang pertama dan mana yang terakhir. Hukum
pertama adalah tidak boleh menziarahi kubur,hukum yang kedua adalah diperbolehkan menziarahi
kubur,karena tidak ada lagi illat larangan dari Nabi SAW.
d. Tasaqut Al Dalilain
Tasaqut Al Dalilain yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan tersebut, dalam arti ia merujuk
dalil yang tingkatannya dibawah derajat dalil yang bertentangan tersebut.
Apabila cara yang ketiga yaitu nasakh pun tidak bisa ditempuh,maka mujtahid boleh meninggalkan
kedua dalil itu dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang
bertentangan.
Contoh dalil yang berlawanan, orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri (hendaklah para
istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. (QS Al Baqarah:234)
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa setiap wanita yang ditinggalkan suaminya, iddahnya 4 bulan 10
hari, baik wanita itu hamil ataupun tidak hamil.Namun kalau dilihat dalam firman Allah pada lain:
108
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. (QS At Thalaq: 4)
Ayat ini memberikan petunjuk setiap perempuan yang hamil yang suaminya meninggal atau diceraikan
suaminya, sedangkan mereka dalam keadaan hamil maka iddahnya sampai melahirkan. Kalau dilihat
sepintas, dalam ayat pertama diterangkan bahwa iddah perempuan yang hamil yang ditinggalkan
suaminya meninggal adalah 4 bulan 10 hari dan menurut ayat yang kedua iddahnya sampai
melahirkan, maka nampak kedua hukum/nash ini berlawanan kalau diterangkan pada kasus yang
sama,inilah yang dinamakan taarud.
e. Tawaquf
Tawaquf artinya membiarkan menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil menunggu
kemungkinan adanya penguat atau petunjuk lain yang memperkuat dalil tersebut.
C. Tarjih
1. Pengertian
Tarjih menurut bahasa berarti membuat sesuatu cenderung atau mengalahkan.
Dalam pengertian istilah ada beberapa pendapat diantaranya :
a. Menurut ulama ushul fiqh
Tarjih adalah memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama
(sederajat) dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.
b. Menurut Al Baidawi, ahli ushul fiqih dari kalangan Syafiiyah
Tarjih adalah menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni untuk dapat diamalkan, dimana dua dalil
yang bertentangan dan akan ditarjih salah satunya itu adalah sama-sama zhanni.
c. Menurut ulama dikalangan madzhab Hanafiah
Tarjih adalah upaya mencari keunggulan salah satu dari dua dalil yang sama atas yang lain, dimana dua
dalil yang bertentangan yang akan di-tarjih salah satunya itu bisa sama-sama qathi, atau sama-sama
zhanni.
d. Menurut jumhur ulama
Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk di amalkan (diterapkan)
berdasarkan dalil tersebut.
Dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa tarjih adalah memilih salah satu dari dua dalil untuk
dijadikan dasar pelaksanaan suatu ibadah.
2. Cara menarjih hukum islam
Ali ibn Saifudin Al Amidi, ahli ushul fiqh dari kalangan Syafiiyah menjelaskan secara rinci tentang
metode tarjih. Metode tarjih yang berhubungan dengan pertentangan antara dua hukum/nash atau lebih
antara lain:
a. Tarjih dari segi sanad. Tarjih dari sisi ini mungkin dilakukan antara lain dengan meneliti rawi yang
menurut jumhur ulama Ushul Fiqh, hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih banyak jumlahnya,
diutamakan daripada hadis yang lebih sedikit.
b. Tarjih dari segi matan yang mungkin dilakukan dengan beberapa bentuk yakni bilamana terjadi
pertentangan antara dua dalil tentang hukum suatu masalah, maka dalil yang melarang didahulukan
atas dalil yang membolehkan.
c. Tarjih dari segi adanya faktor luar yang mendukung salah satu dari dua dalil yang bertentangan. Dalil
yang didukung oleh dalil yang lain termasuk dalil yang merupakan hasil ijtihad, didahulukan atas dalil
yang tidak mendapat dukungan.
Berikut diketengahkan contoh metode tarjih yang dilakukan oleh Lajnah Tarjih PP Muhammadiyah
berkaitan dengan masalah bacaan Al Fatihah ketika shalat berjamaah. Secara lengkap kutipan tersebut
adalah :
Mengenai bacaan Al Fatihah bagi makmum dalam shalat berjamaah. Sebagaimana diterangkan oleh Ibn
Rusyd dalam Bidayat-ul Mujtahid, bahwa ulama telah sepakat, di mana Imam Malik tidak menanggung
makmum mengenai fardlu shalat, kecuali bacaan Al Fatihah. Mengenai bacaan Al Fatihah bagi
makmum para ulama telah berbeda pendapat. Imam Malik berpendapat bahwa makmum dalam
shalat sirri membaca Al Fatihah bersama-sama imam, dan tidak membacanya dalam shalat jahar.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bacaan Al Fatihah gugur pada pihak makmum, baik pada
shalat sirri maupun pada shalat jahar. Sedangkan Imam Syafii berpendapat bahwa makmum wajib
membaca Al Fatihah saja dalam shalat jahriyah, dan membaca Al Fatihah beserta surah apabila
shalat sirriyah. Imam Ahmad ibn Hanbal mewajibkan membaca Al Fatihah waktu tidak terdengarnya
bacaan imam, baik karena bacaannya sirr atau karena jauhnya, dan melarang membacanya waktu
didengarnya bacaan imam.
Sehubungan dengan masalah ini, Lajnah Tarjih PP Muhammadiyah telah mengambil keputusan dengan
ciri khas sebagaimana disebutkan di atas, sebagai berikut:Hendaklah kamu memperhatikan dengan
109
tenang bacaan Imam apabila keras bacaannya, maka janganlah kamu membaca sesuatu selain surat Al
Fatihah.
Dari keputusan tersebut mengandung pengertian bahwa makmum diharuskan membaca Al Fatihah
pada shalat jaharmaupun dalam shalat sirri. Melihat putusan Lajnah Tarjih ini, ternyata pendapatnya
sama dengan Imam Syafii. Adapun dalil yang digunakannya sebagai berikut:
): . .
: . . : .(
) : . : .
:. : .(
.
Mengingat hadis Ubadah ibn Shamit bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Tiada sah shalat orang yang
tak membaca permulaan Kitab (Al Fatihah). (HR Bukhari dan Muslim). Dan ada lagi hadis Ubadah dari
riwayat Ahmad, Ad Daruquthni dan Al Baihaqi, katanya: Rasulullah SAWshalat shubuh, maka beliau
mendengar orang-orang yang makmum nyaring bacaannya. Setelah selesai beliau menegur: Aku kira
kamu sama membaca di belakang imammu. Kata Ubadah: Kita sama menjawab: Ya Rasulallah, demi
Allah, benar!. Maka sabda beliau: Janganlah kamu mengerjakan demikian, kecuali dengan bacaan Al
Fatihah. Dan mengingat pula hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Annas, yang berkata
bahwa Rasulullah SAW bersabda: Apakah kamu membaca dalam shalatmu di belakang imammu,
padahal imam itu membaca. Janganlah kamu mengerjakannya, hendaklah seseorang membaca Al
Fatihah pada dirinya (dengan suara rendah yang hanya didengar sendiri).
.
Mengamalkan pendapat orang yang pendapatnya itu bukan suatu hujah syariyyah tanpa
adahujjah
Menurut Kamal Ibn Al Hammam : Taqlid ialah beramal berdasarkan pendapat orang lain yang
pendapatnya itu tidak merupakan salah satu dalil yang dibenarkan, dan ini dilakukan tanpa
berdasarkan dalil.Menurut ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan taqlid sebagai penerimaan perkataan
seseorang sedang engkau tidak mengetahuinya dari mana asal perkataan tersebut
b. Kedudukan
1) Taqlid yang wajib
Adalah taqlid terhadap pendapat yang merupakan hujjah seperti ucapan Rasulullah SAW dalam urf
ulama salaf, dinamai ittiba.
110
Taqlid yang dibolehkan apabila bertaqlid kepada seorang atau beberapa orang mujtahid yang ia
belum ketahuinya hukum Allah dan Rasulnya yang berhubungan dengan persoalan atau peristiwa
dengan syarat bahwa harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu,
dengan kata lain bahwa taqlid ini hanya untuk sementara saja.
Taqlid ini dilakukan selama belum diketahui dalil yang kuat yang dapat dijadikan untuk
memecahkan persoalan itu. Termasuk pula taqlid orang awam kepada ulama yang dipercayainya
selama orang awam itu belum menemukan alasan dari pendapat ulama yang diikutinya itu.
2. Ittiba
a. Pengertian
Ittiba secara bahasa berarti iqtifa (menelusuri jejak), qudwah (bersuri teladan) dan
uswah (berpanutan). Ittiba terhadap Al Quran berarti menjadikan Al Quran sebagai imam dan
mengamalkan isinya. Ittiba kepada Rasul SAW berarti menjadikan Nabi Muhammad sebagai panutan
yang patut diteladani dan ditelusuri langkahnya. Adapun secara istilah ittiba berarti mengikuti
seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil.
Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin
Hanbal menyatakan bahwa ittibaitu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak
boleh kepada yang lain. Pendapat yang lain membolehkan berittibakepada para ulama yang dapat
dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa. Dengan adanya ittiba diharapkan agar setiap kaum
muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh
keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun .
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-
pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (QS Al Araf: 3)
b. Kedudukan
Ittiba' mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu pintu
seseorang dapat masuk Islam. Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang
ditempati oleh ittiba', di antaranya adalah:
1) Ittiba' kepada Rasulullah adalah salah satu syarat diterima amal.
Ittiba' dijadikan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai salah satu syarat diterimanya suatu amalan
ibadah.
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih
baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, (QS Al Mulk: 2)
2) Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Ali Imran:
31)
3) Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Allah
Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang wali Allah dengan ucapannya: Tidak boleh dikatakan wali Allah
kecuali orang yang beriman kepada Rasulullah dan syari'at yang dibawanya serta ittiba' kepadanya
baik lahir maupun batin. Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah dan mengaku sebagai wali Allah,
tetapi dia tidak ittiba' kepada Rasul-Nya, bererti dia berdusta.
Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati. (QS Yunus: 62)
c. Pandangan Ulama tentang Ittiba
1) Al Imam An Numan bin Tsabit, Abu Hanifah :
Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami sebelum dia mengetahui dari mana
kami mengambilnya
111
Kaum muslimin telah bersepakat bahwa barangsiapa yang telah mendapatkan kejelasan baginya
tentang Sunnah Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam, maka tidak halal baginya untuk
meninggalkan sunnah itu karena pendapat seseorang
3) Imam Malik bin Anas :
Aku ini hanyalah manusia yang terkadang salah terkadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku,
setiap pendapat yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, maka ambillah. Dan yang
tidak sesuai maka tinggalkanlah
4) Imam Ahmad bin Hanbal :
Jangan engkau taqlid kepadaku, dan jangan pula kepada Malik, AsySyafii, AlAuzai, dan AtsTsauri.
Tetapi ambillah darimana mereka mengambil
E. Talfiq
1. Pengertian Talfiq
Talfiq menurut bahasa artinya menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda, Talfiq ialah
mengambil atau megikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai
macam madzhab. Pada dasarnya talfiq dibolehkan oleh agama selama tujuan pelaksanaan talfiq itu semata-
mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar dalam arti setelah meneliti dasar hukum dari
pendapat-pendapat itu.
2. Kedudukan Talfiq dalam fikih
a. Apabila seseorang telah mengikuti salah satu madzhab maka ia harus terikat dengan madzhab
tersebut. Baginya tidak boleh pindah ke madzhab lain baik secara keseluruhan maupun sebagian
(talfiq). Pendapat ini tidak membenarkan talfiq dan dipelopoti oleh Imam Qaffal.
b. Seorang yang telah memilih salah satu madzhab boleh saja pindah ke madzhab lain, walaupun dengan
motivasi mencari kemudahan, selama tidak terjadi dalam kasus hukum (dalam kesatuan qadliyah)
dimana imam yang pertama dan imam yang kedua atau imam yang sekarang diikuti sama-sama
menganggap batal.
Pendapat kedua ini membenarkan talfiq sekalipun dimaksudkan untuk mencari kemudahan, dengan
ketentuan tidak terjadi dalam kesatuan qadliyah yang menurut imam pertama dan imam kedua sama-
sama dianggap batal. Golongan ini dipelopori oleh Al Qarafi.
c. Tidak ada larangan bagi seseorang untuk berpindah madzhab, sekalipun dimaksudkan untuk mencari
keringanan. Pendapat ini memperbolehkan talfiq sekalipun dimaksudkan untuk tujuan mencari
keringanan tersebut. Pendapat ketiga ini dipelopori oleh Al Kamal Ibnu Hammam.
3. Contoh Talfiq
Seseorang berwudu menurut madzhab Syafii yang menyapu kurang dari seperempat kepala, kemudian ia
bersentuhan kulit dengan lawan jenis, ia terus bershalat dengan mengikuti madzhab Hanafi yang
mengatakan bahwa sentuhan tersebut tidak membatalkan wudu. Seseorang berwudu mengikuti tata cara
Syafii, kemudia ia bershalat dengan menghadap kiblat dengan posisi sebagaimana ditentukan oleh
madzhab Hanafi.
112