Anda di halaman 1dari 112

SKL FIKIH 1

KETENTUAN ISLAM TENTANG JINAYAH DAN HIKMAHNYA

A. Hukum pembunuhan dan hikmahnya


1. Pengertian Pembunuhan
Dalam bahasa Arab, pembunuhan disebut al Qatl,berasal dari kata qatala artinya mematikan. Atau
suatu tindakan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan cara yang melanggar hukum, maupun
yang tidak melawan hukum.
Menurut Wahbah Zuhaili, pembunuhan ialah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang
mengakibatkan hilangnya nyawa, baik perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja maupun tidak
sengaja.
Sanksi yang diberikan kepada yang melakukan pembunuhan dengan 3 perkara: 1) dosa besar karena
ada ayat Al Quran yang menyatakan ia akan tetap di neraka jahanam; 2) di qishash karena adanya ayat
qishash; 3) terhalang menerima warisan karena ada hadis:

( )
orang yang membunuh tidak mendapat waris apapun.
2. Macam-macam Pembunuhan

a. Pembunuhan yang disengaja Qatlul Amad [ ], yaitu pembunuhan yang dilakukan seseorang

dengan alat yang lazim untuk membunuh, atau alat yang bisa membunuh, baik dengan anggota
badan orang yang membunuh, maupun tanpa menggunakan alat. Pembunuhan jenis ini biasanya
terencana. Misalnya: membunuh dengan menembak, melukai dengan alat yang tajam, memukul
dengan alat-alat yang berat, dan alat-alat yang lain. Pembunuhan sengaja tersebut wajib diqishash,
sebagaimana firman Allah QS An Nisa: 93



Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah
Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan
azab yang besar baginya.
Dan dipertegas dengan hadits Rasulullah SAW :




Tidak halal (haram) membunuh orang muslim, kecuali ada (salah satu) 3 sebab : kafir sesudah iman,
berzina sesudah kawin dan membunuh orang tanpa hak, baik karena dhalim dan permusuhan.(HR.
Tirmidzi dan Nasai).
b. Pembunuhan seperti sengaja Qatlul syibhul amad [
] , yaitu pembunuhan yang dilakukan
oleh seseorang dengan alat yang menurut kebiasaan tidak akan menyebabkan kematian, dan orang
yang membunuhnya tidak bermaksud membunuh orang lain. Contoh Adi memukul Doni dengan
sapu lidi, ternyata kemudian Doni mati akibat pukulan sapu lidi tersebut.
Pembunuhan seperti sengaja tidak kena hukuman qishash tetapi pembunuhnya harus membayar
diyat besar (diyat mugholladzoh), sebagaimana diyat bagi pembunuh sengaja yang dimaafkan ahli
waris terbunuh. Diyat itu boleh dibayar selama 3 tahun dengan angsuran setiap tahun 1/3 nya.
c. Pembunuhan tidak disengaja Qatlul Khatha[ ] , yaitu pembunuhan yang tidak disengaja
dan sama sekali tidak ada niat membunuh. Misalnya orang melempar batu ke hutan tiba-tiba orang
mati terkena batu tersebut.
3. Dasar Hukum Pembunuhan
a. Al Quran
Kejahatan terhadap nyawa yakni pembunuhan yang memang disengaja untuk menghilangkan
nyawa dijelaskan dalam Al Quran




Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan
sesuatu (alasan) yang benar.(QSAl Isra: 33)
Dalam Islam, pembunuhan merupakan salah satu perbuatan yang dilarang oleh syara. Bahkan
dalam Islam membunuh satu orang dianggap membunuh semua orang, dan menyelamatkan hidup
seorang seolah-olah menyelamatkan hidup semua umat manusia.
Selain diancam dengan hukuman di dunia, Allah SWT juga memberi hukuman yang teramat pedih
bagi pelaku pembunuhan di akhirat kelak.

1



dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah
Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan
azab yang besar baginya.(QS An Nisa: 93)
b. Hadits




Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali satu dari tiga hal: kufur sesudah beriman, berzina
setelah berkeluarga, dan membunuh seseorang yang benar karena semata berbuat dhalim dan
permusuhan. (HR. Muslim)
4. Hikmah Pembunuhan
a. Manusia tidak berbuat semena-mena terhadap harga diri manusia, sebaliknya ia akan menghargai
keberadaan manusia.
b. Manusia akan menempatkan manusia yang lain dalam kedudukan yang tinggi baik di mata hukum
maupun dihadapan Allah SWT.
c. Menjaga dan menyelamatkan jiwa manusia.

B. Menjelaskan ketentuan hukum Islam tentang Qishash dan hikmahnya


1. Pengertian
Kata qishash berasal dari bahasa Arab yang berarti mencari jejak. Qishash adalah hukuman balasan
yang seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun pengrusakan anggota badan seseorang, yang
dilakukan dengan sengaja. Menurut Al Fayumi, kata qishash lebih sering dimaknai dengan menghukum
pembunuh dengan membunuh, mencederakan pencedera, memotong tangan orang yang memotong
tangan.
Menurut syara qishash ialah pembalasan yang serupa dengan perbuatan pembunuhan melukai
merusakkan anggota badan/menghilangkan manfaatnya, sesuai pelangarannya.
Adapun yang berhak melakukannya adalah yang memiliki hak, yaitu para wali korban, dengan syarat
mampu melakukan qishash dengan baik sesuai syariat. Apabila tidak mampu, maka diserahkan kepada
pemerintah atau wakilnya. Hal ini tentunya dengan pengawasan dan naungan pemerintah atau
wakilnya, agar dapat mencegah sikap melampaui batas dalam pelaksanaannya, serta untuk memaksa
pelaksana menunaikannya sesuai syariat, tidak boleh dihakimi sendiri, kecuali jika di maafkan oleh
keluarga korban maka qishash tidak dilaksanakan.
2. Dasar Hukum Qishash
a. Al Quran
Sebagai salah satu perbuatan yang melanggar hukum, pembunuhan dalam hukum Islam wajib di
qishash, yaitu bila perbuatan tersebut disengaja dalam arti seseorang dalam keadaan sadar dan ada
niat untuk membunuh atau melakukan kejahatan yang dapat menimbulkan kematian.







Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan
kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang
sangat pedih (QS. Al Baqarah: 178)
Dalam keterangan Tafsir Depag didapati bahwa Qishash ialah mengambil pembalasan yang sama.
Orang yang membunuh tanpa ada hak, harus di qishash, harus dibunuh juga. Kalau ahli waris (yang
terbunuh) memaafkan pembunuhan tersebut, pembunuh tidak diqishash (dihukum bunuh) tetapi
harus membayar diyat yang besar, yaitu harus membayar dengan seharga 100 ekor unta tunai, pada
waktu itu juga.





( )
Barang siapa yang membunuh dengan sengaja, maka ia diserahkan pada keluarga terbunuh. Apabila
mereka mengkehendaki maka membunuhnya atau minta diyat dengan 30 ekor unta hiqqah, 30ekor
unta jadzaah dan 40 ekor unta khalafah (jumlahnya 100 ekor unta). Hasil perdamaian itu untuk
2
mereka (ahli waris si terbunuh). Demikian itu untuk memperkeras terhadap pembunuhan. (HR.
Tirmidzi)
b. Hadits

)
(
Setiap dosa ada harapan Allah akan mengampuninya, kecuali seorang laki-laki yang mati dalam
keadaan syirik atau seseorang membunuh seorang mukmin dengan sengaja (HR. Abu Dawud dan
Ibnu Hiban).
3. Syarat Qishash
a. Pembunuh sudah baligh dan berakal sehat.
b. Pembunuh bukan orang tua yang dibunuh.
c. Jenis pembunuhan adalah pembunuhan yang disengaja.
d. Orang yang terbunuh terpelihara darahnya, artinya bukan orang jahat.
e. Orang yang dibunuh sama derajatnya, misalnya Islam dengan Islam, merdeka dengan orang
merdeka.
f. Qishash dilakukan pada hal yang sama; jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, telinga dengan telinga.
4. Tempat Pelaksanaan Qishash
Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang untuk melaksanakan Qishash di dalam masjid
sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam r.a, ia berkata, Rasulullah saw. melarang
melaksanakan qishash di dalam masjid, melantunkan syair dan melaksanakan hukum hudud di
dalamnya.
Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Abbas r.a, ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda, Seorang anak
tidak boleh menuntut qishash terhadap ayahnya dan dilarang melaksanakan hukum hudud di dalam
masjid, (HR At Tirmidzi dan Ibnu Majah).
5. Jenis Qishash
a. Qishash Jiwa
Adalah hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan. Adapun cara yang dilakukan tidak boleh
melampaui batas kewajaran, dan terhadap wanita hamil hendaknya menunggu sampai yang
bersangkutan melahirkan.




Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan
suatu (alasan) yang benar, dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam
membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (QS. Al Isra: 33).
b. Qishash Anggota Tubuh
Adalah hukum qishash atau tindak pidana melukai, merusakkan anggota badan, atau
menghilangkan manfaat anggota badan.





dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan
luka luka (pun) ada qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash) nya, Maka melepaskan
hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS. Al Maidah: 45)
6. Hikmah Qishash
a. Memberikan pelajaran kepada manusia untuk tidak melakukan kejahatan, ataupun
mempermainkan nyawa manusia.
b. Dengan adanya hukuman qishash maka manusia akan merasa takut berbuat jahat pada orang lain,
terutama penganiyaan tubuh dan jiwa manusia.
c. Hukum qishash dapat melindungi jiwa dan raga.
d. Timbulnya ketertiban, keamanan dan kedamaian dalam masyarakat.
e. Menunjukkan bahwa syariat Islam itu fleksibel dalam menangani masalah.

3
C. Menjelaskan ketentuan hukum Islam tentang diyat dan hikmahnya
1. Pengertian Diyat
Diyat artinya denda yang diwajibkan kepada pembunuh yang tidak dikenakan hukuman qishash
dengan membayarkan sejumlah barang atau uang sebagai pengganti hukum qishash karena dimaafkan
oleh anggota keluarga.

2. Sebab-Sebab Diyat
a. Pembunuhan disengaja apabila dimaafkan oleh keluarga korban.
b. Pembunuhan yang tidak disengaja.
c. Pelaku pembunuhan yang lari sebelum diqishash atasnya, maka yang dikenakan diyat adalah
anggota keluarganya.
d. Memotong atau membuat cacat anggota badan seseorang, lalu dimaafkan.
3. Macam-Macam Diyat
a. Diyat mughalladzah atau denda berat
Yaitu membayar denda 100 ekor unta, terdiri dari 30 ekor hiqqah (unta betina umur 3 tahun), 40
ekor jadzah (unta betina 4-5 tahun), 40 ekor khilfah (unta betina yang bunting). Diyat ini
diwajibkan kepada:
1) Pembunuhan yang disengaja, tapi dimaafkan oleh keluarga korban, dibayarkan tunai.
2) Pembunuhan seperti sengaja, dibayarkan selama 3 tahun, dan setiap tahunnya sepetiga dari
ketentuan di atas.
3) Pembunuhan tidak sengaja yang dilakukan pada bulan haram, seperti bulan Zulqadah, Zulhijjah,
Muharram, dan bulan Rajab.
4) Pembunuhan tidak sengaja yang dilakukan di tanah haram, yaitu makkah dan madinah.
5) Pembunuhan tidak sengaja terhadap mahrom kecuali pembunuhan orang tua terhadap anaknya.
b. Diyat mukhaffafah, atau denda ringan
Yaitu membayar 100 ekor unta yang terdiri dari: 20 ekor hiqqah, 20 ekor jazah, 20 ekor binta labun
(unta betina umur 2 tahun), 20 ibnu labun (unta jantan umur 2 tahun), 20 ekor binta makhad (unta
betina umur lebih dari setahun). Diyat ini diwajibkan kepada:
1) Pembunuhan tidak disengaja selain di tanah haram. Masa pembayarannya selama 3 tahun,
setiap tahunnya sepertiganya.
2) Orang yang dengan sengaja memotong atau membuat cacat atau melukai anggota badan
seseorang, tapi dimaafkan oleh korban atau anggota keluarga.
4. Diyat Selain Pembunuhan
a. Membayar diyat mukhoffafah penuh, yaitu bagi orang yang melakukan kejahatan, memotong dua
tangan, dua kaki, dua telinga, hidung, lidah, dua bibir, kemaluan laki-laki, merusak dua mata, tempat
keluarnya suara, penglihatan, atau merusak pendengaran.
b. Membayar setengah diyat, yaitu bagi orang yang memotong salah satu anggota tubuh yang
berpasangan.
c. Membayar diyat 5 ekor unta, yaitu bagi orang yang melukai sebuah gigi sampai copot.
5. Hikmah Diyat
a. Dapat mencegah kejahatan terhadap raga manusia.
b. Diyat menjadi obat pelipur lara bagi keluarga korban.
c. Timbulnya ketenangan dan ketentramandalam kehidupan bermasyarakat.
d. Memberi kesempatan kepada pembunuh untukbertobat dan lebih hati-hati dalam melakukan suatu
perbuatan.
e. Mendidik jiwa pemaaf, baik bagi keluarga korban maupun pelaksana diyat.

D. Menjelaskan ketentuan hukum Islam tentang kafarat dan hikmahnya


1. Pengertian
Berasal dari kata dasar kafara yakni menutupi sesuatu. Artinya adalah denda yang wajib ditunaikan
yang disebabkan oleh suatu perbuatan dosa, yang bertujuan menutup dosa tersebut sehingga tidak ada
lagi pengaruh dosa yang diperbuat tersebut, baik di dunia maupun di akhirat.
Kafarat adalah tebusan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang telah ditentuklan oleh syariat
Islam karena melakukan kesalahan atau pelanggaran yang diharamkan Allah SWT.
2. Macam-macam Kafarat
a. Kifarat karena pembunuhan, adalahmemerdekakan budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut,
bagi setiap pembunuhan baik disengaja, mirip sengaja, atau tidak sengaja, terlebih dahulu harus
kifarat.
b. Kifarat melangggar sumpah, adalah memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian,
memerdekakan hamba sahaya, atau puasa tiga hari. (Al Maidah: 89)








4
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka
kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan
yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka
kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu
bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu
hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).
c. Kifarat karena membunuh binatang pada waktu melaksanakan ihram, yaitu memberimakan orang
miskin atau dengan berpuasa. (QS Al Maidah: 95)








Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang
ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti
dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang
yang adil di antara kamu sebagai had-had yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya)
membayar kaffarat dengan memberi Makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan
makanan yang dikeluarkan itu, supaya Dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah
memaafkan apa yang telah lalu. dan Barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan
menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.
d. Kifarat zihar; yaitu menyerupakan isteri dengan ibunya (ibu suami), maka suami wajib membayar
kifarat yang ditunaikan sebelum menggauli isterinya. Kifarat adalah memerdekakan hamba sahaya,
atau berpuasa dua bulan berturut-turut, atau jika tidak mampu memberi makan kepada 60 orang
miskin. (Almujadalah: 3- 4)







orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-
turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi
Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.
e. Kifarat karena melakukan hubungan suami isteri pada siang hari di bulan ramadhan, kifaratnya
sama dengan kifarat dzihar ditambah dengan qadha puasa pada hari itu.
f. Kifarat ila, yaitu suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya selama masa tertentu, kifaratnya
sama dengan melanggar sumpah.
g. Adapun kifarat akibat pembunuhan adalah memerdekakan hamba yang Islam atau dia wajib puasa
dua bulan secara berturut-turut. (QS An Nisa:92)









dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena
tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah)
ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah, jika ia (si
terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka
5
(hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya. Maka
hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada
Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

3. Hikmah
a. Manusia benar-benar jera dan menyesali atas perbuatan yang pernah dilakukan.
b. Agar manusia lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c. Memberikan ketenangan kepada pembunuh karena merasa yakin bahwa dengan dipenuhinya
semua tuntutan agama akibat kejahatannya, tobatnya diterima Allah SWT .

6
SKL FIKIH 2

KETENTUAN ISLAM TENTANG HUDUD DAN HIKMAHNYA

TADARUS
QS An Nisa:15-16






15. dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji , hendaklah ada empat orang saksi diantara
kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian,Maka kurunglah mereka
(wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain
kepadanya.
16. dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada
keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

A. Ketentuan hukum Islam tentang zina dan qadzaf serta hikmahnya


1. Pengertian Zina
Zina adalah perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh
hubungan pernikahan (perkawinan). Zina dinyatakan sebagai perbuatan yang melanggar hukum yang
harus diberi hukuman setimpal, karena mengingat akibat yang ditimbulkan sangat buruk. Allah SWT
berfirman:


Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan
suatu jalan yang buruk (QS. Al Isra ; 32)
Hukuman zina tidak hanya menimpa pelakunya saja, tetapi juga berimbas kepada masyarakat
sekitarnya, karena murka Allah akan turun kepada kaum atau masyarakat yang membiarkan perzinaan
hingga mereka semua binasa, berdasarkan sabda Rasulullah SAW: Jika zina dan riba telah merebak di
suatu kaum, maka sungguh mereka telah membiarkan diri mereka ditimpa adhab Allah. (HR. Imam Hakim).
Dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda: Ummatku senantiasa ada dalam kebaikan selama tidak
terdapat anak zina, namun jika terdapat anak zina, maka Allah SWT akan menimpakan adhab kepada
mereka. (H.R Ahmad).
2. Macam-Macam Zina dan sanksi hukumnya
a. Zina Muhshon
Adalah zina yang dilakukan oleh orang laki-laki/perempuan yang pernah melakukan persetubuhan
dalam ikatan pernikahan yang sah, dan orang itu orang mukallaf. Hukuman bagi pelaku zina muhshan
baik laki-laki maupun perempuan di dalam hukum Islam adalah rajam. Rajam adalah sanksi hukum
berupa pembunuhan terhadap para pelaku zina muhshan (yaitu orang yang berzina sementara ia
sudah pernah menikah atau masih dalam ikatan pernikahan dengan orang lain).
Dari Masruq dari Abdillah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:Tidak halal darah seorang
muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal: orang yang berzina, orang yang membunuh dan orang
yang murtad dan keluar dari jamaah.
Dikisahkan bahwa hukum rajam pernah diterapkan pada zaman Nabi SAW ketika Ma`iz ibn Malik Al
Aslami dan Ghamidiyah yang mengaku (i`tiraf) kepada Nabi bahwa dirinya telah berzina dengan
seorang perempuan. Dengan itu, mereka meminta untuk dirajam. Nabi berkali-kali menolak dan tak
segera memenuhi permintaan yang bersangkutan. Namun, mereka tetap bersikukuh bahwa dirinya
telah melakukan zina muhshan. Akhirnya Nabi terpaksa memberi sanksi dengan dirajam.
Dalil sanksi bagi pezina muhshan terdapat dalam hadits riwayat Uba dah bin Sha mit berkata,
Rasulullah SAW bersabda, Ambillah dariku, ambillah dariku, sungguh Allah akan menjadikan jalan bagi
mereka. Jejaka dengan perawan jilidlah 100 kali dan asingkanlah selama satu tahun. Untuk janda dan
duda jilidlah 100 kali dan dirajam.
Rasulullah SAW pernah juga mengutus Unais r.a untuk melaksanakan hukum rajam, sebagaimana
dalam sabdanya SAW: Wahai Unais, berangkatlah menemui isteri orang itu, jika ia mengaku (berzina),
maka rajamlah!
Selain itu, Khalifah Umar bin Khattab yang menyatakan bahwa dahulu ada ayat Al Quranyang pernah
diturunkan dan isinya adalah : Orang yang sudah menikah laki-laki dan perempuan bila mereka berzina,
maka rajamlah Namun lafaznya kemudian dinasakh, tetapi hukumnya tetap berlaku hingga hari
kiamat. Sehingga bisa kita katakan bahwa syariat rajam itu dilandasi bukan hanya dengan dalil sunnah,
melainkan dengan dalil Al Quran juga.
Bila orang yang telah berikrar bahwa dirinya berzina itu lalu mencabut kembali pengakuannya, maka
hukuman hudud bisa dibatalkan. Pendapat ini didukung oleh Al-Hanafiyah, Syafi`iyyah dan Imam

7
Ahmad bin Hanbal. Dasarnya adalah peristiwa yang terjadi saat eksekusi Maiz yang saat itu dia lari
karena tidak tahan atas lemparan batu hukuman rajam. Lalu orang-orang mengejarnya beramai-ramai
dan akhirnya mati. Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau menyesali perbuatan
orang-orang itu dan berkata, Mengapa tidak kalian biarkan saja dia lari?Sedangkan bila seseorang
tidak mau mengakui perbuatan zinanya, maka tidak bisa dihukum. Meskipun pasangan zinanya telah
mengaku.
Dasarnya adalah sebuah hadits, Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata bahwa dia telah
berzina dengan seorang wanita. Lalu Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk memanggilnya dan
menanyakannya, tapi wanita itu tidak mengakuinya. Maka Rasulullah SAW menghukum laki-laki yang
mengaku dan melepaskan wanita yang tidak mengaku.
b. Zina Ghairu Muhshan
Adalah zina yang dilakukan oleh orang laki-laki/perempuan yang belum pernah melakukan ikatan
pernikahan dan orang itu adalah orang mukallaf. Hukumannya adalah dicambuk 100x dan diasingkan.
berdasarkan QS An Nur: 2.Menurut Imam Syafii dan Imam Ahmad adalah pengasingan dari daerah
yang dijadikan untuk zina ke daerah lain. Sedangkan menurut Imam Malik dan Abu Hanifah tarhgrib
adalah menahan (untuk tidak melakukan kegiatan di masyarakat).
Sedangkan dalil untuk pengasingan selama 1tahun adalah hadits yang jumlahnya sangat banyak,
diantaranya, Rasulullah SAW bersabda:Ambillah oleh kalian hukum dariku! Sesungguhnya Allah telah
menjadikan bagi kaum wanita jalan keluar yang lain, yaitu janda dan duda ( yang berzina )
hukumannya didera 100 kali dan dirajam dengan batu (sampai mati), sedangkan gadis dan jejaka
(ghoiru muhshan ) hukumannya didera 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. ( HR. Muslim, Ahmad,
Addarimy, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Al Baihaqi ).

3. Syarat-syarat Had Zina


Hukuman yang ditetapkan atas diri seseorang yang berzina dapat dilaksanakan dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Orang yang berzina itu berakal.
b. Orang yang berzina sudah cukup umur (baligh).
c. Zina dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa, tetapi atas kemauannya sendiri.
d. Orang yang berzina mengetahui bahwa zina itu diharamkan.
Nabi SAWsebagai berikut:
( ) :
Tidaklah dicatat dari tiga hal: orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak-anak hingga dia baligh, dan
dari orang gila hingga dia waras/sembuh. (HR. Ahmad).
4. Sanksi Penuduh Zina
Hadits Nabi Muhammad SAW mengatakan:
( )


Orang yang mendakwa harus menunjukkan bukti dan orang yang didakwa harus bersumpah. (HR

Baihaqi)
5. Ketentuan Qadzaf
a. Pengertian
Qadzaf menurut bahasa yaitu ramyu syain berarti melempar sesuatu. Sedangkan menurut istilahsyara
adalah melempar tuduhan (wathi) zina kepada orang lain yang karenanya mewajibkan hukuman had
bagi tertuduh (makdzuf).
b. Dasar Larangan Qadzaf
QS An Nur: 4




4. dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang
yang fasik.
c. Unsur-unsur Qadzaf
1) Menuduh zina
2) Dituduhkan pada wanita muhshonat
3) Penuduh tidak mampu menghadirkan 4 (empat) orang saksi (laki-laki, baligh, berakal dan
memberikan kesaksian yang sama
4) Adanya itikad jahat
6. Hikmah Larangan Zina dan masalah Qadzaf
a. Setiap perbuatan yang dinilai buruk oleh Al Quran pasti membawa akibat bagi manusia, baik
menyangkut pribadi maupun masyarakat.
b. Zina merupakan perbuatan yang sangat terlarang karena setiap muslim hendaknya menghindari dan
menjauhinya.
c. Tuduhan yang berkaitan dengan masalah zina hendaknya dilakukan secara hati-hati dengan
melibatkan saksi.Sanksi berat yang diterapkan terhadap pelaku zina bertujuan:
8
1) Terbebasnya masyarakat dari kekacauan keturunan/nasab, karena berakibat terhadap penerapan
hukum Islam yang lain.
2) Membebaskan pelaku dari dosa yang telah dilakukan
3) Menjaga ketertiban hukum dalam masyarakat
4) Memberi efek jera bagi pelaku dan menghindarkan diri dari perilaku yang dilarang oleh Allah.

B. Ketentuan hukum Islam tentang minuman keras beserta hikmahnya


1. Pengertian Khamr
Secara kebahasaan, khamr, terambil dari kata khamara berarti menutupi. Dinamakan demikian karena
menyelubungi dan menghalangi akal. Kata khamrjuga berarti minuman yang memabukkan. Disebut khamr
karena minuman keras mempunyai pengaruh negatif yang dapat menutup atau melenyapkan akal pikiran.
Dalam peristilahan syariah khamr didefinisikan Yusuf Qardhawi sebagai bahan yang mengandung alkohol
dan memabukkan. Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah, yaitu segala sesuatu yang dapat memabukkan
dianggap khamr dengan tidak melihat bahan yang dijadikannya, sehingga segala yang memabukkan dari
macam apa saja masuk dalam kategori khamr. M. Quraish Shihab menjelaskan khamr adalah segala
sesuatu yang memabukkan, apapun bahan mentahnya. Nabi SAW., dalam sabdanya dari Ibnu Umar yang
diriwayatkan Muslim dan pernyataan Umar bin Khattab, riwayat Bukhari dan Muslim.

Setiap yang memabukkan itu khamr, sedangkan setiap khamr itu haram. (HR. Muslim)

Khamr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi akal. (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Dasar Pelarangan Mengkonsumsi Khamr
QS Al Maidah: 90 dan 91






90. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
91. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara
kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Mayoritas ulama memahami dari pengharaman khamr dan penamaannya sebagai rijs/keji serta
perintah menghindarinya, sebagai bukti bahwa khamr adalah sesuatu yang najis. Dan bahwa
mengkonsumsi khamr, banyak maupun sedikit, adalah haram. Berdasar hadis Nabi SAW :

Apa saja yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun haram. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At
Tirmidzi)

Nabi SAW melaknat sepuluh orang berkenaan dengan khamr ini, yaitu: orang yang memerasnya, orang
yang minta diperaskan, orang yang meminumnya, orang yang membawakannya (menghidangkannya),
orang yang dibawakannya, orang yang menuang-kannya, orang yang menjualnya, orang yang memakan
harganya (uang hasil penjualannya), orang yang membelinya, dan orang yang minta dibelikannya. (HR. At
Tirmidzi dan Ibnu Majjah)

Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr. Oleh karena itu, barangsiapa yang mengetahui ayat ini
dan dia masih mempunyai khamr, maka janganlah dia meminumnya dan jangan pula menjualnya. (HR.
Muslim)
Dalam suatu hadits dinyatakan :

9
Barangsiapa yang menahan anggur pada musim-musim memetiknya, kemudian dijualnya kepada seorang
Yahudi atau Nasrani, atau kepada orang yang hendak membuatnya menjadi khamr (meskipun dia Muslim),
maka sesungguhnya jelas dia akan masuk neraka. (HR. At Tahabrani).
3. Hukuman Mengkonsumsi Khamr
Imam Syafi'i dan Abu Daud berpendapat bahwa had bagi peminum khamr dicambuk 40 kali dera, karena
demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah SAW dan yang diperintahkan pada masa Abu Bakar. Hal
ini didasarkan pada hadits:


( )
"Dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi SAW didatangkan kepadanya seseorang meminum khamr, maka
Nabi menderanya 40 kali. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad berpendapat bahwa hukuman bagi peminum khamr adalah 80
kali dera. Berdasarkan pada apa yang dilakukan Umar di mana menurut mereka hal itu menjadi Ijma' pada
masa Umar, karena tidak seorangpun dari sahabat mengingkarinya. Mereka juga beralasan dengan saran
yang diberikan oleh Ali kepada Umar agar hukuman peminum khamr itu dijadikan 80 kali, karena
dipersamakan dengan hukuman membuat kebohongan, sebagaimana disebutkan oleh Ali ra :



Apabila ia minum maka ia mabuk. Apabila ia mabuk maka ia mengigau, maka ia membuat kedustaan.
Hukuman pembuat kedustaan adalah 80 kali dera. (HR. Bukhari).
4. Jenis Khamr
a. Red Wine adalah wine yang dibuat dari anggur merah (red grapes). Beberapa jenis anggur merah yang
terkenal di kalangan peminum wine di Indonesia adalah merlot, cabernet sauvignon, syrah/shiraz, dan
pinot noir.
b. White Wine adalah wine yang dibuat dari anggur putih (white grape). Beberapa jenis anggur hijau yang
terkenal di kalangan peminum wine di Indonesia adalah chardonnay, sauvignon blanc, semillon,
riesling, dan chenin blanc.
c. Rose Wine adalah wine yang berwarna merah muda atau merah jambu yang dibuat dari anggur merah
namun dengan proses ekstraksi warna yang lebih singkat dibandingkan dengan proses pembuatan Red
Wine. Di daerah Champagne, kata Rose Wine mengacu pada campuran antara White Wine dan Red
Wine.
d. Sparkling Wine adalah wine yang mengandung cukup banyak gelembung karbon dioksida di dalamnya.
Sparkling Wine yang paling terkenal adalah Champagne dari Prancis. Hanya Sparkling Wine yang dibuat
dari anggur yang tumbuh di desa Champagne dan diproduksi di desa Champagne yang boleh disebut
dan diberi label Champagne.
e. Sweet Wine adalah wine yang masih banyak mengandung gula sisa hasil fermentasi (residual sugar)
sehingga membuat rasanya menjadi manis.
f. Fortified Wine adalah wine yang mengandung alkohol lebih tinggi dibandingkan dengan wine biasa
(antara 15% hingga 20.5%).
g. Bir
Bir secara harfiah berarti segala minuman beralkohol yang diproduksi melalui proses fermentasi
bahan berpati(mengandung gula) dan tidak melalui proses penyulingan setelah fermentasi. Proses
pembuatan bir disebut brewing.
h. Brendy
Brendi (bahasa Inggris: brandy, berasal dari bahasa Belanda, brandewijn adalah istilah umum untuk
minuman anggur hasil distilasi, dan biasanya memiliki kadar etil alkohol sekitar 40-60%. Bahan baku
brendi bukan hanya anggur, melainkan juga pomace (ampas buah anggur sisa pembuatan minuman
anggur) atau fermentasi sari buah. Bila bahan baku tidak ditulis pada label, brendi tersebut dibuat dari
buah anggur.
i. Vodka
Vodka (bahasa Polandia: wdka) adalah sejenis minuman beralkohol berkadar tinggi, bening, dan tidak
berwarna, yang biasanya disuling dari gandum yang difermentasi. Kecuali untuk sejumlah kecil perasa,
vodka mengandung air dan alkohol (etanol). Vodka biasanya memiliki kandungan alkohol sebesar 35
sampai 60% dari isinya.
5. Akibat Mengkonsumsi Khamr
Para peminum dapat terkena GMO biasanya mengalami perubahan perilaku, seperti ingin berkelahi atau
melakukan tindakan kekerasan lainnya, tidak mampu menilai realitas, terganggu fungsi sosialnya, dan
terganggu pekerjaannya. Perubahan fisiologis juga terjadi, seperti cara berjalan yang tidak mantap, muka
merah, atau mata juling. Oleh karenanya Nabi SAW., riwayat At Thabrani melalui Ibn Umar
menyatakan Khamr itu adalah induknya segala dosa.
6. Hikmah Larangan Mengkonsumsi Khamr
a. Mengkonsumsi khamar disamping ada manfaatnya tetapi keburukan yang ditimbulkan jauh lebih
besar.

10
b. Pengharaman mengkonsumsi khamr didasarkan atas akibat yang ditimbulkannya yakni hilangnya
akar nalar yang ada pada diri manusia.
c. Sanksi hukum yang diterapkan pada pengkomsumsi khamr pada dasarnya untuk menjaga kesadaran
dalam beribadah, memberi efek jera pada pelakunya dan menjaga keteraturan dalam masyarakat.
C. Ketentuan hukum Islam tentang mencuri, menyamun, dan merampok beserta hikmahnya
1. Pengertian
Pencurian adalah tindakan mengambil hak milik orang lain tanpa sepengetahuan si pemilik, dapat juga
berarti tindakan menahan apa yang seharusnya menjadi miliknya orang lain. Pada pengertian pertama
bersifat aktif dan kedua bersifat pasif.
2. Dasar Larangan Mencuri
a. Al Quran




38. laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. 39. Maka Barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan
kejahatan itu dan memperbaiki diri, Maka Sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Maidah : 38-39)
b. Hadits
Dari Ibnu Umar r.a berkata, Beliau (Rasulullah) memotong tangan pencuri karena mencuri perisai (baju
besi) seharga 3 dirham (Al Bukhari dan Muslim)
Dari Aisyah r.a, Nabi bersabda, Tangan harus dipotong karena mencuri dinar atau lebih (redaksi Al
Bukhari dalam Al Hudud no.6789) redaksi Muslim dalam Al Hudud no.1684/2, Tangan pencuri tidak
dipotong melainkan karena mencuri dinar atau lebih.
Dari Rafi bin Khudaij menuturkan, Aku mendengar Rasulullah bersabda: tidak ada hukum potong
karena mengambil buah-buahan, begitu pula tandan kurma. (HR Ahlus Sunan, Abu Dawud).
3. Syarat dan Ketentuan
Pencurian dapat dikenakan had mencuri apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Orang yang mencuri adalah mukalaf, yaitu sudah baligh dan berakal.
b. Pencurian itu dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi.
c. Orang yang mencuri sama sekali tidak mempunyai andil memiliki terhadap barang yang dicuri.
d. Barang yang dicuri adalah benar-benar milik orang lain.
e. Barang yang dicuri mencapai jumlah nisab.
f. Barang yang dicuri berada di tempat penyimpanan atau di tempat yang layak.
4. Dampak Pencurian
Dampak mencuri dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a. Bagi Pelakunya
1) Mengalami kegelisahan batin, pelaku pencurian akan selalu dikejar-kejar rasa bersalah dan takut
jika perbuatanya terbongkar.
2) Mendapat hukuman, apabila tertangkap, seorang pencuri akan mendapatkan hukuman sesuai
undang-undang yang berlaku.
3) Mencemarkan nama baik, seseorang yang telah terbukti mencuri nama baiknya akan tercemar di
mata masyarakat.
4) Merusak keimanan, seseorang yang mencuri berarti telah rusak imanya. Jika ia mati sebelum
bertobat maka ia akan mendapat azab yang pedih.
b. Bagi Korban dan Masyarakat
1) Menimbulkan kerugian dan kekecewaan, peristiwa pencurian akan sangat merugikan dan
menimbulkan kekecewaan bagi korbannya.
2) Menimbulkan ketakutan.
3) Munculnya hukum rimba, perbuatan pencurian merupakan perbuatan yang mengabaikan nilai-
nilai hukum.
5. Syarat Dihukum Potong Tangan
a. Pencuri tersebut; sudah baligh, berakal, dan melakukan pencurian dengan kehendaknya bukan
paksaan.
b. Barang yang dicuri sampai nisab (+ 93,6 gram emas), dan barang itu bukan milik si pencuri.
6. Sanksi Hukum Pencuri
Mencuri adalah dosa besar dan orang yang mencuri wajib dihukum, yaitu:
a. Mencuri yang pertama kali, maka dipotong tangan kanannya.
b. Mencuri kedua kalinya, dipotong kaki kirinya.
c. Mencuri yang ketiga kalinya, dipotong tangan kirinya.
d. Mencuri yang ke empat kalinya, dipotong kaki kanannya.
e. Kalau masih mencuri, maka ia dipenjara sampai tobat.
7. Sanksi Hukum Perampok
a. Bagi perampok yang membunuh orang yang dirampoknya dan mengambil hartanya. Dalam hal ini
hukumnya wajib di bunuh; sesudah dibunuh, kemudian disalibkan (dijemur).

11
b. Bagi perampok yang membunuh orang yang dirampoknya, tetapi hartanya tidak diambil. Hukumnya
hanya dibunuh saja.
c. Bagi perampok yang hanya mengambil harta bendanya saja, sedang orang orang yang dirampoknya
tidak dibunuh, dan harta yang diambil sampai nisab, maka hukumanya potong tangan kanan dan kaki
kirinya.
d. Bagi perampok yang hanya menakut-nakuti saja, tidak membunuh dan tidak mengambil harta benda.
Hukumannya adalah penjara atau hukuman lainnya yang dapat membuat jera, agar ia tidak
mengulanginya.

D. Ketentuan hukum Islam tentang bughat beserta hikmahnya


1. Pengertian Bughat
Kata bughat adalah bentuk jamak dari baghin yang berarti pendurhaka atau pelawan, Dari pengertian ini
bughat berarti segolongan manusia pendurhaka atau pelawan.
Menurut istilah syariat Islam, bughat adalah segolongan umat Islam yang melawan atau mendurhakai
imam atau pemerintah yang adil dan menjalankan hukum syariat Islam.
2. Dasar Hukum
a. Al Quran





Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan
antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang Berlaku adil.(QS. Alhujurat ; 9)

b. Hadits
Dari ibnu umar r.a. dari nabi SAW beliau bersabda: mendengar dan menaati terhadap imam yang adil
merupakan kewajiban orang muslim, baik yang ia sukai maupun yang ia benci selama ia tidak diperintah
melakukan maksiat, tidaklah boleh didengar dan ditaati. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Umar R.A. ia berkata Telah bersabda Rasulullah SAW. Tahukah engkau bagaimana hukum
Allah dalam perkara orang-orang yang telah jadi kaum bughat dari umat ini? Seorang dari sahabat
berkata, Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu, Rasulullah bersabda tidak boleh ditambah lukanya, tidak
boleh dibunuh tawanannya, tidak perlu dicari mereka yang lari, dan tidak boleh dibagi-bagi rampasan
nya (HR. Al Bazzar dan Hakim).
3. Syarat-syarat disebut Bughat
Jarimah Siasiyah belum dinamakan tindak pidana politik yang sebenarnya, kecuali kalau memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Perbuatan itu ditunjukkan untuk menggulingkan negara dan semua badan eksekutif lainnya atau tidak
mau lagi mematuhi pemerintah nya.
b. Ada alasan yang mereka kemukakan, sebabnya mereka memberontak, walaupun alasan itu lemah
sekali.
c. Pemberontak telah mempunyai kekuatan dengan adanya orang yang mereka taati (pengatur
pemberontakan) atau ada pimpinannya.
d. Telah terjadi pemberontakan yang merupakan perang saudara dalam negara, sesudah mereka
mengadakan persiapan atau rencana.
e. Setelah diajak berunding dengan bijaksana sebagaimana yang telah dilakukan oleh khalifah Ali ra
terhadap ahli ramal dan shiffin.
Keterangan tentang persoalan ini dapat dijumpai dalam sepucuk surat yang dikirim oleh khalifah Ali
kepada kaum Bughat.
Dari Abdullah bin Syaddad ia berkata, berkata Ali ra kepada kaum khawarij, kamu boleh berbuat
sekehendak hatimu dan antara kami dan antara kamu hendaklah ada perjanjian, yaitu supaya kamu jangan
menumpahkan darah yang diharamkan (membunuh). Jangan merampok di jalan, jangan menganiaya
seseorang. Jika kamu berbuat itu, penyerangan akan diteruskan terhadap kamu sekalian (HR. Ahmad dan
Hakim).
4. Penyelesaian Bughat
Kaum bughat yang tertawan hendaklah diperlakukan;
a. Kalau ada yang luka jangan ada yang menambah lukanya, seperti memukul dan sebagainya.
b. Tidak boleh dibunuh.
c. Mereka yang lari tidak perlu di cari, kecuali bila ia mengganggu keamanan.
d. Harta bendanya tidak boleh dijadikan rampasan.
Cara penyelesaian perkaranya:
a. Diperangi lebih dahulu sebagai langkah utama.
b. Diadili di muka pengadilan sebagai langkah terakhir.
5. Hikmah

12
a. Pemerintah yang melaksanakan tugas dengan adil sesuai dengan ajaran Islam yang termaktub dalam
Al Qurandan hadis wajib ditaati.
b. Perbuatan yang dilakukan secara indifidu dan atau kelompok yang secara

13
SKL FIKIH 3

KETENTUAN ISLAM TENTANG PERADILAN DAN HIKMAHNYA

TADARUS

QS An Nisa: 58




Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.

A. Pengertian Peradilan
1. Bahasa
Peradilan/qada menurut bahasa, berasal dari kata qadha-yaqdhi-qadhaan yang artinya selesai, ketetapan,
menentukan, mengakhiri dan sebagainya
2. Istilah
a. Menurut Al Khathib Asy Syarbini
Penyelesaian perselisihan di antara dua orang atau lebih dengan hukum Allah SWT.
b. Menurut Ibn Abd As Salam
Keputusan hukum yang dilakukan seorang qdhi (hakim) yang memiliki wewenang tidak lain adalah
menampakkan hukum syariat dalam masalah yang terjadi mengenai orang-orang yang wajib dikenai
hukum.
c. Menurut Agisbhi Qisti
Lembaga yang menempatkan perkara-perkara hukum sesuai dengan tempatnya.
d. Menurut Moh. Rifai
Sebuah lembaga yang dibentuk pemerintah atau negera untuk menyeelsaikan atau menetapkan
keputusan atas setiap perkara dengan adil berdasarkan hukum yang berlaku.
Jadi, peradilan adalah sebuah lembaga yang dibentuk pemerintah/negara untuk menyelesaikan atau
menetapkan keputusan atas setiap perkara dengan adil berdasarkan hukum yang berlaku dan sesuai
dengan tempatnya.

B. Dasar Hukum
1. Al Quran




Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha mendengar lagi Maha melihat. (QS-An Nisa : 58)
2. Hadits
a. Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibn Majah meriwayatkan: Buraidah berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Hakim itu ada 3, 2 diantaranya akan masuk api neraka dan satu akan masuk surga.
Seseorang yang mengetahui kebenaran dan menghakiminya dengan kebenaran itu ?dialah yang akan
masuk surga, seseorang yang mengetahui kebenaran namun tidak memutuskan berdasarkan kebenaran
itu, dia akan masuk neraka. Yang lain tidak mengetahui kebenaran dan memutuskan sesuatu dengan
kebodohannya, dan dia akan masuk neraka.
b. Ahmad dan Abu Daud mengisahkan: Sahabat Ali. Berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Wahai Ali,
jika 2 orang datang kepadamu untuk meminta keadilan bagi keduanya, janganlah kamu memutuskan
sesuatu dari orang yang pertama hingga kamu mendengarkan perkataan dari orang kedua agar kamu
tahu bagaimana cara memutuskannya (menghakiminya).

C. Tujuan, Fungsi dan Tugas Pokok Peradilan Islam


1. Tujuan
Menurut Ibnu Khaldum, bahwa tempat menegakkan hukum adalah menetapkan suatu perkara sehingga
bersatu kembali pihak-pihak yang bermusuhan, terpenuhi sebagian hak yang umum dari kaum muslimin
dengan pertimbangan membantu pihak yang lemah, yang kena jinayat, anak-anak yatim, orang yang
bangkrut dan mereka hidupnya yang kesusahan. Dengan demikian, Tujuan peradilan untuk menciptakan
kemaslahatan umat dengan tetap tegaknya hukum Islam.
2. Fungsi
14
a. Untuk menyelesaikan persengketaan (mendamaikan) antara dua orang atau lebih dan memutuskan
hukum.
b. Untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat yang dibina melalui tegaknya hukum.
3. Tugas Pokok
a. Mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.
b. Menetapkan sanksi dan menerapkannya kepada para pelaku perbuatan yang melanggar.

D. Hakim
Hakim adalah sebuah gelar yang mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang tinggi nilainya,
Dalam literatur Islam istilah hakim sering disebut dan digunakan untuk filosof.
Menurut Husni Rahim, hakim adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk menyelesaikan dakwaan-
dakwaan dan persengakataan.
Kedudukan hakim sangat mulia, selama ia berlaku adil, sabda Nabi SAW:
)
(
Apabila seorang hakim duduk ditempatnya (sesuai dengan kedudukan hakim adil) maka 2 malikat
membenarkan, menolong dan menunjukkannya selama tidak seorang /menyeleweng), apabila menyeleweng
maka kedua malaikat akan meninggalkannya (H.R. Baihaqi).

E. Macam-macam Hakim
Mengingat beratnya tanggung jawab dan banyaknya godaan pada diri hakim, maka Nabi Muhammad
SAW pernah mensinyalir bahwa hakim itu dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: satu masuk surga dan dua
masuk neraka. Sabda Rasulullah SAW:

,

( )


F. Syarat Hakim
1. Islam
Abu Hanifah berkata: Orang kafir boleh diangkat menjadi hakim untuk orang-orang kafir, kendati
pengangkatan orang kafir tersebut terjadi dalam tradisi penguasa, namun pengangkatannya adalah
pengangkatan menjadi pejabat, dan bukan pengangkatan menjadi hakim.
2. Baligh (berakal untuk mengetahui perintah)
Seorang hakim harus mempunyai pengetahuan tentang hal-hal dzaruri (perintah) untuk diketahui, hingga
ia mampu membedakan segala hal sesuatu dengan benar, cerdas, dan jauh dari sifat lupa. Dengan
kecerdasannya, ia mampu menjelaskan apa yang tidak jelas, dan memutuskan urusan-urusan yang pelik.

3. Laki-laki
Syarat ini menjadi syarat sah menurut Mazhab Maliki, Syafii, dan Hanbali, sekiranya dilantik perempuan
menjadi hakim maka pelantikan itu tidak sah. Sabda Rasulullah:

Tiada berjaya kaum yang melantik perempuan menjadi wali urusan mereka.
Menurut madzhab Imam Abu Hanifah bahwa perempuan boleh diangkat menjadi qodli selain urusan had
dan qishash karena ke dalam dua hal tersebut kesaksian perempuan tidak diterima. Akan tetapi Ibnu Jarir
dan At-thabari mengatakan perempuan itu boleh menjadi qodli tanpa terkecuali.
Imam Mawardi menambahkan dalam syarat ini berarti seseorang haruslah baligh. Baligh merupakan
konsekuensi dari adanya konsep taklif dalam amal perbuatan, di mana tindakan hukum seseorang baru
sah dan berimplikasi hukum setelah mencapai baligh. Tentang wanita dalam jabatan kehakiman, Imam
Abu Hanifah berkata, Wanita diperbolehkan memutuskan perkara-perkara yang ia dibenarkan menjadi
saksi di dalamnya, dan tidak diperbolehkan memutuskan perkara-perkara yang ia tidak boleh menjadi saksi
di dalamnya.
4. Merdeka, (tidak budak)
Kesaksian budak dalam kasus-kasus hukum tidak diterima, Jika budak telah bebas, ia diperbolehlan untuk
menjabat sebagai hakim.
5. Adil
Syarat adil ini berlaku dalam semua jabatan. Adil ialah berkata benar, jujur, bersih dari hal-hal yang
diharamkan, menjauhi dosa-dosa, jauh dari sifat ragu-ragu, terkontrol ketika senang dan marah, serta
menggunakan sifat muruah (ksatria) dalam agamanya dan dunianya.
6. Sehat Jasmani (pendengaran dan penglihatan)
Agar dengan pendengaran dan penglihatan yang sehat, ia dapat membedakan antara pendakwa dengan
terdakwa, membedakan pihak yang mengaku dengan pihak yang tidak mengaku, membedakan kebenaran
dengan kebatilan, dan mengenali pihak yang benar dan pihak yang salah.

15
G. Etika Hakim
1. Bertempat tinggal di kota (tempat) pemerintahan sebab lebih cepat bertindak dan melakukan keputusan
peradilan.
2. Sebaiknya tidak memutuskan perkara di masjid sebab masjid tidak bisa bebas seperti bersuara keras dan
tidak semua perempuan bisa masuk.
3. Dalam mengadili hakim duduk di tempat terbuka yang bisa dilihat oleh terdakwa penggugat dan
pengunjung.
4. Tidak boleh menerima hadiah dari yang bersengketa
Sabda Rasulullah SAW:
( )

Allah melaknat orang yang memberi suap dan yang diberi suap dalam hukum (H.R. Ahmad & Tirmidzi)
5. Ketika memutuskan perkara tidak dalam keadaan marah
6. Berada dalam Majlis Pengadilan
Antara orang yang berselisih harus diperlakukan sama dalam 3 hal ;
a. Tempat duduk, artinya masing-masing di beri tempat duduk yang sama
b. Kata-kata, artinya masing-masing diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat.
c. Perhatian, artinya alasan-alasannya diperhatikan dan pandangan hakim ke arah yang sama.

H. Saksi
Kata saksi jika dilihat dari pengertian terminologi berarti orang yang mempertunjukkan, memperlihatkan,
sebagai bukti. Sedangkan menurut istilah syara ialah orang yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Menurut Husni Rahim, saksi adalah orang yang diperlukan oleh pengadilan untuk memberikan keterangan
yang berkaitan dengan suatu perkara demi tegaknya hukum dan tercapainya keadilan dalam pengadilan.
Menurut Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah bahwa yang dimaksud dengan saksi adalah memberitahukan
seseorang tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya.
Dasarnya QS An Nisa:135






135. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi
saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya
ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan
menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
QS Al Baqarah: 283





283. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah
kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
QS Atthalaq: 2



apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah
mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah
kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. (QS Atthalaq: 2).
I. Syarat Saksi
Saksi-saksi yang dipanggil ke muka sidang pengadilan mempunyai kewajiban menurut hukum yaitu :
1. Kewajiban untuk menghadap atau datang memenuhi panggilan persidangan, yang mana dirinya
dipanggil dengan patut dan sah
2. Kewajiban untuk bersumpah sebelum memberi keterangan, sumpah ini menurut ketentuan agamanya
dan bagi suatu agama yang tidak memperkenankan adanya sumpah maka diganti dengan mengucapkan
janji
3. Kewajiban untuk memberikan keterangan yang benar

16
Untuk memberitahukan kesaksian yang dapat diterima serta dapat di jadikan pembuktian kuat wajib
memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu :
1. Beragam Islam
Saksi dalam hal ini haruslah beragama Islam karena syarat para fuqaha menetapkan, bahwa dalam
kesaksian ini yang dapat diterima bagi kesaksian seseorang haruslah beragama Islam.
2. Baliqh
Saksi yang belum mencapai usia baliqh tidak dapat dijadikan sebagai saksi, terlebih memberikan
kesaksian.
3. Berakal
Persaksian dari pada saksi dapat dijadikan saksi sebagai pembuktian dalam Peradilan Agama jika saksi
memiliki akal dan jiwa yang sehat sebagai salah satu syarat yang harus dimiliki oleh saksi dalam suatu
persaksian.
4. Merdeka
Merdeka ialah saksi dalam memberikan kesaksian harus termasuk orang yang merdeka yaitu tidak
sebagai budak atau orang yang tidak memiliki kebebasan hidup seperti manusia lainnya.
5. Adil
Sifat keadilan dari saksi dalam memberikan kesaksian sangatlah menentukan dalam penilaian hakim
karenanya sifat adil dalam hal ini ialah menjauhi perbuatan dosa, baik hati, menjaga kehormatan diri, dan
bukan musuh atau lawan dari pihak yang berperkara.
6. Merdeka (tidak sebagai budak atau orang yang tidak memiliki kebebasan hidup seperti manusia lainnya)

J. Saksi yang tertolak


1. Tidak adil
2. Seorang musuh pada musuhnya
3. Seorang ayah (orang tua) pada anaknya.
4. Seorang anak pada ayahnya.

K. Pembuktian dalam Sistem Peradilan Islam


1. Pengakuan dan sumpah
Jika seseorang mengaku telah melakukan suatu tindakan kriminal di pengadilan maka qadhi tidak serta
merta menerima pengakuan itu hingga ia yakin bahwa pengakuan tersebut lahir dari kesadaran orang
tersebut.



dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu
(membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung
halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya. (QS. Al
Baqarah: 84)



Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi
Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun (QS. Al Baqarah: 225).
2. Kesaksian
Jika terjadi suatu perkara dan seseorang menyaksikan perkara tersebut maka fardu kifayah baginya untuk
memberikan kesaksian di pengadilan dan jika tidak ada pihak lain yang bersaksi atau jumlah saksi tidak
mencukupi tanpa dirinya maka ia menjadi fardu ain. Selain itu, kesaksian harus didasarkan pada
keyakinan pihak saksi, yakni berdasarkan penginderaannya secara langsung pada peristiwa tersebut.
Sabda Rasulullah SAW.:



Jika engkau mengetahuinya seperti (melihat) matahari maka bersaksilah. Namun, jika tidak maka
tinggalkanlah (HR Baihaqi dan Hakim)
Syariah juga telah menetapkan orang-orang yang tidak boleh menjadi saksi yaitu: orang yang mendapat
sanksi karena menuduh orang lain berzina (qadzaf), anak yang bersaksi kepada bapaknya dan bapak
kepada anaknya, istri kepada suaminya dan suami kepada istrinya, pelayan (alkhadim) yang lari dari
pekerjaannya serta orang yang bermusuhan dengan terdakwa. Penetapan layak tidaknya seseorang
menjadi saksi dalam sebuah perkara ditetapkan oleh qdhi di dalam pengadilan.
Jumlah saksi dalam setiap perkara pada dasarnya dua saksi laki atau yang setara dengan jumlah tersebut,
yaitu satu saksi laki dan dua perempuan, empat saksi perempuan atau satu saksi laki-laki ditambah
dengan sumpah penuntut. Sebagaimana diketahui, dua orang wanita dan sumpah setara dengan seorang
saksi laki-laki. Meski demikian, syariah telah memberikan pengecualian dari jumlah tersebut. Pada kasus
perzinaan disyaratkan empat saksi, penetapatan awal bulan (hilal) cukup satu orang saksi dan kegiatan
yang hanya melibatkan wanita seperti penyusuan dengan satu saksi perempuan.
3. Dokumen tertulis

17
Dokumen setidaknya ada tiga jenis, yaitu dokumen yang bertanda tangan, dokumen resmi yang
dikeluarkan oleh negara dan dokumen yang tidak bertanda tangan. Namun, jika ia mengingkarinya maka
dokumen tersebut tertolak.
Dokumen yang dianggap valid menjadi alat bukti bagi pendakwa hanya diterima jika dihadirkan di
pengadilan. Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ahmad meriwayatkan Ummu Salamah berkata: Dua laki-
laki telah berselisih tentang warisan dan mengdatangi Rasulullah SAW, tanpa membawa bukti. Beliau SAW
bersabda: kalian berdua membawa perselisihan kalian kepadaku, sedang aku adalah seseorang yang seperti
kalian dan salah seorang diantara kalian mungkin berbicara lebih fasih, sehingga aku mungkin menghakimi
berdasarkan keinginannya. Dan jika aku menghukumnya dengan sesuatu yang bukan menjadi miliknya dan
aku mengambilnya sebagai hak saudaranya maka ia tidak boleh mengambilnya karena apapun yang aku
berikan padanya akan menjadi serpihan api neraka dalam perutnya dan dia akan datang dengan
menundukkan lehernya dihari pembalasan. Kedua orang itu menangis dan salah satu dari mereka berkata,
aku berikan bagianku pada saudaraku. Rasulullah SAW bersabda: Pergilah kalian bersama-sama dan
bagilah warisan itu diantara kalian dan dapatkan hak kalian berdua serta masing-masing dari kalian saling
mengatakan, Semoga Alloh mengampunimu dan mengikhlaskan apa yang dia ambil agar kalian berdua
mengdapat pahala.

L. Hikmah Peradilan
1. Terwujudnya perdamaian dalam masyarakat.
2. Terwujudnya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa
3. Terwujudnya perlindungan hak setiap orang.
4. Terwujudnya keadilan bagi manusia.
5. Mewujudkan sifat taqwa bagi semua pihak.

18
SKL FIKIH 4
USHUL FIQIH

TADARUS

QS Ali Imran: 18


Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah),yang menegakkan
keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan
melainkan Dia (yang berhak disembah),yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

A. Pengertian Ushul Fiqih


1. Bahasa
Kata Ushul Fiqih dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqih. Kata
Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi
yang lain. Dan Fiqih itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu. Dalam istilah, mengandung
makna "Ilmu tentang hukum-hukum syara mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci." Atau
dalil-dalil bagi hukum syara mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ ketentuan-ketentuan umum bagi
pengambilan hukum-hukum syara mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
2. Istilah
a. Menurut Abdul Wahhab Khallaf
Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-aturan/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang
dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang
terperinci.
b. Menurut Muhammad Abu Zahrah
Ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum
dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan
memberi illat (alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-
kemaslahatan yang dimaksud oleh syara.
Jadi Ushul Fiqih adalah ilmu yang mempelajari cara-cara atau kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-
sumber secara terinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam.

B. Objek Kajian Ilmu Ushul Fiqih


Menurut ulama mazhab Syafi'i yang menjadi obyek kajian para ulama ushul fiqih adalah dalil-dalil yang
bersifat global seperti kehujahan ijma dan qias, cara menetapkan hukum dari dalil-dalil tersebut, dan status
orang yang menggali dalil serta pengguna hukum tersebut. Untuk yang disebut ini mencakup syarat-syarat
mujtahid serta syarat-syarat taklid.
Menurut Muhammad Mustafa Zuhaili, menyatakan bahwa yang menjadi obyek kajian ushul fiqih adalah
sebagai berikut :
1. Mengkaji sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara, baik yang
disepakati (seperti kehujahan Al Quran dan hadis), maupun yang diperselisihkan (seperti kehujahan
istihsan al-maslahah al-mursalah)
2. Mencarikan jalan keluar dari dalil-dalil yang secara lahir dianggap bertentangan, baik melalui al jam'u wa
at taufiq (pengompromian dalil), tarjih al adillah, nasakh, atau tasaqut ad dalilain (pengguguran kedua
dalil yang bertentangan). Misalnya, pertentangan ayat dengan ayat, ayat dengan hadits, atau hadits dengan
pendapat akal.
3. Pembahasan ijtihad, syarat-syarat, dan sifat-sifat orang yang melakukannya (mujtahid), baik yang
menyangkut syarat-syarat umum maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.
4. Pembahasan tentang hukum syara (nas dan ijma), yang meliputi syarat dan macam-macamnya, baik yang
bersifat tuntutan untuk berbuat, meninggalkan suatu perbuatan, memilih untuk melakukan suatu
perbuatan atau tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab, syarat, mani', sah, fasid, serta azimah dan
rukhsah. Dalam pembahasan hukum ini juga dibahas tentang pembuat hukum (al mahkum alaih),
ketetapan hukum dan syarat-syaratnya, serta perbuatan-perbuatan yang dikenai hukum.

19
5. Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam meng-istinbat-kan
hukum dari dalil-dalilnya, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang
akan dicapai oleh suatu nash (ayat atau hadits).
Dengan demikian terlihat jelas perbedaan antara obyek ushul fiqih dan obyek fiqih itu sendiri. Obyek
kajian ushul fiqih adalah dalil-dalil, sedangkan obyek fiqih adalah perbuatan seseorang yang telah mukallaf
(telah dewasa dalam menjalankan hukum). Jika ahli ushul fiqih membahas dalil-dalil dan kaidah-kaidah yang
bersifat umum, maka ahli fiqih mengkaji bagaimana dalil-dalil juz'i (sebagian) dapat diterapkan pada
peristiwa-peristiwa khusus. Misalnya, perintah adalah wajib, hal ini merupakan ketentuan universal yang
sesuai dengan bagian-bagiannya sebagaimana firman Allah dalam Al Quran bahwa aqimu al Shalah
(dirikanlah sholat) dan atu al zakah (keluarkan zakat).
Sedangkan cara menggunakan ketentuan-ketentuan universal dalam menggali hukum syara ialah, firman
Allah aqimu kalimat perintah yang menunjukkan makna thalab (tuntutan) yaitu kerjakan dan tidak ada
tanda-tanda yang mengalihkan perkataan dari makna perintah kepada makna lainnya. Oleh karena itu, setiap
kalimat yang menunjukkan arti perintah selama tidak ada hal yang mengalihkan dari makna asalnya maka
kalimat tersebut menunjukkan wajib. Hasilnya, bahwa aqimu menuntut wajibnya pekerjaan yang dituntut
aqimu yaitu sholat. Akhirnya, sebuah produk hukum yang dikandung dalam aqimu al Shalah bahwa shalat itu
wajib.

C. Tujuan mempelajari Usul Fiqih


Tujuan mempelajari Ushul Fiqih adalah ;
1. Untuk mengetahui proses pengambilan keputusan hukum/istimbath dari dalil-dalil nash dan alasan-
alasannya.
2. Untuk mengetahui mana yang disuruh mengerjakan dan mana pula yang dilarang mengerjakannya.
3. Untuk mengetahui hukum-hukum syariat Islam dengan jalan yakin (pasti) atau dengan jalan zhan
(dugaan, perkiraan).
4. Untuk menghindari taklid (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui alasan-alasannya) hal ini
dapat berlaku.
5. Dapat mengambil hukum soal-soal cabang kepada soal-soal yang pokok atau dengan mengembalikan soal-
soal cabang kepada soal-soal pokok.
6. Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam dunia pengetahuan
yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.
7. Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para mujtahid zaman dulu merumuskan hukum
fiqih seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam
merumuskan hukum itu.
8. Mengetahui bagaimana hukum fiqih itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan hukum itu orang juga
dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan
ilmu pengetahuan sekarang; atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan.

D. Perbedaan Ushul Fiqih dan Fiqih


1. Pengetahuan fiqih itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul fiqih
2. Pokok bahasan Ilmufiqih adalah perbuatan orang-orang mukallaf, yakni orang-orang yang telah dibebani
ketetapan-ketetapan hukum agama Islam. Sedang ushul fiqih menyelidiki keadaan dalil-dalil syara dan
menyelidiki bagaimana caranya dalil-dalil tersebut menunjukkan hukum-hukum yang berhubungan
dengan perbuatan orang mukallaf. Karena itu, yang dibicarakan oleh ushul fiqih ialah dalil-dalil syara dari
segi penunjukannya kepada hukum atas perbuatan orang mukallaf.
3. Tujuan mempelajari ilmu fiqih adalah untuk dapat menerapkan hukum syara bagi mukallaf dengan status
hukumnya (wajib, sunnah, haram, mubah dan makruh) . Ushul fiqih adalah untuk mengetahui proses
hingga ketetapan hukum dihasilkan (produk hukum) yang dilakukan melalui metode istimbath hukum,
berdasar dalil, kaidah, alasan tertentu sehingga perbuatan itu apakah wajib, sunnah, haram, mubah atau
makruhdilaksanakan oleh mukallaf.
4. Ilmu Fiqih segala pekerjaan para mukallaf yang berkaitan dengan hukum taklifi berdasar dalil yang telah
ditetapkan. Sedang ilmu ushul fiqih membicarakan tentang Al Quran dan Hadits dari segi lafalnya, baik
dalam bentuk amar, nahyi,aam, khas mutlaq, mahfum, maslahatul mursalah, syariat yang di tetapkan bagi
umat yang terdahulu, yang dapat dijadikan dasar dalam penetapan hukum pada setiap ucapan dan
perbuatan mukallaf.

E. Ruang Lingkup Kajian Ushul Fiqih


1. Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram)
dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).

20
2. Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenai hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu
sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan,
apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
3. Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak,
apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
4. Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh
usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid
muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
5. Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang
beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
6. Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunaannya, fungsi
dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
7. Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al Quran, Sunnah, ijma, qiyas, istihsan, istishlah,
istishhab, mazhabus shahabi, al 'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus
syari'ah/ususus syari'ah.
8. Masa'ah rayu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, alwashful munasib, as sabru wat taqsim,
tanqihul manath, ad dauran, assyabhu, ilghaul fariq dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat
tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.
F. Hubungan antara Usul Fiqih dan ilmu lainnya
1. Hubungan ilmu ushul fiqih dengan ilmu fiqih
Ilmu fiqih membahas dalil-dalil untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan
perbuatan manusia. Sedangkan ilmu ushul fiqih meninjau dari segi penetapan hukum, klasifikasi
argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dalil tersebut. Hubungan antara ushul
fiqih dan fiqih, fiqih adalah hasil istimbath, sedangkan cara istinbath dipelajari dalam ilmu ushul fiqih. Jadi
hasil perolehan dari ushul fiqih akan dibahas oleh ilmu fiqih yang tergolong dalam hukum lima yaitu
halal,haram, sunnah, wajib dan makruh. Kesimpulannya seorang ahli fiqih tidak dapat terlepas dari ushul
fiqih.
2. Hubungan ilmu ushul fiqih dengan ilmu qowaidul fiqih
Ilmu qawaid fiqihiyah membahas tentang kaidah-kaidah hukum secara umum yang diambil dari berbagai
permasalahan fiqih yang berserakan. Masalah-masalah fiqih yang mempunyai persamaan dalam hukum
dijadikan satu, sehingga menghasilkan sebuah kaidah. Ilmu ushul fiqih membahas tentang kaidah-kaidah
di dalam fiqih.
3. Hubungan Ilmu Ushul Fiqih dengan Bahasa Arab
Ilmu bahasa Arab, yaitu ilmu-ilmu yang membahas tentang bahasa Arab dengan segala cabangnya. Ilmu
ushul fiqih bersumber dari bahasa Arab, karena ilmu ini mempelajari teks-teks yang ada di dalam Al
Quran dan hadis yang keduanya menggunakan bahasa Arab. Ilmu bahasa Arab ini mempunyai hubungan
yang paling erat dengan ilmu ushul fiqih, karena mayoritas kajiannya adalah berkisar tentang metodologi
penggunaan dalil-dalil syari, baik yang bersifat al-lafdhi (tekstual) maupun yang bersifat al manawi
(substansial) dimana keduanya adalah pembahasan tentang bahasa Arab
4. Hubungan ilmu ushul fiqih dengan ilmu ushuluddin
Ilmu ushuludin, yaitu ilmu-ilmu yang membahas masalah keyakinan. Ilmu ushul fiqih bersumber dari
ilmu ushuludin, karena dalil yang dibahas di dalam ushul fiqih adalah dalil yang terdapat di dalam Al
Quran dan sunnah, dan keduanya diturunkan oleh AllahSWT. Kalau tidak ada keyakinan seperti ini,
niscaya ilmu ushul fiqih ini tidak akan pernah muncul ke permukaan, karena salah satu tujuan ilmu ini
adalah meletakkan kaidah-kaidah di dalam proses pengambilan hukum dari kedua sumber tadi.
5. Hubungan ilmu ushul fiqih dengan ilmu mantiq
Ilmu mantiq merupakan kaidah berfikir yang memelihara akal agar tidak terjadi kerancuan dalam berfikir.
Sedang ilmu ushul fiqih merupakan kaidah yang memelihara fuqaha agar tidak terjadi kesalahan dalam
meng-istinbat-kan hukum. Istimbat hukum dan penyusunan kaidah-kaidah fiqih, ilmu mantiq sangat
penting dalam istimbat hukum.
6. Hubungan ilmu ushul fiqih dengan ilmu Al Quran dan hadits
Ilmu ushul fiqih pembahasannya didasarkan pada dalil yang bersumber dari Al Quran dan hadis, maka
pengetahuan menyangkut kedua ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan. Artinya pembahasan ilmu ushul
fiqih tidak akan keluar dari sumber dalil nash yang paling absah kebenarannya.

21
SKL FIKIH 5
SEJARAH USHUL FIQIH

TADARUS

QS Ali Imran: 18



Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan
keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan
melainkan Dia (yang berhak disembah),yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

A. Tahapan-tahapan perkembangan ushul fiqih


1. Perkembangan ushul fiqih pada Masa Nabi
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al Quran dan sunnah. Apabila suatu
kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu
tidak turun, maka Rasulullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, kemudian dikenal
dengan Hadis/sunnah. Hal ini diantaranya dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:
Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak
diturunkan wahyu kepadaku. (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah).
Hasil ijtihad Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah bagi Umat Islam. Hadis tentang pengutusan
Muaz Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadhi, menunjukkan perijinan yang luas untuk melakukan ijtihad hukum
pada masa Nabi. Dalam pengutusan ini Nabi bersabda yang artinya : Bagaimana engkau (muaz) mengambil
suatu keputusan hukum terhadap permasalahan hukum yang diajukan kepadamu? Jawab muadz; saya akan
mengambil suatu keputusan hukum berdasarkan kitab Allah (Al Quran). Kalau kamu tidak menemukan
dalam kitab Allah? Jawab Muadz, saya akan mengambil keputusan berdasarkan keputusan berdasarkan
sunnah Rasulullah. Tanya Nabi, jika engkau tidak ketemukan dalam sunnah? Jawab Muadz, saya akan
berijtihad, dan saya tidak akan menyimpang. Lalu Rasulullah menepuk dada Muadz seraya mengatakan
segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik utusan Rasulnya pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan
rasulnya.
Hadis ini secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi untuk mengembangkan ilmu ushul fiqih,
tetapi secara tersirat jelas Nabi telah memberikan keluasan dalam mengembangkan akal untuk menetapkan
hukum yang belum tersurat dalam Al Quran dan Sunnah. Untuk mencari solusi terhadap urusan-urusan
keduniaan Rasulullah bersabda : Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.
Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi sendiri pada dasarnya telah
memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan ijtihad setidak-tidaknya dalam bentuk qiyas
sebagaimana dapat kita temukan dalam hadis sebagai berikut : Seorang wanita namanya Khusaimiah datang
kepada Nabi dan bertanya, Ya Rasulullah ayah saya seharusnya telah menunaikan haji, dia tidak kuat duduk
dalam kendaraan karena sakit, Apakah saya harus melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah dengan
bertanya bagaimana pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah engkau harus membayar?
Perempuan itu menjawab , Ya, Nabi berkata utang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.
Hadis ini menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika seorang sahabat datang
kepada Nabi yang menanyakan tentang keharusan penunaian kewajiban ibadah haji ayahnya yang mengidap
sakit, Nabi menegaskan keharusan penunaiannya dengan melakukan pengiyasan terhadap pembayaran utang
antara sesama manusia.
Ada satu hal yang perlu dicatat, kehadiran Nabi sebagai pemegang otoritas tunggal dalam permasalahan-
permasalahan hukum membuat Nabi sangat berhati-hati disatu pihak, dan terbuka dipihak lain. Sikap hati-
hati yang ditempuh oleh Nabi dalam rangka penerapan hukum Islam bidang ibadah. Penjelasan Nabi yang
berkaitan dengan ini cukup rinci. Wahyu memegang peranan sangat penting. Sikap terbuka yang ditempuh
oleh Nabi dalam upaya pengembangan permasalahan hukum Islam bidang muamalah.
Berbeda dengan ibadah, dalam muamalah penjelasan Nabi lebih banyak bersifat garis besar, sedangkan
perincian dan penjelasan pelaksanaannya diserahkan kepada manusia. Manusia dengan akal yang
dianugerahkan kepadanya diberi peranan lebih banyak. Artinya, ini pulalah salah satu faktor yang ikut
mendukung terhadap pertumbuhan ilmu ushul fiqih selanjutnya.
Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para
sahabat. Misalnya ketika menjawab pertanyaan sahabat Umar Ibn Khatab tentang batal atau tidaknya puasa
seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah SAW bersabda : Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan
puasa, apakah puasamu batal? Umar menjawab:Tidak apa-apa (tidak batal). Rasulullah kemudian bersabda
maka teruskan puasamu.(HR Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud).
2. Perkembangan ushul fiqih pada masa sahabat dan tabiin
a. Pada Masa Sahabat
Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan
hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW

22
sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh
Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber
hukum.
Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab tidak menjatuhkan hukuman potong
tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/ terpaksa). Dan sahabat Ali bin Abi
Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum
ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mutah. Beliau menyamakan kedudukan wanita
tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan
maharnya, maka oleh syara ditetapkan hak mutah baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah
yang artinya: Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum
kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu
memberikan mutah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang
yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al Baqarah: 236).
Pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam
berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabat telah terjadi praktek
berijtihad, hanya saja pada waktu itu tidak disusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan ilmu
ushul fiqih karena pada waktu itu tidak dibutuhkan adanya. Semua itu disebabkan mereka mengetahui
sebab-sebab turun (asbabun nuzul) ayat, sebab-sebab datang (asbabul wurud) hadis, mempunyai
ketajaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-dasar syara dalam menetapkan hukum
yang mereka peroleh.
b. Pada Masa Tabiin
Pada masa tabiin, tabiit-tabiin dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah
kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang
bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat
istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit
penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam.
Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu
pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan
ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.Pada masa ini juga semakin banyak
terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang
ditempuhnya.
Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi
juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah. Kenyataan-kenyataan tersebut
mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syariah yakni kaidah-kaidah yang bertalian
dengan tujuan dan dasar-dasar syara dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syariah dan kaidah-kaidah kebahasaan dalam berijtihad pada abad II
Hijriyah, maka telah terwujudlah ilmu ushul fiqih. Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama
kali menyusun kitab ilmu ushul fiqih ialah Imam Abu Yusuf (murid Imam Abu Hanifah) akan tetapi kitab
tersebut tidak sampai kepada kita. Menurut Abdul Wahhab Khallaf, ulama yang pertama kali membukukan
kaidah-kaidah ilmu ushul fiqih dengan sejumlah alasannya adalah Muhammad bin Idris asy Syafii (150-
204 H) dalam karya yang fenomenal yakni kitab Ar Risalah. Beliau adalah orang pertama yang
mengembangkan ilmu ushul fiqih.
3. Pembukuan Ilmu Ushul Fiqih
Salah satu yang mendorong diperlukannya pembukuan ilmu ushul fiqih adalah perkembangan wilayah
Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum
diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum
yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Golongan Hanafiyah misalnya mengklaim bahwa yang pertama menyusun ilmu Ushul Fiqih ialah Abu
Hanifah, Abu Yusuf dan Ibnu Ali Al Hasan. Alasan mereka bahwa Abu Hanifah merupakan orang yang pertama
menjelaskan metode istinbath dalam kitabnyanya Ar Rayu. Dan Abu Yusuf adalah orang yang pertama
menyusun ushul fiqih dalam madzhab Hanafi, demikian pula Muhammad Ibnu Al Hasan telah menyusun
ushul fiqih sebelum Imam Syafii, bahkan Imam Syafii berguru kepadanya. Golongan Syafiiyah juga
mengklaim bahwa Imam Syafii lah orang yang pertama yang menyusun kitab ushul fiqih.
4. Tahapan perkembangan Ushul Fiqih
a. Tahap awal (abad 3 H)
Pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian timur, khalifah-
khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al Mamun (w. 218 H), Al Mutashim (w. 227 H), Al Wasiq
(w. 232 H), dan Al Mutawakil (w. 247 H) pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah
dikalangan Islam yang dimulai sejak kekhalifahan Harun Al Rasyid. Salah satu hasil dari kebangkitan
berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqih yang pada giliranya
mendorong untuk disusunnya metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqih.
Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqih yang pertama-tama tersusun secara utuh dan terpisah dari
kitab-kitab fiqih ialah Ar Risalah karya Imam Syafii. Kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang
bernilai tinggi. Selain kitab Ar Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushul fiqih
lainnya. Isa Ibnu Iban (w. 221 H\ 835 M) menulis kitab Itsbat Al Qiyas. Ibrahim Ibnu Syiar Al Nazham (w.
221 H\ 835 M) menulis kitab An Naql dan sebagainya.
b. Tahap perkembangan (abad 4 H)

23
Pada masa ini abad (4 H) merupakan abad permulaan kelemahan dinasti Abbasiyah dalam bidang politik.
Dinasti Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan.
Namun demikian tidak berpengaruh terhadap perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama
ketika itu. Karena masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan negerinya dengan
memperbanyak kaum intelektual.
Khusus dibidang pemikiran fiqih Islam pada masa ini mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka
sejarah hukum Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad berhenti pada abad ini. mereka
mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi
mengeluarkan pemikiran yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqih
semakin mantap exsitensinya, apa lagi disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan
adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab sewaktu-
waktu. Sehingga pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup dengan indikasi sebagai berikut:
1) Kegiatan para ulama terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung hanya
mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya.
2) Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian banyaknya dalam uraian yang singkat
3) Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah permasalahan.
Kitab-kitab ushul fiqih yang merupakan hasil karya ulama-ulama fiqih pada abad ke-4 H diantaranya:
1) Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Hasan Ubaidillah Ibnu Husain Ibnu Dilal Dalaham Al Kharkhi,
(w. 340 H.)
2) Kitab Al Fushul Fi Fushul Fi Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar Razim yang juga terkenal
dengan Al Jasshah (305H.)
3) Kitab Bayan Kasf Al Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badaruddin Mahmud Ibnu Ziyad Al Lamisy Al
Hanafi.
c. Tahap penyempurnaan (abad 5-6 H)
Dalam sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan periode penulisan
ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang menjadi kitab standar dalam pengkajian
ilmu ushul fiqih selanjutnya. Kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan
adanya kitab ushul fiqih bagi masing-masing mazhab, juga menunjukkan adanya aliran ushul fiqih, yakni
aliran hanafiah yang dikenal dengan aliran fuqaha, dan aliran Mutakalimin.

B. Peranan ushul fiqih dalam pengembangan fiqih Islam


Tujuan ilmu ushul fiqih adalah menerapkan kaidah-kaidah dan pembahasannya pada dalil-dalil yang
detail untuk diambil hukum syara. Sehingga dengan kaidah dan pembahasannya dapat dipahami nash- nash
dengan sejumlah hukum yang dikandungnya, dapat diketahui sesuatu yang memperjelas kesamaran nash-
nash tersebut dan nash mana yang dimenangkan ketika terjadi pertentangan antara nash dengan yang lain.
Dengan kaidah dan pembahasannya itu juga dapat dikeluarkan suatu hukum yang tidak memiliki nash
dengan cara qiyas, istihsan, istishab atau yang lain. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peranan
ushul fiqih sangat penting dalam perkembangn fiqih Islam khususnya dalam penerapan hukum yang
membutuhkan kaidah secara mendetail.

C. Aliran-aliran Ushul Fiqih


1. Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin di dalam pembahasan usul fiqh menempuh cara-cara yang digunakan dalam
ilmu kalam yakni mendasarkan kepada akal pikiran serta alasan-alasan yang kuat dalam menetapkan
hukum. Diantara penyokong aliran ini adalah golongan Syafiiyah, Malikiyah, Hambaliyah, dan sebagian
ulama-ulama muktazilah.
Di antara kitab-kitab ilmu ushul fiqih dalam aliran ini adalah :
a. Kitab Al Mu'tamad disusun oleh Abdul Husain Muhammad bin Ali Bashriy Al Mu'tazili (w. 463 H).
b. Kitab Al Burhan disusun oleh Abdul Malik bin Abdullah Al Jawainiy An Naisaburiy Asy Syafi'iy (w. 487
H).
c. Kitab Al Mushtashfa disusun oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazaliy Asy Syafii (w.
505 H).
d. Kitab Al Mahshul disusun oleh Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar Raziy Asy Syafi'iy (w. 606 H). Kitab
ini merupakan ringkasan dari tiga kitab yang disebutkan di atas.
2. Aliran Hanafiyah
Para ulama dalam aliran ini, dalam pembahasannya, berangkat dari hukum-hukum furu' yang
diterima dari imam-imam (mazhab) mereka. Jika terdapat kaidah yang bertentangan dengan hukum-
hukum furu' yang diterima dari imam-imam mereka, maka kaidah itu diubah sedemikian rupa dan
disesuaikan dengan hukum-hukum furu' tersebut. Jadi para ulama dalam aliran ini selalu menjaga
persesuaian antara kaidah dengan hukum furu' yang diterima dari imam-imam mereka.
Di antara kitab-kitab ilmu ushul fiqih dalam aliran ini, yaitu : kitab yang disusun oleh Abu Bakar
Ahmad bin Ali atau Al Jashshash (w. 380 H), kitab yang disusun oleh Abu Zaid Ubaidillah bin Umar Al
Qadliy Ad Dabusiy (w. 430 H), kitab yang disusun oleh Syamsul Aimmah Muhammad bin Ahmad As
Sarkhasiy (w. 483 H).

24
SKL FIKIH 6

HUKUM SYARA

A. Hukum Syari
Makna bahasa dari kata Syariah adalah sumber air yang tidak ada habis di mana orang-orang
memenuhi dahaganya. Sesuai dengan arti secara bahasa makna Syariah adalah hukum Islam yang menjadi
sumber petunjuk. Sebagaimana air yang merupakan dasar kehidupan, hukum Islam juga merupakan sumber
penting untuk mengarahkan kehidupan manusia.
Syariah adalah hukum-hukum dan aturan yang Allah syariatkan buat hambanya untuk diikuti dan
hubungan mereka sesama manusia. Disini kami maksudkan makna secara yang istilah yaitu syariat tertuju
kepada hukum yang didatangkan al-quran dan rasulnya, kemudian yang disepakati para sahabat dari hukum
hukum yang tidak datang mengenai urusannya sesuatu nash dari al-quran atau as-sunnah. Kemudian hukum
yang diistimbatkan dengan jalan ijtihad, dan masuk ke ruang ijtihad menetapkan hukum dengan perantaraan
qiyas, karinah, tanda-tanda dan dalil-dalil
Syariah terdiri dari semua hukum yang diperoleh dari sumber hukum Islam. Hukum ini tidak terbatas
pada masalah pernikahan atau perceraian saja, tetapi mencakup setiap perbuatan individu atau masyarakat.
Kata Syariah juga merupakan sinonim dari fiqih
Istilah hukum Syara dalam bahasa Arab maksudnya adalah seruan Pembuat Hukum (asy Syari)
berkenaan dengan perbuatan kita. Islam membahas semua perbuatan kita apakah boleh atau tidak. Setiap
perbuatan kita harus mengikuti hukum Syara. Allah berfirman:


Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim. (Al-Maidah: 45)
Hukum syara/ syari menurut istilah pakar ushul fiqih adalah seruan (khithab) syara yang berkaitan
dengan aktivitas hamba (manusia), berupa tuntutan (al-iqtidla), penetapan (al-wadli) dan pemberian pilihan
(at-takhyir). Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku
manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
pembahasan tentang hukum syara sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi orang yang sudah baligh
(dewasa) dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat
yang beragama Islam.
Seruan syara yang berkaitan dengan penjelasan hukum atas perbuatan manusia, berupa tuntutan dan
pemberian pilihan disebut dengan khithab taklifi, yaitu seruan yang berarti tuntutan, baik tuntutannya pasti
(jazm) atau tidak pasti (ghair jazm), atau yang dimaksudkan seruannya berupa pilihan antara megerjakan
atau tidak. Sedang seruan syara yang menjelaskan perkara-perkara yang dituntut oleh hukum atas perbuatan
manusia, yaitu perkaraperkara yang menentukan terwujudnya suatu hukum atau kesempurnaannya disebut
dengan khithab wadli.

B. Hukum Taklifi
1. Pengertian Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung tuntutan untuk melakukan, meninggalkan atau
memilih antara melakukan atau meninggalkan. Hukum ini disebut dengan taklifi karena di dalamnya ada
beban bagi manusia. Beban itu terlihat jelas karena merupakan suatu tuntutan, baik tuntutan untuk
mengerjakan atau meninggalkan, dan takhyir (memilih). Seperti hukum yang menyangkut perintah seperti
shalat, membayar zakat dan lain-lain.
Perbuatan manusia perlu diketahui hukum syara nya, karena Allah mewajibkan setiap muslim agar
memperhatikan setiap perbuatan yang akan dikerjakannya, dan mengetahui hukum syara atas perbuatan
tersebut sebelum dikerjakan, karena Allah akan meminta pertanggungjawaban atas perbuatannya kelak.
QS. al-Hijr: 92-93


92. Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, 93. tentang apa yang telah mereka
kerjakan dahulu.
2. Macam-macam Hukum Taklifi
a. Perintah
Perintah adalah keadaan kukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat. Kondisi hukum yang
mengandung tuntutan untuk dikerjakan dapat digolongkan dalam 2 kategori hukum taklifi, yakni wajib
dan sunah

1) Wajib
Wajib/ fardhu adalah suatu perbuatan apabila perbuatan itu dikerjakan oleh seseorang maka akan
mendapat pahala, dan apabila perbuatan itu ditinggalkan akan mendapat siksa. Jumhur fuqaha
menyamakan antara wajib dan fardu, sedangkan ulama Hanafiyah membedakan kedua istilah ini.
Apabila tuntutan untuk mengerjakan sesuatu perbuatan itu berdasarkan dalil-dalil qathi, baik dari
25
Alquran maupun hadis mutawatir dinamai fardu, dan apabila berdasarkan dalil-dalil dhanni, yakni
hadis-hadis ahad, maka disebut wajib.

103. Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman. (QS Annisa: 103)


103. ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. (QS Attaubah: 103).
a) Ditinjau dari sisi pembebanannya: wajib/ fardu ain dan wajib/ fardu kifayah
1) Wajib ain adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap mukallaf tanpa kecuali.
Kewajiban ini harus dilaksanakan sendiri dan tidak bisa diganti orang lain. Seperti sholat
(QS. An Nur: 56)

dan dirikanlah sembahyang,

2) Wajib kifayah adalah kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukallaf dan dapat gugur
manakala telah dilaksanakan oleh sebagian dari mereka. Seperti sholat jenazah.
:
:


. .
Dari Salamah bin Al-Akwa,pada suatu saat kami duduk-duduk dekat Nabi Saw.Ketika itu
dibawa seorang mayat, beliau berkata kepada kami, shalakanlah teman kamu .
b) Ditinjau dari sisi kandungan perintah: wajib muayyan dan wajib mukhayyar
1) Wajib muayyan adalah suatu kewajiban yang telah ditentukan dan tidak ada pilihan bagi
mukallaf, seperti puasa di bulan ramadlan (QS. Al Baqarah: 183).

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa

2) Wajib mukhayyar adalah suatu kewajiban yang boleh dipilih oleh mukallaf atas beberapa
alternatif. Misalnya membayar kifarat (denda) bagi seseorang yang melanggar sumpah, maka
ia wajib memilih salah satu dari 3 hal dalam membayar kifarat, yakni memberi makan 10
fakir miskin atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak.

c) Ditinjau dari sisi waktu pelaksanaannya: wajib mutlak dan wajib muaqqat
1) Wajib mutlak adalah suatu kewajiban yang waktu pelaksanaannya tidak dibatasi oleh waktu
tertentu. Seperti mengqada puasa ramadlan yang tertinggal (QS. Al Baqarah: 184).


Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-
hari yang lain.

2) Wajib muaqqat adalah suatu kewajiban yang pelaksanannya dibatasi oleh waktu tertentu.
Seperti sholat lima waktu.
2) Sunah/ Mandhub
Sunnah atau Mandub adalah perbuatan yang apabila perbuatan itu dikerjakan, maka orang yang
mengerjakannya mendapat pahala dan apabila ditinggalkan, maka orang yang meninggalkannya
tidak mendapat siksa. Seperti pada QS Albaqarah: 281


Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya
Menulis dan mencatat hutang itu tidaklah wajib, walaupun dalam firman tersebut dilukiskan
dengan fiil amr, yang pada umumnya fiil amr itu mengandung arti wajib.
Hukum mandub atau sunnah terbagi dalam 3 kategori hukum, diantaranya:
a. Sunnah muakkad adalah sunnah yang sangat dianjurkan, sebab sunnah ini selalu dilakukan oleh
Nabi SAW dan sangat jarang ditinggalkan. Misalnya salat jamaah






Shalat jamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dua puluh tujuh derajat

b. Sunah ghairu muakkad adalah sunnah yang biasa dianjurkan, sebab sunnah ini biasa dilakukan
oleh Nabi SAW, namun terkadang ditinggalkan. Misalnya memberikan sodaqah kepada orang
yang tidak dalam kondisi terdesak.
26
c. Sunah zawaid adalah sunnah yang biasa dilakukan oleh Nabi SAW sebagai seorang manusia
biasa, seperti adat kebiasan nabi dalam hal makan, minum duduk, berpakaian.
b. Larangan
Larangan adalah keadaan hukum yang melarang kepada mukallaf untuk berbuat. Kondisi hukum yang
mengandung larangan untuk dikerjakan dapat digolongkan dalam 2 kategori hukum taklifi, yakni
haram dan makruh.

1) Haram
Haram adalah perbuatan yang apabila ditinggalkan, maka orang yang meninggalkannya akan
mendapat pahala, dan apabila perbuatan itu dikerjakan mendapat siksa.


Katakanlah: marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia. (QS Alanam: 151)
Hukum haram terbagi dalam 2 kategori hukum yaitu :
a) Haram li dzatihi adalah sesuatu yang diharamkan oleh syariat Islam karena esensinya
mengandung kerusakan dan bahaya bagi kehidupan manusia. Contoh berzina (QS. Al Isra : 32)

dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
dan suatu jalan yang buruk.

b) Haram li ghoirihi adalah sesuatu yang diharamkan oleh syariat bukan karena esensinya, namun
karena membawa kepada esensi haram. Seperti jual beli pada saat adzan jumat (QS. Al Jumuah :
9)


apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli..

2) Makruh
Makruh adalah suatu perintah yang dilarang mengerjakan, tetapi tidak bersifat harus (mengikat),
yang ditunjukkan dengan dalil yang menyatakan tidak haram Atau perbuatan yang apabila
perbuatan itu ditinggalkan, maka orang yang meninggalkannya akan mendapat pahala dan apabila
dikerjakan, maka orang yang mengerjakannya tidak mendapat siksa. Seperti pada QS. An Nahl : 116




dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta
"Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu. (QS Almaidah: 101)
Larangan menanyakan sesuatu yang membahayakan itu adalah makruh bukan haram, karena Allah
memerintahkan kepada kita untuk menanyakan kepada para ahli tentang hal-hal yang belum kita
ketahui. Sebagaimana firman Allah QS An nahl: 43,

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Hukum makruh terbagi dalam 2 kategori hukum, diantaranya:
a) Makruh tanzih adalah makruh yang tidak dicela bila dikerjakan, tetapi terpuji bila ditinggalkan
seperti merokok, makan jengkol. Contoh lain dari dari makruh adalah Sabda Rosulullah saw :

Janganlah salah satu dari kalian memegang kemaluan-nya dengan tangan kanan, ketika sedang
kencing, dan jangan cebok dengan tangan kanan, serta jangan bernafas ketika minum. ( HR
Bukhari, Muslim)
Larangan dalam hadist di atas, menurut mayoritas ulama adalah larangan yang tidak tegas, maka
dihukumi makruh , bukan haram. Kalau ada pertanyaan, apa ciri yang membedakan antara
larangan tegas dan tidak tegas ? maka jawabannya : untuk hadist ini kita katakan bahwa larangan di
sini berhubungan dengan adab dan akhlaq saja, dan tidak berhubungan dengan ibadah mahdho.
b) Makruh tahrim adalah makruh yang dekat kepada hukum haram, yaitu haram yang dalilnya belum
qathi (pasti). Contoh seorang berkemampuan menikah tetapi tidak dilaksanakan


27
Barangsiapa yang mampu tetapi tidak menikah, maka bukan (termasuk) golonganku
Seperti halnya juga larangan yang tersebut dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar
ra bahwa Rosulullah SAW bersabda :

Jangalah seseorang diantara kamu meminang atas pinangan saudaranya , dan janganlah
membeli atau pembelian sauadaranya,kecuali dengan ijin-nya (HR Abu Daud)
c. Boleh (Mubah)
Boleh adalah keadaan hukum yang menghendaki agar mukallaf memilih antara berbuat dan
meninggalkan. Kondisi hukum yang mengandung pilihan untuk mengerjakan atau tidak dinamakan
mubah
Contoh: mengqasar shalat (QS An-Nisa: 101), berpakaian indah ketika masuk masjid dan masalah
makan pada (QS. Al-Araf: 31), mengkonsumsi makanan yang terlarang dengan batas tertentu (QS Al
Baqarah: 173)


dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar..


Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan (QS. Al-Araf: 31)

tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. (QS Al Baqarah: 173)
Untuk perkara yang mubah, ada beberapa yang perlu diperhatikan :
a) Jangan berlebihan.
b) Jangan membuat perkara baru (bidah) dalam agama yang tanpa ada contoh atau tanpa ada
maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana kemaslahatan yang lain.
c) Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.

C. Hukum Wadli
1. Pengertian Hukum Wadli
Adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang lain.
Hukum ini disebut dengan wadli karena merupakan perantara antara dua hal dengan hubungan sebab,
syarat, atau penghalang (mani) yang telah ditetapkan Allah. Atau hukum yang berkaitan dengan ketetapan
hukum baik perintah maupun larangan karena seban, syarat, halangan tertentu. misalnya perintah Allah
yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain atau sebagai syarat bagi sesuatu
yang lain. Contoh, perintah shalat menjadikan wajibnya wudhu. Akan tetapi orang yang berwudhu tidak
wajib melaksanakan shalat.
2. Macam-macam Hukum Wadli
a. Sebab (al-Sabab)
Secara etimologis, sebab artinya sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan.
dari kata inilah dinamakan jalan, itu sebagai sabab, karena jalan bisa menyampaikan seseorang
kepada tujuan. Secara istilah sebab adalah sesuatu yang dijadikan pokok pangkal bagi adanya
musabbab (hukum). Artinya dengan adanya sebab terwujudlah musabbab (hukum) dan dengan
tiadanya sebab, tidak terwujudlah suatu musabbab (hukum). Oleh karena itu, sebabnya haruslah jelas
lagi tertentu dan dialah yang dijadikan oleh Syari' sebagai 'illat atas suatu hukum. Misalnya, tindakan
perzinahan menjadi sebab, atau alasan bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya, keadaan gila
menjadi sebab (alasan) bagi keharusan ada pembimbingnya, dan tindakan perampokan menjadi sebab
bagi adanya kewajiban mengembalikan harta yang dirampok kepada pemiliknya.
Para ulama ushul fiqh membagi sebab kepada dua macam:
1) Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf dan berada diluar kemampuannya. Namun
demikian sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi, karena syari'at telah
menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang
mukallaf. Misalnya, tergelincirnya matahari menjadi sebab (alasan) datangnya shalat zuhur (QS. Al
Isra : 78)

dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir
2) Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batas kemampuannya. Misalnya perjalanan
menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa disiang hari romadhon (QS. Al Baqarah: 184) demikian
juga larangan berzina yang merupakan sebab bagi ancaman hukuman (QS. An Nur : 2)

Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain
(QS. Al Baqarah: 184)

28


perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera(QS. An Nur : 2)
b. Syarat (al Syarthu)
Menurut bahasa kata syarat berarti "sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain" atau
"sebagai tanda". Menurut istilah syarat adalah sesuatu yang menyebabkan adanya hukum dengan
adanya syarat dan bila tidak ada syarat maka hukum pun tidak ada. Atau sesuatu yang dijadikan
syariat sebagai pelengkap terhadap perintah syara, tidak sah pelaksanaan suatu perintah kecuali
dengan adanya syarat tersebut. Dan bahwa syarat mempunyai arti penting karena sesuatu yang lain
tergantung kepada adanya syarat tersebut. Dengan tidak terpenuhi syarat tersebut, maka suatu
perintah syara menjadi tidak sah.
1) Wudlu sebagai syarat sahnya salat. Hal ini menunjukkan bahwa syarat sahnya salat tergantung
adanya wudlu.
2) Adanya wali dan saksi dalam pernikahan merupakan syarat sah akat nikah.
3) Si A berkata kepada si B: jika kamu membantu saya maka hutangmu lunas. Membantu di sini adalah
sebagai syarat hutang si B lunas.
Para ulama ushul fiqh membagi syarat kepada dua macam:
1) Syarat syar'i, yaitu syarat yang datang langsung dari syari'at itu sendiri. Misalnya, keadaaan rusyd
(kemampuan untuk mengatur pembalanjaan sehingga tidak jadi mubazir) bagi seorang anak
yatim dijadikan oleh syari'at sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya.
2) Syarat ja'li, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukallaf itu sendiri. Misalnya, seorang
suami berkata kepada istrinya: "jika engkau memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah talaqmu
satu", dan seperti pernyataan seorang bahwa ia harus bersedia menjamin untuk membayarkan
utang si fulan dengan syarat si fulan itu tidak mampu membayar utangnya itu.
c. Penghalang (al Mani)
Kata mani' secara etimologi berarti "penghalang dari sesuatu". Secara istilah mani' adalah sesuatu
yang ditetapkan sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi hukum atau
penghalang bagi berfungsinya suatu sebab. Sebuah akad misalnya, dianggap sah bilamana telah
mencukupi syarat-syaratnya dan akad yang sah itu mempunyai akibat hukum selama tidak terdapat
padanya suatu penghalang (mani'). Misalnya akad perkawinan yang sah karena telah mencukupi
syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab waris mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa
jadi terhalang disebabkan suami misalnya telah membunuh istrinya. Tindakan pembunuhan dalam
contoh tersebut adalah mani' (penghalang) bagi hak suami untuk mewarisi istrinya. Contoh lain
diantaranya membunuh istri sebagai mani (penghalang) suami tidak mendapat warisan istri. Haidl
sebagai mani (penghalang) seorang wanita mukallaf melakukan sholat Hutang sebagai mani
(penghalang) seseorang tidak wajib mengeluarkan zakat.
Para ulama ushul fiqh membagi syarat kepada dua macam:
1) Mani' al-hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum.
Misalnya, keadaan haidh bagi wanita ditetapkan Allah sebagai mani' (penghalang) bagi kecakapan
wanita itu untuk melakukan shalat, dan oleh karena itu shalat tidak wajib dilakukannya waktu
haidh.
Dari Aisyah sesungguhnya ada seorang wanita yang bertanya mengqodho shalat, Aisyah berkata:
"anda terbebas, sebab dulu dimasa Nabi SAW kami pernah haidh dan setelah suci beliau tidak
menyuruh mengqodho shalat". (HR. ibnu Majah)
2) Mani' al-sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu
sebab sehingga dengan bahwa sampainya harta minimal satu nisab, menjadi sebab bagi wajib
mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun jika pemilik
harta itu dalam keadaan berutang dimana utang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari
satu nishab maka dalam kajian fiqh keadaaan berutang itu manjadi mani' (penghalang) bagi wajib
zakat pada harta yang dimilikinya itu. Dalam hal ini keadaan seorang dalam berutang itu, telah
menghilangkan kewajiban zakat harta.
d. Sah (Al Shihhah)
Sah adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhnya sebab, syarat dan tidak
ada mani (halangan). Maksudnya,suatu perbuatan dikatakan sah, apabila terpenuhi sebab dan
syaratnya, tidak ada halangan dalam melaksanakannya, serta apa yang diinginkan syara dari perbuatan
itu berhasil dicapai. Dengan kata lain ss-sihhah adalah apabila kita akan mengerjakan sesuatu
dikatakan sah apabila sudah ada sebab dan syarat itu terpenuhi, dan tidak ada penghalang dari kedua
hal tersebut.
Misalnya, mengerjakan shalat duhur setelah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudu (syarat),
dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas, dan sebagainya). Dalam hal
ini, pekerjaan yang dilaksanakan itu hukumnya sah.

e. Batal (al Buthlan)


Batal adalah terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum
yang ditimbulkannya. Misalnya: memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena
minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara. Adanya seorang yang melakukan salat

29
maghrib sebelum tergelincirnya matahari atau tidak memakai wudhu atau sudah ada keduanya tetapi
dilakukan oleh wanita yang sedang haid.

D. Mahkum Bihi/ Fihi dalam Hukum Islam


1. Pengertian Mahkum Bihi/ Fihi
Mahkum bihi/ fihi berarti perbuatan orang mukallaf, yakni perbuatan seorang mukallaf sebagai tempat
menghubungkan hukum syara. Atau perbuatan mukallaf yang mencerminkan perkataan dari Allah sebagai
bentuk permintaan, pilihan dan, sesuatu yang berkenaan dengan sebab musabbab Dengan kata lain bahwa
mahkum bihi/ fihi adalah objek hukum. Para ulama sepakat bahwa seluruh perintah syariat itu ada
objeknya yaitu perbuatan mukallaf. Misalnya
a. Obyek yang berkenaan dengan perintah (al-Baqarah: 42)


dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.
b. Obyek yang berkenaan dengan perintah/ pilihan Allah dengan hal yang sunah/ mandub (al-Baqarah:
282)


Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
c. Obyek yang berkenaan dengan larangan (al-Anam: 151)


dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya
maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar
d. Obyek perintah/ pilihan dengan hal yang makruh (al-Baqarah: 267)


dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya
e. Obyek yang berkenaan dengan pilihan-pilihan yang Mubaah (al-Jumuah: 10)


apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah
f. Obyek yang berkenaan dengan qadha puasa dikarenakan sakit atau safar. (al-Baqarah 184)


Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain..
2. Macam-macam Mahkum Fihi
a. Ditinjau dari keberadaannya secara material.
1) Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara.
Seperti makan dan minum.
2) Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara. Seperti perzinaan,
pencurian, dan pembunuhan.
3) Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara serta mengakibatkan hukum syara yang lain.
Seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa.
b. Ditinjau dari hak yang terdapat dalam perbuatan
1) Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan
umum tanpa kecuali.
2) Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang
yang dirusak.
3) Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, seperti
hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina).
4) Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tatapi hak hamba didalamnya lebih dominan, seperti
dalam masalah qishas.
3. Syarat Mahkum Fihi
a. Perbuatan itu itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang mukallaf sehingga dengan demikian
suatu perintah misalnya, dapat dilaksanakan secara lengkap seperti yang dikehendaki oleh Allahdan
RasulNya. Oleh karena itu seperti dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf, bahwa ayat-ayat Alquran
yang diturunkan secara global baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan dari Rasulullah Saw.
Misalnya salat dinyatakan Alquran secara global baru wajib setelah adanya penjelasan dari Rasulullah
Saw. Demikian pula seperti haji, puasa dan zakat.

30
b. Diketahui secara pasti oleh orang mukallaf bahwa perintah itu datang dari pihak yang berwenang
membuat perintah yang dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya.
c. Perbuatan yang diperintahkan atau di larang hruslah berupa perbuatan yang dalam batas kemampuan
manusia untuk melakukan atau meninggalkannya. Hal itu disebabkan karena tujuan dari perintah atau
larangan adalah untuk ditaati. Oleh sebab itu tidak mungkin ada dalam Alquran dan sunah sebuah
perintah yang mustahil menurut akal untuk dilakukan oleh manusia. Misalnya perintah terbang tanpa
memakai alat.

E. Mahkum Alaihi dalam Hukum Islam


1. Pengertian Mahkum Alaihi
Mahkum alaihi adalah seseorang yang perbuatanya di kenai khitab Allah, yang disebut
dengan mukallaf. Secara etimologi, mukallaf berarti yang di bebani hukum. Dalam ushul fiqqh, istilah
mukallaf di sebut juga mahkum alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah di anggap mampu
bertindak hukum, baikyang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Seluruh
tindakan hukum mukallaf harus di pertanggungjawabkan. Apabila ia menggerjakan perintah Allah, maka
ia mendapatkan imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan
Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.
Perintah dan larangan Allah SWT selalu disesuaikan dengan kemampuan manusia. Semua hukum
baik yang menyangkut hak-hak Allah SWT maupun hak-hak manusia tidak dibebankan kecuali kepada
orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, kemampuan menjadi
dasar adanya taklif/ tuntutan. (QS al-Baqarah: 286).


Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya."
Terhadap orang yang belum berakal di anggap tidak bisa memahami taklif dari Allah dan Rasul-
Nya. sebagai sabda nabi:


()
Diangkat pembebanan hukum dari 3 (jenis orang) orang tidur sampai ia bangun,anak kecil sampai
baligh, dan orang gila sampai sembuh.(HR Bukhori, Tirmdzi, Nasai, dan Ibnu majjah)
2. Syarat Mahkum Alaihi
a. Sanggup memahami khitab-khitab pembebanan yakni sanggup memahami sendiri atau dengan
perantaraan orang lain nash-nash Al Quran dan sunnah.
Karena orang yang tidak sanggup memahami khitab Allah baik langsung maupun dengan perantaraan
niscaya tidak akan dapat tergerak hatinya untuk memenuhi tuntunan syara dan tidak akan dapat
mencapai tujuan yang di cita-citakan. Kesanggupan memahami khitab taklif itu hanya terletak kepada
akal dan nash-nash yang dibebankan kepada ahli fiqh atau untuk memahami dan menyerap dan akal
itu pula yang mendorong manusia berkehendak untuk mematuhiNya oleh karena itu orang gila dan
anak-anak yang belum dewasa tidak dibebani suatu taklif. Karena keduanya belum sanggup
memahami khitab-khitab untuk membina ketaatan kepada syari demikian pula orang yang dalam
keadaan lupa sedang tidur atau sedang mabuk tidak dibebani suatu kewajiban,karena pada saat itu
mereka tidak sanggup memahami kitab.

b. Mempunyai kemampuan menerima beban.


1) Ahliyatul wujub (kemampuan menerima hak dan kewajiban)
Ahliyatul wujub adalah kepantasan seseorang untuk diberi hak dan kewajiban. Kepantasan ini ada
pada setiap manusia,baik laki-laki maupun perempuan.Semua orang mempunyai kepantasan
diberi hak dan kewajiban artinya selama kemanusiaan tetap dimilikinya.

a) Adakalanya ahliyatul wajibnya itu kurang sempurna kemampuan seseorang menerina hak dan
kewajiban dikatakan kurang sempurna apabila seseorang hanya menerima hak saja, sedangkan
untuk memikul kewajiban belum pantas.
b) Adakalanya ahliyatul wajib sempurna apabila seseorang sudah pantas menerima hak dan
memikul kewajiban. Kemampuan itu muncul sejak lahir hingga meninggal.

2) Ahliyatul ada (kemampuan berbuat)


Ahliyatul ada adalah kepantasan seseorang untuk dipandang sah segala perkataan dan
perbuatanya misal bila dia mengadakan suatu perjanjian atau perbuatan.Tindakan-tindakan itu
adalah sah dan dapat menimbulkan akibat hukum apabila melakukan perbuatan-perbuatan
seperti shalat, puasa, haji, atau perbuatan wajib yang lain, maka perbuatan-perbuatan itu
dianggap sah dan dia telah menunaikan kewajibanya yang dapat mengugurkan tanggungan
apabila melakukan tindak pidana terhadap senyawa atau harta milik orang lain maka ia di kenai

31
pidana badan atau harta .Dengan demikian ahliyatul ada itu adalah soal pertanggungjawaban
dengan asasnya atau cakap bertindak.

a) Adakalanya seseorang itu tidak mempunyai ada sedikitpun. Misal anak yang belum dewasa
dan orang gila.
b) Adakalanya orang itu mempunyai ahliyatul ada yang kurang sempurna. Seperti anak yang
mumayyiz yakni anak yang sudah mampu membedakan yang baik dan buruknya perbuatan.
Akan tetapi pengetahuannya belum kuat (anak yang berada dalam umur 7 tahun sampai 15
tahun).
c) Adakalanya seseorang itu mempunyai ahliyatul ada yang sempurna. Yakni orang yang telah
dewasa(15 tahun). Akal dikur dari kedewasaan ketika sudah dewasa maka akalnya sudah
sempurna.
3. Halangan Mahkum Alaihi
a. Samawiyah
Samawiyah adalah hal-hal yang dapat menghilangkan kemampuan bertindak yang berada diluar
usaha/ kemampuan dan ikhtiyar manusia. Diantaranya :
1) Keadaan belum dewasa.
2) Sakit gila
3) Kurang akal
4) Keadaan tidur
5) Pingsan
6) Lupa
7) Sakit
8) Menstruasi
9) Nifas
10) Meninggal dunia
b. Kasabiyah
Kasabiyah adalah perbuatan-perbuatan yang diusahakan manusia yang menghilangkan atau
mengurangi kemampuan bertindak.
1) Boros
2) Mabuk
3) Bepergian
4) Lalai
5) Bergurau (main-main)
6) Bodoh (tidak mengetahui)
7) Terpaksa.

32
SKL FIKIH 7
HUKUM PERNIKAHAN DALAM ISLAM

A. Ketentuan Hukum Pernikahan dalam Islam dan Hikmahnya


1. Pengertian Pernikahan
a. Bahasa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata nikah sebagai perjanjian antara laki-laki dan
perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi), dan perkawinan. Kata nikah terambil dari kata
dalam bahasa arab berarti mengumpulkan, menyatukan, persetubuhan, perjanjian (al aqdu).
b. Istilah
1) Menurut Abu Hanifah
Akad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang perempuan, yang dilakukan
dengan sengaja.
2) Menurut Ulama Madzhab Maliki
Akad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari perempuan.
3) Menurut Ulama Madzhab Syafi
Akad yang menjamin diperbolehkan persetubuhan.
4) Menurut Ulama Madzhab Hanbali
Akad yang di dalamnya terdapat lafazh pernikahan secara jelas, agar diperbolehkan bercampur.
2. Hukum Pernikahan
Menurut sebahagian besar ulama , hukum nikah pada dasarnya adalah mubah, artinya boleh dilakukan
dan boleh pula ditinggalkan. Meskipun demikian, ditinjau dari kondisi orang yang akan melakukan
pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunah, wajib, makruh dan haram.

a. Sunah, yakni bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah dan mampu pula mengendalikan diri
dari perzinahan walaupun tidak segera menikah.
b. Wajib, yakni bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah dan ia khawatir berbuat zina jika tidak
segera menikah.
c. Makruh, yakni bagi orang yang ingin menikah tetapi belum mampu memberi nafkah kepada isteri dan
anaknya kelak.
d. Haram, yakni bagi orang yang bermaksud menyakiti perempuan yang ingin dinikahinya, demikian pula
dengan pernikahan orang yang berbeda agama serta pernikahan yang dilakukan dengan mahram.
3. Tujuan Pernikahan
Berdasar QS. Ruum (30) ; 21, pada dasarnya tujuan pernikahan adalah mawaddah dan rahmah.
a. Mawaddah
Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Dia adalah cinta plus.
Bukankah yang mencintai, sesekali hatinya kesal sehingga cintanya pudar bahkan putus. Tetapi yang
bersemai dalam hati mawaddah, tidak lagi akan memutuskan hubungan, seperti yang bisa terjadi pada
orang yang bercinta. Ini disebabkan karena hatinya begitu lapang dan (kosong dari keburukan
sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin
datang dari pasangannya).
b. Rahmah
Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan
sehingga mendorongyang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan
keluarga, masing-masing suami dan istri akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi
mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang belengganggu dan
mengeruhkannya.
Apabila tujuan pernikahan secara umum itu diuraikan, maka tujuan pernikahan sebagai berikut :
a. Tercapainya ketentraman hati dan ketenangan pikiran karena kehidupan yang diliputi cinta,
mawaddah wa rahmah lahir dan batin antara suami dan istri (QS. Ar-Rum: 21).
b. Untuk memperoleh keturunan yang sah (QS. Asy-Syura: 11 dan 49-50).
c. Sebagai alat kendali bagi manusia agar tidak terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan (QS. Al-Isra
{17}: 32).
d. Untuk mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera (keluarga sakinah) (HR. Jamaah).
e. Memenuhi kebutuhan seksual yang sah dan suci (QS. Al-Baqarah: 187 dan 223).
4. Rukun dan Syarat Pernikahan
a. Ada calon pengantin pria dan perempuan
Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain, atau tidak dalam
keadaan 'iddah (masa menunggu) baik karena wafat suaminya, atau dicerai, hamil, dan tentunya
tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi.
b. Ada wali pengantin perempuan (kecuali janda)
Wali dari pihak calon suami tidak diperlukan, tetapi wali dari pihak calon istri dinilai mutlak
keberadaan dan izinnya oleh banyak ulama berdasar sabda Nabi SAW, tidak sah nikah kecuali dengan
(izin) wali
c. Ada dua orang saksi pria dewasa
Imam Abu Hanifah, Syafi'i, dan Maliki mensyaratkan adanya saksi-saksi pernikahan, hanya
mereka berbeda pendapat apakah kesaksian tersebut merupakan syarat kesempurnaan

33
pernikahan yang dituntut. Sebelum pasangan suami istri "bercampur" (berhubungan seks) atau
syarat sahnya pernikahan, yang dituntut kehadiran mereka saat akad nikah dilaksanakan.
Betapapun perbedaan itu, namun para ulama sepakat melarang pernikahan yang dirahasiakan,
berdasarkan perintah Nabi untuk menyebarluaskan berita pernikahan. Dalam konteks ini terlihat
betapa pentingnya pencatatan pernikahan yang ditetapkan melalui undang-undang, namun disisi
lain pernikahan yang tidak tercatat selama ada dua orang saksi-tetap dinilai sah oleh agama.
d. Mahar/ mas kawin
Secara tegas Al Quran memerintahkan kepada calon suami untuk membayar mahar. Pemberian
mahar besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan
dengan ikhlas, demikian pesan Allah dalam QS. An Nisa ; 4,


berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.
Suami berkewajiban menyerahkan mahar atau mas kawin kepada calon istrinya. Mas kawin adalah
lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya,
dan selama mas kawin itu bersifat lambang, maka sedikit pun jadilah. Bahkan menurut Nabi SAW :
Sebaik-baik mas kawin adalah seringan-ringannya. walaupun Al Quran tidak melarang untuk
memberi sebanyak mungkin mas kawin (QS. An Nisa' : 20-21). Ini karena pernikahan bukan akad jual
beli, dan mahar bukan harga seorang perempuan. Menurut Al-Quran, suami tidak boleh mengambil
kembali mas kawin itu, kecuali bila istri merelakannya.





dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan
kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali
dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan
yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ? bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri.
dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.

e. Ada ijab (penyerahan wali pengantin perempuan) dan ada qabul (penerimaan dari pengantin pria)
Adapun ijab dan kabul hakikatnya adalah ikrar dari calon istri, melalui walinya, dan dari calon suami
untuk hidup bersama. Ijab seakar dengan kata wajib, sehingga ijab dapat berarti: atau paling tidak
mewujudkan suatu kewajiban yakni berusaha sekuat kemampuan untuk membangun satu rumah
tangga sakinah. Penyerahan disambut dengan qabul (penerimaan) dari calon suami.
5. Perempuan yang Haram di Nikahi (Mahram)
Al Quran dan Sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan, lebih-lebih karena
masyarakat yang ditemuinya melakukan praktek-praktek yang amat berbahaya serta melanggar nilai-
nilai kemanusiaan, seperti misalnya mewarisi secara paksa istri mendiang ayah (ibu tiri) (QS. An Nisa':
19).



dan janganlah kamu kawini perempuan-perempuan yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-
buruk jalan (yang ditempuh).
QS. An Nisa : 23-24 menyebutkan siapa saja yang tidak boleh dinikahi, diantaranya : 23. diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya;
(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 24. dan (diharamkan juga kamu mengawini) perempuan
yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri
dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri)
di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan
Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan
mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

34
Dari redaksi QS. An Nisa : 23-24 diatas diantara sebab perempuan haram dinikahi adalah :
a. Hubungan nasab, yaitu :
1) Ibu kandung (dan seterusnya ke atas)
2) Anak perempuan kandung (dan seterusnya ke atas)
3) Saudara perempuan ( sekandung, sebapak atau seibu)
4) Saudara perempuan dari bapak
5) Saudara perempuan dari ibu
6) Anak perempauan dari saudara laki-laki (dan seterusnya ke bawah)
7) Anak perempauan dari saudara perempuan (dan seterusnya ke bawah)
b. Hubungan sesusuan
1) Ibu yang menyusui
2) Saudara sesusuan
c. Hubungan pernikahan
1) Ibu dari isteri (mertua)
2) Anak tiri ( anak dari isteri dengan suami lain), apabila suami sudah berkumpul dengan ibunya
3) Ibu tiri ( isteri dari ayah ), baik sudah bercerai maupun belum
4) Menantu ( isteri dari anak laki-laki), baik sudah bercerai maupun belum
d. Hubungan pertalian darah dengan isterinya
Haram melakukan poligami (memperisteri sekaligus) dengan 2 perempuan bersaudara baik
sekandung, sebapak maupun seibu demikian pula dengan bibinya dan kemenakannya.
6. Kewajiban Suami dan Isteri
Kewajiban suami merupakan hak bagi istri, begitu juga kewajiban istri merupakan hak bagi suami, di
samping itu ada kewajiban bersama (QS. Al-Baqarah : 228).

a. Kewajiban suami :
1) Memberi nafkah, sandang, pangan dan tempat tinggal kepada isteri dan anaknya sesuai dengan
kemampuan yang telah diusahakan secara maksimal
2) Memimpin serta membimbing isteri dan anak-anak agar kelak menjadi orang yang berguna bagi
diri sendiri, keluarga, agama masyarakat serta bangsa dan negara
3) Bergaul dengan isteri dan anak-anak dengan baik
4) Memelihara isteri dan anak-anak dari bencana baik lahir maupun batin, duniawi maupun ukhrawi
5) Membantu isteri dalam tugas sehari- hari, terutama dalam mengasuh anak-anak agar menjadi anak
shaleh
b. Kewajiban isteri :
1) Taat kepada suami dalam batas-batas sesuai denga ajaran agama Islam
2) Memelihara diri serta kehormatan dan harta benda suami, baik dihadapan maupun dibelakangnya
3) Membantu suami dalam memimpin kesejahteraan dan keselamatan keluarganya
4) Menerima dan menghormati pemberian suami walaupun sedikit serta mencukupkan nafkah yang
diberikan suami sesuai dengan kekuatan dan kemampuannya, hemat, cermat dan bijaksana
5) Hormat dan sopan pada suami dan keluarganya
6) Memelihara dan mengasuh serta mendidik anak agar menjadi anak yang shaleh
7. Hikmah Pernikahan
a. Memperkokoh hubungan indifidu dan masyarakat. firman Allah QS.An-Nur : 32 yang artinya Dan
nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (untuk nikah)...
b. Sebagai penangkal dan penerus kelangsungan hidup manusia, kesinambungan hidup manusia dan
kebudayaan merupakan prasyarat utama terlaksananya tugas khalifah di muka bumi (QS. An-Nisa: 1).
c. Merupakan perlindungan bagi terjaganya akhlak dan tata susila. Kecenderungan melakukan hubungan
lawan jenis merupakan sesuatu yang fitrah dalam diri manusia sedangkan bingkai yang benar dari
dorongan ini adalah dengan cara menikah.
d. Merupakan jalan bagi berlangsungnya proses pembentukan dan penanaman nilai, serta pembentukan
kepribadian, pembagian tugas yang jelas antara suami istri dan anak, akan membuat proses
penanaman nilai ini berlangsung mulus (QS. At-Tahrim: 6).
e. Tumbuhnya ketentraman batin dan kasih sayang hakiki (QS. Al-Anfal: 63)

B. Ketentuan Perkawinan Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia


1. Pengertian Perkawinan menurut UU No.1/1974
UU No. 1/1974 adalah UU yang mengatur sahnya perkawinan di Indonesia. Menurut UU No.1 Tahun 1974,
pasal 1 perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang perempuan sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan UU ini, maka perkawinan penduduk hanya sah bila dilakukan
menurut keyakinan agamanya dan setelah itu dicatatkan pada negara.
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa setiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dilakukan dalam rangka :
a.Terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam Indonesia.
b.Pencatatan nikah harus dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
c. Setiap perkawinan harus dilaksanakan di hadapan Pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
d.Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan
hukum.
2. Asas-asas Perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan
35
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
b. Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamadan
kepercayaannya dan harus dicatat menurut perturan perundang-undangan yang belaku,
c. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan,
karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih
dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun
hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi
berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.
d. Undang-Undang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus masak jiwa raganya untuk
dapat melangsungkan perkawinan dalam Undang-Udang Perkawinan batas umur untuk kawin baik
bagi pria maupun bagi perempuan, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi perempuan.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera,
maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk
memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah N. 9 tahun
1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan
Negeri bagi golongan luar Islam.
f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan
rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu
dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.
3. Prinsip-prinsip Perkawinan menurut Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan
a. Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranyanya
adalah diadakan peminangan terlebuh dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju
untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.
b. Tidak semua perempuan dapat dikawini oleh seorang pria, sebab ada ketentuan larangan-larangan
perkawinan antara pria dan perempuan yang harus diindahkan.
c. Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang
menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu
sendiri.
d. Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga tentram, damai,
dan kekal untuk selam-lamanya.
e. Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab
pimpinan keluarga ada pada suami.

C. Konsep Perceraian/ talaq


1. Pengertian Perceraian/ talaq
Perceraian dalam istilah ahli fiqih disebut talak atau furqah. Adapun arti daripada talak ialah membuka
ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan furqah artinya bercerai. Kata tersebut juga dipakai oleh para
ahli fiqih sebagai satu istilah yang berarti bercerai antara suami isteri. Menurut Sayyid Sabiq, talak adalah
melepaskan ikatan perkawinan. Menurut Fuad Said yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya
perkawinan antara suami dengan isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab
lain seperti mandulnya isteri atau suami dan setelah sebelumnya diupayakan perdamaian dengan
melibatkan keluarga kedua belah pihak.
Menurut istilah Hukum Islam, talak dapat berarti :
1) Menghilangkan ikatan perkawinan atau rnengurangi keterikatannya dengan menggunakan ucapan
tertentu.
2) Melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.
3) Melepaskan ikatan perkawinan dengan ucapan talak atau yang sepadan dengan itu.
Meskipun Islam mensyariatkan perceraian tetapi bukan berarti Islam menyukai terjadinya perceraian dari
suatu perkawinan. Perceraian tidak boleh dilakukan setiap saat yang dikehendaki meskipun
diperbolehkan, tetapi Agama Islam tetap memandang bahwa adalah sesuatu yang bertentangan dengan
asas-asas Hukum Islam. Hal ini dapat kita lihat dalam Hadist Nabi yaitu : Perbuatan halal tetapi yang
paling dibenci oleh Allah SWT adalah perceraian. Dan sabdanya pula : Siapa saja isteri yang menuntut
cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka ia haram menghirup wanginya surga.
2. Hukum Perceraian/ talaq
a. Wajib, apabila terjadi perselisihan antara suami-istri yang tidak bisa didamaikan dan hakim
memandang perlu bercerai.
b. Sunnah, apabila suami tidak sanggup lagi menunaikan kewajibannya atau perempuan tidak bisa
menjaga kehormatan dirinya.
c. Haram, apabila istri dalam keadaan :
d. Haid atau Hamil.
e. Keadaan suci yang dicampuri pada waktu itu.
f. Makruh, yaitu hukum asal talaq.
3. Bentuk-bentuk Perceraian/ talaq
Dilihat dari segi inisiatif dalam mengambil keputusan menjatuhkan talaq, baik mellaui pihak suami
maupun hakim, talaq dibedakan menjadi 3 (tiga) bentuk :
a.Talaq adalah perceraian yang dijatuhkan suami atas kehendaknya sendiri. Bagi suami yang menjatuhkan
talaq seperti ini berkewajiban :

36
1) Memberi sesuatu yang berharga kepada istrinya, tergantung kepada kemampuan suami. Pemberian
ini disebut Mutah (QS. Al-Baqarah : 236 dan 241).
2) Bertindak bijaksana kepada mantan istrinya dengan sebaik-baiknya. Perhatikan QS. Ath-Thalaq : 1-7
dan QS. Al-Baqarah : 228-232).
b.Talaq Khulu (Talaq Tebus).
Maksud dari talaq ini adalah talaq yang dijatuhkan suami, karena menyetujui dan memenuhi
permintaan cerai istrinya dengan membayar tebusan dari pihak istri atau pengembalian mahar.
c. Talaq Fasakh.
Pengertian dari talaq ini adalah talaq yang dijatuhkan oleh hakim atau pengaduan istri. Talaq Fasakh
dapat dilakukan karena :
1) Adanya aib atau cacat pada salah satu pihak.
2) Suami tidak mampu memberikan nafkah (keterangan surat Al-Ahzab : 49 dan QS. AL-Baqarah: 229).
3) Adanya penipuan dari pihak suami.
4) Diketahui adanya hubungan mahram antara suami-istri (QS. An-Nisa: 23).
4. Jumlah atau Batas Talaq
a. Suami-Istri yang telah bercerai masih mungkin untuk berkumpul kembali, namun untuk menghindari
tindakan sewenang-wenang, maka jumlah talaq yang membolehkan suami kembali kepada istrinya
dibatasi hanya sampai dua kali.
b. Setelah talaq tiga kali, suami-istri tidak boleh lagi kembali kecuali istri telah kawin lagi dengan orang
lain, atas dasar suka sama suka sesudah bergaul dan cerai lagi (pahami QS. Al-Baqarah: 229-230).
c. Bila terjadi talaq kesatu dan kedua, konsekuensinya adalah suami dapat berkumpul kembali, disebut
Talaq Raji. Sedangkan bila terjadi talaq ketiga dinamakan Talaq Bain, dengan konsekuensi suami
sudah tidak dapat berkumpul kembali kecuali dengan syarat-syarat di atas.
5. Macam-macam Perceraian/ talaq
a. Ditinjau dari segi cara menceraikan kepada isteri
1) Talak sunny ialah talak yang di bolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang
suci dan tidak dicampuri alam waktu suci tersebut.
2) Talak bid'i ialah talak yang dilarang yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan
haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
b. Ditinjau dari boleh tidaknya melakukan ruju
1) Talak raji ialah Talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya (talak 1 dan 2) yang belum habis masa
iddahnya. Dalam hal ini suami boleh rujuk pada istrinya kapan saja selama masa iddah istri belum
habis.
DR. Syaba'iy menyatakan bahwa talak raj'i adalah talak yang tidak membutuhkan pembaruan aqad
nikah saat suami kembali kepada istrinya, termasuk juga tidak memerlukan mahar dan persaksian.
Firman Allah dalam QS. Al Baqarah ; 229, (Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan
penerimaan 'iwadh. Kulu' Yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut
'iwadh).







Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari
yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah
kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-
orang yang zalim.
Talak raji tidak menghalangi mantan suami berkumpul dengan mantan isterinya, sebab akad
perkawinannya tidak hilang dan tidak menghilangkan hak (pemilikan), serta tidak mempengaruhi
hubungannya yang halal (kecuali persetubuhan).
Segala akibat hukum talak baru berjalan sesudah habis masa iddah dan jika tidak ada ruju.
Sedangkan apabila masa iddah telah habis maka tidak boleh ruju danberarti perempuan itu telah
ter talak bain. Jika masih ada dalam masa iddah maka talak raji yang berarti tidak melarang suami
berkumpul dengan isterinya kecuali bersengggama. Jika ia menggaulinya istrinya berarti ia telah
ruju. Selama dalam masa iddah, isteri yang ditalak raji masih berhak memperoleh tempat tinggal,
pakaian, dan uang belanja dari mantan suaminya. Dan selama dalam masa iddah bekas isteri wajib
menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Rasulullah SAW
bersabda dalam riwayat Muslim : Perempuan yang berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal
dari mantan suaminya adalah apabila mantan suaminya itu berhak merujuk kepadanya .

37
2) Talak Ba'in Sughra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya (talak 1 dan 2) yang telah habis
masa iddahnya. suami boleh rujuk lagi dengan istrinya, tetapi dengan aqad dan mahar yang baru.
Akibat talak Bain Sughra menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas isterinya tetapi
tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk menikahi kembali dengan mantan isterinya,
artinya bekas suami boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas isteri, baik dalam masa
iddah-nya maupun sesudah berakhir masa iddah-nya.
Dengan talak Bain Shughra maka seorang suami berkedudukan seperti seorang yang melamar
perempuan. Yaitu jika menghendaki perempuan tersebut akan menerimanya melalui penyerahan
mahar baru atau melalui proses akad nikah, sebaliknya jika menghendaki isteri ia juga boleh
menolaknya

3) Talak Ba'in Kubra adalah talak yang mengakibatkan hilangnya hak rujuk kepada bekas isteri
walaupun kedua bekas suami isteri itu ingin melakukan, baik di waktu iddah atau sesudahnya. Atau
talak yang dijatuhkan suami pada istrinya bukan lagi talak 1 dan 2 tetapi telah talak 3. Dalam hal ini,
suami juga masih boleh kembali dengan istrinya, tetapi dengan catatan, setelah istrinya menikah
dengan orang lain dan bercerai secara wajar. Seprti firman Allah dalam QS. Al Baqarah ; 230. Oleh
karena itu nikah seseorang dengan mantan istri orang lain dengan maksud agar mereka bisa
menikah kembali (muhallil) maka ia dilaknat oleh Rasulullah SAW.





kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi
halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk
kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.

Perempuan yang menjalani iddah talak bain, jika tidak hamil, ia hanya berhak memperoleh tempat
tinggal (rumah), sedangkan jika ia hamil maka ia berhak tempat tingggal dan nafkah. Sebagaimana
dalam QS. At Talaq : 6.






tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu
dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka
(isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya
hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu)
dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak
itu) untuknya.
6. Cara Menjatuhkan Talaq.
Ada dua cara untuk menjatuhkan Talaq :
a.Dengan kata-kata yang jelas (sharih), misalnya suami berkata kepada istrinya, Engkau saya talaq,
engkau saya ceraikan. Maka dengan perkataan tersebut jatuh talaqnya, sekalipun tidak disertai dengan
niat.
b.Dengan kata-kata samar atau sindiran (kinayah), misalnya suami berkata: Pergi engkau dari sini,
atau Pulang ke rumahorang tuamu. Dengan perkataan serupa ini, talaq belum jatuh apabila tidak
disertai dengan niat.
Peraturan Khusus :
1) Lian yaitu suami dan istri saling melaknat. Suami menuduh istri berzina tapi tidak dapat
membuktikannya dengan 4 saksi, maka dia harus bersumpah 4x sumpah dengan menyatakan:
Kalau saya dusta, maka laknat Allah untuk diri saya, Kemudian istrinya menolak dengan 4x
sumpah dengan ucapan seperti si atas. Setelah itu, maka suami-istri menjadi cerai. (QS. An-Nur : 6-
9).
2) Zhihar yaitu mengharamkan istri dengan menyamakannya seperti ibu sendiri (seperti
mengatakan : Kamu seperti punggung ibuku), maka untuk menghalalkan kembali suami wajib
membayar kifarat (baca QS. Al-Mujadalah : 3-4).
3) Ila yaitu seorang suami yang marah sampai mengharamkan istrinya bergaul dengannya atau
bersumpah hendak menjauhkan dirinya dari istrinya untuk dapat menggauli kembali istrinya, wajib
membayar kifarat sumpahnya (QS. Al-Baqarah : 226-227).

38
4) Ihdad yaitu berkabungnya seorang istri karena suaminya wafat, yaitu tidak memakai wangi-
wangian dan lain-lain (tidak mempercantik diri) (HR. Bukhari dan Muslim).
5) Talik Talaq yaitu seorang suami yang melanggar janjinya ketika diucapkan saat aqad nikah, seperti
tidak memberi nafkah istri 6 bulan berturut-turut, atau menyakiti badan istri, dan istri tidak ridho
kemudian mengadukan ke Pengadilan Agama maka jatuhlah talaq satu.
7. Tata Cara Perceraian/ talaq
Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan, sedangkan tata cara mengajukan gugatan diatur
dengan Pasal 14 dan 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, yang bunyinya sebagai berikut :
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan menceraikan
istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan ditempat tinggalnya yang sesuai pemberitahuan bahwa ia
bermaksud menceraikan istrinya dengan alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan agar diadakan
sidang untuk keperluan itu.
Perkawinan serta sahnya perceraian hanya dapat dibuktikan dengan keputusan pengadilan Agama untuk
orang-orang Islam. Akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian baik bagi pihak suami maupun
istri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata demi kepentingan anak.
Bagi pasangan suami istri yang beragama Islam, dimana ia akan mengakhiri perkawinan dengan jalan
perceraian, maka harus mengikuti tata cara melakukan perceraian sebagaimana Pasal 129-131 Kompilasi
Hukum Islam berikut :
a. Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya, mengajukan Pengadilan Agama di
wilayah tempat tinggal isteri disertai alasan serta meminta agar diadakan sidang.
b. Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan
tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi.
c. Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dalam waktu selambat-lambatnya 30
hari
8. Akibat Perceraian/ talaq
Menurut Hukum Islam setelah terjadinya suatu perceraian akan menimbulkan akibat hukum diantaranya:
a. Kompilasi Hukum Islam Pasal 156, yaitu:
1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah
meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :
a) Perempuan-perempuan dalam garis lurus dari ibu.
b) Ayah.
c) Perempuan-perempuan dalam garis Iurus ke atas dari ayah.
d) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.
e) Perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu
f) Perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
2) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.
3) Apabila keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat
memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
4) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya,
sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
5) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama
memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
6) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk
pemeliharaan dan pendidikan anak yang tidak turut padanya.
b. Menurut Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu :
1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya; semata-mata
berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusannya.
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikannya yang diperlukan
anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
9. Hikmah Perceraian/ talaq
Perceraian adalah jalan keluar terakhir (way out )untuk mengakhiri perkawinan yang sudah tidak
mungkin lagi dapat dipertahankan dan perceraian ini dilakukan demi kebahagian yang dapat diharapkan
sesudah terjadinya perceraian. Perceraian hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti adanya alasan-
alasan yang dapat dibenarkan oleh hukum Agama dan Undang-undang yang berlaku.

39
D. Konsep Iddah
1. Pengertian Iddah
a. Bahasa
Iddah dalam bahasa Arab artinya bilangan. Yakni, bilangan waktu yang Allah tetapkan bagi seorang
perempuan untuk berada pada masa penantian (setelah ditalak).
b. Istilah
1) Menurut Imam Hanafi iddah adalah batasan-batasan waktu yang ditentukan menurut syara karena
ada bekas waktu yang tersisa, atau dengan pengertian lain yaitu waktu menunggu yang diwajibkan
bagi perempuan untuk melanjutkan atau memutuskan pernikahan.
2) Menurut Imam Maliki, Syafii, dan Hambali iddah adalah waktu menanti bagi seorang perempuan
untuk memastikan apakah ada janin yang dikandungnya atau tidak, juga sebagai tanda pengabdian
diri kepada Allah, dan berkabung karena ditinggal mati oleh suami. Dengan demikian, iddah adalah
waktu yang ditentukan oleh syara sesudah perceraian yang wajib bagi seorang perempuan untuk
menunggu dengan tidak menikah sebelum habis masa iddahnya.

2. Macam-macam Iddah
a. Iddah perempuan yang dicerai oleh suaminya
Setiap perceraian yang terjadi antara suami istri, kecuali talak ditinggal mati, iddahnya adalah iddah
talak, baik hal itu terjadi melalui khulu, lian, fasakh karena adanya cacat, maupun fasakh akibat
persaudaraan sesusuan atau perbedaan agama.
Betapapun, para ulama mazhab sepakat atas wajibnya iddah bagi perempuan yang ditalak sesudah
dicampuri oleh suaminya, dan bahwasanya iddah yang harus dijalaninya adalah salah satu dari ketiga
macam iddah di bawah ini, yaitu antara lain:

1) Bagi perempuan yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil, maka perempuan itu harus menjalani
iddahnya hingga ia melahirkan bayi yang dikandungnya. Hal ini berdasarkan QS. At Thalaq : 4,

dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya
Ulama mazhab sepakat apabila seorang perempuan mengandung lebih dari satu orang bayi maka ia
baru dikatakan keluar dari iddahnya apabila semua bayi yang dikandungnya itu telah lahir. Namun
mereka berbeda pendapat apabila perempuan itu keguguran, yakni bayi yang lahir itu belum
sempurna. Imam Hanafi, Syafii dan Hambali mengatakan perempuan itu belum dianggap selesai
masa iddahnya sebelum keluar janinnya secara keseluruhan. Imam Malik mengatakan perempuan
itu dianggap telah selesai iddahnya meskipun yang keluar itu hanya sepotong dari janinnya.

2) Bagi perempuan yang baligh tetapi tidak pernah mengalam haidh sama sekali dan perempuan yang
menopause, maka masa iddahnya adalah tiga bulan.



dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-
perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah
tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid
Imam Hanafi, Maliki, Syafii berpendapat bahwa perempuan yang belum mencapai umur sembilan
tahun tetapi sudah dicampuri wajib untuk menjalani iddah seperti iddah perempuan yang
menopause. Namun Imam Hambali berbeda pendapat, ia mengatakan bahwa tidak ada kewajiban
menjalani iddah bagi perempuan yang belum mencapai usia sembilan tahun

3) Bagi perempuan yang telah berusia sembilan tahun, tidak hamil, bukan menopause dan sudah
mengalami haidh, maka iddahnya adalah tiga quru, firman Allah QS. Al Baqarah : 228,

Perempuan-perempuan yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
Para ulama mazhab berbeda pendapat menanggapi pengertian quru. Imam Maliki dan Syafii
menginterpretasikan quru dengan masa suci (dalam keadaan tidak haid) yang apabila seorang
suami menjatuhkan talak kepada istrinya pada masa suci (sedang tidak haidh) maka iddahnya
dihitung sejak masa itu yang kemudian disempuranakan dengan dua kali masa suci sesudahnya.
Sedangkan Imam Hanafi dan Hambali menginterpretasikan quru itu dengan masa haidh, yang
apabila seorang perempuan dicerai suaminya dalam keadaan suci, maka iddahnya dihitung sejak
pertama kali ia haidh setelah berakhir masa sucinya ketika ia diceraikan. Dengan kata lain ia harus
menjalani iddahnya tiga kali haidh secara penuh.

b. Iddah perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya


Jumhur ulama sepakat bahwa iddah bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya sedangkan dia
tidak hamil adalah empat bulan sepuluh hari, baik perempuan itu masih anak-anak ataupun sudah
40
dewasa, baik dalam usia menopause maupun tidak, sudah dicampuri ataupun belum. Hal ini
berdasarkan firman Allah yang terdapat dalam QS. Al Baqarah: 234,





orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila
telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap
diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Iddah yang demikian itu apabila perempuan itu terbukti betul-betul tidak hamil. Maka akan timbul
pertanyaan bagaimana kalau perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya itu terbukti hamil? Maka
jumhur ulama sepakat, mereka mengatakan iddah bagi perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya
adalah sampai dia melahirkan bayinya, sekalipun masa kehamilannya telah mencapai delapan bulan,
maka iddahnya berakhir apabila bayinya lahir dan ia sudah boleh menikah lagi.

3. Hak dan Kewajiban Suami Isteri selama Iddah


Para ulama mazhab sepakat bahwa istri yang beriddah dari talak rajI wajib memperoleh nafkah dan
tempat tinggal, dan istri juga wajib menjalani iddahnya di rumah suaminya, begitu juga dengan
perempuan yang hamil dan suami berkewajiban memenuhinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah QS. At
Thalaq : 6,






tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-
isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah
kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik;
dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.

Jika seorang istri itu berada dalam masa iddah karena ditinggal mati suaminya, maka istri tersebut wajib
berkabung atas kematian suaminya dengan meninggalkan pemakaian perhiasan dan wangi-wangian, istri
juga wajib tinggal di rumah suaminya, artinya dia wajib menghabiskan masa iddahnya di rumah suaminya,
dia tidak boleh keluar rumah dengan berlebihan, kecuali ada keperluan.
Namun ulama mazhab berbeda pendapat mengenai nafkah dan tempat tinggal bagi istri yang ditalak bain.
Istri yang ditalak bain. Apabila seorang istri itu hamil, maka suami wajib menyediakan tempat tinggal dan
nafkah untuknya. Namun apabila seorang istri yang ditalak bain itu tidak hamil, menurut Imam Hanafi ia
juga berhak mendapat nafkah dari suaminya. Tetapi menurut imam Hambali tidak wajib baginya nafkah.
Sedangkan menurut imam Malik dan SyafiI wajib untuknya tempat tinggal, namun tidak wajib untuknya
nafkah.
4. Batas Iddah
Apabila seorang istri mengalami haidh, lalu berhenti akibat menyusui atau karena penyakit, maka imam
Maliki dan Hambali mengatakan bahwa iddahnya adalah setahun penuh. Sedangkan syafiI mengatakan
bahwa perempuan tersebut selamanya berada dalam masa iddah hingga dia mengalami haidh, atau
memasuki usia menopause dan sesudah itu beriddah selama tiga bulan.
Sedangkan imam Hanafi mengatakan apabila seorang perempuan mengalami satu kali haidh lalu karena
sakit atau menyusui haidhnya terputus sama sekali dan dia tidak lagi pernah mengalami haidh, maka
perempuan tersebut tidak dinyatakan keluar dari iddahnya sampai kelak dia memasuki masa menopause.
Dengan demikian menurut imam Hanafi dan SyafiI masa iddah dapat berlanjut selama 40 tahun.
Apabila seorang istri ditalak suaminya dalam keadaan hamil, namun suaminya meninggal sebelum masa
iddahnya habis maka iddahnya adalah sampai dia melahirkan walapun masa kehamilannya sudah
mencapai 8 bulan, atau bahkan kehamilannya hamper lahir. Maka hal ini merupakan masa iddah paling
singkat.
5. Hikmah adanya Iddah
1) Allah mensyariatkan iddah, karena di dalam iddah terkandung beberapa hikmah yang merupakan
salah satu sumber keteraturan hidup, yang antara lain adalah penegasan apakah dalam rahim
perempuan itu telah terkandung benih janin atau tidak, juga memberikan kesempatan kepada suami
apakah suami mau merujuk istrinya kembali setelah ia menceraikannya atau tidak.

41
2) Dengan iddah juga akan semakin tampak jelas betapa besar belas kasih Tuhan kepada hamba-Nya,
karena dengan iddah, orang akan memahami betapa nikmatnya berkeluarga dan betapa malangnya
perceraian sehingga Allah membenci perbuatan itu.
3) Bila iddah itu untuk istri yang ditinggal mati oleh suaminya, maka di waktu itu ia lebih nampak
berkabung, sehingga semakin terasa penghormatannya terhadap suami.

E. Konsep Rujuk
1. Pengertian Rujuk
Kata ruju berasal dari kata dalam Bahasa Arab rajaa-yarjiu-rujan yang berarti kembali, dan
mengembalikan. Menurut istilah adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan
perkawinan dalam masa iddah sesudah ditalak raji.
Adapun yang dimaksud rujuk disini adalah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh
setelah terjadi talak rajI yang dilakukan oleh mantan suami terhadap mantan istrinya dalam masa
iddahnya dengan ucapan tertentu.
Bila sesorang telah menceraikan istrinya, maka ia dibolehkan bahkan di anjurkan untuk rujuk kembali
dengan syarat keduanya betul-betul hendak berbaikan kembali (islah). Dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 63 bahwa Rujuk dapat dilakukan dalam hal:
a. Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang di jatuhkan
qabla al dukhul.
b. Putus perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan
khuluk.
2. Macam-macam Rujuk
a. Rujuk Pasca Talak 1 atau 2
Karena besarnya hikmah yang terkandung dalam ikatan perkawinan, maka bila seorang suami telah
menceraikan istrinya, ia telah diperintahkan oleh Allah SWT agar merujukinya kembali. Allah
menjelaskan dalam QS. Al Baqarah : 231,








apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah
mereka dengan cara yang maruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang maruf (pula).
Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu
Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah
padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah).
Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada
Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Dalam suatu hadist disebutkan : dari Ibnu Umar r.a. waktu itu ia ditanya oleh seseorang, ia berkata,
Adapun engkau yang telah menceraikan ( istri) baru sekali atau dua kali, maka sesungguhnya
Rasulullah SAW telah menyuruhku merujuk istriku kembali (H.R. Muslim)
b. Rujuk Pasca Talak 3
Hukum rujuk pada talak bain sama dengan pernikahan baru, yaitu tentang persyaratan adanya mahar,
wali, dan persetujuan. Hanya saja jumhur berpendapat bahwa utuk perkawinan ini tidak
dipertimbangkan berakhirnya masa iddah.
3. Pendapat Ulama tentang Rujuk
a. Imam Syafii
Rujuk harus dilakukan dengan ucapan atau tulisan. Karena itu, ruju tidak sah bila dilakukan dengan
mencampurinya walau hal itu diniatkan sebagai ruju. Suami haram mencampurinya dalam iddah.
Kalau dia melakukan itu, ia harus membayar mahar mitsil, sebab percampuran tersebut tergolong
pencampuran syubhat.

Menurut pendapat Imam SyafiI, bahwa rujuk itu disamakan dengan perkawinan dan Allah SWT
memerintahkan untuk diadakan persaksian, sedang persaksian hanya terdapat dalam kata-kata. Yakni
dengan ucapan terang dan jelas dimengerti misalnya diucapkan dengan kalimat : saya rujuk kamu,
Tidak boleh rujuk dengan persetubuhan, ciuman, dan rangsangan-rangsangan nafsu birahi. Firman
Allah QS. Al Baqarah :228,


dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah

b. Imam Malik
42
Ruju boleh dilakukan melalui perbuatan yang di sertai dengan niat untuk ruju. Akan tetapi bila suami
mencampuri istrinya tersebut tanpa niat ruju, maka perempuan tersebut tidak akan bisa kembali
kepadanya. Namun percampuran tersebut tidak mengakibatkan adanya hadd (hukuman) maupun
keharusan membayar mahar. Anak yang lahir dari perempuan dikaitkan nasabnya kepada laki-laki
yang mencampurinya itu. Perempuan tersebut harus menyucikan dirinya dengan haidh manakala dia
tidak hamil.

c. Imam Hambali
Ruju hanya terjadi melalui percampuran begitu terjadinya percampuran, maka ruju pun terjadi,
sekalipun laki-laki tersebut tidak berniat ruju. Sedangkan bila tindakan itu bukan percampuran,
misalnya sentuhan ataupun ciuman yang disertai birahi dan lain sebagainya, sama sekali tidak
mengakibatkan terjadinya ruju

d. Imam Hanafi
Ruju bisa terjadi melalui percampuran, sentuhan dan ciuman, dan hal-hal sejenis itu, yang dilakukan
oleh laki-laki yang menalak dan perempuan yang ditalaknya, dengan syarat semuanya itu disertai
dengan birahi. Ruju juga bisa terjadi melalui tindakan (perbuatan) yang dilakukan oleh orang tidur,
lupa, dipaksa, dan gila. Misalnya seorang laki-laki menalak istrinya, kemudian dia terserang penyakit
gila, lalu istrinya itu dicampurinya sebelum ia habis masa iddahnya.

e. Ulama Syia Imamiyah


Rujuk bisa terjadi melalui percampuran, berciuman dan bersentuhan, yang disertai syahwat atau tidak
dan lain sebagainya yang tidak halal dilakukan kecuali oleh suami. Ruju tidak membutuhkan
pendahuluan berupa ucapan. Sebab, perempuan tersebut adalah istrinya, sepanjang dia masih dalam
masa iddah. Dan bahkan perbuatan tersebut tidak perlu disertai niat ruju. Sayyid Abu Al-Hasan
mengatakan dalam Kitab Al Wasilah menyatakan perbuatan tersebut mengandung kemungkinan kuat
sebagai ruju, sekalipun dimaksudkan bukan ruju. Tetapi. Bagi Imamiyah, tindakan tersebut tidak
dipandang berpengaruh manakala dilakukan oleh orang yang tidur, lupa, dan mengalami syubhat,
misalnya bila dia mencampuri perempuan tersebut karena menduga bahwa perempuan tersebut
bukan istrinya yang dia talak.

f. Ibnu Hazm
Ibn Hazm berkata: Dengan menyetubuhinya bukan berarti merujuknya, sebelum kata rujuk itu di
ucapkandan menghadirkan saksi, serta mantan istri diberi tahu terlebih dahulu sebelum masa iddahnya
habis. Menurut Ibn Hazm jika ia merujuk harus dengan saksi, berdasar QS. At Talaq : 2,



apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau
lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara
kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah
4. Hukum Rujuk
a. Wajib apabila Suami yang menceraikan salah seorang isteri-isterinya dan dia belum menyempurnakan
pembahagian giliran terhadap isteri yang diceraikan itu.
b. Haram Apabila rujuk itu menjadi sebab mendatangkan kemudaratan kepada isteri tersebut.
c. Makruh Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.
d. Sunah sekiranya mendatangkan kebaikan.
5. Syarat Rujuk
a. Dua Saksi untuk rujuk
b. Rujuk dengan kata-kata atau pergaulan istri
c. Istri baru dicerai dua kali
Jika istri telah ditalak tiga maka tidak sah rujuk lagi, melainkan harus telah menikah dengan orang lain
kemudian bercerai, barulah boleh rujuk kembali dengan akad yang baru, berdasar Q.S. Al-Baqarah : 230.




kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi
halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah oR kum-hukum
Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.

Jika bercerainya dari istri karena fasakh atau khulu atau talak bain atau istri yang dicerai belum pernah
dicampuri, maka rujuknya tidak sah. QS. Al Ahzab : 49,
43




Hai orang-oran yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman
kemudian kamu ceraikan sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka
iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya maka berikanlah mereka mutah dan
lepaskanah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.
6. Rukun Rujuk
a. Ada suami yang merujuk atau wakilnya
b.Ada istri yang dirujuk dan sudah dicampuri
c. Kedua belah pihak sama-sama suka dan ridho
d.Dengan pernyataan ijab dan qobul, misalnya, Aku rujuk engkau pada hari ini atau Telah kurujuk istriku
yang bernama pada hari ini dan lain sebagainya yang semakna.
7. Prosedur Rujuk
Pasangan mantan suami-istri yang akan melakukan rujuk harus dapat menghadap PPN (pegawai pencatat
nikah) atau kepala kantor urusan agama (KUA) yang mewilayahi tempat tinggal istri dengan membawa
surat keterangan untuk rujuk dari kepala desa/lurah serta kutipan dari buku pendaftaran talak/cerai atau
akta talak/ cerai.
Adapun prosedurnya adalah sebagaiu berikut:
a. Dihadapan PPN suami mengikrarkan rujuknya kepada istri disaksikan mimimal dua orang saksi.
b. PPN mencatatnya dalam buku pendaftaran rujuk, kemudian membacanya di hadapan suami-istri
tersebut serta saksi-saksi, dan selanjutnya masing-masing membubuhkan tanda tangan.
c. PPN membuatkan kutipan buku pendaftaran rujuk rangkap dua dengan nomor dan kode yang sama.
d. Kutipan diberikan kepada suami-istri yang rujuk.
e. PPN membuatkan surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan dan mengirimnya ke pengadilan
agama yang mengeluarkan akta talak yang bersangkutan.
f. Suami-istri dengan membawa kutipan buku pendaftaran rujuk datang ke pengadilan agama tempat
terjadinya talak untuk mendapatkan kembali akta nikahnya masing-masing.
g. Pengadilan agama memberikan kutipan akta nikah yang bersangkutan dengan menahan kutipan buku
pendaftaran rujuk.
8. Hikmah Rujuk
a. Dapat menyambung semula hubungan suami isteri untuk kepentingan kerukunan numah tangga
b. Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian.
Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian.

F. Pengasuhan Anak (hadhanah)


1. Pengertian
Hadhanah berasal dari kata hidhan artinya lambung. Kata hadhanah adalah suatu ungkapan untuk
menyatakan pelaksanaan mengasuh anak yang masih tidak bisa membedakan antara yang manfaat dan
yang tidak manfaat bagi dirinya (tamyiz), dan tidak dapat mengatur dirinya sendiri dan mengasuh sesuai
dengan apa yang mendatangkan manfaat bagi dirinya dan menjahui mudharat dari padanya.
Ulama fiqih mendefinisikan Hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil,
baik laki-laki maupun perempuan ataupun sudah besar namun belum mumayyiz, menjaganya dari sesuatu
yang menyakiti danmerusaknya sehingga mampu berdiri sendirib menghadapi hidup dan memikul
tanggungjawab. Jadi, Al-Hadhnah adalah menjaga (merawat) orang yang tidak bisa mengurus urusannya
sendiri dan mendidiknya dengan apa yang bisa menjadikannya baik.

2. Dasar Hukum




Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.
Pada ayat ini orang tua di tuntut untuk memelihara keluarganya agar terpeliharadari api neraka, agar
seluruh anggota keluarganya melaksanakan perintah dan meninggalkan laranganya, termasuk anggota
keluarga disini yakninya anak. Betapa banyaknya ayat-ayat Al Quranyang memerintahkan kita (ibu-
bapak) untuk memelihara serta menjaga dan bertanggung jawab dalam memelihara keluarganya.

44
3. Hukum Pengasuhan Anak (hadhanah)
Hadhnah/ kaflah (pengasuhan) anak-anak hukumnya wajib karena menelantarkan mereka akan
menyebabkan mereka binasa. Selain wajib, (hadhnah/ kaflah) juga berkaitan dengan hak kerabat anak
karena kerabat anak itu memiliki hak atas pengasuhannya. Jadi, pengasuhan (hadhnah/ kaflah) itu
berkaitan dengan hak sekaligus kewajiban. Pengasuhan itu adalah hak setiap anak dan setiap orang yang
telah diwajibkan oleh Allah untuk mengasuhnya.
a. Menurut Imam Malik bahwa pemeliharaan anak itu ada di bawah hak ibu. Untuk anak laki-laki hingga
ia baligh, sedangkan untuk anak perempuan maka batasannya hingga ia menikah.
b. Menurut madhab Hanafi bahwa pemeliharaan anak laki-laki di bawah ayah, dengan alasan bahwa jika
seorang anak laki-laki sudah bisa memenuhi kebutuhan dasarnya, maka yang ia butuhkan adalah
pendidikan dan perilaku laki-laki. Sedangkan untuk anak perempuan bahwa manakala anak
perempuan tersebut telah mengalami menstruasi, maka ia diserahkan kepada ayahnya.
c. Menurut madhab Hanbali bahwa anak laki-laki diberi kesempatan untuk memilih antara bapak atau
ibunya. Sedangkan untuk anak perempuan diserahkan kepada ayahya setelah berumur 7 tahun.
d. Menurut Imam SyafiI berkata jika seorang anak laki-laki telah mencapai baligh dalam usia delapan
tahun, di mana usia ini adalah usia tamyiz, maka dia diberi kesempatan untuk memilih di antara kedua
orang tuanya. Sebab pada usia itulah pada umumnya anak yang bersangkutan telah pintar karena
tergerak keinginannya untuk belajar al-Quran, sopan santun, dan kewajiban ibadah lainnya. Dan
dalam hal ini tidak ada bedanya laki-laki ataupun perempuan.

4. Syarat Pengasuhan Anak (hadhanah)


a. Berakal
b. Merdeka
c. Menjalankan agama dengan baik
d. Dapat menjaga kehormatan dirinya
e. Orang yang dipercaya
f. Orang yang menetap didalam negri anak yang di didiknya

5. Hak Pengasuhan Anak (hadhanah)


Jika anak itu masih kecil, yakni belum balig dan belum bisa mengurus dirinya sendiri, tetapi ia sudah bisa
memikirkan banyak hal dan bisa membedakan perlakuan ibunya dengan perlakuan ayahnya, maka anak
itu diberi hak untuk memilih di antara kedua orang tuanya. Abdul Hamid bin Jafar meriwayatkan dari
bapaknya, dari kakeknya, yaitu Rafi bin Sinan, yang mengatakan bahwa ia telah masuk Islam, sedangkan
istrinya menolak masuk Islam. Istrinya lalu datang kepada Nabi saw. Dan berkata, Ini adalah anak
perempuanku. Ia telah disapih atau serupa itu. Rafi berkata, Ini adalah anak perempuanku. Lantas Nabi
saw. Berkata kepada Ra fi, Duduklah di sebelah sana. Nabi SAW, juga berkata kepada istri Rafi, Duduklah
di sebelah sana. Nabi SAW, lantas mendudukkan anak itu di antara keduanya. Setelah itu, Nabi SAW,
berkata, Coba panggil anak ini oleh kalian berdua. Si anak ternyata condong kepada ibunya. Nabi saw. Pun
berdoa, Ya Allah, berilah anak itu petunjuk. Lalu si anak pun condong kepada ayahnya sehingga
diambillah ia oleh ayahnya (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Hal yang sama juga berlaku jika terjadi perceraian. Jika anak itu sudah bisa berpikir dan membedakan
perlakuan ibu-bapaknya, tetapi ia masih memerlukan pengasuhan atau perawatan, maka anak itu diberi
pilihan untuk memilih ikut ibu atau bapaknya. Abu Hurairah menuturkan: Sesungguhnya Nabi saw. Telah
memberi seorang anak hak untuk memilih antara (ikut) ibu dan bapaknya. (HR Abu Dawud, Ibn Majah, al-
Baihaqi dan Abu Yala).
Jika anaknya masih kecil, belum disapih, belum bisa berpikir sempurna dan belum bisa membedakan
perlakuan ibu dan ayahnya, maka hak pengasuhannya langsung ditetapkan untuk ibunya. Abdullah bin
Amru bin al-Ash berkata: Seorang perempuan berkata, Ya Rasulullah, anakku ini, perutkulah yang menjadi
tempatnya; tetekkulah yang menjadi air minumnya; dan pangkuankulah yang menjadi tempat
berlindungnya. Namun, ayahnya menceraikan diriku dan ingin mengambilnya dari sisiku. Rasulullah saw.
Lalu bersabda, Engkau lebih berhak atas anak itu selama engkau belum menikah lagi. (HR Ahmad dan Abu
Dawud).
Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab bahwa ia menceraikan istrinya, Ummu Ashim.
Umar lalu mendatangi mantan istrinya, sementara Ashim, anaknya, sedang berada di pangkuannya. Umar
kemudian berusaha mengambil anak itu dari ibunya. Lalu terjadi tarik-menarik di antara keduanya sampai
anak itu menangis. Keduanya lalu mendatangi Abu Bakar ash-Shiddiq. Abu Bakar berkata kepada Umar,
Belaiannya, pangkuannya, dan kasih sayangnya lebih baik bagi anak itu ketimbang engkau sampai ia
beranjak dewasa hingga dapat menentukan pilihan untuk dirinya sendiri. (HR Ibn Abi Syaibah)
Jika terjadi perselisihan atas hak pengasuhan maka ditetapkan sesuai dengan prioritas berikut (jika
nomor di atasnya tidak ada atau bukan ahl al-hadhnah berpindah ke nomor berikutnya):
a.Ibu, lalu nenek (ibunya ibu), terus ke atas dari yang terdekat. Mereka semua berkedudukan sebagai ibu.
b.Ayah, lalu nenek (ibunya ayah), kemudian kakek (ayahnya ayah), lalu nenek buyut (ibunya kakek), dan
seterusnya, meskipun mereka bukan ahli waris.
c. Saudara-saudara perempuan; mulai saudara perempuan seayah-seibu, lalu seayah, kemudian seibu.
d.Saudara laki-laki seayah-seibu, lalu seayah, kemudian anak-anak laki-laki dari keduanya (saudara
seayah-seibu dan saudara seibu). Al-hadhnah tidak boleh diserahkan kepada saudara laki-laki seibu.
e.Para bibi dari pihak ibu (al-khalat). Lalu para bibi dari pihak ayah (al-amat).

45
f. Paman dari ayah ibu, lalu paman dari pihak ayah. Al-hadhnah tidak boleh diserahkan kepada paman
dari pihak ibu.
g.Para bibi (al-khalat)-nya ibu dari pihak ibu, lalu para bibi (al-khalat)-nya ayah dari pihak ibu, kemudian
para bibi (al-amat)-nya ayah dari pihak ayah. Al-hadhnah tidak diserahkan kepada bibi (al-amat)-nya
ibu dari pihak ibu, karena mereka semua mengalir dari pihak ibu, dan tidak berhak mengasuh anak.

6. Batas Pengasuhan Anak (hadhanah)


Dalam Al Quran serta hadist secara tegas tidaklah terdapat tentang masahadhanah, hanya saja terdapat
isyarat-isyarat yang menerangkan ayat tersebut. Oleh karena itu para ulama berijtihad sendiri-sendiri,
seperti halnya mazhab Hanafi berpendapat bahwa hadhanah anak laki-laki habis pada waktu dia tidak
memerlukan penjagaan serta dapat mengurus kepentingan pribadinya, sedangkan perempuan habis pada
saat haid pertamanya. Sedangkan pendapat para mazhab Imam SyafiI, hadhanah itu berkhir ketika si anak
telah mumayyiz atau berumur lima atau pun enam tahun, dengan dasar sabda Rasulullah ; anak
ditetapkan pada bapak dan ibunyasebagaimana belum mumayyiz, perempuan ditetapkan pada bapak dan
ibunya.
Berkaitan dengan berakhirnya masa pengasuhan, ada beberapa aturan Negara yang mengaturnya,
diantaranya:
a. UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 49 tentang pencabutan kekuasaan anaknya dan pasal 51 (2)
tentang sewali-wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik.
b. KHI pasal pasal 107 (3) tentang bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksakan tugas
perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak
sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut dan (4) tentang pengambilan wali dari pihak keluarga
atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik atau badan
hukum.

7. Biaya Pengasuhan Anak (hadhanah)


Ibu tidak berhak atas upah hadhanah seperti menyusui, selama ia masih menjadi istri dari anak itu, atau
masih dalam masa iddahnya. Karena dalam keadaan tersebut ia masih dalam keadaan dinafkahi, QS. Al
Baqarah : 233,



Para ibu hendaklah menyusukan anak-anak selam dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuannya, dan kewajiban ayah memberikan nafkah lahir bathin kepada ibu
dengan cara yang makruf.
Adapun habis masa iddahnya maka berhak atas upah hadhanah tersebut, Allah S.W.T. berfirman dalam QS.
At Thalaq : 6,



maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sehingga mereka bersalin,kemudian jika mereka
menyusukan anak-anakmu untukmu maka berikanlahkepada mereka upahnya, dan musyawarahlah
diantara kamu dengan baik, danjika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan
anak itu untuknya.

46
SKL FIKIH 8

HUKUM ISLAM TENTANG WARIS

A. Ketentuan Hukum Waris


1. Pengertian Waris
Al Miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan.
Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu
kaum kepada kaum lain. Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang
berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda.
Makna al miirats menurut istilah para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang
meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah,
atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syari. Pengertian peninggalan dari di kalangan fuqaha
ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Untuk mengatur
pembagian harta warisan digunakan ilmu faraid, yaitu ilmu yang mempelajari tentang warisan dan
perhitungannya. Salah satu dari tujuan ilmu tersebut adalah tidak terjadi perselisihan atau perpecahan.
2. Dasar Hukum Waris
QS. An Nisa : 7




bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.

QS. An Nisa ; 11-12





















11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12. dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka
tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar
hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
47
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

QS.An Nissa:176







176. mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah*). Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika
ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian
dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat.
dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
* Kalalah ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.
3. Kewajiban sebelum Harta Waris dibagikan
a. Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya,
dengan catatan tidak boleh berlebihan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.: Jiwa (ruh) orang
mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan.
b. Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta
peninggalannya.
c. Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai
ketetapan Al Quran, As Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma).
4. Sebab-sebab Waris
a.Kerabat hakiki/ nasabiyah: yaitu yang ada ikatan nasab, seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman,
dan seterusnya.
b.Pernikahan: yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syari) antara seorang laki-laki dan perempuan,
sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun
pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
c. Al Wala yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al itqi dan wala an-nimah. Yang
menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal
ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan
wala al-itqi.
5. Rukun dan Syarat Waris
Rukun waris ada 3, yakni :

a. Pewaris (Al-Muwarrits), yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi
harta peninggalannya.
b. Ahli waris (Al-Warits), yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan
pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
c. Harta warisan (Alhaqqul Mauruts), yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan
pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
Diantara syarat waris adalah :
a.Meninggalnya seseorang baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
b.Adanya ahli waris yang hidup (Al-Warits) secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
c. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing
6. Penghalang Menerima Harta Waris
a. Budak

Seorang budak tidak bisa mewarisi dan tidak pula mendapat waris, karena dia milik tuannya.
b. Pembunuhan

Pembunuh tidak berhak untuk mendapat waris dari orang yang dibunuhnya. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah SAW, Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya.
c. Perbedaan Agama

Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafirpun tidak mewarisi Muslim .

48
Dari Usamah bin Zaid r.a Rasulullah bersabda: Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir,
dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim. (Bukhari dan Muslim)
7. Ahli Waris dalam Islam
a. Ahli Waris Golongan Laki-laki
Ahli waris (yaitu orang yang berhak mendapatkan warisan) dari kaum laki-laki ada lima belas: (1)
anak laki-laki, (2) cucu laki-laki (dari anak laki-laki), (3) bapak, (4) kakek (dari pihak bapak), (5)
saudara kandung laki-laki, (6) saudara laki-laki seayah, (7) saudara laki-laki seibu, (8) anak laki-laki
dari saudara kandung laki-laki, (9) anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, (10) paman (saudara
kandung bapak), (11) paman (saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki dari paman (saudara
kandung ayah), (13) anak laki-laki paman seayah, (14) suami, (15) laki-laki yang memerdekakan
budak.
Catatan: Bagi cucu laki-laki yang disebut sebagai ahli waris di dalamnya tercakup cicit (anak dari cucu) dan
seterusnya, yang penting laki-laki dan dari keturunan anak laki-laki. Begitu pula yang dimaksud dengan kakek,
dan seterusnya.
b. Ahli Waris Golongan Perempuan
Adapun ahli waris dari kaum perempuan ada sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu, (3) anak
perempuan (dari keturunan anak laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek (ibu dari bapak), (6)
saudara kandung perempuan, (7) saudara perempuan seayah, (8) saudara perempuan seibu, (9) istri,
(10) perempuan yang memerdekakan budak.
Catatan: Cucu perempuan yang dimaksud di atas mencakup pula cicit dan seterusnya, yang penting perempuan
dari keturunan anak laki-laki. Demikian pula yang dimaksud dengan nenek baik ibu dari ibu maupun ibu dari
bapakdan seterusnya.

B. Pembagian Waris dalam Islam


1. Dzawil Furudh
Dzawil Furud adalah ahli waris yang perolehan harta warisan yang sudah ditentukan oleh dalil Al Quran
(lihat QS.An Nissa:11, 12, dan 176) dan Hadis

a. Ahli waris berhak mendapat setengah (1/2)

Syarat Ahli waris No


Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki Suami 1
maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut
ataupun bukan
Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuan Anak perempuan 2
tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki, penj.).
Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal.
Pewaris tidak punya saudara lai-laki Cucu perempuan dari 3
Jika pewaris cucu tunggal dan jika pewaris anak kandung perempuan anak laki-laki
atau anak
laki laki tidak ada
Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki. Saudara perempuan 4
Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan). seayah
Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai
keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan
Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki. Saudara perempuan 5
Apabila ia hanya seorang diri. seayah
Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan.
Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak, baik
anak laki-laki maupun perempuan.
b. Ahli waris berhak mendapat seperempat (1/4)

No Ahli waris Syarat


1 Suami Bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-
lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari
suami lain (sebelumnya)
2. Istri Apabila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari
rahimnya ataupun dari rahim istri lainya
c. Ahli waris yang berhak mendapat seperenam (1/6)

No Ahli waris Syarat


1 Ayah Pewaris punya anak baik laki-laki maupun perempuan
2 kakek Pewaris punya anak laki-laki atau perempuan atau cucu atu ayah tidak ada
3 Ibu Pewaris punya anak laki-laki atau perempuan atau cucu lai-laki keturunan
anak laki-laki atau pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih
4 Cucu perempuan dari Pewaris mempunyai satu anak perempuan
keturunan anak laki laki
seorang atau lebih
5 Saudara perempuan .Pewaris mempunyai seorang saudara kandung perempuan
seayah satu orang atau
49
lebih
6 Saudara laki-laki atau Pewaris tidak mempunyai kakek dan tidak pula tidak punya anak, baik laki-
perempuan seibu laki maupun perempuan
7 Nenek Pewaris tidak punya ibu
Para ahli hadis meriwayatkan bahwa seorang nenek a[ ting kepada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. untuk
menuntut hak warisnya. Abu Bakar menjawab: Saya tidak mendapati hakmu dalam Al Quran maka
pulanglah dulu, dan tunggulah hingga aku menanyakannya kepada para sahabat Rasulullah SAW.
Kemudian al Mughirah bin Syubah mengatakan kepada Abu Bakar: Suatu ketika aku pernah
menjumpai Rasulullah SAW memberikan hak seorang nenek seperenam (1/6). Mendengar pernyataan al
Mughirah itu Abu Bakar kemudian memanggil nenek tadi dan memberinya seperenam (1/6).
d. Ahli waris yang berhak mendapat seperdelapan (1/8)

No Ahli waris Syarat


1 Istri Bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya
atau dari rahim istri yang lain.

e. Ahli waris yang berhak mendapat dua pertiga (2/3)

No Ahli waris sebab


1 Dua anak perempuan satu Pewaris tidak mempunyai saudara laki-laki atau nak laki-laki dari pewaris
atau lebih
2 Dua cucu perempuan dari Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki atau perempuan.
keturunan anak laki-laki Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan.
Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki
3 Dua saudara kandung Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun perempuan),
perempuan juga tidak mempunyai ayah atau kakek.
Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai saudara
laki-laki sebagai ashabah.
Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki
4 Dua saudara perempuan Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek.
seayah tunggal atau lebih Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai saudara laki-laki
seayah.
Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki maupun
perempuan)
Persyaratan yang harus dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah untuk mendapatkan bagian dua
per tiga datang sama dengan persyaratan dua saudara kandung perempuan, hanya di sini (saudara
seayah) ditambah dengan keharusan adanya saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan).
Dan dalilnya sama, yaitu ijma para ulama bahwa ayat yang Allah menerangkan tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal (an-Nisa: 176)
f. Ahli waris yang berhak mendapat sepertiga (1/3)

No Ahli waris sebab


1 Ibu Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-
laki.
Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun
perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu .
2 Saudara laki-laki dan Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun perempuan),
saudara perempuan seibu juga tidak mempunyai ayah atau kakak.
dua orang atau lebih Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih

2. Ashabah
a. Pengertian Ashabah
Kata ashabah dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian,
dikarenakan mereka menguatkan dan melindungi. Dalam kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata
ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat. Ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli
waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian di dalam Al Quran dan As Sunnah dengan tegas.
Pengertian ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang menguasai harta
waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan
setelah ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing. Dasarnya QS. An-Nisa: 11
dan ayat 176.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah SAW.:Bagikanlah harta
peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling
utama. (HR Bukhari)

b. Macam Ashabah
1) Ashabah bil ghair

50
Ashabah bil ghair adalah setiap perempuan ahli waris yang termasuk ashhabul furudh, dan akan
menjadi ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya. Dalil bagi hak waris para ashabah bi
ghairih dijelaskan dalam firman Allah yaitu: an-Nisa: 11dan (an-Nisa: 176).
Ashabah bi ghairihi hanya terbatas pada empat orang ahli waris yang kesemuanya perempuan:
a) Anak perempuan, menjadi ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya (yakni anak
laki-laki).
b) Cucu perempuan keturunan anak laki-laki menjadi ashabah bila berbarengan dengan saudara
laki-lakinya, atau anak laki-laki pamannya
c) Saudara kandung perempuan menjadi ashabah bila bersama saudara kandung laki-laki.
d) Saudara perempuan seayah menjadi ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya, dan
pembagiannya, bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
Adapun sebab penamaan ashabah bi ghairihi adalah karena hak ashabah keempat perempuan itu
bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, akan tetapi karena adanya
ashabah lain yakni ashabah bi nafsihi, seperti saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki
seayah mereka. Bila para ashabah bi nafsihi itu tidak ada, maka keempat perempuan tersebut
mendapat hak warisnya secara fardh.
Ashabah bi Ghairihi tidak akan terwujud kecuali dengan beberapa persyaratan berikut:
a) Haruslah perempuan yang tergolong ashhabul furudh.
b) Laki-laki yang menjadi ashabah (penguat) harus yang sederajat.
c) Laki-laki yang menjadi penguat harus sama kuatnya dengan ahli waris perempuan shahibul
fardh. Misalnya, saudara laki-laki seayah tidak dapat mentashih saudara kandung perempuan.
Sebab saudara kandung perempuan lebih kuat kekerabatannya daripada saudara laki-laki
seayah.
2) Ashabah bi Nafsi
Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum perempuan,
mempunyai empat arah, yaitu:

a) Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit, dan
seterusnya.
b) Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak laki-laki,
misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
c) Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-
laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan
seterusnya. Arah ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk
keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak
termasuk ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
d) Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah, termasuk
keturunan mereka, dan seterusnya.
Keempat arah ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah anak lebih
didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada arah saudara.
Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh, maka sebagai ashabah
mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada
ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para ashabah pun tidak mendapat bagian.
3) Ashabah maa al Ghairi
Ashabah maal Ghair ini khusus bagi para saudara kandung perempuan maupun saudara
perempuan seayah apabila mewarisi bersamaan dengan anak perempuan yang tidak mempunyai
saudara laki-laki. Jadi, saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah bila
berbarengan dengan anak perempuan, atau cucu perempuan keturunan anak laki-laki dan
seterusnya, akan menjadi ashabah. Jenis ashabah ini di kalangan ulama dikenal dengan istilah
ashabah maal ghair. Sedangkan dalam ashabah maal ghair tidak terdapat sosok ashabah bi
nafsih.
Dasar bagi hak waris ashabah maal ghair adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
lainnya, bahwa Abu Musa al-Asyari ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, dan saudara perempuan (sekandung atau seayah). Abu Musa menjawab:
Bagian anak perempuan separo, dan bagian saudara perempuan separo. Penanya itu lalu pergi
menanyakannya kepada Ibnu Masud r.a., dan dijawab: Aku akan memvonis seperti apa yang
diajarkan Rasulullah SAW., bagian anak perempuan setengah (1/2) dan bagian cucu perempuan
keturunan anak laki-laki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), sedangkan
sisanya menjadi hak saudara perempuan kandung atau seayah.
Dari penjelasan Ibnu Masud dapat disimpulkan bahwa hak saudara perempuan bila mewarisi
bersama-sama dengan anak perempuan mengambil sisa harta pembagian yang ada. Hal ini berarti
saudara kandung perempuan atau saudara perempuan seayah sebagai ashabah maal ghair.
Jadi, secara ringkas, pada ashabah bil ghair para ashabah bi nafsih menggandeng kaum perempuan
ashhabul furudh menjadi ashabah dan menggugurkan hak fardh-nya. Sedangkan ashabah maal ghair
tidaklah demikian. Seorang saudara perempuan sekandung atau seayah tidak menerima bagian seperti
bagian anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Akan tetapi, anak perempuan
atau cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian secara fardh, kemudian saudara
perempuan sekandung atau seayah mendapatkan sisanya. Inilah perbedaan keduanya.
51
3. Hijab dan Mahjub
a. Hijab (penghalang)
Hijaab adalah ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sehingga ahli
waris yang lebih jauh tidak dapat menerima, atau bisa menerima, tetapi bagiannya menjadi berkurang.
Hijab dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1) Hijab hirma,yaitu ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sama
sekali tidak menerima bagian. Contohnya, kakek terhalang oleh bapak, dan cucu terhalang oleh
anak
2) Hijab nuqsan (mengurangi), yaitu ahli waris lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang
lebih jauh sehingga ahli waris yang lebih jauh bagiannya berkurang Contoh, jika jenazah
meninggalkan anaknya, suami mendapat 1/4, dan jika tidak meninggalkan anak mendapat 1/2
b. Mahjub (terhalang)
Mahjub adalah ahli waris yang lebih jauh terhalang oleh ahli waris waris yang lebih dekat sehingga
sama sekali tidak dapat menerima, atau menerima, tetapi bagiannya berkurang
4. Contoh perhitungan dalam pembagian harta waris
Contoh 1
Ada seseorang perempuan meninggal dunia, ahli warisnya adalah bapak, ibu, suami, dua anak laki-laki,
dan satu anak perempuan.Harta peninggalannya sebanyak Rp 1.800.000.
Bagian masing-masing ahli waris adalah :
Catatan
Sebelum memulai pembagian harta warisan, lebih dulu harus ditetapkan angka asal masalah, yaitu mencari
angka ( kelipatan persekutuan ) terkecil yang dapat dibagi oleh masing-masing angka penyebut dari bagian
ahli waris guna memudahkan dalam operasional hitungan. Misalnya bagian ahli waris 1/2 dan 1/3, angka
asal masalahnya ( KPK ) adalah 6 karena 6 dapat dibagi 2 dan 3 ( penyebutnya ). Bagian ahli waris 1/4, 2/3,
1/6, 1/4 angka asal masalahnya adalah 12 karena angka 12 dapat dibagi 2, 3, dan 6. Bagian ahli waris 1/8
dan 2/3, angka masalahnya 24 karena angka 24 dapat dibagi 8 dan 3. Demikian seterusnya.
a. Bapak = 1/6 ( karena ada anak laki-laki )
b. Ibu = 1/6 ( karena ada anak )
c. Suami = 1/4 ( karena ada anak )
d. Anak = Asabah ( karena ada anak laki-laki dan perempuan )
Asal masalah (KPK) = 12
Bapak = 1/6 X 12 = 2
Ibu = 1/6 X 12 = 2
Suami = 1/4 X 12 = 3
Jumlah = 7
Sisa ( bagian anak ) = 12 7 = 5
a. Bagian bapak = 2/12 X Rp 1.800.000 = Rp 300.000
b. Bagian ibu = 2/12 X Rp 1.800.000 = Rp 300.000
c. Bagian suami = 3/12 X Rp 1.800.000 = Rp 450.000
d. Bagian anak = 5/12 X Rp 1.800.000 = Rp 750.000
e. Untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan sehingga dua anak laki-laki
mendapat empat bagian dan seorang anak perempuan mendapat satu bagian. Harga warisan sisanya
dibagi lima(5).
f. Bagian seorang anak laki-laki =2/5 X Rp750.000 = Rp300.000
g. Bagian seorang anak perempuan =1/5 X Rp750.000 = Rp150.000

Contoh 2
a. Seseorang meninggal dunia, mewarisi harta sebesar Rp 12.000.000. Ahli warisnya terdiri dari suami,
anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan sekandung, masing-masing mendapat
bagian 3-6-2-1, pembagiannya adalah :
1) Suami ( 1/4 ) = 3/12 X Rp 12.000.000 = Rp 3.000.000
2) Anak perempuan ( 1/2 ) = 6/12 X Rp 12.000.000 = Rp 6.000.000
3) Cucu perempuan ( 1/6 ) = 2/12 X Rp 12.000.000 = Rp 2.000.000
4) Saudara perempuan (1/2) = 1/12 X Rp 12.000.000 = Rp 1.000.000
b. Seseorang meninggal dunia, meninggalkan harta warisan sebesar Rp 36.000.000 dan ahli waris terdiri
dari ibu, suami, dan dua saudara seibu, masing-masing mendapat bagian 1, 3, 2, pembagiannya adalah:
1) Ibu (1/6) = 1/6 X Rp 36.000.000 = Rp 6.000.000
2) Suami (1/2) = 3/6 X Rp 36.000.000 = Rp 18.000.000
3) 2 Saudara (1/3) = 2/6 X Rp 36.000.000 = Rp 12.000.000
c. Si Fulan meninggal dunia meninggalkan harta warisan senilai Rp 14.400.000 dan meninggalkan ahli
waris terdiri dari istri, cucu perempuan serta ibu masing-masing mendapat bagian 3, 12, 4, pembagian
sebagai berikut:
1) Istri (1/8) = 3/24 X Rp 14.400.000 = Rp 1.800.000
2) Cucu perempuan (1/2) = 12/24 X Rp 14.400.000= Rp 7.200.000
3) Ibu (1/6) = 4/24 X Rp 14.400.000 = Rp 2.400.000
Keterangan sisa harta Rp 3.000.000 diberikan kepada baitul mal.
Hal-hal yang harus kita perhatikan sebelum menghitung pembagian hak waris adalah sebagai berikut:

52
a. Supaya diperhatikan susunan ahli waris, apakah ada yang terhalang ( mahjub ) atau tidak ( gairu
mahjub )
b. Kita harus bisa membedakan atau memisahkan antara ahli waris zawil furud atau asabah. Jika ternyata
ada asabah lebih dari 1 kelompok maka asabah yang urutannya lebih besar atau jauh supaya mengalah,
dan turun derajatnya menjadi ahli waris zawil furud.

C. Hikmah Waris
1. Menjunjung tinggi hukum Allah dan Sunnah Rasulullah.
2. Menghindari terjadinya persengketaan dalam keluarga karena masalah pembagian harta warisan
3. Menghidari timbulnya fitnah.
4. Memperhatikan orang-orang yang terkena musibah karena ditinggalkan oleh anggota keluarganya.

D. Pengertian Wasiat
Kata wasiat itu berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata was-sha, yang berarti menjadikan, menaruh kasih
sayang, menyuruh dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. Sedangkan secara istilah artinya
pesan terhadap sesuatu yang baik, yang harus dilaksanakan atau dijalankan sesudah seorang meninggal
dunia dapat pula berarti hibah seseorang kepada orang lain berupa barang, hutang atau manfaat, dengan
ketentuan pihak yang diberi wasiat berhak memiliki pemberian tersebut setelah kematian pemberi wasiat.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain
atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (pasal 171 huruf f). Jadi wasiat adalah
pesan seseorang untuk mentasarrufkan/ membelanjakan harta yang ditinggalkan jika ia telah meninggal
dunia, dengan cara yang baik yang telah ditetapkan.

E. Dasar Hukum Wasiat


1. QS. Al-Baqarah : 180



Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara maruf . (Ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
2. Hadis Nabi SAW
Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, Orang muslim yang memiliki harta yang
akan diwasiatkan tidak berhak tidur dua malam, melainkan wasiatnya sudah tertulis di sisinya. (HR.
Muttafaq Alaihi)
Barang siapa mati dengan melakukan wasiat, maka matinya adalah pada jalan Ilahi dan menurut
Sunnah, mati dalam keadaan bertaqwa dan (mengucapkan) Syahadah, mati dengan mendapat
ampunan. (HR. Ibn Majah).
Jika dilihat dari segi cara dan obyek wasiat, maka hukum berwasiat dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Wajib, dalam hal yang berhubungan dengan hak Allah, seperti zakat, fidyah, puasa dan lain-lain
b.Sunnah, apabila berwasiat kepada selain karabat dekat dengan tujuan kemaslahatan dan mengharapkan
ridha Allah
c. Makruh, apabila hartany sedikit dan ahli warisnya banyak dan sangat membutuhkan harta warisan
tersebut.
d.Haram, apabila untuk tujuan yang dilarang oleh agama.
Adapun mengenai hukum wasiat para ulama berbeda pendapat yaitu:
a. Az-zuhri dan Abu Mijlaz, memandang bahwa wasiat itu wajib bagi setiap orang yang meninggalkan
harta, baik harta itu banyak atau sedikit.
b. Masruq, Iyas, Qatadah, Ibnu Jarir dan Az-zuhri, memandang bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan
karib kerabat yang tidak mewarisi dari si mayyit wajib hukumnya.
c. Empat Imam dari aliran Zaidiyah yang menyatakan bahwa wasiat itu bukanlah kewajiban atas setiap
orang yang meninggalkan harta dan bukan pula kewajiban terhadap kedua orang tua dan karib tetapi
wasiat itu berbeda-beda hukumnya menurut keadaan.
d. Abu Daud Ibnu Hazm dan ulama salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya fardhu ain. Mereka
beralasan bahwa QS Al-Baqarah ayat 180 dan QS An-Nisa ayat 11-12 mengandung pengertian bahwa
Allah mewajibkan hamba-Nya untuk mewariskan sebagian hartanya kepada ahli waris dan
mewajibkan wasiat didahulukan pelaksanaanya daripada pelunasan utang. Adapun maksud kepada
orang tua dan kerabat dipahami karena mereka itu tidak menerima warisan.

F. Ketentuan Harta yang di Wasiatkan


1. Meninggalkan harta yang banyak
Syekh Muhammad Abduh dalam Tafsir Al Manar menyatakan, bahwa dalam menetapkan ukuran itu sangat
bergantung kepada keadaan dan itikad baik seseorang, dengan memperhatikan keadaan zaman,
kepribadian dan lingkungan rumah tangga. Hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Ali bin Abi Thalib
mendatangi seorang yang pernah mengasuhnya yang sudah dekat mau mati, dia mempunyai uang 600
700 dirham. Laki-laki itu bertanya: Haruskan aku berwasiat? Ali menjawab: tidak perlu, karena Allah hanya
berfirman kalau meninggalkan harta yang banyak. Engkau tidak memiliki harta yang banyak;
tinggalkanlah harta tersebut untuk ahli warismu.

53
Rasulullah sendiri tidak melakukan wasiat tatkala Beliau akan meninggal dunia, sebab memang beliau
tidak meninggalkan harta yang banyak. Akan tetapi, para Khalifah dan sahabat-sahabat banyak yang
melakukan wasiat itu. Diantaranya Khalifah Abu Bakar Siddik yang mewasiatkan 1/5 dari harta bendanya;
Umar bin Khattab mewasiatkan 1/4 dari kekayaannya. Demikian keterangan dalam Tafsir Qurthubi.
2. Tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah seluruh harta
Syarat yang kedua dalam melakukan wasiat itu tidak boleh melebihi 1/3 dari harta yang ditinggalkan. Hal
itu dijelaskan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Saad bin Abi Waqash
ra, ia bertutur: Nabi SAW pernah datang menjengukku waktu di Makkah. Dan saya tidak suka meninggal
dunia di daerah yang saya pernah hijrah darinya. Sabda Beliau, Mudah-mudahan Allah melimpahkan
rahmat-Nya kepada Ibnu Afrak. (Saad) jawab, Ya Rasulullah bolehkah saya mewasiatkan seluruh harta
kekayaanku? Jawab Beliau, Tidak (boleh). Tanya saya, Separuh? Jawab Beliau, Tidak (juga). Saya
bertanya (lagi), Sepertiga? Dijawab, Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya engkau
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan mampu itu jauh lebih baik daripada engkau meninggalkan
mereka dalam keadaan miskin hingga meminta-minta kepada orang lain. Sesungguhnya, betapapun
kecilnya belanja yang kau nafkahkan, maka sesungguhnya itu adalah shadaqah, sampai pun sepotong
makanan yang kau suapkan ke mulut isterimu (itu adalah shadaqah), dan mudah-mudahan Allah
mengangkat (derajat)mu, sehingga orang-orang (muslim) mendapat banyak manfaat darimu dan orang-
orang lain (kaum musyrikin) tertimpa bahaya. Sedangkan pada waktu itu dia hanya memiliki seorang
putri. (HR. Muttafaq Alaihi)
Dari hadits ini, maka Jumhur Ulama menarik kesimpulan, bahwa tidak dibolehkan membuat wasiat lebih
daripada 1/3 jumlah harta benda.

G. Rukun dan Syarat Wasiat


1. orang yang mewasiatkan (Mushi)
a.Baligh
b.Berakal sehat
c. Atas kehendak sendiri, tanapa paksaan dari pihak manapun
Dalam KHI pasal 194 ayat 1 disebutkan bahwa, orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21
tahun, berakal sehat, dan tanpa paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang
lain atau lembaga. Orang yang dipaksa dan orang yang tidak sehat pikirannya tidak sah wasiatnya.
Namun bila wasiat anak-anak yang sudah cakap melakukan perbuatan hukum, dikalangan ulama
terjadi perbedaan pendapat. Imam Malik memandang sah kalau anak-anak itu sudah mumayyiz, tetapi
Abu Hanifah tidak membenarkan wasiat anak-anak, baik yang belum mumayyiz maupun yang sudah
mumayyiz.
2. Orang/ pihak yang menerima wasiat (musha lahu)
a.Harus benar-benar ada, meskipun ia tidak hadir pada saat wasiat diucapkan
b.Tidak menolak pemberian wasiat
c. Bukan pembunuh orang yang berwasiat
d.Bukan ahli waris yang berhak menerima warisan, kecuali atas persetujuan ahli waris lain.
Wasiat dapat ditujukan kepada orang tertentu, baik kepada ahli waris maupun bukan kepada ahli waris.
Demikian juga, wasiat dapat pula ditujukan kepada yayasan atau lembaga sosial, kegiatan keagamaan, dan
semua bentuk keagamaan yang tidak bertentangan agama islam.
3. Harta/ sesuatu yang diwasiatkan (musha bihi)
a. Jumlah wasiat tidak lebih dari 1/3 dari harta yang ditinggalkan
Dalam KHI pasal 195 ayat 2 disebutkan bahwa, wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya
sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui. Hal ini sesuai dengan hadist
Nabi



Sesungguhnya wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banyak
b. Dapat berpindah miliki dari seseorang kepada orang lain
c. Harus ada ketika wasiat diucapkan
d. Harus dapat memberi manfaat
e. Tidak bertentangan dengan huk syara.
4. Ijab Qabdul (Shighat Wasiat)
a.Kalimat dapat dimengerti maupun dipahami baik dengan lisan maupun tulisan.
b.Penerimaan wasiat diucapkan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.
Dalam konteks kehidupan globalisasi seperti sekarang ini, tentang pelaksanaan wasiat tentu diperlukan
kepastian hukum dalam pengalihan harta melalui wasiat ini.
Pasal 195 ayat (1) KHI menyebutkan wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi atau
tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris.
Pasal 203 ayat (1) dikemukakan pula bahwa surat wasiat dibuat dalam keadaan tertutup, maka
penyimpanannya dilaksanakan ditempat notaris yang membuatnya atau disimpan dalam protokol
notaris. Hal ini penting karena implikasi dari pelaksanaan wasiat ini sangat berpangaruh kepada
pelaksanaan perpindahan hak milik seseorang kepada orang lain secara permanen yang sangat diperlukan
adanya kepastian hukum, keadilan dan bermanfaat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan
wasiat tersebut.

H. Pihak yang tidak boleh menerima Wasiat


54
Setiap wasiat haruslah dijalankan oleh ahli waris yang tinggal, selama wasiat itu masih dalam batas-batas
ketentuan ajaran dan hukum Islam. Orang yang tidak menjalankannya akan memikul sendiri dosanya, seperti
yang diperingatkan dalam Al Quran, (QS. Al Baqarah: 181).


181. Maka Barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, Maka Sesungguhnya dosanya
adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Dalam kitab Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq disebutkan bahwa penerima wasiat bukan merupakan ahli
waris hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW,


Tidak ada wasiat bagi ahli waris(HR. Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)
,

Sesungguhnya Allah memberikan hak kepada setiap orang yang berhak terhadapnya. Ketahuilah, tidak
ada wasiat bagi ahli waris
Para ulama Indonesia telah merumuskan hal tersebut yang tertuang dalam KHI pasal 195 ayat 3, Wasiat
kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. Sedangkan pihak-pihak lain yang tidak
boleh menerima wasiat, diatur dalam KHI pasal 207, 208, dan 209 berikut :
Pasal 207, Wasiat tidak dibolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan
kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali
ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasanya.
Pasal 208, Wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta tersebut.
Pasal 209,
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193, sedangkan
terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3
dari harta warisan anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari
harta warisan orang tua angkatnya.

I. Sebab-sebab batalnya Wasiat


1. Wasiat tidak mengikat kecuali apabila orang yang berwasiat tersebut telah meninggal dan tetap dalam
wasiatnya. Orang yang berwasiat dapat menarik kembali wasiatnya sebelum meninggal. Bila si pemberi
wasiat ini menariknya, maka wasiat menjadi batal.
2. Gila dan rusak akal menghilangkan kecakapan seseorang melakukan tindakan hukum. Wasiat yang pernah
dibuat oleh orang yang berwasiat dan kemudian orang tersebut tertimpa penyakit gila, wasiatnya menjadi
batal.
3. Bila orang yang berwasiat pada saat hidupnya meninggalkan hutang, maka pelaksanaan wasiat dilakukan
setelah pembayaran hutang. Apabila hutang yang harus dibayar akan menghabiskan seluruh harta
kekayaannya maka wasiat yang pernah dibuat sebelumnya menjadi batal.
4. Bila penerima wasiat meninggal terlebih dahulu dari orang yang memberi wasiat maka wasiat tersebut
menjadi batal, karena tujuannya tidak ada lagi.
5. Bila penerima wasiat membunuh si pemberi wasiat, maka wasiatnya batal.
6. Penerima wasiat mempunyai hak untuk menolak wasiat agar jangan sampai keberatan dalam
melaksanakan wasiat.
7. Wasiat bisa batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.
Mengingat sangat pentingnya wasiat terhadap harta peninggalan seseorang, maka bila suatu wasiat terjadi
maka sebaiknya dikuatkan dengan alat-alat bukti yang dapat menghindarkan perselisihan di masa-masa yang
akan datang. Hal ini sesuai dengan KHI pasal 195, wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi,
atau tertulis dihadapan dua orang saksi atau dihadapan Notaris.

J. Hikmah Wasiat
1. Mentaati perintah Allah
2. Sebagai amal jariyah seseorang setelah dirinya meninggal dunia
3. Menghormati nilai-nilai kemanusiaan, terutama bagai kerabat atau orang lain yang tidak mendapat
warisan

55
SKL FIKIH 9 DAN 10

SUMBER HUKUM ISLAM YANG MUTTAFAQ

A. Sumber Hukum yang Disepakati (muttafaq)


1. Al Quran
a. Pengertian
Secara kebahasaan, kata Al Quran adalah bentuk isim masdar dari kata qa-ra-a, yang berarti
membaca yaitu kata qur-a-nan yang berarti yang dibaca. Pengertian tersebut menunjuk pada makna
bacaan yang paling sempurna. Dalam pengertian istilah, menurut Khudhari Beik, Al Quran
didefinisikan sebagai firman Allah SWT, berbahasa arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, untuk dipahami dan selalu diingat, disampaikan secara mutawattir, ditulis dalam satu mushaf
yang diawali dengan surat Alfatihah dan diakhiri dengan surat Annas.
b. Dasar Hukum
1) QS Al Maidah : 48


48. dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-
Kitab yang lain itu.
2) Hadis Riwayat Muslim

Aku tinggalkan di antara kamu semua dua perkara; yang kamu semua tidak akan tersesat selama
kamu semua berpegang teguh kepada dua perkara itu; yaitu kitab Allah (Al-Qur'an) dan Sunnah
Rasul (H.R.Muslim)

c. Garis Besar Hukum dalam Al Quran


1) Tidak Menyulitkan

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS Al
Baqarah: 185)
2) Menyedikitkan beban



101. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang
jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al
Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. (QS Al Maidah : 101)
3) Bertahap dalam pelaksanaanya
Dalam mengharamkan khamr ditetapkan dalam tiga proses:
a) Menjelaskan manfaat khamr lebih kecil dibanding akibat buruknya (QS Al Baqarah : 219).
b) Melarang pelaku shalat dalam keadaan mabuk (QS An Nisa : 43).
c) Menegaskan hukum haram kepada khamr dan perbuatan buruk lainya (QS Al Maidah : 90).
4) Membatasi yang mutlak
Kadang-kadang ayat datang dalam bentuk mutlak, tanpa batasan-batasan yang harus
dilaksanakan, seperti ayat tentang pencurian (QS Al Maidah : 38).


Pada ayat ini katakan aidiyahuma (), istilah tangan adalah dari ketiak sampai ibu jari, maka
Rasul membatasinya dengan ucapan: potong tangan pencuri sampai pada pergelangan tangan.
Begitu juga keadaan barang-barang yang dicuri sehingga harus potong tangan dibatasi minimal
seperempat dirham.
5) Mengkhususkan yang umum
Menjelaskan pengecualiannya seperti masalah waris, bahwa para Nabi tidak mewarisi terhadap
harta peninggalan dan anak yang membunuh orang tuanya dan anak yang kafir tidak mewarisi.
d. Kedudukan Al Quran sebagai Sumber Hukum
Kedudukan Al Quran merupakan satu-satunya sumber yang pertama dan paling utama dalam hukum
Islam. Sehingga semua hukum dan sumber hukum tidak boleh bertentangan dengan Al Quran.
Hukum yang ada dalam Al Quran bersifat umum (kulli) tidak membicarakan soal-soal yang rinci
(juzi). Terhadap perincian hukum tersebut dijekaskan melalui hadis Rasulullah SAW.
Menurut Imam Ghazali, ayat-ayat Al Quran yang berisi tentang hukum ada 500 ayat, dan terbagi
kepada dua macam, yaitu: ayat yang bersifat ijmali (global) dan ayat yang bersifat tafsili (detil). Ayat-
ayat Al Quran yang berisi tentang hukum itu disebut dengan ayatul ahkam.
Dasar bahwa kedudukan Al Quran merupakan satu-satunya sumber yang pertama dan paling
utama dalam hukum Islam.
56



49. dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah,
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka,
supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.
jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah). (QS. Al Maidah : 49)
e. Fungsi Al Quran
1) Sebagai pedoman dan petunjuk hidup manusia


Al Quran ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini. (QS
Aljasiyah: 20).
2) Sebagai pembenar penyempurna kitab yang diturunkan sebelum Al Quran


Dia menurunkan Alkitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah
diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. (QS Ali Imran: 3).
3) Sebagai Mujizat Nabi Muhammad SAW




Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al Quran ketika Al Quran itu datang kepada
mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan Sesungguhnya Al Quran itu adalah kitab yang mulia.
Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya,
yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS Fushshilat: 41-42).

4) Membimbing manusia ke jalan keselamatan dan kebahagiaan






15. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan.16.
dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan
keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita
kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang
lurus.(QS Al Maidah : 15-16).
5) Pelajaran dan penerang kehidupan


Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. (QS Yasin: 69).

2. Hadis
a. Pengertian
Hadis ialah segala hal yang datang dari Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan,
ketetapan Nabi SAW. Hadis dapat berdiri sendiri dalam mengadakan hukum-hukum, seperti
menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Kekuatannya sama dengan Al Quran, ketika pada
masalah hukum tidak terdapat di dalamnya.
b. Dasar hukum
1) QS Alhasyr : 7


7. apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah.

2) QS An Nisa : 59



59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).
3) Hadis riwayat Abu Daud dan Tirmidzi
57
(Rasul bertanya), bagaimana kamu akan menetapkan hukum bila dihadapkan padamu sesuatu
yang memerlukan penetapan hukum? Mu'az menjawab: saya akan menetapkannya dengan kitab
Allah. Lalu Rasul bertanya; seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah, Mu'az
menjawab: dengan Sunnah Rasulullah. Rasul bertanya lagi, seandainya kamu tidak
mendapatkannya dalam kitab Allah dan juga tidak dalam Sunnah Rasul, Mu'az menjawab: saya
akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri. Maka Rasulullah menepuk-nepuk belakangan Mu'az
seraya mengatakan "segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan utusan seorang Rasul dengan
sesuatu yang Rasul kehendaki".(HR. Abu Daud dan AI Tirmidzi).
c. Kedudukan Hadis sebagai Sumber Hukum
Telah disepakati bahwa pengertian hadis sebagai segala yang disandarkan kepada Nabi SAW, yang
dijadikan dasar hukum dalam memunculkan produk hukum dalam ajaran Islam. Hal ini
dimungkinkan karena Nabi SAW adalah sosok yang mulia yang oleh hadis dijadikan sebagai suri
tauladan bagi umat manusia. Penempatan hadis sebagai sumber pokok ajaran setelah Al Quran
didasarkan atas argumen bahwa antara Al Quran dan hadis terdapat perbedaan ditinjau dari segi
redaksi dan cara penyampaian atau cara penerimaannya.
Diyakini bahwa Al Quran adalah wahyu yang redaksinya disusun langsung oleh Allah SWT sedang
malaikat Jibril sekedar penyampai tanpa perubahan sedikitpun kepada Nabi SAW. Atas dasar ini, Al
Quran dinilai mempunyai nilai ketetapan yang otentik tanpa ada perubahan. Hadis dari aspek
redaksinya merupakan hasil dari hafalan sahabat dan tabi'in sehingga nilai ketetapanya bersifat
dugaan (dhanny), tergantung dari kualitas hafalan mereka.
d. Fungsi Hadis terhadap Al Quran
1) Bayan Taqrir ( )
Adalah fungsi hadis terhadap Al Quran dengan menetapkan dan menguatkan atau
menggarisbawahi kembali maksud redaksi wahyu. Contoh: Hadis tentang penentuan kalender
bulan berkenaan dengan kewajiban di bulan Ramadhan. Hadis tersebut menggarisbawahi
kembali maksud redaksi surah Al Baqarah : 185
( ) .

Apabila kalian melihat bulan, maka puasalah, juga apabila melihat bulan, berbukalah.(HR. Muslim)

2) Bayan Tafsir ( )
Adalah fungsi hadis berkenaan dengan menjelaskan atau memberikan keterangan atau
menafsirkan dan merinci redaksi Al Quran yang bersifat global (umum). Contoh: hadis Nabi SAW
menafsirkan surah Al Qadr: 1-5 dengan memberi penjelasan tentang waktu terjadinya.
( ) .

(malam) lailatul qadr berada pada malam gajil pada sepuluh akhir bulan Ramadhan.
3) Bayan Tasyri ( )
Adalah fungsi hadis dalam menetapkan hukum yang tidak dijelaskan oleh Al Quran. Hal ini
dilakukan atas inisiatif Nabi SAW atas berkembangnya permasalahan sejalan dengan luasnya
daerah penyebaran Islam dan beragamnya pemikiran para pemeluk Islam. Contoh: Pada masalah
zakat, Al Quran tidak secara jelas menyebut berapa yang harus dikeluarkan seorang muslim
dalam mengeluarkan zakat fitrah. Nabi SAW menjelaskan dalam hadis sebagai berikut :






( ) .
Rasul telah mewajibkan zakat fitrah kepada manusia (muslim). Pada bulan Ramadhan satu sho'
(sukat) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau sahaya, laki-laki atau
perempuan muslim. (HR Bukhari dan Muslim)
3. Ijma
a. Pengertian
Ijma dalam pengertian bahasa memiliki arti berupaya (tekad) terhadap sesuatu dan kesepakatan.
Menurut pengertian istilah, ijma adalah kesepakatan seluruh ulama dari kaum muslimin pada
suatu masa sesudah wafat Rasulullah SAW atas suatu hukum syara pada suatu kejadian/ masalah.
58
Hal yang demikian pernah dilakukan pula oleh khalifah Abu Bakar apabila terjadi kepada dirinya
perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia menemukan hukumnya maka ia
berhukum padanya. Jika tidak terdapat dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari
Rasulullah SAW, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul
SAW, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan
pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.
b. Dasar Hukum
1) QS. An Nisa :59



Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).
Kata ulil amri yang terdapat pada ayat di atas mempunyai arti hal, keadaan atau urusanyang
bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja,
kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para
mujtahid.
2) Hadis Nabi SAW
Sabda Rasulullah SAW:

Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan.
Apabila para mujtahid telah melakukan ijma dalam menentukan hukum syara dari suatu
permasalahan hukum, maka keputusan ijma itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin
melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta.
c. Rukun Ijma
Kesepakatan itu dapat dikelompokan menjadi 4 hal:
1) Tidak cukup ijma dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang
(mujtahid) saja di suatu masa
2) Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara dalam suatu masalah, dengan
melihat negeri, jenis dan kelompok mereka
3) Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat
yang jelas apakah dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan
4) Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid
d. Macam-macam Ijma
1) Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:
a) ljma' bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik
berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi;
b) Ijma' sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat
dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi
terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di
masanya. Ijma' seperti ini disebut juga ijma' 'itibari.
2) Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada:
a) ljma' qath'i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak
ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan
berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain;
b) ljma' dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada kemungkinan lain
bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad
orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.
4. Qiyas
a. Pengertian
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, sedangkan
menurut Wahbah Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan
hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan
illat/ sebab antara keduanya.
b. Dasar Hukum
1) Al Quran
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syariah dan termasuk
sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang ada. Diantara ayat Al Quran yang
dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah surah An Nisa : 59.
2) Hadis
Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadis Muadz ibn Jabal, tentang
cara menetapkan hukum.
c. Kedudukan Qiyas Menurut Ulama
Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1) Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas
nashnya baik dalam Al Quran, hadis, pendapat sahabat maupun ijma ulama.
2) Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas.
59
3) Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena
persamaan illat/sebab. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan
qiyas sebagai pentaskhih dari keumuman dalil Al Quran dan hadis.
Contoh Qiyas
a) Pengharaman mengkonsumsi minuman keras
Hukum meminum khamr, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Quran yaitu hukumnya
haram. Sebagaimana firman Allah surah Al Maidah ayat: 90
b) Terhalangya warisan bagi pembunuh
Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah
ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan,
karena itu dibunuhlah B. Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW bersabda: Orang yang
membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi. (HR Tirmidzi)
c) Makruh beraktifitas bila adzan salat jumat berkumandang
Ketika ada adzan kemudian masih melakukan sesuatu pekerjaan, seperti mencangkul di
sawah, bekerja di kantor, dan sebagainya setelah mendengar adzan untuk melakukan salat
jumat belum ditetapkan hukumnya. Kemudian dicari perbuatan lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya, yaitu terus menerus melakukan
jual beli setelah mendengar adzan jumat hukumnya makruh.

60
SKL FIKIH 11

SUMBER HUKUM ISLAM YANG MUKHTALAF

A. Ketentuan Islam tentang Pemerintahan (khilafah)


1. Khilafah
a. Pengertian Khilafah
Khilafah menurut bahasa berarti pengganti, duta, atau wakil, kepemimpinan, dan pemerintahan.
Sedangkan menurut istilah, khilafah ialah penggantian kepemimpinan terhadap diri Rasulullah SAW
dalam menjaga dan memelihara agama serta mengatur urusan dunia. Dapat juga didefinisikan sebagai
struktur pemerintah yang pelaksanaannya diatur berdasarkan syariat Islam. Khilafah juga disebut
dengan imamah uzma atau imarah uzma. Pemegang kekuasaan khilafah disebut khalifah, pemegang
kekuasaan Imamah disebut Imam, dan pemegang kekuasaan Imarah disebut Amir.
Dengan demikian khilafah adalah suatu lembaga kekuasaan yang menjalankan tugas-tugas Rasulullah
SAW dalam memelihara, mengurus, mengembangkan, dan menjaga agama serta mengatur urusan
duniawi umat Islam. Khilafah ini perlu diwujudkan oleh umat Islam untuk menciptakan persatuan dan
kesatuan untuk memelihara ketertiban kehidupan bersama umat Islam.
Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam surah Annur: 55



55. dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa
b. Dasar-dasar Khalifah
1) Dasar menegakkanya adalah kalimat Tauhid.
Khilafah yang dibentuk oleh Rasulullah SAW memiliki prinsip untuk menegakkan kalimat Allah
SWT, serta memudahkan penyebaran Islam kepada seluruh umat manusia. Dalam dasar negara kita
terdapat sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila tersebut sejalan dengan firman Allah QS Al
Baqarah : 163.


163. Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang.
2) Dasar ukhuwah Islamiyah atau prinsip persaudaraan dan persatuan.
Khilafah dimaksudkan untuk menggalang persatuan dan persaudaraan dalam Islam. Sebagaiman
firman Allah dalam surah Ali Imran: 103.




103. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai
berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-
musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-
orang yang bersaudara.
3) Dasar adanya persamaan derajat sesama umat Islam.
Prinsip ini sesuai dengan ajaran Islam yang menegaskan bahwa setiap umat manusia derajatnya
sama, yang membedakannya hanyalah ketakwaan semata. Demikian keterangan Alquan surah Al
Hujurat: 13




13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
4) Dasar musyawarah untuk mufakat atau kedaulatan rakyat.
Berkaitan dengan penentuan kebijakan yang berkaitan dengan masalah kebijakan publik, harus
dilaksanakan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat dan harus dipatuhi oleh seluruh
masyarakat. Demikian itu sejalan dengan petunjuk Al Quran surah Asy Syura: 38

61
38. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka.
5) Dasar keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh umat.
Atas dasar prinsip ini, khilafah harus menegakkan persamaan hak bagi segenap warganya. Seperti
petunjuk Al Quran surah An Nahl: 90.



90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

c. Tujuan Khilafah
Khilafah secara umum mempunyai tujuan untuk memelihara agama Islam dan mengatur
terselenggaranya urusan umat manusia agar tercapai kesejahteraan dunia dan akhirat sesuai dengan
ajaran Allah SWT. Namun demikian, tujuan khilafah secara spesifik adalah :
1) Melanjutkan kepemimpinan agama Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW.
2) Untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin yang dilengkapi aparat-aparat pemerintahan.
3) Untuk menjaga stabilitas negara dan kehormatan agama.
4) Untuk membentuk suatu masyarakat yang hidupnya subur, makmur, sejahtera dan berkeadilan,
serta mendapat ampunan dari Allah SWT.
d. Macam-macam Khilafah
Ada dua macam khilafah yang dapat ditegakkan yaitu:
1) Khilafah bersifat nasional
Khilafah nasional adalah lembaga kekuasaan yang mencakup pada wilayah negara tertentu. Dalam
pengertian suatu negara yang mempunyai wilayah khusus, berdaulat dan jelas batas-batasnya,
seperti yang terjadi pada masa Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Kerajaan Turki Utsmani, Kerajaan
Mughal, dan sebagainya. Dewasa ini dapat kita sebut sebagai khilafah seperti negara-negara Arab
Saudi, Kuwait, Qatar, Mesir, Syiria, Pakistan, Brunei Darusalam, dan lain-lain.
2) Khilafah bersifat internasional
Khilafah internasional adalah lembaga kekuasaan yang mencakup seluruh dunia. Dalam pengertian
kekuasaan bagi umat Islam seluruh dunia. Di mana saja umat Islam berada, maka itulah lingkup
wilayah kekuasaannya, hanya saja kekuasaannya tidak menyangkut segala aspek kehidupan umat,
melainkan hanya menyangkut bidang spiritual saja.
e. Hikmah Khilafah
Adanya upaya pengendalian dan pemenuhan aspirasi rakyat yang beragama dapat dipadukan
kepentingan yang beragam dapat diakomodasikan sehingga meskipun pada dasarnya manusia itu
mempunyai karakter yang berbeda, akan tetapi atas nama negara mereka dapat dipersatukan untuk
mewujudkan persatuan dan kesatuan dengan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada.

2. Khalifah
a. Pengertian Khalifah
Khalifah ialah orang-orang yang melanjutkan tugas-tugas Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara
dan pemimpin umat Islam, setelah beliau wafat. Namun tidak berarti menggantikan kedudukan nabi,
sebab setelah Nabi Muhammad SAW. tidak ada lagi nabi yang diutus oleh Allah SWT.
Dalam pandangan politik Sunni, khalifah yang menggantikan posisi nabi Muhammad SAW, sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan dengan gelar khulafa-ur rasyidun (pemimpin-pemimpin yang
bijaksana) adalah khalifah Abu Bakar Shidiq, khalifah Umar bin Khatab, khalifah Utsman bin Affan, dan
khalifah Ali bin Abi Thalib.
Jabatan khalifah berikutnya dipangku oleh para pemuka dari Bani Umayyah seperti khalifah Muawiyah
bin Abi Sofyan, khalifah Umar bin Abdul Aziz dan lain-lain. Pada masa Abbasiyah diantaranya dipegang
oleh khalifah Al Makmun, khalifah Harun Al Rasyid, dan lain-lain. Adapun pimpinan negara sesudahnya
tidak dinamakan dengan khalifah tetapi disebut amir, sultan atau dengan nama yang secara umum
disebut sebagai kepala negara.
b. Syarat-syarat Khalifah
Untuk menjadi khalifah seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Beragama Islam.
2) Memiliki ilmu pengetahuan yang cukup luas.
3) Mampu melakukan pengawasan terhadap aparatur pemerintahan dalarn pelaksanaan hukum,
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
4) Adil dalam arti luas, yang mampu melaksanakan seluruh kewajiban dan menjauhi seluruh larang
serta dapat memelihara kehormatan dirinya.
5) Anggota badan dan panca inderanya tidak cacat.
6) Dipilih oleh ahlul halli wal aqdi
c. Cara Pengangkatan Khalifah
Berdasarkan sejarah, pengangkatan khalifah itu dilakukan sebagai berikut:
1) Dipilih langsung oleh umat Islam, seperti pada saat pemilihan khalifah pertama, yakni khalifah Abu
Bakar Shidiq di balai sidang Bani Saidah.

62
2) Diusulkan oleh khalifah yang sedang menjabat, misalnya pengangkatan khalifah kedua, yakni
khalifah Umar bin Khatab yang diusulkan oleh Abu Bakar Shidiq.
3) Dipilih melalui perwakilan (ahlul halli wal aqdi), misalnya pemilihan khalifah Usman bin Affan.
4) Dipilih oleh perwakilan sebagian besar umat Islam, misalnya Ali bin Abi Thalib.
Keempat sifat pemilihan dan pengangkatan khalifah itu, menunjukkan bahwa Islam mengutamakan
aspirasi dan kehendak rakyat.
Di Indonesia sifat pengangkatan pemimpin dilakukan dalam 2 bentuk ;
1) Pemilihan tidak langsung
Adalah pemilihan melalui perwakilan ahlul halli wal aqdi (DPR/ MPR) yang berhak menentukan
dan memutuskan segala hal yang menyangkut kehidupan umat Islam.
2) Pemilihan secara langsung
Adalah suatu pemilihan yang dilakukan langsung oleh segenap rakyatnya. Setiap warga negara dan
warga masyarakat berhak memilih langsung dan memberikan dukungannya sesuai dengan
kehendak hati nuraninya, seprti pemilihan Presiden RI
d. Baiat
Baiat artinya sumpah setia yang dilakukan oleh seseorang untuk menyatakan kepercayaannya. Baiat
dilakukan oleh kaum muslimin di dalam suatu majlis. Setelah terpilih menjadi khalifah, baiat harus
dijalankan. Artinya khalifah harus diambil sumpahnya dengan menyebut nama Allah dan Rasul-Nya
sebagai saksi. Selanjutnya, khalifah terpilih harus menyampaikan pidato perdananya seperti yang
dilakukan khalifah Abu Bakar Shidiq setelah beliau di baiat. Dalam pidatonya khalifah Abu Bakar
mengatakan: Wahai saudara-saudara, saya telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku
bukanlah yang terbaik di antara kamu. Jika aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutilah aku, tetapi
jika aku berbuat salah hendaklah saudara-saudara betulkan. Orang yang saudara-saudara pandang
kuat, aku pandang lemah, sehingga aku dapat mengambil hak daripadanya, sedangkan orang yang
saudara-saudara anggap lemah, aku pandang kuat, sehingga aku dapat memberikan hak kepadanya.
Hendaklah saudara-saudara taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi bila aku
tidak menaati Allah dan Rasul-Nya saudara-saudara tidak perlu taat kepadaku.
Setelah pidato perdananya, barulah khalifah mulai menjalankan tugasnya sebagai pemimpin agama
dan pemimpin bangsa dan negara, serta menjadi kewajiban umat Islam menaati segala perintah
khalifah, selama khalifah itu menjalankan perintah-perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.
e. Hak Rakyat
Islam melindungi menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak dasar yang diliki oleh tiap indifidu,
baik yang menyangkut kebutuhan immaterial maupun material dan hak yang menyangkut keselamatan
dan kesehatan jasmani, harta benda maupun kehormatannya. Maka siapa saja yang memberi hak-hak
hidupan seorang saja dinilai seakan-akan telah melakukan perbaikan hidup seluruh umat manusia.
Demikian makna ayat 32 surah Al Maidah . Bahkan islam melarang untuk melakukan prasangka buruk.






32. Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan
Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami
dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah
itu. sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
Di antara hak-hak rakyat ialah:
1) Hak kemerdekaan pribadinya.
2) Hak kemerdekaan bertempat tinggal.
3) Hak kemerdekaan harta benda.
4) Hak kemerdekaan berpikir dan berpendapat.
5) Hak kemerdekaan beragama.
6) Hak kemerdekaan belajar.
7) Hak hidup dan jaminan keamanan.
f. Kewajiban Rakyat
Setelah rakyat memilih dan mengambil sumpah khalifah, maka rakyat mempunyai kewajiban, di
antaranya sebagai berikut:
1) Patuh dan taat kepada perintah khalifah, sepanjang khalifah tersebut berpegang teguh kepada
hukum-hukum Allah SWT dan Rasul-Nya.



59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya). (QS An Nisa : 59).
63
2) Mencintai tanah air dan mempertahankannya dari ancaman dan gangguan musuh, dengan segala
kekuatan dan potensi yang ada.


193. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya
semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada
permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS. Al Baqarah : 193).
3) Memelihara persatuan dan kesatuan.

103. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai
berai. (QS. Ali Imran: 103).

B. Majelis Syura dalam Islam


1. Pengertian Majlis Syura
Majlis Syura menurut bahasa artinya tempat musyawarah, sedangkan menurut istilah adalah lembaga
permusyawaratan rakyat. Atau dengan pengertian lembaga permusyawaratan yakni badan yang
ditugasi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat melalui musyawarah. Dengan demikian majlis
syura ialah suatu badan negara yang bertugas memusyawarahkan kepentingan rakyat. Di Indonesia
dikenal dengan MPR.
Pada mula berdirinya, yakni pada zaman Rasulullah SAW dan khulafa-ur rasyidin, musyawarah
dilakukan di mesjid atau di tempat yang mereka kehendaki untuk bermusyawarah, tidak dalam
bangunan tertentu, lembaga tertentu, dan tata tertib tertentu. Berbeda dengan zaman sekarang,
manusia semakin banyak jumlahnya, memiliki keinginan politik yang beragam, sehingga memerlukan
suatu lembaga resmi, tempat yangresmi dan tata tertib musyawarah atau sidang.
2. Pengertian Ahlul Halli Wal Aqdi
Ahlul halli wal aqdi ialah anggota majlis syura sebagai wakil-wakil rakyat. Imam Fahruddin Ar Razi
menyatakan bahwa anggota ahlul halli wal aqdi adalah para alim ulama dan kaum cendikiawan yang
dipilih langsung oleh mereka. Dengan demikian, ahlul halli wal aqdi harus mencakup dua aspek
penting, yaitu; mereka harus terdiri dari para ilmuwan uan alim ulama, mereka semua harus
mendapat kepercayaan dari rakyat, artinya kepemimpinannya harus berasaskan demokrasi. Ahlul
halli wal aqdi di Indonesia adalah para anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD provinsi dan Kabupaten/
Kota.
3. Syarat-syarat Menjadi Anggota Majlis Syura
Para anggota majlis syura ialah orang-orang yang mempunyai jabatan dan kedudukan penting di
dalam negara. Oleh sebab itu, untuk dapat diangkat menjadi anggota majlis syura haruslah orang-
orang yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ;
a. Beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.
b. Dipilih langsung oleh rakyat, sesuai dengan prinsip demokrasi.
c. Berkepribadian tinggi (adil, jujur, dan bertanggung jawab).
d. Memiliki ilmu pengetahuan yang memadai sesuai dengan keahliannya.
e. Ikhlas, dinamis, dan kreatif
f. Berani dan teguh pendirian
g. Peka dan penuh perhatian terhadap kepentingan rakyat, tanpa membeda-bedakan suku, agama,
ras, golongan, dan sebagainya.
4. Hak dan kewajiban Majlis Syura
Majlis syura, sebagaimana layaknya lembaga perwakilan rakyat memiliki hak dan kewajiban, di
antaranya sebagai berikut:
a. Mengangkat dan memberhentikan khalifah (kepala negara).
b. Berperan sebagai penghubung antara rakyat dengan khalifah, yait'u mengadakan rapat atau
musyawarah dengan khalifah tentang berbagai hal yang berkenaan dengan kepentingan rakyat.
c. Membuat UU bersama khalifah untuk memantapkan pelaksanaan hukum Allah
d. Menetapkan anggaran belanja negara.
e. Merumuskan gagasan demi cepatnya pencapaian tujuan negara.
f. Merumuskan dan menetapkan program dan anggaran negara yang akan dilaksanakan oleh
khalifah.
g. Selalu hadir dalam setiap persidangan majlis syura.

5. Syarat Pengangkatan Pemimpin oleh Majlis Syura


Dalam islam menjadi pemimpin dan dipimpin adalah amanah yang pasti akan dimintai pertanggung
jawabannya. Membangun pemerintahan yang baik ini bukan hanya peran penguasa akan tetapi
rakyat juga ikut menentukan arah pemerintahan tersebut. Karena bagaimana mungkin suatu
pemerintahan akan berjalan dengan baik jika hanya pemimpinnya saja yang taat membangun sistem
sedangkan rakyatnya melawan sistem yang dibangun itu mesipun untuk kebaikan mereka. Akan
tetapi islam melarang kita untuk taat kepada pemerintahan/ pemimpin dan sistem yang
memerintahkan kepada maksiat.

64



58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
(QS An Nisa : 58).
Berdasar surah An Nisa ayat 58 ayat diatas, ada 5 syarat yang harus dilakukan oleh pemerintah
maupun masyarakat untuk mengahadirkan kepemimpinan yang sukses dan pemerintahan yang baik
(good governance) yaitu:
a. Pemberian jabatan kepada orang terbaik (ahlinya)
Memilih seorang pemimpin atau pemangku jabatan haruslah orang-orang yang profesional. Jika
memilih seseorang disebabkan karena adanya hubungan kekerabatan, hubungan saudara,
kesamaan mazhab, hubungan darah, sogokan materi, hubungan kebangsaan dan lain sebagainya
padahal ada orang yang lebih profesional dari mereka, maka hal tersebut merupakan bentuk
pengkhianatan terhadap Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman.
b. Membangun hukum yang adil
Berlaku adil merupakan perintah Allah. Keadilan mencakup semua aspek kehidupan baik sosial,
politik, budaya, ekonomi dan sebagainya. Keadilan harus ditegakkan di dalam setiap aspek
kehidupan, dari mulai penegakan hukum baik pidana maupun perdata, pembagian harta seperti
ghanimah, zakat, dan harta-harta negara lainnya yang harus di salurkan dengan tepat dan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Karena itu Allah SWT memberikan balasan yang cukup besar bagi pemimpin yang adil, Abu
Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: ada tujuh golongan yang akan mendapatkan
naungan dari Allah di hari kiamat nanti dimana tidak ada naungan kecuali naungannya. Dan salah
satu golongan dari ketujuh golongan itu adalah pemimpin yang adil.
c. Dukungan dan kepercayaan dari masyarakat (legitimasi)
Menciptakan kepemimpinan yang sukses bukan hanya tugas para penguasa, masyarakat pun ikut
berperan aktif dalam mewujudkan hal tersebut. Islam sangat menyadari seorang pemimpin tidak
akan mampu melakukan apapun tanpa adanya dukungan dari masyarakatnya. Oleh karena itu
dalam islam masyarakat harus memberikan ketaatan dan kepercayaannya kepada pemerintah
sehingga menghadirkan pemerintahan yang legitimate.
Karakter kepemimpinan dalam islam adalah kepemimpinan yang representatif. Mandat
kepemimpinan dalam islam tidak ditentukan oleh Allah namun dipilih oleh umat. Selama seorang
pemimpin tidak memerintahkan maksiat kepada Allah SWT, maka masyarakat wajib taat dan
percaya terhadap pemimpinnya meskipun dia seorang pemimpin yang non muslim.
d. Ketaatan tidak boleh dalam kemaksiatan
Sering terjadi polemik ditengah-tengah masyarakat kita, apakah masi ada kewajiban untuk
mematuhi pemimpin yang mendurhakai Allah atau tidak. Pemimpin yang dipilih secara langsung
dan ditetapkan berdasarkan Undang-undang dipandang dapat memenuhi syarat kepemimpinan
untuk melaksanakan amanat rakyat. Apabila pemimpin tidak mengindahkan nasihat dan
peringatan serta tetap melakukan kemaksiatan dan kemungkaran, maka tidak ada lagi kewajban
untuk mematuhi perintahnya.
e. Konstitusi yang berlandaskan Al Quran dan Sunnah
Salah satu cara untuk menghadirkan kepemimpinan yang sukses dan baik menurut ayat diatas
adalah jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya). Artinya Al Quran dan sunnah harus menjadi rujukan dalam setiap
penyelesaian masalah yang terjadi didalam negara.
Syekhul islam Ibnu Thaimiyyah mengatakan tugas utama negara ada dua, yakni menegakkan
syariat dan menciptakan sarana untuk menggapai tujuan tersebut. Negara harus menjadi
kepanjangan tangan Allah SWT untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya dimuka
bumi. Ada beberapa alasan penting yang membuat negara dan pemerintahan memiliki kedudukan
yang vital dalam islam berdasarkan Al Quran dan sunnah diantaranya:
1) Al Quran dan sunnah memiliki seperangkat hukum yang pelaksanannya membutuhkan
institusi negara dan pemerintahan.
2) Al Quran dan sunnah meletakkan landasan yang kokoh baik dalam aspek akidah, syariah, dan
akhlak yan berfungsi sebagai bingkai dan menjadi jalan hidup kaum muslimin. Pelaksnaan dan
pengawasan ketiga prinsip tersebut tidak pelak mrnbutuhkan intervensi dan peran negara.
3) Adanya ucapan dan perbuatan Nabi SAW yang dipandang sebagai bentuk pelaksanaan tugas-
tugas negara dan kepemerintahan. Nabi SAW mengangkat gubernur, hakim, panglima perang,
mengirim pasukan, menarik zakat dan pajak (fiskal), mengatur pembelanjaan dan keuangan
negara (moneter), menegakkan hudud, mengirim duta, dan melakukan perjanjian dengan
negara lain.
6. Hikmah Adanya Majlis Syura
a. Melaksanakan perintah Allah dan mencontoh perbuatan Rasulullah tentang musyawarah untuk
menyelesaikan persoalan hidup dan kehidupan umat Islam.
b. Melahirkan tanggungjawab bersama terhadap keputusan yang ditetapkan karena keputusan
tersebut ditetapkan oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih sesuai dengan kemampuan dan
tanggungjawabnya.
65
c. Melahirkan keputusan dan ketetapkan yang baik dan bijaksana karena keputusan tersebut
ditetapkan oleh banyak pihak.
d. Menghindari perselisihan antar golongan yang dapat mengakibatkan kehancuran dan
kerugian negara.
e. Memilih pimpinan yang terbaik dan disetujui semua pihak karena itu kualitasnya akan lebih
dapat dipertanggungjawabkan.
f. Mengurangi bahkan menghilangkan keluh kesah yang mengakibatkan penyelewengan sebagai
akibat dari keputusan yang tidak atau kurang representatif.
g. Menjalin hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhannya dan hubungan sesama umat
manusia, khususnya umat Islam.
h. Menciptakan persatuan dan kesatuan karena hasil musyawarah biasanya merupakan jalan tengah
yang memiliki daya tarik semua pihak. Jadi hasilnya dapat mengikat semua pihak.
i. Mewujudkan keadilan karena putusan hasil musyawarah telah disetujui oleh semua pihak maka
hasilnya bersifat adil untuk semua pihak.
j. Menciptakan kerukunan dan ketahanan umat sehingga dapat menangkal berbagai rongrongan
dan ancaman terhadap negara dan pemerintah.

C. Sumber Hukum yang Tidak Disepakati (muhtalaf)


1. Istihsan
a. Pengertian
Secara bahasa ihtihsan berasal dari kata hasani yang berarti baik, yakni menganggap dan meyakini
sesuatu itu baik (baik secara fisik atau nilai). Dari segi bahasa istihsan bermakna memandang baik
sesuatu atau mencari yang lebih baik untuk diikuti. Dalam pengertian istilah, definisi istihsan adalah
kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, secara lahiriah atau
maknawiah, meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.
Contoh, pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu
shalat atas dasar Istihsan, padahal secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu
dengan menggunakan air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya
batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu
shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat
berganti.
b. Dasar Hukum
a. Al Quran surah Azzumar ayat 18


18. yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya mereka Itulah
orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk.
b. Al Quran surah Azzumar ayat 55

55. dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanm.
c. Hadis

Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik. (HR
Ahmad)
c. Kedudukan istihsan sebagai sumber hukum
Secara umum ada dua pendapat ulama dalam hal ini:
1) Disepakati sebagai sumber hukum
Di antara ulama yang beranggapan sebagai sumber hukum adalah Imam Hanafi dan Imam Malik
sekalipun ia tidak terlalu membedakan antara istihsan dengan Maslahah Mursalah, sehingga
beliau menyatakan bahwa istihsan telah merambah sampai ilmu fiqh. Adapun alasan yang
dikemukannya antara lain seperti pada sub dasar hukum.
2) Tidak disepakati sebagai sumber hukum
Di antara ulama yang menolaknya sebagai sumber hukum adalah Imam Syafii. Dalam bukunya Ar
Risalah beliau menyatakan bahwa haram bagi seseorang untuk mengatakan sesutu atas dasar
istihsan dan dianggap membuat syariat baru. Adapun alasan ulama yang menolak istihsan sebagai
sumber hukum, antara lain:
a) Karena kewajiban seorang muslim adalah mengikuti hukum Allah dan Rasul-Nya atau qiyas
yang berlandaskan pada Al Quran dan hadis.
b) Allah SWT memerintahkan kita untuk kembali kepada nash atau qiyas apabila kita berselisih
paham, bukan kepada hawa nafsu. (QS An Nisa : 59).
c) Nabi Muhammad SAW tidak pernah memberikan fatwa dengan menggunakan istihsan.
Misalnya ketika beliau ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya Kamu
bagiku mirip punggung ibuku. Beliau tidak memberikan fatwa berdasarkan istihsan. Akan
tetapi menunggu hingga turun ayat tentang Dzihar.
d) Nabi SAW juga tidak memperkenankan sahabat memberi fatwa atau bersikap berdasarkan
istihsan. Seperti pada kasus Usamah yang membunuh musuhnya yang telah mengucapkan

66
kalimat syahadat, karena kalimat itu di ucapkan di saat terdesak dan ancaman pedang yang
terhunus.
e) Istihsan tidak memiliki batasan yang jelas dan kreteria-kreteria yang bisa dijadikan standar
untuk membedakan antara haq dan batil.
2. Maslahah Mursalah
a. Pengertian
Maslahah mursalah menurut bahasa terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah
berasal dari kata bahasa arab

menjadi
atau
yang berarti sesuatu yang
mendatangkan kebaikan, sedangkan kata mursalah berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan).
Sehingga maslahah mursalah berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan
suatu hukum. Atau suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat). Dalam pengertian istilah,
definisi maslahah mursalah adalah jalan kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syariat untuk
mengerjakannya atau meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau
menghindarkan mudharat.
b. Kedudukan Maslahah mursalah sebagai sumber hukum
1) Jumlah ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan :
a) Bahwa dengan nas-nas dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperhatikan
kemaslahatan umat manusia.
b) Pembinaan hukum Islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti
membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
2) Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam Syafii
boleh berpegang apabila tidak bertentangan dengan Al Quran dan hadis. Alasan pendapat kedua ini
adalah:
a) Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya
b) Para sahabat dan tabi'in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan
maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syari'.
Contoh, langkah sahabat Abu Bakar Shidiq mengumpulkan mushaf Al Quran atas saran Umar bin
Khatab. Begitu pula penyeragaman tulisan Al Quran oleh sahabat Utsman bin Affan.
3. Istishab
a. Pengertian
Secara bahasa istishab berarti menyertakan ,membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu. Menurut
ulama ushul fiqh, definisi istishab adalah menjadikan hukum yang telah tetap pada masa lampau
terus berlaku sampai sekarang karena tidak diketahui ada dalil yang merubahnya.
b. Macam-macam Istishab
1) Istishab aql
Istishab aql adalah suatu keyakinan umum dalam rangka mendalami agama sehingga ulama
membedakan ajaran agama menjadi dua bagian, yaitu ibadah dan muamalah.
2) Istishab Syara
Istishab Syara adalah suatu perbuatan yang perintahkan Allah dan Rasulullah serta tidak ada dalil
yang mengubah perintah tersebut. Contohnya adalah wudu dan jumlah rakaat shalat.
c. Kedudukan Istishab sebagai Sumber Hukum
1) Istishhab dapat dijadikan dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah hukum.
Pendapat ini didukung oleh jumhur ulama Malikiyah, Hanabilah, mayoritas Syafiiyah dan sebagian
Hanafiyah.
a) Firman Allah surah Al Anam ayat 145
Ayat ini menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah hingga
datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya.





145. Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
b) Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalat) lalu mengatakan:
Engkau telah berhadats. Engkau telah berhadats. Maka (jika demikian), janganlah ia
meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara atau mencium bau.(HR Ahmad)
c) Ijma
Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqih yang telah
ditetapkan melalui ijma atas dasar istishhab. Diantaranya, bahwa jika seseorang ragu apakah ia
sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia harus
merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci.
67
2) Istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak
Menurut pendapat mayoritas ulama Hanafiyah istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara
mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun meniadakannya. Diantara alasan pendapat diatas
adalah:
a) Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan dalil.
b) Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan apapun yang
menyebabkan hal itu maka ia adalah batil.
c) Istishhab adalah hujjah pada saat membantah

4. Urf (adat istiadat)


a. Pengertian
Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui,
dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat. Menurut istilah, definisi urf adalah apa-apa
yang saling diketahui oleh manusia dan mereka mempraktikannya, baik perkataan atau perbuatan atau
meninggalkan.
b. Klasifikasi Uruf
1) Klasifikasi Urf ditinjau berdasarkan ruang lingkupnya, yaitu:
a) Urf am (umum). Yaitu urf yang berlaku di seluruh negeri muslim, sejak zaman dahulu sampai
saat ini. Para ulama sepakat bawa urf umum ini bisa dijadikan sandaran hukum.
b) Urf khosh (khusus). Yaitu sebuah urf yang hanya berlaku di sebuah daerah dan tidak berlaku
pada daerah lainnya. Urf ini diperselisihkan oleh para ulama apakah boleh dijadikan sandaran
hukum ataukah tidak.
Contoh: Di sebuah daerah tertentu, ada seseorang menyuruh seorang makelar untuk menawarkan
tanahnya pada pembeli, dan urf yang berlaku di daerah tersebut bahwa nanti kalau tanah laku
terjual, makelar tersebut mendapatkan 2% dari harga tanah yang ditanggung bendua antara
penjual dengan pembeli; maka inilah yang berlaku, tidak boleh bagi penjual maupun pembeli
menolaknya kecuali kalau ada perjanjian sebelumnya.
2) Klasifikasi Urf ditinjau berdasarkan objeknya, yaitu:
a) Urf Lafzhy (ucapan). Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tententu dipahami bersama
dengan makna tertentu, bukan makna lainnya. Urf ini kalau berlaku umum di seluruh negeni
muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan sandaran hukum.
Misalnya:
Ada seseorang berkata: Demi Alloh, saya hari ini tidak akan makan daging. Ternyata kemudian
dia maka ikan, maka orang tersebut tidak dianggap melanggar sumpah, karena
kata daging dalam kebiasaan masyarakat kita tidak dimaksudkan kecuali untuk daging binatang
darat seperti kambing, sapi, dan lainnya.
Ada seorang penjual berkata: Saya jual kitab ini seharga lima puluh ribu. Maka yang dimaksud
adalah lima puluh ribu rupiah, bukan dolar ataupun riyal.
b) Urf Amali (perbuatan). Yaitu Sebuah penbuatan yang sudah menjadi urf dan kebiasaan
masyanakat tertentu. Ini juga bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat urf lafzhy.
Misalnya:
Dalam masyarakat tertentu ada urf orang bekerja dalam sepekan mendapat libur satu hari, pada
hari Jumat. Lalu kalau seorang yang melamar pekerjaan menjadi tukang jaga toko dan
kesepakatan dibayar setiap bulan sebesar Rp.500.000, maka pekerja tersebut berhak berlibur
setiap hari Jumat dan tetap mendapatkan gaji tersebut.
c. Kedudukan sebagai sumber hukum
Urf juga bisa dijadikan landasan hukum dalam masalah fiqhiyah apabila sudah tidak menemukan
hukum dalam Al Quran dan hadis. Dengan berlandaskan sebuah riwayat: suatu kebiasaan yang dinilai
baik oleh orang-orang Islam, juga dinilai baik disisi Allah. Bahkan Imam Jalaluddin Asysuyuti
mengatakan bahwa ketetapan berdasarkan urf termasuk dalam kategori ketetapan berdasarkan dalil
syara, berdasar pada kaidah: apa yang terkenal sebagai urf sama dengan yang ditetapkan sebagai
syarat, dan sesuatu yang tetap karena urf sama dengan yang tetap karena nash.
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan
mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan. Ulama Malikiyah banyak
menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk Madinah. Mereka menganggap apa
yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan
dengan syara. Imam Safii terkenal dengan qoul qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratik yang
berlaku pada masyarakat Bagdad dan Mesir yang berlainan. Sedangkan urf fasidah tidak dapat
diterima, hal itu jelas karena bertentangan dengan hukum syara.

5. Saddudz Dzariah
a. Pengertian
Saddudz dzariah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzariah. Saddu berarti penghalang, hambatan
atau sumbatan. Sedang dzariah berarti wasilah atau jalan ke suatu tujuan. Saddudz dzariah secara
bahasa berarti menutup jalan kepada suatu tujuan atau menghambat atau menghalangi atau
menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat. Secara istilah, Saddudz dzariah
adalah menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan. Seseornag melakukan
pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tapi tujuan yang
akan ia capai berakhir pada suatu kemafsadatan.

68
Contoh dalam masalah zakat. Sebelum waktu haul (batas waktu perhitungan zakat sehingga wajib
mengeluarkan zakat) datang seseorang yang memiliki sejumlah harta yang wajib dizakatkan,
menghibahkan sebagian harta kepada anaknya, sehingga berkurang nisab harta itu dan ia taerhindar
dari kewajiban zakat. Pada dasarnya menghibahkan harta kepada anak atau orang lain dianjurkan oleh
syara, karena perbuatan ini merupakan salah satu akad tolong menolong. Tetapi karena tujuan hibah
dilakaukan itu adalah untuk menghindari kewajban yaitu membayar zakat, maka perbuatan ini
dilarang. Pelarangan ini didasarkan pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunah menggugurkan
zakat yang hukumnya wajib.
b. Dasar Hukum
1) Al Quran surah Al Anam : 108 dan Annur: 31


108. dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.(QS Al Anam : 108)

31. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.
(QS Annur: 31)

2) Hadis
Sabda Nabi SAW: Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaan-
Nya.Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus ke
dalamnya.(HR Bukhari dan Muslim)
c. Kedudukan Saddudz dzariah sebagai sumber hukum
1) Menurut Imam Malik bahwa Saddudz dzariah dapat dijadikan sumber hukum, sebab sekalipun
mubah tetapi dapat mendorong dan membuka perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama.
Imam Qurtubi (ulama Malikiyah) menyatakan : Sesunggunya apa-apa yang dapat mendorong
terjerumus kepada perkara yang dilarang (maksiat) adakalanya secara pasti menjerumuskan dan
tidak pasti menjerumuskan.
2) Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii, bahwa Saddudz dzariah tidak dapat dijadikan sumber
hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai yang
mubah. Dalam sebuah hadis Nabi SAW bersabda: tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada
apa yang tidak meragukan. Bagi siapa yang berputar-putar di sekitar larangan (Allah) lama
kelamaan dia akan melanggar larangan tersebut.

6. Syaru man Qablana


a. Pengertian
Definisi syaru man qablana adalah hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah kepada umat-umat
sebelum kita yang diturunkan melalui para Nabi dan para Rasul untuk disampaikan kepada seluruh
masyarakat pada waktu itu. Syaru man qablana merupakan syariat para nabi terdahulu sebelum
adanya syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
b. Kedudukan syaru man qablana sebagai sumber hukum
Identifikasi hukum dapat dibaca dalam ayat-ayat Al Quran yang banyak menyebut syariat umat
terdahulu. Kemudian hal ini dipahami kembali oleh para ahli usul fiqh sebagai bukti peran dan kiprah
syaru man qablana dalam percaturan hukum Islam kala itu. Misalnya dalam surah Al Anam ayat 146.





146. dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari sapi dan
domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di
punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang.
Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya Kami adalah
Maha benar.
Contoh lain bahwa pada zaman Nabi Musa menggunakan cara menebus dosa (bertobat) atas kesalahan
yang telah dilakukan adalah dengan bunuh diri. Setelah Islam datang, syariat tersebut kemudian tidak
berlaku lagi (mansukh) dengan turunnya surah Huud ayat 3: dan hendaklah kamu meminta ampun
kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya.
Selain itu, terdapat pula kontribusi syaru man qablana dalam bentuk lain yang tampak berlawanan
dengan bentuk di atas. Di antara warisan hukum itu dapat dilihat pada surah Al Baqarah ayat 183.
Warisan lain yang ditetapkan untuk umat Nabi SAW adalah perintah berkurban yang sebelumnya
pernah diwajibkan kepada Nabi Ibrahim As.
Menurut sebagian ulama Syafiiyah yang menyatakan bahwa syariat umat terdahulu yang tidak ada
kepastian untuk umat Nabi SAW, tidak dipandang sebagai syariat Islam. Paling tidak, ada dua aspek
penting dalam masalah syaru man qablana, yaitu:
1) Apa yang disyariatkan kepada mereka juga ditetapkan kepada umat Nabi SAW. Seperti puasa,
qishash dan lain-lain.

69
2) Apa yang disyariatkan kepada umat terdahulu tidak disyariatkan kepada umat Nabi SAW. Misalnya
yang disyariatkan kepada Nabi Musa As, seperti dosa orang jahat itu tidak akan terhapus selain
membunuh dirinya sendiri dan pakaian yang terkena najis itu tidak suci kecuali harus dipotong
bagian yang terkena najis tersebut.

7. Mazdhab Shahabi
a. Pengertian
Mazhab sahabi ialah suatu pendapat yang dikemukakan oleh seseorang sahabat berkaitan dengan
hukum syara sesudah wafatnya Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah SAW masih hidup, semua masalah
atau peristiwa yang pemecahan hukumnya tidak terdapat dalam Al Quran diserahkan secara langsung
kepada beliau. Namun, sesudah beliau wafat, tugas tersebut dilakukan oleh sejumlah sahabat yang
mempunyai keahlian di bidang hukum Islam.
b. Kedudukan Mazhab sahabi sumber hukum
1) Mazhab sahabat yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan serta ketetapan Rasul wajib ditaati.
2) Mazhab sahabat yang berdasarkan hasil ijtihad tetapi mereka telah menyepakati (ijma sahabi)
dapat dijadikan hujah dan wajib ditaati.
3) Mazhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujah dan tidak wajib diikuti. Imam
Abu Hanifah dan Imam Syafi'i menyatakan: tidak melihat seorang pun ada yang menjadikan
perkataan sahabat untuk dijadikan hujjah.
Contoh, pendapat Aisyah yang mengatakan bahwa usia janin dalam kandungan itu tidak akan lebih
dari dua tahun: Di dalam perut ibu, kandungan itu tidak berdiam melebihi dua tahun, berdasarkan
ukuran yang biasa mengubah bayang-bayang alat tahun.

70
SKL FIKIH 12

KAIDAH AMAR DAN NAHI

A. Pengertian dan Penerapan Kaidah Amar dan Nahi


1. Amar (perintah)
a. Pengertian Amar
Menurut bahasa, amar berarti suruhan, perintah, sedangkan menurut istilah adalah:
:


amru ialah tuntutan melakukan pekerjaan dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah
Sesuatu yang lebih tinggi kedudukannya adalah Syari (Allah atau Rasul-Nya) dan kedudukan yang
lebih rendah adalah mukallaf. Jadi amar adalah perintah Allah atau Rasulnya kepada mukallaf untuk
berbuat suatu pekerjaan.
b. Bentuk Lafal Amr
1) Fiil amar


Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk. (QS
Albaqarah: 43)
2) Fiil Mudhari yang didahului dengan huruf lam amar :


Dan hendaklah diantara kamu yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan
mencegah dari yang mungkar. (QS Ali Imron: 104)
3) Isim Fiil amar


Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi
mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. (QS Almaidah: 105)
4) Isim masdar pengganti fiil

Dan kepada kedua orang tuamu berbuat baiklah. (QS Al Baqarah: 83)
5) Kalimat berita (kalam khabar) bermakna insya (perintah)

wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (QS Al
Baqarah: 228)
6) Fiil madhi atau mudhori yang mengandung arti perintah
Diantara fiil madhi dan mudhari yang mengandung makna perintah adalah:





Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan
kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (QS Albaqarah: 183)

c. Kaidah Amar
1) Amar menunjukkan kepada wajib


Pada asalnya Amar itu menunjukkan wajib
Hal ini menunjukkan menurut akal dan naqal. Menurut akal adalah orang-orang yang tidak
mematuhi perintah dinamakan orang yang ingkar, sedangkan menurut naqal.
Contoh: salat, membayar zakat dan lain-lain.
2) Amar menunjukkan kepada sunnah


Pada asalnya Amar itu menunjukkan nadab (sunnah)
Amr di sini menunjukkan kepada sunnah, karena ada musyaqat (kesulitan), atau sesuatu perintah
yang tidak ada salahnya memfaedah kepada wajib. Amar juga dapat digunakan antara lain:
a) Untuk doa, seperti pada surah Albaqarah ayat 201:

71
dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka"
b) Untuk penghormatan, seperti pada surah Alhijr ayat 46:

"Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman
c) Untuk petunjuk, seperti pada surah Al Baqarah ayat 282:

apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya.

d) Untuk ancaman, seperti pada surah Fushshilat ayat 40:




Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari
kami. Maka Apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah orang-
orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat

3) Amar tidak menunjukkan untuk berulang-ulang




Perintah itu pada asalnya tidak menghendaki pengulangan
Amar tidak menghendaki kepada yang berulang-ulang, tetapi hanya menghendaki hasilnya/
mengerjakan satu kali. Seperti firman Allah SWT.

dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. (QS Albaqarah: 196)
4) Amar tidak menunjukkan untuk bersegera


Perintah pada asalnya tidak menghendaki kesegeraan.
Jadi amar boleh ditangguhkan pelaksanaannya sampai akhir waktu yang telah ditentukan.
5) Amar dengan wasilah-wasilahnya

Perintah mengerjakan sesuatu berarti juga perintah mengerjakan wasilahnya.
Perintah mendirikan sholat berarti juga perintah untuk berwudlu, sebagai wasilah (jalan kepada)
sahnya sholat.
6) Amar yang menunjukkan kepada larangan


Perintah mengerjakan sesuatu berarti larangan terhadap kebalikannya.
Maksudnya, jika seseorang disuruh mengerjakan suatu perbuatan, mestinya dia meninggalkan
segala kebalikannya. Misalnya, disuruh beriman, berarti dilarang kufur.
7) Amar menurut masanya


Apabila dikerjakan yang diperintahkan itu menurut caranya, terlepas dia dari masa perintah itu.

Misal: Seseorang yang telah melaksanakan suatu perintah dengan sempurna pada masanya, maka
terlepas dia dari tuntutan pada masa itu. seperti keadaan musafir yang tidak memperoleh air untuk
berwudhu hendaklah dia bertayamum sebagai pengganti wudhu.
8) Qada dengan perintah yang baru


Qada itu dengan perintah yang baru.
Maksudnya, suatu perbuatan yang tidak dapat dilaksanakan pada waktunya harus dikerjakan pada
waktu yang lain (qadla). Pelaksanaan perintah bukan pada waktunya ini berdasarkan pada
perintah baru, bukan perintah yang lama. Misal: qada puasa bagi yang mengalami udzur syari pada
bulan Ramadhan, tidak dikerjakan berdasarkan ayat : tetapi berdasarkan pada
perintah baru, yaitu firman Allah SWT :
9) Martabat amar


Jika berhubungan dengan nama (isim) adalah menghendaki akan tersimpannya pada permulaan.
Sependek-pendek masa amr, apabila dihubungkan dengan hukum menurut pengertian
keseluruhannya dalam bentuk yang berlainan tentang tinggi dan rendah, dipendekkan hukum itu
menurut sekurang-kurangnya martabatnya untuk melaksanakan perintah itu.

72
Misal: perintah melakukan tumaninah dalam shalat, dan perintah memerdekakan seorang budak,
tidak memandang harga tapi memandang martabatnya.
10) Amar sesudah larangan


amr sesudah larangan memfaedahkan pada hukum boleh.
Perbuatan yang lebih mudah dimengerti ialah perbuatan yang dibolehkan, seperti pada awalnya
Nabi melarang menziarahi kubur, maka sekarang diperbolehkan. Kalimat amr ini tidak
menunjukkan kewajiban tetapi menunjukkan hukum boleh (ibahah), sabda Nabi SAW :


Dan saya larang kamu menziarahi kuburan, maka sekarang ziarahlah. (HR. Muslim)
2. Nahyu (larangan)
a. Pengertian nahy
Menurut bahasa nahy berarti larangan, sedangkan menurut istilah ialah:



:
Annahy (larangan) ialah tuntutan meninggalkan perbuatan dari yang lebih tinggi kepada yang lebih
rendah (kedudukannya).
Kedudukan yang lebih tinggi di sini adalah syari (Allah atau Rasul Nya) dan kedudukan yang lebih
rendah adalah mukallaf. Jadi nahy adalah larangan yang datang dari Allah atau Rasul-Nya kepada
mukallaf.

b. Bentuk kata nahy


1) Fiil mudhari yang didahului dengan la nahiyah/ janganlah

Dan jangan engkau memakan harta saudaramu dengan cara batil. (QS Albaqarah: 188)

Janganlah engkau berbuat kerusakan di muka bumi. (QS Albaqarah: 11)
2) Lafal-lafal yang dengan tegas bermakna larangan (mengharamkan).
Misalnya :
Firman Allah SWT:

Diharamkan bagi kamu ibu-ibumu dan anak-anak perempuanmu. (QS Annisa: 23)

Dan dilarang dari perbuatan keji dan mungkar. (QS Annahl: 90)
c. Kaidah Nahy
1) Nahi menunjukkan haram


Pada asalnya nahi itu menunjukkan haram.
Menurut jumhur ulama, berdasarkan kaidah ini, bila tidak ada dalil yang memalingkan nahi, maka
tetaplah ia menunjukkan hukum haram.
Misal: jangan shalat ketika mabuk, jangan mendekati perbuatan zina.


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (QS Annisa: 43)
2) Larangan sesuatu, suruhan bagi lawannya



Larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya.

Contoh: Perintah mentauhidkan Allah, sebagai kebalikan larangan mensekutukan-Nya



Wahaii anak-anakk Janganlah kamu mempersekutukan Allah (QS Luqman: 13)

3) Larangan yang mutlak







Larangan yang mutlak menghendaki berkekalan dalam sepanjang masa
Dalam suatu larangan yang berbentuk mutlak, baik membawa kebinasaan maupun menjauhinya,
baru mencapai hasil yang sempurna, apabila dijauhi yang membinasakan itu selama-lamanya.
Contoh: Perkataan orang tua pada anaknya, jangan dekati singa itu untuk melepaskan diri dari
kebinasaan.

73
4) Larangan dalam urusan ibadah


Larangan menunjukkan kebinasaan yang dilarang dalam beribadah.
Untuk mengetahui mana yang syah dan mana yang batil dalam urusan ibadah, harusnya setiap
orang itu mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

5) Larangan dalam urusan muamalah



Larangan yang menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang dalam beraqad

Misalnya menjual anak hewan yang masih dalam kandungan ibunya, berarti akad jual belinya tidak
sah. Karena yang diperjualbelikan tidak jelas dan belum memenuhi rukun jual beli.

B. Pengertian dan Penerapan Kaidah Am dan Khas


1. Am
a. Pengertian Am
Am menurut bahasa artinya merata, yang umum. Menurut istilah adalah lafal yang memiliki pengertian
umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafal itu. Dengan pengertian lain, am adalah
kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan
tidak terbatas.
b. Bentuk Lafal Am
1) Lafadz (setiap) dan ( seluruhnya). Kedua kata tersebut mencakup seluruh satuan yang
tidak terbatas jumlahnya.
Misalnya firman Allah:

Tiap-tiap yang berjiwa akan mati. (QS Ali Imran: 185)
Hadis Nabi Saw:

Setiap pemimpin diminta pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (QS Albaqarah: 29)

2) Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya



Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. (QS. Albaqarah: 233)
Kata al walidat dalam ayat diatas bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut
ibu.

3) Kata benda tunggal yang di marifatkan dengan alif-lam.



Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS Albaqarah: 275)
Kata Albai (jual beli) dan Arriba adalah kata benda yang di marifatkan dengan alif-lam. Oleh karena
itu, keduanya adalah lafal am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan
kedalamnya.

4) Lafal asmaul maushu, seperti ma, alladhina, alladzi dan sebagainya.




Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya. (QS Annisa: 10)
5) Lafal asmaul syart (isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata ma, man dan
sebagainya.


dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diatyang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. (QS Annisa: 92)
6) Isim nakirah dalam susunan kalimat nafi (negatif), seperti kata dalam ayat berikut


dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. (QS
Almumtahanah: 10)
74
c. Kaidah-kaidah Lafal Am
1) Lafal am yang dikehendaki keumumannya ( ) , karena ada dalil atau indikasi yang
menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhususan). Contoh:

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.
(QS Hud: 6).
Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.

2) Lafal am tetapi yang dimaksud adalah makna khusus ( ) , karena ada indikasi

yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya:



Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar
mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka
lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (QS Attaubah: 120).
Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Makkah, tapi hanya orang-orang yang
mampu.
3) Lafal am yang menerima pengkhususan (

) , ialah lafal am yang tidak disertai
karinah/ penghalang ia tidak mungkin dikhususkan dan tidak ada pula karinah yang meniadakan
tetapnya atau keumumannya. Lafal am seperti ini secara lahiriyah menunjukkan umum sampai ada
dalil pengkhususannya.
Contoh: Firman Allah SWT

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. (QS Albaqarah:
228).
Lafal am dalam ayat tersebut adalah almuthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari
indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.
2. Khas
a. Pengertian Khas
Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, khusus, tidak meliputi arti umum, dengan kata
lain, khas itu kebalikan dari Am.

Suatu lafadz yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (malum) dan manunggal.
Menurut istilah, definisi khas adalah:
Al-khas adalah lafadz yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti
Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas,
seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadz-
lafadz lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan
itu.
b. Dalalah Khas
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qathiyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum
yang ditunjukkannya adalah qathiy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya
kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:

tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga
hari dalam masa haji (QS. Al Baqarah (2) : 196
Kata tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih
dari makna yang dikehendaki oleh lafadz itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qathiy dan
dalalah hukumnya pun qathiy.
Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadz khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain.
Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:



pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing.
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah
lafadz khas. Karena kedua lafadz tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang
ditunjuk oleh lafadz itu sendiri. Dengan demikian, dalalah lafadz tersebut adalah qathiy. Tetapi
menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang
lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan
bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga
seekor kambing yang dizakatkan.
3. Masalah Takhsis
a. Pengertian Takhsis
75
Menurut Khudari Bik dalam bukunya Ushul al-Fiqh, takhshish adalah penjelasan sebagian lafadz am
bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh
lafadz am dengan dalil.

b. Macam Takhsis
1) Mentakhshish ayat Al Quran dengan ayat Al Quran


Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. (QS. Al Baqarah
(2) :228).
Ketentuan dalam ayat di atas berlaku umum, bagi mereka yang hamil atau tidak. Tapi ketentuan itu
dapat ditakhshish dengan QS. At-Thalaq ayat 4 sebagai berikut:




Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya.
Dapat pula ditakhshish dengan surat Al Ahzab:49



Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman,
kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib
atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.
Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci tidak
berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.
2) Mentakhshish Al Quran dengan As Sunnah

laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (QS. Al Maidah
(5): 38
Dalam ayat di atas tidak disebutkan batasan nilai barang yang telah dicuri. Kemudian ayat di atas
ditakhshish oleh sabda Nabi SAW:
.
Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang yang dicurinya kurang
dari seperempat dinar. (H.R. Al-Jamaah).
Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang dicuri kurang dari seperempat
dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan.

3) Mentakhshish As Sunnah dengan Al Quran



.


Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia berhadats sampai ia berwudhu.
(Muttafaq Alaihi).
Hadits di atas kemudian ditakhshish oleh firman Allah dalam QS. Al Maidah (5): 6,




dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali
dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).
Keumuman hadits di atas tentang keharusan berwudhu bagi setiap orang yang shalat, ditakhshish
dengan tayammum bagi orang yang tidak mendapatkan air, sebagaimana firman Allah di atas.
4) Mentakhshish As Sunnah dengan As Sunnah
.

Pada tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluh. (Muttafaq Alaihi).
Keumuman hadits di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya. Kemudian hadits itu
ditaksis oleh hadits lain yang berbunyi:


.
Tidak ada kewajiban zakat pada taanaman yang banyaknya kurang dari 5 watsaq (1000
kilogram). (Muttafaq Alaihi).
Dari kedua hadits di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib dizakati, kecuali yang sudah
mencapai 5 watsaq.
5) Mentakhsish Al Quran dengan Ijma
76


apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah
dan tinggalkanlah jual beli. (QS. Al Jumuah (62) : 9)
Menurut ayat tersebut, kewajiban shalat Jumat berlaku bagi semua orang. Tapi para ulama telah
sepakat (ijma) bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak tidak wajib shalat Jumat.
6) Mentakhshish Al Quran dengan Qiyas


perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera,
Keumuman ayat di atas ditakhshish oleh QS. An Nisa (4) : 25


Apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang
keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami..
Ayat di atas menerangkan secara khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina budak perempuan
adalah saparuh dari dera yang berlaku bagi orang merdeka yang berzina. Kemudian hukuman dera
bagi budak laki-laki di-qiyaskan dengan hukuman bagi budak perempuan, yaitu 50 kali dera.
7) Mentakhshish dengan pendapat sahabat
Jumhur ulama berpendapat bahwa takhshish hadits dengan pendapat sahabat tidak diterima.
Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanbaliyah dapat diterima jika sahabat itu yang meriwayatkan
hadits yang ditakhshishnya. Misalnya:

.
Barangsiapa menggantikan agamanya (dari agama Islam ke agama lain, yaitu murtad), maka
bunuhlah dia. (Muttafaq Alaih).
Menurut hadits tersebut, baik laki-laki maupun perempuan yang murtad hukumnya dibunuh.
Tetapi Ibnu Abbas (perawi hadits tersebut) berpendapat bahwa perempuan yang murtad tidak
dibunuh, hanya dipenjarakan saja.
Pendapat di atas ditolak oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa perempuan yang murtad juga
harus dibunuh sesuai dengan ketentuan umu hadits tersebut. Pendapat sahabat yang mentakhshish
keumuman hadits di atas tidak dibenarkan karena yang menjadi pegangan kita, kata Jumhur Ulama,
adalah lafadz-lafadz umum yang datang dari Nabi. Di samping itu, dimungkinkan bahwa sahabat
tersebut beramal berdasarkan dugaan sendiri.

C. Pengertian dan Penerapan Kaidah Mujmal dan Mubayyan


1. Mujmal
Secara bahasa mujmal berarti samar-samar dan beragam/ majemuk. Mujmal ialah suatu lafal yang belum
jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskan.
Dapat juga dimengerti sebagai lafazh yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau
penafsiran (tafsir). Seperti pada QS. An Nur (24) : 56, yang masih memerlukan penjelasan tentang tatacara
melaksanakanya.


dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.
Kata mendirikan shalat dalam ayat di atas masih mujmal/belum jelas karena tidak diketahui tata
caranya, maka butuh dalil lainnya untuk memahami tatacaranya. Dan Katamenunaikan zakat dalam ayat
di atas masih mujmal karena belum diketahui ukurannya sehingga untuk memahaminya masih diperlukan
dalil lainnya.
2. Mubayyan
a. Pengertian Mubayyan
Mubayyan artinya yang dinampakkan dan yang dijelaskan, secara istilah berarti lafadz yang dapat
dipahami maknanya berdasar asal awalnya atau setelah dijelaskan oleh lainnya. Al Bayyan artinya ialah
penjelasan, di sini maksudnya ialah menjelaskan lafal atau susunan yang mujmal.
b. Klasifikasi Mubayyan
1) Mubayyan Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam satu
hukum/hukum/nash. Misalnya dalam QS. An Nisa (4) : 176,







77
mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak
dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-
laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu,
supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Lafazh kalalah adalah mujmal yang kemudian dijelaskan dalam satu hukum/hukum/nash;
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, Allah memberi fatwa kepadamu
tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jia
ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keudanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian
dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Kalalah adalah orang yang meninggal dunia yang
tidak mempunyai anak. Makna inilah yang diambil oleh Umar bin Khtattab, yang meyatakan :
Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak.
2) Mubayyan Munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai penjelasan yang tidak terdapat dalam
satu hukum/hukum/nash. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari dalil mujmal.

c. Macam-macam Mubayyan
1) Bayan Perkataan
Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada QS Al Baqarah (2) : 196 :











dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. jika kamu terkepung (terhalang oleh
musuh atau karena sakit), Maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu
mencukur kepalamu sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada di antaramu
yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfid-yah,
Yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. apabila kamu telah (merasa) aman, Maka bagi
siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia
menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau
tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu
telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. demikian itu (kewajiban membayar
fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang
yang bukan penduduk kota Mekah). dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
sangat keras siksaan-Nya.
Ayat tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai
kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang yang tidak menemukan
binatang sembelihan atau tidak mampu.
2) Bayan Perbuatan
Penjelasan dengan perbuatan (bayan fili) Contohnya Rasulullah melakukan perbuatan-perbuatan
yang menjelaskan cara-cara berwudhu : memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh,
Rasulullah mempraktekkan cara-cara haji, shalat dan sebagainya.
3) Bayan Isyarat
Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus Firman Allah dalam QS Al-Baqarah (2):43:
dan dirikanlah shalat Perintah mendirikan sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang
masih butuh penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya
Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan sholat hingga sempurna, lalu bersabda:
Shalatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat (HR Bukhary).
4) Bayan dengan Tulisan
Penjelasan dengan tulisan Penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah dengan
cara menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat) dan
dikirimkan kepada petugas zakat beliau.

78
5) Bayan dengan Isyarat
Penjelasan dengan isyarat Contohnya seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan,
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh
jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan
hari.
6) Bayan dengan meninggalkan perbuatan
Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan Contohnya seperti Qunut pada shalat. Qunut pernah
dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan kemudian
beliau meninggalkannya.
7) Bayan dengan taqrir/tidak melarang/diam
Penjelasan dengan diam (taqrir). Yaitu ketika Rasulullah melihat suatu kejadian, atau Rasulullah
mendengar suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak mengomentari atau
memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah tidak melarangnya. Kalau Rasulullah diam tidak
menjawab suatu pertanyaan, itu artinya Rasulullah masih menunggu turunnya wahyu untuk
menjawabnya.

D. Pengertian dan Penerapan Kaidah Muradhif dan Musytarak


1. Muradif
a. Pengertian Muradhif
Muradif ialah beberapa lafadz yang menunjukkan satu arti. Misalnya lafadznya banyak, sedang artinya
dalam peribahasa Indonesia satu, sering disebut dengan sinonim.


, : singa

, , , : pendidik (guru)

b. Kaidah Muradhif
Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh
syara.
Mempertukarkan dua muradif satu sama lain itu diperbolehkan jika dibenarkan oleh syara. Namun
kaidah ini tidak berlaku bagi Al Quran, karena ia tidak boleh diubah. Bagi mazhab malikiah, takbir
salat tidak boleh dilakukan kecuali dengan lafal Allah akbar. Imam syafiI membolehkan dengan lafal
Allahu Akbar. Sementara imam Abu Hanifah membolehkan lafal Allah Akbar diganti dengan lafal
Allah Al-Azim atau Allah Al-Ajal.
Ulama yang tidak membolehkan beralasan karena adanya halangan syari yaitu bersifat taabudi
(menerima apa adanya tidak boleh diubah). Sedang yang membolehkan, beralasan karena adanya
kesamaan makna dan tidak mengurangi maksud ibadah tersebut.
2. Musytarak
a. Pengertian Musytarak
Musytarak ialah satu lafadz yang menunjukkan dua makna atau lebih. Maksudnya satu lafadz
mengandung maknanya yang banyak atau berbeda-beda.
Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama ushul adalah antara lain:

Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan
yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut
Kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut
secara bersamaan, tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya. Seperti kata yang dalam

pemakaian bahasa arab dapat berarti masa suci dan bias pula masa haidh, lafadz bisa berarti mata,

sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas, kata musytarak antara tangan

kanan dan kiri, kekuasaan kata dapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun
masehi.
b. Kaidah Musytarak

Penggunaan musytarak menurut makna yang dikehendaki ataupun untuk beberapa maknanya itu

diperbolehkan.
Jadi, menetapkan salah satu makna dari suatu lafal musytarak tidak dibatasi. Beberapa makna
musytarak tersebut boleh dipergunakan. Contohnya, kata sujud. Kata ini bisa berarti meletakkan
kepala di tanah dan bisa pula berarti inqiyad (kepatuhan). Lihat misalnya, QS Al Hajj (22) : 26,



79
Dan ingatlah ketika kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), Janganlah
engkau mempersekutukan dengan apa pun dan sucikanlah rumahKu bagi orang-orang yang tawaf,
dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud.
Jumhur Ulama termasuk Imam Syafii, Qodi Abu Bakar dan Al Jubai berpendapat bahwa pemakaian
lafadz musytarak untuk dua atau beberapa makna hukumnya boleh, dengan alasan Firman Allah SWT.,
QS Al Hajj (22): 18



Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kepada Allah sujud apa yang ada di langit dan di bumi,
matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, binatang-binatang yang melata dan
sebagian besar manusia? (QS Al-Haj: 18)
Lafadz itu mempunyai dua arti yang sama-sama hakiki yaitu tunduk dan meletakkan dahi di
bumi. Bagi makhluk-makhluk yang tidak berakal seperti matahari, bulan, bintang, gunung, pohon dan
binatang melata, kata sujud berarti tunduk, tetapi bagi manusia yang berakal sujud berarti meletakkan
dahi di atas bumi. Apabila arti sujud ini hanya tunduk maka Allah SWT tidak mengakhiri firman-Nya
dengan . oleh karena itu, imam Syafii mengartikan kata mulamasah dalam firman Allah
SWT: dengan arti menyentuh dengan tangan dan menyentuh dengan bersetubuh secara
bersama-sama.
c. Sebab-sebab terjadinya Lafadz Musytarak
1) Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan
terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata , dalam satu kabilah, kata ini
digunakan menunjukkan arti hasta secara sempurna ( ) . Satu kabilah untuk menunjukkan
(). Sedangkan kabilah yang lain untuk menunjukkan khusus telapak tangan.

2) Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan ))antara makna hakiki dan majaz.

3) Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan )) antara makna hakiki dan makna


istilah urf. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam arti istilah, seperti
kata-kata yang digunakan dalam istilah syara. Seperti lafadz yang dalam arti bahasa
bermakna doa, kemudian dalam istilah syara digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu yang
telah kita maklumi.
d. Ketentuan Hukum Lafadz Musytarak
1) Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan
istilah syara, maka yang ditetapkan adalah arti istilahsyara, kecuali ada indikasi- indikasi yang
menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.
2) Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan
adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah
satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah
lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai hukum/nash. Sedangkan qarinah haliyah adalah
keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab pada saat turunnya hukum/nash tersebut.
3) Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz lafadz tersebut, menurut
golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu
artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafiiyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.
e. Contoh Lafadz Musytarak
Dalam Al-Quran banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman Allah dalam QS. Al
Baqarah (2): 222,





Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Lafadz dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti tempat keluarnya darah
haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama diartikan tempat keluarnya darah haidh.
Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap
menggauli istri-istrinya dalam waktu haidh. Sehinnga yang dimaksud lafadz diatas adalah
bukanlah waktu haidh akan tetapi larangan untuk istimta pada tempat keluarnya darah haidh (qubul).
Contoh lain sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al Baqarah (2): 228 sebagai berikut:

80


Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Lafadz quru dalam pemakain bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haidh.
Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetaui makna
yang dimaksudkan oleh syari dalam ayat tersebut.
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz qurutersebut diatas. Sebagian ulama yaitu
Imam Syafii mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya
indikasi tanda muannats pada adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaida bahasa arab
madudnya harus mudzakkar, yaitulafadz al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah
mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadz tsalatsah
adalah lafadz yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing quru dan
tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal ini hanya bisa terjadi jika quru diartikan haidh. Sebab jika
lafadz quru diartikan suci, maka hanya ada dua quru (tidak sampai tiga).
Dalam QS. Al Baqarah (2): 229,


Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik.
Dalam ayat tersebut di atas lafadz al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara yaitu melepaskan tali
ikatan hubungan suami istri yang sah, bukan diartikan secara bahasa yang berarti melepaskan tali
ikatan secara mutlaq. Seperti dalam hal lain.Dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat. Lafadz pada ayat tersebut dapat bisa mengandung arti dalam istilah bahasa yaitu doadan
bisa pula berarti dalam istilah syara yaitu ibadah yang mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu.
Berikut ini contoh lafadz yang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman Allah
dalam QS. Al Ahzab (33): 56,





Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.

Lafadz pada ayat tersebut bukan bermakna sholat dalam ibadah tertentu, akan tetapi
mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena dalam ayat tersebut dinisbatkan
kepada Allah dan para malaikat. Sedangkan sholat dalam istilah syarahanya diwajibkan kepada
manusia.

E. Pengertian dan Penerapan Kaidah Muthlaq Muqayyad


1. Muthlaq
Muthlaq adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam
QS. Al Mujadalah (58) : 3,


Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak .
Lafazh budak diatas tanpa dibatasi, meliputi segala jenis budak, baik yang mukmin maupun kafir.
2. Muqayyad
Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid). Contohnya
dalam QS. An Nisa (4): 92 :


Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah
(tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) ia
memerdekakan seorang budak yang beriman.
Lafazh budak diatas dibatasi dengan yang beriman
3. Macam-Macam Muthlaq dan Muqayyad serta hukumnya
a. Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya
(membatasinya). Jadi terdapat dalil yang memberi batasan (qayyid) maka dalil itu dapat mengalihkan
ke mutlaqannya dan menjelaskan pengertiannya. Contohnya, pada QS. An Nisa (4) : 11,







81



Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai
anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(Pembagian harta pusaka) tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar
hutangnya. Wasiat yang dimaksud dalamayat diatas bersifat muthlaq, tidak dibatasi jumlahnya,
minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi batasan oleh hukum/hukum/nash hadits yang
menegaskan bahwa, Tidak ada wasiat lebih dari sepertiga harta pusaka. Oleh sebab itu maka wasiat
dalam ayat diatas menjadi tidak muthlaq lagi dan mesti diartikan dengan wasiat yang kurang dari
batas sepertiga dari harta pusaka.
b. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh muthlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
Contohnya pada QS. Al Maidah (5): 3,

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.
Lafazh darah pada ayat diatas adalah muthlaq tanpa ada batasan (QS. Al Anam (6) : 145)



Katakanlah, Tidaklah aku peroleh dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku (tentang) suatu
(makanan) yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.
Lafazh darah pada ayat ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh yang mengalir. Karena
ada persamaan hukum dan sebab, maka lafazh darah yang tersebut pada QS Al Maidah (5): 3 yang
muthlaq wajib dibawa (diartikan) ke muqayyad, yaitu darah yang mengalir.
c. Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai
dengan ke mutlaqannya.
d. Kaidah Makna Kata yaitu makna lahir. Pada kalimat Singa menerkam rusa pada lehernya maka kata
singa itu bermakna hakikat yaitu binatang buas. Makna Majaz yaitu makna kiasan. Pada
kalimat Singa padang pasir menerkam musuhnya dengan pedangnya maka kata singa itu bermakna
kiasan untuk seseorang yang dikenal berani. Musytarak yaitu kata yang punya lebih dari satu makna
(ambigu). Adanya makna hakikat, majaz dan musytarak ini salah satu penyebab timbulnya perbedaan
penafsiran dari para imam mujtahid yang membawa pada perbedaan pendapat.
e. Amr (perintah) dan Nahi (larangan). Lafazh amr (perintah) dapat berdampak hukum: Menunjukkan
wajib, Menunjukkan sunah, Menunjukkan suruhan saja, Menunjukkan kebolehan. Sedangkan Larangan
(nahi), menurut Imam Syaukani dalam Irsyadul Fuhul : Larangan karena diri perbuatan, seperti
larangan zina, larangan wanita haid mengerjakan sholat, Larangan karena sesuatu bagian perbuatan,
seperti larangan menjual anak binatang yang masih dalam perut induknya, Larangan lantaran sesuatu
sifat yang tidak dapat lepas, seperti larangan puasa pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, karena
sudah menjadi sifat yang melekat pada hari raya untuk makan-minum, mengadakan jamuan, Larangan
karena sesuatu sifat yang tidak lazim, seperti jual-beli sesuatu sesudah azan sholat Jumat
dikumandangkan.
f. Pertentangan dan Kompromi Antar Dalil: Taarudl Yaitu pertentangan antar dalil, Kompromi, Tarjih
Yaitu bila ada dua dalil yang saling bertentangan maka ditentukan mana dalil yang lebih kuat (rajih)
dan mana yang lebih lemah (marjuh), Nasakh Apabila tidak dapat dikompromikan atau ditarjihkan,
bila diketahui mana yang datang terdahulu dan mana yang datang terkemudian, maka dalil yang
terkemudian menasakh yang terkemudian.

F. Pengertian dan Penerapan Kaidah Dzahir dan Tawil


1. Dzahir
Dzahir secara bahasa : Yang terang ( )dan yang jelas ().
Dalam pengertian Istilah adalah apa-apa yang menunjukkan atas makna yang rojih dengan lafadznya
sendiri dengan adanya kemungkinan makna lainnya.
Misalnya sabda Nabi, SAW.,

Berwudhulah kalian karena memakan daging unta!

82
Maka sesungguhnya yang dzohir dari yang dimaksud dengan wudhu adalah membasuh anggota badan
yang empat dengan sifat yang syari bukan wudhu yang berarti membersihkan diri.
2. Takwil
a. Pengertian
Secara etimologi berarti At-Tafsir, Al-Marja, Al-Mashir, sehingga dari sudut bahasa mengandung arti
Tafsir (penjelasan, uraian), atau Al-Marja, Al-Mashir (kembali, tempat kembali), atau Al-Jaza (balasan
yang kembali kepadanya)
Menurut Imam Ghazali takwil merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang
bersisfat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang
ditunjukkan oleh lafaz zhair tersebut.
b. Macam-macam Takwil
1) Tawil yang shahih yang ditunjukkan atas makna tersebut dengan dalil yang shohih,
seperti tawil terhadap firman Allah :

bertanyalah kepada desa.
Kepada makna bertanyalah kepada penduduk desa, karena desa tidak mungkin untuk diberi
pertanyaan kepadanya.
2) Tawil yang rusak: yang tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan makna tersebut,
seperti tawil orang-orang muaththilah (ahli tathil) terhadap firman Allah QS. Thoha (20) : 5

Ar-Rohman bersemayam di atas arsy
Kepada makna istawa (menguasai), dan yang benar bahwa maknanya adalah ketinggian dan
menetap, tanpa takyif dan tamtsil.
c. Syarat Takwil
1) Lafadz yang ditawil harus betul-betul memenuhi kriteria dan kajiannya.
2) Tawil itu harus berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan tawil.
Contoh: tawil dari hukum/nash yang di dalamnya terdapat pertentangan antara zahir hukum/nash
yang mengandung arti juzi dengan dasar umum syariat adalah hadits yang menyatakan bahwa
Rasulullah SAW., bersabda:

Sesungguhnya jenazah itu disiksa oleh tangisan keluarganya
Siti Aisyah menolak hadits tersebut karena menurutnya hal itu bertentangan dengan dasar umum
syariat yang ada dalam Al Quran yaitu firman Allah SWT:

Sebagian mujtahid menawilkan kemutlakan hadits tersebut kemudian mereka menaqyid dengan
jenazah ketika masa hidupnya.
Maka maksud ayat tersebut menjadi tidak bertentangan setelah ditaqyid. Pengompromian ini
dilakukan dengan mengamalkan dua hukum/nash secara bersamaan. Metode seperti itulah yang
dianggap terbaik daripada mencela salah satunya. Dengan contoh di atas dapat diketahui bahwa
tawil itu ada karena adanya pertentangan dalam hukum/nash yang artinya zahir.
a) Tawil berdasarkan dalil adalah maslahat, yang dimaksud maslahat disini bukan berarti bahwa
hikmah syariat itu harus hukum/hukum/nash tertentu, tetapi dalil yang mentaksis dalil umum
atau meng-istisna dari landasan umum baik secara khas ataupun amm, dengan cara seperti itu
dalil yang keluar dari landasan umum melalui taksis, menyalahi hukum yang umum atau
keadaan umum. Taksis merupakan salah satu bagian dari tawil bahkan yang paling banyak
dipakai. Contoh:

Para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh.
Imam Malik mentaksis keumumannya dengan perbuatan adat (urf amaliyah). Dia berpandangan
bahwa seorang ibu diharuskan menyusui anaknya karena kesempurnaan derajatnya. Maka bila
seorang ibu sakit sehingga tidak bisa menyusui anaknya, ia tidak diwajibkan menyusui anaknya
karena menjaga dari kemudharatan. Dan menjaga maslahat adalah maslahat.
b) Mentaksis keadaan umum dengan kemaslahatan, yang dimaksud keadaan umum adalah
kemerdekaan umum atau dasar kebolehan.
Kemerdekaan umum adalah kemerdekaan jual beli dan hak memiliki terhadap barang adalah
sesuatu yang sangat mendasar bagi manusia dengan mengutamakan persamaan karena hal itu
termasuk perbuatan yang dibolehkan.
Rasulullah melarang perdagangan yang diadakan untuk kaum badawi karena jual beli semacam
itu dikategorikan jual beli yang menggambarkan adanya penghinaan terhadap makanan yang
sangat penting terhadap manusia. Taksis seperti itu adalah berdasarkan kemaslahatan umum
begitu pula larangan jual beli yang mengandung riba, karena didalamnya terdapat pengikisan
keadilan dan terdapat unsur memakan harta manusia secara batil, yakni kaidah yang
menghilangkan keridhaan.

83
3) Lafadz yang mencakup arti yang dhasilkan melalui takwil menurut bahasa.
4) Penakwilan menurut bahasa dilakukan dengan cara tekstual, kontekstual atau majaz.
5) Takwil tidak boleh bertentangan dengan nasah yang qathi karena hukum/hukum/nash tersebut
bagian dari aturan syara yang umum.
Takwil adalah metode ijtihad yang bersifat zanni, sedangkan zanni tidak akan kuat melawan yang
qathi. Contohnya menakwillan kisah kisah yang ada dalam Al Quran dengan mengubah arti yang
zahir menjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan seperti itu bertentangan dengan kejelasan ayat
yang qathi yang menjadikan kisah tersebut sebagai kejadian sejarah yang nyata.
6) Arti dari penakwilan hukum/nash/hukum harus lebih kuat dari arti zahir yakni dikuatkan dengan
dalil. Contoh tentang petentangan antara juzi dan dasar umum. Hukum/nash yang berarti juzi
dikompromikan artinya dengan dasar umum yaitu dengan cara mentaqyid dan dasar umum itu
merupkan dalil yang lebih kuat. Telah dijelaskan beberapa mentaqyid hak kekuasaan atas harta
tanpa memadaratkan tetangga dengan mengamalkan dasar umum yakni sabda Nabi SAW:

Tidak madarat dan tidak memadaratkan
Hal itu termasuk kamaslahatan individu, sedang penakwilnnya berdasarkan kemaslahatan umum
yang dijadikan dalil adalah lebih kuat dari pada zahir lafadz. Begitu pula bertentangan antara zahir
dengan hukum/nash/ hukum tidak diragukan lagi bahwa hukum/nash itu menaksis yang zahir
karena hukum/nash lebih kuat dan lebih jelas. Selain itu ucapan juga membutuhkan arti asli
maksud harus diutamakan.
Juga tentang penakwilan yang berdasarkan hikmah pembinaan syariat. Hal itu merupakan roh
hukum/nash yang menguatkan dan merupakan tujuan pokok. Tidak diragukan lagi bahwa maksud
disyariatkannya sesuatu itu lebih kuat daripada zahir lafadznya.

G. Pengertian dan Penerapan Kaidah Manthuq dan Mafhum


1. Manthuq
a. Pengertian Manthuq
Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan pengertian
ke makna yang lain.
b. Pembagian Manthuq
1) Hukum/ nash
Hukum/nash ialah lafadz yang bentuknya sendiri telah jelas maknanya.
Contohnya pada QS. Al Baqarah (2) : 196,


Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang
kembali, itulah sepuluh (hari) yang sempurna.
Penyifatan sepuluh dengan sempurna telah mematahkan kemungkinan Sepuluh ini diartikan
lain secara majaz (kiasan). Inilah yang dimaksud dengan hukum/nash.
2) Zahir
Zahir ialah lafadz yang yang maknanya segera dipahami ketika diucapkan tetapi masih ada
kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh).
Contohnya dalam QS. Al Baqarah (2) : 222,

Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci .
Berhenti dari haid dinamakan suci (tuhr), berwudhu dan mandi pun disebut tuhr. Namun
penunjukan kata tuhr kepada makna kedua (mandi) lebih tepat, jelas (zahir) sehingga itulah
makna yang rajih (kuat), sedangkan penunjukan kepada makna yang pertama (berhenti haid)
adalah marjuh (lemah).
3) Muawwal
Muawwal adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang
menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Muawwal berbeda dengan zahir; zahir
diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang
marjuh, sedangkan muawwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang
memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna ini ditunjukkan oleh
lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat.
4) Dalalah Istida'
Dalalah istida adalah kebenaran petunjuk lafadz kepada makna yang tepat tapi terkadang
bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada QS. An Nisa (4): 23,

diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu
Ayat ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata bersenggama,
sehingga maknanya yang tepat adalah diharamkan atas kamu (bersenggama) dengan ibu-ibumu.
5) Dalalah Isyaroh
Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk lafadz kepada makna yang tepat berdasarkan isyarat
lafadz. Contohnya pada QS Al Baqarah (2): 187,

84







Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka
adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya
kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar
Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang di waktu pagi hari masih dalam keadaan
junub, sebab ayat ini membolehkan bercampur sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada
kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian memaksa kita berpagi dalam keadaan junub.
2. Mafhum
a. Pengertian Mafhum
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazah tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang
tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.
b. Pembagian Mafhum
1) Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan) yaitu makna yang hukumnya sepadan dengan
manthuq
a) Fahwal Khitab
Fahwal khitab yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih memungkinkan diambil hukumnya
daripada mantuq. Misalnya pada QS. Al Isra (17): 23,

Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ah .
Ayat ini mengharamkan perkataan ah yang tentunya akan menyakiti hati kedua orang tua,
maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti
mencaci-maki, memukul lebih diharamkan lagi, walaupun tidak disebutkan dalam teks ayat
b) Lahnul Khitab
Lahnul Khitab yaitu bila mafhum dan hukum mantuq sama nilainya. Misalnya pada QS. An Nisa
(4): 10,


Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim maka dengan pemahaman perbandingan sepadan
(mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti: membakar, menyia-nyiakan, merusak,
menterlantarkan harta anak yatim juga diharamkan.
2) Mafhum mukhalafah (perbandingan terbalik) yaitu makna yang hukumnya kebalikan dari
manthuq
a) Mafhum sifat
Mafhum sifat adalah sifat manawi. Contohnya pada QS. Al Hujurat (49): 6,


Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita
maka periksalah dengan teliti
Ayat ini memerintahkanmemeriksa dengan meneliti berita yang dibawa oleh orang fasik. Maka
dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) bahwa berita yang dibawa
oleh orang yang tidak fasik tidak perlu diperiksa dan diteliti.
b) Mafhum syarat
Mafhum syarat yaitu memperhatikan syaratnya. Contohnya seperti pada QS. At Talaq (65) 6 :

Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkah.
Dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) maka jika di talak dalam
keadaan tidak hamil tidak perlu diberi nafkah.
c) Mafhum ghayah
Mafhum ghayah.Contohnya dalam QS. Al Baqarah (2): 230,

Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal
lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain
Dengan pemahaman terbalik bila mantan istri sudah ditalak tiga kali kemudian menikah lagi
dengan lelaki lain dan kemudian bercerai maka menjadi halal dinikahi lagi.
d) Mafhum hasr (pembatas, hanya)
85
Mafhum hasr (pembatasan).Misalnya pada QS Al Fatihah 5 :

Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon
pertolongan
Dengan pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah kepada selain Allah dan tidak boleh
memohon pertolongan kepada selain Allah.

H. Pengertian dan Penerapan Kaidah Nasakh dan Mansukh


1. Nasakh
a. Pengertian Nasakh
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk beberapa
pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu Hasyim,
pengertian majazinya ialah pemindahan atau pengalihan. Diantara pengertian etimologi itu ada yang
dibakukan menjadi pengertian terminologis.
Nasakh di dalam persepsi kajian Ilmu Fiqh adalah mengganti hukum-hukum yang sudah ada dengan
hukum baru yang datang setelah itu. Karena itu, untuk mengetahui nasakh dan mansukh ini, maka
harus diketahui mana ayat-ayat yang dianulir dan mana ayat-ayat yang ditetapkan untuk menggantikan
posisi ayat yang pertama.
Para ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut ini:
1) Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara yang mengandung hukum dari Allah dan
RasulNya, yang disebut nasikh (yang menghapus). Maka habisnya masa berlaku hukum yang
disebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan nasakh.
2) Yang batalnya adalah syara yang disebut mansukh (yang dihapus).
3) Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian, istitsna (pengecualian)
tidak disebut nasakh.
b. Rukun Nasakh
1) Adat nasakh, yaitu pernyataan menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2) Nasikh, adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya nasikh
itu berasal dari Allah.
3) Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4) Mansukh anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.
c. Syarat Nasakh
1) Yang dibatalkan adalah hukum syara
2) Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara
3) Pembatalan hukum tiak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti
perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan
puasa tersebut.
4) Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.
d. Macam Nasakh
1) Nasakh yang tidak ada gantinya; seperti nasakh terhadap keharusan memberikan sedekah kepada
orang miskin bagi mereka yang akan berbicara dengan Nabi.
2) Nasakh yang ada gantinya, namun penggantinya tersebut adakalanya lebih ringan dan adakalanya
lebih berat; seperti pembatalan shalat sebanyak 50 kali, diganti dengan lma kali saja.
3) Nasakh bacaan (teks) dari suatu ayat, namun hukumnya tetap berlaku, seperti hukum rajam bagi
laki-laki dan perampuan tua yang telah menikah.
4) Nasakh hukum ayat, namun teksnya masih ada, seperti nasakh terhadap keharusan memberikan
sedekah bagi orang miskin bagi mereka yang berbicara kepada Nabi.
5) Nasakh hukum dan bacaan sekaligus, seperti haramnya menikahi saudara sesusu itu dengan batasn
10 kali. (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah). Hukum dan bacaan teks tersebut telah dihapus.
6) Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama. Menurut ulam Hanafiyah hukum
penambahan tersebut bersifat nasakh.
e. Pembagian Nasakh
1) Nasakh Sharih, yaitu yang ditegaskan berakhirnya hukum yang dinasakh, seperti hadis tentang
ziarah kubur.
2) Dalam undang-undang modern banyak juga terjadi, misalnya suatu undang-undang ditegaskan
berlakunya untuk mengakhiri berlakunya undang-undang terdahulu yang sama materinya.
3) Nasakh Zimmi, ialah nasakh antara dua hukum/nash yang berlawanan dan tak mungkin
disesuaikan proporsinya masing-masing, misalnya suatu hukum/nash positif dan yang lain
negative, sedang sejarah turunnya diketahui, seperti ayat wasiat pada ahli waris dinasakh oleh ayat
mewaris.
a) Nasakh terhadap suatu hukum yang dicakup oleh hukum/nash terdahulu.
b) Nasakh juzi, yaitu mengeluarkan dari keumuman hukum/nash terdahulu, apa yang dicakup
oleh hukum/nash kedua. Contohnya ayat had qadzab dengan ayat lian karena dalam ayat
qadzab dijelaskan hukum qadzab suami terhadap istrinya sendiri yang termasuk dalam umum
ayat qadzab.
f. Cara Mengetahui
1) Hukum/nash yang secara lahirnya menunjukkan yang satu menjadi nasikh terhadap yang lain.
Firman Allah dalam QS. Al Baqarah (2): 187,

86



Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan
Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar.
Ayat tersebut berarti menasakh hukum sebelumnya tentang tidak bolehnya bersetubuh, makan dan
minum di malam hari.
2) Ijma ulama yang menetapkan bahwa suatu dalil yang menetapkan hukum menasakh dalil lain yang
menetapkan hukum yang berbeda denan itu. Hal itu mendorong arti bahwa nasikhnya hukum ijma
tetapi adalah hukum/nash juga, sedangkan ijma hanya memberi petunjuk mengenai hukum/nash
mana yang nasikh dan mana yang mansukh.
Tarikh, yaitu keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua hukum/nash yang berbeda. Bila
yang datang terkemudian itu disebut nasikh dan yang terdahulu itu disebut mansukh.
g. Kategori Nasakh
1) Nasakh di mana ayatnya diubah dan hukumnya juga diubah. Maksudnya, secara tekstual ayat
tersebut diganti, dan hukumnya juga diganti.
Contoh untuk kategori pertama (nasakh dalam sisi tekstual/ayatnya, sedangkan hukumnya masih
berlaku), yaitu:
Menurut suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa ada satu ayat di
Surah Al-Ahzab yang menyatakan, jika ada orang berzina, sedangkan orang tersebut sudah atau
pernah menikah, maka orang tersebut harus dirajam.
Ayat ini kemudian diangkat oleh Allah dan dihapus keberadaannya, sehingga tekstualnya menjadi
tidak ada tapi hukumnya masih tetap berlaku. Mengapa bisa demikian? Karena diganti oleh ayat
lain pada Surat An-Nuur ayat 2, yaitu:
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (Q.S.
An-Nuur: 2)
Maksud ayat ini (An-Nuur: 2) adalah, bahwa jika ada yang berzina, maka hukumannya adalah
dicambuk sebanyak 100 kali. Ini di antara hukum-hukum yang realitas terjadi, sehingga terlalu sulit
untuk mengingkari adanya nasakh dan mansukh di dalam ayat tersebut. Ayatnya sudah tidak ada,
tetapi hukumnya masih tetap diberlakukan oleh Rasulullah, bahkan hingga akhir zaman nanti.
2) Ayatnya diganti, tetapi hukumnya masih tetap berlaku.
Untuk kategori kedua, yaitu yang lafaz dan hukumnya dua-duanya dicabut. Contohnya adalah
sebagai berikut:
Sayyidatuna Aisyah menyatakan, bahwa Rasulullah pernah mendiktekan ayat Al-Quran kepada
mereka ketika itu, bahwa orang yang menyusui dan disusui mempunyai hubungan nasab
sebagaimana ibu dan anak kandung minimal sepuluh kali. Tetapi ternyata ayat ini dicabut oleh
Allah, termasuk juga hukumnya. Sebagai gantinya, sekali saja menyusui sepanjang itu sudah
mengenyangkan, maka sudah dianggap memiliki hubungan nasab. Yang jelas hukum yang sepuluh
kali itu dicabut.
3) Ayatnya masih ada di dalam Al-Quran, tetapi hukumnya kemudian dinyatakan sudah kadaluwarsa.
Jenis ketiga ini yang paling banyak di dalam Al-Quran.
h. Hikmah adanya Nasikh dan Mansukh
1) Mengukuhkan keberadaan Allah, bahwa Allah takkan pernah terikat dengan ketentuan-ketentuan
yang sesuai dengan logika manusia. Sehingga jalan pikiran manusia takkan pernah bisa mengikat
Allah SWT. Allah mampu melakukan apa saja, sekalipun menurut manusia hal tersebut tidak logis.
Tetapi Allah menunjukkan, bahwa kehendak-Nya lah yang akan terjadi, bukan kehendak kita.
Sehingga diharapkan dari keberadaan nasakh dan mansukh ini mampu meningkatkan keimanan kita
kepada Allah SWT, bahwa Dia-lah yang Maha Menentukan.
2) Dengan nasakh dan mansukh ini diharapkan pula kita akan mempunyai prediksi dan pengertian
bahwa Allah itu memang adalah zat yang Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, bahkan
arhamurrahimin, yaitu lebih kasih daripada yang berhati kasih dan lebih sayang daripada siapa
saja yang berhati sayang. Mengapa? Karena memang pada kenyataannya hukum-hukum nasakh dan
mansukh tersebut semuanya demi untuk kemaslahatan dan kebaikan kita.

87
SKL FIKIH 13

KETENTUAN ISLAM TENTANG JIHAD

TADARUS
QS. Al Maidah: 35



Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya,
dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.

A. Konsep Jihad dalam Islam


1. Pengertian Jihad
Kata jihad dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar dari kata jahada yujahidu jihadan wa
mujahadatan yang berarti kekuatan dan upaya jerih payah. Dari pengertian tersebut jihad berarti
mengerahkan segala kekuatan dan kemampuan untuk membela diri dan mengalahkan musuh. Jihad juga dapat
berarti mencurahkan segenap upaya dan kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang berhubungan
dengan kesulitan dan penderitaan. Sehingga jahada berarti mencurahkan segala kemampuan dalam membela
dan memperoleh kemenangan.
Jika dikaitkan dengan musuh(jahada al aduww) berarti membunuh musuh, mencurahkan segenap
tenaga untuk memeranginya, dan mengeluarkan segenap kesungguhan dalam membela diri darinya.
Pelaku jihad disebut mujahid. Dari akar kata yang sama lahir kata ijtihad yang berarti upaya sungguh-
sungguh dengan mengerahkan segala kemampuan untuk mengambil kesimpulan atau keputusan sebuah
hukum dari teks-teks keagamaan.
Dengan demikian jihad berarti sebuah upaya sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seorang
Muslim dalam melawan kejahatan dan kebatilan, mulai dari yang terdapat dalam jiwa akibat bisikan dan
godaan syetan, sampai pada upaya memberantas kejahatan dan kemungkaran dalam masyarakat. Upaya
tersebut dapat dilakukan antara lain melalui kerja hati berupa kebulatan tekad dan niat untuk
berdakwah, kerja lisan berupa argumentasi dan penjelasan tentang hakikat kebenaran ajaran Islam, kerja
akal berupa perencanaan yang matang, dan kerja badan yang berupa perang atau lainnya. Oleh sebab itu
jihad tidak selalu diidentikkan dengan perang secara fisik.
Dari aspek terminologi, definisi jihad berkisar kepada tiga aspek:
a. Jihad yang dipahami secara umum, adalah segala kemampuan yang dicurahkan oleh manusia dalam
mencegah/membela diri dari keburukan dan menegakkan kebenaran. Termasuk dalam kategori ini
adalah menegakkan kebenaran, membenahi masyarakat, bersunggung-sungguh serta ikhlas dalam
beramal, gigih belajar untuk melenyapkan kebodohan, bersungguh-sungguh dalam beribadah seperti
haji.
b. Jihad dipahami secara khusus sebagai mencurahkan segenap upaya dalam menyebarkan dan membela
dakwah Islam.
c. Jihad yang dibatasi pada qitl (perang) untuk membela agama untuk menegakkan agama Allah dan
membatasi kegiatan dakwah.
2. Dasar-dasar Jihad dalam Al Quran
a. QS Al Hajj: 78







Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu
dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama
orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan
(begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua
menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan
berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan
sebaik- baik penolong.
b. QS Al Ankabut: 8


88
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
Maka janganlah kamu mengikuti keduanya. hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu aku kabarkan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
3. Dasar-dasar Jihad dalam Hadits





)


(
Dari Ibn Umar, Rasulullah SAW bersabda, Saya diutus dengan pedang, hingga Allah disembah tiada
serikat bagi-Nya, dan rezkiku dijadikan di bawah naungan tombak, kehinaan bagi siapa yang menyalahi
perintahku, dan siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kepada kaum tersebut. (HR.
Ahmad)











( )
Dari Abu Hurairah bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, seorang
ingin berjihad di jalan Allah, mencari kesenangan dunia." Rasulullah berkata, "Ia tidak dapat pahala, para
sahabat membesar-besarkan peristiwa tersebut dan berkata kepada pemuda tadi, kembalilah bertanya
kepada Rasulullah SAW., mungkin Anda salah paham. Ia berkata, Wahai Rasulullah, seorang ingin
berjihad di jalan Allah mencari kesenangan/keuntungan dunia. Rasulullah menjawab, Ia tidak dapat
pahala, para sahabat berkata lagi, Kembalilah (bertanya) kepada Rasulullah SAW! Rasulullah menjawab
pada kali yang ketiga, Ia tidak dapat pahala.


)

(
Dari Jbir ibn Abd Allh Ra., ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda, Perang itu adalah siasat. (HR.
Bukha riy, Muslim, dan lain-lain)
4. Makna Jihad
Jihad seperti yang terlintas dalam pemahaman masyarakat dewasa ini cenderung mengartikannya
sebagai perang fisik/bersenjata. Setiap mukmin diperintahkan untuk berjihad dengan sebenar-benar jihad
(haqqa jihdih/ QS Alhajj: 78). Memang ada saat-saat setiap Muslim wajib berperang yaitu di saat musuh
menyerang (QS Al Anfal: 15, 16, 45). Beberapa alasan bahwa jihad tidak selalu identik dengan perang
melawan musuh, diantaranya :
a. Perbedaan makna kosa kata yang di pakai Al Quran.
Terdapat kekeliruan dalam pemaknaan kata qitl yang diserupakan dengan kata jihd. Kekeliruan
dalam membedakan keduanya dipengaruhi kesalahan mengidentifikasi semua isyarat jihad dalam
ayat-ayat madaniyah yang diatributkan sebagai jihad bersenjata. Padahal, antara jihad
dan qitl memiliki makna dan penggunaan yang berbeda dalam Al Quran.
Kata qitl berasal dari qatala-yaqtulu-qatl, yang berarti membunuh atau menjadikan seseorang mati
disebabkan pukulan, batu, racun, atau penyakit. Kata qitl hanyalah salah satu aspek dari jihad
bersenjata. Jihad bersenjata adalah konsep luas yang mencakup seluruh usaha seperti persiapan dan
pelaksanaan perang, termasuk pembiayaan perang. Dengan begitu, jihad bersenjata hanyalah salah
satu bentuk dari jihad yang juga melibatkan jihad damai. Atas dasar itu, konteks jihad dalam Al Quran
tidak dapat disamakan dengan qitl.




Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh
Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS Al
Baqarah: 216)
Semasa Nabi Muhammad SAW hidup, peperangan terjadi sebanyak 17 kali. Ada juga yang menyebutnya
19 kali dan 8 peperangan yang diikuti Nabi SAW.Tetapi perang yang dilakukan Nabi SAW adalah untuk
perdamaian. Sebagai contoh, sebuah riwayat menyebutkan bahwa ketika penduduk Yatsrib

89
berkeinginan menghabisi penduduk Mina, Nabi SAW malah menghalanginya, sebagaimana tersebut
dalam hadits berikut:






Demi Allah yang telah mengutusmu atas dasar kebenaran, sekarang engkau mengizinkan niscaya
penduduk Mina itu akan kami habisi besok dengan pedang kami. Rasulullah SAW berkata, Saya
tidak memerintahkan untuk itu. (HR. Ahmad dari Kaab ibn Ma lik).
b. Kata jihad telah digunakan dalam ayat-ayat yang turun sebelum Nabi berhijrah (makkiyyah), padahal
para ulama sepakat menyatakan kewajiban berperang baru turun pada tahun ke 2 hijriyah, yaitu
dengan turunnya firman Allah :







Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah
dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu 40. (yaitu)
orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali
karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah". dan Sekiranya Allah tiada menolak
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara
Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya
banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-
Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa.
Di antara ayat-ayat Makkiyyah yang berbicara tentang jihad yaitu :
1) QS An Nahl: 11 yang berbicara tentang mereka yang berhijrah setelah mengalami berbagai cobaan
dan penderitaan, yaitu para sahabat yang terpaksa berhijrah ke Habsyah saat Nabi dan para
sahabatnya masih berada di Makkah. Surah An Nahl disepakati oleh para ulama sebagai surah
makkiyah yang turun sebelum Nabi berhijrah. Pada ayat tersebut mereka digambarkan sebagai
orang-orang yang jhad wa shabar. Kata jhad di sini tidak berarti perang, tetapi berupaya-
upaya sungguh-sungguh dalam menyampaikan dakwah dan menanggung beban penderitaan
sebagai akibat darinya.
2) Pada pembukaan QS Al Ankabut yang juga disepakati para ulama sebagai surah makkiyyah, Allah
menjelaskan keniscayaan cobaan (fitnah) bagi setiap mukmin, seperti halnya yang dialami oleh
Nabi dan para sahabatnya (ayat 2-3). Lalu pada ayat yang ke 6 dijelaskan,


Dan Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

Kata jihad yang dimaksud pada ayat tersebut bukanlah berperang melawan musuh, tetapi jihad
menanggung beban penderitaan dengan bersabar yakni jihad melawan hawa nafsu dan syetan.
Surah Al Ankabut ini juga ditutup dengan ayat yang mengandung kata jihad. Allah berfirman :


Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-
orang yang berbuat baik.
3) Pada QS Alfurqan: 52 yang juga turun sebelum Nabi berhijrah (makkiyyah) Allah berfirman :

Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al
Quran dengan Jihad yang besar.
Nabi diminta untuk tidak tunduk pada orang-orang kafir, dan sebaliknya beliau diperintahkan
untuk berjihad dalam menghadapi mereka, bukan dengan memerangi secara fisik, tetapi dengan
menyampaikan Al Quran dengan penjelasan yang kuat dan argumentatif. Dhamr ha pada
kata wajhidhum bih dipahami oleh para ahli tafsir sebagai pengganti atau menunjuk kepada Al
Quran.
Bukti lain dari Al Quran yang menunjukkan bahwa jihad tidak identik dengan perang adalah
firman-Nya dalam QS At Taubah ayat 73:


90
Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap
keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah Jahannam. dan itu adalah tempat kembali yang
seburuk-buruknya.
Ayat di atas menyebutkan sasaran atau obyek jihad adalah orang-orang kafir dan munafik. Seperti
diketahui, orang-orang munafik tidak diperangi seperti halnya orang-orang kafir, sebab secara nyata
mereka adalah Islam walaupun secara batin mereka inkar. Secara nyata mereka melaksanakan
shalat, membayar zakat, bahkan ikut berperang walaupun dengan bermalas-malasan (QS An Nisa :
142 dan QS At Taubah:54).
Nabi hanya diminta untuk menghukumi keislaman seseorang berdasarkan bukti-bukti
lahiriah, sedangkan perkara batin sepenuhnya menjadi wewenang Allah. Dengan begitu, jiwa
mereka terlindungi, dan tidak boleh dibunuh atau diperangi. Maka jihad menghadapi orang-orang
munafik yang diperintahkan oleh ayat di atas dipahami tidak dengan memerangi mereka, tetapi
mengajak/ berdakwah kepada mereka dengan argumentasi yang kuat dan berupaya menghilangkan
keraguan dari diri mereka serta menanamkan keyakinan yang teguh dalam hati mereka.
Dalam konteks kekinian, jihad melalui lisan dan penjelasan petunjuk agama dapat dilakukan
dengan pendekatan verbal (bayn syafahiy), seperti khutbah dan pengajian, pendekatan melalui
tulisan (bayn tahrriy) seperti buku, majalah, bulletin dan lain sebagainya, pendekatan media
(bayn Ilmiy) seperti televisi, radio dan media online, dan pendekatan dialog (hiwr), seperti
dialog antar agama atau dialog peradaban.
Jadi selain jihad militer (bersenjata/ jihd askariy)) ada bentuk-bentuk lain dari jihad dalam
Islam, yaitu jihad spiritual (jihd rhiy) yang obyeknya adalah jiwa manusia yang selalu cenderung
mengikuti hawa nafsu dan jihad dalam bentuk dakwah (jihd da`wiy) dengan menyampaikan
risalah Al Quran secara baik dan benar. Dalam kaitan jihad dakwah ini diperlukan kesabaran dalam
menghadapi berbagai cobaan dan rintangan.
Obyek dakwah sangat luas, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, bidang sosial, ekonomi,
pendidikan, kesehatan/ kedokteran, lingkungan dan aspek-aspek peradaban lainnya. Kewajiban
berjihad disini antara lain berupa upaya mencerdaskan masyarakat melalui pendidikan dan
membangun sekolah yang berkualitas, mengentaskan kemiskinan dan menakan angka
pengangguran, melatih tenaga kerja agar terampil, menangani anak-anak jalanan yang terlantar, dan
menyediakan fasilitas pengobatan yang dapat dinikmati masyarakat luas.
Demikian cakupan makna jihad yang amat luas, yaitu bukan hanya sekadar jihad bersenjata.
Meskipun dalam beberapa literature klasik jihad didefinisikan sebagai perang di jalan Allah tetapi
dalam implementasi dan penerapannya terdapat beberapa prasyarat dan ketentuan yang harus
dipenuhi, di samping perbedaan pendapat di kalangan ulama seputar kewajibannya.

5. Macam-Macam Jihad
Pakar bahasa Al Quran, Raghib Ashfahani, menyebutkan tiga bentuk jihad, yaitu : jihad melawan
musuh yang nyata, jihad melawan setan, dan jihad melawan hawa nafsu.Menurut Ibnu Qayyim Al Jauziyah
ada 4 tingkatan yakni, jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan syetan, jihad melawan orang-orang kafir
dan jihad melawan orang-orang munafik.
Berikut pembahasan tentang macam-macam jihad diantaranya :
a. Jihad melawan hawa nafsu
Jihad melawan hawa nafsu penting dilakukan, sebab jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada
keburukan (QS Yusuf: 53) yang dapat merusak kebahagiaan seseorang, dan itu tidak mudah dilakukan,
sebab hawa nafsu ibarat musuh dalam selimut, seperti dikatakan Imam Ghazali, hawa nafsu adalah
musuh yang dicintai, sebab ia selalu mendorong kepada kesenangan yang berakibat melalaikan.


Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh
kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS Yusuf: 53)
Jihad melawan hawa nafsu dapat dilakukan dengan :
1) Mempelajari petunjuk-petunjuk agama yang dapat mengantarkan jiwa kepada keberuntungan dan
kebahagiaan
2) Mengamalkan apa yang ia telah ketahui
3) Mengajak orang lain untuk mengikuti petunjuk agama. Dengan berilmu, beramal dan mengajarkan
ilmunya kepada orang lain seseorang dapat mencapai tingkatan yang disebut dengan rabbaniyy.
4) Bersabar dan menahan diri dari berbagai cobaan dalam menjalankan dakwah
b. Berjihad melawan syetan
Jihad melawan syetan, berupa upaya menolak segala bentuk keraguan yang menerpa keimanan
seseorang dan menolak segala bentuk keinginan dan dorongan hawa nafsu. Keduanya dapat dilakukan
dengan berbekal pada keyakinan yang teguh dan kesabaran. Allah berfirman QS.As Sajadah ayat 24:


Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah
Kami ketika mereka sabar. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.

91
Ayat di atas menegaskan bahwa kemuliaan dalam beragama dapat diperoleh dengan dua hal yakni
kesabaran dan keyakinan. Dengan kesabaran seseorang dapat menolak segala bentuk keinginan dan
dorongan hawa nafsu, dan dengan keyakinan seseorang dapat menolak segala bentuk keraguan.
c. Jihad melawan orang-orang kafir dan orang munafik
Jihad melawan orang-orang kafir dan munafik adalah dengan upaya melalui pendekatan hati, lisan,
harta dan jiwa. Selain itu ada bentuk lain dari jihad yaitu melawan kezaliman dan kemaksiatan, juga
dengan pendekatan hati, lisan, harta dan jiwa .



Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap
mereka. tempat mereka adalah Jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.
6. Masalah Jihad Bersenjata
Secara umum jihad bersenjata memiliki dua bentuk:
a. Perang yang bersifat difensif (jihad daf`i), yaitu saat musuh menyerang dan menduduki wilayah Islam,
atau saat mereka merebut jiwa, harta dan kehormatan umat Islam walau tanpa menduduki wilayahnya.
b. Perang yang bersifat opensif (jihd thalab), yaitu saat musuh berada di wilayahnya umat Islam
menyerangnya untuk memperluas wilayah kekuasaan yang akan membuka dan melapangkan jalan
dakwah.
Para ulama berbeda pendapat seputar hukum jihad bersenjata ini. Sebagian ulama seperti Ibnu
Syubrumah dan Ast Tsauri berpendapat jihad dengan pengertian perang yang bersifat opensif hukumnya
sunah, tidak wajib. Ungkapan kutiba `alaykumul qitl (QS. Al Baqarah: 216) dipahami tidak dengan
pengertian wajib, tetapi sunah, sama dengan perintah berwasiat sebelum meninggal yang dipahami
sebagai sunnah padahal juga diawali dengan ungkapan kutiba `alaykum (QS. Al Baqarah: 180). Jumhur
ulama berpendapat hukumnya fardhu kifayah, dengan pengertian apabila telah dilakukan oleh
sekelompok orang maka kewajiban yang lainnya menjadi gugur, dan bila tidak ada seorang pun yang
melakukan maka seluruh umat Islam berdosa. Dalam keadaan tertentu seperti telah dijelaskan di atas
kewajiban jihad bersifat individual (fardhu `ain). Dalam menjelaskan kewajiban yang bersifat kifayah para
ulama memberi batasan, antara lain kewajiban berperang tersebut diputuskan oleh pemimpin tertinggi
dengan pertimbangan kekuatan yang dimiliki umat Islam dapat menandingi kekuatan musuh, bila tidak
seimbang maka tidak diwajibkan maju ke medan perang.
Para ulama menyebutkan bahwa jihad bersenjata menjadi fardhu ain pada tiga kondisi:
a. Apabila pasukan muslim dan kafir bertemu dan sudah saling berhadapan di medan perang, maka tidak
boleh seseorang mundur atau berbalik.
b. Apabila musuh menyerang negeri muslim yang aman dan mengepungnya, maka wajib bagi penduduk
negeri untuk keluar memerangi musuh (dalam rangka mempertahankan tanah air), kecuali wanita dan
anak-anak.
c. Apabila Imam meminta satu kaum atau menentukan beberapa orang untuk berangkat perang, maka
wajib berangkat. Dalilnya adalah surat At Taubah ayat 38-39:







38. Hai orang-orang yang beriman, Apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk
berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas
dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini
(dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit. 39. jika kamu tidak berangkat untuk
berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum
yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.
Dari fakta-fakta historis dan redaksi Al Quran serta hadis yang menjelaskan jihad secara fisik,
Muhammad Abduh menjelaskan etika perang dalam Islam di antaranya:
a. Perintah qitl berkaitan dengan penolakan terhadap intimidasi kaum kafir yang melampaui batas.
Hal ini dilakukan untuk mencegah kerusakan atau kebrutalan serta mengokohkan kemaslahatan
kaum muslim. Kaidah ini dipahami dari pemahaman ayat yang menyatakan agar tidak melampau
batas ketika berperang di jalan Allah SWT. (Al Baqarah: 190).
b. Hendaknya tujuan utama adalah membela diri (defensive) akan teror yang dilancarkan kepada kaum
muslimin dan menciptakan suasana aman dalam menjalankan syariat agama.

B. Perlakuan Islam terhadap Ahlul Dzimmah


1. Pengertian Ahlul Dzimmah
Kata dzimmah berarti perjanjian, atau jaminan dan keamanan. Disebut demikian karena mereka
mempunyai jaminan perjanjian (ahd) dengan Allah dan Rasul-Nya, serta jamaah kaum muslim untuk

92
hidup dengan rasa aman di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam. Kelompok
kafir dzimmi berada dalam jaminan keamanan kaum muslim berdasarkan akad dzimmah. Ahlul Dzimmah
kadang disebut juga kafir dzimmi atau sering disingkat dzimmi saja.
Kelompok Ahlul Dzimmi termasuk ke dalam warga negara Darul Islam. Akad dzimmah mengandung
ketentuan untuk membiarkan orang-orang non muslim tetap berada dalam keyakinan/agama mereka,
disamping menikmati hak untuk memperoleh jaminan keamanan dan perhatian kaum muslim. Syaratnya
adalah mereka membayar jizyah/ pajak serta tetap berpegang teguh terhadap hukum-hukum Islam di
dalam persoalan-persoalan publik.
Dengan demikian Ahlul Dzimmi adalah warga negara daulah khilafah islamiyah yang tetap dalam
keyakinan mereka. Bagi Ahlul Dzimmi yang mau menunjukkan ketundukan dan mau diatur dalam sistem
masyarakat islam, akan dilindungi hak dan darahnya. Sebagaimana warga negara yang lain, ahl dzimmi
juga mendapatkan pelayanan yang serupa dan sama baiknya. Tidak ada pembedaan antara muslim
ataupun tidak dalam hal pelayanan kesehatan, pendidikan, ataupun yang lain.
2. Dasar Perlakuan Ahlul Dzimmah




29. perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian,
dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Alkitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.(QS At Taubah:
29)
3. Syarat-sayarat dinamakan Ahl al Dzimmah
Menurut Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah,yang tergolong ahl dzimmiyaitu Yahudi,
Nasrani dan Majusi
Unsur-unsur seseorang dikatakan Ahlul Dzimmi yaitu:
a. Non-muslim
b. Baligh
c. Berakal
d. Laki-laki
e. Bukan budak
f. Tinggal di dar al-Islam
g. mampu membayar jizyah
4. Perlakuan Hukum Islam Terhadap Ahlul Dzimmah
Hukum islam bersifat universal, para Ahlul Dzimmi mendapatkan hak sebagaimana rakyat lainnya
yang Muslim. Mereka mendapatkan hak untuk dilindungi, dijamin penghidupannya, dan diperlakukan
secara baik dalam segala bentuk muamalah. Kedudukan mereka sama di hadapan penguasa dan hakim.
Tidak boleh ada diskriminasi apa pun yang membedakan mereka dengan rakyat yang Muslim. Negara
Islam wajib berbuat adil kepada mereka sebagaimana berbuat adil kepada rakyatnya yang Muslim.
a. Ahlul Dzimmi tidak boleh dipaksa meninggalkan agama mereka guna masuk Islam.
Rasulullah SAW. telah menulis surat untuk penduduk Yaman (yang artinya), Siapa saja yang beragama
Yahudi atau Nashara, dia tidak boleh dipaksa meninggalkannya, dan wajib atasnya jizyah. (HR Abu
Ubaid). Hukum ini juga berlaku untuk kafir pada umumnya, yang nonYahudi dan non-Nashara. Dengan
demikian, Ahlul Dzimmi dibebaskan menganut akidah mereka dan menjalankan ibadah menurut
keyakinan mereka.
b. Ahlul Dzimmi wajib membayar jizyah/ pajak kepada negara.
Jizyah dipungut dan Ahlul Dzimmah yang laki-laki, balig, dan mampu.Tidak dipungut dari anak-anak,
perempuan, dan yang tidak mampu. Jizyah dipungut berdasarkan kemampuan. Bahkan, bagi yang tidak
mampu, misalnya karena sudah tua atau cacat, bukan saja tidak wajib jizyah, tetapi ada kewajiban
negara (baitul mal) untuk membantu mereka.
Pada saat pengambilan jizyah, negara wajib melakukannya secara baik, tidak boleh disertai kekerasan
atau penyiksaan. Jizyah tidak boleh diambil dengan cara menjual alat-alat atau sarana penghidupan
Ahlul Dzimmah, misalnya alat-alat pertanian atau binatang ternak mereka.
c. Dibolehkan memakan sembelihan dan menikahi perempuan Ahlul Dzimmi jika mereka adalah orang-
orang Ahlul Kitab, yaitu orang Nashara atau Yahudi. Allah berfirman:







Makanan(sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab halal bagimu dan makanan (sembelihanmu)
kamu halal bagi mereka. Demikian pula perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-
perempuan yang menjaga kehormatan dari orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu. (QS Al
Maidah:5)

93
Akan tetapi, jika Ahlul Dzimmi bukan Ahlul Kitab, seperti orang Majusi, maka sembelihan mereka
haram bagi umat Islam. Perempuan mereka tidak boleh dinikahi oleh lelaki Muslim. Dalam surat Rasul
SAWyang ditujukan kepada kaum Majusi di Hajar, Beliau bersabda:Hanya saja sembelihan mereka
tidak boleh dimakan, perempuan mereka juga tidak boleh dinikahi.
Sementara itu, jika Muslimah menikahi laki-laki kafir, maka hukumnya haram, baik laki-laki itu Ahlul
Kitab atau bukan. Allah berfirman:


maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan
mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (QS Almumtahanah: 10).
Boleh dilakukan muamalah antara umat Islam dan ahlu dzimmi dalam berbagai bentuknya seperti jual-
beli, sewa-menyewa (ijarah), syirkah, rahn (gadai), dan sebagainya. Rasulullah pun telah melakukan
muamalah dengan kaum Yahudi di tanah Khaibar, kaum Yahudi itu mendapatkan separuh dari hasil
panen kurmanya. Tetapi ketika muamalah ini dilaksanakan, hanya hukum-hukum Islam semata yang
wajib diterapkan.

94
SKL FIKIH 14
MAZHAB DALAM FIKIH ISLAM

TADARUS
QS Al Maidah: 46-47






46. dan Kami iringkan jejak mereka (nabi Nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan kitab yang
sebelumnya, Yaitu: Taurat. dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk
dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, Yaitu kitab Taurat. dan menjadi
petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa. 47. dan hendaklah orang-orang pengikut Injil,
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.

A. Mazhab dalam Fiqih Islam


1. Pengertian
Menurut bahasa mazhab berasal dari kata dzahaba yang berarti pergi dan dapat berarti
pendapat.Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah T Yanggo, adalah pokok
pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan
hukum Islam. Mazhab dapat juga dimengerti sebagai metodologi ilmiah dalam mengambil kesimpulan hukum
dari kitabullah dan sunnah nabawiyah.
Selanjutnya kata mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang
mengikuti cara istinbath imam mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat imam mujtahid tentang
masalah hukum.
2. Tumbuhnya Pemikiran Mazhab
Al Quran sebagai salah satu sumber hukum mengandung ayat-ayat hukum yang terbatas jumlahnya.
Dalam jumlah yang terbatas ini, Al Quran mengatur segala tingkah laku manusia dalam kehidupan dunia
dan persiapan untuk kehidupan akhirat. Karena luasnya lapangan yang diatur oleh dalil-dalil yang
terbatas, maka ayat-ayat hukum dalam Al Quran pada umumnya mengatur secara garis besarnya saja.
Kedudukan Al Quran sebagai dalil utama dengan bentuk pengaturan yang secara global memerlukan
penjelasan. Semasa Rasullulah masih hidup, hal ini tidaklah menjadi persoalan, karena Rasulullah diberi
wewenang penuh untuk memberikan penjelasan terhadap wahyu Allah dengan ucapan, perbuatan, dan
pengakuannya yang di sebut sunnah.
Setelah Rasulullah wafat dan ajaran Islam mulai meluas serta kehidupan yang semakin kompleks,
timbul hal-hal baru yang belum pernah ada pada waktu Rasulullah hidup. Adanya keyakinan bahwa semua
tingkah laku manusia telah diatur oleh Allah dalam Al Quran, baik yang tersirat maupun yang tersurat.
Untuk mengetahui makna yang tersurat dari wahyu Allah, diperlukan kemampuan akademik untuk
mengkaji apa yang terkandung dalam Al Quran dan hadis Nabi SAW.
Untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul belakangan, lahirlah para ahli fatwa. Mula-mula
tugas ini dipegang oleh Khulafaur Rasyidin. Dalam berfatwa, mereka mendasarkan pada Al Quran dan
sunnah. Jika dihadapkan pada masalah-masalah yang tidak dijelaskan secara rinci dalam Al Quran
maupun sunnah, mereka melakukan musyawarah dan mengadakan dialog diantara mereka sendiri untuk
mencapai kesepakatan hukum. Dari sinilah lahir dasar hukum ijmayang menempati urutan ketiga setelah
Al Quran dan sunnah.
Sepeninggal para sahabat, selanjutnya adalah masa Tabiin. Mereka adalah murid para sahabat yang
mengikuti dan mempertahankan pendapat-pendapatnya. Kemudian masa Tabiin Tabiin, dan selanjutnya
masa ulama-ulama mutaakhirin hingga sekarang. Akibat interaksi yang intens dengan sejumlah penduduk
wilayah penyebaran Islam, dimana banyak terjadi masalah-masalah baru yang muncul yang menuntut
adanya penyelesaian hukum, maka para tokoh pemikir menggunakan segala kemampuanya untuk
melakukan ijtihad.
Oleh karena keberadaan mujtahid berbeda-beda, maka wajar jika fatwa-fatwa tersebut memiliki
watak kedaerahan yangmenjawab berbagai tuntutan masyarakat sebagai realisasi bahwa hukum-hukum
dan aturan-aturan adalah refleksi perkembangan masyarakat sesuai dengan kondisi masing-masing dan
fatwa ini diikuti dan dipertahankan oleh para penganutnya yang menjadikan cikal bakal terbentuknya
mazhab dalam fiqih Islam.
3. Faktor yang Mempengaruhi Pemikiran Mazhab
Menurut Abdul Wahab Khallaf, lahirnya mazhab-mazhab fiqih dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu,
perbedaan dalam penentuan sumber tasyri, perbedaan dalam pembentukan hukum, perbedaan dalam
prinsip-prinsip bahasa yang diterapkan dalam memahami nash-nash.
a. Perbedaan dalam penentuan sumber hukum islam
1) Perbedaan dalam menentukan derajat suatu hadis dan perbedaan pertimbangan yang digunakan
dalam menarjih (memilih dan menguatkan) suatu riwayat atas riwayat yang lain :
a) Kepercayaan pada rawi-rawinya (periwayat hadis)
b) Kepercayaan pada teknis (kaifiyat) periwayatannya.
95
Contoh: Mujtahid Iraq, yakniImam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, berhujjah dengan hadis-
hadis mutawatir dan masyhur, serta merajihkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh perawi-perawi
terpercaya dari kalangan ahli-ahli fiqih.
Mujtahid Madinah, yakni Imam Malik dan sahabat-sahabatnya merajihkan apa yang menjadi
pendapat penduduk Madinah dan meninggalkan semua hadis ahad yang berbeda dengannya.
Sementara mujtahid yang lain berhujjah dengan segala macam hadis yang diriwayatkan oleh
perawi-perawi yang adil dan terpercaya, baik dari kalangan ahli fiqih atau yang lainnya.
2) Perbedaan dalam menilai fatwa-fatwa sahabat.
Iamam Abu Hanifah dan para pengikutnya berpedoman pada fatwa-fatwa sahabat tersebut secara
keseluruhan. Sedangkan imam Syafii berpedoman bahwa fatwa-fatwa sahabat tersebut adalah
produk ijtihad. Maka boleh mengambilnya atau berbeda dengan fatwa-fatwa mereka.
3) Perbedaan dalam masalah qiyas sebagai tasyri.
Kalangan Syiah tidak membenarkan berhujjah dengan qiyas, dan tidak mengganggap qiyas sebagai
sumber tasyri. Sedangkan mayoritas mujtahid berpendapat sebaliknya.
b. Perbedaan dalam Pembentukan Hukum
Para mujtahid terbagi menjadi 2 kelompok:
1) Ahli Hadis
Ahli hadis adalah kelompok pemikiran yang mencurahkan diri untuk menghafal dan memahami
sejumlah hadis dan fatwa-fatwa sahabat, kemudian mengarahkan pembentukan hukum atas dasar
pemahaman terhadap hadis-hadis dan fatwa-fatwa tersebut. Mereka cenderung menjauhi metode
ijtihad kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Diantara kelompok ahli hadis adalah ulama-ulama
Hijaz. Kecenderungan ulama Hijaz menggunakan dasar hadis dan produk ijtihad sahabat karena
keberadaannya di pusat Islam dan masih banyaknya kajian sahabat yang dipopulerkan dasar
hukum syari.
2) Ahli Rayi
Ahli Rayi adalah kelompok pemikiran yang mendasarkan diri pada pengembangan nalar dengan
melakukan ijtihad dalam memahami persoalan yang muncul. Diantara kelompok ini adalah
mujtahid-mujtahid Irak. Penerapan metode ijtihad yang dilakukan oleh mujtahid Irak karena
wilayah dan sosial budaya bangsa Irak sangat berbeda dengan wilayah Hijaz. Sehingga menuntut
argumentasi akliah dalam menentukan dasar dan produk hukumnya. Akan tetapi bukan berarti
fuqaha Irak tidak menggunakan hadis dalam pembentukan hukum, dan juga tidak berarti bahwa
fuqaha Hijaz tidak berijtihad dan menggunakan rayu. Karena kedua kelompok ini pada dasarnya
sepakat bahwa hadis adalah hujjah syariyyah yang menentukan dan ijtihad dengan rayu, yakni
dengan qiyas.
Contoh perbedaan pendapat Ahli Hadis dan Ahli Rayi
Pendapat Ahli Hadis Pendapat Ahli Rayi
Kasus
(Fuqaha Hijaz) (Fuqaha Irak)
Zakat 40 ekor kambing adalah Harus membayar zakatnya Muzaki wajib membayar
1 ekor kambing dengan wujud satu ekor zakatnya itu dengan 1 ekor
kambing sesuai yang kambing atau dengan harga
diterangkan hadis dan yang senilai dengan seekor
dianggap belum kambing.
memjalankan kewajiban
apabila dibayar dengan
harga yang senilai.
Zakat fitrah itu 1 sha tamar Harus membayar zakatnya Muzaki wajib membayar zakat
(kurma) atau syair (gandum) dengan 1 sha tamar sesuai fitrah itu dengan 1 sha tamar
yang diterangkan hadis dan atau dengan harga yang senilai
dianggap belum dengan 1 sha tamar tersebut
memjalankan kewajiban
apabila dibayar dengan
harga yang senilai.
Mengembalikan kambing yang Harus menggantinya dengan Menggantinya dengan harga
terlanjur diperas air susunya, membayar 1 sha tamar yang senilai dengan ukuran air
harus dikembalikan dengan sesuai yang diterangkan susu yang diperas berarti telai
denda 1 sha tamar hadis dan dianggap belum menunaikan kewajiban.
memjalankan kewajiban
apabila dibayar dengan
harga yang senilai.

Dari contoh di atas kita dapat mengetahui bahwa ahli hadis memahami nash-nash ini menurut apa
yang ditunjuk oleh ibarat-ibaratnya secara lahiri, dan mereka tidak membahas illat tasyri (sebab
disyariatkan). Sedangkan ahli rayi memahami nash-nash tersebut menurut maknanya dan maksud
disyariatkannya oleh Allah SWT.

Sebab-sebab terpenting yang membawa ikhtilaf dua pengaruh kelompok tersebut, adalah:

96
Realita yang dihadapi
Realita yang dihadapi ahli hadis
ahli rayi
Memiliki kekayaan atsar-atsar Tidak memiliki kekayaan atsar sehingga
(hadis dan fatwa sahabat) yang berpegangan atas akal mereka, berijtihad
dapat digunakan dalam untuk memahami maqulnya nash dan
membentuk hukum-hukum dan sebab-sebab pembentukan hukum. Dalam
dijadikan sandaran hal ini mereka mengikuti guru mereka
Abdullah ibn Masud ra.
Menghadapi realita masyarakat Menghadapi realita terjadinya fitnah yang
yang cenderung homogen tanpa membawa pada pemalsuan dan
terjadinya hal-hal yang pengubahan hadis-hadis. Karenanya
berpengaruh pada sumber- mereka sangat hati-hati dalam menerima
sumber tasyri. riwayat hadis, mereka menetapkan bahwa
hadis haruslah masyhur di kalangan
fuqaha.
Muamalat, aturan, dan tata tertib Kekuasaan Persia banyak meninggalkan
yang ada di Hijaz sangat aneka ragam bentuk muamalat dan adat
dipengaruhi oleh generasi- kebiasaan, serta aturan tata tertib, maka
generasi Islam terdahulu yang lapangan ijtihad menjadi demikian luas di
memang tinggal di daerah Irak. Para ulama biasa melakukan
tersebut. pembahasan dan menuangkan pemikiran.
c. Perbedaan dalam Prinsip Kebahasaan terhadap Pemahaman Nash.
Redaksi QS Al Baqarah: 228

wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
Dari redaksi ayat diatas, para fuqaha berbeda pendapat tentang kata quru. Kata quru adalah lafal
musytarak (mempunyai arti lebih dari satu) yang bisa berarti suci atau haid. Sebagian ulama Hijaz
berpendapat bahwa iddahnya wanita yang ditalak adalah 3 kali suci. Sedangkan ulama-ulama Irak
berpendapat bahwa iddah wanita yang ditalak adalah tiga kali haid.
4. Pengaruh pemikiran mazhab terhadap perkembangan hukum islam
Munculnya mazhab-mazhab fiqih Islam di mulai dengan tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah,
kebebasan berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu, memiliki ketertarikan sejarah yang
panjang dan tidak dapat di pisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Ulama pendiri mazhab fiqih berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-
pusat studi tentang fiqih yang diberi nama Al Mazhab. Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika
memilih salah satu pendapat dari ulamamazhab ketika menghadapi masalah hukum, sehingga pemerintah
merasa perlu menegakkan hukum Islam dalam pemerintahannya. Perbedaan pendapat di kalangan
muslim yang awam tentang masalah politik seperti pengangkatan khalifah-khalifah dari suku apa, ikut
memberi saham bagi munculnya berbagai mazhab hukum Islam.
Berkembangnya dua aliran ijtihad rasionalisme dan tradisionalisme telah melahirkan mazhab-
mazhab fiqih Islam yang mempunyai metodologi kajian hukum serta fatwa-fatwa fiqih tersendiri, dan
mempunyai pengikut dari berbagai lapisan masyarakat sehingga munculnya mazhab-mazhab fiqih Islam
turut mewarnai perkembangan hukum islam.

B. Sejarah Tokoh Mazhab dalam Fiqih


1. Mazhab Fiqih Sunni
a. Mazhab Hanafi (80-150 H)
Imam Abu Hanifah An Numan dilahirkan pada 80 H. di Kufah. Di negeri itu pula ia belajar Ilmu Fikih
dan merumuskan dasar-dasar mazhabnya. Dan meninggal di Bagdad pada 150 H. Ia menerima dan
mempelajari ilmu tersebut dari Hammad bin Abi Sulaiman, Hammad menerimanya dari dari Ibrahim
An Nakhai, sedangkan Ibrahim menerimanya pula dari Alqamah bin Qais, murid Abdullah bin Masud.
Kemahiran dan popularitas Abu Hanifah dalam bidang fikih telah mencuat ketika ia berada di Irak.
Ketinggian kedudukannya dalam ilmu ini telah diakui oleh Malik, Syafii dan para ulama di
masanya.Mazhab pemikiran fikihnya kemudian diterima dan dibukukan oleh sejumlah ulama yang
selalu mendampinginya. Mereka itulah yang kemudian dikenal sebagai Ashab Abu Hanifah. Di antara
mereka, murid-murid Abu Hanifah yang paling masyhur adalah Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan,
Hasan bin Ziyad dan Zufar.
Pada periode berikutnya, pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya dikodifikasikan
menjadi satu, yang kesemuanya itu disebut dengan mazhab Abu Hanifah. Hal ini karena mazhab Abu
Hanifah yang paling dominan, sedangkan masalah-masalah yang dikemukakan oleh para pelanjutnya
sedikit sekali dan itupun merupakan hasil ijtihad mereka yang didasarkan pada kaidah-kaidah dan
dalil-dalil yang digunakan oleh peletak mazhab tersebut.
Mazhab Abu Hanifah banyak dianut oleh sebagian besar Negara Islam seperti Bagdad, Persia, India,
Bukhara, Yaman, Mesir, dan Suria.Mazhab Abu Hanifah adalah mazhab paling berpengaruh dan
merupakan mazhab resmi disebagian besar masa dinasti Abbasiah. Keputusan peradilan dan fatwa
hanya menggunakan mazhab Abu Hanifah. Demikian juga pemerintahan Usmaniyah menjadikannya
sebagai mazhab resmi Negara. Peradilan dan fatwa pun harus didasarkan hanya pada mazhab Abu
Hanifah tersebut. Keadaan demikian terus berlangsung hingga sekarang.

97
b. Mazhab Maliki (93-179 H).
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Malik bin Anas Al Asbahi, seorang tokoh kenamaan dan ulama
terkemuka di Darul Hijrah (Madinah). Dilahirkan pada 93 H. dan wafat pada 179 H. ia dibesarkan di
Madinah dan dinegeri itu pula ia belajar kepada Rabiah. Kemudian ia banyak mengunjungi para fuqaha
dari kalangan tabiin untuk belajar kepada mereka dan menerima hadits dari Az Zuhri, Nafi budak
yang dimerdekakan oleh Ibn Umar dan para perawi hadits lainnya. Segala perhatianya dicurahkan
unutk menuntut ilmu dan mengumpulkan hadits, sehingga akhirnya ia menjadi pemuka ahli fiqih
negeri Hijaz yang namanya terkenal diberbagai negeri.
Ketika Khalifah Al Mansur menunaikan ibadah haji, ia berkunjung kepada Malik dan memohon agar ia
menulis sebuah buku yang berisikan masalah-masalah ilmu, maka Malik pun memenuhi permohonan
tersebut dengan menyusun kitab Al Muwatta tentang hadits dan fikih. Ketika Khalifah Al Mahdi datang
ke Hijaz untuk berhaji, tak lupa ia pun mengikuti pengajian Malik dan memberikan hadiah sebanyak
5000 dinar. Kemudian Khalifah Harun Ar Rasyid dan anak-anaknya mengunjungi dan mendengarkan
pengajian Imam Malik, juga ia menganugrahkan berbagai hadiah cukup banyak.
Kitab AlMuwatta yang ditulis dan dibacakan oleh Malik, nampaknya sangat mengesankan danm
mengagumkan hati Khalifah Harun Ar Rasyid. Sehingga ia berusaha menggantungkannya di Kabah dan
menyuruh semua orang berpegang kepadanya. Namun hasrat tersebut ditolak oleh Malik, ia berkata :
Sesungguhnya para sahabat Rasul mempunyai pendapat yang berbeda-beda dalam masalah furu dan
kini mereka telah menyebar di berbagai negeri, dan semuanya adalah benar. Rasyid menjawab :
Semoga Allah memberikan taufik kepada engkau, Abdullah
Al Muwatta telah diriwayatkan dari Imam Malik oleh para ulama, juga Muhammad bin Idris Asy Syafii
dan Muhammad bin Al Hasan, salah seorang murid Abu Hanifah meriwayatkannya langsung dari Malik.
Diantara murid-murid utama Malik yang meriwayatkan Al Muwatta dan yang mempelajari fikih
kepadanya adalah Abdullah bin Wahb dan abdur Rahman bin Al Qasim, yang telah mendampinginya
selama dua puluh tahun. Mereka berdualah yang berjasa besar membukukan mazhab pemikiran fikih
Imam Malik, dibantu oleh murid-murid lainnya. Kemudian mereka menyeberkannya ke berbagai kota-
kota Islam. Penyebaran mazhab ini terus dilanjutkan oleh generasi berikutnya dengan giat. Sehingga
panji-panji mazhab tersebut berkibar megah dinegeri-negeri Mesir, Afrika, Spanyol dan Magribul Aqsa,
belahan dunia bagian barat dan di negeri Basrah, Bagdad dan negeri-negeri lain di belahan timur.
Selain Al Muwatta kitab yang terkenal dalam mazhab Maliki adalah Al Mudawwanah yang ditulis oleh
murid-murid beliau dan menjadi pegangan resmi pemerintahan Umawiyyah di Andalusia Spanyol.
Awal mulanya tersebar di daerah Madinah, kemudian tersebar sampai saat ini di Marokko, Aljazair,
Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait.
c. Mazhab Syafii (150-204 H).
Namanya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy Syafii dikenal dengan sebutan Imam Syafii.
dilahirkan di Guzat, Palestina, pada 150 H. dan wafat di Mesir pada 204 H. Ia belajar dan menghafal Al
Quran di Makkah dan disana pula ia mempelajari berbagai cabang ilmu, seperti Lugat, syair, adab,
hadis dan fikih. Ilmu-ilmu tersebut dikuasainya dengan baik dan sempurna, sehingga hal tersebut
membuat guru-gurunya kagum dan bangga kepada ketajaman hati dan ketajaman nalarnya. Di antara
para ulama yang kepadanya Syafii menimba ilmu, yang paling masyhur adalah Sufyan bin Uyainah dan
Muslim bin Khalid Az Zinji.
Ketika menjelang usia 20 tahun, ia hijrah ke Madinah. Sebelum itu ia telah mendengar popularitas
keilmuan Imam Malik.. hal inilah yang kemudian mendorong untuk kesana dalam rangka belajar fikih
kepadanya. Setelah itu, ia pergi menuju Irak, untuk mengunjungi dan mempelajari fikih kepada murid-
murid Imam Abu Hanifah. Lalu melanjutkan pengembaraanya ke negeri Persia, Irak Utara dan negeri-
negeri lain. Kemudia ia pulang kembali ke Madinah setelah merampungkan safari ilmiyahnya selama
dua tahun, sejak tahun 172 hingga 174 H. perjalanannya itu telah memberinya berbagai ilmu dan
pengetahuan mengenai pelbagai persoalan hidup dan watak manusia.
Mazhab Imam Syafii diterima oleh sejumlah besar ulama. Mereka mencatat segala karangannya dan
beramal sesuai dengan mazhab yang dibentuknya. Di antara murid-muridnya yang paling masyhur
adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam, Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al Muzani, Abu
Yaqub Yusuf bin Al Buwaiti dan Ar Rabi Al Jizi. Demikian juga, Asyhab dan abu Al Qasim (keduanya
murid-murid Imam Malik) mempelajari Fikih Mazhab Syafii dari Imam Syafii sendiri.
Mazhab Imam Syafii tersebar luas di Negara-negara Islam terutama dunia timur. Dari negeri timur ia
menerobos ke beberapa kerajaan dan kota lainnya dan kini mendominasi wilayah-wilayah Mesir, selain
Mesir atas, Palestina, Kurdistan dan Armenia. Mayoritas ahlusunah Persia (Iran), kaum muslimin pulau
Ceylon dan kepulauan Filipina adalah menganut Syafii . kaum muslimin di pulau jawa dan pulau-pulau
sekitarnya, juga muslimin India-Cina dan Australia serta penduduk dunia ketiga adalah penganut
Mazhab Syafii. demikian pula kaum Suni di Yaman, Aden dan Hadramaut bermazhab Syafii, kecuali
Aden yang terdapat juga disana penganut mazhab Hanafi. Selain itu, mazhab Syafii berlaku pula di
Irak, Hijaz dan Suria bersama mazhab-mazhab lain
d. Mazhab Hanbali 164-241 H.
Ia adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Hilal AsySyaibani. Dilahirkan di Bagdad
pada 164 H. dan wafat pada 241 H., menurut pendapat sahih.
Ahmad mulai menuntut ilmu semenjak kecil. Kemudian, dalam rangka menuntut ilmu itu, ia
mengembara ke negeri Suria, Hijaz dan Yaman. Ia mendengar (mempelajari hadits) dari Sufyan bin
Uyainah dan ulama lain yang segenerasi dengannya. Lalu berguru kepada Imam Syafii selama Imam
Syafii menetap di Bagdad. Asy Syafii pernah berkata tentang Ahmad, Saya keluar dari Bagdad dan
tidak saya tinggalkan di sana orang yang paling taqwa, paling zuhud, paling wara dan paling berilmu,

98
melebihi Ahmad bin Hanbal. Hadits-hadits Ahmad diriwayatkan oleh sejumlah besar ulama, termasuk
oleh beberapa orang gurunya. Bukhari dan Muslim juga termasuk orang yang meriwayatkan hadits dari
Ahmad.
Ahmad bin Hanbal telah menulis buku/kitab yang tidak sedikit jumlahnya. Dikatakan, buku-buku
karangannya itu mencapai 12 beban unta. Dikatakan pula bahwa ia meriwayatkan hadits sebanyak satu
juta hadits. Ahmad bin Hanbal mempunyai kitab al-Musnad Kabir, sebuah kitab masnad yang paling
tinggi mutunya serta paling baik susunan dan kritikan-kritiknya. Dalam kitab tersebut, ia hanya
memasukkan hadits-hadits yang dapat dijadikan hujjah, di samping ia pun melakukan kritik terhadap
lebih dari 750.000 hadits. Di bidang fatwa mengenai suatu hal yang tidak ada nasnya, ia senantiasa
memperhatikan dan berusaha keras untuk mendapatkanfatwa-fatwa yang telah diberikan para
sahabat. Sehingga, jika dalam suatu masalah terdapat dua pendapat sahabat, maka kedua pendapat
tersebut diriwayatkannya pula.
Selain itu Ahmad sangat tidak suka, bahkan enggan memberikan fatwa terhadap permasalahan yang
tidak terdapat nas atau pendapat ulama salaf mengenainya. Sikap kaku dan keras Imam Ahmad, bahwa
pada setiap peristiwa harus ada nas atau pendapat salaf dan keengganannya memberikan fatwa
terhadap masalah yang tiada nas atau pendapat salaf (asar) telah menghambat laju mazhabnya untuk
dapat tersebar luas di berbagai negeri sebagai mana mazhab-mazhab yang lain.
Usaha dan perhatian murid-murid Ahmad sepeninggalnya hanya terfokus pada sejumlah pendapat
dalam fatwa-fatwanya, tidak lebih dari itu. Berbeda dengan pengikut mazhab yang lain. Mereka telah
melakukan ijtihad dengan mengikuti pola dan kaidah mazhab imamnya setiap timbul peristiwa baru.
Bahkan sering kali mereka berbeda pendapat dengan imamnya, dalam masalah furu (cabang),
kendatipun ijtihad mereka berpedoman pada kaidah-kaidah usuliah yang digariskan imamnya. Oleh
karena itu, pengikut mazhab Hanbali di kawasan yang mazhabnya dapat dikembangkan tidak cukup
banyak. Sebaliknya, kawasan dimana terdapat cukup banyak pengikut Hanbali terlampau sempit. Ini
pun tersebar di kerajaan-kerajaan atau daerah-daerah yang di kawasan tersebut telah tersebar luas
mazhab-mazhab yang lain. Mazhab Hanbali ini pertama kali timbul di Bagdad, kemudian tersebar di
negeri-negeri yang lain.
2. Mazhab Fiqih Syiah
Istilah syia berasal dari bahasa Arab syii ( )bermakna pembela dan pengikut seseorang.
Sedangkan secara terminologi, syiah adalah golongan umat Islam yang menyatakan bahwa Sahabat Ali bin
Abi Thalib sangat utama di antara para shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk
kepemimipinan kaum Muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. Mazhabsyiah awalnya
bukan merupakan mazhab fiqih, tetapi sebagai aliran politik. Dalam politik mereka berpendapat bahwa
yang berhak menjadi khalifah setelah Nabi Muhammad SAW wafat adalahAli bin Abi Thalib bukan Abu
Bakar, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan.
Selain pendapat di atas, mereka berargumen juga bahwa pengangkatan khalifah (kepala
pemerintah/pemimpin) termasuk rukun Islam, oleh sebab itu wajib hukumnya bagi umat Islam untuk
melaksanakannya. Belum sempurna islam seseorang kalau belum melaksanakan itu. Oleh karena itu,
golongan Syiah selain menjadi mazhab politik juga mazhab fiqih. Sebagai mazhab fiqih memiliki berbagai
pendiri mazhab juga sebagaimana dalam Mazhabsunni.
a. Mazhab Zahidiyah
Mazhab ini dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin (w. 122 H./740 M.) adalah seorang mufasir,
muhaddis, dan faqih di zaman-nya. Ia banyak menyusun buku dalam berbagai bidang ilmu. Dalam
bidang fiqih ia menyusun kitab Al Majmu yang menjadi rujukan utama fiqih zaidiyah. Imam Zaid di
zamannya dikenal sebagai seorang faqih yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah, sehingga
tidak mengherankan apabila Imam Zaid menulis sebuah kitab fiqih. KitabAl Majmu kemudian disyarah
oleh Syarifuddin Al Husein bin Haimi Al Yamani Ash Shanani (w.1221 H.) dengan judul ArRaud An
Nadir Syarh Majmu, AlFiqih-ul Kabir.
Para pengembang mazhabZaidiyah yang populer diantaranya adalah Imam Al Hadi Yahya bin Husein
bin Qasim (w. 298 H).Pada dasarnya fiqih mazhabZaidiyah tidak banyak berbeda dengan fiqih
ahlussunnah. Perbedaan yang bisa dilacak antara lain: ketika berwudu tidak perlu menyapu telinga,
haram memakan makanan yang disembelih non-muslim, dan haram mengawini wanita Ahlul Kitab.
Disamping itu, mereka tidak sependapat dengan syiah Imamiyah yang menghalalkan nikah mutah.
Menurut Muhammad Yusuf Musa, pemikiran fiqih mazhab Zaidiyah lebih dekat dengan pemikiran fiqih
ahlu rayi
b. Mazhab Imamiyah
Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendiri sebenarnya fiqih syiah adalah Abu Jafar Muhammad bin
Hasan bin Farwaij As Saffar Al Araj Al Qummi (w. 290 H.). Dasar pemikiran fiqih syiah Imamiyah dapat
dilihat dalam karyanyaBasyair Ad Darajat fi Ulum Ali Muhammad wa ma Khassahum Allah bihi. Setelah
itu mazhabsyiah Imamiyah disebarluaskan dan dikembangkan oleh Muhammad bin Yaqub bin Ishaq Al
Kulaini (w. 328 H.) melalui kitabnya, AlKafi fi ilm Ad Din.
Menurut Muhammad Yusuf Musa, fiqih syiah Imamiyah lebih dekat dengan fiqih mazhab Imam Syafi i
dengan beberapa perbedaan yang mendasar.Dalam berijtihad, apabila mereka tidak menemukan
hukum suatu kasus dalam Al Quran, mereka merujuk pada sunnah yang diriwayatkan para imam
mereka sendiri. Menurut mereka, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Mazhab Syiah Imamiyah tidak
menerima qiyas sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara. Alasannya, qiyas merupakan
ijtihad dengan menggunakan rasio semata. Hal ini dapat dipahami, karena penentu hukum di kalangan
mereka adalah imam, yang menurut keyakinan mereka terhindar dari kesalahan (maksum). Atas dasar

99
keyakinan tersebut, mereka juga menolak ijma sebagai salah satu cara menetapkan hukum syara,
kecuali ijma bersama imam mereka.
Kitab fiqih pertama yang disusun oleh imam mereka, Musa Al Kazim (128-183 H), diberi judul AlHalal
wa Al Haram. Kemudian disusul oleh Fiqih ArRidha yang disusun oleh Ali Ar Ridla (w. 203 H/
818M).Syiah Imamiyah sekarang banyak dianut oleh masyarakat Iran dan Irak. Mazhab ini merupakan
mazhab resmi pemerintah Republik Islam Iran sekarang.
Perbedaan mendasar fiqih Syiah Imamiyah dengan jumhur Ahlussunnah antara lain:
1) Syiah Imamiyah menghalalkan nikah mutah yang diharamkan ahlus sunnah.
2) Syiah Imamiyah mewajibkan kehadiran saksi dalam talak, yang menurut pandangan ahlus sunnah
tidak perlu.
3) Syiah Imamiyah, termasuk syiah Zaidiyah, mengharamkan lelaki muslim menikah dengan wanita
Ahl-ul Kitab.
3. Mazhab Fiqih yang Terlupakan
a. Mazhab AtsTsauri
Tokoh pemikirnya adalah Sufyan Ats Tsauri (w. 161 H./778 M.). Ia hidup sezaman dengan Imam Abu
Hanifah dan termasuk salah seorang mujtahid ketika itu. Akan tetapi, pengikut Ats Tsauri tidaklah
banyak. Mazhab ini pun tidak lagi dianut masyarakat sejak wafatnya penerus mazhabAts Tsauri yaitu
Abu Bakar Abdul Gaffar bin Abdurrahman Ad Dinawari pada tahun 406 H. Ia adalah seorang mufti
dalam mazhabAts Tsauri di Masjid Al Mansur di Baghdad.
b. Mazhab Al Awzai
Tokoh pemikirnya adalah Abdurrahman Al Auzai (88-157 H.). Ia adalah seorang ulama fiqih terkemuka
di Syam (Suriah) yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah. Beliau dikenal sebagai salah seorang
ulama besar Damaskus yang menolak qiyas. MazhabAl Auzai pernah dianut oleh masyarakat Suriah
sampai Mazhab Syafii menggantikannya. Mazhab ini juga dianut masyarakat Andalusia, Spanyol,
sebelum Mazhab Maliki berkembang di sana. Pemikiran MazhabAl Auzai saat ini hanya ditemukan
dalam beberapa literatur fiqih. Pemikiran Al Auzai dapat dilihat dalam kitab fiqih yang disusun oleh
Abu Jafar Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (w. 310 H./923 M, mufasir dan faqih) yang
berjudul Ikhtilaf Al Fuqaha. Mazhab Al Auzai tidak dianut lagi oleh masyarakat sejak awal abad kedua
Hijriyah.

c. Mazhab Az Zahiri
Tokoh pemikirnya adalah Daud Az Zahiri yang dijuluki Abu Sulaiman. Pemikiran mazhab ini dapat
ditemui sampai sekarang melalui karya ilmiah Ibnu Hazm, yaitu kitab Al Ahkam fi Usul Ahkam di bidang
usul fiqih dan Al Muhalla di bidang fiqih.
Sesuai dengan namanya, prinsip dasar mazhab ini adalah memahami nash secara literal. Apabila suatu
masalah tidak dijumpai hukumnya dalam nash, maka mereka berpedoman pada ijma. Ijma yang
mereka terima adalah ijma seluruh ulama mujtahid pada suatu masa tertentu, sesuai dengan
pengertian ijma yang dikemukakan ulama usul fiqih dan menolak qiyas, istihsan, maslahah mursalah
dan metode istimbat lainnya yang didasarkan pada rayu.
Sekalipun para tokoh MazhabAz Zahiri banyak menulis buku di bidang fiqih, mazhab ini tidak
berkembang karena pengikut fanatiknya tidak banyak. Akan tetapi, dalam literatur-literatur fiqih,
pendapat mazhab ini sering dinukilkan ulama fiqih sebagai perbandingan antar mazhab. Mazhab ini
pernah dianut oleh sebagian masyarakat Andalusia, Spanyol.

C. Mengidentifikasi Karakteristik Mazhab dalam Fiqih


1. Karakteristik Mazhab Hanafi
a) Mazhab Hanafiyah sangat dikenal sebagai terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam
mengupas masalah fiqih.
b) Sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadis. Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihah
suatu hadis, maka beliau lebih memlih untuk tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau
menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang
punya dalil syari/ naqli.
c) Kurang tersedianya hadis yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau tinggal.
Sebaliknya, begitu banyak hadis palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu
diketahui bahwa Imam Abu Hanifah hidup di masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh
sebelum era Imam Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadis.
2. Karakteristik Mazhab Maliki
a) Mazhab ini ditegakkan di atas doktrin untuk merujuk dalam segala sesuatunya kepada hadis
Rasulullah SAW dan praktek penduduk Madinah. Imam Malik membangun mazhabnya dengan 20
dasar daintaranyaAl Quran, sunnah, ijma, qiyas, amal ahlul madinah, perkataan sahabat, istihsan,
saddudzarai, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syaru man qablana.
b) Mazhab ini adalah kebalikan dari mazhab Hanafiyah. Mazhab Maliki mengandalkan sumber-sumber
syariah (Al Quran -hadis). Sebab mazhab ini tumbuh dan berkembang di Madinah, di mana
penduduknya adalah anak keturunan para shahabat. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek
ibadah yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah SAW bisa dijadikan dasar hukum,
meski tanpa harus merujuk kepada hadis yang shahih para umumnya.

3. Karakteristik Mazhab Syafii

100
a) Mengambil jalan tengah antara pemikiran fiqih Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Dalam
menentukan hujjah, dasar pijakan adalah Al Qurandan Hadis dengan analisa aqliah.
b) Dasar mazhabnya: Al Quran, sunnah, ijma dan qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat
karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah.
c) Tidak mengambil istihsan sebagai dasar mazhabnya, menolak maslahah mursalah dan perbuatan
penduduk Madinah. Imam Syafii mengatakan,barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah
menciptakan syariat.
4. Karakteristik Mazhab Hanbali
a) Dasar mazhab Ahmad adalah Al Quran, sunnah, fatwah sahahabat, ijma, qiyas, istishab, maslahah
mursalah, saddudzarai.
b) Mazhab ini muncul sebagai reaksi yang wajar terhadap sikap-sikap keterlaluan sebagian aliran islam
seperti Syiah, Khawarij, Mutazilah, Jahmiyah dan Murjiah.Mutazilah misalnya, berpendapat bahwa Al
Quranadalah makhluk (mihnah).
c) Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa ijtihad itu sendiri harus dilawan dengan berpegangteguh pada
Al Qurandan sunnah.

D. Contoh-contoh Perbedaan Antar Mazhab dalam Fiqih


1. Membaca Basmalah dalam Shalat
:

:

Dari Abu Hurairah beliau berkata, Rasalullah SAW bersabda, alhamdu lillahi rabbil 'alamin merupakan
induk Al Quran, pokoknya Al Kitab, serta surat AsSab'ul Matsani. (HR Abu Dawud)



Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW (selalu) mengeraskan suaranya ketika membaca basmalah
(dalam shalat). (HR Bukhari)
Imam Malik melarang (tidak menganjurkan) membaca basmalah secara mutlak, yakni dalam Al
Fatihah atau lainnya, dengan jahr (keras) atau sir (pelan), tapi memperbolehkannya dalam shalat sunnah.
Artinya dalam mazhab Maliki tidak boleh baca basmalah dalam shalat wajib (5 waktu), baik sir atau jahr,
baik dalam surat Al Fatihah atau lainnya, namun boleh baca basmalah dalam shalat sunnah dengan sir, jika
shalat sunnahnya sir seperti siang hari dan boleh jahr, jika shalat sunahnya boleh baca jahr, seperti shalat
sunnah yg dilakukan malam hari. Ini semua berlaku untuk surah Al Fatihah atau lainnya. Karena dalam
mazhab Maliki, basmalah itu bukan bagian dari surat Al Fatihah dan juga bukan bagian dari surat lainnya,
hanya pembuka semua surat dalam Al Quran.
Sedangkan Imam Abu Hanifah, Ats Tsauri dan Ahmad bin Hambal berpendapat harus (wajib) membaca
basmalah tapi dengan sir (pelan), baik dalam shalat yang jahr (magrib, isya dan subuh) atau sir (zuhur dan
Asar). Artinya, wajib baca basmalah dengan sir, baik untuk shalat wajib atau sunnah, baik untuk surah Al
Fatihah atau lainnnya. Karena dalam pendapat mereka basmalah adalah bagian ayat dari surat Al Fatihah
dan bukan bagian ayat bagi surat lainnya, namun di baca pelan karena mereka lebih memilih hadis Nabi
SAW yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW membaca basmalah sengan sir di semua shalat.
Adapun Imam Syafii berpendapat wajib membacanya, secara mutlak sesuai keadaan shalatnya, bila
shalat jahr, maka basmalahharus dibaca jahr, dan jika shalatnya sir, maka basmalah juga mengikuti
bacaannya yang sir, baik shalat wajib atau sunah dan baik dalam surat Al Fatihah atau lainnya. Karena
basmalah adalah bagian dari ayat pada surah Al Fatihah dan bukan bagian ayat dari surat selain Al
Fatihah.Oleh karena itu, ketika baca Al Fatihah atau surat itu dengan sir, maka basmalah dibaca sir,
sebaliknya, ketika bacaan dalam shalat itu sunnah jahr, maka basmala dibaca jahr.
2. Bacaan Al Fatihah mamum dalam shalat Jamaah
): . .
: . . : .(
) : . : .
:. : .(
.
Mengingat Hadis Ubadah ibn Shamit bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Tiada sah shalat orang yang tak
membaca permulaan Kitab (Al Fatihah) (HR. al-Bukhari dan Muslim). Dan ada lagi Hadis Ubadah dari
riwayat Ahmad, al-Daruquthni dan al-Baihaqi, katanya: Rasulullah SAW. shalat shubuh, maka beliau
mendengar orang-orang yang mamum nyaring bacaannya. Setelah selesai beliau menegur: Aku kira
kamu sama membaca di belakang imammu? Kata Ubadah: Kita sama menjawab: Ya Rasulallah, demi
Allah, benar!. Maka sabda beliau: Janganlah kamu mengerjakan demikian, kecuali dengan bacaan Al
Fatihah. Dan mengingat pula Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Annas, yang berkata
bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Apakah kamu membaca dalam shalatmu di belakang imammu,

101
padahal imam itu membaca? Janganlah kamu mengerjakannya, hendaklah seseorang membaca Al
Fatihah pada dirinya (dengan suara rendah yang hanya didengar sendiri)
Mengenai bacaan Al Fatihahbagi makmum dalam shalat berjamaah. Sebagaimana diterangkan oleh Ibn
Rusyd dalam Bidaya-tul Mujtahid, bahwa ulama telah sepakat, di mana Imam Malik tidak menanggung
makmum mengenai fardu shalat, kecuali bacaan Al Fatihah. Mengenai bacaan Al Fatihah bagi makmum
para ulama telah berbeda pendapat. Imam Malik berpendapat bahwa makmum dalam
shalat sirri membaca Al Fatihah bersama-sama imam, dan tidak membacanya dalam shalat jahar. Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa bacaan Al Fatihah gugur pada pihak makmum, baik pada
shalat sirri maupun pada shalat jahar. Sedangkan Imam Syafii berpendapat bahwa makmum wajib
membaca Al Fatihah saja dalah shalat jahriyah, dan membaca Al Fatihah beserta surat apabila
shalat sirriyah. Imam Ahmad ibn Hanbal mewajibkan membaca Al Fatihahwaktu tidak terdengarnya
bacaan imam, baik karena bacaannya sirr atau karena jauhnya, dan melarang membacanya waktu
didengarnya bacaan imam.
3. Puasa bagi Orang Hamil dan Menyusui
: .
: .( )
.( )
. :
Menurut Hadis Anas ibn Malik al-Kabiyyi bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Sungguh Tuhan Allah Yang
Maha Besar dan Mulia telah membebaskan puasa dan separoh shalat bagi orang yang bepergian, serta
membebaskan puasa dari orang hamil dan menyusui (HR al-Khamsah). Dan Ibn Abbas berkata kepada
jariyahnya yang hamil: Engkau termasuk orang yang keberatan berpuasa, maka engkau hanya wajib
berfidyah dan tidak usah mengganti puasa (HR. al-Bazzar ditashihkan oleh al-Daruquthni). Dan
diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibn Abbas, bahwa ia berkata: Ditetapkan bagi orang yang
mengandung dan menyusui untuk berbuka dan sebagai gantinya memberi makan kepada orang miskin
setiap harinya
Masalah apakah orang hamil dan menyusui yang meninggalkan puasanya wajib qadha atau fidyah saja,
juga masalah baru dalam masalah khilafiyah. Dalam masalah ini terdapat perbedaan mazhab. Menurut
Abu Hanifah dan para sahabatnya, bahwa orang hamil dan menyusui wajib mengqada saja, dan tidak perlu
membayar fidyah. Menurut Imam Syafii, bahwa orang hamil dan menyusui itu keduanya harus mengqada
dan juga membayar fidyah.

E. Hikmah adanya Perbedaan Mazhab dalam Fiqih


1. Perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah yang ada dalam fiqih harus disikapi dengan arif dan
bijaksana. Kita tidak boleh bersikap apriori dengan langsung menyalah-kan satu pendapat dan
membenarkan pendapat lainnya. Sikap apriori yang semacam ini dapat memicu terjadinya perpecahan di
kalangan umat. Masalah yang biasanya menimbulkan perbedaan pendapat dalam fiqih adalah masalah
furuiyah (cabang), bukan masalah pokok.
2. Munculnya mazhab-mazhab dalam fiqih islam memberikan warna baru bagi lahirnya hukum-hukum Islam
dalam menyelesaikan persoalan hidup yang semakin kompleks.
3. Meninggalkan fanatisme individu, mazhab dan golongan merupakan suatu yang patut di
pertimbangkan dalam menciptakan kerukunan dalam masyarakat dan senantiasa berprasangka baik
serta tidak saling mencela.
4. Produk ijtihad ulama banyak dipengaruhi oleh kapasitas intektual dalam memaknai teks nash dan
wawasan analisis terhadap kebudayaan disatu kawasan.
5. Perbedaan hasil ijtihad yang dilakukan oleh masing-masing mujtahid hendaknya diapresiasi sebagai usaha
maksimal untuk memberi solusi terhadap masalah yang berkembang. Oleh karenaya, perbedaan itu harus
diterima sebagai rahmat atas karunia Allah yang telah menganugerahkan akal terhadap manusia.

102
SKL FIKIH 15

PERSOALAN PENGEMBANGAN
HUKUM ISLAM

TADARUS
QS Ali Imran: 190-191




190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-
tanda bagi orang-orang yang berakal, 191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari
siksa neraka.

A. Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad
a. Menurut Bahasa
Menurut bahasa, ijtihad (Arab ; )berartikemampuan, potensi, dan kapasitas. Juga dapat berarti
mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban. Secara kebahasaan ijtihad dapat diartikan
sebagai mengeluarkan segala kemampuan dalam menggapai sesuatu.
b. Menurut Istilah
Menurut Al Amidi ijtihad adalah :


Pengerahan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang zhoni dari hukum-hukum syara.
Menurut Abu Zahrah ijtihad adalah :


Upaya seseorang ahli fiqih dengan kemamapuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amalaiah
yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
Adapun pengertian ijtihad menurut istilah hukum Islam ialah mencurahkan tenaga (memeras fikiran)
untuk menemukan hukum agamamelalui salah satu dalil syara dengan cara-cara tertentu.
2. Dasar-dasar Ijtihad
a. Al Quran





Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An Nisa: 59)



Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir. (QS Ar Rum: 21)





103
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu
tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan
jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-
tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. (QS Az Zumar: 42)
b. Hadis





"Dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya Rasulullah SAW., ketika mengutusnya ke Yaman Bersabda:
"bagaimana kamu menetapkan hukum jika diajukan kepadamu sesuatu yang harus diputuskan, Muadz
menjawab saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah, Rasulullah berkata:"jika kamu tidak
menemukan dalam kitab Allah ? Muadz menjawab: "saya akan memutus berdasarkan sunnah
Rasulullah. Rasululloh berkata: "jika kamu tidak menemukan dalam sunnah Rasulullah, Muadz
menjawab saya akan berijtihad dengan pendapatku dan dengan seluruh kemampuanku. Maka
Rasulullah merasa lega dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan
Rasulullah (Muadz) dalam hal yang diridhai oleh Rasulullah. (HR Abu Dawud).




Apabila seorang hakim memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya itu benar,
maka baginya mendapat dua pahala. Dan apabila ia memutuskan suatu perkara, lalu ia berijtihad
kemudian ternyata ijtihadnya keliru, maka ia mendapat satu pahala. (HR. Bukhari dan Muslim).

3. Obyek Ijtihad
Objek ijtihad adalah hukum syara yang bersifat amaliyah yang tidak ditemukan hukum/nash qath'i (Al
Quran dan hadis) di dalamnya. Terlepas masalah itu bersifat ubudiyah dan furuiyyah selagi tidak adanya
hukum/nash qath'i dilalah (yang benar-benar menunjukkan pada status dalam syara) maka itu adalah
obyek seorang mujtahid dengan berbagai penguasaan disiplin ilmu guna menghasilkan produk ijtihad
yang diharapkan benar sesuai dengan Syariat.

4. Syarat-syarat Ijtihad
Syarat-syarat mujtahid menurut Abu Zahrah sebagai berikut:
a. Mengetahui makna ayat-ayat hukum yang terdapat didalam Al Quran baik secara bahasa maupun
secara istilah.
b. Mengetahui makna hadis-hadis hukum secara bahasa maupun istilah.
c. Mengetahui nasikh-mansukh baik dari Al Quran maupun sunnah.
d. Mengetahui ijma sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijma terdahulu.
e. Mengetahui qiyas dan syarat-syarat yang disepakati karena qiyas merupakan salah satu metode ijtihad,
rincian hukum banyak dijelaskan dengan cara tersebut.
f. Mengetahui ilmu bahasa Arab, seperti nahwu, sharaf, maani, dan bayan, karena Al Quran dan sunnah
disusun dalam bahasa Arab.
g. Mengetahui ilmu ushul fiqh karena didalamnya dibahas dasar-dasar dan rukun-rukun ijtihad.
h. Mengetahui rahasia-rahasia hukum dari makna-makna lafal.

5. Tingkatan Mujtahid
a.Mujtahid mutlaq atau mujtahid mustaqil yaitu mujtahid yang mempunyai pengetahuan lengkap untuk
beristinbath dengan Al Qurandan hadis dengan menggunakan kaidah mereka sendiri dan diakui
kekuatannya oleh tokoh agama yang lain. Para mujtahid ini yang paling terkenal adalah imam madzhab
empat.
b.Mujtahid muntasib yaitu mujtahid yang terkait oleh imamnya seperti keterkaitan murid dan guru mereka
adalah imam Abu Yusuf, Zarf bin Huzail yang merupakan murid imam Abu Hanifah.
c. Mujtahid fil madzhab yaitu para ahli yang mengikuti para imamnya baik dalam usul maupun dalam furu'
misalnya imam Al Muzani adalah mujtahid dari madzhab Syafii
d.Mujtahid tarjih yaitu mujtahid yang mampu menilai memilih pendapat sebagian imam untuk
menentukan mana yang lebih kuat dalilnya atau mana yang sesuai dengan situasi kondisi yang ada
tanpa menyimpang dari hukum/nash-hukum/nash qot'i dan tujuan syariat, misalnya Abu Ishaq Al
syirazi, imam Ghazali.

104
6. Macam-macam Ijtihad
a. Ijma
Ijma menurut bahasa arab berarti kesepakatan atau sependapat dengan suatu hal, menurut istilah
ijma adalah kesepakatan mujtahid tentang hukum syara dari suatu peristiwa setelah Rasul wafat.
Sebagai contoh adalah setelah Rasulullah SAW meninggal diperlukan pengangkatan pengganti beliau
yang disebut dengan khalifah. maka kaum muslimin pada waktu itu sepakat mengangkat Abu Bakar
sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada mulanya ada yang tidak setuju dengan pengangkatan beliau,
namun pada akhirnya semua kaum muslimin menyetujuinya.
b. Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan,membandingkan atau mengukur seperti menyamakan si A
dengan si B karena keduanya memiliki tinggi yang sama, wajah yang sama dan berat yang sama. Secara
istilah qias adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar
hukum/nashnya dengan cara membandingkan dengan suatu kejadian yang telah ditetapakan
hukumnya berdasarkan hukum/ nash karena ada persamaan illat/ sifat diantara kejadian atau
peristiwa itu. Contoh narkotika di Qiaskan dengan meminum khamar karena persamaan illat yakni
memabukkan.
c. Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik, menurut istilah istihsan
adalah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan
berdasarkan dalil syara menuju hukum lain dari peristiwa itu juga. karena ada suatu dalil syara yang
mengharuskan untuk meninggalkanya.
Contoh: Syara melarang jual beli benda yang ada atau mengadakan akad pada sesuatu yang tidak ada.
Namun ia memberi kemurahan secara istihsan pada pemesanan, sewa menyewa, muzaraah,
mukhobaroh dan lain-lain. Semuanya itu adalah akad sedangkan sesuatu yang diakadkan tidak ada
pada waktu akad berlangsung. Segi istihsanya adalah kebutuhan manusia dan kebiasaan mereka.
d. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan dimana syara tidak mensyariatkan sutau hukum untuk
merealisir kemaslahatan itu dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuanya atau
pembatalanya.
Contoh kemaslahatan yang karenanya para sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, pencetakan
mata uang, penetapan tanah pertanian, memungutan pajak dan lain-lain.
e. Urf
Urf menurut bahasa adalah kebiasaan sedangkan menurut istilah sesuatu yang telah dikenal orang
banyak dan menjadi tradisi mereka dan tentunya tradisi disini adalah kebiasaan yang tidak dilarang.
Contoh : saling pengertian manusia terhadap jual beli dengan cara saling memberikan tanpa adanya
ucapan/shighat tertentu, halal bi halal dan sebagainya.
f. Istishab
Istishab menurut bahasa adalah pengakuan adanya perhubungan. secara istilah adalah menetapkan
hukum terhadap sesuatu berdasar keadaan sebelumnya sehingga ada dalil yang menyebutkan atas
perubahan keadaan tersebut.
Contoh : Apabila seorang mujtahid ditanyai tentang hukum sebuah perjanjian dan ia tidak menemukan
jawaban di hukum/nash dan tidak pula menemukan dalil syara yang membicarakan hukumnya maka ia
memutuskan dengan kebolehan perjanjian tersebut berdasar kaidah : inna al ashla fi syaiin al ibahah.
7. Fungsi Ijtihad
Sebagai salah satu alat penentu hukum segala persoalan baru karena adanya perubahan yang terus
bergulir, sebagai sumber modernisasi hukum dalam Islam sebagai perwujudan Islam Rahmatan lil 'alamin,
sebagai salah satu sistem berfikir ilmiah yang Islami, sebagai salah satu penopang budi daya kreativitas
manusia.
Seperti itulah fungsi ijtihad sebagai salah satu alat penggerak, sebab tanpa ijtihad sumber hukum Islam
akan menjadi stagnan dan statis. Maka dengan menempatkan ijtihad pada posisi yang sebenarnya, hukum
Islam akan tetap memancarkan sinar kemanfaatannya yang tak akan bisa ditemui pada aturan hukum
keagamaan lainnya.
8. Tujuan Ijtihad
a. Agar dalam mengembangkan operasionalisasi ajaran Islam sesuai dengan dasar asasinya. Khususnya
hal-hal yang berkaitan dengan hukum yang belum ditemukan secara pasti dari dzahir ayat Al Quran
atau hadis Nabi Muhammad SAW.
b. Agar dapat mengistinbathkan hukum-hukum secara baik dan benar sesuai dengan yang dikehendaki
oleh Syarii itu sendiri.

105
c. Agar hukum-hukum hasil istinbath itu tidak bersifat statis sehingga hasilnya selalu aktual dan dapat
diamalkan sesuai dengan perkembangan zaman yang selalu menuntutnya.
9. Perkembangan Ijtihad
Ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak awal Islam, yaitu pada masa shahabat dan perkembangnannya
bertambah pesat pada masa tabiin serta generasi selanjutnya hingga kini. Dalam perjalanan yang panjang
tersebut, tentu perkembangannya mengalami pasang-surut dengan ciri khas masing-masing pada setiap
periode.
a. Ijtihad pada Periode Sahabat
Ijtihad pada periode klasik ini dimulai pada akhir periode sahabat (101 H) dan awal dari periode
tabiin dan tabiit tabiin (abad 11 H - pertengahan abad IV H). Mayoritas ulama berpendapat bahwa
para shahabat telah melakukan ijtihad pada waktu Rasulullah hidup. Walaupun, nantinya ijtihad
sahabat tersebut harus mendapatkan legitimasi dari Rasulullah.
Seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khattab dan Ammar ketika berhadas besar dalam suatu
perjalanan. Keduanya tidak menemukan air, sementara waktu shalat sudah tiba. Lalu, Ammar
melumuri badannya dengan tanah sebagai ganti air untuk menghilangkan hadas besar. Adapun Umar
bin Khatab ia menunda shalatnya sampai ia memperoleh air karena menurutnya tayamum hanya
digunakan untuk menghilangkan hadas kecil.
Ketika kedua shahabat ini melaporkan apa yang telah mereka lakukan, Rasulullah mengatakan bahwa
kedua pendapat itu adalah keliru. Pendapat Ammar bertentangan dengan cara penggunaan tanah
(tayamum) yang disebutkan dalam QS Al Maidah: 6.







.Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali
dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah
itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Rasulullah menjelaskan kepada Umar bin Khattab bahwa tayamum tidak hanya digunakan untuk
menghilangkan hadas kecil, tetapi juga dapat digunakan untuk menghilangkan hadas besar, sesuai
dengan ayat di atas.
b. Ijtihad pada periode tabiin dan tabiit tabiin (imam-imam madzhab)
Periode ini terjadi kurang lebih pada abad II H hingga pertengahan abad IV H. Setelah berakhir masa
shahabat, muncul masa tabiin. Generasi tabiin ini terdiri atas murid-murid para shahabat. Mereka
mendasarkan pendapat mereka kepada pendapat para sahabat. Secara garis besar, para tabiin
melakukan ijtihad dengan dua cara:
1) Mengikuti sahabat tertentu
Mereka mengutamakan pendapat seorang sahabat dari pendapat shahabat yang lain, bahkan
kadang mengutamakan pendapat seorang tabiin dari pendapat seorang sahabat. Hal itu jika
pendapat yang diutamakannya itu menurut ijtihadnya lebih dekat dengan Al Quran dan sunnah.
2) Mereka sendiri berijtihad.
Menurut Ahmad Hasan bahwa pembentukan hukum Islam sesungguhnya secara professional
dimulai pada periode tabiin ini.
Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin meningkat. Para sejarawan bahkan
menyebutnya dengan periode ijtihad dan masa keemasan fikih Islam. Setiap kota memiliki mujtahid
yang menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah yang
bersangkutan. Di Mekkah muncul tokoh seperti Atha ibnu Abi Rabah, di Madinah muncul Said bin
Musayyab, Urwah bin Zubair, di Bashrah muncul Muslim bin Yasar, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain.
Pada periode ini ulama dalam menetapkan hukum terbagi dalam dua golongan:
1) Ahlul Hadis
Golongan ini berkembang di Hijaz. Dalam menetapkan hukum golongan ini pertama-tama sangat
terikat kepada teks-teks Al Quran dan sunnah. Jika dalam menetapkan suatu masalah tidak
terdapat dalil dalam keduanya, mereka berpaling kepada praktik dan pendapat shahabat. Mereka
menggunakan rayu hanya dalam keadaaan sangat terpaksa. Namun jika tidak didapatkan dalil dari
ketiganya, mereka sepakat untuk menggunakan ijtihad dengan metode dan proporsi yang berbeda.

106
Tokoh-tokoh golongan ini yang terkenal ialah Said bin Musayyab kemudian diikuti oleh Al Zuhry, Al
Tausry, Imam Malik, Imam Syafii, Ahmad bin Hambal, dan Dawud Al Zhawahiry.
2) Ahlul Rayi
Golongan ini berkembang di Kufah (Irak). Dalam menetapkan hukum, madzhab ini berlandaskan
pada beberapa asumsi dasar, antara lain:
a) Hukum/nash-hukum/nash syariah sifatnya terbatas, sedangkan peristiwa-peristiwa hukum
selalu baru dan senantiasa berkembang. Oleh karena itu, terhadap peristiwa-peristiwa yang
tidak ada hukum/nashnya, ijtihad didasarkan kepada rayu, sebagaimana ucapan Muadz bin
Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman.
b) Setiap hukum syara dikaitkan dengan illat tertentu dan ditujukan untuk tujuan tertentu. Tugas
utama seorang faqih ialah menemukan illat ini. Oleh karena itu, ijtihad merupakan upaya
menghubungkan suatu kasus dengan kasus lain karena illlatnya, atau membatalkan berlakunya
satu hukum karena diduga tidak ada illatnya.
Dalam periode ini pula tampil tokoh-tokoh mujtahid yang paling berpengaruh dalam
perkembangan fikih selanjutnya. Mereka yang dikenal sebagai pendiri dan imam-imam madzhab
ialah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafii, dan Imam Ahmad. Keempat tokoh
tersebut dikenal dengan sebutan Aimmah Al Arbaah (para imam yang empat).
3) Ijtihad pada generasi setelah para Imam Madzhab
Periode ini terjadi pada pertengahan abad IV H- akhir abad XIII H. Pada periode ini ijtihad mengalami
kemunduran, bahkan bisa dikatakan menjadi beku. Dalam memecahkan masalah-masalah
ijtihadiyah, umumnya para mujtahid enggan mengistinbath hukum dengan secara langsung merujuk
kepada Al Quran dan sunnah melalui metode ijtihad seperti yang dilakukan oleh mujtahid
pendahulu mereka. Mereka lebih cenderung untuk mencari dan menerapkan produk-produk ijtihad
para mujtahid sebelumnya.

B. Taarudl Al Adillah
1. Pengertian Taarudl Al Adillah
a. Pengertian Bahasa
Taarrud al adilah ditinjau dari aspek etimologi, tarud ( ) berarti pertentangan dan adillah ( )

adalah jama dari dalil ( ) yang berarti alasan, argumen,dan dalil. Persoalan tarud aladillah
dibahas para ulama dalam ilmu ushul fiqh,ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu
dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama.
b. Pengertian Istilah
1) Menurut Imam SyaukaniTaarrud al adilahadalah suatu dalil yang menentukan hukum tertentu
terhadap satu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum
tersebut.
2) Menurut Kamal ibnu Humam (790-861 H/1387-1456 M) dan Al Taftahzani (w. 792 H), keduanya
ahli fiqih Hanafi, Taarrud al adilah adalah pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan
pengompromian antara keduanya.
3) Menurut Ali Hasaballah (ahli ushul fiqih kontemporer dari Mesir) Taarrud al adilah adalah
terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil
lainnya,yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.
4) Menurut Wahbah Az Zuhaili, Taarrud al adilah adalah pertentangan antara kedua dalil atau hukum
itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan pemahaman, analisis dan
kekuatan logikanya bukan pertentangan actual,karena tidak mungkin terjadi bila Allah dan Rasul
Nya menurunkan aturan-aturan yang saling bertentangan.
Oleh sebab itu,menurut Imam Al Syatibi, pertentangan itu bersifat semu, bisa terjadi dalam dalil yang
qathi (pasti benar) dan dalil yang dhanni (relative benar) selama kedua dalil itu satu derajat. Apabila
pertentangan itu antara kualitas dalil yang berbeda,seperti pertentangan dalil yang qathi dengan dalil
yang zhanni,maka yang diambil adalah dalil yang qathi atau apabila yang bertentangan itu adalah ayat
Al Quran dengan hadis Ahad (hadis yang diriwayatkan oleh satu,dua atau tiga orang atau lebih yang
tidak sampai tingkat mutawatir) maka dalil yang diambil adalah Al Quran karena dari segi
periwayatannya ayat-ayat Al Quran bersifat qathi, sedangkan Hadis Ahad bersifat dzhany.
2. Metode Penyelesaian Taarudl Al Adillah
a. Al Jamu wa Al Taufiq
Al Jamu wa Al Taufiq yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian
mengompromikannya. Hasil kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya, karena kaidah fiqih
mengatakan: mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang
lain.
107
Menurut ulama Syafiiyah, Malikiyah dan Zhahiriyah menyatakan bahwa metode pertama yang harus
ditempuh adalah mengumpulkan dan mengompromikan kedua dalil tersebut sekalipun dari satu sisi
saja. Alasan mereka adalah kaidah fiqih yang dikemukakan oleh Hanafiyah yakni mengamalkan kedua
dalil itu lebih baik daripada meninggalkan salah satu di antaranya.Mengamalkan kedua dalil sekalipun
dari satu segi menurut mereka dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1) Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bisa dibagi, maka lakukan cara pembagian yang
sebaik-baiknya. Apabila dua orang saling menyatakan bahwa rumah A adalah miliknya, maka kedua
pernyataan itu jelas bertentangan dan sulit diselesaikan, karena pemilikan terhadap sesuatu
bersifat menyeluruh. Akan tetapi,bila barang yang dipersengketakan adalah barang yang bisa
dibagi, maka penyelesaiannya adalah dengan membagi dua rumah tersebut.
2) Apabila hukum yang bertentangan itu sesuatu yang terbilang, seperti sabda Nabi yang menyatakan:
( )
Tidak dinamakan shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid.
Dalam hadis ini ada kata yang dalam ushul fiqh mempunyai pengertian banyak yaitu bisa
berarti tidak sah juga bisa berarti tidak sempurna, dan juga bisa berarti tidak utama.Oleh sebab itu
mujtahid boleh memilih salah satu pengertian mana saja asalkan didukung oleh dalil lain.
3) Apabila hukum tersebut bersifat umum dan mengandung beberapa hukum, seperti kasus iddah
bagi wanita hamil atau kasus persaksian. QS Al Baqarah: 234 bersifat umum dan QS At Thalaq: 4
bersifat khusus,maka dari satu sisi iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan
kandungan surat At Thalaq ayat 4.
b. Tarjih
Tarjih adalah menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni untuk dapat diamalkan. Dua dalil yang
bertentangan dan akan ditarjih salah satunya itu adalah sama-sama qathi atau dzhanni.
Tarjih dilakukan dengan pengompromian kedua dalil itu tidak bisa dilakukan, maka mujtahid boleh
menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya. Tata cara tarjih yang dikemukakan
para ahli ushul fiqh bisa ditempuh dengan berbagai cara, umpamanya dengan menarjih yang
perawinya sedikit, bisa juga melalui penarjihan sanad, bisa melalui penarjihan dari sisi matan (lafal
hadis) atau ditarjih berdasarkan indikasi lain diluar hukum/nash.
c. Nasakh
Membatalkan suatu hukum dengan dalil yang akan datang kemudian. Adapun yang dibatalkan disebut
mansukh, sedang yang membatalkan disebut nasikh. Baik menurut akal maupun riwayat, nasakh dapat
terjadi. Pendapat ini sudah disepakati ulama ushul kecuali nasakh terhadap hukum/nash-hukum/nash
(ayat) Al Quran.
Apabila dengan cara tarjih,kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan,maka cara ketiga yang ditempuh
adalah dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandunng kedua dalil tersebut dengan syarat
harus diketahui mana dalil yang pertama kali datang dan mana yang datang kemudian. Dalil yang
datang kemudian inilah yang diambil dan diamalkan,seperti sabda Rasulullah SAW: Dahulu saya
melarang kamu untuk menziarahi kubur,tetapi sekarang ziarahilah.
Dalam hadis ini mudah sekali dilacak mana hukum yang pertama dan mana yang terakhir. Hukum
pertama adalah tidak boleh menziarahi kubur,hukum yang kedua adalah diperbolehkan menziarahi
kubur,karena tidak ada lagi illat larangan dari Nabi SAW.
d. Tasaqut Al Dalilain
Tasaqut Al Dalilain yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan tersebut, dalam arti ia merujuk
dalil yang tingkatannya dibawah derajat dalil yang bertentangan tersebut.
Apabila cara yang ketiga yaitu nasakh pun tidak bisa ditempuh,maka mujtahid boleh meninggalkan
kedua dalil itu dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang
bertentangan.
Contoh dalil yang berlawanan, orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.


Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri (hendaklah para
istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. (QS Al Baqarah:234)
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa setiap wanita yang ditinggalkan suaminya, iddahnya 4 bulan 10
hari, baik wanita itu hamil ataupun tidak hamil.Namun kalau dilihat dalam firman Allah pada lain:

108
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. (QS At Thalaq: 4)
Ayat ini memberikan petunjuk setiap perempuan yang hamil yang suaminya meninggal atau diceraikan
suaminya, sedangkan mereka dalam keadaan hamil maka iddahnya sampai melahirkan. Kalau dilihat
sepintas, dalam ayat pertama diterangkan bahwa iddah perempuan yang hamil yang ditinggalkan
suaminya meninggal adalah 4 bulan 10 hari dan menurut ayat yang kedua iddahnya sampai
melahirkan, maka nampak kedua hukum/nash ini berlawanan kalau diterangkan pada kasus yang
sama,inilah yang dinamakan taarud.
e. Tawaquf
Tawaquf artinya membiarkan menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil menunggu
kemungkinan adanya penguat atau petunjuk lain yang memperkuat dalil tersebut.

C. Tarjih
1. Pengertian
Tarjih menurut bahasa berarti membuat sesuatu cenderung atau mengalahkan.
Dalam pengertian istilah ada beberapa pendapat diantaranya :
a. Menurut ulama ushul fiqh
Tarjih adalah memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama
(sederajat) dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri.
b. Menurut Al Baidawi, ahli ushul fiqih dari kalangan Syafiiyah
Tarjih adalah menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni untuk dapat diamalkan, dimana dua dalil
yang bertentangan dan akan ditarjih salah satunya itu adalah sama-sama zhanni.
c. Menurut ulama dikalangan madzhab Hanafiah
Tarjih adalah upaya mencari keunggulan salah satu dari dua dalil yang sama atas yang lain, dimana dua
dalil yang bertentangan yang akan di-tarjih salah satunya itu bisa sama-sama qathi, atau sama-sama
zhanni.
d. Menurut jumhur ulama
Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk di amalkan (diterapkan)
berdasarkan dalil tersebut.
Dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa tarjih adalah memilih salah satu dari dua dalil untuk
dijadikan dasar pelaksanaan suatu ibadah.
2. Cara menarjih hukum islam
Ali ibn Saifudin Al Amidi, ahli ushul fiqh dari kalangan Syafiiyah menjelaskan secara rinci tentang
metode tarjih. Metode tarjih yang berhubungan dengan pertentangan antara dua hukum/nash atau lebih
antara lain:
a. Tarjih dari segi sanad. Tarjih dari sisi ini mungkin dilakukan antara lain dengan meneliti rawi yang
menurut jumhur ulama Ushul Fiqh, hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih banyak jumlahnya,
diutamakan daripada hadis yang lebih sedikit.
b. Tarjih dari segi matan yang mungkin dilakukan dengan beberapa bentuk yakni bilamana terjadi
pertentangan antara dua dalil tentang hukum suatu masalah, maka dalil yang melarang didahulukan
atas dalil yang membolehkan.
c. Tarjih dari segi adanya faktor luar yang mendukung salah satu dari dua dalil yang bertentangan. Dalil
yang didukung oleh dalil yang lain termasuk dalil yang merupakan hasil ijtihad, didahulukan atas dalil
yang tidak mendapat dukungan.
Berikut diketengahkan contoh metode tarjih yang dilakukan oleh Lajnah Tarjih PP Muhammadiyah
berkaitan dengan masalah bacaan Al Fatihah ketika shalat berjamaah. Secara lengkap kutipan tersebut
adalah :
Mengenai bacaan Al Fatihah bagi makmum dalam shalat berjamaah. Sebagaimana diterangkan oleh Ibn
Rusyd dalam Bidayat-ul Mujtahid, bahwa ulama telah sepakat, di mana Imam Malik tidak menanggung
makmum mengenai fardlu shalat, kecuali bacaan Al Fatihah. Mengenai bacaan Al Fatihah bagi
makmum para ulama telah berbeda pendapat. Imam Malik berpendapat bahwa makmum dalam
shalat sirri membaca Al Fatihah bersama-sama imam, dan tidak membacanya dalam shalat jahar.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bacaan Al Fatihah gugur pada pihak makmum, baik pada
shalat sirri maupun pada shalat jahar. Sedangkan Imam Syafii berpendapat bahwa makmum wajib
membaca Al Fatihah saja dalam shalat jahriyah, dan membaca Al Fatihah beserta surah apabila
shalat sirriyah. Imam Ahmad ibn Hanbal mewajibkan membaca Al Fatihah waktu tidak terdengarnya
bacaan imam, baik karena bacaannya sirr atau karena jauhnya, dan melarang membacanya waktu
didengarnya bacaan imam.
Sehubungan dengan masalah ini, Lajnah Tarjih PP Muhammadiyah telah mengambil keputusan dengan
ciri khas sebagaimana disebutkan di atas, sebagai berikut:Hendaklah kamu memperhatikan dengan

109
tenang bacaan Imam apabila keras bacaannya, maka janganlah kamu membaca sesuatu selain surat Al
Fatihah.
Dari keputusan tersebut mengandung pengertian bahwa makmum diharuskan membaca Al Fatihah
pada shalat jaharmaupun dalam shalat sirri. Melihat putusan Lajnah Tarjih ini, ternyata pendapatnya
sama dengan Imam Syafii. Adapun dalil yang digunakannya sebagai berikut:

): . .
: . . : .(
) : . : .
:. : .(
.
Mengingat hadis Ubadah ibn Shamit bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Tiada sah shalat orang yang
tak membaca permulaan Kitab (Al Fatihah). (HR Bukhari dan Muslim). Dan ada lagi hadis Ubadah dari
riwayat Ahmad, Ad Daruquthni dan Al Baihaqi, katanya: Rasulullah SAWshalat shubuh, maka beliau
mendengar orang-orang yang makmum nyaring bacaannya. Setelah selesai beliau menegur: Aku kira
kamu sama membaca di belakang imammu. Kata Ubadah: Kita sama menjawab: Ya Rasulallah, demi
Allah, benar!. Maka sabda beliau: Janganlah kamu mengerjakan demikian, kecuali dengan bacaan Al
Fatihah. Dan mengingat pula hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Annas, yang berkata
bahwa Rasulullah SAW bersabda: Apakah kamu membaca dalam shalatmu di belakang imammu,
padahal imam itu membaca. Janganlah kamu mengerjakannya, hendaklah seseorang membaca Al
Fatihah pada dirinya (dengan suara rendah yang hanya didengar sendiri).

D. Taqlid dan Ittiba


1. Taklid
a. Pengertian
Secara etimologi, kata taqlid berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti bermacam-macam seperti:
mengalungi, meniru atau mengikuti.
Menurut Imam Ghazali

.

Mengamalkan pendapat orang yang pendapatnya itu bukan suatu hujah syariyyah tanpa
adahujjah
Menurut Kamal Ibn Al Hammam : Taqlid ialah beramal berdasarkan pendapat orang lain yang
pendapatnya itu tidak merupakan salah satu dalil yang dibenarkan, dan ini dilakukan tanpa
berdasarkan dalil.Menurut ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan taqlid sebagai penerimaan perkataan
seseorang sedang engkau tidak mengetahuinya dari mana asal perkataan tersebut
b. Kedudukan
1) Taqlid yang wajib
Adalah taqlid terhadap pendapat yang merupakan hujjah seperti ucapan Rasulullah SAW dalam urf
ulama salaf, dinamai ittiba.

2) Taqlid yang haram


Di antara yang disepakati oleh seluruh ulama tentang haramnya taqlid adalah:
a) Tidak memperdulikan ayat Allah, lantaran orang tua (masyarakat)
b) Taqlid terhadap orang yang tidak kita ketahui, apakah orang itu mempunyai keahlian
Sesudah memperoleh hujah dan dalil yang bertentangan pendapat-pendapat orang tersebut. Segala
bentuk taqlid ini, dicela Allah dalam Al Quran.




Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka
menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan)
nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka
itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".(QS Al Baqarah: 170)

3) Taqlid yang dibolehkan

110
Taqlid yang dibolehkan apabila bertaqlid kepada seorang atau beberapa orang mujtahid yang ia
belum ketahuinya hukum Allah dan Rasulnya yang berhubungan dengan persoalan atau peristiwa
dengan syarat bahwa harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu,
dengan kata lain bahwa taqlid ini hanya untuk sementara saja.
Taqlid ini dilakukan selama belum diketahui dalil yang kuat yang dapat dijadikan untuk
memecahkan persoalan itu. Termasuk pula taqlid orang awam kepada ulama yang dipercayainya
selama orang awam itu belum menemukan alasan dari pendapat ulama yang diikutinya itu.

2. Ittiba
a. Pengertian
Ittiba secara bahasa berarti iqtifa (menelusuri jejak), qudwah (bersuri teladan) dan
uswah (berpanutan). Ittiba terhadap Al Quran berarti menjadikan Al Quran sebagai imam dan
mengamalkan isinya. Ittiba kepada Rasul SAW berarti menjadikan Nabi Muhammad sebagai panutan
yang patut diteladani dan ditelusuri langkahnya. Adapun secara istilah ittiba berarti mengikuti
seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil.
Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin
Hanbal menyatakan bahwa ittibaitu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak
boleh kepada yang lain. Pendapat yang lain membolehkan berittibakepada para ulama yang dapat
dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa. Dengan adanya ittiba diharapkan agar setiap kaum
muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh
keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun .


Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-
pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (QS Al Araf: 3)
b. Kedudukan
Ittiba' mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu pintu
seseorang dapat masuk Islam. Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang
ditempati oleh ittiba', di antaranya adalah:
1) Ittiba' kepada Rasulullah adalah salah satu syarat diterima amal.
Ittiba' dijadikan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai salah satu syarat diterimanya suatu amalan
ibadah.


Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih
baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, (QS Al Mulk: 2)
2) Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya


Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Ali Imran:
31)
3) Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Allah
Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang wali Allah dengan ucapannya: Tidak boleh dikatakan wali Allah
kecuali orang yang beriman kepada Rasulullah dan syari'at yang dibawanya serta ittiba' kepadanya
baik lahir maupun batin. Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah dan mengaku sebagai wali Allah,
tetapi dia tidak ittiba' kepada Rasul-Nya, bererti dia berdusta.


Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati. (QS Yunus: 62)
c. Pandangan Ulama tentang Ittiba
1) Al Imam An Numan bin Tsabit, Abu Hanifah :


Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami sebelum dia mengetahui dari mana
kami mengambilnya

2) Imam Muhammad bin Idris Asy Syafii :

111


Kaum muslimin telah bersepakat bahwa barangsiapa yang telah mendapatkan kejelasan baginya
tentang Sunnah Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam, maka tidak halal baginya untuk
meninggalkan sunnah itu karena pendapat seseorang
3) Imam Malik bin Anas :



Aku ini hanyalah manusia yang terkadang salah terkadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku,
setiap pendapat yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, maka ambillah. Dan yang
tidak sesuai maka tinggalkanlah
4) Imam Ahmad bin Hanbal :


Jangan engkau taqlid kepadaku, dan jangan pula kepada Malik, AsySyafii, AlAuzai, dan AtsTsauri.
Tetapi ambillah darimana mereka mengambil

E. Talfiq
1. Pengertian Talfiq
Talfiq menurut bahasa artinya menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda, Talfiq ialah
mengambil atau megikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai
macam madzhab. Pada dasarnya talfiq dibolehkan oleh agama selama tujuan pelaksanaan talfiq itu semata-
mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar dalam arti setelah meneliti dasar hukum dari
pendapat-pendapat itu.
2. Kedudukan Talfiq dalam fikih
a. Apabila seseorang telah mengikuti salah satu madzhab maka ia harus terikat dengan madzhab
tersebut. Baginya tidak boleh pindah ke madzhab lain baik secara keseluruhan maupun sebagian
(talfiq). Pendapat ini tidak membenarkan talfiq dan dipelopoti oleh Imam Qaffal.
b. Seorang yang telah memilih salah satu madzhab boleh saja pindah ke madzhab lain, walaupun dengan
motivasi mencari kemudahan, selama tidak terjadi dalam kasus hukum (dalam kesatuan qadliyah)
dimana imam yang pertama dan imam yang kedua atau imam yang sekarang diikuti sama-sama
menganggap batal.
Pendapat kedua ini membenarkan talfiq sekalipun dimaksudkan untuk mencari kemudahan, dengan
ketentuan tidak terjadi dalam kesatuan qadliyah yang menurut imam pertama dan imam kedua sama-
sama dianggap batal. Golongan ini dipelopori oleh Al Qarafi.
c. Tidak ada larangan bagi seseorang untuk berpindah madzhab, sekalipun dimaksudkan untuk mencari
keringanan. Pendapat ini memperbolehkan talfiq sekalipun dimaksudkan untuk tujuan mencari
keringanan tersebut. Pendapat ketiga ini dipelopori oleh Al Kamal Ibnu Hammam.
3. Contoh Talfiq
Seseorang berwudu menurut madzhab Syafii yang menyapu kurang dari seperempat kepala, kemudian ia
bersentuhan kulit dengan lawan jenis, ia terus bershalat dengan mengikuti madzhab Hanafi yang
mengatakan bahwa sentuhan tersebut tidak membatalkan wudu. Seseorang berwudu mengikuti tata cara
Syafii, kemudia ia bershalat dengan menghadap kiblat dengan posisi sebagaimana ditentukan oleh
madzhab Hanafi.

112

Anda mungkin juga menyukai