Evi Oktaviana
Program Studi Pskologi Islam - Fakultas Ushuluddin
Institut Agma Islam Negeri Kediri
(evioktaviana50@gmail.com)
ABSTRAK
Ilmu pengetahuan dan tekhnologi (iptek) yang semula diharapkan menjadi
problem solving kehidupan, justru disinyalir tanpa menapikan sisi manfaatnya
telah berubah menjadi pembawa malapetaka besar dalam sejarah kemanusiaan,
yang meliputi bidang sosial, fisikal hingga spritual. Dalam mengatasi masalah
yang membelenggu masyarakat modern ini, maka salah satu solusinya adalah
kembali kepada agama dengan membumikan nilai-nilai spritual ke dalam
kehidupan. Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan
dimensi atau aspek spritual dalam Islam. Melalui tasawuf ini seseorang
disadarkan bahwa sumber segala yang ada ini berasal dari Tuhan, bahwa dalam
faham wahdatul wujud, alam dan manusia yang menjadi objek ilmu pengetahuan
ini sebenarnya adalah bayang- bayang atau foto copy Tuhan. Dengan cara
demikian antara satu ilmu dengan ilmu lainnya akan saling mengarah pada
Tuhan.
Kata Kunci: Tasawuf, Ilmu Pengetahuan
ABSTRACT
Science and technology (science and technology), which were originally expected
to be problem solving in life, are presumably without showing their benefits have
turned into major calamities in human history, covering the social, physical to
spiritual fields. In overcoming the problem that shackles modern society, one
solution is to return to religion by burying spiritual values into life. Sufism is a
branch of Islamic science that emphasizes the spiritual dimension or aspect of
Islam. Through this Sufism one is made aware that the source of everything that
exists comes from God, that in the Wahdatul understanding of existence, nature
and humans who are the objects of this knowledge are actually shadows or
photocopies of God. In this way, from one knowledge to another will lead to each
other towards God.
Keywords: Tasawuf, Sciene
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan tidak pernah putus dari kepentingan manusia sebagai
bekal dan alat untuk mempermudah melanjutkan kehidupannya sebagai khalifah
di muka bumi ini. Ilmu yang fungsinya dapat memberikan kedamaian dan
kebahagiaan bagi umat manusia harus memiliki tuntunan agar tujuan diciptakan
ilmu itu jelas untuk kemaslahatan manusia. Ilmu yang tidak memiliki tuntunan
dan diciptakan untuk maksud yang tidak baik maka ilmu itu dapat memberikan
kesengsaraan, bukannya kebahagiaan. Dewasa ini, perkembangan ilmu itu
dikendalikan oleh kemauan bebas manusia sendiri, selama itu pula mereka
diliputi oleh rasa takut, resah dan cemas dalam mengarungi hari-hari mereka dan
dalam menatap masa depan.
Dalam hal ini tasawuf berorientasi untuk membersihkan jiwa manusia
dari keserakahan hawa nafsu merupakan alternative yang dapat dijadikan solusi
krisis dunia modern. Yang mana walaupun manusia sangat berhasil dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan namun kemanfaatannya itu hanya bisa
dirasakan secara lahiriah dan belum menyentuh secara batiniyah. Maka di sinilah
letak eksistensi tasawuf terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka mengisi
kekosongan secara batiniyaH. Disinilah aspek penting Tasawuf sebagai salah satu
pilar utama epistemology dalam Islam. Hal yang penting untuk dikaji sebagai
sebuah modus alternatif di zaman modern saat ini, dimana kebanyakan manusia
didominasi oleh hegemoni paradigm ilmu pengetahuan positivistic-empirisme
dan budaya Barat yang materialistic-sekularistik.
PEMBAHASAN
Hakikat Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan mulai dibutuhkan manusia sejak manusia itu
menerima tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Hal ini terbukti
dalam ayat Al-Qur’an, ketika Allah menciptakan Nabi Adam As kemudian Allah
ajarkan seluruh nama-nama kepada Nabi Adam As. Menurut Quraish Shihab,
kata ilmu dalam berbagai bentuk terdapat 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini
digunakan dalam proses pencapaian tujuan. Ilmu dari segi bahasa berarti
kejelasan. Jadi, ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang jelas tentang
sesuatu.[1] Pengetahuan yang jelas di sisni maksudnya adalah pengetahuan yang
telah disusun secara sistematis berdasar logika, menggunakan metode tertentu
dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Berdasarkan sejarah ilmu pengetahuan pada masyarakat Barat, zaman
Yunani kuno memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan yang dapat dilihat dari hasil-hasil penemuan yang sangat
spektakuler sehingga menyebabkan kemajuan pesat ilmu pengetahuan Barat
seperti yang kita lihat sekarang ini. Pengaruh besar yang diwariskan dari zaman
Yunani kuno adalah cara berfikir filsafat, di mana filsafat merupakan induk dari
suatu ilmu (mother of knowledge) yang melahirkan suatu disiplin ilmu.
Setiap jenis pengetahuan mempunyai pengetahuan yang spesifik
mengenai apa (ontology), bagaimana (epistemology), dan untuk apa (aksiologi)
pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan antara yang
satu dengan yang lainnya.[2] artinya ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang
memiliki kejelasan, disusun secara sistematis dan bertujuan untuk menjawab
permasalahan kehidupan yang dihadai manusia atau untuk menawarkan
berbagai kemudahan dalam hidup manusia.
Instrument Epistemic Untuk Memperoleh Pengetahuan
Dalam filsafat ilmu, cara mendapatkan ilmu dinamakan epistimologi, dan
landasan epistimologi ilmu disebut metode ilmiah. Metode ilmiah adalah cara
yang dilakukan ilmu dalam menyusun suatu kerangka pengetahuan secara
sistematis dan dapat di uji kebenarannya. Pengetahuan diperoleh melalui dua
cara, yakni:[5]
1. Melalui usaha manusia
Pengetahuan yang diperoleh melalui usaha manusia ada 4 jenisnya yaitu:
a. Pengetahuan empiris yang diperoleh melalui indera
b. Pengetahuan filsafat yang di peroleh melalui indera dan akal
c. Pengetahuan filsafat yang diperoleh melalui akal
d. Pengetahuan intuisi yang diperoleh melalui hati nurani.
2. Melalui pemberian dari Allah
Pengetahuan yang diperoleh melalui pemberian dari Allah ada 3 jenisnya yaitu:
a. Wahyu yang disampaikan kepada para Rasul
b. Ilham yang diterima oleh akal mnusia
c. Hidayah yang ditrima oleh hati nurani manusia.
1
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia: Suatu Pengantar, cet v (Jakarta:
Bumi Aksara, 2010), 24
2
M. Amin Syukur dan Masyaruddin, Intelekualisme Tasawuf, (Semarang: Lembkota, 2002), 82.
3
Al-Ghazali, Rahasia Keajaiban Hati, terj, Immun El Blitary, (Surabaya: al-Ihlas, t.th), 76.
4
Harold H. Titus dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, ter. HM. Rasjidi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984), 237.
yang menurut logika koheren dan konsisten dengan pernyataan-pernyataan lain
yang relevan. Bentuk yang paling sederhana dari teori koherensi memerlukan
konsistensi yang dalam dan formal dalam bentuk sistem yang dipelajari tanpa
ada hubungannya dengan interpretasi dengan dunia luar.Ketiga, pragmatik,
sebuah teori verifikasi yang menyatakan bahwa kebenaran sebuah pengetahuan
berkaitan dengan kemanfaatan (utility), kemungkinan dikerjakan (workability)
atau memberikan akibat yang memuaskan (satisfactory results). Eksponen
penting teori ini, Charles S Pierce (1839-1914 M.), menyatakan bahwa ujian yang
terbaik untuk kebenaran pengetahuan adalah pertanyaan: jika ia benar, apakah
akibatnya pada tindakan kita dalam hidup? Menurut kaum pragmatis, suatu ide
atau pengetahuan dinilai benar apabila ia dapat dilakukan atau mendatangkan
kemanfaatan.
5
Adnin Arnis, “Gagasan Frithjof Schoun Tentang Titik Temu Agama-Agama” dalam Islamia, Tahun
I, No. 3, November 2004, 14.
3. Dimensi Neo-Esoterik, Neo-esoterik ialah epistemologi yang lebih mengarah
kepada yang konstruktif, baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun
sosial. Neo-esoterik diawali dari pembersihan atau tahap persiapan dari batin
(esoterik) kemudian merubah sikap dhzahir (eksoterik). Jadi ada
kesinambungan antara kehidupan rohani manusia dengan kehidupan
jasmaninya, kehidupan pribadi yang baik akan memunculkan sikap sosial yang
baik pula.
Kesimpulan
Ilmu pengetahuan mulai dibutuhkan manusia sejak manusia itu
menerima tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Ilmu dari segi
bahasa berarti kejelasan. Jadi, ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang jelas
tentang sesuatu. Sumber ilmu pengetahuan dalam Islam adalah seluruh firman
Allah yang bersifat qauliyah, yakni mukjizat Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sahih,
juga firman Allah yang bersifat kauniyah, yaitu semua ciptaan-Nya yang diyakini
sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya.
Pada umumnya para sufi berbicara tentang tiga alat (sumber) ilmu
pengetahuan, yaitu indera, akal dan hati (intuisi). Menurut para sufi, indera
terbagi atas indera lahir dan indera batin. Kemudian Akal dipandang sebagai
“mudabbir”(pengelola) yang dapat mengendalikan nafsu-nafsu, sehingga nafsu
tersebut bisa membantu pertumbuhan spiritualitas seseorang. Dan Al-Ghazali
mengumpamakan hati sebagai raja yang memiliki kedudukan tertinggi yang
dapat mengontrol akal dan nafsu. Penyucian jiwa ini merupakan orientasi
daripada tasawuf itu sendiri yang memberihkan jiwa manusia dari keserakahan
hawa nafsu merupakan alternative yang dapat dijadikan sebagai krisis dunia
modern.
Ali Abdul Azim mengatakan, para sufi sepakat bahwa pengetahuan yang
benar di sini akan sempurna dengan jalan penglihatan mata hati (basirah) tang
mendapat ilham dari Tuhan, bukan dengan jalan rasio dan panca indera. Imam
Al- Ghazali di dalam kitabnya Al-Munqiz menjelaskan bagaimana panca indera
dan akal dapat menyesatkan para pencari pengetahuan yang benar (al-ma’rifah);
dan bahwa jalan satu-satunya untuk ma’rifah adalah dengan penglihatan mata
hati yang mendapat sinar dari nur
DAFTAR PUSTAKA
Arnis, Adnin. 2004. Gagasan Frithjof Schoun Tentang Titik Temu Agama-Agama
dalam Islamia. Tahun I. No. 3.
Asmaran As. 2002. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Basri, Hasan dan Beni Ahmad saebani. 2010. Ilmu Pendidikan Islam (jilid II),.
Bandung: Pustaka Setia.
Ghazali, Al. Rahasia Keajaiban Hati, terj, Immun El Blitary, Surabaya: al-Ihlas, t.th
H Harold, Titus dkk. 1984. Persoalan-persoalan Filsafat, ter. HM. Rasjidi. Jakarta:
Bulan Bintang.
Kartanegara, Mulyadhi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga.
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam
Mulia.
Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia: Suatu
Pengantar, cet v Jakarta: Bumi Aksara.
Syukur, M. Amin dan Masyaruddin. 2002..Intelekualisme Tasawuf. Semarang:
Lembkota