Anda di halaman 1dari 14

TASAWUF DAN ILMU PENGETAHUAN

Evi Oktaviana
Program Studi Pskologi Islam - Fakultas Ushuluddin
Institut Agma Islam Negeri Kediri
(evioktaviana50@gmail.com)

ABSTRAK
Ilmu pengetahuan dan tekhnologi (iptek) yang semula diharapkan menjadi
problem solving kehidupan, justru disinyalir tanpa menapikan sisi manfaatnya
telah berubah menjadi pembawa malapetaka besar dalam sejarah kemanusiaan,
yang meliputi bidang sosial, fisikal hingga spritual. Dalam mengatasi masalah
yang membelenggu masyarakat modern ini, maka salah satu solusinya adalah
kembali kepada agama dengan membumikan nilai-nilai spritual ke dalam
kehidupan. Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan
dimensi atau aspek spritual dalam Islam. Melalui tasawuf ini seseorang
disadarkan bahwa sumber segala yang ada ini berasal dari Tuhan, bahwa dalam
faham wahdatul wujud, alam dan manusia yang menjadi objek ilmu pengetahuan
ini sebenarnya adalah bayang- bayang atau foto copy Tuhan. Dengan cara
demikian antara satu ilmu dengan ilmu lainnya akan saling mengarah pada
Tuhan.
Kata Kunci: Tasawuf, Ilmu Pengetahuan

ABSTRACT
Science and technology (science and technology), which were originally expected
to be problem solving in life, are presumably without showing their benefits have
turned into major calamities in human history, covering the social, physical to
spiritual fields. In overcoming the problem that shackles modern society, one
solution is to return to religion by burying spiritual values into life. Sufism is a
branch of Islamic science that emphasizes the spiritual dimension or aspect of
Islam. Through this Sufism one is made aware that the source of everything that
exists comes from God, that in the Wahdatul understanding of existence, nature
and humans who are the objects of this knowledge are actually shadows or
photocopies of God. In this way, from one knowledge to another will lead to each
other towards God.
Keywords: Tasawuf, Sciene

PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan tidak pernah putus dari kepentingan manusia sebagai
bekal dan alat untuk mempermudah melanjutkan kehidupannya sebagai khalifah
di muka bumi ini. Ilmu yang fungsinya dapat memberikan kedamaian dan
kebahagiaan bagi umat manusia harus memiliki tuntunan agar tujuan diciptakan
ilmu itu jelas untuk kemaslahatan manusia. Ilmu yang tidak memiliki tuntunan
dan diciptakan untuk maksud yang tidak baik maka ilmu itu dapat memberikan
kesengsaraan, bukannya kebahagiaan. Dewasa ini, perkembangan ilmu itu
dikendalikan oleh kemauan bebas manusia sendiri, selama itu pula mereka
diliputi oleh rasa takut, resah dan cemas dalam mengarungi hari-hari mereka dan
dalam menatap masa depan.
Dalam hal ini tasawuf berorientasi untuk membersihkan jiwa manusia
dari keserakahan hawa nafsu merupakan alternative yang dapat dijadikan solusi
krisis dunia modern. Yang mana walaupun manusia sangat berhasil dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan namun kemanfaatannya itu hanya bisa
dirasakan secara lahiriah dan belum menyentuh secara batiniyah. Maka di sinilah
letak eksistensi tasawuf terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka mengisi
kekosongan secara batiniyaH. Disinilah aspek penting Tasawuf sebagai salah satu
pilar utama epistemology dalam Islam. Hal yang penting untuk dikaji sebagai
sebuah modus alternatif di zaman modern saat ini, dimana kebanyakan manusia
didominasi oleh hegemoni paradigm ilmu pengetahuan positivistic-empirisme
dan budaya Barat yang materialistic-sekularistik.
PEMBAHASAN
Hakikat Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan mulai dibutuhkan manusia sejak manusia itu
menerima tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Hal ini terbukti
dalam ayat Al-Qur’an, ketika Allah menciptakan Nabi Adam As kemudian Allah
ajarkan seluruh nama-nama kepada Nabi Adam As. Menurut Quraish Shihab,
kata ilmu dalam berbagai bentuk terdapat 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini
digunakan dalam proses pencapaian tujuan. Ilmu dari segi bahasa berarti
kejelasan. Jadi, ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang jelas tentang
sesuatu.[1] Pengetahuan yang jelas di sisni maksudnya adalah pengetahuan yang
telah disusun secara sistematis berdasar logika, menggunakan metode tertentu
dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Berdasarkan sejarah ilmu pengetahuan pada masyarakat Barat, zaman
Yunani kuno memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan yang dapat dilihat dari hasil-hasil penemuan yang sangat
spektakuler sehingga menyebabkan kemajuan pesat ilmu pengetahuan Barat
seperti yang kita lihat sekarang ini. Pengaruh besar yang diwariskan dari zaman
Yunani kuno adalah cara berfikir filsafat, di mana filsafat merupakan induk dari
suatu ilmu (mother of knowledge) yang melahirkan suatu disiplin ilmu.
Setiap jenis pengetahuan mempunyai pengetahuan yang spesifik
mengenai apa (ontology), bagaimana (epistemology), dan untuk apa (aksiologi)
pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan antara yang
satu dengan yang lainnya.[2] artinya ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang
memiliki kejelasan, disusun secara sistematis dan bertujuan untuk menjawab
permasalahan kehidupan yang dihadai manusia atau untuk menawarkan
berbagai kemudahan dalam hidup manusia.
Instrument Epistemic Untuk Memperoleh Pengetahuan
Dalam filsafat ilmu, cara mendapatkan ilmu dinamakan epistimologi, dan
landasan epistimologi ilmu disebut metode ilmiah. Metode ilmiah adalah cara
yang dilakukan ilmu dalam menyusun suatu kerangka pengetahuan secara
sistematis dan dapat di uji kebenarannya. Pengetahuan diperoleh melalui dua
cara, yakni:[5]
1. Melalui usaha manusia
Pengetahuan yang diperoleh melalui usaha manusia ada 4 jenisnya yaitu:
a. Pengetahuan empiris yang diperoleh melalui indera
b. Pengetahuan filsafat yang di peroleh melalui indera dan akal
c. Pengetahuan filsafat yang diperoleh melalui akal
d. Pengetahuan intuisi yang diperoleh melalui hati nurani.
2. Melalui pemberian dari Allah
Pengetahuan yang diperoleh melalui pemberian dari Allah ada 3 jenisnya yaitu:
a. Wahyu yang disampaikan kepada para Rasul
b. Ilham yang diterima oleh akal mnusia
c. Hidayah yang ditrima oleh hati nurani manusia.

Berbicara mengenai bagaimana cara meperoleh ilmu pengetahuan tidak


terlepas dari pada penggunaan alat untuk mencari pengetahuan itu sendiri. Pada
umumnya para sufi berbicara tentang tiga alat (sumber) ilmu pengetahuan, yaitu
indera, akal dan hati (intuisi).
Menurut para sufi, indera terbagi atas indera lahir dan indera batin. Di
antara indera batin yang paling utama adalah “mutakhayyilah” atau apa yang
disebut oleh Ibn ‘Arabi sebagai “creative imagination” yaitu mata hati, di mana
para sufi dapat melihat entitas-entitas spiritual sebagaimana indera lahir kita
menangkap objek-objek indrawi.
Akal dipandang sebagai “mudabbir” (pengelola) yang dapat
mengendalikan nafsu-nafsu, sehingga nafsu tersebut bisa membantu
pertumbuhan spiritualitas seseorang. Dalam bukunya Kimia Kebahagiaan, al-
Ghazali menganalogikan akal dengan wazir yang perintah-perintahnya harus
diikuti oleh nafsu, yaitu nafsu syahwat yang dianalogikan sebagai “pengumpul
pajak” dan Nafsu ghadabiyah yang dianalogikan dengan “polisi”. Hanya dengan
menikuti instruksi sang wazir maka mekanisme Negara akan berjalan lancar dan
memperoleh kemajuan.

Cara Memperoleh Pengetahuan


Ilmu yang dipelajari sebagaimana adanya dan terbatas pada lingkup
pengalaman, dikumpulkan dengan tujuan untuk menjawab permasalahan
kehidupan yang dihadapi manusia sehari-hari dan digunakan untuk menawarkan
berbagai kemudahan. Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia
untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, yaitu yang pertama mendasarkan
diri pada rasio dan kedua mendasarkan diri pada pengalaman.
Kaum rasionalis mengembangkan paham yang kita kenal dengan
rasionalisme dan mereka yang mendasarkan diri pada pengal aman
mengembangkan paham yang disebut empirisme.
Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun
pengetahuannya. Premis yang dipakai penalarannyandidapatkan dari ide yang
menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka
bukanlah ciptaan manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia
itu berusaha memikirkannya. Paham ini dikenal dengan paham idealisme. Fungsi
pikiran manusia hanya mengenal prinsip tersebut yang kemudian menjadi
pengetahuannya. Ide bagi kaum rasionalis bersifat apriori dan pra pengalaman
yang didapatkan manusia lewat penalaran rasional.
Berbeda dengan kaum rasionalis, kaum empiris berpendapat bahwa
pengetahuan manusia bukan didapat lewat penalaran rasional yang abstrak
melainkan lewat pengalaman yang konkrit. Gejala-gejala alamiah menurut
anggapan kaum empiris bersifat konkrit dan dapat dinyatakan lewat tangkapan
pancaindra manusia.
Di samping rasionalisme dan empirisme, masih terdapat banyak cara
untuk mendapatkan pengetahuan yang lain. Yang penting untuk diketahuai
adalah intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa
melalui proses penalaran tertentu. Kegiatan intuitif sangat bersifat personal dan
tidak bisa diramalkan. Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai hipotesis
bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang
dikemukan. Kegiatan intuitif dan analitik bisa saling membantu dalam
manemukan kebenaran. Bagi Maslow, intuisi merupakan pengalamn puncak
(peak eksprience), sedangkan bagi Nietschze ia merupakan intelegensi yang
paling tinggi. Dan wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh tuhan
kepada para Rasul. Agama merupakan pengetahuan bukan saja yang mengenai
kehidupan sekarang yang tejangkau pengalaman, namun juga mencakup
masalah-masalah yang bersifat transedental seperti latar belakang penciptaan
manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Pengetahuan ini didasarkan pada
kepercayaan akan hal-hal yang gaib (supranatural). Kepercayaan kepada Tuhan
yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayan kepada nabi sebagai
perantara, dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai sesuatu yang disampaikan
merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan.
Sebagaimana dengan rasionalis, demikian Nasr, yang secara eksak
dipahami Barat ini menimbulkan persoalan, seseorang harus membedakan
antara penggunaan akal dan logika secara biasa dengan rasionalisme yang
menjadikan akal sebagai alat satu-satunya untuk memperoleh pegetahuan dan
satu-satunya criteria untuk menilai kebenaran. Seseorang sering berbicara
tentang rasionalisme Aristoteles, walaupun di dalam filsafat Aristoteles terdapat
intuisi metafisis, yang tidak dapat dipersempit menjadi sesuatu yang dihasilkan
oleh akal manusia; tapi rasionalisme dalam arti kata yang benar dimulai dalam
filsafat Eropa modern, walaupun hal semacan itu terdapat juga pada akhir masa
filsafat kuno.

Ilmu Pengetahuan dalam Pandangan Para Sufi


Berdasarkan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan, pada dasarnya
pengetahuan dapat diperoleh dari penggunaan akal yang digunakan untuk
berfikir. Di dalam usaha untuk memahami peranan pikiran di dalam islam, perlu
di bedakan antara rasionalisme dengan logika. Sebab logika sendiri merupakan
suatu aspek dari yang benar, dan yang benar (al-haqq) adalah sebuah nama
Allah. Kepandaian merupakan karunia Tuhan yang membimbing manusia kearah
peneguhan ajaran tentang tauhid dan ajaran tentang kenyataan asasi wahyu
keislaman. Penggunaan logika dalam sudut pandang islam serupa dengan
penggunaan tangga yang membawa manusia dari dunia naik menuji Ilahi.
Ibnu khaldun mengatakan, setiap orang hanya memikirkan dunia ini
terbatas pada kadar luas pandangannya saja, padahal sebenarnya jauh lebih luas
dari pada itu. Persoalan yang sebenarnya adalah bahwa akal mempunyai
keterbatasan. Oleh karena itu tidak bisa diharapkan bahwa akal manusia akan
dapat memahami Allah dan semua sifat-sifat-Nya, karena otak hanyalah satu dari
banyak aturan yang diciptakan Allah. Begitu juga, bahwa peristiwa-peristiwa
kehidupan yang dialami oleh para ahli tasawuf adalah erat hubungannya dengan
kehidupan kerohanian yang tidak bisa dibandingkan dengan pengalaman yang
didapat dalam kehidupan nyata. Imam Al-Ghazali mengatakan tasawuf sebagai
pengalaman yang tidak bisa diceritakan dengan kata-kata, siapa yang
mengalaminya dialah yang mengetahuinya.
Karena itu, meskipun ilmu pengetahuan telah begitu maju di mana akal
pikiran manusia berperan dalam menafsirkan kehidupan inderawi atau alam
nyata ini, sudah jelas tidak mampu (terbatas) memahami dan menafsirkan apa
yang terjadi dalam kehidupan kerohanian tasawuf. Dalam hal ini banyak para
ilmuwan mwnganggap bahwa pengalaman ahli tasawuf adalah hal yang mustahil
dan tidak mungkin terjadi.[10] Menurut pandangan saya, sesungguhya hal itu
merupakan bentuk dai ketidakyakinan mereka pada entitas-entitas nonfisik. Bagi
mereka yang ada hanyalah yang bersifat fisik semata, sehingga segala sesuatu
yang bersifat nonfisik dianggap tidak real atau hanya sebatas ilusu dan halusinasi.
Tetapi pendapat seperti itu dibantah oleh bapak pragmatism dan psikologi
Amerika, William James. James percaya bahwa pwngalaman mistik itu
mempunyai dasar objektifitasnya, sebagaimana pengalaman indrawi. Dalam
bukunya The Variety of Religious Experience, James menunjukkan bahwa
pengalaman mistik adalah pengalaman yang bersifat universal, karena dialami
oleh berbagai orang suci (saint / wali) pada zaman dan tempat yang berbeda-
beda, tanpa dibatasi oleh suatu tradisi atau agama tertentu.
H. Machmud Kahiry HM menyimpulkan, rasio bagi manusia seumpama
sinar matahari yang mampu memancarkan cahayanya dalam watu dan ruang
yang terbatas. Ia tidak mampu menerangi seluruh bumi dalam waktu yang sama,
atau kedalaman lautanyang gelap karena tidak terjngkau olehnya. Fitrah insane
yang dilengkapi dengan akal, basirah, sanggup membiaskan cahayanyake segala
penjuru alam, ke dalam alam yang terlihat dan tak terlihat, material dan
inmaterial.
Ali Abdul Azim mengatakan, para sufi sepakat bahwa pengetahuan yang
benar di sini akan sempurna dengan jalan penglihatan mata hati (basirah) tang
mendapat ilham dari Tuhan, bukan dengan jalan rasio dan panca indera. Imam
Al- Ghazali di dalam kitabnya Al-Munqiz menjelaskan bagaimana panca indera
dan akal dapat menyesatkan para pencari pengetahuan yang benar (al-ma’rifah);
dan bahwa jalan satu-satunya untuk ma’rifah adalah dengan penglihatan mata
hati yang mendapat sinar dari nur Allah.
Ilmu pengetahuan yang pada dasarnya bertujuan untuk memberikan
kedamaian dan kebahagiaan bagi umat manusia dalam menjalani hidupnya
diperlukan tuntunan agar terkendali sebagaimana mestinya. Sebagaimana
selama ini perkembangan ilmu pengetahuan dikendalikan oleh kemauan bebas
manusia itu sendiri, selama itu pula mereka diliputi oleh rasa takut, resah dan
cemasdalam mengarungi hari-hari mereka dan dalam menatap masa depan.
Tasawuf yang dalam hal ini berorientasi untuk membersihkan jiwa manusia dari
keserakahan hawa nafsu merupakan alternative yang ditawarkan sebagai solusi
krisis dunia modern.[12] Jadi, secara lahiriah dapat dipandang bahwa ilmu telah
mampu memberikan sesuatu kepada umat manusia, namun secara batiniah ia
belum mampu menyentuhnya; dan disinilah letak ajaran tasawuf untuk mengisi
kekurangan itu.
Iman yang menjadi dasar setiap perbuatan sangat menentukan seseorang
dalam memperoleh pengetahuan yang hakiki. Menurut kaum sufim ada
beberapa tingkatan iman, tinagkatan yang paling rendah ialah percaya dengan
hati, diikrarkan dengan lidah. Sedang tingkatan yang paling tinggi ialah sikap yang
ditimbulkan keyakinan hati dan pekerjaan-pekerjaan yang diakibatkan oleh
keyakinan itu, yang menguasai hati dan segenap panca indra dan mengatur itu
semua sehingga setiap perbuatan selalu dijiwai dan dimotivasi oleh keyakinan
tersebut. Tingkatan ini merupakan pengetahuan yang hakiki yang diberkan
Tuhan kepada seseorang yang dikehendaki-Nya. Keadaan yang seperti ini adalah
keadaan di mana seorang hamba dapat merasakan kehaadiran di hadirat Tuhan
dengan tersingkapnya tabir (hijab).
Menurut kaum sufi, sebab tersingkapnya tabir (hijab) itu ialah apabila
orang itu dapat meninggalkan hal-hal yang bersifat lahiriah dan memusatkan
dirinya terhadap hal-hal yang bersifat batiniah. Dengan melalui latihan tertentu,
maka bertambah kuatlah kepekaan rohaninya dan menipis kepekaan indrawinya.
Hal ini baru dicapai dalam rentang waktu yang relative panjang, melalui proses
tahap demi tahap (maqamat) dan keadaan demi kead

Telaah Epistemologi Tasawuf


Dalam Kamus Istilah Filsafat,epistemologi berasal dari dua kata, yaitu
episteme (pengetahuan) dan logos (kata, pikiran, percakapan, atau ilmu). Istilah
epistemologi pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Feriere pada tahun 1854 dalam
karyanya berjudul Institute of Metaphysics. Dalam buku ini, ia membagi kajian
filsafat menjadi dua bagian: metafisika dan epistemology. 1 Menurut M. Amin
Syukur dan Masyaruddin, Instrumen dalam epistemologi tasawuf ada dua hal
yang berkaitan dengan keilmuannya, yaitu akal dan intuisi. 2 Akal berdasar prinsip
filosofis al-Ghazali adalah ‚fitrah instinktif‛ dan cahaya orisinal yang menjadi
sarana manusia dalam memahamirealitas. Sementara instuisi (al-Dhauq), al-
Ghazali menyebutnya wujdan (rasa batin), yaitu sebagai sarana memperoleh
pengetahuan, akal memperoleh pengetahuan yang dicirikan oleh kesadaran akan
sebab dan akibat suatu keputusan yang tidak terbatas pada kepekaan indra
tertentu dan tidak hanya tertuju pada obyek tertentu pula.3
Metode yang dilakukan untuk menggapai pengetahuan adalah lewat
tahapan-tahapan laku spiritual (riyâdlah), yang dimulai dari taubat sebagai
penyucian diri sampai tawakkal, ridla, dan seterusnya. Pada puncaknya, yang
bersangkutan akan memperoleh kesadaran diri dan kesadaran akan hal ghaib
lewat noetic atau pencerahan atau emanasi. Validitas pengetahuan biasanya diuji
berdasarkan salah satu dari tiga uji kebenaran. Pertama, korespondensi, yaitu
suatu bentuk uji kebenaran yang menyatakan bahwa validitas pengetahuan
ditentukan oleh kesesuaiannya dengan realitas (fidelity to objective reality).
Menurut teori ini, kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dengan fakta
atau kesesuaian antara pertimbangan (judgment) dengan situasi yang dilukiskan
oleh pertimbangan tersebut.4 Kedua, konsistensi atau koherensi, yakni sebuah
teori yang menyatakan bahwa kebenaran itu terpenuhi adalah jika suatu
pernyataan konsisten dengan pernyataan-pernyataan lain yang telah diterima
kebenarannya. Atau, dengan kata lain, pernyataan yang benar adalah pernyataan

1
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia: Suatu Pengantar, cet v (Jakarta:
Bumi Aksara, 2010), 24
2
M. Amin Syukur dan Masyaruddin, Intelekualisme Tasawuf, (Semarang: Lembkota, 2002), 82.
3
Al-Ghazali, Rahasia Keajaiban Hati, terj, Immun El Blitary, (Surabaya: al-Ihlas, t.th), 76.
4
Harold H. Titus dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, ter. HM. Rasjidi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984), 237.
yang menurut logika koheren dan konsisten dengan pernyataan-pernyataan lain
yang relevan. Bentuk yang paling sederhana dari teori koherensi memerlukan
konsistensi yang dalam dan formal dalam bentuk sistem yang dipelajari tanpa
ada hubungannya dengan interpretasi dengan dunia luar.Ketiga, pragmatik,
sebuah teori verifikasi yang menyatakan bahwa kebenaran sebuah pengetahuan
berkaitan dengan kemanfaatan (utility), kemungkinan dikerjakan (workability)
atau memberikan akibat yang memuaskan (satisfactory results). Eksponen
penting teori ini, Charles S Pierce (1839-1914 M.), menyatakan bahwa ujian yang
terbaik untuk kebenaran pengetahuan adalah pertanyaan: jika ia benar, apakah
akibatnya pada tindakan kita dalam hidup? Menurut kaum pragmatis, suatu ide
atau pengetahuan dinilai benar apabila ia dapat dilakukan atau mendatangkan
kemanfaatan.

Dimensi Esoterik, Eksoterik dan Neo-Esoterik dalam Tasawuf


1. Dimensi Esoterik yakni Dimensi yang secara epistimologi berasal dari intuisi
atau batin. Ia diperoleh melalui pengamatan lansung, tidak mengenai obyek
lahir melainkan kebenaran dan hakikat barang sasuatu. Para sufi menyebut
pengetahuan ini sebagai rasa yang mendalam (dhauq) yang bertalian dengan
persepsi batin atau intuisi
2. Dimensi Eksoterik ,Secara etimologis, kata eksoterik berasal dari bahasa
Yunani kuno (ek dan terikos). Artinya sesuatu yang di luar, bentuk eksternal
dan dapat dimengerti oleh publik. Eksoterik adalah aspek eksternal, formal,
hukum, dogmatis, ritual, etika dan moral pada sebuah agama. Inti dari
eksoterik ialah kepercayaan kepada huruf, teks, atau dogma yang bersifat
formalistik. Dapat dikatakan dimensi eksoterik dalam agama berkenaan
dengan hal-hal yangbersifat lahiriyah, seperti ibadah-ibadah ritual atau
syari'at maupun penafsiran literer dari teks suci.5

5
Adnin Arnis, “Gagasan Frithjof Schoun Tentang Titik Temu Agama-Agama” dalam Islamia, Tahun
I, No. 3, November 2004, 14.
3. Dimensi Neo-Esoterik, Neo-esoterik ialah epistemologi yang lebih mengarah
kepada yang konstruktif, baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun
sosial. Neo-esoterik diawali dari pembersihan atau tahap persiapan dari batin
(esoterik) kemudian merubah sikap dhzahir (eksoterik). Jadi ada
kesinambungan antara kehidupan rohani manusia dengan kehidupan
jasmaninya, kehidupan pribadi yang baik akan memunculkan sikap sosial yang
baik pula.

Kesimpulan
Ilmu pengetahuan mulai dibutuhkan manusia sejak manusia itu
menerima tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Ilmu dari segi
bahasa berarti kejelasan. Jadi, ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang jelas
tentang sesuatu. Sumber ilmu pengetahuan dalam Islam adalah seluruh firman
Allah yang bersifat qauliyah, yakni mukjizat Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sahih,
juga firman Allah yang bersifat kauniyah, yaitu semua ciptaan-Nya yang diyakini
sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya.
Pada umumnya para sufi berbicara tentang tiga alat (sumber) ilmu
pengetahuan, yaitu indera, akal dan hati (intuisi). Menurut para sufi, indera
terbagi atas indera lahir dan indera batin. Kemudian Akal dipandang sebagai
“mudabbir”(pengelola) yang dapat mengendalikan nafsu-nafsu, sehingga nafsu
tersebut bisa membantu pertumbuhan spiritualitas seseorang. Dan Al-Ghazali
mengumpamakan hati sebagai raja yang memiliki kedudukan tertinggi yang
dapat mengontrol akal dan nafsu. Penyucian jiwa ini merupakan orientasi
daripada tasawuf itu sendiri yang memberihkan jiwa manusia dari keserakahan
hawa nafsu merupakan alternative yang dapat dijadikan sebagai krisis dunia
modern.
Ali Abdul Azim mengatakan, para sufi sepakat bahwa pengetahuan yang
benar di sini akan sempurna dengan jalan penglihatan mata hati (basirah) tang
mendapat ilham dari Tuhan, bukan dengan jalan rasio dan panca indera. Imam
Al- Ghazali di dalam kitabnya Al-Munqiz menjelaskan bagaimana panca indera
dan akal dapat menyesatkan para pencari pengetahuan yang benar (al-ma’rifah);
dan bahwa jalan satu-satunya untuk ma’rifah adalah dengan penglihatan mata
hati yang mendapat sinar dari nur
DAFTAR PUSTAKA
Arnis, Adnin. 2004. Gagasan Frithjof Schoun Tentang Titik Temu Agama-Agama
dalam Islamia. Tahun I. No. 3.
Asmaran As. 2002. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Basri, Hasan dan Beni Ahmad saebani. 2010. Ilmu Pendidikan Islam (jilid II),.
Bandung: Pustaka Setia.
Ghazali, Al. Rahasia Keajaiban Hati, terj, Immun El Blitary, Surabaya: al-Ihlas, t.th
H Harold, Titus dkk. 1984. Persoalan-persoalan Filsafat, ter. HM. Rasjidi. Jakarta:
Bulan Bintang.
Kartanegara, Mulyadhi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga.
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam
Mulia.
Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia: Suatu
Pengantar, cet v Jakarta: Bumi Aksara.
Syukur, M. Amin dan Masyaruddin. 2002..Intelekualisme Tasawuf. Semarang:
Lembkota

Anda mungkin juga menyukai