Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

‫سنَّ ِة النَبَ ِويَّ ِة‬


ُّ ‫تَ ْد ِو ْينُ ال‬
Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Praktikum Bahasa Arab

Dosen Pengampu: Moh Irhas, M.Pd.I

Disusun oleh:
1. Siti Fathonah (2030110010)

PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan salah
satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi
pendidikan rahmat, inayah, taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat
sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai dalam profesi
keguruan.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini, kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman


yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para
pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Demak, 24 Desember 2020

Penyusun

I
KATA PENAGANTAR l

DAFTAR ISI ll

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Masalah 2

BAB II ISI KANDUNGAN TEKS 3

BAB III PEMBAHASAN

1. Proses Kodifikasi Al-Qur’an Dibukukan 5

2. Proses Pemberian Titik dan Syakal (Harokat) 8

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan 12

B. Saran 13

DAFTAR PUSTAKA 14

II
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada Zaman Rasulullah, Ayat Al-Qur’an tidak dikumpulkan atau


dibukukan seperti saat ini. Namun disebabkan beberapa faktor, maka ayat Al-
Qur’an mulai dikumpulkan atau dibukukan, yaitu dikumpulkan didalam satu
Mushaf. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi hanya dilakukan pada dua
cara yaitu dituliskan melalui benda-benda seperti yang terbuat dari kulit
binatang, batu yang tipis dan licin, pelapah kurma, tulang binatang dan lain-
lain. Tulisan-tulisan dari benda-benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan
beberapa diantaranya menjadi koleksi pribadi sahabat yang pandai baca tulis.
Tulisan-tulisan melalui benda yang berbeda tersebut memang dimiliki oleh
Rasulullah namun tidak tersusun sebagaimana mushaf yang sekarang ini.
Pemeliharaan ayat-ayat Al-Qur’an juga dilakukan melalui hafalan baik oleh
Rasulullah maupun oleh sahabat-sahabat beliau.

Sepeninggalan Nabi pun hanya mewariskan dokumen tulisan dari


benda-benda sebagaimana tersebut di atas yang kemudian dipindahkan kepada
Khalifah Abu Bakar As-Siddiq yang tidak lengkap. Dari banyaknya sahabat
nabi yang tewas dalam peperangan (dikenal dengan perang yamamah)
sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa jumlah penghafal Al-Qur’an yang
tewas pada peperangan tersebut mecapai 70 orang. Olehnya itu muncul
inisiatif dari Umar bin Khattab untuk membukukan Al-Qur’an, lalu
disampaikanlah niatnya itu pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun tidak
langsung disetujui oleh Khalifah Abu Bakar, namun alasan Umar bin Khattab
bisa diterima dan dimulailah pengumpulan Al-Qur’an hingga selesai. Dengan
demikian, disusunlah kepanitiaan atau Tim penghimpun Al-Qur’an. Namun,
dengan rentan waktu yang panjang atau sekitar 18 tahun setelah wafatnya
Nabi barulah dibukukan Al-Qur’an yang dikenal dengan Mushaf Utsmani.

1
Sementara pandangan seperti di atas, umat Islam di Seluruh Dunia
meyakini bahwa Al-Qur’an seperti yang ada pada kita sekarang ini adalah
otentik dari Allah swt. melalui Rasulullah saw, namun cukup menarik, semua
riwayat mengatakan bahwa pembukuan kitab suci itu tidak dimulai oleh
Rasulullah saw, melainkan oleh para sahabat beliau, khususnya Abu Bakar,
Umar Bin Khattab dan Usman Bin Affan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses kodifikasi Al-Qur’an dibukukan?
2. Bagaimana proses pemberian titik dan syakal (harokat) dilakukan?
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa mampu mengetahui bagaimana proses kodifikasi Al-Qur’an
dibukukan.
2. Mahasiswa mampu mengetahui bagaimana proses pemberian titik dan
syakal (harokat) dilakukan.

2
BAB II
ISI KANDUNGAN TEKS

Ketika muslim menetap di Madinah Munawwarah, Rosul perintah, anak-


anak belajar membaca dan menulis di masjid lingkungan mereka. Di Madinah
pada masa Rosul terdapat sembilan masjid. Para penulis tersebut pada awalnya
tertarik untuk menulis al-Qur’an, sehingga menyita sebagian besar waktu mereka.
Dan hadist rosulullah banyak dan tidak berhenti, karena dalam setiap kejadian dia
memiliki perkataan dan sebagian besar ayat kitab Allah ada penjelasan dan
penafsiran. Para penulis tidak punya waktu untuk mencatat semua yang dia
(Rasulullah) katakan, lakukan, atau setuju.

Rasulullah (SAW) melarang penulisan hadits di awal wahyu, sehingga


tidak tercampur dengan Alquran. Kemudian beberapa Sahabat menulis agar
membantu dalam menghafal tulisan Sebagian besar dari mereka yang menulis
hadits mencatat apa yang telah mereka kumpulkan di tahun-tahun terakhir hidup
Rasulullah. Di antara surat kabar paling terkenal yang ditulis di era Nabi adalah
“Al-Sahifah Al-Sadiqah” yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin Al-Aas atas
otoritas Rasulullah, dan itu termasuk seribu hadits. Demikian pula, Abdullah bin
Abbas, yang banyak menulis Sunnah Nabi dan biografinya dalam loh-loh yang
biasa dia transmisikan bersamanya di dewan-dewan ilmu.

Di masa Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar memerintahkan untuk


mengumpulkan Al Quran sehingga Sayyidina Utsman yang mengurus salinannya.
Selain itu, beliau pula yang mengirim ke seluruh penjuru negeri Islam. Para
khalifah tidak menulis hadits nabi sehingga orang-orang tidak disibukkan dari
selain al-Qur’an. Selain itu para Tabi'in bahkan melarang penulisan hadits nabi
sampai akhir abad pertama tahun Hijriyah, tepatnya (akhir tahun ke-100 H) .
sampai akhirnya datang khalifah Umar Bin Abdul Aziz (101 H.).

Dan dia secara resmi memerintahkan hadits itu untuk ditulis, dan dia
menulis itu kepada gubernur di semua negara, karena dia takut orang-orang
berilmu akan pergi, dan penyebaran beberapa hadits yang salah dan salah satu

3
kitab yang paling terkenal adalah (al muwatta') imam malik madinah (179 H) dan
(musnad) ahmad bin hamdal (241 H) sumpah tidak di catat sebagai hasan hasan al
abwab kecuali di era al-bukhori. Di era ini para ulama menulis enam kitab shahih
(bukhori dan muslim dan at tirmidzi dan abu daud dan ibnu majah dan nasa’i).

Para perawi hadits tidak puas dengan mengambil ilmu dari orang-orang di
negaranya, dan juga tidak mengambilnya dari kota Madinah Al-Munawwaroh
saja. Tapi mereka melakukan perjalanan panjang ke negeri yang jauh untuk
mencari hadist, dan mereka bisa belajar dari generasi pertama perawi. Mereka
akan melakukan perjalanan siang dan malam untuk mencari hadits pertama. Salah
satu perawi adalah orang yang berjalan di atas kakinya sendiri, dan beberapa dari
mereka memulai perjalanannya dari usia lima belas atau dua puluh tahun dan
beberapa dari mereka tetap dalam perjalanan lebih dari sepuluh tahun.

Pada abad ke-6 H, Nur Al-Din Muhammad Ibnu Sa’id Zangi mendirikan
rumah baru pertama didamaskus, kemudian raja ayyubiyah lengkapnya nasir al-
din mendirikan rumah baru kairo pada tahun 626 H. dengan demikian, kebutuhan
perjalanan mencari berkurang meskipun demikian, banyak pelajar hadits tetap
lebih memilih perjalanan dan mengelilingi Negara. Perjalanan ini berpengaruh
besar dalam mempersatukan teks hadits, riwayat dalam kitab-kitab shoheh tentang
subjek yang sama , kecuali pada beberapa perbedaan kecil, dan akibatnya adalah
kesatuan undang-undang.

4
BAB III
PEMBAHASAN
1. Proses Kodifikasi Al-Qur’an Dibukukan
Al-Qur`an merupakan kumpulan firman yang diberikan Allah sebagai
satu kesatuan kitab sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat muslim.
Menurut syariat Islam, kitab ini dinyatakan sebagai kitab yang tidak ada
keraguan di dalamnya, selalu terjaga dari kesalahan, dan merupakan tuntunan
membentuk ketaqwaan manusia. Kumpulan firman (ayat-ayat Al-Qur’an)
tersebut juga dikenal dengan Istilah Mushaf atau kumpulan dari suhuf-suhuf
atau lembaran-lembaran tertulis yang disatukan.
Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf,
telah melalui proses panjang. Mulai dari Ayat yang pertama turun sampai ayat
yang terakhir turun, benar-benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk menjaga
dan memelihara ayat-ayat agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan
terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya tersebut dengan cara yang sederhana
yaitu Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para
sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan
Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan Al-
Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan Nabi.
Penguatan dokumen ayat-ayat Al-Qur’an pada masa Nabi dilakukan
dengan Naskah-naskah yang dituliskan untuk Nabi atas Perintah Nabi,
Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca
untuk mereka masing-masing serta hafalan dari mereka yang hafal Al-Qur’an.
Untuk Nabi sendiri, juga menghafal Al-Qur’an dan dipandu langsung oleh
Jibril (repetisi) sekali setahun. Diwaktu ulangan itu, Rasulullah disuruh
mengulang memperdengarkan Al-Qur’an yag telah diturunkan. Nabi sendiri
sering mengadakan ulangan itu terhadap sahabat-sahabatnya, maka sahabat-
sahabat itu disuruh oleh beliau membaca Al-Qur’an dihadapan beliau dengan
tujuan membetulkan bacaan mereka jika ada yang salah.
Tentang penulisan wahyu pada masa Rasulullah, ada informasi yang
cukup ekstensif mengenai bahan-bahan yang digunakan sebagai media untuk

5
menuliskan wahyu yang turun dari langit melalui Muhammad saw. Dalam
suatu cacatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang ketika itu digunakan
untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad
yaitu:
 Riqa, atau lembaran lontar atau perkamen
 Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur
yang terbelah secara horizontal lantaran panas
 ‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma
yang tipis
 Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta
 Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta
 Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan
bahan utama untuk menulis ketika itu.1
Melalui data tertulis pada media di atas, salah satu sumber mengatakan
bahwa sebelum Mushaf seperti yang kita gunakan sekarang untuk seluruh
umat Islam ternyata banyak versi yang hampir susunannya berbeda maupun
kronologis turunnya ayat. Secara umum, Mushaf-mushaf tersebut dibagi
berdasarkan Mushaf-Mushaf Primer dan Mushaf-mushaf sekunder. Mushaf
primer adalah mushaf Independen yang dikumpulkan secara individual oleh
sejumlah sahabat nabi. Sedangkan mushaf sekunder adalah mushaf generasi
selanjutnya yang bergantung pada mushaf primer. Mushaf-mushaf tersebut
adalah, Mushaf-mushaf primer yang dimiliki oleh Mushaf Salim ibn Ma’qil,
Mushaf Umar bin Khattab, Mushaf Ubai bin Ka’ab, Mushaf Ibn Mas’ud,
Mushaf Ali bin Abi Thalib, Mushaf Abu Musa al-Asy’ari, Mushaf Hafsah
binti Umar, Mushaf Zayd ibn Tsabit, Mushaf Aisyah binti Abu Bakar, Mushaf
Ummu Salamah, Mushaf Abd Allah ibn Amr, Mushaf Ibnu Abbas, Mushab
ibn Zubayr, Mushaf Ubayd ibn ‘Umair dan Mushaf Anas ibn Malik yang
kesemuanya berjumlah 15 versi mushaf. Sementara itu, juga terdapat 13
jumlah mushaf sekunder. Diantara mushaf-mushaf tersebut adalah Mushaf

1
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta : Penerbit Forum Kajian
Budaya dan Agama, 2001), hlm. 151.

6
Alqama bin Qais, Mushaf Al-Rabi’ Ibn Khutsaim, Mushaf Al-Haris ibn
Suwaid, Mushaf Al-Aswad ibn Yazid, Mushaf Hithan, Mushaf Thalhah ibn
Musharrif, Mushaf Al-A’masy, Mushaf Sa’id ibn Jubair, Mushaf Mujahid,
Mushaf Ikrimah, Mushaf Atha’ Ibn Abi Rabah, Mushaf Shalih Ibn Kaisan dan
Mushaf Ja’far al-Shadiq.2
Data yang didapatkan adalah setiap sahabat yang memiliki mushaf
ternyata selalu ada perbedaan penempatan urutan surat, kaidah bacaan yang
berbeda begitupun catatan tentang kronologis turunnya ayat. Salah satu contoh
perbedaan mushaf tersebut adalah Ibn al-Nadim mendaftar jumlah seluruh
surat yang ada di mushaf Ibn Mas’ud 110, tetapi yang ditulis dalam al-Fihrist
hanya 105 surat. Selain 3 surat di atas, surat al-Hijr, al-Kahfi, Toha, al-Naml,
al-Syura, al-Zalzalah tidak disebutkan. Tetapi keenam surat yang akhir ini
ditemukan dalam al-Itqan, justru yang tidak ada dalam daftar al-Suyuthi
adalah surat Qaf, al-Hadid, al-Haqqah, dan 3 surat yang disebutkan di atas,
sehingga menurut daftar al-Suyuthi berjumlah 108 surat. Diduga kuat
perbedaan laporan ini kesalahan penulisan belaka, karena keenam surat yang
hilang dalam al-Fihrist ditemukan dalam al-Itqan, begitu juga dengan 3 surat
yang tidak ada dalam al-Itqan. 3 Contoh lain dapat dilihat pada Rekonstruksi
Sejarah Al-Qur’an karya Taufik Adnan Amal yang secara rinci
memperlihatkan data-data dalam bentuk tabel dan naratif mengenai perbedaan
mushaf tersebut. Pembahasan yang menampilakan uraian tentang mushaf-
mushaf yang ada sebelum Mushaf Utsman bin Affan tersebut terletak pada
halaman 157 sampai 195.
Lantaran keadaan yang berbeda berdasarkan latar belakang masing-
masing sahabat, termasuk perbedaan suku yang menyebabkan dialeg juga
berbeda merupakan salah satu sebab adanya Penyatuan Mushaf. Ditambah
faktor-faktor eksternal, misalnya karena banyaknya sahabat-sahabat penghafal
yang gugur dalam medan perang. Dari persoalan tersebut, Umar bin Khattab

2
Taufik Adnan Amal, Op Cit, hlm. 158-159
3
Nashif Ubadah , “Upaya Sahabat Dalam Pengumpulan Mushaf Pribadi Pra-Utsmani “, diakses
dari Http://Ealah.Blogspot.Com/2008/04/Upaya-Sahabat-Dalam-Pengumpulan-Mushaf/ pada
tanggal 24 Desember 2020 pukul 21.00.

7
mengadukan persoalan ini pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun pada awalnya
ditolak, namun karena usaha yang serius sehingga pada masa itu dibentuk
kepanitiaan dalam mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an yang telah
dikumpulkan tersebut baru dibukukan pada masa kepemimpinan Khalifah
Utsman bin Affan.
2. Proses Pemberian Titik dan Syakal (Harokat)

Setelah Umar bin Khattab wafat, jabatan khalifah digantikan khalifah


Usman bin Affan, yang menjabat selama 12 tahun. Ketika khalifah Usman
melakukan ekspansi penyebaran agama Islam. Di wilayah-wilayah yang baru
di taklukan oleh Utsman ibn Affan, ada sahabat Nabi yang bernama Hudzaifah
ibn Al-Yaman terkejut melihat terjadi perbedaan dalam membaca Al-Qur’an.
Hudzaifah melihat penduduk Syam membaca Al-Qur’an dengan bacaan Ubay
ibn Ka’ab. Mereka membacanya dengan sesuatu yang tidak pernah didengar
oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat penduduk Irak membaca al-Qur’an
dengan bacaan Abdullah ibn Mas’ud, sebuah bacaan yang tidak pernah
didengar oleh penduduk Syam. Implikasi dari fenomena ini adalah adanya
peristiwa saling mengkafirkan diantara sesama muslim. Perbedaan tersebut
juga terjadi antara penduduk Kuffah dan Basrah.

Melihat realita tersebut, khalifah Usman ibn Affan melakukan


penyeragaman Al-Qur’an. Melalui kebijakan ini, Khalifah Usman berhasil
menghapus perbedaan versi bacaan Al-Qur’an dan menyusun mushaf Al-
Qur’an dengan bacaan standar, kelak mushaf inilah yang dikenal dengan
sebutan mushaf usmani. Oleh karena itu, mushaf usmani telah berhasil
mengeluarkan umat islam dari kemelut yang disebabkan oleh perbedaan
qira’at.

Pada masa pemerintahan khalifah Ali ibn Abi Thalib tidak ada
perubahan terhadap mushaf usmani. Mushaf usmani, ditulis dengan metode,
pola penulisan dan kaidah-kaidah penulisan yang telah ditetapkan oleh
khalifah Usman bin Affan. Bahkan setelah mushaf sudah di kodifikasi,

8
khalifah Usman membuat standarisasi, berupa persyaratan-persyaratan yang
harus dipenuhi ketika mushaf yang sudah dikodifikasi akan disebarkan ke
daerah-daerah yang telah memeluk agama Islam. Hal ini bertujuan untuk
meminimalisir kesalahan-kesalahan dalam penulisan al-Qur’an.

Walaupun Al-Qur’an telah dikodifikasi, akan tetapi wujud serta bentuk


penulisan al-Qur’an mushaf usmani tidak lah sebagaimana wujud dan bentuk
tulisan al-Qur’an yang dikenal sekarang ini. Huruf Al-Qur’an dalam mushaf
usmani tidak mengenal adanya tanda syakal (harakat), seperti tanda kasroh,
dammah dan fathah, seperti titik satu dibawah untuk huruf Ba’, titik dua di
bawah untuk huruf Ya’, titik tiga diatas seperti huruf Tsa’, titik satu di bawah
untuk huruf Jim’, titik satu di atas untuk huruf Kho’, dan lain-lain.

Hal ini di karenakan tanda-tanda huruf seperti itu belum di kenal pada
waktu itu oleh umat muslim, namun para sahabat Nabi dan kaum muslimin
waktu itu dapat membaca Al-Qur’an dengan benar berdasarkan instink (Fitrah,
kebanyakan mereka berasal dari kalangan luar Arab, bahkan gharuzah)
mereka. Akan tetapi disaat Islam telah tersebar ke berbagai daerah serta
adanya perpaduan antara masyarakat Arab dan non Arab, maka pembubuhan
tanda-tanda baca dan tanda-tanda huruf dalam penulisan Al-Qur’an mulai
dirasakan penting serta mulai diupayakan.4

Pada waktu itu banyak di kalangan umat islam yang salah dalam
membaca Al-Qur’an. Pertama, karena dalam mushaf usmani tidak
menggunakan syakal dan titik pada hurufnya sehingga kalangan umat islam
non Arab pada waktu itu susah dalam membaca al-Qur’an. Kedua, mushaf
usmani ditulis dengan menggunakan khat kufi’ klasik yang tidak bersambung
dan sukar untuk di baca. Ketiga, ketika Islam melakukan ekspansi ke berbagai
wilayah yang mengakibatkan semakin banyak nya pengikut islam tidak hanya

4
Ali Subhi “Mu’jizat Bahasa al-Qur’an Sepanjang Masa: interview dengan Prof. Ali Subhi”
dalam Jurnal Studi al-Qur’an vol. 2, no. 2, thn. 2007.

9
dari kalangan Arab, akhirnya orang-orang non Arab tidak bisa membaca al-
Qur’an dengan baik dan benar.5

Al-Qur’an yang telah selesai dikodifikasi itu, kemudian hasil salinan


mushaf tersebut dikirim ke kota-kota besar seperti Kuffah, Bashrah, Mesir,
Syam dan Yaman. Usman menyimpan satu mushaf untuk disimpan di
Madinah yang belakangan kemudian disebut dengan mushaf Al-Imam.
Tindakan Usman untuk menyalin dan menyatukan mushaf berhasil meredam
perselisihan dikalangan umat Islam sehingga ia menuai berbagai pujian dari
umat Islam baik dulu hingga sekarang, sebagaimana khalifah pendahulu nya
Abu Bakar yang telah berjasa mengumpulkan al-Qur’an. Walaupun mushaf
usmani tidak ada tanda titik dan tanda baca nya.

Adapun Al-Qur’an yang kita baca sekarang adalah proses yang sangat
panjang, akan tetapi proses tersebut betul-betul tertata rapi sehingga layak di
artikan sebagai kitab suci yang isi kandungan nya tanpa interverensi lainnya
selain Allah sendirian dalam mewahyukannya seperti yang terdapat dalam QS.
Al-Hijr [15] : 9 dibuktikan dengan data sejarah dan tentunya data yang
akurat.6

Periodesasi penulisan Al-Qur’an pasca kodifikasi, dibagi menjadi tiga


periode. Pertama, membariskan tulisan Al-Qur’an, maka lahirlah ilmu I’rab
Al-Qur’an pada masa khalifah Ali ibn Abi Thalib. Kedua, pemupuhan tanda
baca (Syakal) oleh Abu Al-Aswad Ad-Duali dan tanda titik pada huruf, oleh
Nashr ibn Ashim, Yahya ibn Ya'mur. Ketiga, penyempurnaan syakal dan titik
pada huruf oleh Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidy. Periode proses pemberian
titik dan syakal ini terjadi di masa Dinasti Muawiyyah dan masa Dinasti
Abassiyah.7

5
Ratu Suntiah Maslani, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Interes Media, 2014), hlm. 70 .
6
Ioanes Rakhmat “Memilih Fakta Dan Fiksi Dalam Kitab Suci: Sebuah Usaha Hermeneutis”
dalam Jurnal Kanz Philosophia vol. 2, no. 2, thn, 2012 .
7
Hasanudin Af, Anatomi al-Qur’an Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istianbath
Hukum dalam al-Qur’an, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 90.

10
Periode pertama, Ketika khalifah Ali ibn Abi Thalib dan Abu Aswad,
mempunyai inisiatif, untuk membuat I’rab Al-Qur’an, guna mempermudah
umat Islam khusus nya yang berasal dari luar Arab agar mudah mempelajari
bahasa Arab dan membaca Al-Qur’an. Dari sini lah awal munculnya ilmu
Nahwu, yang dijadikan pedoman dasar guna memahami ajaran Islam.

Periode kedua, terjadi pada masa Dinasti Umayah. Berawal dari masih
banyak kesalahan dalam membaca Al-Qur’an. Oleh karena itu, khalifah
Muawiyyah ibn Abi Sufyan memerintahkan Abu Aswad, untuk membuat
tanda baca (syakal), Abu Aswad membuat tanda baca dengan memberikan
tanda titik dengan warna yang berbeda dengan warna tulisan Al-Qur’an, hal
ini bertujuan untuk mempermudah membedakan antara huruf hijaiyah dengan
tanda baca. Kemudian pada masa khalifah yang kelima, Abdul Malik ibn
Marwan, memerintahkan Nashr ibn Ashim, Yahya ibn Ya'mur. Untuk
membuat tanda huruf, guna membedakan huruf yang mempunyai karakter
penulisan yang sama.

Periode ketiga, bermula ketika umat muslim kebingungan dalam


membaca Al-Qur’an hal ini dikarena kan banyak nya tanda titik pada tulisan
Al-Qur’an. Yang dibuat oleh Abu Al-Aswad Ad-Duali, Nashr ibn Ashim,
Yahya ibn Ya'mur. Akhirnya atas inisatif Al-Khalil ibn Ahmad Al-Farahidi
membuat pembeda antara tanda titik pada huruf dan tanda titik syakal.

11
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Lantaran keadaan yang berbeda berdasarkan latar belakang masing-


masing sahabat, termasuk perbedaan suku yang menyebabkan dialeg juga
berbeda merupakan salah satu sebab adanya Penyatuan Mushaf. Ditambah
faktor-faktor eksternal, misalnya karena banyaknya sahabat-sahabat penghafal
yang gugur dalam medan perang. Dari persoalan tersebut, Umar bin Khattab
mengadukan persoalan ini pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun pada awalnya
ditolak, namun karena usaha yang serius sehingga pada masa itu dibentuk
kepanitiaan dalam mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an yang telah
dikumpulkan tersebut baru dibukukan pada masa kepemimpinan Khalifah
Utsman bin Affan.

Walaupun Al-Qur’an telah dikodifikasi, akan tetapi wujud serta bentuk


penulisan al-Qur’an mushaf usmani tidak lah sebagaimana wujud dan bentuk
tulisan al-Qur’an yang dikenal sekarang ini. Huruf Al-Qur’an dalam mushaf
usmani tidak mengenal adanya tanda syakal (harakat). Hal ini di karenakan
tanda-tanda huruf seperti itu belum di kenal pada waktu itu oleh umat muslim,
namun para sahabat Nabi dan kaum muslimin waktu itu dapat membaca Al-
Qur’an dengan benar berdasarkan instink mereka. Akan tetapi disaat Islam
telah tersebar ke berbagai daerah serta adanya perpaduan antara masyarakat
Arab dan non Arab, maka pembubuhan tanda-tanda baca dan tanda-tanda
huruf dalam penulisan Al-Qur’an mulai dirasakan penting serta mulai
diupayakan. Bermula ketika umat muslim kebingungan dalam membaca Al-
Qur’an hal ini dikarena kan banyak nya tanda titik pada tulisan Al-Qur’an.
Yang dibuat oleh Abu Al-Aswad Ad-Duali, Nashr ibn Ashim, Yahya ibn
Ya'mur. Akhirnya atas inisatif Al-Khalil ibn Ahmad Al-Farahidi membuat
pembeda antara tanda titik pada huruf dan tanda titik syakal.

12
B. Saran-saran
Saya menghimbau kepada para pembaca khususnya dan seluruh umat
Islam untuk mempelajari al-Quran, baik dari segi turunnya, sejarah
pembukuannya, maupun pemahaman dan artinya. Karena pada zaman yang
modern ini banyak non-Muslim yang berusaha mencemarkan Islam. Jadi kita
sebagai umat Islam harus mempelajarinya agar kita tidak mudah dibohongi
dan bisa menjaga keorisinalan al-Quran dari mereka yang ingin merubahnya.
Karena al-Qur’an itu sebagai pedoman hidup kita.

13
DAFTAR PUSTAKA

Subhi, Ali. 2007. “Mu’jizat Bahasa al-Qur’an Sepanjang Masa: interview dengan
Prof. Ali Subhi”. Studi al-Qur’an, 2(2), 1-9.

Hasanudin, Af. 1995. Anatomi al-Qur’an Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya


Terhadap Istianbath Hukum dalam al-Qur’an. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

Rakhmat, Ioanes. 2012.“Memilih Fakta Dan Fiksi Dalam Kitab Suci: Sebuah
Usaha Hermeneutis”. Kanz Philosophia, 2(2), 16.

Ubadah, Nashif. 2008. “Upaya Sahabat Dalam Pengumpulan Mushaf Pribadi


Pra-Utsmani”.Http://Ealah.Blogspot.Com/2008/04/Upaya-Sahabat-
Dalam-Pengumpulan-Mushaf/ (diakses tanggal 24 Desember 2020).

Ratu Suntiah Maslani. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Interes Media.

Taufik Adnan Amal. 2001. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Yogyakarta: Penerbit


Forum Kajian Budaya dan Agama.

Taufik Adnan Amal, Op Cit, hlm. 158-159.

14

Anda mungkin juga menyukai