Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Pendidikan Agama Islam

“Politik Dalam Islam”

Dosen Pengampu :

Drs. Ramli., MA

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 9

Fauziah Panggabean 7193342005

M. Jauza Daffa 7193342022

Suhairo Nasuha Str 7193342027

Syaidah Ashri 7193342023

PRODI PENDIDIKAN AKUNTANSI B

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta hidayahNya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik meskipun
banyak kekurangan didalamnya. kami sangat berharap hasil makalah ini dapat berguna bagi semua
orang.

Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam hasil ini terdapat kekurangan. Oleh sebab
itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga hasil makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang lain.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan
kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan hasilmakalah ini
diwaktu yang akan datang.

Medan, 29 April 2021

Kelompok 9
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................

DAFTAR ISI.......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................

A. Latar Belakang Masalah..........................................................................................


B. Rumusan Masalah....................................................................................................
C. Tujuan......................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................

A. Pengertian Politik Islam...........................................................................................


B. Sejarah Politik Islam................................................................................................
C. Prinsip-Prinsip dasar Politik Islam..........................................................................
D. Ciri-ciri politik Islam...............................................................................................
E. Peran Politik islam...................................................................................................

BAB III PENUTUP.............................................................................................................

A. Kesimpulan..............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah politik termasuk salah satu bidang studi yang menarik perhatian masyarakat pada umumnya. Hal
ini antara lain disebabkan karena masalah politik selalu mempengaruhi kehidupan masyarakat. Masyarakat
yang tertib, aman, damai, sejahtera lahir batin, dan seterusnya tidak bisa dilepaskan dari system politik
yang diterapka.Karena demikian pentingnya masalah politik ini, telah banyak studi dan kajian yang
dilakukan para ahli terhadapnya.Demikian pula ajaran Islam sebagai ajaran yang mengatur kehidupan
manusia secara menyeluruh juga diyakini mengandung kajian masalah politik dan kenegaraan. Dalam
hubungan ini, Ibn Khaldun berpendapat bahwa agama memperkokoh kekuatan yang telah dipupuk oleh
Negara dan solidaritas dan jumlah penduduk. Sebabnya adalah karena semangat agama bias meredakan
pertentangan dan iri hati yang dirasakan oleh satu anggota dari golongan itu terhadap anggota lainnya, dan
menuntun mereka ke arah kebenaran.

Sejalan dengan pemikiran tersebut, pada makalah ini pemakalah akan memaparkan mengenai masalah
politik dalam pandangan islam yang meliputi pengertianya, sejarah politik dalam islam, prinsip-prinsip dasar
politik islam, dan ruang lingkup politik islam.

Pada masa sekarang ini, perkembangan ilmu politik semakin maju. Hal ini membuktikan bahwa politik
merupakan salah satu unsur yang penting dalam kehidupan manusia. Perkembangan ilmu politik yang
semakin maju pada suatu kehidupan misalnya cara manusia menggunakan akal pikiran dalam menangani
masalah kehidupan, dari sudut pandang tersebut maka seorang individu dapat menggunakan ilmu
politiknya dalam menangani suatu problema kehidupan bermasyarakat.

Untuk menggunakan ilmu politik tersebut manusia mendapatkan bimbingan dari berbagai macam bentuk
pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Dari pendidikan itulah seorang individu dapat
merealisasikan cara mereka dalam berpolitik. Dalam Negara Indonesia, politik merupakan hal yang sangat
prioritas karena politik membawa Negara ini ke ambang pintu kemajuan, dan juga dalam politik di
Indonesia, orang-orangnya menggunakan cara yang sangat akruat dari yang lainnya. Berbeda dengan
Negara-negara di luar, seperti Negara-negara Arab yang menggunakan politik Islam, mereka lebih
mengarah kepada satu tujuan dan pedoman yaitu berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist.

Dengan berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis mengangkat judul laporan ini dengan judul Politik
Islam, yaitu Politik yang mengarah pada perintah dari Al-Qur’an dan Hadist dalam menjalankannya di
kehidupan masyarakat. 

1.2. Perumusan Masalah

Dengan mengetahui uraian singkat di atas, tentu dapat kita bedakan apa pengertian dari politik islam itu
sendiri. Sehingga, dengan demikian kami dapat membuat pertanyaan yang mengarah kepada hal tersebut.
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut:

1.      Bagaimana peran politik Islam dalam masyarakat dan penguasa ?


2.      Bagaimana hubungan antara politik Islam zaman Rasulullah SAW dengan zaman sekarang ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui peran politik islam dalam masyarakat dan penguasa

2. Mengetahui hubungan antara politik Islam zama Rasulullah SAW dengan Zaman sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Politik Islam

            Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S Poerwadarminta, politik diartikan


sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintah, dasar-
dasar pemerintahan dan sebagainya; dan dapat pula berarti segala urusan dan tindakan
(kebijaksaan), siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain.

            Selanjutnya sebagai suatu sistem, politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain
ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara; siapa pelaksana kekuasaan tersebut;
apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada siapa kewenangan melaksanakan
kekuasaan itu diberikan; kepada siapa pelaksanaan kekuasaan itu bertanggung jawab dan
bagaimana bentuk tanggung jawabnya.

            Dalam bahasa Arab, politik biasanya diwakili oleh kata al-siyasah dan daulah, walaupun


kata-kata tersebut dan kata-kata lainnya yang berkaitan dengan politik seperti kadilan, musyawarah,
pada mulanya buka ditujukan untuk masalah politik.Kata siyasah dijumpai dalam bidang kajian
hukum, yaitu ketika berbicara masalah imamah, sehingga dalam fiqih dikenal adanya bahasan
tentang Fiqih Siyasah.Demikian pula kata daulah pada mulanya dalam Al-qur’an digunakan untuk
kasus penguasaan harta dikalangan orang-orang kaya, yaitu bahwa dengan zakat diharapkan harta
tersebut tidak hanya berputar pada tangan-tangan orang yang kaya.Karena menurut sifatnya harta
tersebut harus mengalir atau berputar, dan tidak hanya dikuasai oleh orang-orang yang kaya
(dulatan baina agniya), kata daulah tersebut juga digunakan untuk masalah politik yang sifatnya
berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya. Demikian juga kata keadilan banyak digunakan untuk
memutuskan perkara dalam kehidupan; dan kata musyawarah pada mulanya digunakan pada kasus
suami istri yang akan menyerahkan anaknya untuk diasuh oleh perempuan lain yang dalam hal ini
perlu dimusyawarahkan.

            Namun dalam perkembangan selanjutnya sejarah menggunakan kata siyasah dan kata-kata


lain yang maknanya berkaitan dengan kata tersebut digunakan untuk pengertian pengaturan masalah
kenegaraan dan pemerintahan serta hal-hal lainnya yang terkait dengannya.

Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya :

"Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika
seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan
ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim).

 Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat.
Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara
menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir
dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi
urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai
rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti
ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW.
Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah,
dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia
bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim).

Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Beliau menjawab : "Kalimat
haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).

Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat
Muslim. Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat
dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan
oleh mereka yang beraqidahkan sekulerisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan
umat Islam. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan
oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman
mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat
memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa
memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu
propaganda kaum sekuleris bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang
yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam
politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian,
sayangnya, sadar atau tidak mempengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas
dalam memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan
untuk kebathilan. Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.

Adapun definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan)
umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa
negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat.

Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan
kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan
oleh Imam al-Ghazali:

“Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan
adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu
yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.

Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan
menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan
perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu
pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht anderes als der
kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).

            Adapun umat Islam berbeda pendapat tentang pengertian politik dalam syari’at Islam.
a.       Pendapat Pertama, mengatakan bahwa Islam adalah satu agama yang serba lengkap yang
didalamnya terdapat antara lain sistem ketatangaraan atau politik. Dalam bahasa lain, sistem politik
atau fiqih Siyasah merupakan integral dan ajaran Islam. Lebih jauh kelompok ini berpendapat
bahwa sistem keteladanan yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi
Muhammad Saw dan para Khulafaur rasyidin, yaitu sistem khalifah.

b.      Pendapat kedua, menyatakan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat (sekuler),
artinya agama tidak ada hubungannya degan urusan kenegaraan atau sistem pemerintahan. Menurut
aliran ini Nabi Muhammad Saw hanya seorang rasul, seperti rasul-rasul yang lain, yang mempunyai
misi menyiarkan agama bukan sebagai pemimpin dan pengatur Negara.

c.       Pendapat ketiga, menyatakan menolak bahwa Islam merupakan agama yang serba lengkap
yang terdapat didalamnya segala sistem kehidupan termasuk sistem ketatanegaraan, tetapi juga
menolak pendapat bahwa islam sebagaimana pendapat barat yang hanya mengatur hubungan
manusia dengan tuhan. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem
ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.

            Namun perlu diingat, sejarah membuktikan bahwa nabi kecuali seorang rasul atau kepala
agama beliau adalah sebagai kepala negara. Nabi menguasai wilayah Yasrib atau Madinah al-
Munawarah sebagai wilayah kekuasaan nabi, sekaligus menjadi pusat pemerintahannya dengan
Piagam Madinah sebagai aturan dasar negaranya. Sepeninggal nabi, kedudukan beliau sebagai
kepala negara digantikan oleh Abu Bakar yang merupakan hasil kesepakatan para tokoh sahabat,
selanjutnya disebut Khalifah. Sistem pemerintahannya disebut Khilafah, sistem ini berlangsung
hingga kepemimpinan dibawah kekuasaan Ali bin Abi Tholib.

            Semua orang mengakui bahwa semua tata aturan yang Rasulullah Saw tegakkan bersama-
sama para mukmin di Madinah, apabila ditinjau dari segi kenyataan dan dibandingkan dengan
ukuran-ukuran politik pada masa modern ini dapatlah kita katakan bahwa tata aturan itu merupakan
tata aturan politik. Dalam pada itu tidak ada hubungan kita mengatakan bahwa tata aturan itu berciri
keagamaan, yaitu apabila kita lihat kepada tujuan-tujuannya dan penggerak-penggeraknya. Kalau
demikian, dapatlah kita mengatakan bahwa tata aturan Islam itu adalah tata aturan yang bersifat
politik dan bersifat agama. Hal itu karena hakikat Islam meliputi segi-segi kebendaan (maddiyah)
dan segi-segi kejiwaan (ruhiyah)dan dia mencakup segala amal insani dalam kehidupan duniawiyah
dan ukhrawiyah.

2.2 Sejarah Politik Islam

            a) Politik Islam Masa Nabi

Islam adalah agama pembaharu yang terasingkan dari tempat di mana ia diturunkan. Kota Makkah
dengan berbagai corak kehidupan masyarakat sosial belum mampu menerima sepenuhnya
kehadiran agama Islam. Hal itu dikarenakan sikap fanatisme yang mengakar untuk
mempertahankan esensi kabilah-kabilah. Penolakan masyarakat sosial Makkah dapat kita lihat dari
penindasan-penindasan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy terhadap Nabi Muhammad dan
para pengikutnya.

Peristiwa tersebut menjadikan umat Islam merasa pesimis akan diterima oleh kabilah-kabilah yang
ada, apalagi dengan ditolaknya seruan Nabi Muhammad oleh kabilah Thaqif dari Ta’if yang
kemudian disusul dengan penolakan-penolakan yang dilakukan oleh kabilah-kabilah Kinda, Kalb,
Banu ‘Amir dan Banu Hanifa.

Sejarah perkembangan Islam mencatat, bahwa Islam tumbuh berkembang pesat di wilayah Yatsrib.
Wilayah ini dihuni oleh beberapa kabilah diantaranya, kabilah Aus, Khazraj dan Yahudi.
Perkembangan Islam di Yatsrib dipengaruhi oleh adanya pertentangan perebutan kedaulatan dan
kekuasaan antara kabilah Aus, Khazraj dan Yahudi. Selain itu, perkembangan Islam juga didukung
oleh adanya keyakinan pada tubuh kaum Yahudi dengan aliran monotheismenya yang mencelah
para penyembah berhala dan berkeyakinan bahwa akan datang suatu saat seorang Nabi yang akan
mendukung mereka (Yahudi) dengan memberantas para penyembah berhala. Dari peristiwa-
peristiwa lalu dapat kita ambil kesimpulan bahwa agama islam juga mempunyai kaitan yang erat
dengan aspek politik.

Langkah politik Nabi Muhammad untuk mencari dukungan dari penduduk Yatsrib pertama kali
nampak pada peristiwa Ikrar Aqabah, peristiwa tersebut menandai akan adanya kebebasan
menyebarkan agama  Islam sehingga secara otomatis akan berdampak pada kekuatan Islam. Hal itu
bisa kita lihat dari sikap kaum kafir Qurasy yang terus-menerus menyelidiki para pengikut Ikrar
Aqabah untuk diperlakukan secara tidak manusiawi. Peristiwa itu terjadi karena kekhawatiran kaum
Qurasy akan munculnya kekuatan baru pada tubuh umat Islam sehingga akan mengganggu
eksistensi kekuasaan kaum kafir Qurasy.

Setelah peristiwa Ikrar Aqabah, Nabi Muhammad kembali memikirkan langkah politik selanjutnya


dengan mengizinkan para pengikutnya melakukan hijrah ke kota Yatsrib. Sementara Nabi
Muhammad masih memilih berdomisi di Kota Makkah mencari masa-masa tenang sekaligus
menunggu perintah dari Allah Swt.

Pakar berpendapat bahwa gerakan politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad merupakan
langkah yang cerdas dan penuh dengan perhitungan. Hal itu terbukti dengan adanya keberhasilan
Nabi Muhammad dan para pengikutnya dalam melakukan perintah hijrah.

Para peneliti sejarah politik ada yang mengkategorikan bahwa corak politik yang diterapkan oleh
nabi Muhammad adalah bercorak teo-demokratis, yaitu suatu pola pemerintahan yang dalam setiap
menyelesaikan persoalan terlebih dahulu melakukan musyawarah baru kemudian menunggu
ketetapan dari tuhan.

Kehidupan Yatsrib (kemudian terkenal dengan sebutan Madinah) pada masa Nabi Muhammad
menjadi batu pijakan utama dalam mencatat sejarah perpolitikan umat Islam. Para pakar sejarah
berpendapat bahwa politik Islam dalam konteks negara, pertama kali muncul dan berkembang di
Madinah.

Perpolitikan Islam di Madiah terbentuk secara prural dengan kolaborasi dari berbagai kalangan dan
aliran, antara umat Islam, kaum Yahudi, para penyembah berhala (kabilah Aus dan Khazraj). Secara
garis besar, suasana politik pada waktu itu dipengarui oleh dua imperium besar yaitu Romawi dan
Persia.

Langkah politik Nabi Muhammad pertama kali adalah menyatukan kaum


muslimin muhajirin dan ansor.Langkah ini bisa dikatakan cukup cerdas, karena untuk membentuk
kekuatan komunitas, syarat utama yang harus dipenuhi adalah solidaritas antar penduduk.
Kemudian Nabi Muhammad membentuk sebuah nota kesepakatan antara penduduk Madinah secara
umum yang tercatat sebagai piagam Madinah.

Piagam ini merupakan dokumen politik yang telah ditinggalkan oleh Nabi Muhammad selama
kurun waktu seribu empat ratus dua puluh lima tahun lamanya. Piagam ini pulalah yang telah
menetapkan adanya kebebasan beragama, menyatakan pendapat, berserikat, dan pelarangan akan
tindak kejahatan. Dengan piagam itu, kota Madinah menjadi tempat yang memiliki peradapan tinggi
karena benar-benar telah menghormati seluruh penduduk yang berdomosili di dalamnya. Madinah
yang semula dipenuhi dengan tindak kejahatan, kekerasan dan peperangan menjadi kota yang
menjunjung tinggi hak dan egaliter.

Menurut al-Sayyid Muhammad Ma’ruf  al-Dawalibi seorang pengajar di universitas Paris


mengatakan bahwa yang paling menakjubkan tentang piagam Madinah adalah memuat tentang
prinsip-prinsip perpolitikan umat Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Para sejarawan berselisih pendapat dalam menentukan ketokohan Nabi Muhammad dalam
menjalankan roda perpolitikan di kota Madinah. Hal itu disebbakan adanya perbedaan pemahaman
akan tugas seorang nabi. Apakah sikap politik yang diambil oleh Nabi Muhammad sebagai aplikasi
dari perintah yang berupa wahyu atau merupakan hasil dari ijtihat sebagai seorang pemimpin atau
hakim sebagai jawaban dari kebutuhan dan situasi masyarakat?

Perbedaan pandangan dalam menafsirkan tugas-tugas kenabian dalam bidang politik menyebabkan
perdepatan yang tak kunjung usai. Apakah Islam memiliki sistem politik, apakah Islam merupakan
agama yang menjunjung demokrasi? Kalau kita mau jujur untuk kembali membuka lembaran-
lembaran sejarah, maka kita akan menemukan berbagai peristiwa yang bersifat duniawi seperti;
politik, ekonomi dan sebagainya, berawal dari problema masyarakat masa Nabi, kemudian wahyu
datang sebagai upaya penyelesaian akan kebutuhan masyarakat. Berbeda dengan unsur akidah yang
secara langsung turun dari langit tanpa melihat pada kondisi masyarakat.

Terlebih, sepeninggal nabi Muhammad, umat Islam tidak memiliki sistem tatanan sosial politik
yang baku sehingga peristiwa perebutan kekuasaan untuk menggantikan posisi nabi Muhammad
sebagai pimpinan menyebabkan umat Islam terbelah menjadi berbagai golongan. Demikian halnya
dengan persoalan demokrasi, kalau kita menilik makna demokrasi sebagai sebuah sistem yang
mengedepankan asas musyawarah mufakat, maka Islam adalah agama yang paling demokrasi.
Namun, jika kita menilik makna demokrasi sebagai sebuah sistem yang berasal dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat, maka Islam bukan agama demokrasi karena secara hukum syari’ah Islam
berasal dari Tuhan untuk kemaslahatan manusia.

b)   Politik Islam Masa Khalifah al-Rasyidin

Sejarah perkembangan umat Islam yang mengalami pancaroba dan maju-mundur sebenarnya
dimulai setelah Nabi wafat. Periode ini ditandai oleh berbagai peristiwa uji coba sistem perpolitikan
dan keagamaan dalam membangun wilayah Islam, dalam bentuk konkret dengan berdasarkan pada
landasan-landasan yang telah dibagun dan diletakkan oleh Nabi Muhammad. Sejarah
perkembangan umat Islam yang berjalan secara gradual dan terseok-seok dimulai dengan
munculnya masa khalifah al-Râsyidîn.
Pada masa khalifah al-Rasyidin, sistem politik umat Islam berbentuk khilafah, dengan proses
pemilihan pemimpin melalui jalur musyawarah mufakat atau melalui sistem perwakilan. Atau oleh
peneliti sejarah politik bentuk pemerintahan pada masa ini bercorak aristokrat demokratik

Pada waktu Nabi Muhammad wafat, konflik ditubuh umat Islam dalam menentukan pemimpin
sebagai pengganti Nabi tidak terbendung. Sebelum Nabi Muhammad dimakamkan, kaum muslimin
anshar berkumpul di serabi bani Sa’ad untuk memilih dan menentukan pemimpin. Dalam
musyawarah tersebut terdapat beberapa nama yang akan diajukan kepada umat Islam, antara lain;
Abu Bakar al-Siddiq, Umar ibn Khathab, Abu Ubaid ibn Jarah. Kaum muslim anshar berpendapat
bahwa syarat menjadi seorang pemimpin adalah harus berasal dari kaum anshar, karena Nabi
Muhammad telah melakukan misi dakwanya di Makkah selama kurang lebih 13 tahun namun
dengan pengikut yang sedikit, tidak ada yang mampu melindunginya dari siksaan kaum kafir
Qurasy. Sementara ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, ia dengan leluasa bisa melakukan
misi dakwahnya dengan atas bantuan kaum muslimin anshar, sehingga Nabi Muhammad dan umat
Islam mampu menaklukkan Jazirah Arab.

Sedangkan kaum muslim muhajirin berpendapat bahwa syarat menjadi seorang pemimpin
pengganti Nabi Muhammad harus berasal dari Kota Makkah, karena kaum muslimin Makkah
adalah orang yang pertama kali percaya akan kenabian nabi Muhammad. Setelah melalui
perdebatan yang sangat panjang, akhirnya diputuskan bahwa tiap-tiap golongan kaum muslimin
mengajukan perwakilannya dan berakhir dengan terpilihnya Abu Bakar al-Shiddiq sebagai
pemimpin (khalifah) umat Islam pengganti Nabi Muhammad.

Namun, dalam salah satu sumber mengatakan bahwa peristiwa pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq
sebagai khalifah tidak dihadiri oleh Ali ibn Abi Thalib karena sibuk menyiapkan proses pemakaman
Nabi Muhammd. Setelah Ali ibn Abi Thalib mendengar pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai
khalifah, ia tidak menyetujui kecuali setelah beberapa waktu yang cukup lama. Menurut riwayat
dikatakan bahwa  Ali ibn Abi Thalib adalah sahabat yang paling dekat dengan Nabi Muhammad
karena ia adalah orang yang pertama kali masuk Islam dan menjadi suami dari Fatimah, putri Nabi
Muhammad., sehingga lebih berhak menjadi seoarang khalifah dibanding Abu Bakar al-Siddiq.

Pidato kenegaraan yang dilontarkan Abu Bakar al-Siddiq merupakan statemen politik yang maju
dengan menggunakan prinsip-prinsip modern yang partisipatif dan egaliter. Khotbah itu merupakan
khotbah pertama yang menerangkan sistem pemerintahan Islam. Abu Bakar al-Siddiq merupakan
khalifah yang mampu menyelesaikan pertikaian-pertikaian yang terjadi ditubuh umat Islam.
Perbedaan-perbedaan yang muncul cenderung mengarah pada unsur politik bukan pada unsur
agama. Salah satu gerakan politik Abu Bakar al-Siddiq adalah memerangi orang-orang yang ingkar
zakat atau lebih dikenal dengan hurûb al-riddah.

Sosio politik umat Islam pada masa Abu Bakar al-Siddiq berjalan stabil. Prinsip-prinsip
perpolitikan dalam membentuk sebuah khilafah yang digunakan berpedoman pada ajaran-ajaran
agama Islam berupa al-Qur’an dan Hadis. Keberanian Abu Bakar ibn al-Siddiq dalam mengambil
kebijakan-kebijakan tidak populer menjadikan ia sebagai khalifah yang tangguh dan berwibawa.

Perlawanan dan pertentang dalam pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah, menjadikan
khalifah pertama ini bertindak preventif dalam menentukan dan memilih khalifah ke dua. Sebelum
Abu Bakar al-Siddiq wafat, ia telah menyiapkan komite pemilihan khalifah untuk
menggantikannya. Dengan rekomendasi dari Abu Bakar al-Siddiq dan persetujuan kaum muslimin
pada umumnya, Umar ibn Khattab terpilih secara aklamasi sebagai khalifah Islam ke dua setelah
Abu Bakar al-Siddiq.

Persoalan yang terjadi pada masa khalifah Umar ibn Khatthab cenderung mengarah pada persoalan
politik luar, pada masa tersebut, umat Islam melakukan ekspansi perluasan daerah. Salah satu
contoh dengan diutusnya Amr ibn Ash untuk memimpin pembukaan kota Mesir. Sementara dalam
tubuh umat Islam sendiri cenderung setabil, hal itu didukung oleh keberanian dan kewibawaan yang
dimiliki oleh Umar ibn Khathab.

Perpecahan terbesar terjadi ketika pada masa khalifah Utsman ibn Affan, hal itu muncul karena para
pengikut Ali ibn Abi Thalib dan kaum anshar merasa jenuh akan kepemimpinan kaum muhajirin.
Kejenuhan dan kebosanan itu memuncak ketika khalifah Utsman ibn Affan lebih mementingkan
kedekatan (kerabat) dalam pengangkatan para penguasa. Khalifah Utsman ibn Affan yang notabeni
berasal dari keturunan bani umayyah, mendapat tantang keras dari kaum Syi’ah dan keturunan bani
Hasyim. Perselisihan politik semakin memanas sebagaimana pertikaian yang pernah terjadi antara
Bani Hasyim dan Bani Umayyah pada masa jahiliah (sebelum kedatangan Islam).

Gerakan makar oleh sebagian golongan dilancarkan secara sembunyi-sembunyi. Mereka menentang
kebijakan politik khalifah Utsman ibn Affan dengan menjadikan Ali ibn Abi Thalib sebagai
justifikasi dari gerakannya, salah satu tokoh provokatif dalam peristiwa tersebut adalah Abdullah
ibn Saba, seorang Yahudi dari Yaman dan kemudian masuk Islam. Abdullah ibn Saba terkenal
sebagai tokoh yang getol menyuarakan agar umat Islam berpaling dari khalifah Utsman ibn Affan
dan bersatu memilih Ali ibn Thalib.

Setelah khalifah Utsman ibn Affan wafat dalam keadaan terbunuh, maka kaum muslimin memilih
dan mengangkat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah selanjutnya. Dalam proses pemilihan Ali ibn
Abi Thalib, kaum muslimin terbagi menjadi tiga golongan : 

a.       Pertama; golongan yang menerima dan mengangkat Ali ibn Abi Thalib, golongan ini
didukung oleh sebagian besar para pembesar kaum muhajirin.

b.      Kedua; golongan yang menolak pengangkatan Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah,
diantaranya; Thalha, al-Zubair dan Mua’wiyah, mereka beranggapan dan menuduh bahwa Ali ibn
Abi Thalib ikut terlibat dalam pembunuhan khalifah Utsman ibn Affan.

c.       Ketiga; golongan yang memilih netral dengan tidak bepihak pada kedua golongan di atas.
Golongan ini didukung oleh sebagian besar para pembesar umat Islam dari kalangan para sahabat
diantaranya; Abdullah ibn Umar ibn Khathab, Muhammad ibn Maslamah, Sa’id ibn Abi Waqqash,
Asamah ibn Zaid, Husnan ibn Tsabit dan Abdullah ibn Salamah. Dari berbagai golongan di atas,
muncullah beberapa aliran dalam tubuh umat Islam diantaranya; Khawarij, Syi’ah dan Murjiah.

Masa perpolitikan umat Islam dalam ranah khilafah berakhir pada masa khalifah Ali ibn Thalib.
Masa khilafah merupakan pengalaman perpolitikan umat Islam yang mampu mengenal perbedaan
terkecil antara gagasan dan realita. Namun diantara keempat khalifah tersebut, hanya khalifah Abu
Bakar Al-Siddiq yang wafat secara wajar. Umar ibn Khathab dibunuh oleh budak gubenur Basrah
yang beragama nasrani, Utsman ibn Affan dibunuh oleh lawan politiknya, kemudian rumahnya
diserang dengan tuduhan pemerintah yang tirani, dan Ali ibn Thalib terbunuh ketika sedang dalam
perjalanan menuju masjid.
c) Politik Islam Masa dari Khilafah Menuju Daulah

Jika kita mengkaji secara teliti sejarah perkembangan Islam, maka kita akan menemukan beberapa
pola atau perubahan yang sering kali dilandaskan pada realita yang ada. Dengan analisa yang
bersifat instan, maka kita akan mampu memprediksi hal-hal yang  akan terjadi di masa mendatang.

Di sinilah kita akan menemukan pola perpindahan sistem perpolitikan Islam. Dalam catatan sejarah,
Muawiyah (pendiri Dinasti Umawiyah) menyatakan dirinya sebagai khalifah pada tahun 660, pada
masa khalifah Ali ibn Thalib masih berkuasa. Peristiwa tersebut menyebabkan perpecahan daerah
kekuasaan Islam menajadi dua bagian :

a.       pertama; Kuffah sebagai pusat pemerintahan khalifah Ali ibn Abi Thalib

b.      kedua; Demaskut sebagai pusat pemerintahan Mua’wiyah.

Namun secara garis besar, kepemimpinan Mu’awiyah disahkan secara general setelah khalifah Ali
ibn Abi Thalib meninggal. Masa kepemimpinan Mu’awiyah merupakan starting point perubahan
sistem perpolitikan umat Islam dari sistem khilafah menuju sistem daulah.

Dalam sejarah tercatat bahwa Mu’awiyah dengan kreasi politiknya mampu menanggulangi
suasana ricuh dalam tubuh umat Islam. Keberanian Mu’awiyah merubah sistem perpolitikan
khilafah dengan sistem daulah telah menyatukan kembali umat Islam yang bertikai sehingga
terkenal dengan masa ‘âmul jamâ’ah (tahun rekonsiliasi). Mu’awiyah merubah pola perpolitikan
umat Islam dengan membangun infrastruktural pemerintah seperti kantor-kantor.

Sosio perpolitikan umat Islam di masa dinasti Umawiyah dihiasi oleh berbagai pertempuran
ideologi antara ahlul hadis, theolog, filosof dan sebagainya. Para tokoh berusaha untuk memperoleh
dukungan dari para penguasa sehingga ideologi yang diajarkan bisa dengan muda diterima oleh
masyarakat. Pada masa dinasti Umawiyah, perkonomian umat Islam maju dengan pesat terbukti
dengan adanya mata uang khusus yang disahkan oleh dinasti Umawiyah sebagai alat transaksi jual
beli. Pergantian pimpinan pada masa ini berdasarkan pada garis keturunan, sehingga jauh berbeda
bila dibandingkan dengan masa khilafah. Dinasti ini bertahan dari tahun 661-750 M.

Setelah dinasti Umawiyah runtuh, dinasti Abbasiyah muncul dengan pola dan sistem politik yang
sama. Bani Abbasiyah yang secara garis keturunan berasal dari Bani Hasyim secara otomatis
mendapatkan dukungan penuh dari kaum Syi’ah. Pada masa dinasti Abbasiyah, berbagai disiplin
ilmu pengetahuan dan budaya berkembang secara pesat. Budaya Yunani tersebar luas pada masa
dinasti ini, dengan ditandai dengan banyaknya buku-buku yang diterjemahkan dari bahasa Yunani.
Dinasti ini bertahan dari tahun 750-1517 M, dengan pembagian dua wilayah:

a.          pertama; Dinasti Abbasiah di Bagdad yang dipelopori oleh oleh Abu al-Abbas Al-Saffah
dan berakhir pada masa al-Musta’sim

b.         Kedua; Dinasti Abbasiyah di Kairo yang didirikan oleh al-Mustansir dan berakhir pada masa
al-Mutawakkil III. Sebagaimana dinasti Umawiyah, dinasti ini juga menerapkan sistem keturunan
dalam proses peralihan kekuasaan.

2.3. Prinsip-prinsip Dasar Politik Islam


Menurut teori Islam, dalam mekanisme operasional pemerintahan negara seyogianya mengacu pada
prinsip-prinsip syari’ah. Islam sebagai landasan etika dan moral direalisir dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Endang Saifuddin Anshari (1986:167) mengatakan,
“Negara adalah organisasi (organ, badan atau alat) bangsa untuk mencapai tujuannya.” Oleh karena
itu, bagi setiap Muslim negara adalah alat untuk merealisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah
dan mengaktualisasikan fungsinya sebagai khalifah Allah, untuk mencapai keridhaan Allah,
kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam
lingkungannya

Secara konseptual di kalangan ilmuwan dan pemikir politik Islam era klasik, menurut Mumtaz
Ahmad dalam bukunya State, Politics,  and Islam, menekankan tiga ciri penting sebuah negara
dalam perspektif Islam, yakni adanya masyarakat Muslim (ummah),  hukum Islam (syari’ah), dan
kepemimpinan masyarakat    Muslim  (khilafah).

Prinsip-prinsip negara dalam Islam tersebut ada  yang berupa prinsip-prinsip dasar yang mengacu
pada teks-teks syari’ah yang jelas dan tegas. Selain itu, ada prinsip-prinsip tambahan yang
merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam fikih.

Prinsip-prinsip dasar politik adalah:  

a.       pertama, kedaulatan, yakni kekuasaan itu merupakan amanah.  Kedaulatan yang mutlak dan


legal adalah milik Allah. Abu al-A’la al-Maududi menyebutnya dengan “asas pertama dalam teori
politik Islam.” Al-Maududi dalam bukunya It’s Meaning and Message (1976: 147-148)
menegaskan,”Kepercayaan terhadap keesaan (tauhid) dan kedaulatan Allah adalah landasan dari
sistem  sosial dan moral yang dibawa oleh Rasul Allah. Kepercayaan itulah yang merupakan satu-
satunya titik awal dari filsafat politik dalam Islam.”

Kedaulatan ini terletak di dalam kehendak-Nya seperti yang dapat dipahami dari syari’ah. Syari’ah
sebagai sumber dan kedaulatan yang aktual dan konstitusi ideal, tidak boleh dilanggar. Sedang
masyarakat Muslim, yang diwakili oleh konsensus rakyat (ijma’ al-ummah), memiliki kedaulatan
dan hak untuk mengatur diri sendiri.

b.      Kedua, syura dan ijma’. Mengambil keputusan di dalam semua urusan kemasyarakatan


dilakukan melalui konsensus dan konsultasi dengan semua pihak. Kepemimpinan negara dan
pemerintahan harus ditegakkan  berdasarkan persetujuan rakyat melalui pemilihan secara adil, jujur,
dan amanah. Sebuah pemerintahan atau sebuah otoritas (sulthan) yang ditegakkan dengan cara-cara
non-syari’ah adalah tidak dapat ditolerir dan tidak dapat memaksa kepatuhan rakyat.

c.       Ketiga, semua warga negara dijamin  hak-hak pokok tertentu. Menurut Subhi


Mahmassani dalam bukunya Arkan Huquq al-Insan,beberapa hak warga negara yang perlu
dilindungi adalah: jaminan terhadap keamanan pribadi, harga diri  dan harta benda, kemerdekaan
untuk mengeluarkan pendapat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan pelayanan hukum secara
adil tanpa diskriminasi, hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, pelayanan medis dan
kesehatan, serta keamanan untuk melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi.

d.      Keempat,  hak-hak negara. Semua warga negara, meskipun yang oposan atau yang
bertentangan pendapat dengan pemerintah sekalipun, mesti tunduk  kepada otoritas negara yaitu
kepada hukum-hukum dan peraturan negara.
e.       Kelima, hak-hak khusus dan batasan-batasan bagi warga negara yang non-Muslim memiliki
hak-hak sipil yang sama. Karena negara ketika itu adalah negara ideologis, maka tokoh-tokoh
pengambilan keputusan yang memiliki posisi kepemimpinan dan otoritas (ulu al-amr), mereka
harus sanggup menjunjung tinggi syari’ah. Dalam sejarah politik Islam, prinsip  dan kerangka  kerja
konstitusional pemerintahan seperti ini, terungkap dalam Konstitusi Madinah atau “Piagam
Madinah” pada era kepemimpinan Rasulullah di Madinah, yang mengayomi masyarakat yang
plural.

f.       Keenam, ikhtilaf  dan konsensus yang menentukan. Perbedaan-perbedaan pendapat


diselesaikan berdasarkan keputusan dari suara mayoritas yang harus ditaati oleh seluruh
masyarakat. Prinsip mengambil keputusan menurut suara mayoritas ini sangat penting untuk
mencapai tujuan bersama.

Selain prinsip-prinsip dasar negara yang konstitusinya  berdasar syari’ah, ada juga prinsip-prinsip
tambahan (subsider) yang merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam bidang fikih
siyasah (hukum ketatanegaraan dalam Islam). Prinsip-prinsip tambahan tersebut  adalah mengenai
pembagian fungsi-fungsi pemerintahan yaitu hubungan antara Badan Legislatif, Eksekutif, dan
Yudikatif. Dalam hubungan ketiga badan (lembaga negara) tersebut prinsip-prinsip berkonsultasi
(syura) mesti dilaksanakan di dalam riset, perencanaan, menciptakan undang-undang dan menjaga
nilai-nilai syari’ah dengan memperhatikan otoritas (kewenangan) yang dimiliki masing-masing
lembaga tersebut.

Prinsip-prinsip politik dalam Islam, Abdul Qadir Audah dalam bukunya Al-A’mal al-Kamilah,: Al-
Islam wa Audha’una al-Qanuniyah(1994: 211-223) mensistematisir sebagai berikut:

1) Persamaan yang komplit;

2) Keadilan yang merata;

3) Kemerdekaan dalam pengertian yang sangat luas;

4) Persaudaraan;

5) Persatuan;

6) Gotong royong (saling membantu);

7) Membasmi pelanggaran hukum;

8) Menyebarkan sifat-sifat utama;

9) Menerima dan mempergunakan hak milik yang dianugerahkan Tuhan;

10) Meratakan kekayaan kepada seluruh rakyat, tidak boleh menimbunnya;

11) Berbuat kebajikan dan saling menyantuni; dan

12) Memegang teguh prinsip musyawarah).

2.4.      Ciri-ciri Politik Islam


Dalam pelaksanaannya politik islam memiliki beberapa ciri-ciri yang sangat mengikat pada politik
islam itu, diantaranya :

1.   Rabbaniyah

Rabbaniyah merupakan suatu system politik islam yang bersumber dari wahyu Allah Azza wajala,
yaitu Al-Qur’an dan hadis-hadis sahih. Artinya dalam system rabbaniyah ini segala peraturan yang
dibuat tidak akan dapat diganggu gugat seperti halnya peraturan-peraturan yang dibuat oleh
manusia.

2.   Syumul

Pengertian dari syumul itu adalah segala perkara yang menyangkut urusan duniawiyah ataupun
ukhrowiyah. Dimana dalam perkara ini memang meliputi semua sisi kehidupan manusia.

3.   Muwafiqotul fithrah

Yaitu aturan yang sesuai dengan fitrah atau sifat dasar manusia. Maksudnya adalah bahwa politik
islam dalam hal ini sangat menyeimbangkan antara hak dan kewajiban pemerintah dengan
rakyatnya.

4.   Nizhomul Akhlak

Nizhomul akhlak yaitu dasar dalam politik islam yang selalu menekankan terhadap pembinaan
akhlak yang mulia, seperti halnya sikap adil dan bijaksana serta perbuatan terpuji, juga melarang
semua perbuatan yang tercela, sehingga politik politik islam itu tidak pernah melegalkan perjudian,
pelacuran, miras dan narkoba apapun alasannya. Karena memang semua itu sudah dilarang oleh
agama.

2.5        Peran Politik Islam

1. Peran Kepala Negara dalam Politik Islam

Untuk mengurusi tanggung jawab kepentingan masyarakat, maka secara syara’ tanggung jawab itu
diberikan kepada penguasa, dan penguasa disini bias dikatakan sebagai kepala Negara (khalifah).
Inilah yang dapat menjadikan peran kepala Negara dalam politik islam, yaitu :

a)      Menjalankan hukum islam sebagai konstitusi Negara.

b)      Bertanggung jawab terhadap politik dalam dan luar negeri.

c)      Mengangkat dan memberhentikan ketua MA, Dirjen Departemen.

d)     Berhak menerima dan menolak duta-duta asing.

2. Peran Masyarakat dalam Politik Islam

Tidak jauh berbeda dari peranan kepala Negara dalam politik islam, masyarakat juga mempunyai
peran dalam menjalankan kewajiban untuk taat kepada Amir (penguasa). Sebagaimana yang telah
difirmankan oleh Allah dalam surat An-nisa ayat 59:
‫يَاأَيُّهَاالَّ ِذينَآ َمنُواأَ ِطيعُوااللَّهَ َوأَ ِطيعُواال َّرسُولَ َوأُولِياأْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْمفَإِ ْنتَنَا َز ْعتُ ْمفِي َش ْي ٍء‬
‫فَ ُر ُّدوهُإِلَىاللَّ ِه َوال َّر ُسوإِل ِ ْن ُك ْنتُ ْمتُ ْؤ ِمنُونَبِاللَّ ِه َو ْاليَ ْو ِماآْل ِخ ِر َذلِ َك َخ ْي ٌر َوأَحْ َسنُتَأْ ِوياًل‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Sehingga jelaslah bahwa peran masyarakat untuk menaati penguasanya dalam politik islam itu
memang penting. Karena dengan adanya komponen-komponen tersebut politik islam itu dapat
berjalan secara aktif dan sesuai dengan tuntutan dalam ajaran islam.

Selain berkewajiban untuk menaati penguasanya, masyarakat juga mempunyai tiga peran penting
dalam politik islam, yaitu :

1.      Kekuasaan memilih penguasa.

2.      Terlibat dalam musyawarah.

3.      Mengoreksi penguasa.

Peran-peran itulah yang nantinya memperlihatkan bagaimana seorang penguasa dan masyarakat
bisa menjadi bagian-bagian dalam masalah yang muncul pada suatu negara.
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik
dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara
(khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat.

Esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan
kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan
oleh Imam al-Ghazali: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi
(asas) dan kekuasaan adalah penjaganya.Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh
dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.

Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan
menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik.Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan
perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu
pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “ politic is nicht anderes als der
kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).

Pada garis besarnya, obyek pembahasan sistem politik Islam meliputi:

1.   Siyasah Dusturiyah atau fiqih modern disebut hukum tatanegara,

2.    Siyasah Dauliyah atau disebut hukum internasional dalam Islam,

3.   Siyasah Maliyah yaitu hukum yang mengatur tentang pemasukan, pengelolaan, dan pengeluaran
uang milik negara

Sehingga dari penjelasan-penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa politik islam itu memang
mempunyai keaktifan dan keterkaitan dalam perannya pada suatu negara. Karena memang
peraturan-peraturan dan asas-asas yang ada dalam politik islam itu bersumber dari Allah SWT,
Tuhan semesta alam. Bukan dari ide-ide, gagasan-gagasan dan pikiran-pikiran manusia yang
kadang masih diselimuti oleh kelemahan dan kekurangan. Sehingga politik islam yang berasal dari
Allah SWT ini mampu bersikap adil antara golongan yang satu dengan yang lainnya, tanpa
membebani atau memberatkan salah satu pihak.
DAFTAR PUSTAKA

http://kamalsukses.blogspot.com/2012/01/makalah-politik-islam.html

http://ms.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam

http://al-ahkam.net/forum09/viewtopic.php?f=9&t=38793

Anda mungkin juga menyukai