Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH AKHLAKUL KHARIMAH

‘’AKHLAK BERNEGARA (Politik dalam pandangan islam)’’

Dosen :

Disusun Oleh :

1. Rendy zihan prayoga


2. Rafi Nurfaizi Akbar
3. Haiqal Fadhila
4. Waranda Mufid Amrullah (190106031)
5. Windy marezka putri (190106075)
6. Nanda Destriani (190106032)
7. Yoeri Rafiqi Al Hanafi (190106073)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS AISYAH PRINGSEWU

LAMPUNG

2022
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya kepada hambanya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul:“AKHLAK BERNEGARA (Politik dalam pandangan islam)”

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi.
Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan dari teman-teman dan kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini,sehingga kendala-kendala
yang kami hadapi teratasi.

Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk
itu kritik dan saran kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Akhirnya kami berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka
yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin
Yaa Robbal ‘Alamiin.

Pringsewu,27 Mei 2022


penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................

1.1 LATAR BELAKANG...................................................................................


1.2 RUMUSAN MASALAH...............................................................................
1.3 TUJUAN........................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................

2.1 PENGERTIAN AKHLAK POLITIK DALAM ISLAM...............................


2.2 PRINSIP PRINSIP POLITIK LUAR NEGERI DALAM ISLAM...............
2.3 KONTRIBUSI UMAT ISLAM DALAM PERPOLITIKAN NASIONAL...

BAB III PENUTUP..................................................................................................

3.1 KESIMPULAN .............................................................................................


3.2 SARAN..........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Islam merupakan agama Allah SWT sekaligus agama yang terakhir yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril dengan tujuan untuk
mengubah akhlak manusia ke arah yang lebih baik di sisi Allah SWT. Banyak cara yang
dilakukan oleh manusia untuk mencapai ketakwaan di sisi-Nya atau yang disebut juga
dengan kata Politik. Karena politik dapat dikatakan sebagai suatu cara untuk mencapai
tujuan tertentu. Tidak sedikit masyarakat menganggap bahwa politik adalah sesuatu yang
negatif yang harus dijauhi. Padahal tidak semestinya selalu begitu, bahkan politik sangat
dibutuhkan dalam hidup beragama. Andai saja kita tidak mempunyai cara untuk
melakukan pendekatan kepada Allah SWT, maka dapat dipastikan kita sebagai manusia
biasa juga tidak akan pernah mencapai kata beriman dan takwa disisi-Nya, dikarenakan
tidak akan pernah tercapai suatu tujuan jika tidak ada usaha atau cara yang dilakukannya
untuk mencapai tujuan tersebut. Realita inilah yang harus kita ubah dikalangan
masyarakat setempat, setidaknya dimulai dari lingkungan keluarga, masyarakat,
kemudian untuk bangsa dan negara kita.
Islam bukanlah suatu ilmu yang harus dipertandingnya dengan tulisan atau dengan
ceramah belaka tanpa diterapkan dalam kehidupan sehari- hari. Karena islam sangat
identik dengan sifat, pemikiran, tingkah laku, dan perbuatan manusia dalam kehidupan
sehari- hari untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan tujuan mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat.
Tentunya untuk mencapai hal tersebut, kita harus mempunyai suatu cara tertentu
yang tidak melanggar ajaran agama dan tidak merugikan umat manusia. Banyak yang
beranggapan bahwa jika agama dimasukkan dalam suatu politik, maka agama ini tidak
akan murni lagi. Namun ada yang beranggapan lain, karena jika agama tidak
menggunakan suatu politik atau cara, maka agama tersebut tidak akan sampai pada
tujuannya. Kalaupun pada kenyataannya banyak yang tidak berhasil, mungkin cara yang
digunakan belum sempurna dan perlu menambahan ilmu.
Untuk itulah kami sangat berharap kepada pembaca semua, semoga setelah
membaca atau membahas makalah ini, kita semua mampu menjadikan agama islam
agama yang kembali sempurna untuk mengubah akhlak manusia ke arah yang lebih baik
di sisi-Nya, Amin.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa pengertian dari dari politik islam?
2. Apa prinsip – prinsip politik luar negeri dalam islam?
3. Apa saja kontribusi umat islam dalam perpolitikan nasional?

1.3 TUJUAN
1. Mengetahui pengertian dari politik islam.
2. Mengetahui prinsip prinsip politik luar negeri dalam islam.
3. Mengetahui tentang kontribusi umat islam dalam perpolitikan nasional.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENGERTIAN
A. AHLAK

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu
pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologi (peristilahan). Dari sudut
kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitif) dari
kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan timbangan (wazan) tsulasi majid af’ala,
yuf’ilu if’alan yang berarti al-sajiyah (perangai), ath-thabi’ah (kelakuan, tabi’at, watak
dasar), al-„adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru’ah (peradaban yang baik), dan al-din
(agama).

Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagaimana tersebut di atas tampaknya
kurang pas, sebab isim mashdar dari kata akhlaqa bukan akhlaq tetapi ikhlaq. Berkenaan
dengan ini maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistik kata akhlaq
merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata,
melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya. Kata akhlaq adalah jamak dari
kata khilqun atau khuluqun yang artinya sama dengan arti akhlak sebagaimana telah
disebutkan di atas.

B. AHLAK BERNEGARA

Akhlak dalam berbangsa perlu untuk disadari oleh kita agar kita dapat menjadi
semakin sensitif terhadap persoalan yang terjadi pada bangsa dan negara kita. Bukan
hanya Hal ini didorong dengan kekhawatiran akan bobroknya generasi kita, apabila tidak
dibekali dengan pengetahuan tentang akhlak yang cukup, untuk menjalani kehidupan
kedepannya

C. MUSYAWARAH (Syarkawi, 2012)

Kata musyawarah berasal dari bahasa Arab yaitu Syara-Yasyuuru-Syauran,


Syiyaaran, Syiyaaratan, Masyaaran dan Masyaaratan. Masyaaratan al’Asali yang berarti
mengeluarkan madu. Kata ini kemudain mendapat affic (imbuhan) sehingga menjadi
syawara-yusyaawirumusyaawaratan, maknanya saling menari dan menemukan
nilai/harga yang terbaik. Jadi, dilihat dari tata bahasanya mengandung arti pelaku/pencari
itu lebih dari satu orang, yang kita maknai saling tukar menukar ide atau pikiran. Untuk
lebih jelas arti etimologis ini bila dikaitkan dengan pengertian epistimologis bahwa
musyawarah sebagai mana dikemukakan oleh al-Thabari ialah saling mengemukakan
pembicaraan untuk memperlihatkan kebenaran. Sedangkan Ashfahani mendefinisikan
musyawarah adalah saling mengeluarkan pendapat antara satu dengan yang lainnya.

a. PRINSIP MUSYAWARAH

Dalam Al-Qur’an dua ayat menetapkan prinsip musyawarah sebagai suatu


konsep dalam Nomokrasi Islam . Pertama Surat Al Syura ayat 38 :

“…. Adapun urusan kemasyarakatan diputuskan dengan musyawarah antara


mereka…..”. Ayat tersebut memanivestasikan bahwa setiap persoalan yang
menyangkut dengan masyarakat atau kepentingan umum. Rasulullah selalu
mengambil keputusan setelah bermusyawarah dengan para sahabatnya dan Rasulullah
orang yang banyak melakukan musyawarah karena dasar musyawarah itu perintah
Allah SWT sebagaimana telah disebutkan di atas dalam surat Ali Imran ayat 159 :
“….. dan bermusyawarahlah engkau (Muhammad) dengan mereka dalam
setiap urusan kemasyarakatan…” Ayat di atas, jika dijadikan sebagai garis
hukum, maka dapat dirumuskan : “Hai Muhammad, engkau wajib
bermusyawarah dengan para sahabat dalam memecahkan setiap masalah
kenegaraan”. Atau secara umum “Umat Islam wajib bermusyawarah dalam
memecahkan setiap masalah kenegaraan”.. Terutama kewajiban ini dibebankan
kepada para penyelenggara kekuasaan negara atau institusi/organisasi dalam
melaksanakan kekuasaannya. Suatu keputusan yang diambil dalam musyawarah
setelah semua pihak mengemukakan pendapat dan pandangan haruslah
mencerminkan pertimbangan pertimbangan yang objektif dan bijaksana untuk
kepentingan umum, sehingga keputusan itu merupakan kebulatan pendapat atau
kesepakatan bersama.

b. TUJUAN MUSYAWARAH

Tujuan musyawarah selain melaksanak perintah wajib bermusyawarah


sebagaimana dua ayat di atas dan dipraktekkan oleh baginda Rasulullah sendiri
yang diikuti para sahabat dan dinasti Abbasiah, dapat dikemukakan tujuannya
sebagai berikut:
1) Agar dapat menyalurkan berbagai aspirasi masyarakat sebagai hak mereka
dalam mengeluarkan pendapat masing-masing.
2) Mewadahi masyarakat dalam menyalurkan sharing pendapat, idea atau
gagasan untuk dikonsumsikan untuk kemaslahatan bersama.
3) Hasil keputusan musyawarah untuk kepentingan atau kemaslhatan umum.
4) Supaya terhindar lahirnya keputusan penguasa secara sewenang-
wenang/absolut.
5) Mendidik semua elemen masyarakat dan berperan serta dalam kehidupan
bernegara/berorganisasi.
6) Menanamkan rasa persaudaraan yang dilandasi keimanan kepada Allah
SWT.
7) Supaya menemukan jalan keluar yang terbaik.
8) Mencegah lahirnya keputusan yang merugikan kepentingan umum/rakyat.
c. IMPLEMENTASI MUSYAWARAH MASA KINI (Veron P, 2022)

Pada masa kini (dalam konteks bernegara), musyawarah dapat


dilaksanakan melalui suatu lembaga pemerintahan yang disebut dewan
perwakilan atau apapun namanya yang sesuai dengan kebutuhan pada suatu
tempat dan waktu. Implimentasi musyawarah termasuk wilayah Ijtihad manusia.
Bagaimana bentuk dan cara musyawarah yang terbaik menurut suatu ukuran masa
dan tempat, maka itulah yang digunakan. Karena baik Al-Qur’an maupun Al-
Hadist sama sekali tidak menentukan hal ini. Ini mengandung hikmah yang besar
bagi umat manusia, karena musyawarah itu sendiri sebagai suatu prinsip
konstitusional yang digariskan Al-Qur’an dan diteladani melalui tradisi Nabi tidak
berubah. Namun implimentasi dan pelaksanaannya selalu mengalami perubahan
sesuai dengan perkembangan dan kemajuan masyarakat sejauh tidak bertentangan
dengn ruh Al- Qur’an dan tradisi Nabi.

Dalam prinsip musyawarah, hal yang paling krusial diperhatikan bahwa


dari aspek tatanan hukum Islam manusia dibenarkan musyawarah hanya dalam
koridor ma’aruf. Sebaliknya tidak dibenarkan dalam wilayah munkar. Karena
pesan Nabi yang artinya “Anda lebih mengetahui tentang urusan duniamu”
Anggota lembaga musyawarah disebut ahl al-hall wa al’aqd atau ahl al-syaukah.
Mereka adalah para ulama cerdik pandai yang mampu berijtihad dan memiliki
sifat adil.

Menurut pengikut Imam Syafie jumlah anggota musyawarah sebanyak 40


orang sesuai dengan jumlah bilangan minimal sah shalat jum’at. Menurut Abu Ali
Muhmmad bin Abi Al-Wahab Al-Jubai, jumlah anggota lembaga musyawarah 5
orang. Ulama kuffah, 3 orang minimal dan salah seorang dari mereka menjadi
ketua. Sedangkan menurut Sulaiman bin Jarir al- Zaidi dan sebagian pengikut
Mu’tazilah, minimal 2 orang.

D. HUBUNGAN ANTARA YANG DIPIMPIN DAN TERPIMPIN

(QS. Al-Baqarah [02]: 257).

Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa Allah adalah pemimpin orang-orang


beriman. Hal ini seperti firman-Nya diatas.Azh-zhulumat (kegelapan) dalam ayat di atas
adalah simbol dari segala bentuk kekufuran, kemusyrikan, kefasikan dan kemaksiatan.
Atau dalam bahasa sekarang Azh-zhulumat adalah bermacam-macam ideology dan isme-
isme yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti komunisme, sosialisme, kapitalisme,
liberalism, materialism, hedonism, dan lain sebagainya. Sedangkan an-nur adalah simbol
dari ketauhidan, keimanan, ketaatan, dan segala kebaikan lainnya.

At-thaghut adalah segala sesuatu yang disembah (dipertuhan) selain dari Allah l
dan dia suka diperlakukan sebagai Tuhan tersebut. Sederhananya Thaghut adalah segala
sesuatu yang menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah digariskan oleh Allah
l untuk hamba-Nya. Dia bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban dan lain-lain yang
tidak berlandaskan ajaran Allah `.

Secara kepemimpinan Allah l itu dilaksanakan oleh Rasulullah `, dan sepeninggal


beliau kepemimpinan itu dilaksankan oleh orang-orang yang beriman. Hal itu dinyatakan
di dalam Al-Qur’an, Allah l berfirman, “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah,
Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan
zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”. (Q.S. al-Mâidah [05]: 55).

a. Kriteria Pemimpin

Pemimpin umat atau dalam ayat di ayat di istilahkan dengan waliy dan dalam ayat
yang lain (Q.S An-Nisa’ [4]: 59) disebut dengan ulil amri adalah penerus kepemimpinan
Rasulullah ` setelah beliau meninggal dunia. Sebagai Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad `
tidak bisa digantikan, tapi sebagai kepala Negara, pemimpin, ulil amri tugas beliau dapat
digantikan. Orang-orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin
minimal harus memenuhi empat kriteria sebagai mana yang dijelaskan dalam surat Al-
Mâidah ayat 55 di atas.

 Beriman Kepada Allah l.

Pemimpin ulim amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah `, sedangkan


Rasulullah ` sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah `, maka tentu saja yang
pertama sekali harus dimiliki oleh penerus kepemimpinan beliau adalah keimanan
(kepada Allah, dan Rasul-Nya bagaimana mungkin dia dapat diharapkan memimpin
umat menempuh jalan Allah di atas permukaan bumi jika tidak memiliki iman di
hatinya. Maka keimanan menjadi pondasi dasar kepemimpinan dalam Islam.
 Mendirikan Shalat.

Shalat adalah ibadah vertikal langsung kepada Allah l. Seorang pemimpin


yang mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan vertikal yang baik dengan
Allah l. Diharapkan nilai-nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat di dalam shalat
dapat tercermin dalam kepemimpinannya. Misalnya nilai kejujuran. Apabila wudhu’
seorang imam yang sedang memimpin shalat batal, sekalipun tidak diketahui orang
lain dia akan mengundurkan diri dan siap digantikan orang lain, karena dia sadar
bahwa dia tidak lagi berhak menjadi imam.

 Membayarkan zakat.

Zakat adalah ibadah mahdhah yang merupakan simbol kesucian dan


kepedulian sosial. Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha
mensucikan hati dan hartanya. Dia tidak akan mencari dan menikmati harta dengan
cara yang tidak halal (misalnya dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme). Dan lebih
dari pada itu dia memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap kaum dhu’afa’ dan
mustadh’afin. Dia akan menjadi pembela orang-orang yang lemah.

 Selalu Tunduk Patuh Kepada Allah l.

Ayat di atas disebutkan pemimpin itu haruslah orang-orang yang selalu ruku’
(wa hum raki’un). Ruku’ adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah dan
Rasul-Nya yang secara konkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim
yang kafah (total), baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq, maupun mu’amalat.
Aqidahnya benar (bertauhid secara murni dengan segala konsekuensinya, bebas dari
segala bentuk kemusyrikan), ibadahnya tertib dan sesuai tuntunan Nabi, akhlaqnya
terpuji (shidiq, amanah, adil, istiqamah, dansifat-sifat mulia lainnya). Dan
mu’amalatnya (dalam seluruh aspek kehidupan) tidak bertentangan dengan syari’at
Islam.
 Kepatuhan Kepada Pemimpin

Kepemimpinan Allah l dan Rasul-Nya adalah kepemimpinan yang mutlak


diikuti dan dipatuhi. Sedangkan kepemimpinan orang-orang yang beriman adalah
kepemimpinan yang nisbi (relatif) kepatuhan kepadanya tergantung dengan paling
kurang dua faktor: (1) Faktor kualitas dan integritas pemimpin itu sendiri; dan (2)
Faktor arah dan corak kepemimpinannya. Kemana umat yang dipimpinnya mau
dibawa, apakah untuk menegakkan dinullah atau tidak.Perbedaan kepatuhan itu telah
diisyaratkan oleh Allah l dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisa’ [04]:
59).Perintah taat kepada Rasul disebutkan secara eksplisit seperti perintah taat kepada
Allah l, semantara perintah taat kepada ulil amri hanya di ‘atafkan (diikutkan) kepada
perintah sebelumnya. Artinya kepatuhan kepada ulil amri terkait dengan kepatuhan
ulil amri itu sendiri kepada Allah dan Rasul-Nya. Ulil amri yang disebut dalam ayat
ini ditafsirkan oleh Al-Mâidah 55 di atas, yaitu orang beriman yang mendirikan
shalat, membayar zakat, dan selalu tunduk kepada Allah .Isyarat bahasa ini dipertegas
oleh sabda Rasulullah `, “Seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada
pemimpin –ed-) dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan
untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban
mendengar dan taat.” (H.R. Bukhari)

 Persaudaraan antara Pemimpin dan yang Dipimpin

Sekalipun dalam struktur bernegara (dan juga pada level di bawahnya) ada
hirarki kepemimpinan yang mengharuskan umat atau rakyat patuh pada
pemimpinnya, tetapi dalam pergaulan sehari-hari hubungan antara pemimpin dan
yang dipimpin tetaplah dilandaskan kepada prinsip-prinsip ukhuwah islamiyah, nukan
prinsip atasan dengan bawahan, atau majikan dengan buruh, tetapi prinsip sahabat
dengan sahabat. Demikianlah yang dicontohkan oleh Rasulullah.
2.2 PRINSIP PRINSIP POLITIK LUAR NEGERI DALAM ISLAM
2.3 KONTRIBUSI UMAT ISLAM DALAM PERPOLITIKAN NASIONAL
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Syarkawi. (2012). IMPLEMENTASI MUSYAWARAH MENURUT NOMOKRASI ISLAM.


LENTERA. Diakses dari https://dppai.uii.ac.id/hubungan-pemimpin-dan-yang-dipimpin/
pada tanggal 24 mei 2022

Veron P, C. (2022). HUBUNGAN PEMIMPIN DAN YANG DIPIMPIN.


https://dppai.uii.ac.id/hubungan-pemimpin-dan-yang-dipimpin/

Anda mungkin juga menyukai