Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH FIQIH SIYASAH

Makalah konsep–konsep politik dalam Al–Qur’an dan As-Sunnah

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Mudofir, S.Ag., M.Pd.

Disusun oleh :

1. Bitorian Arsyad Yanuar ( 222121183 )


2. M Ayub Cahyono ( 222121228 )
3. Farhad Najib ( 222121238 )

HKI 3F
Progam Studi Hukum Keluarga Islam
Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta
Tahun 2023

2
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan nikmat dan kesempatan dalam
menuntut ilmu sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan tugas makalah tepat pada
waktunya. Dalam menyelesaikan makalah ini, kami banyak mendapatkan sesuatu hal yang baru
dalam menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini,
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua dan menjadikan ilmu yang
bisa kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
BAB II 3
PEMBAHASAN 3
1. PENGERTIAN POLITIK MENURUT ISLAM 3
2. AYAT AL- QUR’AN YANG BERKAITAN DENGAN POLITIK ISLAM 4
3. KONSEP POLITIK MENURUT HADITS 6
4. KONSEP AJARAN POLITIK MENURUT ISLAM. 10
BAB III 12
PENUTUP 12
KESIMPULAN 12
DAFTAR PUSTAKA 13

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani dan atau
Latin politicos atau politõcus yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis
yang berarti kota. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai segala urusan
dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap
negara lain. Juga dalam arti kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu
masalah).

Dalam kamus-kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan dengan
kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu yang biasa diartikan mengemudi,
mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama ditemukan kata sus yang
berarti penuh kuman, kutu, atau rusak.

Menurut Pakar Tafsir Muhammad Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir
Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an tidak ditemukan
kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun ini bukan berarti bahwa Al-Qur’an tidak
menguraikan soal politik.

Sekian banyak ulama Al-Qur’an yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik
dengan menggunakan Al-Qur’an dan sunnah Nabi sebagai rujukan. Menurut para ahli ilmu
politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau teknik menjalankan
kekuasan-kekuasaan atau masalah-masalah pelaksanaan dan kontrol kekuasaan atau
pembentukan dan penggunaan kekuasaan. Namun pada pembahasan makalah kali ini sedikit
berberbeda karena judul tema pada makalah ini adalah berkaitan dengan bagaimana berpolitik
dengan konsep yang di ajakarkan oleh Al Quran dan Hadits ( Sunnah ). Ada beberapa konsep
yang di ajarkan dalam Al – Quran dan Hadits, Dari sini lah kita berlajar bagaimana cara kita
berpolitik dengan cara yang di ajarkan oleh Al-Quran dan Hadits.

1
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian politik menurut islam ?

2. Ayat-ayat Al-Quran yang menerangkan tentang politik ?

3. Bagaimana konsep politik menurut Hadits ?

4. Bagaimana konsep ajaran politik menurut islam ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian politik menurut islam
2. Untuk mengetahui ayat Al-Quran yang berkaitan dengan politik
3. Untuk mengetahui konsep politik menurut hadits
4. Untuk mengetahui konsep ajaran politik menurut syariat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN POLITIK MENURUT ISLAM


Politik realitanya pasti berhubungan dengan masalah mengatur urusan rakyat baik
oleh negara maupun rakyat. Sehingga definisi dasar menurut realita dasar ini adalah
netral. Hanya saja tiap ideologi (kapitalisme, sosialisme, dan Islam) punya pandangan
tersendiri tentang aturan dan hukum mengatur sistem politik mereka. Dari sinilah muncul
pengertian politik yang mengandung pandangan hidup tertentu dan tidak lagi “netral”.

Rasulullah saw bersabda:

“Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi
meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada
para Khalifah yang banyak” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).

Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang mengatur dan
mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw. hal ini juga ditegaskan dalam
hadits Rasulullah: “Imam adalah seorang penggembala dan ia akan dimintai
pertanggungjawaban atas gembalaannya”.

Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan


rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik
dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghajali: “Agama dan kekuasaan adalah
dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya.
Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak
berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.

Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan,


bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi
hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini
bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang
berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak lain

3
merupakan perjuangan kekuasaan) Berpolitik adalah kewajiban bagi setiap Muslim baik
itu laki-laki maupun perempuan. Adapun dalil yang menunjukkan itu antara lain:

Pertama, dalil-dalil syara telah mewajibkan bagi kaum Muslim untuk mengurus
urusannya berdasarkan hukum-hukum Islam. Sebagai pelaksana praktis hukum syara,
Allah SWT telah mewajibkan adanya ditengah-tengah kaum Muslim pemerintah Islam
yang menjalankan urusan umat berdasarkan hukum syara. Firman Allah SWT yang
artinya:

“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah SWT dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu” (TQS. Al-Maidah [105]:48).

Kedua, syara telah mewajibkan kaum Muslim untuk memeprhatikan terhadap


urusan umat sehingga keberlangsungan hukum syara bisa terjamin. karenanya dalam
Islam ada kewajiban untuk mengoreksi penguasa (muhasabah li al-hukkam). Kewajiban
ini didasarkan kepada Firman Allah SWT yang artinya: “Dan hendaklah ada diantara
kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS. Ali
Imran [03]: 104). Demikian persfektif politik menurut agama islam yang pada hasilnya
kita tidak boleh acuh terhadap amanah yang di emban oleh pemerintah karena tugas
seorang muslim dengan muslim lainnya adalah saling mengingatkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran.

2. AYAT AL- QUR’AN YANG BERKAITAN DENGAN POLITIK ISLAM


Kata siyasah sebagaimana dikemukakan di atas diartikan dengan politik dan juga
sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat. Di sisi lain terdapat persamaan makna
antara pengertian kata hikmat dan politik. Sementara ulama mengartikan hikmat sebagai
kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah sehingga mendatangkan
manfaat atau menghindarkan mudharat. Pengertian ini sejalan dengan makna kedua yang
dikemukakan Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang arti politik, sebagaimana dikutip di
atas.

4
Dalam Al-Qur’an ditemukan dua puluh kali kata hikmah, kesemuanya dalam
konteks pujian. Salah satu di antaranya adalah surat Al-Baqarah (2): 269: Siapa yang
dianugerahi hikmah, maka dia telah dianugerahi kebajikan yang banyak.

ِ ‫يُْؤ تِي ْال ِح ْك َمةَ َم ْن يَ َشا ُء ۚ َو َم ْن يُْؤ تَ ْال ِح ْك َمةَ فَقَ ْد ُأوتِ َي َخ ْيرًا َكثِيرًا ۗ َو َما يَ َّذ َّك ُر ِإاَّل ُأولُو اَأْل ْلبَا‬
‫ب‬

“Allah menganugerahkan al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur'an dan


As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi
hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang
yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al-Baqarah:
269)

Melihat perpolitikan tanah air saat ini, hendaknya partai politik dan para kadernya
memahami kembali makna dan tujuan berpolitik yang bermuara pada kebijaksanaan atau
hikmat untuk mewujudkan kebermanfaatan masyarakat banyak.

Adapun Beberapa ayat yang berkaitan dengan ilmu politik antara lain :
(Q.S. An-Nisaaa’ : 58)
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.

(Q.S. An-Nisaa’ : 59)

5
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.

(Q.S. Al-Maa’idah : 51)


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

(Q.S. Yusuf : 55-56)


Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan." Dan demikianlah Kami
memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju
kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada
siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
berbuat baik.

(Q.S. An-Naml : 32)


Berkata dia (Balqis): "Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku
(ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam
majelis(ku)."

(Q.S. Asy-Syuuraa : 38)


Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.

6
3. KONSEP POLITIK MENURUT HADITS
Hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah politik baru berkembang pada masa
khalifah Ali bin Abi Thalib. Walaupun demikian, harus diakui bahwa hadis-hadis yang
berkenaan dengan masalah politik tidak mustahil telah terjadi pada masa sebelumnya,
karena pertentangan politik antar sesama muslim tidak dimulai pada masa khalifah Ali
bin Abi Thalib saja, melainkan terjadi ketika Nabi Saw baru saja wafat (Khatib &
al-Karim, 1963). Sering terdengar di tengah masyarakat, termasuk di kalangan akademisi
sendiri bahwa politik itu kotor karena hanya melahirkan figur-figur yang ambivalen.
Pernyataan tersebut mungkin ada benarnya, karena memang banyak indicator yang
menunjukkan bahwa dalam proses demokratisasi seringkali terjadi halhal yang tidak
diinginkan tidak hanya karena melanggar aturan dan regulasiyang ada, tetapi memang
secara etika sangat tidak layak untuk dilakukan misalnya dengan praktek money politik
demi merebut kekuasaan. Karena itulah tidak salah bila seorang sarjana muslim bernama
Muhammad Abduh pernah mengatakan : a’udzu billahi minas siyasah, aku berlindung
kepada Allah dari politik. Para pemikir Islam memandang bahwa perilaku politik
semestinya tidak terlepas dari nilai etika dan norma agama yang sifatnya transenden.

Karenanya setiap individu atau kelompok harus mampu mengaktualisasikan


nilai-nilai yang dimaksud, karena alam ini ibarat common wealth yang mencakup dua
unsur, yaitu Tuhan dan manusia yang saling terkait satu sama lain, apalagi jika dilihat
dari sisi tujuan berdirinya sebuah negara adalah untuk mencapai kemaslahatan bersama,
saling menguntungkan tanpa harus melihat ras, suku, bangsa, dan bahkan agama.
Terdapat beberapa hadis Nabi saw. berkenaan dengan konsep dasar kepemimpinan pada
Shahih Bukhari dan Muslim, di antaranya:

A. Keharusan pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya

Telah meriwayatkan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa Rasulullah Saw
bersabda: Masing-masing dari kalian adalah seorang pemimpin dan akan
bertanggungjawab atas yang kalian pimpin. Amir (kepala negara) pada umumnya
adalah seorang pemimpin manusia dan akan bertanggungjawab atasnya. Seorang
suami dari keluarga adalah pemimpin dan akan bertanggungjawab atas mereka.
Seorang istri adalah pemimpin dalam keluarga dan anak-anak suami, dan akan

7
bertanggungjawab atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam
urusan harta tuannya, dan akan bertanggungjawab atasnya. Ketahuilah bahwa setiap
masing-masing dari kalian adalah seorang pemimpin, dan masing-masing akan
bertanggungjawab atas orang-orang yang dipimpinnya (HR. al-Bukhari: 1199).

Hadis ini menjelaskan tiga pokok. Pertama, pemimpin, subyeknya. Manusia harus
mampu memimpin dirinya sendiri, jadi dasar utamanya internal manusia sendiri
sebagai objek kepemimpinan, memimpin diri sendiri berarti mengupayakan
berfungsinya sistem untuk menghasilkan output yang berfungsi bagi diri sendiri dan
lingkungan sekitar. Jika kita ingin menyuruh orang lain, kita terlebih dahulu
melakukannya. Kedua, kepemimpinan, dinamika terapannya. Selama ini dipahami
kepemimpinan sebagai ilmu dan seni mempengaruhi orang lain, agar orang lain mau
secara ikhlas melakukan sesuatu sesuai keinginan atau harapan pemimpin. Dalam
dimensi ini hanya mengandung secara eksternal, sedangkan dimensi internalnya
hilang. Padahal keduanya harus serentak, karena kepemimpinan juga untuk diri
sendiri. Dari sini suri tauladan akan secara otomatis muncul. Sebenarnya batas antara
pemimpin dengan yang dipimpin sifatnya labil (situasional), maka pada suatu waktu
orang melakukan dua status saling bersamaan atau bergantian. Ketiga,
pertanggungjawaban, resikonya. Resiko sebagai konsekuensi logis dari keberhasilan
atau kegagalan, resiko akan menghitung sampai sejauh mana nilai kepemimpinan
terapan yang diharapkan bisa tercapai. Dengan kata lain, sekecil apapun, akan
dihitung mendapatkan imbalan, sebagaimana yang tertera dalam Q.S al-Zalzalah: 7-8

a. Keharusan pemimpin untuk berlaku adil


Hadis Ma’qil bin Yasar. Diriwayatkan dari al-Hasan bahwa ‘Abdullah bin Ziyad
mengunjungi Ma’qil bin Yasar ketika sakit menjelang wafatnya. Ma’qil berkata
kepadanya: Aku akan sampaikan kepadamu, aku mendengar hadis dari Rasulullah
Saw dan mendengar Nabi Saw bersabda: Seorang hamba yang dititipkan amanat oleh
Allah Swt berupa kepemimpinan, namun ia tidak menindaklanjutinya dengan baik, ia
tidak akan mendapatkan aroma surga” (HR. al-Bukhari: 1200). Dalam rangka
menerapkan sistem keadilan, seorang pemimpin harus tegas dalam memberikan

8
sanksi kepada para hakim-hakim dan para penegak hukum yang menciderai rasa
keadilan bagi masyarakat, terutama masyarakat bawah. Jangan sampai hukum tajam
ke bawah dan tumpul ke atas, artinya penegakkan hukum yang tembang pilih dan
diskriminatif. Dalam prakteknya, Rasulullah Saw selalu mengutus para hakim ke
daerah-daerah untuk menetapkan hukum dengan seadil-adilnya, karena keadilan itu
lebih dekat kepada takwa.
Salah satu kemuliaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin adalah ketika mereka
memimpin dengan penuh rasa adil, sehari saja berlaku adil akan jauh lebih mulia
daripada beribadah 60 tahun, termasuk ketika mereka menegakkan hukum secara
benar dan proporsional akan jauh lebih mulia daripada hujan selama 40 tahun.
Seorang pemimpin harus memiliki prinsip serta komitmen yang kuat terhadap
tegaknya keadilan. Di samping itu, seorang pemimpin harus selalu bersikap
bijaksana. Karenanya sebelum memtuskan suatu perkara atau mengambil suatu
tindakan maka sebaiknya ia berlapang dada untuk menerima masukan dan saran agar
segala keputusannya tetap dapat diterima karena sesuai dengan kemaslahatan rakyat

b. Keharusan mencintai terhadap sesama


Dari 'Auf bin Malik r.a Rasulullah Saw bersabda: Pemimpin yang baik adalah
pemimpin yang mencintai kalian dan kalian mencintainya, mendoakan kalian dan
kalian mendoakan mereka, sedangkan pemimpin yang buruk adalah pemimpin yang
kalian benci dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka
melaknat kalian (HR. Muslim, No Hadits: 1855).

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menempatkan dirinya di


tengah masyarakatnya dengan tidak menjaga jarak dengan mereka, sehingga ia pun
dapat diterima kehadirannya dengan baik karena ia disenangi. Seorang pemimpin
yang baik sebaiknya berjiwa besar untuk senantiasa terbuka kepada mereka, dan
bahkan dengan senang hati turun ke tengah masyarakatnya untuk memantau dan
mengetahui apa masalah yang sedang mereka hadapi. Semua masalah yang ada tentu
akan mudah diselesaikan karena antara pemimpin dengan masyarakatnya sangat
akrab satu sama lain. Mencari pemimpin yang cerdas serta intelektual bisa jadi
mudah. Tetapi mencari pemimpin yang betul-betul memiliki tingkat kepedulian,

9
perhatian, dan pelayanan kepada masyarakatnya dengan penuh kedekatan dengan
mereka terkadang susah, karena biasanya mereka selalu menjaga jarak dengan
masyarakatnya. Mereka tidak mau berinteraksi langsung karena menganggap bahwa
dirinya lebih mulia daripada masyarakatnya sehingga jika mereka tidak menjaga jarak
itu, mereka menganggapnya sebagai suatu kelemahan dan dapat mengurangi
prestisenya. Padahal seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu
menghilangkan jarak antara dirinya dengan masyarakatnya.

4. KONSEP AJARAN POLITIK MENURUT ISLAM.


Konsep politik dalam Islam, menurut Al-Quran dan Hadits, mencakup berbagai
aspek yang mengatur tata kelola negara, pemerintahan, dan hubungan antara pemerintah
dan rakyat. Penting untuk diingat bahwa interpretasi tentang konsep politik dalam Islam
dapat bervariasi di antara berbagai ulama dan pemikir Islam. Di bawah ini adalah
beberapa prinsip dasar yang dapat ditemukan dalam Al-Quran dan Hadits yang berkaitan
dengan politik:

Kepemimpinan yang Adil:

Al-Quran menekankan pentingnya pemimpin yang adil. Pemimpin dalam Islam


diharapkan untuk memimpin dengan keadilan, menghormati hak-hak individu, dan
menghindari penyalahgunaan kekuasaan.

Syura (Musyawarah):

Konsep syura, atau musyawarah, adalah salah satu prinsip dasar dalam politik
Islam. Hal ini mencerminkan prinsip konsultasi dan partisipasi dalam pengambilan
keputusan. Dalam Al-Quran, ada beberapa ayat yang menggambarkan pentingnya
musyawarah dalam menyelesaikan masalah politik.

10
Kepatuhan terhadap Hukum Allah (Syariat):

Politik dalam Islam harus berlandaskan pada prinsip-prinsip syariat Islam.


Hukum-hukum Islam dianggap sebagai panduan utama dalam mengatur kehidupan
masyarakat dan pemerintahan.

Perlindungan Hak Asasi Manusia:

Islam menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia, termasuk hak atas
kebebasan beragama, pendapat, dan keadilan. Pemerintah diharapkan untuk menjaga dan
memastikan hak-hak ini.

Keadilan Sosial dan Ekonomi:

Al-Quran dan Hadits mengajarkan pentingnya distribusi yang adil dari sumber
daya ekonomi dan mengurangi kesenjangan sosial. Pemerintah diharapkan untuk
memastikan keadilan sosial dan ekonomi dalam masyarakat.

Toleransi dan Kepemimpinan yang Bijaksana:

Islam mendorong toleransi antaragama dan hubungan baik dengan pihak lain.
Pemimpin Islam diharapkan untuk mempromosikan perdamaian dan kerjasama
antarnegara.

Dalam praktiknya, konsep politik dalam Islam dapat bervariasi dari satu negara
atau komunitas Muslim ke negara atau komunitas Muslim lainnya. Banyak negara
dengan mayoritas penduduk Muslim memiliki berbagai bentuk pemerintahan, dari
monarki hingga republik, dan cara mereka menginterpretasikan dan menerapkan
prinsip-prinsip politik dalam Islam dapat berbeda.

Selain itu, ada berbagai pandangan dan aliran pemikiran politik dalam Islam,
seperti Islamisme, yang mengusung visi politik berbasis Islam yang berbeda-beda. Oleh

11
karena itu, penting untuk memahami bahwa tidak ada satu "konsep politik" dalam Islam
yang bersifat universal, dan interpretasinya dapat sangat bervariasi.

12
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Politik Islam dapat diartikan sebagai suatu cara untuk mempengaruhi anggota
masyarakat, agar berprilaku sesuai dengan ajaran Allah menurut sunah rasulnya. Prinsip dasar
politik Islam diantaranya adalah Musyawarah (syura)Keadilan Kebebasan Persamaan, dan
Pertanggungjawaban dari Pemimpin Pemerintah tentang Kebijakan yang diambilnyaPenting
untuk dicatat bahwa praktik politik Islam dapat bervariasi antara negara-negara dan
kelompok-kelompok yang berbeda, tergantung pada interpretasi dan implementasi
prinsip-prinsip tersebut. Selain itu, nilai-nilai demokrasi dan tata pemerintahan yang berbeda
dapat ada dalam konteks politik Islam, yang dapat mengarah pada beragam pendekatan politik.

13
DAFTAR PUSTAKA
Saifudin Achmad. F2000Agama dalam Politik KeseragamanJakartaDepartemen Agama
RISutanaIja & Betty Tresnawaty2020Political Knowlegde and Political Behavior Among Highly
No4, hal150

Educated Muslims In IndonesiaJournal of Social Studies Education ResearchVol 11,

Syamsuddin MDin2001Islam dan Politik Era Orde BaruJakarta: PTLogos Wacana Ilmu.
Tjandrasasmita, Uka (Ed)1984Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Yusuf1998Pedoman bernegara dalam Perspektif IslamJakarta: Pustaka Al-Kautsar

14

Anda mungkin juga menyukai