Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena
itu, pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam atau
khalifah tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat syariat.
Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan dua elemen yang saling berkaitan.
Artinya, kepemimpinan (style of the leader) merupakan cerminan dari karakter/perilaku
pemimpinnya (leader behavior). Perpaduan atau sintesis antara “leader behavior dengan leader
style” merupakan kunci keberhasilan pengelolaan organisasi; atau dalam skala yang lebih luas
adalah pengelolaan daerah atau wilayah, dan bahkan Negara.

Dari defenisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kepemimpinan ada keterkaitan
antara pemimpin dengan berbagai kegiatan yang dihasilkan oleh pemimpin tersebut. Pemimpin
adalah seseorang yang dapat mempersatukan orang-orang dan dapat mengarahkannya sedemikian
rupa untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh seorang
pemimpin, maka ia harus mempunyai kemampuan untuk mengatur lingkungan kepemimpinannya.

Kepemimpinan menurut Halpin Winer yang dikutip oleh Dadi Permadi (2000 :
35) bahwa : “Kepemimpinan yang menekankan dua dimensi perilaku pimpinan apa yang dia
istilahkan “initiating structure” (memprakarsai struktur) dan “consideration” (pertimbangan).
Memprakarsai struktur adalah perilaku pemimpin dalam menentukan hubungan kerja dengan
bawahannya dan juga usahanya dalam membentuk pola-pola organisasi, saluran komunikasi dan
prosedur kerja yang jelas. Sedangkan pertimbangan adalah perilaku pemimpin dalam menunjukkan
persahabatan dan respek dalam hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya dalam suatu
kerja.”

B. Rumusan Masalah

1. Bagamaina kepemimpinan menurut syiah ?


1
2. Bagaimana kepemimpinan menurut sunni?
3. Bagaimana kepemimpinan menurut khawarij?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui kepemimpinan menurut syiah


2. Untuk mengetahui kepemimpinan menurut sunni
3. Untuk mengetahui kepemimpinan menurut khawarij

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Kepemimpinan Menurut Syiah

Kepemimpinan Menurut Syiah Kelompok Syiah dalam hal kepemimpinan membedakan


penger‐tian antara khilafah dan Imamah. Hal ini dapat dilihat berdasarkan fakta sejarah
kepemimpinan dalam Islam setelah Rasulullah SAW wafat. Kelompok Syiah sepakat bahwa
pengertian Imam dan Khilafah itu sama ketika Ali Bin Abi Thalib diangkat menjadi pemimpin.
Namun sebelum Ali menjadi pemimpin mereka membedakan pengertian Imam dan Khilafah.
Abu Bakar, Umar Bin Khattab, dan Utsman adalah Khalifah, namun mereka bukanlah Imam.

Bagi kelompok Syi’ah sikap seorang Imam haruslah mulia se‐ hingga menjadi panuta para
pengikutnya. Imamah didefinisikan sebagai kepemimpinan masyarakat umum, yakni seseorang
yang mengurusi persoalan agama dan dunia sebagai wakil dari Rasulullah SAW, Khalifah
Rasulullah SAW yang memelihara agama dan menjaga kemuliaan umat dan wajib di patuhi
serta diikuti. Imam mengandung makna lebih sakral dari pada khalifah.1

Secara implisit kaum Syi’ah meyakini bahwa khalifah hanya melingkupi ranah jabatan
politik saja, tidak melingkupi ranah spiritual keagamaan. Sedangkan Imamah melingkupi
seluruh ranah kehidupan manusia baik itu agama dan politik. Terdapat perbedaan yang cukup
signifikan antara kelompok Islam sekuler dengan kelompok Islam yang tidak memisahkan
kehi‐ dupan beragama dengan kehidupan berpolitik. Kelompok Islam Sekuler menyatakan
bahwa kaum ulama tidaklah wajib untuk berkecimpung didalam dunia politik. Pandangan ini
didasarkan pada pandangan bahwa kehidupan agama merupakan urusan pribadi masing‐
masing individu (privat), tidak ada hubungannya dengan dunia politik (publik). Sehingga peran
ulama hanya terbatas pada ritual‐ritual keagamaan semata, jangan mengurusi kehidupan dunia
politik. Dalam kondisi seperti ini maka ulama tidaklah mungkin menjadi pemimpin dari suatu
masyarakat, ulama hanya selalu menjadi subordinasi dan/atau alat legitimasi pemimpin politik
dari masyarakat.2
Sedangkan kelompok anti sekuler yang meyakini bahwa kehidupan beragama dan dunia tidak
1
Ibid.
2
Dr Ali As‐Salus, Imamh dan Khilafah dalam Tinjauan Syar’i, Gema Insani Press, Jakarta, hlm. 16.
3
dapat dipisahkan khususnya dunia politik. Kelompok ini mendukung dan meyakini bahwa ulama
haruslah memimpin. Ulama harus dapat membimbing manusia tidak hanya menuju pada kebaikan
yang bersifat dunia, akan tetapi juga hal‐hal yang menuju pada kesempurnaan spiritual. Para ulama
yang men‐duduki jabatan politik haruslah dapat melepaskan manusia dari belenggu‐belenggu dunia
yang menyesatkan.3
Menurut Ali Syari’ati, secara sosiologis masyarakat dan kepemimpinan merupakan dua istilah
yang tidak dapat dipisahkan. Syari’ati berkeyakinan bahwa ketiadaan kepemimpinan menjadi
sumber munculnya problem‐problem masyarakat, bahkan masalah kemanusia‐an secara umum.
Menurut Syari’ati pemimpin adalah pahlawan, idola, dan insan kamil, tanpa pemimpin umat
manusia akan mengalami disorientasi dan alienasi4
Ketika suatu masyarakat membutuhkan seorang pemimpin, maka seorang yang paham akan
realitas masyarakatlah yang pantas mengemban amanah kepemimpinan tersebut. Pemimpin
tersebut harus dapat membawa masyarakat menuju kesempurnaan yang sesungguh‐nya. Watak
manusia yang bermasyarakat ini merupakan kelanjutan dari karakter individu yang menginginkan
perkembangan dirinya menuju pada kesempurnaan yang lebih.
Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kelompok Islam sekuler dengan kelompok
Islam yang tidak memisahkan kehi‐ dupan beragama dengan kehidupan berpolitik. Kelompok
Islam Sekuler menyatakan bahwa kaum ulama tidaklah wajib untuk berkecimpung didalam dunia
politik. Pandangan ini didasarkan pada pandangan bahwa kehidupan agama merupakan urusan
pribadi masing‐masing individu (privat), tidak ada hubungannya dengan dunia politik (publik).
Sehingga peran ulama hanya terbatas pada ritual‐ritual keagamaan semata, jangan mengurusi
kehidupan dunia politik. Dalam kondisi seperti ini maka ulama tidaklah mungkin menjadi
pemimpin dari suatu masyarakat, ulama hanya selalu menjadi subordinasi dan/atau alat legitimasi
pemimpin politik dari masyarakat.
Sedangkan kelompok anti sekuler yang meyakini bahwa kehidupan beragama dan dunia tidak
dapat dipisahkan khususnya dunia politik. Kelompok ini mendukung dan meyakini bahwa ulama
haruslah memimpin. Ulama harus dapat membimbing manusia tidak hanya menuju pada kebaikan
yang bersifat dunia, akan tetapi juga hal‐hal yang menuju pada kesempurnaan spiritual. Para ulama
yang men‐duduki jabatan politik haruslah dapat melepaskan manusia dari belenggu‐belenggu dunia
yang menyesatkan.
3
Ibrahim Amini, Para Pemimpin Teladan, Al‐huda, Jakarta 2005, hlm. 18
4
Haidar Bagir dalam Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah; Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung, Pustaka Hidayah, 1989,
Hlm 16‐17.
4
B. Kepemimpinan menurut sunni

kelompok Sunni yang berpendapat bahwa persoalan kepemimpinan merupakan urusan umat dan
diserahkan kepada umat disebabkan Nabi tidak pernah memberikan metode khusus dalam
pergantian kepemimpinan, dan bersandar pada dalil al-Quran yakni dengan prinsip musyawarah
kaum Sunni mencoba lebih jauh dengan memberikan suatu konsep kepemimpinan yang secara
teori disebut dengan Khilafah. Suatu sistem pemerintahan yang tidak menganut pola kerajaan
selayaknya kaum Syiah dengan prosesi pengangkatan pemimpin dengan metode pewarisan.

Menurut Roger Graudy, bahwa sebagai contoh al-Qur’an melarang kerajaan yang didasarkan atas
hak ilahi dan teokrasi dalam arti dipakai orang di Barat, karena dalam Islam tidak ada kaum
pendeta (Rahbaniah) dan tidak ada pula gereja yang berhak untuk bicara dan memerintah atas
nama Tuhan. Selanjutnya dia mengatakan khilafah umpamanya, tidak menjadi turun
temurun sebagai dinasti kecuali sesudah meniru otokrasi Romawi atau Persia Sasanide.
perspektif sunni, bahwa kekuasaan sepenuhnya diserahkan kepada rakyat, kemudian dalam
mekanisme pemilihan ditentukan dengan jalur musyawarah (syura) atau wilayah al-ahd, yang
kemudian membentuk lembaga politik yaitu khilafah atau mulkiyyah (kerajaan). Kelompok
Ahlul-Sunnah atau sunni sepakat bahwa jalan menuju kekhilafahan yang konstitusional atau
bahwa sumber kekuasaan khalifah dapat dicapai melalui prosedur pemilihan umum oleh umat,
yang dicerminkan dengan prosedur pembaiatan.19 Selain itu, kelompok sunni berpegang kapada
dalil-dalil dalam al-Qur’an yang mewajibkan agar kaum muslimin memegang prinsip
musyawarah agar terhindar dari kesewenangan.

C. Kepemimpinan menurut khawarij

Sebenarnya awal mula kemunculan pemikiran khawarij, bermula pada saat masa Rasulullah
SAW. Ketika Rasulullah SAW membagi-bagikan harta rampasan perang di desa Ju’ronah (pasca
perang Hunain) beliau memberikan seratus ekor unta kepada Aqra’ bin Habis dan Uyainah bin
Harits. Beliau juga memberikan kepada beberapa orang dari tokoh quraisy dan pemuka-pemuka
arab lebih banyak dari yang diberikan kepada yang lainnya.
Melihat hal ini, seseorang (yang disebut Dzul Khuwaisirah) Berkata: “Demi Allah ini adalah

5
pembagian yang tidak adil dan tidak mengharapkan wajah Allah”. Atau dalam riwayat lain dia
mengatakan kepada Rasulullah SAW: “Berbuat adillah, karena sesungguhnya engkau belum
berbuat adil!”.5
Khawarij tidak menerima sistem khilafah yang berdasarkan garis keturunan (nasab), tidak pula
seperti Syi’ah yang hanya menerima kekhilafahan dari garis keturunan Ali dan anak-anaknya dari
kaum muslimin lainnya, dan tidak pula harus melihat garis keturunan dari Rasulullah sedikit dan
banyaknya.6

Mereka menganggap sebab kefasiqan seseorang itu adalah keputusasaannya dari rauhillah,
sehingga dengan itu dia menjadi kafir. Kemudian mereka bergantung kepada ayat-ayat lain yang
semakna dengan ini, dan mereka menyimpulkan kepada pengkafiran setiap pelaku dosa besar,
disebabkan dengan melakukan dosa besar berarti dia telah berhukum dengan selain apa yang
Allah turunkan.

Kefanatikan mereka yang berlebihan terhadap satu kebenaran yang mereka miliki,
menyebabkan mereka memandang kelompok muslim lain adalah salah, kafir dan musyrik.
Kefahaman mereka ke atas sumber-sumber ajaran dan hukum Islam (al-Qur’an dan AlSunnah)
yang terbatas hanya kepada makna tekstual (harfiah, literal) mengakibatkan mereka terkadang
salah menafsirkan maksud sesungguhnya dari teks tersebut. Kesalahpahaman inilah yang
seringkali melahirkan tindakan yang merusak diri mereka sendiri dan kaum muslimin di luar
kelompok mereka, seperti tindakan boleh menumpahkan darah kaum muslimin di luar kelompok
mereka.terdapat juga kelebihan Khawarij iaitu keikhlasan mengorbankan kesenangan dunia demi
mencapai mardhotillah dengan zuhud dan ibadah mereka. Meskipun demikian terjadi pula
pemaksaan dalam pelaksanaan amalah ibadah yang luar batas kemampuan manusia.

Kaum Khawarij ternyata mempunyai konsep politik dan konsep kepemimpinan yang
bagus. Yaitu :

 Pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang bebas dan
5
Watt, W. Montgomery, The Formative Period of Islamic Thought, Edinburgh University Press: Edinburgh, 1973,
hlm. 15.
6
An-Nasr, Umar Abu, Al-Khawarij fi al-Islam: Qissah al-Hazb al-Jumhuriy al-Araby fi fajr al-Islam, Maktab Umar
Abu An-Nasr: Beirut, 1970, hlm.42.
6
dilakukan umat Islam tanpa diskriminasi. Dengan syarat selama ia berlaku adil,
melaksanakan syari’at, serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan. Jika ia menyimpang,
ia wajib dijatuhi hukuman yang berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
 Jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu dan suku Quraisy.
Melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.
 Konsep Daar Islam dan Daar Al-Kufr. Mereka menganggap hanya daerahnya yang disebut
dar al-Islam, dan daerah orang yang melawan mereka adalah dar al- kufr. Karenanya,
orang yang tinggal dalam wilayah dar al-kufr, baik anak-anak maupun wanita, boleh
dibunuh.
 Melakukan taqiyyah (menyembunyikan keyakinan demi keselamatan diri), baik secara
lisan maupun perbuatan adalah dibolehkan bila keselamatan diri mereka terancam.
 Pemimpin itu dibutuhkan untuk kemaslahatan umaat. Ketika keadaan umat baik- baik saja,
maka tidak diperlukan pemimpin.
 Khawarij sependapat dengan Umar dan Abu Bakar, karena mereka menganggap bahwa
Umar dan Abu Bakar adalah pemimpin yang adil dan melaksanakan Syariat. Khawarij tidak
sependapat dengan Utsman dan Ali karena menurut Khawarij dimasa kepemimpinan
Ustman dan Ali kurang tegas dalam melaksanakan Syariat.
 Orang yang berdosa adalah kafir. Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa
yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika pendapat itu
bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan
Thalhah, al – Zubair, dan para tokoh sahabat lainnya, yang jelas tentu semua itu berpendapat
yang tidak sesuai dengan pendapat khawari

7
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas sebagai pelengkap dari makalah ini ada tiga pemikiran politik
kenegaraan dalam Islam.Pertama, aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili oleh
kelompok Sunni.Kedua, aliran teokrasi yang diwakili oleh Syi’ah kecuali Syi’ah
Zaidiyah.Ketiga, aliran demokrasi yang dianut oleh Khawarij.
Dengan mengetahui pemikiran politik masing – masing golongan ini semoga kita paham
apa arti sebuah perbedaan yang inti dari perbedaan diatas adalah betapa pentingnya
sebuah negara, terlepas apakah disana terdapat perbedaan – perbedaan.

B. Saran

Sebaiknya penulisan sejarah tentang kepemimpinan dalam islam (kontroversi pandangan


syiah, sunni dan khawarij) antara slebih diperluas lagi, agar supaya menjadi bahan
pertimbangan sekaligus bahan renungan bagi generasi Islam, agar kemudian menjadi
pelajaran penting bagi kita untuk mengambil kebaikan yang ada dalam sejarah dan
menjauhi keburukan dalam sejarah tersebut, supaya Islam kembali Berjaya seperti pada
zaman-zaman kejayaanya.

8
DAFTAR PUSTAKA

Dr Ali As‐Salus, Imamh dan Khilafah dalam Tinjauan Syar’i, Gema Insani Press, Jakarta, hlm.
16.

Ibrahim Amini, Para Pemimpin Teladan, Al‐huda, Jakarta 2005, hlm. 18

Watt, W. Montgomery, The Formative Period of Islamic Thought, Edinburgh University Press:
Edinburgh, 1973, hlm. 15.

file:///C:/Users/ACER/Downloads/203-Article%20Text-529-2-10-20220217.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/publications/220464-kepemimpinan-masyarakat-
islam-dalam-pers.pdf

Anda mungkin juga menyukai