Anda di halaman 1dari 3

Ruang Lingkup Waktu

Rara dan Haidar adalah sepasang kekasih. Masih menginjak usia belia dan mengalami
pubertas, tentu saja pacaran adalah hal yang tidak tabu dikalangan remaja.

Batasan dan faktor-faktor mengenai pergaulan bebas ternyata juga hanya dianggap aturan
pajangan-yang bagi mereka itu adalah kuno. Padahal orang tua memberikan nasihat pun demi
kebaikan anaknya juga.

Seperti halnya dua sejoli yang tengah berduaan di rumah kosong itu. Rara meletakkan gelas
berisi susu hangat yang ia buat di meja, kemudian menyenggol lengan Haidar yang terus saja
mengumpat pada game di ponselnya. “Minum dulu susunya!”

Diluar sedang hujan deras, patut saja Rara sebagai puan rumah menyuguhkan sesuatu yang
dibutuhkan tamunya. Terlebih lagi pemuda itu adalah pacarnya.

“Makasih sayang,” Haidar mencubit gemas pipi Rara lalu meminum susunya. “Enak.”
Rara tersenyum senang kemudian berpindah untuk duduk di pangkuan Haidar. Hal yang
sering mereka lakukan.

“Idar.”
“Hm?”
“Mau nyoba sesuatu yang lebih hangat gak?”

“Katanya ada guru BK baru. Sumpah guru yang satu aja udah kaya singa, gimana yang
baru???”
Haidar hanya tertawa menyimak obrolan temannya seputar guru BK baru yang akan memulai
pekerjaannya hari ini. Bagi dia yang suka jadi langganan BK, sudah tidak segan lagi dengan
jabatan itu.

Ditengah-tengah perbincangan hangat mereka, kedatangan Rara seketika membuat riuh


suasana begitu dengan sengaja gadis itu duduk di pangkuan Haidar sambil bergelayut manja.

“Ugh, pemandangan er*tis macam apa ini. Sensor! Sensor!” seru Jagat, temannya Haidar.

“Apa sih Jagat, jomblo diem, ya!” sengit Rara.

“Masalahnya lo maksiat di sekolah!”


“Apa?!”
“Eh! Aduh aduh, bu! Sakit.” semua atensi seketika jatuh pada Haidar yang telinganya dijewer
oleh bu Tika-guru BK yang beberapa saat lalu mereka bicarakan.

“Beraninya kalian pangku-pangkuan di sekolah?!”

“Duh bu! Itu telinga pacar saya jangan dijewer, nanti merah!” sergah Rara.

“Ini juga ikut-ikutan, turun! Atau ibu jewer juga?” ancam bu Tika yang tentu saja bikin Rara
menciut lalu turun dari pangkuan Haidar.

Keributan itu berakhir dengan keduanya yang diseret ke ruang BK untuk diceramahi. Tidak
hanya sekali, mereka bahkan melakukan hal-hal yang melanggar aturan berkali-kali sebagai
pembuktian bahwa guru BK bukanlah halangan bagi hubungan keduanya.

Sejak saat itu, kebebasan menjadi pacuan Haidar Rara dalam menjalani hidup. Walau tidak
luput dari pengawasan bu Tika, mereka tidak peduli. Hidup mereka adalah pilihan mereka
sendiri.

“Capek deh belajar terus, mama udah nentuin dimana aku kuliah nanti,” cerita Rara,
tangannya sibuk memainkan rambut ikal Haidar.

Haidar terkekeh pelan, “Ya bagus dong? Kok kamu kalut?” “Masalahnya kalo aku kepisah
sama kamu gimana? Aku gak mau ah jauh dari kamu.”

Untuk seperkian detik Haidar diam, menatap wajah Rara yang hanya beberapa senti dari
wajahnya. Kepala mereka sama-sama tiduran di meja kelas dan saling berhadapan.

“Kamu lagi mikirin apa, sih?” lamunannya buyar ketika Rara mengusap pelan bagian bawah
matanya, “kantung mata kamu makin menjadi aja, kaya abis dipukulin tau gak?!”

Lagi-lagi Haidar dibuat terkekeh, pikirannya melayang begitu saja saat Rara berada disisinya.
Perasaannya tiba-tiba kalut, entahlah, dia sangat menyayangi Rara melebihi dirinya sendiri.

Dua minggu kemudian, Haidar ditemukan tewas di rumah kos-kosannya. Diduga dia
digerayangi oleh obat-obatan yang selalu dia konsumsi setiap harinya. Polisi juga
menemukan obat terlarang yang diselipkan pada lemari bajunya.

Rara yang mengetahui itu syok dan histeris sambil memeluk jasad pacarnya. Ia tidak
menyangka Haidar menyembunyikan semua itu darinya.
Ternyata stress sangat memengaruhi sebagian hidup dari manusia. Rara tahu bahwa
melakukan kebebasan bisa membuat mereka merasa tenang sejenak, namun dia tidak tahu hal
itu akan menimbulkan dampak negatif yang fatal.

Pemakaman dilakukan dalam suasana kabung yang menyesakkan. Bahkan bu Tika ikut hadir
dan menangis keras. Rara tidak tahu apa hubungan bu Tika dengan Haidar sampai-sampai dia
pun merasakan kesedihan yang luar biasa. Tapi apapun itu, untuk Haidar dan dirinya, ia akan
menjalani hidup dengan benar dan memulai semuanya dari awal.

Sepuluh tahun dia lalui dengan asam manisnya kehidupan. Dan selama itu juga dia tidak
luput dari bayang-bayang Haidar.

Rara membuka tirai apartemen dan pemandangan kota pagi itu dapat dia rasakan segarnya.
Satu hari yang menjadi awal karirnya setelah 4 tahun lamanya berkuliah.

Siang itu, dirinya yang baru, menginjak lingkungan sekolah yang sudah berdiri 40 tahun
lamanya. Senyumnya mengembang ketika memasuki ruang guru untuk beradaptasi dengan
rekan baru di tempatnya bekerja.

“Selamat bekerja ya bu Tika. Semoga kita bisa lebih akrab lagi.”

Rara membenarkan tanda pengenal bertuliskan Rania Pustikawati miliknya, usai


bersosialisasi dengan para guru, kini akhirnya dia menyapa para anak-anak didiknya.

“Apa sih Jagat, jomblo diem, ya!”

Sayup-sayup dia mendengar suara ribut yang tak jauh dari ruang guru. Tepat di taman
sekolah, ada dua sejoli yang saling memangku dan dikelilingi oleh teman-temannya.

Matanya membelalak lalu semua memori masa lampaunya tiba-tiba terputar kembali. Di
sana, dengan senyuman bahagia tanpa beban, Haidar menatap dirinya yang remaja penuh
damba.

Apakah ini adalah kesempatannya untuk mengubah takdir?

Anda mungkin juga menyukai