Anda di halaman 1dari 8

Nama: Satrio Adjie Wibowo

NIM: 11201120000030
Kelas: 7A Ilmu Politik

Khilafah dan Imamah


A. Definisi Khilafah dan Imamah
Khilafah adalah redaksi kata yang berasal dari bahasa Arab yang populer dalam diskusi
topik pemikiran politik Islam. Diksi khilafah ‫ خ ل ي ف ة‬berasal dari akar kata khalafa-yakhlufu-
khalfan-khilafatan ( ‫خالفة‬ ‫ )خلف يخلف خلفا‬yang memiliki arti pergantian. Berdasarkan penjelasan
etimologis bermakna pengganti, belakang, perubahan, atau suksesi. Lewat kajian bahasa tersebut
dapat kita pahami bahwa sosok yang menjadi pengganti atas sosok sebelumnya dapat kita sebut
sebagai khalifah yang pada akhirnya menjadi bagian tidak terpisahkan dari tatanan seputar
khilafah.
Imamah (‫ )إمامة‬berasal dari akar kata amma-yaummu yang berarti kehendak atau maksud.
Ada juga yang mengatakan berasal dari bahasa Hebrew dari amem yang berarti cinta kasih yang
amat dalam. Dari suku kata itu membentuk kata umm berarti ibu karena memiliki kualitas cinta
yang mendalam. Dari akar kata yang sama lahir kata amam (depan atau keterdepanan), imam
(pemimpin berwibawa), ma’mum (rakyat yang santun), imamah (konsep kepemimpinan), dan
ummah (sebuah komunitas yang diikat oleh cinta tulus, mempunyai visi keterdepanan,
mempunyai imam atau pemimpin yang berwibawa, mempunyai makmum atau rakyat yang
santun, dan mempunyai konsep kepemimpinan yang efektif). Dalam konsep imamah terkait erat
dengan imam yang berarti orang yang memiliki kapasitas atau otoritas yang istimewa.
Imamah merupakan masdar dari kata ammannaasa yang berarti menjadi imam bagi orang
yang shalat. Mereka mengikutinya dalam shalatnya, maksudnya adalah seseorang yang maju
kedepan orang-orang yang akan shalat untuk mereka ikuti dalam shalat mereka. Imamah berarti
kepemimpinan bagi kaum muslimin (Ibnu Muzhir,134). Imamah kubra berarti kepemimpinan
tinggi dalam agama dan dunia, sebagai ganti dari Nabi Muhammad SAW. Khilafah juga
sebagaian dari imamah kubra. Dan Imamah kaum muslimin adalah khalifah dan yang semakna
dengannya (Ibnu Muzhir,134). Sementara imamah shugra adalah pengaitan shalat antara
makmum dengan imam dengan beberapa syarat (Ibnu Muzhir,134).
Imam berarti setiap orang yang di ikuti sebagai panutan atau pemimpin (Bisri, 1999:16).
Dia selalu dikedepankan dalam segala urusan. Dan Nabi adalah imam para imam sementara
khalifah adalah pemimpin rakyat dan di dalam Al-Quran imam bagi kaum muslimin. Sementara
imam tantara adalah komandan mereka.
Jama’ kata dari Imam adalah A’immah. Imam shalat berarti orang yang maju di hadapan
jama’ah shalat dan mereka mengikuti gerakan shalatnya. Imam berarti orang yang di ikuti oleh
umat manusia baik sebagai pemimpin maupun lainnya. Darinya maka muncul kata imam shalat.
Imam juga berarti seorang yang ‘alim yang menjadi panutan sedangkan imam bagi segala
sesuatu berarti penegak dan pelaku perbaikan (Ibnu Muzhir,136). Menunjuk imam adalah sebuah
kewajiban Syar’I yang termasuk hal-hal yang wajib menurut kesepakatan para ulama (Zuhaili,
1950:173).
Dalam dunia Syiah, imam dianggap sebagai seseorang yang memiliki kekuatan spiritual
yang agung, yakni kekuatan adikuasa yang transendental melebihi rata-rata kebanyakan orang
biasa dan oleh karenanya menempati struktur hierarkis puncak dalam dogma syiah. Berbeda
dengan khazanah dunia Sunni, istilah imam belum menjadi kosakata yang identik dengan
kekuasaan politik. Barulah pada abad kedua hijriah setelah terjadi gejolak politik, maka konsep
imam dan imamah menjadi begitu populer.
Istilah imam asalnya hanya digunakan dalam konteks imam shalat, bukan pemimpin
politik apalagi pemimpin negara. Istilah imam dan imamah sebagai kosakata politik dalam dunia
sunni muncul pada awal abad ketiga, terutama setelah lahirnya buku fiqih karya Imam Syafi’I
dan Abu Yusuf.
B. Teks Agama Tentang Khilafah dan Imamah
Dalam Al-Quran setidak-tidaknya terdapat 127 ayat yang menyebut kata yang berasal
dari akar kata khalfun. Tetapi hanya dua ayat yang menyebut dalam arti kata benda yang
diatributkan kepada manusia sebagai khalifah yakni Surah Al-Baqarah ayat 30 dan Surah Shad
ayat 26. Selebihnya berbicara tentang kedudukan manusia sebagai makhluk yang saling
bergantian menempati dan memakmurkan bumi dari generasi ke generasi berikutnya, atau dalam
makna pergantian siang dan malam, dan perbedaan pendapat.
Diksi khalifah secara eksplisit terdapat dalam Al-Quran;
‫َو ِاۡذ َقاَل َر ُّب َك ِلۡل َم ٰٓلِٕٮَك ِة ِاِّن ۡى َج اِع ٌل ِفى اَاۡلۡر ِض َخ ِلۡي َفًة‬
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, aku hendak menjadikan
khalifah di bumi.” (QS. Al-Baqarah:30)

Dalam konteks ayat dan surah ini, yang dimaksud sebagai khalifah adalah Nabi Adam
dan anak keturunannya, artinya semua Bani Adam adalah khalifah, pengganti, atau wakil Allah
SWT di muka bumi, dihadapan makhluk lain adalah pemimpin, yang tugasnya memakmurkan
bumi dan membangun kemashlahatan bersama, serta akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya, tentu sesuai kapasitas masing-masing.

‫ٰي َد اٗو ُد ِاَّن ا َج َع ۡل ٰن َك َخ ِلۡي َفًة ِفى اَاۡلۡر ِض َفاۡح ُك ۡم َب ۡي َن الَّن اِس ِباۡل َح ِّق َو اَل َت َّت ِبِع اۡل َه ٰو ى َفُيِض َّلَك َع ۡن َس ِبۡي ِل ِهّٰللا‬

Artinya: “Wahai Dawud, sesungguhnya engkau kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah
keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena
akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.” (QS. Shad:26)
Dalam konteks ayat dan surah ini, karena ketaatannya, keadilannya, kebijaksanaannya,
dan ilmunya yang luas, Allah SWT memilih dan menetapkan Nabi Dawud As sebagai khalifah
(penguasa politik, kepala negara, raja, dan penegak hukum) di tengah-tengah umatnya. Allah
SWT menekankan agar membuat keputusan atau kebijakan yang adil, dan jangan mengikuti
hawa nafsu. Walaupun ayat ini berbicara khalifah dalam kapasitas Nabi Dawud As sebagai
pemimpin politik, namun tidak ada perintah atau doktrin mengenai bentuk negara atau sistem
pemerintahan secara spesifik.
Kata khilafah dan khalifah memiliki akar kata yang sama, namun secara eksplisit kata
khilafah tidak terdapat dalam Al-Quran. Definisi yang berkembang dalam diskursus politik
Islam, khilafah seringkali diartikan sebagai bentuk dan praktik absolut dari idealisasi norma
Islam yang perlu diwujudkan secara riil oleh umatnya. Pijakan normatif satu-satunya adalah
karena pernah hadir dalam pentas sejarah perpolitikan umat Islam. Seperti masa
Khulafaurrasyidin, dinasti Umayyah, dinasti Abbasiyah, dan Turki Utsmani (Ottoman). Namun
fakta dalam sejarah pun, khalifah hanya sebatas sebutan atau gelar kepada orang yang menjadi
pemimpin politiknya dan khilafah sebagai penamaan kepada kepemimpinan pemerintahannya.
Jadi, sama sekali tidak bermakna bentuk negara atau sistem pemerintahan.
Al’allamah Asy-Syeikh Muhammad Asy-Syarbini Al Khatib (287) menjelaskan… maka
(pengarang) berkata (pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode-
metode in’iqadnya imamah. Mewujudkan imamah yang agung itu adalah fardhu kifayah
sebagaimana peradilan. Karena merupakan keharusan atas umat adanya imam yang menegakkan
agama serta yang menolong sunnah serta yang menunaikan hak orang yang dizalimi oleh orang
yang lalim serta menunaikan hak dan menempatkan hak tersebut pada tempat (yang seharusnya).
Dan telah lewat dalam penjelasan serta topik diskusi imamah atas hukum-hukum tentang bughat.
Terdapat pula syarat yang ditetapkan oleh begawan intelektual Islam yakni Syekh
Muhammad Zakaria Al-Anshari dalam kitab Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thulab (268): …
(pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode in’iqad imamah.
Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan (salah satu syarat
menjadi imam adalah kapabel untuk peradilan). Maka hendaknya imam yang agung tersebut
adalah muslim, merdeka, mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, memiliki visi, mendengar, melihat
dan bisa bicara. Berdasar pada apa yang ada pada bab tentang peradilan dan pada ungkapan saja
dengan penambahan adil adalah (dari kabilah Quraisy) berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh An Nasa’i: “bahwa para Imam itu dari golongan Quraisy”. Apabila tidak ada golongan
Quraisy maka dari Kinanah, kemudian pria dari keturunan Ismail lalu orang asing (selain orang
Arab) berdasarkan apa yang ada pada (kitab) At-tahdzib atau Jurhumi berdasarkan apa yang
terdapat dalam (kitab) At-tatimmah. Kemudian pria dari keturunan Ishaq. Selanjutnya
(pemberani) agar (berani) berpegang pada diri sendiri, mengatur pasukan serta memperkuat
(pasukan) untuk menaklukkan negeri serta melindungi kemurnian (Islam). Juga termasuk
(Sebagian dari syarat imamah) adalah bebas dari kekurangan yang akan menghalangi
kesempurnaan serta cekatannya Gerakan sebagaimana hal tersebut merupakan bagian dari
keberanian.
Ketika Imam Fakhruddin Al-Razy, penulis kitab Manaqib Asy-Syafii, menjelaskan
firman-Nya Ta’ala surah Al-Maidah ayat 38, beliau berkata: … para Mutakallimin berhujjah
dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam yang spesifik untuk
mereka. Dalilnya adalah bahwa Dia Ta’ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had
atas pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya seseorang yang
melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorang pun dari rakyat
yang boleh menegakkan had atas pelaku criminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa
tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku criminal kecuali oleh
imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti ‘(jazim) dan tidak mungkin keluar dari
ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan keucali
dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) imam adalah
wajib. Maka adalah suatu yang pasti qath’inya atas wajib mengangkat imam, seketika itu pula…
(Imam Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib fii At-Tafsir, juz 6 hal 57 dan 233).
Sedangkan Imam Abul Qasim An-Naisaburi Asy-Syafi’I berkata …umat telah sepakat
bahwa yang menjadi obyek khitab adalah imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas
wajibnya mengangkat imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya
sesuatu tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula (Imam Abul Qasim Al-hasan bin
Muhammad bin Habib bin Ayyub Asy-Syafi’I An-naisaburi, Tafsir An-naisaburi, juz 5 hal 465)
C. Khilafah dan Imamah pasca Nabi Muhammad SAW
Setelah wafatnya Rasulullah maka praktis terjadi kekosongan kepemimpinan karena
beliau menjadi panutan sekaligus rujukan segala bentuk kekuasaan umat Islam. Pola tersebut
mengindikasikan selain sebagai pemimpin spiritual umat Islam, Nabi Muhammad juga berperan
sebagai pemimpin material berkaitan dengan para pengikutnya dalam menjalankan aktivitas
kesehariannya dan oleh karena itu peristiwa wafatnya Nabi adalah sebuah fenomena krusial
dalam arus tata-kelola umat kedepan. Mengingat Nabi tidak meninggalkan mekanisme
operasional yang baku dan formil menyangkut kepengurusan umat, melainkan seperangkat
prinsip subtansial yang membersamai proses kepemimpinan dalam apapun bentuknya yang
seluruhnya menjadi norma dengan merujuk Al-Quran dan As-Sunnah sebagai pedoman.
Kevakuman kepemimpinan yang terjadi pasca Nabi Muhammad SAW menjadi
sepenuhnya persoalan ijtihad para sahabat. Melalui kejadian tersebut, mereka ditantang untuk
mampu menghadapi realitas wafatnya suri tauladan dan pemimpin mereka dengan tetap
mematuhi rambu-rambu yang telah ditinggalkan Rasulullah lewat ajaran Islam yang paripurna.
Sumber hukum Al-Quran dan hadist sama sekali tidak meninggalkan perintah eksplisit seputar
“siapa yang cocok menjadi penerus kepemimpinan umat pasca Muhammad” melainkan
sepenuhnya bersumber dari hasil olah pikiran dan olah rasa dari seluruh sahabat terutama yang
senior untuk dapat sepenuhnya menyandarkan diri pada petunjuk yang telah ditinggalkan nabi
agung tersebut.
Perlu juga disadari bahwa posisi pengganti Nabi Muhammad tidak serta merta
menjadikan sosok tersebut layaknya nabi yang menerima wahyu dan tugas nubuwwah, karena
misi keselamatan telah diselesaikan secara sempurna dan wafatnya Rasulullah adalah alamat
jelas dan pasti perihal kesuksessan dakwahnya tersebut. Akan tetapi, kehidupan materiil umat
terus berjalan dan suksesi mengenai “siapa yang layak menggantikan posisi beliau” adalah
diskursus yang berkembang secara dinamis dalam percakapan para sahabat pada kala itu.
Kondisi ini digambarkan dalam sebuah pepatah yang terkenal oleh Abu Bakar “Barangsiapa
yang menyembah Muhammad ketahuilah bahwa dia telah meninggal, dan barangsiapa yang
menyembah Allah SWT akan terus kekal dan abadi tanpa permulaan dan juga akhir”. Testimoni
tersebut keluar berkat kedalaman ilmu dan hikmah yang diperoleh Abu Bakar sehingga dapat
bersikap pada kondisi kritis dan suasana berkabung kala itu yang dengan sikap tersebutlah
dirinya tampil menonjol sebagai sosok sahabat yang layak diamanahi estafet kepemimpinan
ummah pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW (Ja’fariyan, 2006:35-36)
Tentang imamah dan khilafah ini, Imam Asy-syahrastani menjelaskan: …tidak pernah
terlintas di dalam hatinya (Abu Bakar ra), tidak seorangpun (dari sahabat Nabi SAW) bahwa
dibolehkan di dunia itu kosong dari imam. Semua itu menunjukkan bahwa sesungguhnya para
sahabat dan mereka adalah shadrul awwal (sumber pertama), bahwa penolakan mereka sejak
dini menunjukkan bahwa di dunia itu harus ada imam. Maka dari sisi ini hal tersebut merupakan
ijma’, yang merupakan dalil yang qath’I atas wajibnya imamah (Imam Abul Fatah Muhammad
bin Ahmad Asy-syahrastani, Nihayatul Iqdam fii Ilmil Kalam, hal 480).
Sedangkan dalam kitab Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil Muntaha dinyatakan: …
(dan mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah) karena manusia memang membutuhkan hal
tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), memelihara konsistensi (agama), menegakkan had,
menunaikan hak-hak, dan amar makruf serta nahi munkar. Dan yang terkena khitab tersebut
adalah dua golongan. Pertama, ahli ijitihad sampai mereka dipilih. Kedua, siapa saja yang
dirinya memenuhi syarat-syarat imamah, dengan maksud agar salah satu diantara mereka dipilih.
Sedangkan yang memiliki hak untuk memilih maka hendaknya mereka adalah adil, memiliki
pengetahuan yang bisa mengantarkan dia untuk mengetahui siapa yang layak untuk imamah,
(memiliki) visi, dan kecermatan yang mengantarkan untuk memilih siapa yang paling layak
untuk imamah tersebut. (Al-allamah Asy-syeikh Musthafa bin Sa’ad bin Abduh As-suyuthi Ad-
dimasyqi Al-hambali, Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil Muntaha, juz 18, hal 381).
Terakhir tentang ijma’ sahabat yang merupakan dalil syara yang sharih (jelas) dan kuat
atas wajibnya mengangkat seorang khalifah. Silahkan periksa siapa saja yang menyatakan bahwa
dengan ijma’ sahabat ditetapkan wajibnya mengangkat khalifah atas kaum Muslim pada rujukan-
rujukan sebagai berikut:
a. Al-mughni fii Abwabit Tauhid wal Adl, juz 20 bagian pertama hal 47-48;
b. Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, juz 12 hal 205-206;
c. Tuhfatul Murid ala Jauharit Tauhid, juz 2 hal 100-101;
d. Ghayatul Maram fii Ilmil Kalam, hal 142;
e. Al-musamarah fii Syarhil Muyasarah, hal 142)

D. Proses Pergantian Khilafah pasca Nabi Muhammad SAW


Terdapat beberapa perbedaan minor yang membedakan periode kekuasaan khilafah pasca
wafatnya Nabi Muhammad SAW antara khalifah Abu Bakar dengan ketiga khalifah lainnya
yakni; Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Nama pertama mengalami
proses seleksi yang longgar karena rekam jejaknya sebagai sahabat senior yang paling lama
mendampingi nabi semasa hidup sehingga integritas dan kapasitas Abu Bakar menjadi krusial
dalam poin pemilihannya menjadi pemimpin umat sepeningggal Rasulullah. Melalui babakan
tersebut kita mengetahui bahwa sahabat Abu Bakar adalah aktor pertama yang merumuskan
konsep pergantian pucuk pimpinan pasca Nabu Muhammad SAW karena lewat dirinya terjadi
skenario pengangkatan sahabat Umar bin Khattab sebagai khalifah yang menggantikan posisi
beliau setelah wafat. Hal ini dia upayakan karena Abu Bakar yakin temperamen Umar yang keras
lagi kasar akan berubah menjadi lemah lembut ketika menjadi khalifah dan terbukti selama
sepuluh tahun Umar bertindak menjadi khalifah hampir tidak terdengar cerita Umar yang galak
lagi ganas seperti periode sebelumnya hingga dijuluki Al-Farouk, khalifah Umar benar-benar
berubah sesuai prediksi sahabat Abu Bakar Ash-shidiq (Muttahari, 1991:19)
Cerita suksesi yang layak dan mulus tidak selalu terjadi dalam perjalanan politik
pemimpin umat Islam. Bila kita tengok kisah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib ketika
mereka hendak menuju proses pelantikan khalifah dan akhir periode tugas kekhalifahannya
justru adalah tragedi kemanusiaan yang menyisakan noktah merah dalam sejarah politik Islam.
Utsman yang memulai kekuasaannya dengan penuh intrik percekcokan dengan kalangan
Khawarij dan Syiah ditambah kecendurungan nepotisme Bani Umayyah yang menempatkan
keluarga dan sekutu Utsman dalam favoritisme menyangkut tata kelola dan kebijakan umat
menjadikan titik kulminasi berupa konflik yang berakhir pada pembunuhan khalifah Utsman
ketika sedang membaca Al-Quran didalam rumahnya. Setali dengan itu Khalifah Ali bin Abi
Thalib juga mengalami nasib yang serupa dengan Utsman dimana dia hidup dalam masa
perpecahan umat antar dua kelompok yang mendukung dirinya dengan kelompok Bani Umayyah
yang merasa dirugikan dengan terbunuhnya Utsman dan menuding Ali berada sebagai aktor
intelektual gerakan tersebut. Walhasil Ali pun tewas secara mengenaskan di hunusan pedang
kaum Khawarij yang secara ekstrim memandang sepupu Rasulullah tersebut telah salah
menjalankan pemerintahan dengan melanggar Al-Quran dan hadist. Tragedi horror tersebut
mewartakan kepada kita betapa proses pergantian kekuasaan pasca Nabi Muhammad SAW
dipenuhi oleh darah yang tumpah ruah, tercatat hanya Abu Bakar yang wafat secara wajar
sebagai khalifah, sisanya; Umar, Utsman, dan Ali menderita kekejaman yang mengakibatkan
berakhirnya hidup mereka. Begitulah scenario politik Islam yang sebetulnya tidak menyisakan
panorama ideal dan keluhuruan layaknya teladan Nabi, semuanya tercampur dalam hawa nafsu
dan angkara murka yang melaluinya sampai tega membunuh orang terdekat Rasulullah demi
semata-mata kesenangan duniawi yang sifatnya sementara (Muttahari, 1991:190)

Daftar Pustaka
Murtadlo, Al-Musthafa. 2011. Aqwal Para Ulama Tentang Wajibnya Khilafah. Jakarta: Penerbit

Dar as-salam

Muttahari, Murtadha. 1991. Imamah dan Khilafah. Jakarta: Penerbit Firdaus

Ja’fariyan, Rasul. 2006. Sejarah Khilafah 11-35H. Jakarta: Penerbit Al-Huda

Asy-Syarbini, Syeikh Muhammad Al-Khatib. Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Alfadzil Minhaj.

Beirul: Darul Kutub al-Islamiah

Al-Anshari, Syeikhul Islam Al-Imam Abu Yahya Zakaria. Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith

Thullab. Beirut: Darul Kutub al-Islamiah

Anda mungkin juga menyukai