A. Pendahuluan
Al-Qur'an al-karim merupakan sumber utama ajaran Islam yang fungsional,
memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya, dalam mengantar sistem pranata-
pranata sosial kemasyarakatan demi mencapai kehidupan manusia di dunia dan
akhirat. Petunjuk-petunjuk tersebut banyak yang bersifat umum dan global sehingga
penjelasan dan implementasinya dibebankan kepada manusia sebagai khalifah
(pengganti Tuhan).1
Implementasi sistem kekhalifahan secara konsepsional dan fungsional sangat
ditentukan oleh kualitas manusia baik dari daya intelektual maupun spiritualnya.
Dengan demikian gembosan-gembosan pemikirannya dalam menjalankan amanah
Allah mampu menjadi pendekar politik yang bijaksana dalam mengartikulasi nilai
guna menghadapi budaya dan kultur dari berbagai lini kehidupan.
1
Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur,an.
(Jakarta: Lentera Hati, 2000), h.138.
1
Khalifah dangan sistem politik yang dijiwai dan disemangati nilai-nilai al-
Qur'an yang telah dijalankan oleh Rasulullah Saw. dan sahabat-sahabatnya telah
dibuktikan pada spektrum sejarah yang sangat fantastik. Hal tersebut banyak
menyedot perhatian sejumlah pengamat politik dunia Barat karena keberhasilan nilai-
nilai Islam yang sangat spektakuler dalam membangun budaya dan peradaban umat
manusia yang dikomandoi oleh khalifah. Keberhasilannya secara empiric didasarkan
pada Nilai kebaikan dan hati yang tulus demi kemajuan dan kejayaan manusia. Bila
kemenangan dan kesuksuksesan berlawanan dengan nilai-nilai kebaikan dan hati
manusia maka keberhasilan tersebut cenderung hanya bersifat periodic/sezaman. Bila
kebaikan itu menjadi tujuan bagi peningkatan maratabat manusia dalam arti luas
maka kemenangan kita akan abadi sebagaimana para Nabi terdahulu. Diskursus
kalifah hingga saat ini masih mendominasi blantika pemikiran politik dunia dan islam
khususnya.
Dari informasi tersebut, ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas yakni,
Apa makna khalifah menurut al-Qur'an? Bagaimana kedudukan manusia sebagai
khalifah dan bagaimana sketsa khalifah dan relevansinya dengan negara?
وإذ ق ال ربك للمالئكة إين جاعل يف األرض خليفة ق الوا أجتعل فيها من يفسد
فيها ويسفك الدماء وحنن نسبح حبمدك ونقدس لك قال إين أعلم ما ال تعلمون
Artinya:
2
Ichtiar Baru Van Hoeven, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Intermesa, 1994), h. 35. Lihat pula,
Abd. Al-Baqi Muhammad Fu’ad, al-Mu’jam al-Muhfarasli Alfash Al-Qur’an al-Qarim, (Beirut:Dar
al-Fikr, 1407 H/1987 M.)
2
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
ي اداود إنا جعلن اك خليفة يف األرض ف احكم بني الن اس ب احلق وال تتبع اهلوى
فيض لك عن س بيل اهلل إن ال ذين يض لون عن س بيل اهلل هلم ع ذاب ش ديد مبا
نسوا يوم احلساب
Artinya:
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,
maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
Dari dua ayat tersebut di atas, memberi informasi secara eksplisit bahwa
begitu urgennya manusia sebagai pengatur paranata-pranata sosial di alam guna
menciptakan iklim yang lebih harmonis, bersahabat dan dinamis, sehingga dapat
mengantar manusia secara kolektif menuju persemakmuran intelektual dan spiritual.
Dalam al-Qur'an ada dua bentuk plural yang dapat digunakan yaitu:
a). Khalaif yang terulang sebanyak empat kali, yakni pada surah al-An'am 165,
Yunus 14, 73 dan fathir 39.
b). Khulafah, terulang sebanyak tiga kali pada surah al-'araf 69, 74 dan al-Namal 62
Keseluruhan kata tersebut berakar dari kata khulafa' yang pada mulanya yang
berarti"di belakang". Dari sisini kata khalifah sering diartikan sebagai "pengganti"
(karena yang menggantikan selalu berada pada fase yang sesudah digantikannya).
Tidak dapat disangkal oleh para mufassir bahwa perbedaan bentuk kata di atas
(khalifah, khalaif dan khulafah), masin-masing mempunyai konteks makna tersendiri.
3
Bila dicermati al-Qur'an, guna memahami yang dikandungnya pada kata
khalifah pada surah Shad dari sejarah kehidupan nabi Daud. Nabi Daud as.
Sebagaimana yang diceritakan oleh al-Qur'an berhasil membunuh Jalut:
Dan Daud membunuh Jalut. Allah memberinya kekuasaan/kerajaan dan
hukmah serta mengerjakannya apa yang ia kehendaki…
3
M.Quraish Shihab, Membumikan al_Qur'an, (Bandung: Mizan, 2002), h. 157-158. Lihat
pula, Al-Raghib al-Ashfani, Mufradat alfash al-Qur’an, (Beirut: al-Dar al-Samiyyat, 1415 H/1995M),
h 133. Bandingkan pula, Ahmad Mustafa al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Dar al-Fikr, (t,th.).
4
Adam dan Daud keduanya digambarkan oleh al-Qur'an sebagai pernah
tergelincir tetapi diampuni Tuhan.4 Di sini dapat disederhanakan bahwa:
1. Kata khalifah digunakan oleh al-Qur'an untuk siapa yang diberi kekuasaan
mengelolah wilayah baik luas maupun terbatas. Dalam hal ini nabi Daud
(947-1000 S.M.) mengelola wilayah palestina, sedangkan nabi Adam secara
potensial atau aktual diberi tugas mengelolah bumi keseluruhannya pada awal
masa sejarah kemanusiaan.
2. Bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan secara aktual dapat melakukan
kekeliruan dan kesalahan akibat mengikuti hawa nafsu. Karena itu, baik
Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu.5
احلمد هلل ف اطر الس موات واألرض جاعل املالئكة رسال أويل أجنحة مثىن
وثالث ورباع يزيد يف اخللق ما يشاء إن اهلل على كل شيء قدير
Artinya:
Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang
kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-
orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi
4
Lihat Q.S.2: 36, 37, dan Q.S. 38: 22,25)
5
Lihat Q.S. 20:16, dan Q.S. 38: 26.
5
Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan
menambah kerugian mereka belaka.
وإىل مثود أخاهم صاحلا قال ياقوم اعبدوا اهلل ما لكم من إله غريه هو أنشأكم من
األرض واستعمركم فيها فاستغفروه مث توبوا إليه إن ريب قريب جميب
Artinya:
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah
menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena
itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya
Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do`a hamba-Nya)."
وما خلقت اجلن واإلنس إال ليعبدون
Artinya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-
Ku.
6
Bila kita dapat menerima kaidah yang menyatakan bahwa penggunaan bentuk
plural untuk menunjuk kepada Allah mengandung makna keterlibatan pihak lain
bersama Allah dalam pekerjaan yang ditunjuk-Nya, maka ini bermakna bahwa dalam
pengangkatan Daud sebagai khalifah terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah
yakni masyarakat (pengikut-pengikutnya).
Adam dilukiskan dalam bentuk tunggal, kerena baru berupa rencana (aku
akan mengangkat) dalam konteks kekhalifahannya, juga ketika peristiwa ini
diwujudkan Allah, tidak ada pihak lain (pengikutnya) bersama yang terlibat dalam
pengangkatan tersebut. Ini bermakna bahwa Daud dan semua khalifah yang terlibat
dengan masyarakat dalam pengangkatannya, dituntut untuk memperhatikan kehendak
masyarakat tersebut, karena mereka ketika itu termasuk pula sebagai penugasan
(mustakhlif.)
Secara khusus penting juga kita susuri dalan al-Qur'an mengenai kata khalaif
yang terdapat pada ayat di atas adalah jumlah al'Kasrat,7 yang dipergunakan dalam
empat ayat al-Qur'an.8 Bentuk mufradnya adalah khalifat yang dipergunakan dalam
dua ayat.9 Bentuk jamak lainnya khulafa dipergunakan dalam tiga ayat.10 Bentuk
mufradnya khalaif tidak dipergunakan dalam al-Qur'an.11
7
Bentuk ini digunakan dengan konotasi kuantitatif tak terbatas dan berbeda dari bentuk
jam'al qillat yang dipergunakan dengan konotasi tak terbatas antara jumlah tiga sampai sepuluh, Lihat
Ali Ridha, al-Marja bi al-lugah al-arabiyat, (al- Qahirat:al-Manar, 134),h.132.
8
Q.S.al-An'am, 6:165, Q.S. Yunus, 10: 14 dan 73, Q.S. Fathir, 35: 39.
9
Q.S. al-Baqarah, 2: 36 dan Q.S. Shaad, 38: 26
10
Q.S. al-'Araf, 7: 69 dan 74, Q.S. al-Namal, 27: 62
11
Lihat Muin Salim, Kekuasaan Politik Menurut al-Qur'an, (Disertasi, IAIN Jakarta, 1998), h.
12
Lihat Q.S. Yunus, 11:14 dan 73 yang berisi pemberitahuan Tuhan bahwa ia menjadikan
orang-orang yang beriman sebagai khalifah di bumi. Sedangkan Q.S. al-An'am 6:165 dan Q.S. Fathir,
35: 39 atas penunjukan kepada seluruh manusia
7
Sedangkan kata khulafa dipergunakan dalam konteks pembicaraan dengan
orang-orang kafir kepada Tuhan.13 Dikaitkan dengan rangkaian ayat yang
mengisahkan sebagian dari keistimewaan dan pengalaman hidup nabi Daud.
Rangkaian kisah ini diungkapkan agar nabi Muhammad memperhatikan dan
mengambil ikhtibar untuk menghadapi kesombongan dan permusuhan orang-orang
musyrik.
Keberadaan kisah nabi Daud setelah deskripsi sikap orang-orang musyrik
terhadap Nabi Muhammad Saw. mengandung dorongan untuk menguatkan jiwa Nabi
dan dan hiburan baginya dalam menghadapi tantangan orang-orang musyrik.14
Asepk lain yang terkandung dalam ayat di atas berkenaan dengan larangan
agar pemimpin jangan mengikuti kehendak hawa nafsunya. Larangan ini pada
hakekatnya merupakan konsekwensi kewajiban menegakkan keadilan hukum Tuhan.
Menegakkan dan mengikuti hukum Tuhan hanya dapat apabila seseorang tidak
mengikuti hawa nafsunya semata. Sebaliknya mengikuti hawa nafsu semata berarti
menjauhkan diri bahkan menyesatkan diri sendiri dari hukum Tuhan.
Dari informasi di atas dapat dipahami bahwa larangan mengikuti hawa
nafsu (semata) pada hakekatnya adalah upaya pemeliharaan martabat
kemanusiaan sehinggah tidak terjatuh ketingkat hewan. Dikhususkan sebagai
pemimpin politik yang memiliki hegemoni di masyarakat, apabila mengikuti
kehendak hawa nafsu dan tidak saja merugikan dirinya (menjatuhkan
martabatnya), tetapi juga kcerdasan dan kekuasaan yang dimilkinya akan
menjadikan masyarakatnya akan menjadi korban hawa nafsunya atau kehendak
golongan-golongannya. Fenomena tersebut tidak asing lagi pada sistem politik
dalam sejarah kehidupan manusia dan melembaga sebagai bentuk
pemerintahan tirani.
Itulah sebabnya secara konsepsional manusia memilki potensi untuk
13
Ayat-ayat bersangkutan adalah, Q.S. al- 'Araf 7:69 dan 74. Q.S. al-Namal 27: 62 ayat-ayat
ini berisi ucapan Nabi Hud, nabi Shaleh dan nabi Muhammad kepada kaum kafir dalam dua ayat
pertama kata tersebut tegas dikaitkan dengan penggantian generasi, sedangkan yang terakhir dikaitkan
dengan penguasaan di bumi.
14
Tentang fungsi kisah al-Qur'an lihat, Q.S. Hud, 11: 120, Q.S. al-'araf, 7: 176, Q.S. Yusuf,
12: 111
8
mempertangungjawabkan di hadapan Allah apa yang telah diperbuatnya,
konsep tanggung jawab berkaitan dengan amanah yang diterimah manusia. 15
Dengan demikian pentingnya dijaga, dipelihara, dan dipupuk nilai-nilai
iman dan taqwa kepada Allah sehingga benar-benar menjadi khalifah penegak
amar ma'ruf dan nahi munkar. Hanyalah dengan iman dan taqwa yang mampu
menegakkan hukum-hukum Allah dan dapat dekat dengan Allah sehingga apa
yang diperintahkan selalu sejalan dengan semagat al-Qu'an dan hanya itulah
yang dapat membumi dan menjaman.
وعد اهلل ال ذين ءامن وا منكم وعمل وا الص احلات ليس تخلفنهم يف األرض كما
اس تخلف ال ذين من قبلهم وليمكنن هلم دينهم ال ذي ارتضى هلم وليب دلنهم من
بعد خ وفهم أمنا يعب دونين ال يش ركون يب ش يئا ومن كفر بعد ذلك فأولئك هم
الفاسقون
Artinya:
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-
sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan
sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-
Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka
15
Lihat Q.S. al-Ahzab 33: 72.
9
tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun
dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka
mereka itulah orang-orang yang fasik.
Inilah landasan sejati demokrasi dalam Islam, hal ini bisa kita lihat dan analisa
mengenai konsep kekhalifahan yang muncul dalam masyarakat dengan hal-hal
sebagai berikut:
a). Suatu masyarakat yang di dalamnya semua orang merupakan khalifah Tuhan
dan merupakan peserta yang setara dalam kekhalifahan ini, tidak dapat membiarkan
adanya pembagian-bagian kelompok yang didasarkan pada perbedaan kelahiran dan
kedudukan sosial. Semuanya menikmati status dan kedudukan yang sama dalam
16
Abul A'la Almaududi, The Islamic Law and Constitution , Diterjemah, Asep Hikmat,
Hukum Dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1998), h. 168.
17
Setiap orang dikalangan kamu adalah pemimpin dan setiap orang akan ditanyai mengenai
yang dipimpinnya.Muslim bin al-Hajaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, (Beirut:
Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi, Juz III, ), h.1459
10
masyarakat. Inilah yang secara jelas dan berulang-ulang disampaikan amanatnya
kepada anggota-anggota sukunya setelah penaklukan kota Mekah. Beliau bersabda:
"Wahai qaum Quraish; Allah telah mencabut keangkuhan kalian di zaman jahilia dan
kebanggaan akan nenek moyang. Hai manusia, kalian semua keturunan Adam dan Adam
diciptakan dari tanah. Jangan ada kebanggaan apapun mengenai nenek moyang, tidak ada
kelebihan kemuliaan dari seorang Arab atau non Arab atau dari seorang non Arab
dibandingkan dengan seorang Arab sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian
dimata Allah adalah orang yang paling taqwa".18
b). Dalam suatu pranata sosial kemasyarakatan, tidak ada seorang pun yang
mengalami ketiadaan kemampuan hanya disebabkan oleh perbedaan kelahiran, status
sosial atau profesi yang dengan berbagai cara dapat mengakibatkan terhambatnya
pertumbuhan lahiriahnya atau merusak perkembangan pribadinya. Setiap orang akan
menikmati peluang dan kemajuan yang sama.
c). Dalam suasana masyarakat Islami tidak ada ruang bagi kediktatoran seseorang
atau kelompok tertentu atas yang lainnya, karena setiap orang adalah khalifah Tuhan.
Tidak ada seorang pun atau sekelompok orang pun yang diberi hak istimewa untuk
menjadi penguasa mutlak dengan merampas hak-hak asasi orang banyak. Kedudukan
seseorang yang terpilih untuk melaksanakan amanah Allah, tidak akan melampaui
ketentuan, sehingga semua muslim, atau semua khalifah Tuhan, menyerahkan
kekhalifahannya kepada pejabat itu demi penyelenggaraan pemerintahannya. Di suatu
sisi di akan bertanggung jawab kepada Allah dan di lain sisi dia akan dimintai
tanggung jawabnya oleh rekan-rekannya yang telah mendelegasikan kekhalifahan
mereka kepadanya.
18
Ibid
11
mengemukakan pendapat, karena masing-masing orang di kalangan mereka adalah
penjelmaan dari kehalifahan. Tuhan telah membuat kekhalifahan ini bersyarat, bukan
atas dasar kekayaan atau kemampuan tertentu tetapi hanya atas dasar Iman dan
kesalehan, olehnya itu semua muslim memilki kebebasan yang sama untuk
menggunakan pendapatnya.19
Menurut al-Mawardi bahwa sistem kekhalifahan yang dianggap sebagai
kepemimpinan Nabi Muhammad, saw. merupakan penyelenggeraan masalah-masalah
sosial keagamaan ataupun yang bersifat temporal adalah niscaya dan keniscayaannya
didasarkan atas syari'ah dan akal melalui ijmak dan umat.20
19
Ibid
20
Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah wa al-Wilayah al-Diniyah, Dalam Din
Syamsuddin, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000), h. 84.
12
Aqidah Islam mewajibkan kaum muslimin dalam berbagai kelompok
dan organisasi untuk berjuang melanjutkan kehidupan Islam dan meyampaikan
dakwah Islam dalam rangka memecahkan masalah umat. Melanjutkan
kehidupan Islam secara berkesinambungan dan bermakna dalam sebuah negara
memerlukan pemikiran dan keyakinan yang matang serta perasaan yang daitur
dengan sistem dan hukum Islam pada masyarakat, yang semua urusan
kehidupan dikomandoi oleh khalifah.21
lebih diberi porsi pada akidah pemikiran politik yang akan bernilai ibadah sehingga
lebih fungsional dan bermakna pada alam semesta. Manusia dan kehidupan, sebagai
ideologis (qiyadah fikriyah) dan sebagai sudut pandang khas tentang kehidupan.
1) Kebutuhan dasar setiap masyarakat harus terpenuhi dan ia harus bebas dari
ancaman dan bahaya dari pemerkosaan.
2) Manusia terjamin dalam mencari nafkah, tanpa harus keterlaluan menhabiskan
tenaganya
3) Manusia bebas untuk memilih bagaimana mewujudkan hidupnya sesuai
dengan cita-cita hidupnya
4) Ada kemungkinan untuk mengembangkan bakat-bakat dan kemampuannya.
21
Abdul Qadim Zallum, Political Thought, diterjemah oleh, Abu Fais, Pemikiran Politik
Islam, (Jatim: Al-Izzah, 2004), h.7. Bandingkan juga Tobrani dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme
Budaya Dan Politik,(Yogyakarta: Spress, 1994), h.38.
13
5) Partisipasi dalam kehidupan sosial politik, sehingga seseorang tidak semata-
mata menjadi objek penentuan orang lain.22
Hal tersebut bisa terwujud bila hukum yang bersumber dari aqidah Islam
mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam secara menyeluruh
(khaffah) dan menegakkan suatu institusi Islam yang merdeka, terhormat dan
bermartabat dalam membangun peradaban masyarakat yang lebih maju dan
menjaman.
E. Kesimpulan
22
Quraish Shiab, Op. Cit. h. 162.
14
sejalan dengan kebaikan dan hati maka kemenangan hanya sezaman atau sifatnya
periodik aja. Bila kemenangan, kesuksesan dan kejayaan didasarkan kebaikan dan
sejalan dengan hati maka kemenangan akan dikenang sepanjang masa, sebagaimana
para Nabi dan Pemimpin orang saleh terdahulu.
Dalam suasana seperti tersebut di atas tercipta secara sinergik antara
hubungan vertikal (Ilahya/langitan) dan horisontal (humanis/membumi) dan kekuatan
tersebut yang sangat dahsyat sepanjang sejarah manusia, Selama manusia terus
membina hubungan baik tersebut tidak akan tergilas oleh zaman dan tidak terkikis
oleh gelombang budaya dan peradaban yang aneh-aneh. Wallu a'lam bissawab
KEPUSTAKAAN
Al-Qur’an Karim
Almaududi, Abul A'la, The Islamic Law and Constitution , Diterjemah, Asep
Hikmat, Hukum Dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung:
Mizan, 1998)
15
al-Mawardi, Abu Hasan, al-Ahkam al-Sultaniyah wa al-Wilayah al-Diniyah,
Dalam Din Syamsuddin, Etika Agama Dalam Membangun
Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000)
16