Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

AYAT- AYAT TENTANG MANUSIA SEBAGAI KHOLIFAH DI BUMI

Disusun oleh:
Elis Tika Aprilianti
Syifa Rahmatika
Maria Ulfah
Ainun Nurul Badri

Dosen Pengampu:
Muhamad Irfan, M.Ag

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) PEMALANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa
melimpahkan nikmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah
Media Pembelajaran berbasis Audio tepat pada waktu. Selanjutnya kami ucapkan terima kasih
kepada Dosen Pengampu mata kuliah Media Pembelajaran atas bimbingannya.

Makalah ini kami susun dengan tujuan untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Tafsir.
Kami berharap makalah ini bisa bermanfaat khususnya untuk kami dan kepada pembaca pada
umumnya. Semoga makalah ini bisa memberikan informasi dan ilmu yang bermanfaat bagi kita
semua.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pembaca yang telah membaca makalah ini
hingga akhir. Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan karena
itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan makalah ini.

Oktober, 2023

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konsep “kholifah” merupakan salah satu aspek sentral dalam pemahaman ajaran Islam
yang menggarisbawahi peran manusia di muka bumi. Istilah ini secara harfiah berarti
“pengganti” atau “wakil”, dan dalam konteks agama Islam, manusia dianggap sebagai Kholifah
Allah di alam semesta. Konsep ini telah menjadi dasar pemahaman etika dan tanggung jawab
sosial dalam agama Islam.
Peran manusia sebagai Kholifah mengandung kewajiban-kewajiban penting yang mencakup
pemeliharaan alam, keadilan, dan promosi kebaikan. Manusia dianggap sebagai pengurus bumi
yang bertugas menjaga keseimbangan alam, melestarikan sumber daya, dan memastikan
keadilan keadilan dalam segala aspek kehidupan. Peran ini juga menekankan pentingnya
berkontribusi untuk kesejahteraan umum dan memerangi ketidaksetaraan sosial.
Di era modern, tantangan lingkungan seperti perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan
kekeringan semakin memperkuat relevansi konsep kholifah dalam konteks global. Maka dari
itu, pemahaman tentang peran manusia sebagai kholifah di bumi adalah krusial dalam
mengejar solusi untuk tantangan-tantangan ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa tafsir QS. Al-Baqarah: 30?
2. Apa tafsir QS. Al-An’am: 165?
3. Apa tafsir QS. Al-Anbiya : 105?
4. Apa tafsir QS. As-sajadah: 24?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tafsir QS. Al-Baqarah: 30
2. Untuk mengetahui tafsir QS. Al-An’am: 165
3. Untuk mengetahui tafsir QS. Al-Anbiya : 105
4. Untuk mengetahui tafsir QS. As-sajadah: 24
5.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tafsir QS. Al-Baqarah: 30


Al-Qur’an merupakan pedoman dan petunjuk dalam kehidupan manusia, baik itu ayat-ayat yang
tersurat maupun yang tersirat. Al Qur’an juga sebagai Kitab Suci umat Islam, banyak memberikan
petunjuk tentang masalah pemimpin, berupa ketentuan-ketentuan, nilai etis yang sangat diperlukan
dalam kepemimpinan tersebut. Masalah Pemimpin merupakan persoalan keseharian dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Beberapa pedoman atau panduan telah
digariskan untuk melahirkan kepemimpinan yang diridhai Allah SWT, yang membawa kemaslahatan,
menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat. Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul
terahir merupakan suri teladan umat manusia sedunia dan termasuk untuk persoalan
kepemimpinan. Beliau sebagai kepala pemerintahan yang berhasil meletakkan sendi kenegaraan
yang diridhai Allah SWT. Beliau mempersatukan kabilah-kabilah Arab, menerima dan mengirim
duta, serta membuat perjanjian. Sejarah Islam telah membuktikan pentingnya masalah pemimpin
ini setelah wafatnya Rasul. Para sahabat telah memberi penekanan dan keutamaan dalam mencari
pengganti beliau dalam memimpin umat Islam.
Pentingnya persoalan pemimpin ini perlu dipahami dan dihayati oleh setiap umat Islam di
negeri yang mayoritas warganya beragama Islam ini, meskipun Indonesia bukanlah Negara Islam.
Allah SWT telah memberitahu kepada manusia, tentang pentingnya peran pemimpin dalam Islam,
sebagaimana dalam Al-Qur’an kita menemukan banyak ayat yang berkaitan dengan masalah
Pemimpin, diantaranya adalah Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi :
(“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan
berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Baqoroh: 30).
Di dalam Islam konsep kepemimpinan sering disebut dengan khalifah yang berarti wakil. Namun
kemudian mengalami pergeseran dengan masuknya kata amir atau penguasa. Oleh sebab itu kedua
istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diasumsikan sebagai pemimpin formal. Akan tetapi, apabila
merujuk kepada firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 30. Maka kedudukan nonformal dari
seorang khalifah juga tidak bisa dipisahkan lagi. Perkataan khalifah dalam ayat tersebut tidak hanya
ditujukan kepada para khalifah sesudah Nabi, tetapi adalah penciptaan Nabi Adam a.s. yang disebut
sebagai manusia dengan tugas untuk memakmurkan bumi dan meliputi tugas menyeru orang lain
berbuat amar ma'ruf dan mencegah perbuatan mungkar. Ayat ini mengisyaratkan bahwa, pada
prinsipnya boleh-boleh saja seseorang memohon kepada Allah agar dijadikan imam (pemimpin).
Karena ia memohon kepada Allah maka harus menjalankan kepemimpinannya sesuai kemauan
Allah. Yang dilarang adalah orang-orang meminta jabatan dan tidak dapat menjalankan, karena
tidak mempunyai potensi dan kemampuan.
Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat dijelaskan bahwa dimuka bumi ini dibutuhkan seorang
khalifah atau pemimpin yang mengurusi sebuah negara, pemerintahan ataupun sebuah organisasi.
Seorang pemimpin ini juga bisa dikatakan ulul amri atau yang mengurus sebuah urusan baik urusan
pemerintahan, politik, hukum dan lain sebagainya yang harus dipatuhi. Seorang pemimpin pada
perkembangan zaman sekarang tidak hanya dipegang oleh kaum laki-laki saja, akan tetapi juga
memberikan kesempatan bagi kaum wanita untuk bisa menjadi seorang pemimpin. Berdasarkan
uraian dan penjelasan pada ayat-ayat di atas tentunya ada kriteria pemimpin yang menjadi prinsip-
prinsip dalam pendidikan Islam. Adapun Hadits Rasulullah yang berkaitan dengan kepemimpinan
antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar R.A. yang berbunyi:
“Telah menceritakan kepada kami Ismail Telah menceritakan kepadaku Malik dari Abdullah bin
Dinar dari Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
‘ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya
atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai
pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota
keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin
terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai
pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta
tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah
bertanggung jawab atas yang dipimpinnya” ((HR Bukhari))
Pada dasarnya hadits diatas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam Islam. Etika yang
paling poko dalam kepemimpinan adalah tanggung jawab. Semua orang hidup didunia ini disebut
pemimpin, karenanya sebagai pemimpin mereka tanggung jawab sekurang-kurangnya terhadap diri
sendiri. Seorang suami bertanggung jawab terhadap istrinya, anak-anaknya, dan seorang majikan
bertanggung jawab kepada pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab pada bawahannya,
seorang presiden, gubernur, bupati, bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpin. Allah
berfirman:

‌ؕ‫َج اِع ٌل ِفى اَاۡلۡر ِض َخ ِلۡي َفًة ؕ َق اُلٓۡو ا َاَتۡج َع ُل ِفۡي َه ا َم ۡن ُّي ۡف ِس ُد ِفۡي َه ا َو َي ۡس ِفُك الِّد َم ٓاَۚء َو َنۡح ُن ُنَس ِّبُح ِبَح ۡم ِدَك َو ُنَق ِّد ُس َلـَك‬ ‫َو ِاۡذ َق اَل َر ُّبَك ِلۡل َم ٰٓلِٕٮَك ِة ِاِّنۡى‬
ؕ ‫َن‬ ‫َق اَل ِاِّنٓۡى َاۡع َلُم َم ا اَل َتۡع َلُم ۡو‬

(Dan) ingatlah, hai Muhammad! (Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi") yang akan mewakili Aku
dalam melaksanakan hukum-hukum atau peraturan-peraturan-Ku padanya, yaitu Adam.
(Kata mereka, "Kenapa hendak Engkau jadikan di bumi itu orang yang akan berbuat kerusakan
padanya) yakni dengan berbuat maksiat (dan menumpahkan darah) artinya mengalirkan darah
dengan jalan pembunuhan sebagaimana dilakukan oleh bangsa jin yang juga mendiami bumi?
Tatkala mereka telah berbuat kerusakan, Allah mengirim malaikat kepada mereka, maka dibuanglah
mereka ke pulau-pulau dan ke gunung-gunung (padahal kami selalu bertasbih) maksudnya selalu
mengucapkan tasbih (dengan memuji-Mu) yakni dengan membaca 'subhaanallaah wabihamdihi',
artinya 'Maha suci Allah dan aku memuji-Nya'. (dan menyucikan-Mu) membersihkan-Mu dari hal-
hal yang tidak layak bagi-Mu.
Huruf lam pada 'laka' itu hanya sebagai tambahan saja, sedangkan kalimat semenjak 'padahal'
berfungsi sebagai 'hal' atau menunjukkan keadaan dan maksudnya adalah, 'padahal kami lebih
layak untuk diangkat sebagai khalifah itu!'" (Allah berfirman,) ("Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui") tentang maslahat atau kepentingan mengenai pengangkatan Adam dan
bahwa di antara anak cucunya ada yang taat dan ada pula yang durhaka hingga terbukti dan
tampaklah keadilan di antara mereka. Jawab mereka, "Tuhan tidak pernah menciptakan makhluk
yang lebih mulia dan lebih tahu dari kami, karena kami lebih dulu dan melihat apa yang tidak
dilihatnya." Maka Allah Taala pun menciptakan Adam dari tanah atau lapisan bumi dengan
mengambil dari setiap corak atau warnanya barang segenggam, lalu diaduk-Nya dengan bermacam-
macam jenis air lalu dibentuk dan ditiupkan-Nya roh hingga menjadi makhluk yang dapat merasa,
setelah sebelumnya hanya barang beku dan tidak bernyawa.
Dalam rangka penentuan dan penunjukan sosok inilah, Allah menurunkan ayat 30 ini. Allah
mengemukakan dan sekaligus memaklumatkan gagasan besar ini kepada para malaikat: "Sungguh
Aku akan menjadikan di bumi seorang khalifah". Isi maklumat ini sangat jelas, tegas, dan gamblang:
seorang khalĭfah, bukan dua atau banyak orang. Jabatannya juga jelas, yaitu khalĭfah, bukan Nabi
dan bukan Rasul. Tempat dan wilayah kekuasaannya juga jelas: di bumi, dan bukan di planet, di
galaksi atau di semesta lain. Hal yang sama juga terjadi pada pelaku yang punya prerogatif
mengangkat khalifah tersebut; bentuk katanya jelas dan terang benderang, yaitu (inniy, sungguh
Aku) dan bukan (innā, sungguh Kami). Kata (inniy, sungguh Aku) adalah gabungan dari kata (inna,
sungguh) dan (ana, aku), sehingga huruf (ya‟) yang ada di sana adalah kata ganti (dhamir) dari kata
(ana, aku), yang ahli bahasa menyebutnya mutakallim mufrad (pembicara tunggal).
Semua itu menunjukkan dengan sangat tegas tanpa membuka peluang lain bahwa penentuan
dan penunjukan kahlifah adalah murni otoritas dan hak prerogatif tunggal Allah. Alasan aqli-nya;
bagaimana mungkin manusia yg punya banyak kekurangan, cenderung memperturutkan hawa
nafsunya, punya interes pribadi dan subyektivitas yang tinggi itu memilih manusia paling sempurna
di antara mereka? Bagaimana mungkin makhluk yang Allah sendiri menyebutnyasungguh manusia
itu amat zalim dan amat bodoh (33:72), memilih khalĭfah Allah di antara mereka, sekalipun seluruh
kepala berkumpul dan bermusyawarah untuk itu. Singkatnya, bagaimana mungkin orang yang tak
mengenal Tuhannya dengan sempurna memilih salah seorang di antara mereka yang pantas
menjadi kekasih Tuhan.
Menurut para ulama besar dan intelektual Islam, serta para pakar dalam bidang Tafsir, makna
objektif dari ―Khalifah (Wakil) adalah wakil Ilahiah di muka Bumi, karena pertanyaan yang di ajukan
oleh para Malaikat, yang mengatakan bahwa umat manusia mungkin akan membuat kerusakan dan
pertumpahan darah di permukaan bumi ini sedangkan mereka (para Malaikat) bertasbih
kepadanya.
Menguatkan makna ini bahwasanya wakil Allah Swt di muka bumi tidak berkesesuaian dengan
perbuatan seperti ini. Dalam sebuah Hadist Imam Ash-Shadiq ra, ketika menafsirkan ayat-ayat ini,
menyinggung makna yang sama dan berkata bahwa para Malaikat, setelah mengetahui kedudukan
Adam, menyadari bahwa ia dan keturunannya layak menjadi wakil-wakil Allah Swt di bumi ini dan
berperan sebagai pembimbing manusia dengan izin Allah Swt.
Kemudian dalam ayat ini, para malaikat menyampaikan sebuah pertanyaan untuk memahami
realitas dan bukan sebagai tanda protes.―Apakah Engkau akan menjadikan di dalamnya seseorang
yang akan berbuat kerusakan di dalamnya ? ― Hal ini dikarenakan:
1. Mereka sudah mengetahui apa yang di lakukan oleh penghuni bumi sebelum Manusia. Jika
pendapat ini di benarkan, mereka telah berbuat kerusakan di dalam bumi dan melakukan
tindakan pertumpahan darah di muka bumi ini. Atau para malaikat telah mengetahui bahwa
makhluk yang memiliki keinginan dan pilihan pasti akan berbuat kerusakan. Hal itu karena
diketahui bahwa malaikat tidak memiliki bentuk pilihan-pilihan.
2. Atau bahwa Allah telah menjelaskan kepada para malaikat tabiat manusia dan apa yang akan
terjadi dengan tabiat tersebut. Barangkali para malaikat mengira bahwa penciptaan manusia
dimaksudkan untuk menyingkirkan mereka. Maka mereka pun berkata : ........... ―…. padahal
kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan Mensucikan Engkau....‖ (Q.S Al-Baqarah :
30), Lalu Allah berkata: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Q.S Al-
Baqarah : 30)

Berkaitan dengan hal tersebut, argumen pertama adalah bahwa Adam mempelajari nama-nama
segala sesuatu kemudian mengajarkannya kepada para Malaikat yang sebelumnya tidak mengenal
nama-nama tersebut. Oleh karena itu mereka berkata : …… ―…… Maha suci Engkau, tidak ada yang
kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau pelajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah
yang maha mengetahui lagi maha bijaksana‖ (Q.S Al-baqarah : 32)
Demikianlah Allah Swt, telah menciptakan manusia dengan kedudukan lebih tinggi
dibandingkan makhluk-makhluk lain, maka ia harus memanfaatkan kenikmatan ini. Adapun orang
yang ingkar terhadap nikmat-Nya, kemudian melampiaskan keinginan-keinginannya kepada hal-hal
yang buruk, maka ia akan di kembalikan ke tingkat yang sangat rendah lebih rendah dari hewan.
Sebab ia sudah di beri ikhtiar namun tidak memanfaatkannya dengan baik. Justru memilih jalan
yang penuh dengan syahwat, jalan dosa, dan perilaku hewan. Adapun isi kandungan lainya adalah
sebagai berikut:
1. Manusia berfungsi sebagai khalifah dimuka bumi. Ayat ini menunjukkan bahwa khalifah adalah
manusia sebagai makhluk Allah yang sempurna dan memiliki potensi, di antaranya hawa nafsu,
pendengaran, pengelihatan, hati/perasaan, penciuman, akal pikiran, mulut, tangan, dan kaki.
2. Fungsi khalifah di bumi yaitu menjadi pemimpin, baik bagi orang lain maupun dirinya sendiri
dalam upaya mencari ridha Allah dengan mengabdi dan menyembah hanya kepada-Nya.
Menyejahterakan dan memakmurkan bumi. Allah menciptakan alam semesta, baik flora dan
fauna untuk makhluk, khususnya manusia. Oleh karena itu, manusia wajib mengelola, merawat,
dan memanfaatkan hasilnya untuk kesejahteraan seluruh makhluk.
3. Upaya antipasi terhadap rintangan pada umat manusia karena di dalam menjalankan fungsi
atau tugas manusia, iblis dan setan tidak akan henti-hentinya menggoda manusia agar tersesat.
Adapun cara iblis atau setan menggoda manusia adalah dengan masuk ke dalam kalbu manusia
sehingga selalu menimbulkan perselisihan, permusuhan, dan perusakan.
4. Manusia harus menjadi mukhlis agar tidak mudah tergoda iblis atau setan.

B. Tafsir QS. Al-An’am : 165


Surah Al-An’am Ayat 165 menjelaskan bahwa Allah SWT telah membedakan di antara
makhluknya dalam hal rezeki, karakter, sifat, perbuatan, penampilan, bentuk, dan warna, dan
bahwa di dalam yang demikian itu semua Allah SWT memiliki hikmah. Allah SWT berfirman di dalam
Al-Qur’an Surah Al-An’am Ayat 165;

‫َو ُه َو اَّلِذي َج َع َلُك ْم َخ اَل ِئَف اَأْلْر ِض َو َر َف َع َب ْع َض ُك ْم َف ْو َق َب ْع ٍض َد َر َج اٍت ِلَي ْب ُلَو ُك ْم ِفي َم ا آَت اُك ْم ۗ ِإَّن َر َّب َك َس ِر يُع اْلِع َق اِب َو ِإَّن ُه َلَغ ُف وٌر‬
‫َر ِحيٌم‬

Terjemahan: Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kalian atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk menguji kalian
tentang apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya
dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tafsir Jalalain: ‫( َو ُه َو اَّل ِذي َج َع َلُك ْم َخ اَل ِئ َف اَأْلْر ِض‬Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-
penguasa di bumi) ‫ َخ اَل ِئَف‬adalah jamak dari kata khalifah; yaitu sebagian di antara kalian mengganti
sebagian lainnya di dalam masalah kekhalifahan ini
‫( َو َر َف َع َب ْع َض ُك ْم َف ْو َق َب ْع ٍض َد َر َج اٍت‬dan Dia meninggikan sebagian kalian atas sebagian yang lain
beberapa derajat) dengan harta benda, kedudukan dan lain sebagainya ‫( ِلَي ْب ُلَو ُك ْم‬untuk menguji kalian)
untuk mencobamu
‫( ِفي َم ا آَت اُك ْم‬tentang apa yang diberikan kepadamu) artinya Dia memberi kalian agar jelas siapakah
di antara kalian yang taat dan siapakah yang bermaksiat.
Baca Juga: Surah Al Baqarah Ayat 1-5; Tafsir dan Terjemahan
‫( ِإَّن َر َّبَك َس ِر يُع اْلِع َقاِب‬Sesungguhnya Tuhanmu itu adalah amat cepat siksaan-Nya) terhadap orang-
orang yang berbuat maksiat kepada-Nya ‫( َو ِإَّن ُه َلَغ ُف وٌر‬dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun)
terhadap orang-orang mukmin ‫( َر ِحيٌم‬lagi Maha Penyayang.”) terhadap mereka.
Tafsir Ibnu Katsir: ‫( َو ُه َو اَّل ِذي َج َع َلُك ْم َخ اَل ِئ َف اَأْلْر ِض‬Dan Dialah Yang menjadikan kalian penguasa-
penguasa di bumi) Maksudnya adalah Allah Ta’ala telah menjadikan kalian pemakmur bumi itu dari
generasi ke generasi, dari satu masa ke masa yang lain, generasi selanjutnya setelah generasi
sebelumnya. Hal tersebut dikemukakan oleh Ibnu Zaid dan ulama lainnya. Makna firman ini serupa
dengan firman-Nya yang artinya: “Dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi”.
(QS. An-Naml: 62).
‫( َو َر َف َع َب ْع َض ُك ْم َف ْو َق َب ْع ٍض َد َر َج اٍت‬Dan Dia meninggikan sebagian kalian atas sebagan (yang lain)
beberapa derajat). Maksudnya ialah bahwa Allah SWT telah membedakan di antara kalian dalam hal
rezeki, akhlak, kebaikan, keburukan, penampilan, bentuk, dan warna, dan yang demikian itu semua
Allah memiliki hikmah di dalamnya.
‫( ِلَي ْب ُل َو ُك ْم ِفي َم ا آَت اُك ْم‬Untuk menguji kalian tentang apa yang diberikan-Nya kepada kalian)
Maksudnya adalah untuk mencoba dan menguji kalian tentang nikmat yang telah diberikan atas
kalian, untuk menguji yang kaya tentang kekayaannya dan meminta pertanggungan-jawaban
tentang rasa syukurnya terhadap Allah SWT, demikian pula untuk menguji yang miskin tentang
kemiskinannya dan meminta pertanggungan-jawabnya tentang kesabarannya.
‫( ِإَّن َر َّب َك َس ِر يُع اْلِع َق اِب َو ِإَّن ُه َلَغ ُف وٌر َر ِحيٌم‬Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”) Yang seperti ini termasuk bentuk
targhib dan tarhib (dorongan dan ancaman), bahwa hisab (perhitungan) Allah Ta’ala itu sangat
cepat bagi orang-orang yang bermaksiat terhadap-Nya dan menentang para Rasul-Nya.
‫( َو ِإَّنُه َلَغ ُفوٌر َر ِحيٌم‬Dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) Yakni bagi orang-
orang yang menjadikan-Nya sebagai pelindung dan mengikuti apa yang dibawa oleh para Rasul-Nya
berupa berita dan tuntutan.
Sebuah Hadits dari Riwayat Imam Ahmad dari Abu Hurairah dengan kedudukan sebagai hadits
marfu’, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Andaisaja seorang mukmin mengetahui siksa yang
disiapkan Allah SWT baginya, niscaya tidak akan ada seorang pun yang mengharap masuk Surga-
Nya. Dan andai saja seorang kafir memahami luasnya rahmat yang disiapkan Allah SWT, niscaya
tidak seorang pun yang putus harapan untuk dapat masuk Surga. Allah Ta’ala telah menciptakan
seratus rahmat, kemudian Allah SWT meletakkan salah satunya di antara makhluk-Nya, maka
dengan rahmat tersebut mereka dapat saling berkasih-sayang. Dan di sisi Allah terdapat yang
sembilan puluh sembilan lagi”. (juga diriwayatkan at-Tirmidzi dan Muslim.)
Masih hadits yang serupa yang datang dari Abu Hurairah ra, beliau berkata, aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda: “Allah telah menjadikan rahmat seratus bagian. Allah menahan yang
sembilan puluh sembilan di sisi-Nya, dan menurunkan ke bumi satu bagian, maka dari satu bagian
itulah semua makhluk saling berkasih-sayang, sehingga seekor binatang mengangkat kakinya karena
khawatir menginjak anaknya”. (HR. Muslim).

C. Tafsir QS. Al-Anbiya : 105


Surah Al-Anbiya Ayat 105 adalah salah satu ayat dalam Al-Quran yang menggarisbawahi peran
manusia sebagai Khalifah di Bumi. Al-Qur’an menjanjikan bahwa bumi akan diwariskan kepada
umat yang shalih. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam surah Al-Anbiya - Ayat 105 :

‫َو َلَقْد َكَت ْب َن ا ِفى ٱلَّز ُبوِر ِم ۢن َب ْع ِد ٱلِّذ ْك ِر َأَّن ٱَأْلْر َض َي ِر ُثَه ا ِع َب اِدَى ٱلَّص ٰـ ِلُحوَن‬

"Dan sesungguhnya telah Kami tuliskan di dalam Zabur, sesudah zikir: bahwasanya bumi ini
akan diwariskan kepada hamba-hambaKu yang shalih."
1. Tafsir Surah Al-Anbiya ayat 105
Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H

105. “Dan sesungguhnya telah Kami tulis di dalam Zabur,” yaitu kitab yang tertulis, maksudnya
kitab-kitab yang diturunkan, misalnya Taurat dan lainnya, “sesudah (Kami tulis dalam) Lauh
Mahfuzh,” maksudnya, Kami menuliskannya dalam kitab-kitab yang diturunkan pasca Kami
menuliskannya di kitab terdahulu, yaitu Lauh Mahfuzh dan buku induk yang sesuai dengan
seluruh catatan takdir yang berlaku di akhir masa dan yang tertulis di dalamnya, “bahwasanya
bumi ini,” yaitu hunian surga “dipusakai hamba-hambaKu yang shalih,” yang melaksanakan
perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. Mereka itulah orang-orang yang mana
Allah akan mewariskan surga-surga kepada mereka. Seperti perkataan para penghuni surga,

"Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak
akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk.". (Al-A’raf:43)

"dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati
tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki." (Az-Zumar:74).

Dan mengandung kemungkinan bahwa maksudnya adalah menjadikan mereka sebagai para
khalifah di bumi ini, dan bahwa Allah mendudukkan orang-orang shalih sebagai penguasa di
bumi dan menetapkan mereka sebagai pemiliknya. Seperti Firman Allah

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di
bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan
sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan
Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan
menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka
mereka itulah orang-orang yang fasik." (An-Nur:55).

QS. Al Anbiya (21) ayat 105

‫َو َلَقْد َكَت ْب َن ا ِفي الَّز ُبوِر ِمْن َب ْع ِد الِّذ ْك ِر َأَّن اَأْلْر َض َي ِر ُثَه ا ِع َب اِدَي الَّصاِلُحوَن ۝‬

Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh,
bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.

2. Tafsir Jalalain
(Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur) yakni kitab Zabur yang telah diturunkan oleh
Allah (sesudah adanya peringatan) yang dimaksud adalah Ummul Kitab atau Alquran yang
telah ada di sisi Allah, yakni di Lohmahfuz (bahwasanya bumi ini) yakni bumi surga (diwariskan
kepada hamba-hamba-Ku yang saleh) yakni siapa saja di antara hamba-hamba-Ku yang saleh.

3. Tafsir Ibnu Katsir


Al-Anbiya, ayat 105-107

)106( ‫) ِإَّن ِفي َه َذ ا َلَب الًغ ا ِلَق ْو ٍم َع اِبِديَن‬105( ‫َو َلَقْد َكَت ْب َن ا ِفي الَّز ُبوِر ِمْن َب ْع ِد الِّذ ْك ِر َأَّن األْر َض َي ِر ُثَه ا ِع َب اِدَي الَّصاِلُحوَن‬
)107( ‫َو َم ا َأْر َس ْلَن اَك ِإال َر ْح َم ًة ِلْلَع اَلِميَن‬
Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauhul Mahfuz,
bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh. Sesungguhnya (apa yang
disebutkan) dalam (surat) ini benar-benar menjadi peringatan bagi kaum yang menyembah
(Allah). Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam.
Allah Swt. berfirman, memberitahukan tentang apa yang telah dipastikanNya dan apa yang
telah ditetapkan-Nya buat hamba-hamba-Nya yang saleh, yaitu kebahagiaan di dunia dan
akhirat; di dunia dipusakakan-Nya bumi ini kepada mereka, selain kebahagiaan di akhirat nanti
yang menjadi milik mereka. Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain
melalui firman-Nya:
‫ِإَّن األْر َض ِهَّلِل ُيوِر ُثَه ا َم ْن َي َش اُء ِمْن ِع َباِدِه َو اْلَع اِقَب ُة ِلْلُم َّت ِقيَن‬

sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-
Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang
bertakwa. (Al-A'raf: 128)
‫ِإَّن ا َلَن ْن ُصُر ُرُس َلَن ا َو اَّلِذيَن آَم ُنوا ِفي اْلَح َياِة الُّد ْن َي ا َو َي ْو َم َي ُقوُم األْش َه اُد‬

Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat). (Al-Mu’min: 51)
Dan firman Allah Swt.:
‫َو َع َد ُهَّللا اَّلِذيَن آَم ُنوا ِم ْنُك ْم َو َعِم ُلوا الَّصاِلَح اِت َلَي ْس َت ْخ ِلَفَّنُهْم ِفي األْر ِض َك َم ا اْس َت ْخ َلَف اَّلِذيَن ِمْن َقْبِلِه ْم َو َلُيَم ِّك َن َّن َلُهْم ِد يَن ُهُم‬
‫اَّلِذي اْر َت َض ى َلُهْم اآْل َي َة‬

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang
saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana
Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya. (An-Nur: 55)
Selanjutnya Allah menyebutkan bahwa hal ini telah tertulis di dalam kitab-kitab syariat, juga
takdir; hal ini pasti akan terjadi. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

‫ِّذ‬
‫َو َلَقْد َكَت ْب َن ا ِفي الَّز ُبوِر ِمْن َب ْع ِد ال ْك ِر‬
Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauhul Mahfuz. (Al-
Anbiya: 105)
Al-A'masy pernah bertanya kepada Sa'id ibnu Jubair tentang makna firman Allah Swt.: Dan
sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauhul Mahfuz. (Al-
Anbiya: 105) Bahwa yang dimaksud dengan az-zikr ialah kitab Taurat, Injil, dan Al-Qur'an.
Mujahid mengatakan bahwa Zabur adalah nama kitab.
Ibnu Abbas, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Qatadah, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah
mengatakan bahwa Zabur adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Daud, sedangkan az-zikr
artinya kitab Taurat.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa az-zikr artinya Al-Qur'an.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa az-zikr ialah kitab yang ada di langit.
Mujahid mengatakan bahwa Zabur artinya semua kitab sesudah az-zikr. az-zikr ialah kitab yang
ada di sisi Allah (Lauhul Mahfuz). Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Hal yang sama
telah dikatakan oleh Zaid ibnu Aslam, bahwa az-zikr adalah kitab pertama.
As-Sauri mengatakan bahwa az-zikr artinya Lauhul Mahfuz.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa Zabur adalah kitab-kitab yang
diturunkan kepada nabi-nabi, sedangkan az-zikr ialah Ummul Kitab yang telah tercatat di
dalamnya segala sesuatu sebelum itu.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah Swt. telah menyebutkan
di dalam kitab Taurat dan kitab Zabur serta pengetahuan-Nya yang terdahulu sebelum ada
langit dan bumi, bahwa Dia akan mempusakakan bumi ini kepada umat Muhammad Saw. dan
Dia akan memasukkan mereka yang saleh ke dalam surga-Nya.
Mujahid telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman-Nya: bahwasanya bumi ini
dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh. (Al-Anbiya: 105 ) Bahwa yang dimaksud dengan bumi
ialah bumi surga.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Abul Aliyah, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi,
Qatadah, As-Saddi, Abu Saleh, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Sauri. Abu Darda mengatakan,
"Kitalah yang dimaksud dengan orang-orang saleh itu." Sedangkan menurut As-Saddi, mereka
adalah orang-orang mukmin.
D. Tafsir QS. As-Sajadah : 24
Adapun firman Allah Swt.:

{ ‫}َو َج َع ْلَن ا ِم ْن ُهْم َأِئَّم ًة َي ْهُدوَن ِبَأْم ِر َن ا َلَّما َص َب ُروا َو َك اُنوا ِبآَياِتَن ا ُيوِقُنوَن‬

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan
perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (As-Sajdah: 24)
Yaitu setelah mereka bersabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, meninggalkan
larangan-larangan-Nya, membenarkan rasul-rasul-Nya, dan mengikuti petunjuk yang dibawakan
oleh para rasul kepada mereka, maka jadilah di antara mereka pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk kepada kebenaran dengan perintah Allah, menyeru kepada kebaikan, memerintahkan
kepada kebajikan, serta mencegah kemungkaran. Kemudian setelah mereka mengganti, mengubah,
serta menakwilkan ayat-ayat Allah (dengan takwilan yang menyimpang), maka dicabutlah
kedudukan itu dari mereka dan jadilah hati mereka keras. Mereka mengubah-ubah kalimah-kalimah
Allah dari tempat-tempatnya, maka tiada lagi amal yang saleh dan tiada akidah lagi yang benar
(pada mereka). Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

‫َلَقْد آَت ْي َن ا َب ِني ِإْس َر اِئيَل اْلِك َت اَب‬

Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil Al-Kitab. (Al-Jasiyah: 16)
Qatadah dan Sufyan mengatakan bahwa hal itu terjadi setelah mereka bersabar dalam
menjauhi keduniawian. Hal yang sama dikatakan oleh Al-Hasan ibnu Saleh. Sufyan mengatakan
bahwa demikianlah keadaan mereka, dan tidaklah patut bagi seorang lelaki menjadi pemimpin yang
dianuti sebelum ia menjauhi keduniawian.
Waki' mengatakan, Sufyan pernah mengatakan bahwa sudah merupakan suatu keharusan bagi
agama didampingi oleh ilmu, sebagaimana tubuh memerlukan roti (makanan).
Ibnu Bintisy Syafii mengatakan, ayahnya belajar pada pamannya atau pamannya belajar pada
ayahnya (yang antara lain asar berikut), bahwa Sufyan pernah ditanya mengenai ucapan Ali r.a.
yang mengatakan bahwa kedudukan sabar dalam iman sama dengan kedudukan kepala bagi tubuh.
Selanjutnya Sufyan mengatakan, "Bukankah engkau pernah mendengar firman Allah Swt. yang
menyatakan: 'Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami ketika mereka sabar.' (As-Sajdah: 24)"
Sufyan mengatakan bahwa setelah mereka memegang teguh pokok urusannya, maka jadilah
mereka para pemimpin.
Sebagian ulama mengatakan bahwa dengan bekal sabar dan keyakinan, kepemimpinan dalam
agama dapat diperoleh. Karena itulah Allah Swt. berfirman:

{‫ َو آَت ْي َن اُه ْم َب ِّي َن اٍت ِمَن األْم ِر ] َفَم ا اْخ َت َلُفوا‬. ‫َو َلَقْد آَت ْي َن ا َب ِني ِإْس َر اِئيَل اْلِك َت اَب َو اْلُح ْك َم َو الُّن ُبَّو ة [َو َر َز ْق َن اُه ْم ِمَن الَّط ِّيَباِت َو َفَّض ْلَن اُه ْم َع َلى اْلَع اَلِميَن‬
‫}ِإال ِمْن َب ْع ِد َم ا َج اَء ُه ُم اْلِع ْلُم‬

Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil Al-Kitab (Taurat), kekuasaan dan
kenabian; dan Kami berikan kepada mereka rezeki-rezeki yang baik dan Kami lebihkan mereka atas
bangsa-bangsa (pada masanya). Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang
nyata tentang urusan (agama). (Al-Jasiyah: 16-17)
Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain dalam surat ini melalui firman-Nya:

{ ‫}ِإَّن َر َّبَك ُه َو َي ْف ِص ُل َب ْي َن ُهْم َي ْو َم اْلِقَياَمِة ِفيَم ا َك اُنوا ِفيِه َي ْخ َت ِلُفوَن‬

Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang memberikan keputusan di antara mereka pada hari kiamat
tentang apa yang selalu mereka perselisihkan padanya. (As-Sajdah: 25)
Yakni menyangkut masalah akidah dan amal perbuatan.

Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H

24. “Dan Kami jadikan dari mereka itu,” maksudnya, di antara Bani Israil itu, “pemimpin-
pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami,” maksudnya, ulama-ulama yang
menguasai ilmu syariat dan cara-cara memberi hidayah, mereka mendapat petunjuk pada diri
mereka sendiri lalu memberi petunjuk kepada selain mereka dengan petunjuk itu. Al-Kitab yang
diturunkan kepada mereka adalah petunjuk orang-orang yang beriman kepadanya, dan mereka
terbagi menjadi dua:
- para pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Allah,
- dan para pengikut yang berpedoman kepada mereka.
Golongan yang pertama tentu lebih tinggi derajatnya, setelah derajat kenabian dan kerasulan.
Ia adalah derajat orang-orang shiddiqin. Sebenarnya mereka meraih derajat tersebut adalah “ketika
mereka sabar” dalam belajar dan mengajar, dalam berdakwah kepada Allah dan terhadap cobaan di
jalanNya. Dan mereka menahan nafsu (diri) mereka dari rongrongannya untuk berbuat maksiat dan
kecenderungannya kepada kesenangan-kesenangan nafsu,
“dan mereka meyakini ayat-ayat Kami,” maksudnya, mereka dalam keimanan telah mencapai
(dengan ayat-ayat Allah), kepada derajat yakin, yaitu ilmu yang sempurna yang membuahkan amal.
Sesungguhnya mereka bisa mencapai derajat yakin adalah karena mereka belajar secara benar-
benar dan mereka mengambil permasalahan-permasalahan dari dalil-dalilnya yang menghasilkan
keyakinan. Mereka pun terus mempelajari permasalahan-permasalahan dan mereka berargumen
untutknya dengan banyak dalil hingga mereka mencapai kepadanya. Maka dengan sabar dan yakin
akhirnya mereka meraih kepemimpinan dalam agama.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1.

B. Saran
Saran yang hendak penulis sampaikan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi pembaca hasil tulisan ini diharapakan dapat menambah wawasan terkait dengan
ayat-ayat tentang manusia sebagai kholifah di bumi.
2. Dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa penting untuk mengetahui berbagai
media pembelajaran yang dapat digunakan, khususnya media pembelajaran berbasis
audio.
DAFTAR PUSTAKA

1. https://www.slideshare.net/AliMurfi/tafsir-surat-albaqarah-ayat-30-dan-surat-alanam-ayat
2. Abudin Nata, 2008, Kajian Tematik Al-Qur’an Tentang Kemasyarakatan, Angkasa, Bandung, hlm
103
3. Inu Kencana Syafi’ie, 2004, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 171.
4. Depag RI, 2003, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Perca, hlm. 14.
5. Ibnu Khaldun, tt, Muqoddimah, Beirut: Dar al- Fikr, hlm. 134.
6. Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhari, 2014, Shahih Bukhari, Mesir: Darul Kutub, hlm.
408.
7. Referensi : https://al-ain.id/quran/21/105
8. Referensi : https://tafsirweb.com/7576-surat-as-sajdah-ayat-24.html

Anda mungkin juga menyukai