Anda di halaman 1dari 12

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN AGAMA

Disusun Oleh :

INDAH WIDIANINGRUM (201646500304) RIKO PRANATA (201646500340)

RAHADIAN (201646500308) RUDI AHMAD ZAHRUDIN (201646500348)

DIOCKY RIANSYAH SAID (201646500321) WIHDA TALTOFIA (201646500369)

TOMMY FIRMANSYAH (201646500332)

PROGRAM STUDI DESAIN KOMUNIKASI VISUAL


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia
selalu berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik
dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil. Manusia adalah makhluk Tuhan yang
paling tinggi dibanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia dianugerahi kemampuan untuk
berpikir, kemampuan untuk memilah & memilih mana yang baik & mana yang buruk. Dengan
kelebihan itulah manusia seharusnya mampu mengelola lingkungan dengan baik.

Tidak hanya lingkungan yang perlu dikelola dengan baik, kehidupan sosial manusiapun
perlu dikelola dengan baik. Untuk itulah dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Sumber daya yang berjiwa pemimpin, paling tidak untuk memimpin dirinya sendiri.

Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok & lingkungan
dengan baik. Khususnya dalam penanggulangan masalah yang relatif pelik & sulit. Disinilah
dituntut kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar masalah dapat
terselesaikan dengan baik.

Manusia diciptakan oleh Allah Swt. ke muka bumi ini sebagai khalifah (pemimpin), oleh
sebab itu manusia tidak terlepas dari perannya sebagai pemimpin yang merupakan peran sentral
dalam setiap upaya pembinaan. Hal ini telah banyak dibuktikan dan dapat dilihat dalam gerak
langkah setiap organisasi. Peran kepemimpinan begitu menentukan bahkan seringkali menjadi
ukuran dalam mencari sebab-sebab jatuh bangunnya suatu organisasi.

Dalam menyoroti pengertian dan hakekat kepemimpinan, sebenarnya dimensi


kepemimpinan memiliki aspek-aspek yang sangat luas, serta merupakan proses yang melibatkan
berbagai komponen di dalamnya dan saling mempengaruhi. Kalau kita mendengar perkataan
kepemimpinan dalam Islam biasanya asosiasi pertama terarah pada “kepemimpinan tertinggi
bagi umat Islam” yang terkenal dengan sebutan khalifah, imamah, imaratul mukminin dan
sebagainya. Artinya, kepemimpinan tertinggi bagi umat Islam dalam urusan agama dan dunia.

Definisi yang populer mengenai khalifah adalah pemimpin tertinggi dalam urusan agama
dan dunia menggantikan Rasulullah Saw. Imam al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam al-
Sulthoniyah memberikan definisi khilafah sebagai berikut “Penggantian (tugas) kenabian untuk
memelihara agama dan mengatur urusan dunia”. Dari kepemimpinan tertinggi ini, kemudian
berkembang ke seluruh aspek kehidupan manusia, sampai ke kelompok yang paling kecil,
keluarga dan individunya.
Dalam hal ini sudah tentu kita tidak akan membahas masalah khalifah, akan tetapi kita
juga akan mempelajari secara singkat bagaimana mestinya kalau kita kebetulan diserahi tugas
untuk memimpin satu lembaga atau organisasi. Oleh karena itu, yang perlu kita ketahui adalah
sifat-sifat pemimpin tersebut, sehingga kita dapat meneladaninya atau memudahkan kita untuk
memilih seorang pemimpin.

BAB II
PEMBAHASAN
KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

1. AL-QURAN BERBICARA TENTANG KEPEMIMPINAN

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ”Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan khalifah di bumi”. Mereka berkata “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang
merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih, memuji-Mu, dan
menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman,”Sungguh Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui”(al-Baqarah:30).2

Allah Ta‟ala memberitahukan ihwal pemberian karunia kepada Bani Adam dan penghormatan
kepada mereka dengan membicarakan mereka di al-Mala‟ul A‟la, sebelum mereka diadakan.

Maka Allah berfirman, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat.”
Maksudnya, hai Muhammad, ceritakanlah hal itu kepada kaummu. “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan khalifah di bumi.” Yakni, suatu kaum yang akan menggantikan satu sama lain, kurun
demi kurun, dan generasi demi generasi, sebagaimana Allah Ta‟ala berfirman, “Dialah yang
menjadikanmu sebagai khalifah-khalifah di bumi.” (al-Faathir: 39). Abdur Razaq, dari
Muammar, dan dari Qatadah berkata berkaitan dengan firman Allah, “Mengapa Engkau hendak
menjadikan di bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya.” Seolah-olah Allah
memberitahukan kepada para malaikat bahwa apabila di bumi ada makhluk, maka mereka akan
membuat kerusakan dan menumpahkan darah disana. Perkataan malaikat ini bukanlah sebagai
bantahan kepada Allah sebagaimana diduga orang, karena malaikat disifati Allah sebagai
makhluk yang tidak dapat menanyakan apa pun yang tidak diizinkan-Nya. Ibnu Juraij berkata
bahwa sesungguhnya para malaikat itu berkata menurut apa yang telah diberitahukan Allah
kepadanya ihwal keadaan penciptaan Adam.
Maka malaikat berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya?” Ibnu Jarir berkata, “Sebagian ulama mengatakan,
„Sesungguhnya malaikat mengatakan hal seperti itu, karena Allah mengizinkan mereka untuk
bertanya ihwal hal itu setelah diberitahukan kepada mereka bahwa khalifah itu terdiri atas
keturunan Adam.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim. ( Al-Ma'idah:51).4

Ayat ini ditujukan kepada orang yang beriman pada setiap masa dan setiap tempat tidak
hanya kepada mereka masa diturunkan ayat ini. Karena ‘Ibrah itu dengan keumuman lafazh
bukan dengan kekhususan sebab.

Mereka yang beriman dilarang menjadikan orang-orang kafir sebagai “wali” yang
bermakna penolong, teman dan kekasih. Larangan di sini maksudnya adalah berloyalitas kepada
musuh Islam dan meminta bantuan kepada mereka, serta tidak beraliansi kepada kaum muslimin.

Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul dan
hari akhir… Janganlah engkau jadikan seorangpun dari Yahudi dan Nasrani sebagai wali dan
penolong. Janganlah kalian berloyal layaknya berkasih sayang kepada mereka. Karena mereka
semua bersatu memerangi, membenci dan senantiasa mengawasi kelemahan kalian. Bagaimana
kalian menjadikan mereka sebagai penolong dan kekasih kalian?

Firman Allah swt: “Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka”.

Penggalan ayat ini menjadikan kita untuk menjauhi dan menjadikan kita untuk benar-
benar meninggalkan mereka setelah larangan tersebut.

Prof. Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi melanjutkan: Jika mengangkat pemimpin dari
mereka bukan sebagai ridha terhadap agamanya namun hanya sebagai loyalitas dan persahabat
saja sungguh hal ini dianggap sebuah kemaksiatan. Tingkatan maksiatnya berbeda-beda sesuai
dengan kekuatan loyalitasnya dan sesuai dengan kondisi kaum muslimin dan dampak mereka
dari kepemimpinan ini.
Selanjutnya di akhir ayat Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.

Ini merupakan alasan mengapa dilarang menjadikan orang kafir sebagai pemimpin.
Mereka yang tetap memilih nereka dikatakan Allah sebagai orang yang zhalim terhadap diri
mereka sendiri.

Dan kita sendiri melihat bagaimana jika non muslim memimpin di negeri mayoritas muslim
berani mencela dan mempermainkan aqidah kita kaum muslimin. Bagaimana lagi sekiranya
mereka menjadi pemimpin di negeri minoritas Islam. Jangan sampai anda menjadi orang yang
menganiaya diri sendiri. Jika anda tidak tersakiti dengan celaan mereka terhadap agama kita ada
dua masalah yang sedang anda hadapi:

1. Lemahnya aqidah.
2. Tidak fahamnya terhadap kesucian agama islam.

2. KEPEMIMPINAN DILIHAT DARI SEGI AGAMA ISLAM

Menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dilaksanakan dan dijalankan dengan baik
oleh pemimpin tersebut,karena kelak Allah akan meminta pertanggung jawaban atas
kepemimpinannya itu.
Dalam islam sudah ada aturan-aturan yang berkaitan dengan hal tersebut,diantaranya sebagai
berikut:

1) Niat yang Lurus


Hendaklah saat menerima suatu tanggung jawab, dilandasi dengan niat sesuai dengan apa yang
telah Allah perintahkan. Lalu iringi hal itu dengan mengharapkan keridhaan-Nya saja.
Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan
kemuliaan.

2) Laki-Laki
Wanita sebaiknya tidak memegang tampuk kepemimpinan. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa
sallam bersabda, ”Tidak akan beruntung kaum yang dipimpim oleh seorang wanita (Riwayat
Bukhari dari Abu Bakarah Radhiyallahu’anhu).

3) Tidak Meminta Jabatan


Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,”Wahai Abdul
Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika
kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung
jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan,
maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
4) Berpegang pada Hukum Allah.
Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin. Allah berfirman, ”Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49). Jika ia meninggalkan hukum Allah, maka
seharusnya dicopot dari jabatannya.

5) Memutuskan Perkara Dengan Adil


Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang
dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan,
atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab
Al-Kabir).

6) Tidak Menutup Diri Saat Diperlukan Rakyat.


Hendaklah selalu membuka pintu untuk setiap pengaduan dan permasalahan rakyat. Rasulullah
bersabda, ”Tidaklah seorang pemimpin atau pemerintah yang menutup pintunya terhadap
kebutuhan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit terhadap
kebutuhan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).

7) Menasehati rakyat
Rasulullah bersabda, ”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan kaum Muslimin lalu
ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasehati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan
masuk surga bersama mereka (rakyatnya).”
8) Tidak Menerima Hadiah
Seorang rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud
tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati. Oleh karena itu, hendaklah seorang
pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya.Rasulullah bersabda,” Pemberian hadiah
kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).

9) Mencari Pemimpin yang Baik


Rasulullah bersabda, ”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau menjadikan seorang khalifah
kecuali ada bersama mereka itu golongan pejabat (pembantu). Yaitu pejabat yang menyuruh
kepada kebaikan dan mendorongnya kesana, dan pejabat yang menyuruh kepada kemungkaran
dan mendorongnya ke sana. Maka orang yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah,”
(Riwayat Bukhari dari Abu said Radhiyallahu’anhu).

10) Lemah Lembut


Doa Rasullullah, ’ Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya,
maka persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah
lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya.

11) Tidak Meragukan dan Memata-matai Rakyat.


Rasulullah bersabda, ”Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan
merusak mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim).

Sesungguhnya Tuhanmu, Dia adalah Tuhan segala sesuatu. Dialah yang menjadikan
kamu khalifah-khalifah di muka bumi ini setelah lewat umat terdahulu, yang dalam perjalanan
mereka terdapat pelajaran bagi orang yang ingat dan memperhatikan. Demikian pula Dia telah
mengangkat sebagian kamu atas sebagian lainnya tentang kekayaan, kekafiran, kekuatan,
kelemahan, ilmu, kebodohan, agar Dia menguji kalian tentang apa yang Dia berikan kepadamu.

Artinya supaya dia memperlakukan kamu sebagai penguji terhadapmu pada semua itu
lalu dia berikan balasan atas amalmu. Sebab telah menjadi sunnah-Nya bahwa kebahagiaan
manusia secara individual maupun kelompok di dunia maupun di akhirat, atau kesengsaraan
mereka di dunia dan akhirat, tergantung pada amal dan tindakan mereka.

(Allah berfirman), “Wahai Daud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di
bumi, maka berilah keputusan diantara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti
hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah, sungguh orang-orang yang sesat
dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
(Sad: 26).8

Ini adalah pesan dari Allah Swt. kepada para penguasa agar memberikan keputusan
diantara manusia dengan kebenaran yang telah diturunkan dari sisi-Nya. Jika menyimpang,
mereka sesat dari jalan Allah.

3. HADITS BERBICARA TENTANG KEPEMIMPINAN

Pemimpin adalah bayangan Allah Swt. di muka bumi. Kepadanya berlindung orang-
orang yang teraniaya dari hamba-hamba Alloh, jika ia berlaku adil maka baginya ganjaran, dan
bagi rakyat hendaknya bersyukur. Sebaliknya apabila ia curang (dhalim) maka niscaya dosalah
baginya dan rakyatnya hendaknya bersabar. Apabila para pemimpin curang maka langit tidak
akan menurunkan berkahnya. Apabila zina merajalela, maka kefakiran dan kemiskinan pun akan
merajalela (H.R. Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar).
Dari hadits di atas Yahya mengartikan bahwa kata “bayangan Allah Swt.”
mengisyaratkan bahwa pemimpin adalah perwakilan Allah Swt. Di muka bumi ini. Dan
mengisyaratkan bahwa pemimpin harus selalu dekat kepada Allah. Kata “rakyat hendaknya
bersyukur” menurutnya bahwa wujud pemimpin yang adil adalah nikmat Allah Swt. yang patut
untuk disyukuri. Dan kata “rakyat hendaknya bersabar” mengisyaratkan bahwa kelak akan
muncul pemimpin yang tak bisa untuk memimpin.

Sebaik-baik pemimpin diantara kalian adalah pemimpin yang kalian cintai dan mencintai
kalian, kalian mendoakannya dan merekapun mendoakan kalian, dan seburuk-buruknya
pemimpin diantara kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan merekapun membenci kalian,
kalian melaknatnya dan merekapun melaknat kalian (H.R. Muslim dari Auf bin Malik).

Hadits ini mengisyaratkan bahwa salah satu ciri pemimpin yang baik adalah dicintai dan
didoakan rakyatnya, serta ciri pemimpin yang buruk adalah dibenci dan dilaknat oleh rakyatnya.
Rosululloh Saw. adalah tauladan bagi umat Islam dalam segala aspek kehidupan, khususnya
dalam hal kepemimpinan ini beliau adalah sosok yang mencontohkan kepemimpinan paripurna
dimana kepentingan umat adalah prioritas utama beliau. Maka sangat tepatlah apabila kita sangat
mengidealkan visi dan model kepemimpinan Nabi Muhammad Saw.

Pada dasarnya hadits diatas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam Islam. Etika
yang paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggung jawab. Semua orang yang hidup di
dunia ini disebut pemimpin. Karenanya sebagai pemimpin mereka memegang tanggungjawab,
sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggungjawab terhadap
isterinya, anak-anaknya dan seorang majikan bertanggungjawab kepada pekerjanya, seorang
atasan bertanggungjawab kepada bawahannya, seorang presiden, gubernur, bupati
bertanggungjawab kepada rakyat yang dipimpinnya.

Akan tetapi, tanggungjawab disini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu
setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin. Melainkan lebih
dari itu, yang dimaksud tanggungjawab disini adalah lebih berarti sebuah upaya pemimpin untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin. Karena kata ra‟a sendiri secara bahasa
bermakna gembala dan kata ra-„in berarti penggembala.

4. MASALAH KEPEMIMPINAN SAAT INI.

a) Pemimpin yang dzolim

Di era globalisasi ini, kita banyak menyaksikan pemimpin yang berperilaku sewenang-
wenang, pemimpin yang doyan korupsi, pemimpin yang hobi perang, pemimpin yang gila
jabatan, dan perilaku negatif lainnya. Sebagai contoh, mari kita cermati bagaimana perilaku
buruk yang dipertontonkan mantan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush. Sosok pemimpin
bertangan besi, suka perang. Irak hancur lebur karena ambisi politiknya yang kejam.
Mari kita palingkan sejenak pikiran kita ke masa lalu. Perhatikan bagaimana Stalin, si
raja tega dari Rusia. Ia halalkan segala cara hingga jutaan nyawa melayang di seluruh di dunia,
hanya karena ambisinya untuk menegakkan panji-panji ideologi komunisme. Lihat pula
bagaimana Hitler dengan Nazinya di Jerman. Kuku-kuku tajamnya menghancurleburkan ribuan
umat Yahudi di Jerman.

b) Pemimpin yang tidak adil dan amanah

Kata-kata adil sepertinya sudah menjadi materi dari retorika politik saja. Hanya sebagai
bahan kampanye dan sekedar simbol politik. Pelaksanaannya jauh dari prinsip adil dan
berkeadilan itu sendiri. Prinsip keadilan dan kepemimpinan dalam Islam berlandaskan pesan
universal: “Rasulullah SAW diutus ke muka bumi ini adalah untuk membawa berkah bagi alam
semesta. Rahmatan Lil ‘alamin.” Kita sebagai muslim akan menjunjung misi ini untuk membawa
keberkahaan bagi alam semesta. Pesan ini sangat universal, karena tidak ada satupun manusia di
muka bumi ini ingin melihat kerusakan alam semesta, tidak perduli apakah dia muslim atau
tidak, semua ingin melihat alam yang lestari.

c) Pemimpin yang Korupsi

Mari kita tengok juga pemimpin-pemimpin kita di tanah air Indonesia. Hampir setiap
hari, kita disuguhi berita-berita yang mengiris-ngiris hati nurani kita. Bayangkan, banyak
pemimpin kita, mulai dari bupati, gubernur, mantan menteri, politisi, dan lainnya, yang
dijebloskan ke penjara, karena perilaku mereka yang bejat, seperti korupsi yang mereka lakukan
hingga merugikan keuangan negara hingga miliaran rupiah. Pada saat yang bersamaan, rakyat
Indonesialah yang menanggung deritanya.

Ada beberapa hal yang menyebabkan pemimpin-pemimpin di atas terperosok pada


lubang kegelapan dan melakukan berbagai tindakan tidak bermoral itu. Pertama, mereka tidak
memahami bahwa kepemimpinan itu sesungguhnya adalah amanah dari Tuhan. Karena itu,
kepemimpinan—apa pun bentuknya—mesti harus senantiasa berpijak dan berjalan di atas
norma-norma yang telah digariskan oleh Tuhan. Kedua, mereka hanya melihat kepemimpinan
sebagai cara terbaik dan tercepat untuk mencapai kekuasaan. Padahal, sebagai pemimpin
seharusnya memahami bahwa pemimpin tugasnya adalah melayani rakyat, bukan semata
mencapai kekuasaan. Dalam pepatah Arab disebutkan bahwa pemimpin suatu kaum
sesungguhnya adalah pelayan mereka (Sayyidul qaumi khodimuhum). Ketiga, mereka hanya
menjadikan jabatan sebagai ajang untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini terlihat
dari banyaknya pemimpin kita yang dijebloskan ke penjara karena mereka melakukan tindak
korupsi.
d) Pemimpin yang tidak tegas

Keruwetan masalah macet, apalagi kalau ada banjir di kawasan Jakarta, seperti tidak ada
upaya penyelesaian yang jitu. Itu bukti bahwa tidak tegasnya pemimpin merupakan masalah
yang cukup serius dalam krisis kepemimpinan.

e) Pemimpin yang tak bermoral dan Emosional

Seperti kasus yang baru terjadi di anggota DPR yang terlibat kasus nonton Video asusila saat
sedang bertugas itu menunjukan pemimpin yang tak bermoral dan terlihat saat sedang sidang
terlihat dan di tayangkan di televisi,itu sangat emosional dan sama sekali tidak menunjukan
pemimpin yang bijaksana.

BAB III

STUDI KASUS

1. RAPUHNYA ASAS BERNEGARA

Dalam surat Al – Maidah ditafsirkan dalam Tafsir Jalalayn : (Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu ambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin) menjadi
ikutanmu dan kamu cintai. (Sebagian mereka menjadi pemimpin bagi sebagian lainnya) karena
kesatuan mereka dalam kekafiran. (Siapa di antara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin,
maka dia termasuk di antara mereka) artinya termasuk golongan mereka. (Sesungguhnya Allah
tidak menunjuki orang-orang yang aniaya) karena mengambil orang-orang kafir sebagai
pemimpin mereka.

Melihat fenomena ini membuat kita menjadi khawatir akan rapuhnya kita dalam
memahami dan memaknai asas dalam bernegara, yakni Pancasila. Pancasila dalam posisi
Negara kita adalah sesuatu yang bersifat asasi, falsafah, idiologi Negara dan pandangan hidup
(weltanschauung). Akan tetapi sayangnya pada tataran filsafat Pancasila tidak banyak
dikembangkan sebagai pengetahuan. Ini menjadi penting agar kita dapat mengetahui
objektifikasi Pancasila seperti para pendiri bangsa inginkan atau agar kita dapat menemukan
Pancasila pada tataran ideal dan realitas yang terjadi di dalam bangsa Indonesia itu sendiri.

Pada kasus ‘penodaan’ agama oleh Ahok Gubernur DKI Jakarta banyak diantara kita
terjebak pada asas yang keliru. Misal saja kita selalu menempatkan posisi agama atau sesuatu
yang berbau sara pada tataran privat, seakan-akan agama menjadi terpisah sama sekali dengan
Negara. Padahal sebagaimana pendapat Yudi Latif di dalam bukunya Revolusi Pancasila bahwa
Pancasila berbeda dengan paham individualisme yang menarik garis demarkasi yang ketat
antara the public self (yang melibatkan relasi social yang bisa diobservasi) dengan private self
(yang tidak bisa diakses oleh yang lain).
Begitu pula Pancasila juga bukanlah paham kolektivisme totalitarian seperti sosialisme
libertarian yang bisa semena-mena mengintervensi wilayah privat. Sehingga jelas Indonesia pada
dasarnya bukanlah Negara sekuler yang sepenuhnya memisahkan peran agama dalam bernegara.
Tidak bisa juga menjadikan agama menjadi idiologi Negara dan menggeser Pancasila.

Dalam kasus Ahok yang menodai agama islam dengan kaitannya isi Al Quran surat Al
Maidah ayat 51 ini penting untuk dibicarakan. Apakah isi Al Maidah ayat 51 ini melanggar
konstitusi kita? Apakah terdapat bagian dalam agama Islam yang tidak boleh dimunculkan pada
ranah publik seperti haramnya memilih pemimpin non-muslim?

2. KONTEKS KASUS AHOK

Berbicara konteks kasus Ahok soal penistaan agama terkait ayat 51 surat Al Maidah coba
kita bandingkan dengan konteks ketika kita mengecam para pelaku Islam radikal-terorisme
dalam menafsirkan ayat tentang Jihad. Pada kasus terorisme yang Al Quran disalahtafsirkan oleh
teroris tentang ayat-ayat jihad merupakan pelecehan Agama dengan MUI sebagai saksi ahli
kepolisian atau pihak yang berwenang untuk menyatakan pemahaman atau tafsir tersebut benar
atau salah. Maka begitu pula seharusnya menyoal konteks Al Maidah ayat 51,

MUI adalah saksi ahli kepolisian dalam menyatakan pemahaman mana yang benar dan
salah. Jika umat Islam (MUI sebagai perwakilan) telah menyakini memilih pemimpin non-
muslim (dalam konteks umat Islam mampu memimpin) adalah perbuatan haram. Maka seluruh
bangsa Indonesia harus menghargai itu dan bukanlah sesuatu perbuatan SARA. Justru akan
menjadi SARA jika umat diluar Islam menghina dan menodai kepercayaan umat Islam tersebut.
Negara pun tidak bisa mengintervensi nilai yang dianut agama Islam.

Namun, umat Islam salah jika mengintervensi negara harus membuat peraturan untuk
memilih pemimpin dari kalangan Islam saja. Tentu itu tidak boleh karena akan merugikan
golongan yang lain. Akan tetapi faktanya tidak pernah ada peraturan tersebut, dalam konteks
publik-kenegaraan, kita bersepakat setiap warga negara berhak dipilih dan memilih untuk
menjadi Kepala Daerah bahkan Presiden.

Misal kita beri analogi lain, soal haramnya umat Islam untuk memakan babi. Tentu
golongan lain harus menghargai itu dan tidak boleh menghina atau melecehkan kepercayaan
umat Islam. Akan tetapi menjadi salah jika umat Islam mendesak Negara untuk membuat
peraturan haramnya babi bagi seluruh warga Indonesia. Tentu hal tersebut akan merugikan
golongan yang tidak menganggap babi adalah barang yang haram.

Maka sama hal nya dengan tafsir Al Quran surat Al Maidah ayat 51. Semua golongan
harus menghargai apa yang diyakini umat Islam terkait tafsir Al Quran surat Al Maidah tersebut
bahwa memilih pemimpin non-Islam adalah haram (read: kecuali dalam konteks tertentu seperti
yang disampaikan ulama masyhur dalam umat Islam yaitu Al Mawardi dalam kitabnya Al
Ahkam Ash Shulthoniyah).
Apa yang dilakukan Ahok sebagaimana pernyataan resmi MUI selaku saksi ahli
kepolisian menurut saya adalah perbuatan yang telah melecehkan Agama Islam dan ini telah
masuk kedalam tataran publik kenegaraan kita, karena sudah mengganggu kedamaian golongan
lain bahkan dampaknya bisa membuat gaduh seluruh bangsa.

Bahwa Ahok melakukan perbuatan penistaan agama, dimana Ahok memang tidak
menyuruh umat Islam (dikepulauan seribu) berpindah agama, akan tetapi jelas Ahok sudah
menyuruh orang untuk tidak taat dengan agamanya dan mengatakan kitab suci agama lain
berbohong atau menuduh orang lain berbohong dengan dalih dan merendahkan makna isi Al
Quran. Dengan perkataan ahok ketika di kepulauan seribu "Kan bisa saja dalam hati kecil, bapak,
ibu enggak bisa pilih saya, dibohongi pakai surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak
bapak, ibu."

BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki sifat, sikap, dan gaya
yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain. Kepemimpinan adalah kemampuan
seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan
bersama.

Menyatakan bahwa dalam menjadi pemimpin dimuka bumi maka manusia harus bisa
menjalankan apa yang telah diamanatkan oleh Allah dan setiap langkah sebagai seorang
pemimpin, Allah akan memberikan peringatan bagi kaum Muslimin agar selalu berhati-hati
tentang apa yang akan dilakukan sebagai khalifah Allah di bumi.

Anda mungkin juga menyukai