Anda di halaman 1dari 8

Nama : Daeng Farahnaz .E.

A
Kelas : D-IV 1 B
Kepemimpinan Dalam Islam
Pemimpin dan kepemimpinan merupakan persoalan keseharian dalam
kehidupan bermasyarakat, berorganisasi, berusaha, berbangsa dan bernegara.
Kemajuan dan kemunduran masyarakat, organisasi, usaha, bangsa dan negara
antara lain dipengaruhi oleh para pemimpinnya. Oleh karena itu sejumlah teori
tentang pemimpin dan kepemimpinanpun bermunculan dan kian berkembang.
Dalam pandangan Islam kepemimpinan tidak jauh berbeda dengan model
kepemimpinan pada umumnya, karena prinsip-prinsip dan sistem-sistem yang
digunakan terdapat beberapa kesamaan.Kepemimpinan dalam Islam pertama
kali dicontohkan oleh Rasulullah SAW, kepemimpinan Rasulullah tidak bisa
dipisahkan dengan fungsi kehadirannya sebagai pemimpin spiritual dan
masyarakat.Prinsip dasar kepemimpinan beliau adalah keteladanan.Dalam
kepemimpinannya mengutamakan uswatun hasanah pemberian contoh kepada
para sahabatnya yang dipimpin. Rasulullah memang mempunyai kepribadian
yang sangat agung, hal ini seperti yang digambarkan dalam al-Qur'an:
Artinya: “Dan Sesungguhnya engkau Muhammad benar-benar berada dalam
akhlak yang agung”. (Q. S. al-Qalam: 4)
Dari ayat di atas menunjukkan bahwa Rasullullah memang mempunyai
kelebihan yaitu berupa akhlak yang mulia, sehingga dalam hal memimpin dan
memberikan teladan memang tidak lagi diragukan.Kepemimpinan Rasullullah
memang tidak dapat ditiru sepenuhnya, namun setidaknya sebagai umat Islam
harus berusaha meneladani kepemimpinan-Nya.
Kepemimpinan adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh individu untuk
mengkoordinasi dan memberi arah kepada individu atau kelompok lain yang
tergabung dalam wadah tertentu untuk mencapai suatu tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Pentingnya pemimpin dan kepemimpinan ini perlu dipahami dan dihayati oleh
setiap umat Islam di negeri yang mayoritas warganya beragama Islam ini,
meskipun Indonesia bukanlah negara Islam.
Allah SWT telah memberi tahu kepada manusia, tentang pentingnya
kepemimpinan dalam islam, sebagaimana dalam Al-Quran kita menemukan
banyak ayat yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata:
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Al Baqarah:
30)
Ayat ini mengisyaratkan bahwa khalifah (pemimpin) adalah pemegang mandat
Allah SWT untuk mengemban amanah dan kepemimpinana langit di muka
bumi. Ingat komunitas malaikat pernah memprotes terhadap kekhalifahan
manusia dimuka bumi.
”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah SWT dan ta`atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah SWT (Al Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah SWT dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS An-Nisa: 59)
Ayat ini menunjukan ketaatan kepada ulil amri (pemimpin) harus dalam rangka
ketaatan kepada Allah SWT dan rasulnya.
Islam memberikan dasar-dasar normatif dan filosofis tentang kepemimpinan
yang bersifat komprehensip dan universal. Tidak hanya untuk umat Islam tapi
juga untuk seluruh umat manusia. Prinsip-prinsip kepemimpinan dalam Islam
adalah sebagai berikut:
Pertama, hikmah, ajaklah manusia ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
nasehat yang baik lagi bijaksana (QS. al-Nahl:125).
Kedua, qudwah, kepemimpinan menjadi efektif apabila dilakukan tidak hanya
dengan nasihat tapi juga dengan ketauladanan yang baik dan bijaksana (QS. al-
Ahdzab:21). Pepatah mengatakan, satu ketauladanan yang baik lebih utama dari
seribu satu nasehat. Memang kesan dari sebuah keteladanan lebih melekat dan
membekas dibanding hanya sekedar nasehat seorang pemimpin.
Ketiga, musyawarah diskusi, adalah suatu bentuk pelibatan seluruh komponen
masyarakat secara proporsional dalam keikutsertaan dalam pengambilan sebuah
keputusan atau kebijaksanaan (QS. Ali Imran:159, QS. As-Syura:38). Dengan
musyawwarah diskusi dan bertukar pikiran, maka tidak ada suatu permasalahan
yang tak dapat diselesaikan. Tentu dengan prinsip-prinsip bilhikmah
wamauidhatil khasanah yang harus dipegang teguh oleh setiap komponen
pemerintah atau imamah.
Keempat, adil, tidak memihak pada salah satu pihak. Pemimpin yang berdiri
pada semua kelompok dan golongan, (QS.al-Nisa’:58&135, QS. al-Maidah:8)
Dalam memimpin pegangannya hanya pada kebenaran, shirathal mustaqim
(jalan yang lurus). Timbangan dan ukurannya bersumber pada al-Qur’an dan
al-Hadits. Kecintaannya hanya karena Allah dan kebencian pun hanya karena
Allah. Hukum menjadi kuat tidak hanya saat berhadapan dengan orang lemah,
tapi juga menjadi kuat saat berhadap-hadapan dengan orang kuat.
Kelima, kelembutan hati dan saling mendoakan. Kesuksesan dan keberhasilan
Rasulallah dan para sahabat dalam memimpin umat, lebih banyak didukung
oleh faktor performa pribadi Rasul dan para sahabat yang lembut hatinya, halus
perangainya dan santun perkataannya. Maka Allah SWT menempatkan
Muhammad Rasulallah sebagai rujukan dalam pembinaan mental dan moral
sebagaimana firmannya, ”Laqad kana lakum fi Rasulillahi uswatun hasanah”
(Sungguh ada pada diri Rasul suri tauladan yang baik), (QS. al-Ahdzab:21 dan
al-Qalam:10).
Keenam, dari prinsip dasar kepemimpinan Islami adalah kebebasan berfikir,
kreativitas dan berijtihad. Sungguh amat luar biasa, sepeninggal Rasulallaht
para sahabat dapat menunjukkan diri sebagai sosok pemimpin yang mandiri,
kuat, kreatif dan fleksibel.
Kehalalan Pangan
Ketika teknologi pangan belum berkembang seperti saat ini, dimana tidak ada
atau tidak banyak makanan dan minuman olahan yang beredar, masalah halal
dan haramnya makanan dan minuman relatif tidak serumit sekarang, walaupun
dari segi syar’i permasalahan selalu ada, terutama karena adanya perbedaan
pendapat di antara para ulama. Meskipun demikian, perbedaan pendapat
tersebut relatif tidak banyak dan relatif lebih mudah dipecahkan. Lain halnya
pada keadaan sekarang, dimana teknologi telah berkembang sedemikian rupa
sehingga hal-hal yang dulunya tidak ada menjadi ada dengan bantuan teknologi.
Sebagai contoh, dahulu orang membuat roti cukup dengan menggunakan bahan
dasar terigu, ragi dan air.
Akan tetapi, sekarang tidak cukup hanya dengan bahan utama itu saja, tetapi
perlu ada tambahan bahan lainnya yang disebut dengan bahan tambahan
makanan seperti shortening (mentega putih), perisa atau flavor (bahan untuk
menimbulkan aroma dan rasa tertentu), dan anticacking agent. Di antara bahan-
bahan tambahan tersebut banyak yang bagi orang awam tidak mengetahui asal
usulnya, akan tetapi bagi ahlinya telah diketahui bahwa di antara bahan
tambahan makanan tersebut (ambil contoh shortening) ada yang mengandung
lemak babi atau bahan yang dapat berasal dari lemak babi yang diperoleh
melalui reaksi kimia dengan menggunakan bahan awal salah satu komponen
yang berasal dari lemak babi. Sehingga, diperlukan usaha yang sangat keras
untuk mengetahui mana yang halal (tidak mengandung unsur babi) dan mana
yang tidak halal.
Pangan di dalam UU No 7 Tahun 1996 pasal 1 didefinisikan sebagai segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak
diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumen
muslim, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan
makanan atau minuman. Dalam khasanah ilmu Islam, hukum asal segala
sesuatu (benda) yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satu
pun yang haram, kecuali ada keterangan yang sah dan tegas tentang keharaman
bahan tersebut. Hal ini berbeda dengan kaidah perbuatan yang menuntut setiap
apapun yang dilakukan manusia dalam hal ini seorang muslim harus terikat
dengan hukum syara’ (wajib, sunah, mubah/boleh, makruh, haram).
Sebagaimana kaidah fiqh yang menyatakan “Hukum asal bagi setiap
benda/barang adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya”
dan “Hukum asal bagi perbuatan manusia/muslim adalah terikat dengan hukum
syara’/Islam” (An-nabani,2001).
Setiap muslim yang akan melakukan atau menggunakan, terlebih lagi
mengkonsumsi sesuatu produk pangan sangat dituntun oleh agama untuk
memastikan terlebih dahulu kehalalan dan keharamannya. Halal berarti boleh,
sedangkan haram berarti tidak boleh (Qardhawi, 2000).Selain masalah halal
dalam perilaku yang menjadi standar minimal perilaku seorang muslim, Allah
SWT juga mengatur halal dalam masalah makanan maupun minuman. Di dalam
Qur’an Surat Al-Maidah ayat 3, Allah SWT berfirman bahwa ”Telah
diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih
bukan karena Allah, yang (mati) karena dicekik, yang (mati) karena dipukul,
yang (mati) karena jatuh dari atas, yang (mati) karena ditanduk, yang(mati)
karena dimakan oleh binatang buas, kecuali yang dapat kamu sembelih dan
yang disembelih untuk berhala”. Jika halal, ia boleh (halal) melakukan,
mengunakan atau mengkonsumsinya; demikian pula sebalikya. Kata halalan,
menurut bahasa Arab berasal dari kata, halla yang berarti “lepas” atau “tidak
terikat”. Secara etimologi kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat
dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang
melarangnya. Dapat juga diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari
bahaya duniawi dan ukhrawi.
Menurut ajaran Islam, mengkonsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan
perintah agama dan hukumnya adalah wajib bagi orang muslim.Halal dan baik
secara jasmani dan rohani. Oleh karena itu mendapatkan pangan halal
seharusnya merupakan hak bagi setiap konsumen Muslim.Makanan halal adalah
makanan yang dibolehkan memakannya menurut Syariat Islam. Minuman halal
adalah minuman yang dibolehkan meminumnya menurut Syariat Islam. Begitu
sebaliknya untuk makanan dan minuman haram.
Syariat Islam adalah tata aturan agama Islam yang berdasarkan Al Quran dan Al
Hadist yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya, manusia
dengan dirinya sendiri dan manusia dengan sesamanya. Disamping Al Quran
dan Al Hadist, sumber Syariat Islam yang lainnya adalah Ijma’ Sahabat dan
Qiyas.Termasuk makanan dan minuman halal adalah (1) bukan terdiri dari atau
mengandung bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh syariat Islam
untuk memakannya atau yang tidak disembelih menurut Syariat Islam, (2) tidak
mengandung sesuatu yang dihukumi sebagai najis menurut Syariat Islam, (3)
tidak mengandung bahan penolong dan atau bahan tambahan yang diharamkan
menurut syariat Islam, (4) dalam proses, menyimpan dan menghidangkan tidak
bersentuhan atau berdekatan dengan makanan yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana di atas atau benda yang dihukumkan sebagai najis menurut syariat
Islam (Tim Penerbit Buku Pedoman Pangan Halal, 2001).
Makanan yang halal hakikatnya adalah makanan yang didapat dan diolah
dengan cara yang benar menurut agama. Kini konsumen dapat memilih
berbagai macam pilihan produk. Salah satunya adalah produk pangan yang
sering kita konsumsi setiap hari. Sejumlah langkah bisa ditempuh konsumen 
untuk mempertimbangkan produk yang akan dikonsumsi.
Sebagai lembaga otonom bentukan MUI, LPPOM MUI tidak berjalan sendiri.
Keduanya memiliki kaitan erat dalam mengeluarkan keputusan. Sertifikat Halal
merupakan langkah yang berhasil dijalankan sampai sekarang. Di dalamnya
tertulis fatwa MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan
syariat Islam dan menjadi syarat pencantuman label halal dalam setiap produk
pangan, obat-obatan, dan kosmetika.
Syarat kehalalan produk tersebut meliputi:
1. Tidak mengandung babi dan bahan bahan yang berasal dari babi
2. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti; bahan yang
berasal dari organ manusia, darah, dan kotoran-kotoran.
3. Semua bahan yang berasal dari hewan yang disembelih dengan syariat
Islam.
4. Semua tempat penyimpanan tempat penjualan pengolahan dan
transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi; jika pernah digunakan
untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu
dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syariat.
Setiap produsen yang mengajukan sertifikasi halal bagi produknya harus
melampirkan spesifikasi dan Sertifikat Halal bahan baku, bahan tambahan, dan
bahan penolong serta bahan aliran proses. Surat keterangan itu bisa dari MUI
daerah (produk lokal) atau lembaga Islam yang diakui oleh MUI (produk impor)
untuk bahan yang berasal dari hewan dan turunannya.
Setelah itu, tim auditor LPPOM MUI melakukan pemeriksaan dan audit ke
lokasi produsen yang bersangkutan serta penelitian dalam laboratorium yang
hasilnya dievaluasi oleh rapat tenaga ahli LPPOM MUI yang terdiri dari ahli
gizi, biokimia, pangan, teknologi pangan, teknik pemrosesan, dan bidang lain
yang berkait. Bila memenuhi persyaratan, laporan akan diajukan kepada sidang
Komisi Fatwa MUI untuk memutuskan kehalalan produk tersebut.
Tidak semua laporan yang diberikan LPPOM MUI langsung disepakati oleh
Komisi Fatwa MUI. Terkadang, terjadi penolakan karena dianggap belum
memenuhi persyaratan. Dalam kerjanya bisa dianalogikan bahwa LPPOM MUI
adalah jaksa yang membawa kasus ke pengadilan dan MUI adalah hakim yang
memutuskan keputusan hukumnya.
Sertifikat halal berlaku selama dua tahun, sedangkan untuk daging yang
diekspor sertifikat diberikan pada setiap pengapalan. Dalam rentang waktu
tersebut, produsen harus bisa menjamin kehalalan produknya. Proses
penjaminannya dengan cara pengangkatan Auditor Halal Internal untuk
memeriksa dan mengevaluasi Sistem Jaminan Halal (Halal Assurance System)
di dalam perusahaan. Auditor Halal tersebut disyaratkan harus beragama Islam
dan berasal dari bagian terkait dengan produksi halal. Hasil audit oleh auditor
ini dilaporkan kepada LPPOM MUI secara periodik (enam bulan sekali) dan
bila diperlukan LPPOM MUI melakukan inspeksi mendadak dengan membawa
surat tugas.
Daftar Pustaka
 http://id.wikipedia.org/wiki/LPPOM_MUI
 http://nurulnuni.wordpress.com/2013/04/18/kehalalan-pangan/
 http://nurlaelahidayah.files.wordpress.com/2012/11/makalah-agama-
2.docx
 http://sip-online.blogspot.com/2013/11/kepemimpinan-dalam-islam-
menurut-al.html

Anda mungkin juga menyukai