Anda di halaman 1dari 9

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ilahi rabbi atas segala limpahan Rahmat, kasih
sayang dan nikmat yang tiada tara sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Shalawat dan salam semoga
tercurahkan kepada baginda nabi besar Muhammad SAW semoga kita semua bisa
mendapatkan syafaatnya di akhirat kelak.amiin.
Kami berharap Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam menjalani kehidupan sosial saat ini dan
Kami berharap pula semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini supaya
kedepannya dapat lebih baik.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna sehingga kami
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang sifatnya membangun ke arah yang
lebih sempurna.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
A.    Pendahuluan………………………………………………………………........1
B.     Ayat Utama………………………………………………………………..............1
C.    Makna Mofrodat………………………………………….……………….............3
D.    Asbabun Nuzul….………………………………………………………………....4
E.     Analisa kandungan Ayat………………………………………………….............5
F.      Sikap Muslim terhadap Ketentuan dan Kuasa Allah.........................………….5
G.    Hikmah Kandungan Ayat…………………………………….…………………..6
KESIMPULAN ……………………………………………………………………12
DAFTAR PUSTAKA
A.    Pendahuluan
Al-Quran tidak menyatakan secara eksplisit bagaimana sistem politik terwujud. Tetapi
ia menegaskan bahwa kekuasaan politik dijanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal
sholeh. Ini berarti sistem politik terkait dengan kedua faktor tersebut. Pada sisi lain
keberadaan sebuah sistem politik terkait pula dengan ruang dan waktu. Ini berarti ia adalah
budaya manusia sehingga keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari dimensi kesejarahan.
Karena itu lahirnya sistem politik islam harus ditelusuri dari sebuah peristiwa sejarah.
Dalam hal ini peristiwa yang dimaksud adalah baiat atau mubayaah keislaman, sebuah
perikatan berisi pengakuan dan penaklukan diri kepada islam sebagai agama. Konsekuensi
dari baiat tersebut adalah terwujudnya sebuah masyarakat muslim yang yang dikendalikan
oleh kekuasaan yang dipegang Rasulullah SAW.
Perkembangan lebih lanjut dari sistem politik tersebut terjadi setelah Rasulullah hijrah
ke Madinah. Disini sistem politik tersebut memiliki supremasi atas kota Madinah yang
ditandai dengan keluarnya Piagam Madinah (1 H). Rasulullah menjalankan sistem politik
tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip al-Quran tentang politik. Lalu bagaimanakah konsep
dan prinsip politik islam dalam pandangan al-Quran?
B.     Ayat Utama
Negara sebagai kekuatan dunia merupakan sesuatu yang mutlak bagi Al-Qur'an, sebab
hanya dengan itulah aturan-aturan dan ajaran-ajarannya dapat dilaksanakan dalam kehidupan
nyata. Islam mengatur hal-hal yang tidak berubah, termasuk pokok- pokok mengatur
masyarakat manusia, kepentingan dan keperluannya; kepemimpinannya. Titel kepada negara,
khalifah boleh, amirul mukminin boleh, presiden boleh.[1]
Negara adalah sekumpulan manusia yang secara tetap mendiami suatu wilayah
tertentu dan memiliki institusi abstraknya sendiri serta sistem yang  dipatuhi dari para
pemegang kekuasaan yang ditaatinya serta memiliki kemerdekaan politik. Unsur yang harus
ada bagi wujudnya dan berdirinya sebuah negara adalah adanya bangsa yang mendiami
wilayah tertentu di belahan bumi ini, adanya institusi abstrak yang diterima baik oleh bangsa
tersebut dan direalisasikan oleh pemegang kekuasaan, adanya sistem yang ditaati dan
mengatur jenjang-jenjang  kekuasaan serta kebebasan politik yang menjadi identitas bangsa
tersebut sehingga tidak mengekor kepada negara lain Jauh sebelum Islam yang dibawa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam datang, di Barat maupun di Timur telah terdapat
negara dalam  pengertiannya yang umum berupa kerajaan.[2]
1.      Surat Ali Imron ayat 26.
ِّ‫ل‬YY‫ِإنَّكَ َعلَ ٰى ُك‬  ۖ‫ ُر‬Y ‫ك ْال َخ ْي‬ َ ‫ع ْال ُم ْل‬
Yَ ‫بِيَ ِد‬  ۖ‫ك ِم َّم ْن تَ َشا ُء َوتُ ِع ُّز َم ْن تَ َشا ُء َوتُ ِذلُّ َم ْن تَ َشا ُء‬ َ ‫ك تُْؤ تِي ْال ُم ْل‬
ُ ‫ك َم ْن تَ َشا ُء َوتَ ْن ِز‬ ِ ‫قُ ِل اللَّهُ َّم َمالِكَ ْال ُم ْل‬
]٣:٢٦[ ‫َش ْي ٍء قَ ِدي ٌر‬
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan
kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau
kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang
Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha
Kuasa atas segala sesuatu.(QS.al-imran:26)[3]

C.    Makna Mofrodat

1.      Kata ‫م‬ َّ ‫اللَّ ُه‬ (Allahumma) digunakan khusus untuk memohon doa kepada Allah yang berarti
Ya Allah bimbinglah kami dengan cara yang sebaik-baiknya.
2.      Kata ‫ملك‬ (Malik) yang berarti raja, atau "Malik", yang artinya Pemilik atau mengandung
penguasaan terhadap sesuatu yang disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan
keshahihannya.
3.      Kata ‫ك‬ ِ ‫م ْل‬ ُ ‫ك ا ْل‬
َ ِ ‫م ال‬
َ  (Malikul mulk) merupakan kata majemuk yang mempunyai makna
kekuatan, dan keshahihan yang pada awalnya diartikan sebagai ikatan dan penguatan. Allah
adalah Pemilik. Ayat ini mejelaskan bahwa yang dimiliki-Nya adalah al-mulk, yakni
kepemilikan.
4.      Kata ّ‫تعز‬ (Tu'izzu) bermakna Engkau muliakan, pada hakikatnya kata ini berarti kekuatan
yang menjadikan pemiliknya dibutuhkan, sekaligus tidak terkalahkan.
5.      Kata ‫ل‬ّ ‫تذ‬ (Tudzillu) bermakna Engkau hinakan. Yang hina selalu butuh kepada banyak
pihak, terkalahkan dan tidak berwibawa.

D.    Asbabun Nuzul

Ulama tafsir mengemukakan riwayat yang bersumber dan Ibn Abbas dan Anas Ibn
Malik,bahwa ketika nabi Muhammad SAW berhasil memasuki kota mekah dengan gemilang,
beliau menyampaikan bahwa sesuatu ketika imperium Romawi dan persia nakan takluk
kepada kekusaan islam. Orang – orang munafik yang mendengar informasi ini tercengang,
ragu, dan mengejek sambil berkata,”Apakah tidak cukup buat muhammad mekah dan
madinah?”. Menanggapi ejekan dan keraguan tersebut Allah menurunkan ayat ini.
[4] Dan “Dikemukakan oleh Ibnu Abî Hâtim yang bersumber dari Qatadah. Qatadah berkata:
“Diterangkan kepada kami, bahwa Rasulullah SAW pernah memohon kepada Tuhannya
(Allah) supaya Raja Rum dan Raja Persia umatnya(Nabi SAW). Maka Allah SWT
menurunkan ayat ini”:[5]

E.     Analisa kandungan Ayat


Dalam QS. Al-imran:26 ditegaskan bahwa manusia wajib mengakui kemahakuasaan
Allah dan tunduk kepada-Nya. Dialah yang dapat memerikan kekusaan kepada seseorang
atau mencabut kekuasaan itu. Dia juga yang menguasai segala bentuk kebaikan secara
mutlak. Disini terkandung pengertian bahwa ketika berdoa, sesorang harus bersikap tawadhu
agar apa yang dimohonkan dapat segera terealisasi.
Allah malik al mulk adalah dia sumber kepemilikan. Dia yang terlaksana kehendaknya
dalam wilayah dalam wilayah kekusaannya, sedangkan wilayah kekuasaannya adalah seluruh
wujud ini. Itu dia laksanakan sesuai dengan cara yang dikehendakinya baik saat mewujudkan,
meniadakan, menganugrahkan, mempertahankan, dan mencabut. Kesatuan kepemilikan Allah
di ibaratkan oleh imam Ghazali dengan manusia yang walaupun bagian-bagian dari anggota
badannya anyak dan beraneka ragam, tetapi seluruhnya bekerja sama untuk memenuhi
kehendak pemiliknya, yakni manusia. Alam raya, bahkan keseluruhan wujud merupakan
milik Allah, kesemuanya tunduk kepada-Nya dan bekerja sama untuk tujuan kebajikan dan
sesuai hikmah kebijaksanaan-Nya.
             Ketika kita bericara bahwa Allah adalah malik al mulk maka itu bermakna segala
sesuatu yang dapat dikatakan semuanya milik Allah, karena Dia adalah pemilik dari segala
kepemilikan.jika demikian halnya, tiada satupun yang bukan milik-Nya.
             Ketika seseorang mengucapkan allahumma malik al-mulk/ Allah pemilik
kerajaan, maka pada hakikatnya dia menyeru Allah dengan dua nama-Nya, yaitu Allah
dan Malik al-Mulk. Dengan menyebut nama Allah, yang lafaz-Nya menyiratkan
makna ketaatan dan ibadah yang hanya wajar diarahkan kepada-Nya semata,  pengucap
doa ini diharapkan dapat meraih kekhusyukan, serta  menyandangkan segala sifat
terpuji kepada Allah dan menyucikan-Nya dari segala sifat tercela. Dengan
menyeru Malik al-Mulk diharapkan dapat tecermin kekuasaan dan kebesaran Allah
SWT., serta kelemahan seluruh makhluk di hadapan-Nya. Salah satu bentuk dan bukti
kekuasaan dan kepemilikan-Nya adalah apa yang diucapkan itu, yakni Engkau berikan
kerajaan kepada siapa yang iingkau kehendaki. Anda perhatikan, Dia tidak mengajarkan
kita berkata, "Engkau milikkan", tetapi "berikan", karena apa yang diberikan-Nya
bukan menjadi milik, tetapi pemberian yang sifatnya hanya sementara, karena pada saat
yang sama, pemberian-Nya dapat diambil-Nya kembali, baik yang diberi rela atau tidak.
Seandainya apa yang diberikan dijadikan milik yang diberi,  tentu tidak wajar Allah
mengambilnya kembali, apalagi dengan mencabut, yakni memaksa.
Kerajaan, yakni kekuasaan yang berada dalam genggaman tangan seseorang
bukanlah miliknya; karena itu bila yang bersangkutan enggan menyerahkannya ketika
Allah memintanya kembali, maka Engkau cabut kerajaan  yang pernah Engkau berikan
itu dari siapa yang Engkau kehendaki,  untuk Engkau cabut darinya. Pemberian dan
pencabutan itu, melalui faktor-faktor atau hukum-hukum yang ditetapkan Allah, berlaku
dalam kehidupan masyarakat, tidak ubahnya dengan hukum-hukum alam yang
ditetapkannya dalam perjalanan alam raya ini.
Kata cabut memberi isyarat bahwa  seringkali  penguasa
ingin mempertahankan kekuasaannya sepanjang mungkin, kalau pun
harus mengalihkan, maka pengalihan tersebut adalah kepada anak keturunan atau  teman
dckatnya, sehingga kekuasannya dapat langgeng. Memang lebih tepat memahami kata al-
mulk pada ayat ini dalam arti kekuasaan memerintah, Agaknya makna-makna
selain kekuasaan memerintah dicakup oleh lanjutan ayat, yakni Engkau  muliakan  siapa 
yang Engkau kehendaki untuk Engkau muliakan, dan Engkau hinakan siapa
yang Engkau  kehendaki untuk Engkau hinakan.
Ungkapan  Engkau muliakan, pada hakikatnya mengandung arti kekuatan
yang menjadikan pemiliknya dibutuhkan, sekaligus tidak tetkalahkan. Allah Maha Mulia
karena Dia dibutuhkan oleh semua makhluk, sedangkan Dia tidak butuh kepada siapa
atau apa pun. Dia mengalahkan segala sesuatu dan tidak dapat dikalahkan oleh segala
sesuatu. Dia sedemikian mulia, sehingga tidak ada yang dapat menyentuh, bahkan
mengetahui hakikat-Nya. Pada saat Allah memuliakan seseorang, maka orang itu akan
dibutuhkan oleh banyak pihak, dan pada saat yang sama dia tidak dapat dikalahkan oleh
lawan-lawannya.
Menganugerahkan kekuasaan atau mencabutnya, memuliakan atau menghinakan, itu
semua akan berakibat baik, karena segala yang bersumber dari-Nya adalah baik,
bahkan hanya di tangan Engkaulah segala kebajikan. Allah yang menciptakan dan mengatur
alam raya, ciptaan dan pengaturan-Nya sungguh baik. Apa yang diduga buruk pada
hakikatnya lahir dari keterbatasan pandangan manusia, atau dilahirkan oleh ulah manusia
sendiri  atau dapat juga dikatakan bahwa yang buruk kalau pun ada hanya  terbatas
menyentuh sekian makhluk-Nya, dan keburukan itu pada  hakikatnya adalah untuk
kebaikan  banyak sekali makhluk-Nya yang lain, sehingga pada akhirnya yang buruk
itu pun adalah baik untuk alam raya, paling tidak untuk sebagian besar mereka. Kalau
pun pada akhirnya kita berkata, bahwa segala sesuatu atas izin Allah, dan bahwa
kenyataan menunjukkan adanya apa yang dinilai buruk oleh manusia, maka ketika
itu hendaknya kita menarik pelajaran dari tuntunan ayat ini, bahwa  kalau pun ada yang
dinilai buruk, maka keburukan itu tidaklah wajar  dinisbahkan kepada Allah
SWT. Akhirnya ayat di atas menegaskan hakikat yang tidak
terbantah, bahwa sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
F.      Sikap Muslim terhadap Ketentuan dan Kuasa Allah
               Ketika Mu'awiyah ibn Abi Sufyan  menggantikan  Khalifah  IV, Ali ibn Abi Thalib
(W. 620 H), ia menulis surat kepada salah seorang sahabat Nabi, Al Mughirah  ibn  Syu'bah 
menanyakan, "Apakah  doa  yang  dibaca  Nabi  setiap selesai shalat?" Ia memperoleh
jawaban bahwa doa beliau adalah, "Tiada Tuhan selain  Allah,  tiada  sekutu  bagi-Nya. 
Wahai Allah tidak ada yang mampu menghalangi apa yang engkau beri, tidak juga ada yang
mampu memberi apa yang  Engkau  halangi, tidak berguna upaya yang bersungguh-
sungguh. Semua bersumber dari-Mu. (HR Bukhari).[6]
               Walau hadis tersebut diperdebatkan oleh ahli ilmu kalam, menyangkut pro dan
kontra terhadap pengausa yang jelas, Nabi dan  sahabat-sahabat  utama  beliau,  tidak pernah 
mempersoalkan takdir. Mereka sepenuhnya  yakin  tentang  takdir  Allah yang   menyentuh 
semua  makhluk  termasuk  manusia,  tetapi
sedikit  pun  keyakinan   ini   tidak   menghalangi   mereka menyingsingkan   lengan
baju, berjuang,  dan  kalau  kalah sedikit pun mereka tidak menimpakan kesalahan kepada 
Allah. Sikap  Nabi  dan  para sahabat tersebut lahir, karena mereka tidak memahami ayat-ayat
Al-Quran secara parsial: ayat  demi ayat,   atau  sepotong-sepotong  terlepas  dari 
konteksnya, tetapi memahaminya secara utuh, sebagaimana  diajarkan  oleh Rasulullah SAW.

G.    Hikmah Kandungan Ayat

a.       Allah memperkenankan doa siapa saja, adakalanya langsung diterima dan adakalanya
memerlukan waktu yang lama. Semua itu atas izin Allah dan segala yang telah di putus Allah
berkaitan doa yang di mohonkan pastilah keputusan itu adalah yang terbaik menurut
pengetahuan dan perhitungan Allah.
b.      Allah mempunyai kuasa mutlak untuk mengangkat  dan merendahkan pangkat dan derajat
siapa saja. Kemutlakan kekuasaaNya tersebut logis karena Allah adalah pemilik segala
kekuasaan.
c.       Setiap pribadi hendaknya dapat menempatkan diri sebaik mungkin menyangkut posisi
dalam tatanan kehidupan berdasar kekurangan, kelemahan dan kelebihan masing-masing.
Sikap dengan menempatkan diri pada komunitas dengan baik tersebut menjadi penting
karena setiap posisi membawa konsekwensi tugas dan wewenang yang berbeda. Pelaksanaan
tugas dengan konsekuen oleh masing-masing pribadi akan membawa kkebaikan baik pribadi
maupun bagi seluruh komunitas. Pengetahuan dan kekuasan Allah adalah mutlak. Sebagai zat
Yang Maha Rahman dan rahim Allah telah menetapkan kadar dan ketentuanya yang tidak
bertentangan dengan fitrah manusia. Dan jika manusia berada pada posisi kurang beruntung
hingga nanti di kemudian hari tentu itu adalah akibat kesalahan dan kelupaan manusia.

H.    Kesimpulan
Allah telah menciptakan alam semesta ini dengan segala kebesarannya, yang
menguasai alam ini, mengaturnya dengan perintah-Nya ,mengendalikannya dengan
kekuasaan-Nya. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat
dalam putaran yang abadi ini. Yaitu, putaran malam mengikuti siang dalam peredaran planet
ini. Dia menciptakan matahari, bulan dan bintang, yang semula tunduk kepada perintah-Nya.
Al-Qur’an telah menghubungkan semua pagelaran alam semesta dan seluruh getaran jiwa
kepada akidah tauhid. Ia mengubah setiap kilatan sinar dalam lembaran alam semesta atau
dalam batin manusia kepada sebuah dalil atau isyarat. Demikianlah alam semesta beserta
segala isinya beralih rupa menjadi tempat pementasan ayat-ayat Allah yang dihiasi dengan
keindahan oleh “tangan” kekuasaan dan bekas-bekasnya tampak nyata dalam setiap pagelaran
dan pemandangan serta gambaran dan bayang-bayang didalamnya. Sehingga manusia
diharuskan percaya dengan adanya alam semesta ini sebagai bukti dari kebesaran Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA
Asbâbun Nuzûl lil Wâhidî(al-Wâhidî).
HR Bukhari
Musa, M. Yusuf , Politik dan Negara dalam Islam, terjemah M. Thalib, Surabaya: Al-
Ikhlas, t.th
 Natsir, M,  Maarif dalam Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta:
LP3ES, 2006.
Tafsîr Ibnu Abî Hâtim(Ibnu Abî Hâtim).
Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Juz XIII, Semarang: CV. TohaPutra,1994

Anda mungkin juga menyukai