AL MALIK
Sesudah Allah menyebutkan beberapa sifat-Nya, yaitu: Tuhan seluruh alam, Yang
Maha Pengasih, Maha Penyayang, maka diiringi-Nya dengan menyebutkan satu
sifat-Nya lagi, yaitu "menguasai hari pembalasan". Penyebutan ayat ini dimaksudkan
agar kekuasaan Allah atas alam ini tak terhenti sampai di dunia ini saja, tetapi terus
berkelanjutan sampai hari akhir.
Ada dua macam bacaan berkenaan dengan Malik. Pertama, dengan memanjangkan
ma, dan kedua dengan memendekkannya. Menurut bacaan yang pertama, Malik
artinya "Yang memiliki" (Yang empunya). Sedang menurut bacaan yang kedua,
artinya "Raja". Kedua bacaan itu benar.
Baik menurut bacaan yang pertama ataupun bacaan yang kedua, dapat dipahami
dari kata itu arti "berkuasa" dan bertindak dengan sepenuhnya. Sebab itulah
diterjemahkan dengan "Yang menguasai". "Yaum" artinya hari, tetapi yang dimaksud
di sini ialah waktu secara mutlak.
Ad-din banyak artinya, di antaranya: (1) perhitungan, (2) ganjaran, pembalasan, (3)
patuh, (4) menundukkan, dan (5) syariat, agama. Yang selaras di sini ialah dengan
arti "pembalasan". Jadi, Maliki yaumiddin maksudnya "Allah itulah yang berkuasa
dan yang dapat bertindak dengan sepenuhnya terhadap semua makhluk-Nya pada
hari pembalasan."
Sebetulnya pada hari kemudian itu banyak hal yang terjadi, yaitu Kiamat,
kebangkitan, berkumpul, perhitungan, pembalasan, tetapi pembalasan sajalah yang
disebut oleh Allah di sini, karena itulah yang terpenting. Yang lain dari itu,
umpamanya kiamat, kebangkitan dan seterusnya, merupakan pendahuluan dari
pembalasan, apalagi untuk targib dan tarhib (menggalakkan dan menakut-nakuti),
penyebutan "hari pembalasan" itu lebih tepat
3. Malikul-Mulk
ialah Dzat yang menjalankan semua urusan di dalam kerajaan-Nya menurut apa
yang Dia kehendaki.
Tidak ada yang bisa menolak ketentuan-Nya dan tidak ada akibat dari hukum-Nya.
Al Mulk artinya “kerajaan,” dan Al-Malik artinya “Yang Mahakuasa dengan
sempurna.” Seluruh yang maujud ini merupakan satu kerajaan dan Dia adalah
Penguasanya.
Semuanya itu merupakan satu kerajaan, sebab antara sebagian dengan sebagian
lainnya ada keterkaitan.
Dan, sekalipun Ia banyak dari satu sisi, sesungguhnya dari sisi lain Ia adalah satu,
karena kesesuaiannya dalam kebutuhan kepada Penciptanya dalam mewujudkan
dan mengekalkannya. Contohhnya adalah tubuh manusia, ia merupakan sebuah
kerajaan bagi hakikat manusia, di mana ia terdiri atas banyak sekali anggota tubuh
yang berbeda-beda, namun ia seolah-olah saling membantu merealisasikan suatu
tujuan bersama yang satu; dengan sifat demikian ini maka ia adalah suatu kerajaan.
Begitu juga dengan alam semesta ini, ia ibarat satu orang dan bagian-bagian alam
itu seolah-olah anggota tubuhnya; ia juga saling membantu dalam mewujudkan satu
tujuan, yaitu menyempurnakan kebaikan yang mungkin adanya menurut yang
dikehendaki oleh kemurahan Ilahi. Dan Allah SWT sajalah yang memilikinya, tidak
ada sekutu bagi-Nya, kepunyaan-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala pujian, dan Dia
Maka Berkuasa atas segala sesuatu.
Imam Al-Syadzill berkata: “Berhentilah di satu pintu agar terbuka bagi Anda
beberapa pintu. Tunduklah kepada satu Raja agar seluruh makhluk tunduk kepada
Anda.”
Manusia menjadi raja untuk dirinya sendiri Nasihat Rasullulah SAW tersebut
adalah pesan agar seorang Sahabat tersebut itu bisa mempimpin jiwanya sendiri.
Bagaimana seseorang itu memimpin jiwanya sendiri? Tandanya telah dijelaskan
oleh Rasullulah SAW , yaitu: “mampu mengendalikan nafsunya ketika marah.“
(HR: Bukhari dan Muslim)
Suatu hari ada seorang laki-laki yang datang menemui Rasulullah ﷺ untuk
meminta nasehat beliau. Orang itu berkata: “Berilah aku nasihat. Rasulullah ﷺ
bersabda, yang artinya, “Janganlah engkau marah.” Kemudian orang itu mengulang
berkali-kali meminta nasehat kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau selalu menjawab:
“Janganlah engkau marah.”(HR. Abu Hurairah)
Nasihat Nabi ﷺ tersebut adalah pesan agar seorang Sahabat tersebut itu
bisa memimpin jiwanya sendiri. Bagaimana seseorang itu memimpin jiwanya
sendiri? Tandanya telah dijelaskan oleh Nabi ﷺ, yaitu: “mampu mengendalikan
nafsunya ketika marah.“ (HR: Bukhari dan Muslim).
Uraiannya dijelaskan oleh Imam Al Gajali Dalam diri manusia ada potensi
kehewanan, potensi setan, dan potensi Malaikat.
Orang yang berbuat jahat, atau berperilaku bejat berarti jiwanya dipimpin oleh sifat
setan dan sifat kehewanan. Ketika potensi Malaikat berhasil mempin jiwanya, maka
orang itu menjadi baik. Sholeh, berakhlak dan beriman kepada Allah Swt (Imam al-
Ghazali, Kimiya’ As-Sa’adah).
Dalam istilah lain, Imam Ghazali menyebut diri manusia ada dua jenis; jiwa hewani
(an-nafs al-hayawaniyah) dan jiwa rasional (an-nafs an-natiqah). Prof. Syed
Muhammad al-Attas menjelaskan, orang baik itu apabila jiwa rasionalnya memimpin
jiwa hewaninya. Jiwa hewani di bawah kontrol dan kendali jiwa rasional.
Jika diperahatikan, tidak ada dalam asmul husna sifat mutakallim (berbicara).
Padahal Allah itu maha Berfirman, namun tidak menonjolkan dan memamerkannya,
yang justru ditonjolkan adalah samii’ dan bashiir. Dalam hal ini bisa kita contoh,
bahwa Allah saja yang maha berfirman tidak menonjolkannya, apalagi manusia. Maka
seharusnya sebagai seorang Muslim, kurangi banyak bicara, dan ganti dengan
banyak mendengar. Ketiga, perihal mengetahui Allah juga maha mengetahui, namun
Dia tidak memberitahu semuanya. Allah hanya memberitahu apa yang perlu
diketahui oleh manusia. “Dia (Allah) memberitahu kita yang perlu kita ketahui, Allah
tahu kapan kita mati, namun Dia tidak memberithu,” kata Quraish Shihab. Maka
sebagai seorang muslim bisa mengambil teladan, bahwa tidak perlu ‘pamer’ dan
meceritakan seluruh pengetahuan kita kepada orang lain, padahal itu tidak
diperlukan..