Anda di halaman 1dari 9

1.

DEFINISI TASKHIR
Taskhir adalah masdar dari kata ‫َ يرسسخخرر‬-‫ سسخخسر‬yang berarti membebani sesuatu tanpa
imbalan atau pembebanan seseorang dengan suatu pekerjaan tanpa upah. Secara bahasa
berarti membebani sesuatu untuk tujuan tertentu secara terpaksa (tanpa alternative) hingga
mengikuti semua perintahnya. Dikatakan secara paksa (qahran) karena bagi sesuatu yang
ditundukkan tidak ada pilihan keuali mengikuti kehendak dan keinginan yang
memberdayakannya. Kata sakhkhara juga diartikan menundukkan. Dalam Alَ-Qur’an setiap
kali disebut kata sakhkhara, hampir selalu dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa segala
ciptaan Allah di langit dan di bumi ditundukkan untuk mengikuti system “sunnatullah” yang
telah Allah letakkan.

2. TASKHIR DALAM AL-QUR’AN


Alَ-Qur’an menyebutkan kata taskhir 16 kali, yaitu dalam surat Arَ-Ra’d(13):2, 4 kali
dalam surat Ibrahim(14): 32َ-33, dua kali dalam surat Anَ-Nahl(16): 12 dan 14, Alَ-Hajj(22):
65, Alَ-‘Ankabut(29): 61, Luqman(31):20 dan 29, Fathir(35): 13, Azَ-Zumar(39): 5, Azَ-
Zukhruf(43): 13, Alَ-Jasiyah(45): 12 dan 13.
Para ahli tafsir mengartikan kata taskhir dengan maksud “menundukkan sesuatu yang
diinginkan untuk sebuah kemanfaatan bagi hamba”, hal ini merupakan gambaran taskhir
Allah atas semua yang ada di langit dan di bumi, baik matahari, bulan, bintang, awan, angin,
udara, hewan, air, gunung, tumbuhَ-tumbuhan dan lain sebagainya. Taskhir adalah sebuah
bentuk kekuasaan Allah untuk member manfaat bagi manusia selaku hambaَ-Nya dan ini
merupakan bentuk nikmat dan rahmat yang Allah berikan.
Ayatَ-ayat dalam Alَ-Qur’an tersebut telah member gambaran taskhir Allah yang
sangat sempurna terhadap alam semesta dan segala isinya. Hal ini membuat manusia semakin
terhentak akan kelemahan dirinya. Apa lagi ilmu pengetahuan yang dicapainya kian
menampakkan kenyataan dari sebagian sisi yang sangat luar biasa itu.tidak ada pilihan bagi
manusia kecuali harus tunduk secara total kepada Allah sebagai hambaَ-Nya. Allah berulangَ-
ulang menegaskan hakikat taskhir dalam Alَ-Qur’an, pada hakikatnya untuk menguatkan
makna kehambaan ini. Bahwa manusia diciptakan bukan untuk menandingi kemahadasyatan
Allah, sebab manusia dengan segala yang terdahsyat dari kemampuannya tidak lebih hanya
karena karuniaَ-Nya. Dengan menyaksikan keagungan ciptaan ini, hati manusia cahaya
keimanan secara sempurna.
Dengan kata lain, taskhir adalah sunnatullah dalam segala wujud. Tanpa taskhir
kehidupan ini dipastikan telah berakhir. Tak terkecuali manusia, ia harus mengikuti proses
taskhir ini secara seksama. Tidak ada aturan taskhir yang paling sempurna dan menentukan
bagi keselamatan hidup manusia kecuali aturan Allah SWT. Sebab Dialah Sang Pencipta,
maka Dialah yang paling berhak menentukan aturan sesuai dengan tujuan yang diinginkanَ-
Nya.

3. MACAM-MACAM TASKHIR
Macamَ-macam taskhir yang telah disebutkan dalam Alَ-Qur’an antara lain adalah
Allah telah menundukkan matahari dan bulan, siang dan malam, sungaiَ-sungai, kendaraan
manusia di lautan, serta tutunnya air hujan. Sedangkan beberapa bukti kesatuan alam adalah
sebagai berikut:
a. Seorang ahli fisika menemukan bahwa struktur atom persis dengan tatasuryaَ-
tatasurya yang ada.
b. Dalam ilmu fisika ada satu hukum umum yang disebut sebagai Qanun azَ-Zaujiyyah,
yakni makhluk itu ada secara berpasangَ-pasangan. Hal ini sejalan dengan firman
Allah dalam surat Yaaَ-siin(36): 36 dan Adzَ-Dzariyat(51): 49.
c. Adanya saling bantuَ-membantu, saling koordinasi satu irama diantara bagianَ-
bagiannya sehingga setiap bagian menjalankan fungsinya dengan rapi dan teratur.
Tidak ada benturan dengan bagianَ-bagian lain. Sebagai contoh adalah hubungan
timbale balik antara alam binatang dan alam tumbuhan yang begitu selaras dan
seimbang.

4. TUGAS UTAMA MANUSIA; MEMBERDAYAKAN DIRI UNTUK ALLAH


Allah menciptakan manusia sebagai makhluk paling sempurna penciptaannya
dibanding makhluk yang lain. Tujuan penciptaan manusia adalah untuk menjadi hamba Allah
yang senantiasa beribadah kepadaَ-Nya. Kewajiban manusia sebagai hamba adalah taat
kepada Allah sesuai fitrahَ-Nya, maka Allah memberikan potensi akal untuk memahami
hakikat dasar dan kodrat mereka diatas bumi ini. Untuk menjadi manusia yang mulia, Allah
memberikan petunjuk untuk mengiringi pengetahuan dan kebebasan yang mereka miliki.
Kedudukan manusia di bumi Allah tegaskan dalam QS. Adzَ-Dzariyaat (51): 56 dan QS. Alَ-
Bayyinah (98): 5.
Ibadah adalah pengabdian. Dan Allah adalah tempat pengabdian. Setiap hal yang
dilakukan seorang hamba untuk mematuhi Tuhannya adalah beribadah. Kita harus takut
kepada Allah dalam setiap suasana dan menjadikan keridhaan Allah sebagai tumpuan
pandangan kita. Ibadah tidak terbatas dalam arti yang khusus, hubungan mu`amalat kita
dengan orang lain, melakukan pekerjaan yang kita tekuni, semua termasuk dalam ibadah.
Islam mengarahkan manusia menjadi hamba yang senantiasa beribadah kepada Allah di
setiap waktu.
Manusia sebagai khalifatullah memiliki tanggungjawab atas kelestarian alam semesta
ini. Adapun akhlak manusia yang berhubungan dengan lingkungan diantaranya adalah
hubungan mereka terhadap tumbuhَ-tumbuhan, binatang dan air. Akhlah manusia terhadap
tumbuhَ-tumbuhan diantaranya adalah menjaga kelestarian alam, tidak menebang pohon,
tidak membuang air dibawah pohon, memelihara pohon dan tanaman, menanam pohon yang
bermanfaat, membayarkan zakat dari hasil tanaman. Akhlak manusia terhadap binatang
adalah memberi makan dan minum, tidak menyiksa, menyembelih dengan cara yang baik dan
mengeluarkan zakat dari binatang ternak yang kita punya. Terakhir, akhlak manusia terhadap
air adalah menjaga air dari polusi, tidak boros menggunakan air, mendirikan sholat istisqo`
dan berdoa di kala menggunakan air.

5. PENGERTIAN KHALIFAH
Menurut bahasa, Khalifah (‫ خليفة‬Khalīfah) merupakan mashdar dari fi’il madhi khalafa
, yang berarti : menggantikan atau menempati tempatnya. Sedangkan dalam pengertian
syariah, Khailifah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi Muhammad
SAW (setelah beliau wafat) dalam kepemimpinan Negara Islam. Khalifah juga sering disebut
sebagai Amīr alَ-Mu’minīn (‫ )أمير المؤمنين‬atau “pemimpin orang yang beriman”
Hanya saja, para ulama mempunyai sudut pandang yang berbedaَ-beda mengenai
kedudukan Khalifah. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang menyebabkan ada
banyaknya definisi untuk khalifah (mereka tidak meyepakati satu definisi tertentu untuk
khalifah).
Beberapa definisi khalifah menurut para ulama:
a. Menurut, Imam Alَ-Mawardi (w. 450 H/1058 M), Khalifah ditetapkan bagi pengganti
kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia
b. Menurut, Imam Alَ-Baidhawi (w. 685 H/1286 M), Khalifah adalah pengganti bagi
Rasulullah SAW oleh seseorang dari beberapa orang dalam penegakan hukumَ-hukum
syariah, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib diikuti oleh seluruh umat .
c. Menurut, Imam Alَ-Juwayni (w. 478 H/1085 M), Khalifah adalah kepemimpinan yang
bersifat menyeluruh (riyasah taammah) sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan
urusan khusus dan urusan umum dalam kepentinganَ-kepentingan agama dan dunia
d. Menurut Syekh Abdul Qodir Hasan Baraja
Menurut Syekh Abdul Qodir Hasan Baraja Khilafah adalah wadah bagi kehidupan
bersama seluruh kaum muslimin dimuka bumi untuk melaksanakan ajaran Islam
dengan seorang Imam/Kholifah/Amirul mukminin sebagai pemimpin.

e. Menurut Surat Anَ-Nisa [4] ayat : 59


Dalam surat tersebut berbunyi “Berkhilafah berarti kita melaksanakan kewajiban
beruIil amri minkum. Allah SWT mewajibkan setiap orang beriman untuk taat kepada
Alloh, Rasulullah, dan Ulil amri minkum”
f. Alَ-Juwaini, Ghiyâts alَ-Umam, (halaman 15)
Imamah (Khilafah) adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh sebagai
kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam
kepentinganَ-kepentingan agama dan dunia.
Di dalam kepemerintahannya, Khalifah berperan sebagai kepala ummat baik urusan
Negara maupun urusan agama. Pengangkatan khalifah dilakukan baik melalui penunjukkan
ataupun melalui majelis Syura’ (majelis Ahlul Ilmi wal Aqdi ) yakni ahli ilmu keagamaan dan
mengerti permasalahan ummat. Dan Khilafah adalah nama sebuah sistem pemerintahan yang
menggunakan Islam sebagai ideologi serta undangَ-undang nya mengacu pada Alَ-Quran dan
Hadist.

6. DASAR HUKUM

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah. Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui." QS alَ-Baqaroh [2]: 30.
7. SYARAT-SYARAT KHALIFAH
Menurut Syekh Muhammad Alَ-Hasan Addud Asyَ-Syangqiti, paling tidak ada sepuluh syarat
atau kriteria yang harus terpenuhi oleh seorang Khalifah :
a. Muslim. Tidak sah jika ia kafir, munafik atau diragukan kebersihan akidahnya.
b. Lakiَ-Laki. Tidak sah jika ia perempuan karena Rasul Saw bersabda : Tidak akan
sukses suatu kaum jika mereka menjadikan wanita sebagai pemimpin.
c. Merdeka. Tidak sah jika ia budak, karena ia harus memimpin dirinya dan orang lain.
Sedangkan budak tidak bebas memimpin dirinya, apalagi memimpin orang lain.
d. Dewasa. Tidak sah jika anakَ-anak, kerena anakَ-anak itu belum mampu memahami
dan memanage permasalahan.
e. Sampai ke derajat Mujtahid. Kerena orang yang bodoh atau berilmu karena ikutَ-
ikutan (taklid), tidak sah kepemimpinannya seperti yang dijelaskan Ibnu Hazm, Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Abdul Bar bahwa telah ada ijmak (konsensus) ulama bahwa tidak
sah kepemimpinan tertinggi umat Islam jika tidak sampai ke derajat Mujtahid tentang
Islam.
f. Adil. Tidak sah jika ia zalim dan fasik, karena Allah menjelaskan kepada Nabi
Ibrahim bahwa janji kepemimpinan umat itu tidak (sah) bagi orangَ-orang yang zalim.
g. Profesional (amanah dan kuat). Khilafah itu bukan tujuan, akan tetapi sarana untuk
mencapai tujuanَ-tujuan yang disyari’atkan seperti menegakkan agama Allah di atas
muka bumi, menegakkan keadilan, menolong orangَ-orang yang yang dizalimi,
memakmurkan bumi, memerangi kaum kafir, khususnya yang memerangi umat Islam
dan berbagai tugas besar lainnya. Orang yang tidak mampu dan tidak kuat
mengemban amanah tersebut tidak boleh diangkat menjadi Khalifah.
h. Sehat penglihatan, pendengaran dan lidahnya dan tidak lemah fisiknya. Orang yang
cacat fisik atau lemah fisik tidak sah kepemimpinannya, karena bagaimana mungkin
orang seperti itu mampu menjalankan tugas besar untuk kemaslahatan agama dan
umatnya bahkan untuk dirinya saja memerlukan bantuan orang lain.
i. Pemberani. Orangَ-orang pengecut tidak sah jadi Khalifah. Bagaimana mungkin orang
pengecut itu memiliki rasa tanggung jawab terhadap agama Allah dan urusan Islam
dan umat Islam. Ini yang dijelaskan Umar Ibnul Khattab saat beliau berhaji : Dulu aku
adalah pengembala onta bagi Khattab (ayahnya) di Dhajnan. Jika aku lambat, aku
dipukuli, ia berkata : Anda telah menelantarkan (ontaَ-onta) itu. Jika aku tergesaَ-gesa,
ia pukul aku dan berkata : Anda tidak menjaganya dengan baik. Sekarang aku telah
bebas merdeka di pagi dan di sore hari. Tidak ada lagi seorangpun yang aku takuti
selain Allah.
j. Dari suku Quraisy, yakni dari puak Fihir Bin Malik, Bin Nadhir, Bin Kinanah, Bin
Khuzai’ah. Para ulama sepakat, syarat ini hanya berlaku jika memenuhi syaratَ-sayarat
sebelumhya. Jika tidak terpenuhi, maka siapapun di antara umat ini yang memenuhi
persayaratan, maka ia adalah yang paling berhak menjadi Khalifah.

8. TUGAS DAN KEWAJIBAN KHALIFAH


Tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi antara lain menyangkut tugas
mewujudkan kemakmuran di muka bumi (Q.S Hud : 61 ), serta mewujudkan keselamatan dan
kebahgiaan hidup di muka bumi (Q.S alَ-maidah : 16), dengan cara beriamn dan beramal
shaleh (Q.S Alَ-ra’ad : 29), bekerjasama dalam menegakkan kebenaran dan bekerjasama
dalam menegakkan kesabaran (Q.S Alَ-Ashr : 1َ-3). Karena itu tugas kekhalifahan merupakan
tugas suci dan amanah dari Allah sejak manusia pertama hingga manusia akhir zaman yang
akan datang, dan merupakan perwujudan dari pelaksanaan pengabdian kepadaNya
(’abdullah). Tugasَ- tugas kekhalifahan tersebut menyangkut :
Tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri meliputi tugasَ- tugas :
a. Menuntut ilmu pengetahuan (Q.S Alَ-Nahl : 43), karena manusia itu adalah makhluk
yang dapat dan harus dididik/ diajar (Q.S alَ-baqarah :31) dan yang mampu
mendidik /mengajar (Q.S Ali imran:187, alَ-an’am :51).
b. Menjaga dan memelihara diri dari segala sesuatu yang bisa menimbulkan bahaya dan
kesengsaraan (Q.S alَ-Tahrim : 6) termasuk di dalamnya adalah menjaga dan
memelihara kesehatan fisiknya, memakan makanan yang halal dn sebagainya.
c. Menghiasi diri dengan akhlak yang mulia. Kata akhlak berasal dari kata khuluq atau
khalq. Khuluq merupakan bentuk batin/ rohani, dan khalq merupakan bentuk lahir/
jasmani.
Tugas kekhalifahan dalam keluarga/ rumah tangga meliputi tugas :
Membentuk rumah tangga bahagia dan sejahtera atau keluarga sakinah, mawaddah
dan wa rahmah / cinta kasih (Q.S arَ-Rum : 21) dengan jalan menyadari akan hak dan
kewajibannya sebagai suamiَ-istri atau ayahَ-ibu dalam rumah tangga.
Tugas kekhalifahan dalam masyarakat meliputi tugasَ-tugas :
a. Mewujudkan persatuan dan kesatuan umat (Q.S alَ-Hujurat : 10 dan 13, alَ-Anfal :
46 ).
b. Tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan (Q.S alَ-Maidah : 2).
c. Menegakkan keadilan dalam masyarakat (Q.S alَ-Nisa : 135 ).
d. Bertanggung jawab terhadap mar ma’ruf nahi munkar ( Q.S Ali Imran 104 dan 110).
e. Berlaku baik terhadap golongan masyarakat yang lemah, termasuk di dalamnya
adalah para fakir miskin serta anak yatim (Q.S al Taubah : 60, al Nisa’ : 2), orang
yang cacat tubuh (Q.S ‘Abasa : 1َ-11), orang yang berada di bawah penguasaan orang
lain.
Tugas kekhalifahan terhadap alam (natur) meliputi :
a. Mengulturkan natur (membudayakan alam), yakni alam yang tersedia ini agar
dibudayakan, sehingga menghasilkan karyaَ- karya yang bermanfaat bagi
kemaslahatan hidup manusia.
b. Menaturkan kultur (mengalamkan budaya), yakni budaya atau hasi karya manusia
harus disesuaikan dengan kondisi aam, jangan sampai merusak alam atau lingkungan
hidup, agar tidakmenimbulkan malapetaka bagi manusia dan lingkungannya.
c. MengIslamkan kultur (mengIslamkan budaya), yakni dalam berbudaya harus tetap
komitmen dengan nilaiَ- nilai Islam yang rahmatan lilَ-‘alamin, sehingga berbudaya
berarti mengerahkan segala tenaga, cipta, rasa dan karsa, serta bakat manusia untuk
mencari dan menemukan kebenaran ajaran Islam atau kebenaran ayatَ-ayat serta
keagungan dan kebesaran Ilahi.

9. TANGGUNGJAWAB KHALIFAH TERHADAP UMAT


Pertama : Memelihara Keturunan.
Antara langkahَ-langkah praktiknya:
1. Mensyariahkan nikah dan mengharamkan penzinaan;
2. Tidak memberikan kebebasan dalam tingkah laku, berhubungan bebas, seks bebas dan
sebagainya;
3. Menetapkan berbagai hukuman terhadap mereka yang berzina.
Kedua : Memelihara Akal.
Islam telah menetapkan beberapa perkara antaranya;
1. Mewajibkan seluruh warganegara menuntut ilmu dengan pembiayaan sepenuhnya
oleh negara. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w, para sahabat dan para
khalifah;
2. Mencegah dan melarang dengan tegas segala perkara yang merosakkan akal seperti
minuman keras dan dadah;
3. Menetapkan hukuman terhadap semua yang terlibat dengan barangan larangan
tersebut.
Ketiga : Memelihara Kehormatan.
Hal ini diatur dengan;
1. Memberikan kebebasan untuk melakukan apa pun yang mubah selagi tidak keluar
dari sempadan syariah;
2. Melarang orang menuduh zina, jika tiada bukti, hukuman had alَ-qazaf iaitu disebat 80
kali akan dilaksanakan;
3. Wanita dijadikan sebagai “kehormatan” yang mesti dipelihara, dan bukannya sebagai
barangan murahan.
Keempat : Memelihara Jiwa (Nyawa) Manusia.
Dengan syariah Islam setiap warga daulah Islam walau apa pun bangsa dan
agamanya, akan terpelihara dan dijamin keselamatan jiwanya. Sebaliknya, tanpa syariah
Islam, realiti hari ini menunjukkan bahwa setiap hari media ada melaporkan kasus
pembunuhan. Keluarga mangsa korban selalunya tak dilayan seadilnya. Berbeda dengan
Islam yang menetapkan hukum qisas dan diyat.
Kelima : Memelihara Harta.
Dalam Islam, bukan hanya harta peribadi yang dilindungi, tetapi keperluan asas setiap
individu juga terjamin. Harta milik umum seperti hasil galian, petroleum dan sebagainya
hanya akan dikelolakan oleh negara dan dikembalikan bagi kesejahteraan rakyat.
Sebaliknya, dalam sistem sekular keperluan asas pun tidak dijamin, apatah lagi harta milik
umum hanya dirasai segelintir orang kaya termasuklah rakyat asing.
Keenam : Memelihara Agama.
Islam mempunyai hukuman bunuh bagi orang yang murtad.
Dalam sistem sekular, agama ini sering diperlecehkan, aqidah umat juga tidak terpelihara
untuk disesuaikan dengan prisip kebebasan beragama.
Ketujuh : Memelihara Keamanan.
Khalifah yang telah dibaiat, sudah tentu tidak akan membiarkan pihak asing
menguasai kemanan daulah. Bahkan mereka yang merompak, merusuh dan membuat jenayah
akan dibunuh, disalib dan diasingkan dari daulah (salah satu atau ketigaَ-tiganya).
Bandingkan dengan situasi kini, penjenayah bebas keluar masuk penjara tanpa rasa kesal dan
rakyat sentiasa rasa tidak aman dan selamat.
Kelapan : Memelihara Negara.
Dalam Islam, keutuhan daulah sentiasa dijaga. Pemberontak negara akan dihukum.
Sebarang usaha untuk memecahbelahkan daulah akan dilumpuhkan. Bezanya kini, sistem
sekular membiarkan negeri umat Islam berpecah menjadi serpihan kecil dan lemah.
https://markazislamisasiunidaputri.wordpress.com/2018/01/05/konsepَ-taskhirَ-alamَ-dalamَ-
islam/
https://khalifah000.wordpress.com/pengertianَ-khalifah/
http://fitrihariyanti22.blogspot.com/2014/08/makalahَ-kekhalifahan.html
http://blog.unnes.ac.id/malikhatundayyanah/2015/11/24/tugas-manusia-sebagai-khalifah-di-muka-
bumi/

Anda mungkin juga menyukai