Anda di halaman 1dari 6

Teori – Teori Etika

Disusun oleh :
Ika Windi Ristiani
20180420367

AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2020
Teori Etika
Ajaran Islam :
 Dasar Falsafah Etika Dalam Islam :
Dalam pandangan filsafat, etika biasanya dimengerti sebagai refleksi filosofis
tentang moral, etika lebih merupakan wacana normatif, tetapi tidak selalu harus
imperatif, karena bisa juga hipotesis, yang membicarakan pertentangan antara yang
baik dan yang buruk, yang di anggap sebagai nilai relatif. Etika ingin menjawab
pertanyaan “Bagaimana hidup yang baik?” Jadi etika lebih dipandang sebagai seni
hidup yang mengarah kepada kebahagiaan dan memuncak kepada kebijakan.
 Etika Skriptual :
Teori etika adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan
dan keputusan dan keputusan yang benar serta perinsip-perinsip yang menentukan
klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan
dilarang. Al-Qur,an yang melibatkan seluruh kehidupan moral, keagamaan dan sosial
muslim, tidak berisi teori-teori etika dalam arti yang baku sekalipun ia membentuk
keseluruhan etos Islam. Ada tiga hal yang menjanjikan arah di mana penelitian ini
dapat membuahkan hasil, yang kesemua itu kembali kepada teks al-Qur’an itu sendiri;
tafsir,fiqh dan kalam.
Dalam menjelaskan terma moralitas skpriptural, kami akan coba menguji
secara analitis konsep-konseo kunci etika yang tercantum dalam sumber pokok agama
Islam, al-Qur’an dan Sunnah, dan membatasi diri sejauh mungkin terhadap konotasi
prima facie terma-terma yang digunakan para penulis kitab suci.
Adapun tipe-tipe teori etika yang muncul dari penelitian ini dibagi menjadi:
- Moralitas Skriptural, seperti ditunjukkan dalam pernyataan-pernyataan
moral al-Qur’an dan Sunnah.
- Teori Teologi, dan landasan pokoknya dari al-Qur’an dan Sunnah dan
percaya penuh terhadap kategori-kategori dan metode-metode keduanya.
- Teori Filsafat, terutama yang berasal dari karya-karya etika Plato dan
Aristoteles, karya-karya tersebut telah diinterpretasi sejak dulu oleh para
penulis Neo Platonis.
- Teori-teori Religius, berakar dari konsep al-Qur’an tentang manusia dan
kedudukannya di alam semesta.

 Teori Etika Teologis :


Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan segala kejadian
menuju pada tujuan tertentu. Etika teleologi mengukur baik dan buruknya suatu
tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan itu atau berdasarkan
akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu.
 Rasionalisme ( Mu’tazilah ) :
Mu'tazilah berasal dari kata I'tazilah artinya menyisihkan diri. Aliran golongan ini
muncul sekitar abad pertama hijriyah dikota Bashrah yang menjadi kota sentra ilmu
pengetahuan dan kebudayaan islam. Di dalam sejarah Mu'tazilah muncul sebab
berkaitan dengan Washil bin Atha' dan Amr' bin Ubaid dengan Hasan Al-Bahri pda
tahun sekitar 700M di Basrah.
Washil termasuk orang yang sangat aktif mengikuti kegiatan pembelaajran
yang diberikan oleh Hasan Al-Basri di masjid basrah. Padaa suatu hari ada seseorang
yang bertannya pada pembelajaran itu tentang kedudukan orang yang telah melakukan
dosa besar (murtakib al-kabair). Di golongan Khawarij pelaku dosa besar dinamakan
kafir, sedangkan di golongan Murjiah pelaku dosa besar dinamakan mukmin.
Ketika itu Hasan Al-Basri sedang berfikir, Wasil tidak setuju dengan
pernyataan pelaku dosa besar adalah kafir ataupun mukmin . dia langsung
mengemukakan pendapatnya bahwa pelaku dosa besar bukanlah kafir ataupun
mukmin, melainkan ada diposisi keduannya yaitu tidak mukmin dan tidak juga kafir.
 Semi Rasionalis-Asyariah :
Asy'ariyah adalah mazhab teologi yang disandarkan kepada Imam Abul Hasan
al-Asy'ari (w.324 H/936 M). Asy'ariyah mengambil dasar keyakinannya dari
Kullabiyah, yaitu pemikiran dari Abu Muhammad bin Kullab dalam meyakini sifat-
sifat Allah. Kemudian mengedepankan akal (rasional) di atas tekstual ayat (nash)
dalam memahami Al-Qur'an dan Hadits.
Abdul Hasan al-Asy'ari dalam masalah keyakinan terhadap sifat Allah
mengikuti pendapat Ibnu Kullab, seorang tokoh ahlul kalam (filsafat) dari Bashrah di
zamannya. Imam Al-Asy'ari kemudian berpindah pemahaman tiga kali sepanjang
hayatnya.
Ulama Asy'ariyah selanjutnya seperti Imam al-Haramian Al-Juwaini dan
selainnya melakukan takwil terhadap sifat Allah dan menggunakan prinsip pokok
(ushul) akidah Muktazilah ke dalam mazhabnya. Metode Takwil disebutkan oleh Ibnu
Faurak dalam kitab Takwil, Muhammad bin Umar ar-Razi dalam kitabnya Ta’sisut
Taqdis, juga ada pada Abul Wafa Ibnu Aqil dan Abu Hamid al-Ghazali, takwil-takwil
tersebut bersumber dari Bisyr al-Marisi, seorang tokoh Mu’tazilah.
Asy'ariyah awalnya hanya menetapkan tujuh sifat ma’ani saja bagi Allah yang
ditetapkan menurut akal (aqliyah) yaitu hayah, ilmu, qudrah, iradah, sam’u, bashir,
dan kalam. Kemudian ditambahkan oleh As-Sanusi menjadi dua puluh sifat, dan tidak
menetapkan satu pun sifat fi’liyah (seperti istiwa, nuzul, cinta, ridha, marah, dst).
 Etika Filsafat :
Umumnya etika dikelompokkan menjadi dua, yaitu etika deskrptif yang titik
tekannya pada pada pengkajian ajaran moral yang berlaku, membicarakan tingkah
laku baik buruk manusia dalam kehidupan bersama manusia lain. Yang kedua adalah
etika normatif, merupakan kajian terhadap ajaran norma baik atau buruk sebagai
sebuah fakta, tidak perlu menunjukkan alasan yang logis terhadap ajaran tersebut,
cukup dengan merefleksikan mengapa hal tersebut merupakan suatu keharusan yang
harus dilakukan.
Esensi pembeda antara manusia dan makhluk lain adalah pada aspek
moralnya. Dengan adanya moral tersebut manusia dapat menemukan esensi
kemanusiaannya, sehingga seharusnya etika dan moral ini menjadi landasan utama
setiap manusia dalam setiap tingkah lakunya dengan kesadaran penuh.
Ketika etika atau moral (moralitas) ini tidak dihiraukan atau dihargai maka
akan menyababkan kekacauan tatanan dalam masyarakat. Moralitas ini nilainya
universal atau menyeluruh yang seharusnya menjadi landasan tiap tingkah laku
manusia.
 Etika Keagamaan :
Etika dan agama adalah dua hal yang tidak harus dipertentangkan. Antara
etika dan agama adalah dua hal yang saling membutuhkan, atau dalam bahasa
Sudiarja “agama dan etika saling melengkapi satu sama lain”. Agama membutuhkan
etika untuk secara kritis melihat tindakan moral yang mungkin tidak rasional.
Sedangkan etika sendiri membutuhkan agama agar manusia tidak mengabaikan
kepekaan rasa dalam dirinya. Etika menjadi berbahaya ketika memutlakan racio,
karena racio bisa merelatifkan segala tindakan moral yang dilihatnya termasuk
tindakan moral yang ada pada agama tertentu.
Hubungan etika dan agama akan membuat keseimbangan, di mana agama bisa
membantu etika untuk tidak bertindak hanya berdasarkan racio dan melupakan
kepekaan rasa dalam diri manusia, pun etika dapat membantu agama untuk melihat
secara kritis dan rasional tindakan –tindakan moral. Bahwa kepelbagaian agama
adalah salah satu hal yang membuat kita juga menjadi sadar betapa pentingnya etika
dalam kehidupan manusia. Tidak dapat kita bayangkan bagaimana kehidupan manusia
yang berbeda agama tanpa etika di dalamnya. Kebenaran mungkin justru akan
menjadi sangat relatif, karena kebenaran moral hanya akan diukur dalam pandangan
agama kita. Diluar agama kita maka tidak ada kebenaran. Etika dapat dikatakan telah
menjadi jembatan untuk mencoba menghubungkan dan mendialogkan antara agama-
agama.
Kita dapat mengatakan bahwa etika, secara filosofis menjadi hal yang sangat
penting dalam kehidupan agama-agama, khusunya bagi negara-negara yang majemuk
seperti Indonesia. Etika secara rasional membantu kita mampu untuk memahami dan
secara kritis melihat tindakan moral agama tertentu. Kita tidak mungkin
menggunakan doktrin agama kita untuk melihat dan menganalisis agama tertentu.
Sebuah pertanyaan menarik akan muncul, jika sekiranya agama hanya satu apakah
dengan demikian etika tidak lagi dibutuhkan? Karena agama tersebut akan menjadi
moral yang mutlak dalam kehidupan manusia. Kalau kita tetap memahami bahwa
etika hadir untuk secara rasional membantu manusia memahami tindakan moral yang
dibuatnya, maka tentu etika tetap menjadi penting dalam kehidupan manusia. Karena
etika tidak akan terikat pada apakah agama ada atau tidak etika akan tetap ada dalam
hidup manusia selama manusia masih menggunakan akal sehatnya dan racionya
dalam kehidupannya. Sekalipun manusia menjadi ateis, etika tetaplah dibutuhkan oleh
mereka yang tidak mengenal agama.

 Teori Keadilan Distribusi Islam :


Dalam perspektif islam, konsep distribusi memiliki maksud yang lebih luas,
yaitu peningkatan dan pembagian bagi hasil kekayaan agar sirkulasi kekayaan dapat
ditingkatkan, sehingga kekayaan yang ada dapat melimpah dengan merata dan tidak
hanya beredar diantara golongan tertentu saja .
Distribusi menjadi posisi penting dari teori ekonomi Islam karena pembahasan
distribusi khususnya distribusi pendapatan berkaitan bukan saja dengan aspek
ekonomi tetapi juga aspek sosial dan aspek politik. Maka, distribusi dalam islam
menjadi perhatian bagi ahli dan aliran pemikir ekonomi islam dan konvensional
sampai saat ini.
Di lain pihak, keadaan ini berkaitan dengan visi ekonomi Islam ditengah-
tengah umat manusia lebih sering mengedepankan adanya jaminan pemenuhan
kebutuhan hidup yang lebih baik .
Sementara Zarqa (1986) mengemukakan bahwa definisi distribusi ialah
transfer dari pendapatan kekayaan antara individu dengan cara pertukaran (melalui
pasar) atau dengan cara yang lain, seperti : warisan, shadaqoh, wakaf dan zakat.
Dari definisi yang dikemukakan oleh Zarqa diatas, kita dapat mengetahui
bahwa pada dasarnya (dan secara tidak langsung), ketika kita berbicara tentang
aktifitas ekonomi dibidang distribusi, maka kita akan berbicara pula tentang konsep
“ekonomi” yang “ditawarkan” oleh islam.
Hal ini lebih melihat pada bagaimana islam mengenalkan konsep pemerataan
pembagian hasil kekayaan negara melalui distribusi tersebut, yang tentunya
pendapatan negara tidak terlepas dari ajaran-ajaran syariah islam, seperti zakat,
wakaf, warisan dan lain sebagainya.
Sedangkan distribusi secara garis besar, dapat diartikan sebagai kegiatan
pemasaran yang berusaha memperlancar dan mempermudah penyampaian barang dan
jasa dari produsen kepada konsumen, sehingga penggunaannya sesuai dengan yang
diperlukan (jenis, jumlah, harga, tempat, dan saat dibutuhkan). Dengan kata lain,
proses distribusi merupakan aktivitas pemasaran yang mampu:
1. Menciptakan nilai tambah produk melalui fungsi-fungsi pemasaran yang
dapat merealisasikan kegunaan/utilitas bentuk, tempat, waktu, dan kepemilikan.
2. Memperlancar arus saluran pemasaran (marketing channel flow) secara fisik
dan non-fisik. Yang dimaksud dengan arus pemasaran adalah aliran kegiatan yang
terjadi di antara lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat di dalam proses
pemasaran. Arus pemasaran tersebut meliputi arus barang fisik, arus kepemilikan,
arus informasi, arus promosi, arus negosiasi, arus pembayaran, arus pendanaan, arus
penanggungan risiko, dan arus pemesanan.
Dalam pelaksanaan aktivitas-aktivitas distribusi, perusahaan kerapkali harus
bekerja sama dengan berbagai perantara (middleman) dan saluran distribusi
(distribution channel) untuk menawarkan produknya ke pasar.

Anda mungkin juga menyukai