Transaksi Syariah dengan Akad Musyarakah dan Murabahah
A. Pengertian Akad Musyarakah
Akad musyarakah atau biasa disebut Al-Musyarakah adalah akad kerjasama antara kedua belah pihak atau kemungkinan lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak akan memberikan kontribusi dana atau biasa disebut expertise, dengan memiliki kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung oleh bersama. Dalam bahasa Arab sendiri, Musyarakah memiliki artian mencampur, dimana dalam hal ini pihak kerjasama mencampurkan modal menjadi satu dengan modal yang lainnya sehingga tidak dapat di pisahkan satu dan lainnya. Musyarakah merupakan istilah yang biasa dipakai dalam pembiayaan Syariah, istilah dari musyarakah lainnya yaitu syirkah atau syarikah yang memiliki arti kata syarikat ataupun sekutu (Baca: Sistem Ekonomi Syariah)
Dasar Hukum Musyarakah
1. Al-Quran 2. Al-Hadist 3. Ijma
Syarat Syarat Akad Musyarakah
Adapun beberapa syarat dari akad ini menurut Usmani tahun 1998 adalah : 1. Syarat Akad Dimana syarat akad terdiri dari empat jenis diantaranya 1). Syarat berlakunya akad atau biasa disebut In’iqod, 2). Syarat sahnya akad atau biasa disebut Shiha, 3). Syarat terealisasikannya akad atau Nafadz dan terakhir 4). Syarat Lazimm. 2. Pembagian proporsi keuntungan Dalam hal ini akan ada beberapa proporsi keuntungan yang harus dipenuhi, diantaranya : a. Proporsi keuntungan yang telah dibagikan kepada para pihak terkait usaha haruslah disepakati sejak awal kontrak atau akad. Jika proporsi belum ditetapkan maka akad tidak sah menurut syariah dan berdosa (Baca: Prinsip Akuntansi Syariah) b. Rasio atau nisbah keuntungan untuk masing-masing pihak usaha memang sudah ditetapkan sejak awal dan tidak berdasarkan dari modal yang disertakan. Tidak diperbolehkan untuk menetapkan lumsum untuk partner tertentu semuanya harus adil. Tingkat keuntungan tertentu tidak boleh dikaitkan dengan modal investasinya. 3. Penentuan Proporsi Keuntungan Dalam akad musyarakah, proporsi keuntungan sudah dijelaskan pendapat dan dasarnya oleh para ahli hukum islam, diantaranya : a. Imam malik dan Imam Syafi’I berpendapat bahwa proporsi keuntungan dibagi di antara mereka dimana sebelumnya menurut kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya saat akad dan disesuaikan dengan proporsi modal yang disertakan. (Baca: Pasar Modal Syariah) b. Imam Ahmad berpendapat jika proporsi keuntungan dapat pula berbeda dari proporsi modal yang sudah disertakan masing-masing pihak. c. Selain itu ada dari Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa proporsi keuntungan bisa berbeda dari proporsi modal di dalam sebuah kondisi normal. 4. Pembagian Kerugian Kerugian merupakan hal yang tidak diinginkan, namun para ahli hukum tetap membahasnya bilamana transaksi tersebut mengalami kerugian saat menjadi usaha. Dalam aturannya para mitra harus siap menanggung kerugian sesuai modal dan dana yang sudah diinvestasikan dalam usaha tersebut. (Baca: Prosedur Pengelolaan Dana Kas Kecil) 5. Sifat modal Sifat modal merupakan hal selanjutnya yang dibahas oleh ahli hukum Islam, dimana mereka berpendapat bahwa modal yang diinvestasikan oleh setiap mitra harus dalam bentuk modal likuid bukan barang. (Baca: Metode Pencatatan Persediaan Barang Dagang) 6. Manajemen Musyarakah Prinsip normal dari musyarakah yaitu bahwa setiap mitra bisa memiliki hak untuk ikut serta dalam manajemen dan bekerja untuk usaha patungan ini. Tetapi, para mitra dapat juga sepakat bahwa manajemen perusahaan akan dilakukan oleh salah satu dari mereka, dan mitra lain tidak akan menjadi bagian manajemen dari musyarakah tersebut. 7. Penghentian Musyarakah Dalam sebuah akad yang tidak terikat seperti ini akan terjadi pemberhentian musyarakah apabila : a. Jika salah satu pihak atau mitra meninggal, maka musyarakah bisa berjalan dan kontrak dengan almarhum akan diberhentikan tanpa menghentikan usaha tersebut. b. Jika setiap mitra memiliki hak untuk mengakhiri musyarakah kapan saja setelah menyampaikan pemberitahuan kepada mitra lain mengenai hal ini.
B. Pengertian Akad Murabahah
Murabahah berasal dari kata bahasa Arab, ribh (ar-ribhu) yang berarti keuntungan, kelebihan, atau tambahan. Di dunia perbankan syariah, perjanjian ini terjadi antara bank dengan nasabah yang memerlukan barang dari bank tersebut. Pada dasarnya, murabahah adalah transaksi penjualan. Yang membedakan akad ini dengan praktik penjualan konvensional adalah informasi yang diberikan kepada pembeli. Menurut pendapat Utsmani, murabahah adalah bentuk jual-beli yang menuntut penjual untuk memberi informasi kepada calon pembeli tentang harga dan biaya di baliknya. Selain harga jual, calon pembeli juga berhak tahu tentang nilai pokok barang serta jumlah keuntungan yang diambil penjual. a. Murabahah termasuk Bai’ul Amanah Akad murabahah termasuk dalam kategori jual beli amanah atau dalam bahasa arab disebut bai’ul amanah. Apa itu bai’ul amanah? Ia adalah jual beli dimana penjual dipercaya untuk menyebutkan harga belinya/harga modal dengan jujur. Bai’ul amanah terdiri dari tiga jenis yaitu bai’ul murabahah, bai’ul tauliyah dan bai’ul wadiah. b. Bai’ul Murabahah Pada bai’ul murabahah, penjual dipercaya untuk menyebutkan modal atas barang yang ia jual termasuk keuntungan yang hendak ia peroleh. c. Bai’ul Tauliyah Pada bai’ul tauliyah, penjual akan menjualkan barangnya sesuai dengan harga modal ketika ia memperoleh barang tersebut. d. Bai’ul Wadiah Pada bai’ul wadiah, penjual akan menjualkan barangnya dibawah harga modal ketika ia memperoleh barnag tersebut Penyempitan Makna Murabahah Dewasa ini, akad murabahah mengalami penyempitan makna. Seringkali makna akad murabahah hanya sekedar jual beli dengan cara cicilan sebagaimana yang dipraktikan oleh lembaga keuangan syariah seperti Bank Syariah, BMT dan sebagainya. Padahal makna murabahah tidak sesempit itu. Intinya bila kamu menjual barang yang disertai dengan pengakuan akan modal dan keuntungan yang hendak diperoleh kemudian disepakati oleh pembeli maka kamu telah melakukan transaksi murabahah. Dengan kata lain, akad murabahah bisa terjadi jika transaksi penjualan dan pembelian memiliki margin keuntungan yang disepakati oleh kedua belah pihak. Landasan Hukum Murabahah Landasan utama adanya transaksi murabahah adalah berasal dari Q.S. Al-Baqarah[2] : 275, yang artinya “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Juga pada Q.S. An-Nisa[4] : 29 yang artinya, “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu“ Syarat dan Rukun Terjadinya Akad Murabahah Sebelum akad murabahah bisa terjadi, ada beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi, antara lain: 1. Adanya pembeli dan penjual yang telah balig dan berakal sehat. 2. Keinginan bertransaksi dilakukan dengan kemauan sendiri tanpa adanya paksaan. 3. Adanya objek akad. 4. Adanya barang atau objek yang akan dijual. 5. Kejelasan harga dan kondisi barang, dengan harga yang disepakati bersama. Penjual juga harus memberitahukan harga pokok beserta besaran keuntungan yang diinginkan kepada pembeli 6. Ijab dan kabul.
Praktik Murabahah pada Perbankan Syariah (Kondisi Real)
Pada kondisi ideal dapat kamu lihat skema di atas. Namum, pada praktik real di lapangan bank syariah tidak dapat melakukan praktik jual-beli. Hal ini disebabkan bank syariah berada dalam regulasi bank Indonesia dan otoritas jasa keuangan yang mana pada regulasi tersebut teradapat undang-undang yang mengatur bahwa perbankan tidak boleh melakukan praktik jual- beli. Selain itu, bank syariah memiliki kendala apabila harus melakukan praktik jual-beli. Kendala tersebut terdapat pada perhitungan pajak. Apabila bank syariah melakukan transaksi jual-beli maka ia akan dikenakan dua kali perhitangan pajak yaitu antara supplier dengan bank dan antara bank dengan nasabah. Oleh sebab itu, bank tidak dapat melakukan praktik jual beli. Untuk mengatasi hal tersebut, bank syariah meminta nasabah untuk membelikan dahulu barang yang ia ingin miliki secara tunai kemudian diserahkan kepada bank dan bank tersebut menjual kembali kepada nasabah secara cicil. Hal ini dikenaal dengan sebutan murabahah bil wakalah.