Anda di halaman 1dari 3

Ika Windi Ristiani (20180420367) B

Transaksi Syariah dengan Akad Musyarakah dan Murabahah

A. Pengertian Akad Musyarakah


Akad musyarakah atau biasa disebut Al-Musyarakah adalah akad kerjasama antara kedua
belah pihak atau kemungkinan lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak
akan memberikan kontribusi dana atau biasa disebut expertise, dengan memiliki kesepakatan
bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung oleh bersama.
Dalam bahasa Arab sendiri, Musyarakah memiliki artian mencampur, dimana dalam hal
ini pihak kerjasama mencampurkan modal menjadi satu dengan modal yang lainnya sehingga
tidak dapat di pisahkan satu dan lainnya. Musyarakah merupakan istilah yang biasa dipakai
dalam pembiayaan Syariah, istilah dari musyarakah lainnya yaitu syirkah atau syarikah yang
memiliki arti kata syarikat ataupun sekutu (Baca: Sistem Ekonomi Syariah)

 Dasar Hukum Musyarakah


1. Al-Quran
2. Al-Hadist
3. Ijma

 Syarat Syarat Akad Musyarakah


Adapun beberapa syarat dari akad ini menurut Usmani tahun 1998 adalah :
1. Syarat Akad
Dimana syarat akad terdiri dari empat jenis diantaranya 1). Syarat berlakunya akad atau
biasa disebut In’iqod, 2). Syarat sahnya akad atau biasa disebut Shiha, 3). Syarat
terealisasikannya akad atau Nafadz dan terakhir 4). Syarat Lazimm.
2. Pembagian proporsi keuntungan
Dalam hal ini akan ada beberapa proporsi keuntungan yang harus dipenuhi, diantaranya :
a. Proporsi keuntungan yang telah dibagikan kepada para pihak terkait usaha haruslah
disepakati sejak awal kontrak atau akad. Jika proporsi belum ditetapkan maka akad tidak
sah menurut syariah dan berdosa (Baca: Prinsip Akuntansi Syariah)
b. Rasio atau nisbah keuntungan untuk masing-masing pihak usaha memang sudah
ditetapkan sejak awal dan tidak berdasarkan dari modal yang disertakan. Tidak
diperbolehkan untuk menetapkan lumsum untuk partner tertentu semuanya harus adil.
Tingkat keuntungan tertentu tidak boleh dikaitkan dengan modal investasinya.
3. Penentuan Proporsi Keuntungan
Dalam akad musyarakah, proporsi keuntungan sudah dijelaskan pendapat dan dasarnya
oleh para ahli hukum islam, diantaranya :
a. Imam malik dan Imam Syafi’I berpendapat bahwa proporsi keuntungan dibagi di antara
mereka dimana sebelumnya menurut kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya saat
akad dan disesuaikan dengan proporsi modal yang disertakan. (Baca: Pasar Modal
Syariah)
b. Imam Ahmad berpendapat jika proporsi keuntungan dapat pula berbeda dari proporsi
modal yang sudah disertakan masing-masing pihak.
c. Selain itu ada dari Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa proporsi keuntungan bisa
berbeda dari proporsi modal di dalam sebuah kondisi normal.
4. Pembagian Kerugian
Kerugian merupakan hal yang tidak diinginkan, namun para ahli hukum tetap
membahasnya bilamana transaksi tersebut mengalami kerugian saat menjadi usaha. Dalam
aturannya para mitra harus siap menanggung kerugian sesuai modal dan dana yang sudah
diinvestasikan dalam usaha tersebut. (Baca: Prosedur Pengelolaan Dana Kas Kecil)
5. Sifat modal
Sifat modal merupakan hal selanjutnya yang dibahas oleh ahli hukum Islam, dimana
mereka berpendapat bahwa modal yang diinvestasikan oleh setiap mitra harus dalam bentuk
modal likuid bukan barang. (Baca: Metode Pencatatan Persediaan Barang Dagang)
6. Manajemen Musyarakah
Prinsip normal dari musyarakah yaitu bahwa setiap mitra bisa memiliki hak untuk ikut
serta dalam manajemen dan bekerja untuk usaha patungan ini. Tetapi, para mitra dapat juga
sepakat bahwa manajemen perusahaan akan dilakukan oleh salah satu dari mereka, dan mitra lain
tidak akan menjadi bagian manajemen dari musyarakah tersebut.
7. Penghentian Musyarakah
Dalam sebuah akad yang tidak terikat seperti ini akan terjadi pemberhentian musyarakah
apabila :
a. Jika salah satu pihak atau mitra meninggal, maka musyarakah bisa berjalan dan kontrak
dengan almarhum akan diberhentikan tanpa menghentikan usaha tersebut.
b. Jika setiap mitra memiliki hak untuk mengakhiri musyarakah kapan saja setelah
menyampaikan pemberitahuan kepada mitra lain mengenai hal ini.

B. Pengertian Akad Murabahah


Murabahah berasal dari kata bahasa Arab, ribh (ar-ribhu) yang berarti keuntungan,
kelebihan, atau tambahan. Di dunia perbankan syariah, perjanjian ini terjadi antara bank dengan
nasabah yang memerlukan barang dari bank tersebut. Pada dasarnya, murabahah adalah transaksi
penjualan.
Yang membedakan akad ini dengan praktik penjualan konvensional adalah informasi
yang diberikan kepada pembeli. Menurut pendapat Utsmani, murabahah adalah bentuk jual-beli
yang menuntut penjual untuk memberi informasi kepada calon pembeli tentang harga dan biaya
di baliknya. Selain harga jual, calon pembeli juga berhak tahu tentang nilai pokok barang serta
jumlah keuntungan yang diambil penjual.
a. Murabahah termasuk Bai’ul Amanah
Akad murabahah termasuk dalam kategori jual beli amanah atau dalam bahasa arab
disebut bai’ul amanah. Apa itu bai’ul amanah? Ia adalah jual beli dimana penjual dipercaya
untuk menyebutkan harga belinya/harga modal dengan jujur. Bai’ul amanah terdiri dari tiga jenis
yaitu bai’ul murabahah, bai’ul tauliyah dan bai’ul wadiah.
b. Bai’ul Murabahah
Pada bai’ul murabahah, penjual dipercaya untuk menyebutkan modal atas barang yang ia
jual termasuk keuntungan yang hendak ia peroleh.
c. Bai’ul Tauliyah
Pada bai’ul tauliyah, penjual akan menjualkan barangnya sesuai dengan harga modal
ketika ia memperoleh barang tersebut.
d. Bai’ul Wadiah
Pada bai’ul wadiah, penjual akan menjualkan barangnya dibawah harga modal ketika ia
memperoleh barnag tersebut
 Penyempitan Makna Murabahah
Dewasa ini, akad murabahah mengalami penyempitan makna. Seringkali makna akad
murabahah hanya sekedar jual beli dengan cara cicilan sebagaimana yang dipraktikan oleh
lembaga keuangan syariah seperti Bank Syariah, BMT dan sebagainya.
Padahal makna murabahah tidak sesempit itu. Intinya bila kamu menjual barang yang
disertai dengan pengakuan akan modal dan keuntungan yang hendak diperoleh kemudian
disepakati oleh pembeli maka kamu telah melakukan transaksi murabahah. Dengan kata lain,
akad murabahah bisa terjadi jika transaksi penjualan dan pembelian memiliki margin keuntungan
yang disepakati oleh kedua belah pihak.
 Landasan Hukum Murabahah
Landasan utama adanya transaksi murabahah adalah berasal dari Q.S. Al-Baqarah[2] :
275, yang artinya “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Juga pada Q.S.
An-Nisa[4] : 29 yang artinya, “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta
sesamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah maha
penyayang kepadamu“
 Syarat dan Rukun Terjadinya Akad Murabahah
Sebelum akad murabahah bisa terjadi, ada beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi, antara
lain:
1. Adanya pembeli dan penjual yang telah balig dan berakal sehat.
2. Keinginan bertransaksi dilakukan dengan kemauan sendiri tanpa adanya paksaan.
3. Adanya objek akad.
4. Adanya barang atau objek yang akan dijual.
5. Kejelasan harga dan kondisi barang, dengan harga yang disepakati bersama. Penjual juga
harus memberitahukan harga pokok beserta besaran keuntungan yang diinginkan kepada
pembeli
6. Ijab dan kabul.

 Praktik Murabahah pada Perbankan Syariah (Kondisi Real)


Pada kondisi ideal dapat kamu lihat skema di atas. Namum, pada praktik real di lapangan
bank syariah tidak dapat melakukan praktik jual-beli. Hal ini disebabkan bank syariah berada
dalam regulasi bank Indonesia dan otoritas jasa keuangan yang mana pada regulasi tersebut
teradapat undang-undang yang mengatur bahwa perbankan tidak boleh melakukan praktik jual-
beli.
Selain itu, bank syariah memiliki kendala apabila harus melakukan praktik jual-beli.
Kendala tersebut terdapat pada perhitungan pajak. Apabila bank syariah melakukan transaksi
jual-beli maka ia akan dikenakan dua kali perhitangan pajak yaitu antara supplier dengan bank
dan antara bank dengan nasabah.
Oleh sebab itu, bank tidak dapat melakukan praktik jual beli. Untuk mengatasi hal
tersebut, bank syariah meminta nasabah untuk membelikan dahulu barang yang ia ingin miliki
secara tunai kemudian diserahkan kepada bank dan bank tersebut menjual kembali kepada
nasabah secara cicil. Hal ini dikenaal dengan sebutan murabahah bil wakalah.

Anda mungkin juga menyukai