BAB 8 TIME VALUE OF MONEY VERSUS ECONOMIC VALUE OF TIME DALAM KEUANGAN SYARIAH
A. Konsep Time Value Of Money
Uang menjadi berguna hanya jika ditukar dengan benda yang nyata atau jika digunakan untuk membeli jasa. Berkenaan dengan uang, bahwasanya dalam ekonomi konvensional timbul pemikiran nilai uang menurut waktu (time value of money). Time value of money merupakan nilai uang yang bertambah karena perjalanan waktu, bukan didasarkan pada aktivitas ekonomi apa yang dilakukan. Time value of money dilatar belakangi oleh adanya anggapan hilangnya pemilik modal akan biaya kesempatan (opportunity cost), pada saat ia meminjamkan uang kepada pihak lain. Sehingga pemilik modal membebankan nilai persentase tertentu sebagai kompensasinya. Peran nilai waktu dari uang, di mana nilai uang sangat dipengaruhi oleh waktu. Nilai waktu dari uang merupakan suatu pertimbangan yang kritikal dalam keputusan keuangan (Finansial) dan investasi. Sebagai contoh, umpamanya bunga majemuk (compoud interest) diperlukan untuk menentukan jumlah uang yang akan datang sebagai akibat dari suatu investasi. Selain itu Time value of money pada dasarnya merupakan intervensi konsep biologi dalam bidang ekonomi. Konsep Time value of money muncul karena adanya anggapan uang disamakan dengan barang yang hidup (sel hidup). Sel yang hidup, untuk satuan waktu tertentu dapat menjadi lebih besar dan berkembang. Dalam ekonomi konvensional, Time value of money didefinisikan sebagai: a dollar today is worth more than a dollar in the future because dollar today can be invested to get a return. Ada dua alasan yang mendasari konsep Time value of money yakni: presence of inflation (adanya inflasi), dan preference present consumptionto future cosumtion (komsumsi hari ini lebih disukai daripada konsumen pada waktu akan datang). Kedua istilah tersebut dikenal juga dengan istilah teori bunga abstinence (penundaan konsumsi) dan time preference theory (saat ini lebih berharga dari masa akan datang). Argument ada inflasi tidak dapat diterima karenaa tidak lengkap kondisinya (non exhausted condition). Dalam setiap perekonomian selalu ada keadaan inflasi dan deflasi. Bila keadaan inflasi dijadikan alasan Time value of money, seharusnya keadaan deflasi menjadi alasan adanya negative Time value of money. Sedangkan time preference theory ditolak dalam ekonomi syariat karena bertentangan dengan prinsip al-ghunmu bi la ghurmi dan al- kharaj bi la dhaman. Teori ini ditolak juga oleh teori finance. Apabila inflasi dijadikan alasan sebagai akibat adanya Time value of money dalam system ekonomi atau keuangan. Inflasi yang diartikan naiknya harga dalam waktu tertentu tidak semata-mata diakibatkan oleh bunga (sebagai kompensasi opportunitycost), inflasi dapat terjadi karena produsen mengambil keuntungan semakin meningkat, disamping itu diakibatkan oleh factor-faktor lain. Penentuan suku bunga sebagai faktor penentu inflasi adalah suatu tindakan menyerdehanakan masalah atau konsep. Tindakan ini menguntungkan sebelah pihak, tidak mau rugi (return and risk) konsekuensi ini harus ditanggung bersama pihak-pihak yang bersinggungan (transaksi). Kredit konvensional yang terdapat Time value of money, karena adanya opportunity cost yang hilang dan kemudian dikompensasi dengan nilai persentase tertentu atas pokok pinjaman (jual beli kredit). Alasan mengenai ketidak pastian return dalam usaha. Dalam ekonomi konvensional, penerapan Time value of money tidak senaif yang dibayangkan misalnya dengan mengabaikan ketidakpastian return yang akan diterima. Bila kompensasinya sebagai discount rate. Sehingga discount rate lebih bersifat umum. Sebab dalam ekonomi islam, penggunaan sejenis discount rate dalam menentukan harga mu’ajjal dapat dibenarkan. Hal ini karenakan : pertama, jual beli dan sewa menyewa adalah sektor riil yang menimbulkan economic value added (nilai tambah ekonomis). Kedua, tertahannya hak si penjual (uang pembayaran) yang telah melaksanakan kewajibannya (menyerahkan barang atau jasa), sehingga ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada pihak lain. Selain itu, ada beberapa asumsi dan kejadian yang dapat dijadikan rujukan analisisnya, yaitu: (1) harga yang dibayar tangguh dapat lebih besar dari pada harga yang dibayar sekarang, (2) not due to inflation nor interest foregone, (3) adanya penahanan hak si pemilik barang, asumsi ini merujuk pada apa yang pernah dilakukan oleh Zaid Ibnu Ali Zainal Abidin Ibnu Husen Ibnu Abi Thalib. B. Kritik Konsep Time Value Of Money Dalam ekonomi konvensional Time value of money didefinisikan sebagai “a dollar is worth more than a dollar in the future because a dollar today can be invested to get a return.” Definisi ini tidak akurat karena setiap investasi selalu mempunyai peluang ataukemungkinana untuk mendapat hasil positif, negative, atau impas. Itu sebabnya dalam teori keuangan, selalu dikenal hubungan antara risk return. Ada dua alasan dari ekonomi konvensional tentang teori Time value of money, yaitu: 1. Presence of inflation Katakanlah tingkat inflasi 10% per tahun. Seseorang dapat membeli sepuluh potong pisang goreng hari ini dengan membayar sejumlah Rp10.000,-. Namun bila ia membelinya tahun depan, dengan sejumlah uang yang sama yaitu Rp10.000,-, ia hanya dapat membeli Sembilan pisang goreng. Oleh karena itu, ia akan meminta kompensasi untuk hilangnya daya beli uangnya akibat inflasi. 2. Preference present consumption to future consumption Bagi umumnya individu, present consumption lebih disukai dari pada future consumption. Katakanlah tingkat inflasi nihil, sehingga dengan uang Rp10.000,- seseorang tetap dapat membeli sepuluh pisang goreng hari ini maupun tahun depan. Bagi kebanyakan orang, mengonsumsi sepuluh pisang goreng hari ini lebih disukai dari pada mengonsumsi sepuluh pisang goreng tahun depan. Dengan argumentasi ini, meskipun suatu perekonomian tingkat inflasinya nihil, seseorang lebih menyukai Rp10.000,- hari ini dan mengonsumsi hari ini. Oleh karena itu untuk menunda konsumsi, ia meminta kompensasi. Alasan pertama tidak dapat diterima karena tidak lengkap kondisinya. Dalam setiap perekonomian selalu ada keadaan inflasi dan keadaan deflasi. Bila keberadaan inflasi menjadi alasan adanaya negative Time value of money. dengan demikian, selama ini hanya ada satu kondisi saja (inflasi) yang diakomodasi oleh teori Time value of money ; sedangkan kondisi deflasi diabaikan. Alasan mengenai ketidakpastian return dalam usaha. Dalam ekonomi konvensional, penerapan Time value of money tidak senaif yang dibayangkan, misalnya dengan mengabaikan ketidakpastian return yang akan diterima. Bila unsur ketidakpastian return ini dimasukkan, ekonomi konvensional menyebut kompensasinya sebagai discount rate. Jadi istilah discount rate lebih bersifat umum dibandingkan istilah interest rate.
C. Konsep Economic Value Of Time
Teori ini dikembangkan pada abad ke 7 Masehi. Pada saat digunakannya emas dan perak sebagai alat tukar. Logam ini diterima sebagai alat tukar disebabkan nilai instrinsiknya, bukan karena mekanisme untuk dikembangkan selama periode itu, sehingga hubungan debitur/kreditur yang muncul bukan karena akibat transaksi dagang langsung, namun jelas merupakan transaksi “permintaan uang”. Sejak teori keuangan islam lebih dekat dengan standar emas hampir pasti bahwa masyarakat muslim lebih mudah ragu apakah masalah keuangan dunia saat ini disebabkan oleh tidak dipakainya lagi standar emas atau sejenisnya. [9] Tentu saja alat tukar ini sebagaimana sekarang dipahami semua Negara islam dimana saja, tetapi akhirnya akan condong kepada riba yang diharamkan. Dapat dipermasalahkan bahwa penolakan terhadap segala bentuk bunga dapat dibenarkan apabila dapat diperdebatkan apakah teori Time value of money benar-benar terjadi. Investasi dalam obligasi pemerintah yang stabil, adalah bebas resiko tidak dibayar, tetapi tidak bebas dari kerugian penyusutan nilainya yang sudah merupakan kenyataan sejarah diseluruh dunia. Dalam ekonomi syar’iah. Penggunaan sejenis discount rate dalam menetukkan harga bai’ muajjal (membayar tangguh) dapat digunakan. Hal ini dibenarkan, karena: 1. Jual beli dan sewa menyewa adalah sektor riil yang menimbulkan economic value added (nilai tambah ekonomis). 2. Tertahannya hak si penjual (uang pembayaran) yang telah melaksanakan kewajibannya (menyerahkan barang atau jasa), sehingga ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada pihak lain. D. Economic Value Of Time dan Teori Akad dalam Islam Gambaran hukum dalam islam mengenai prinsip-prinsip keuangan syari’ah adalah tercakup dalam bentuk aqad dan bentuk instrument keuangan. Dua hal ini akan memberi jalan bagi akademisi maupun investasor yang ingin konsisten menggunakan prinsip islam dalam menilai instrument investasi yang tersedia dipasar modal. Berdasarkan prinsip-prinsip dasar diatas, para akademisi maupun investor tidak serta merta menolak atau memodifikasi instrument keuangna yang ada. Namun demikian, masih ada peluang untuk melakukan perbaikan dan bahkan inovasi keuangan, maupun memberikan tawaran-tawaran baru instrumen keuangan untuk kesejahteraan dan kemanfaatan yang lebih luas (maslahat- mursalah). Hubungan ikatan dagang dan keuangan didalam islam diatur dengan hukum fiqih muamalat. Fiqh mualamat membedakan antara wa’ad dengan akad (aqad). Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak dan pihak lain. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yaitu pihak yang memberikan janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberikan janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Wa’ad belum ditetapkan secara rinci dan spesifik terms and condition-nya. Dengan demikian, bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanski moral. Akad adalah ikatan kontrak dua pihak yang telah bersepakat. Hal ini berarti di dalam akad masing-masing pihak terlihat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah tersepakati terlebih dahulu. Akad telah disepati secara rinci dan spesifik tentang terms and condition-nya. Dengan demikian, bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalm kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka salah satu atau kedua pihak tersebut menerima sanksi yang sudah disepakati dalam akad. Didalam fiqh muamalat, pembahasan akad berdasarkan segi ada atau tidak adanya kompensasi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: aqad tabarru’ dan aqad tijarah mu’awada. Dengan penjelasan sebagai berikut: Aqad tabarru: (Tabarru’ besar dari kata birr dalam bahasa Arab, yang diartinya kebaikan) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi nirlaba atau transaksi tidak mengambil untung. Dengan kata lain, aqad tabarru’ pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk memberi keuntungan komersil. Tujuan diterapkannya aqad tabarru’ adalah untuk aktivitas tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Dalam aqad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya, imbalan dari aqad tabarru’ adalah dari Allah SWT, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counterpart-nya untuk sekedar menutup biaya (cover the cost) yang dikeluarnya untuk dapat melakukan aqad tabarru’tersebut. Namun ia tidak boleh sedikit pun mengambil laba dari akad tabarru’ itu. Meminjamkan jasa dan memberikan sesuatu. Aktivitas meminjam uang dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: (1) meminjamkan harga atau qard (pinjaman) (2) meminjam harga dengan memberikan agunan oleh si peminjam atau rahn (gadai) dan (3) meminjam harta untuk mengambil alih pinjaman dari pihak lain disebut hiwalah (pengalihan utang). Aktivitas meminjamakan jasa dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: (1) meminjamkan jasa pada saat ini untuk melakukan sesuatu atas nama orang lain disebit wakalah (2) memberikan jasa untuk pemeliharaan uang atau barang tersebut dengan wadiah dan (3) memberikan jasa untuk melakukan sesuatu apabila terjadi sesuatu di sebut kafalah. Aktifitas memberikan sesuatu yang dimiliki kepada orang lain dapat dilakakan dengan cara hibah, sedaqah, waqaf, dan sebagainya.