Anda di halaman 1dari 5

Ika Windi Ristiani

20180420367
F

BAB 8
TIME VALUE OF MONEY VERSUS ECONOMIC VALUE OF TIME DALAM
KEUANGAN SYARIAH

A. Konsep Time Value Of Money


Uang menjadi berguna hanya jika ditukar dengan benda yang nyata atau jika
digunakan untuk membeli jasa. Berkenaan dengan uang, bahwasanya dalam ekonomi
konvensional timbul pemikiran nilai uang menurut waktu (time value of money). Time value
of money merupakan nilai uang yang bertambah karena perjalanan waktu, bukan didasarkan
pada aktivitas ekonomi apa yang dilakukan.
Time value of money dilatar belakangi oleh adanya anggapan hilangnya pemilik
modal akan biaya kesempatan (opportunity cost), pada saat ia meminjamkan uang kepada
pihak lain. Sehingga pemilik modal membebankan nilai persentase tertentu sebagai
kompensasinya.
Peran nilai waktu dari uang, di mana nilai uang sangat dipengaruhi oleh waktu. Nilai
waktu dari uang merupakan suatu pertimbangan yang kritikal dalam keputusan keuangan
(Finansial) dan investasi. Sebagai contoh, umpamanya bunga majemuk (compoud interest)
diperlukan untuk menentukan jumlah uang yang akan datang sebagai akibat dari suatu
investasi.
Selain itu Time value of money pada dasarnya merupakan intervensi konsep biologi
dalam bidang ekonomi. Konsep Time value of money muncul karena adanya anggapan uang
disamakan dengan barang yang hidup (sel hidup). Sel yang hidup, untuk satuan waktu
tertentu dapat menjadi lebih besar dan berkembang.
Dalam ekonomi konvensional, Time value of money didefinisikan sebagai: a dollar
today is worth more than a dollar in the future because dollar today can be invested to get a
return. Ada dua alasan yang mendasari konsep Time value of money yakni: presence of
inflation (adanya inflasi), dan preference present consumptionto future cosumtion (komsumsi
hari ini lebih disukai daripada konsumen pada waktu akan datang). Kedua istilah tersebut
dikenal juga dengan istilah teori bunga abstinence (penundaan konsumsi) dan time preference
theory (saat ini lebih berharga dari masa akan datang).
Argument ada inflasi tidak dapat diterima karenaa tidak lengkap kondisinya (non
exhausted condition). Dalam setiap perekonomian selalu ada keadaan inflasi dan deflasi. Bila
keadaan inflasi dijadikan alasan Time value of money, seharusnya keadaan deflasi menjadi
alasan adanya negative Time value of money. Sedangkan time preference theory ditolak
dalam ekonomi syariat karena bertentangan dengan prinsip al-ghunmu bi la ghurmi dan al-
kharaj bi la dhaman. Teori ini ditolak juga oleh teori finance.
Apabila inflasi dijadikan alasan sebagai akibat adanya Time value of money dalam
system ekonomi atau keuangan. Inflasi yang diartikan naiknya harga dalam waktu tertentu
tidak semata-mata diakibatkan oleh bunga (sebagai kompensasi opportunitycost), inflasi
dapat terjadi karena produsen mengambil keuntungan semakin meningkat, disamping itu
diakibatkan oleh factor-faktor lain. Penentuan suku bunga sebagai faktor penentu inflasi
adalah suatu tindakan menyerdehanakan masalah atau konsep. Tindakan ini menguntungkan
sebelah pihak, tidak mau rugi (return and risk) konsekuensi ini harus ditanggung bersama
pihak-pihak yang bersinggungan (transaksi).
Kredit konvensional yang terdapat Time value of money, karena adanya opportunity
cost yang hilang dan kemudian dikompensasi dengan nilai persentase tertentu atas pokok
pinjaman (jual beli kredit). Alasan mengenai ketidak pastian return dalam usaha. Dalam
ekonomi konvensional, penerapan Time value of money tidak senaif yang dibayangkan
misalnya dengan mengabaikan ketidakpastian return yang akan diterima. Bila kompensasinya
sebagai discount rate. Sehingga discount rate lebih bersifat umum.
Sebab dalam ekonomi islam, penggunaan sejenis discount rate dalam menentukan
harga mu’ajjal dapat dibenarkan. Hal ini karenakan : pertama, jual beli dan sewa menyewa
adalah sektor riil yang menimbulkan economic value added (nilai tambah ekonomis). Kedua,
tertahannya hak si penjual (uang pembayaran) yang telah melaksanakan kewajibannya
(menyerahkan barang atau jasa), sehingga ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada
pihak lain.
Selain itu, ada beberapa asumsi dan kejadian yang dapat dijadikan rujukan
analisisnya, yaitu: (1) harga yang dibayar tangguh dapat lebih besar dari pada harga yang
dibayar sekarang, (2) not due to inflation nor interest foregone, (3) adanya penahanan hak si
pemilik barang, asumsi ini merujuk pada apa yang pernah dilakukan oleh Zaid Ibnu Ali
Zainal Abidin Ibnu Husen Ibnu Abi Thalib.
B. Kritik Konsep Time Value Of Money
Dalam ekonomi konvensional Time value of money didefinisikan sebagai “a dollar is
worth more than a dollar in the future because a dollar today can be invested to get a return.”
Definisi ini tidak akurat karena setiap investasi selalu mempunyai peluang
ataukemungkinana untuk mendapat hasil positif, negative, atau impas. Itu sebabnya dalam
teori keuangan, selalu dikenal hubungan antara risk return.
Ada dua alasan dari ekonomi konvensional tentang teori Time value of money, yaitu:
1. Presence of inflation
Katakanlah tingkat inflasi 10% per tahun. Seseorang dapat membeli sepuluh potong
pisang goreng hari ini dengan membayar sejumlah Rp10.000,-. Namun bila ia membelinya
tahun depan, dengan sejumlah uang yang sama yaitu Rp10.000,-, ia hanya dapat membeli
Sembilan pisang goreng. Oleh karena itu, ia akan meminta kompensasi untuk hilangnya daya
beli uangnya akibat inflasi.
2. Preference present consumption to future consumption
Bagi umumnya individu, present consumption lebih disukai dari pada future
consumption. Katakanlah tingkat inflasi nihil, sehingga dengan uang Rp10.000,- seseorang
tetap dapat membeli sepuluh pisang goreng hari ini maupun tahun depan. Bagi kebanyakan
orang, mengonsumsi sepuluh pisang goreng hari ini lebih disukai dari pada mengonsumsi
sepuluh pisang goreng tahun depan. Dengan argumentasi ini, meskipun suatu perekonomian
tingkat inflasinya nihil, seseorang lebih menyukai Rp10.000,- hari ini dan mengonsumsi hari
ini. Oleh karena itu untuk menunda konsumsi, ia meminta kompensasi.
Alasan pertama tidak dapat diterima karena tidak lengkap kondisinya. Dalam setiap
perekonomian selalu ada keadaan inflasi dan keadaan deflasi. Bila keberadaan inflasi menjadi
alasan adanaya negative Time value of money. dengan demikian, selama ini hanya ada satu
kondisi saja (inflasi) yang diakomodasi oleh teori Time value of money ; sedangkan kondisi
deflasi diabaikan.
Alasan mengenai ketidakpastian return dalam usaha. Dalam ekonomi konvensional,
penerapan Time value of money tidak senaif yang dibayangkan, misalnya dengan
mengabaikan ketidakpastian return yang akan diterima. Bila unsur ketidakpastian return ini
dimasukkan, ekonomi konvensional menyebut kompensasinya sebagai discount rate. Jadi
istilah discount rate lebih bersifat umum dibandingkan istilah interest rate.

C. Konsep Economic Value Of Time


Teori ini dikembangkan pada abad ke 7 Masehi. Pada saat digunakannya emas dan
perak sebagai alat tukar. Logam ini diterima sebagai alat tukar disebabkan nilai instrinsiknya,
bukan karena mekanisme untuk dikembangkan selama periode itu, sehingga hubungan
debitur/kreditur yang muncul bukan karena akibat transaksi dagang langsung, namun jelas
merupakan transaksi “permintaan uang”. Sejak teori keuangan islam lebih dekat dengan
standar emas hampir pasti bahwa masyarakat muslim lebih mudah ragu apakah masalah
keuangan dunia saat ini disebabkan oleh tidak dipakainya lagi standar emas atau sejenisnya.
[9]
Tentu saja alat tukar ini sebagaimana sekarang dipahami semua Negara islam dimana
saja, tetapi akhirnya akan condong kepada riba yang diharamkan. Dapat dipermasalahkan
bahwa penolakan terhadap segala bentuk bunga dapat dibenarkan apabila dapat
diperdebatkan apakah teori Time value of money benar-benar terjadi. Investasi dalam
obligasi pemerintah yang stabil, adalah bebas resiko tidak dibayar, tetapi tidak bebas dari
kerugian penyusutan nilainya yang sudah merupakan kenyataan sejarah diseluruh dunia.
Dalam ekonomi syar’iah. Penggunaan sejenis discount rate dalam menetukkan harga
bai’ muajjal (membayar tangguh) dapat digunakan. Hal ini dibenarkan, karena:
1. Jual beli dan sewa menyewa adalah sektor riil yang menimbulkan economic value
added (nilai tambah ekonomis).
2. Tertahannya hak si penjual (uang pembayaran) yang telah melaksanakan
kewajibannya (menyerahkan barang atau jasa), sehingga ia tidak dapat melaksanakan
kewajibannya kepada pihak lain.
D. Economic Value Of Time dan Teori Akad dalam Islam
Gambaran hukum dalam islam mengenai prinsip-prinsip keuangan syari’ah adalah
tercakup dalam bentuk aqad dan bentuk instrument keuangan. Dua hal ini akan memberi jalan
bagi akademisi maupun investasor yang ingin konsisten menggunakan prinsip islam dalam
menilai instrument investasi yang tersedia dipasar modal. Berdasarkan prinsip-prinsip dasar
diatas, para akademisi maupun investor tidak serta merta menolak atau memodifikasi
instrument keuangna yang ada. Namun demikian, masih ada peluang untuk melakukan
perbaikan dan bahkan inovasi keuangan, maupun memberikan tawaran-tawaran baru
instrumen keuangan untuk kesejahteraan dan kemanfaatan yang lebih luas (maslahat-
mursalah). Hubungan ikatan dagang dan keuangan didalam islam diatur dengan hukum fiqih
muamalat. Fiqh mualamat membedakan antara wa’ad dengan akad (aqad).
Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak dan pihak lain. Wa’ad hanya
mengikat satu pihak, yaitu pihak yang memberikan janji berkewajiban untuk melaksanakan
kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberikan janji tidak memikul kewajiban apa-apa
terhadap pihak lainnya. Wa’ad belum ditetapkan secara rinci dan spesifik terms and
condition-nya. Dengan demikian, bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya,
maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanski moral.
Akad adalah ikatan kontrak dua pihak yang telah bersepakat. Hal ini berarti di dalam
akad masing-masing pihak terlihat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing
yang telah tersepakati terlebih dahulu. Akad telah disepati secara rinci dan spesifik tentang
terms and condition-nya. Dengan demikian, bila salah satu atau kedua pihak yang terikat
dalm kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka salah satu atau kedua pihak
tersebut menerima sanksi yang sudah disepakati dalam akad.
Didalam fiqh muamalat, pembahasan akad berdasarkan segi ada atau tidak adanya
kompensasi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: aqad tabarru’ dan aqad tijarah mu’awada.
Dengan penjelasan sebagai berikut:
Aqad tabarru: (Tabarru’ besar dari kata birr dalam bahasa Arab, yang diartinya
kebaikan) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi nirlaba atau transaksi
tidak mengambil untung. Dengan kata lain, aqad tabarru’ pada hakikatnya bukan transaksi
bisnis untuk memberi keuntungan komersil. Tujuan diterapkannya aqad tabarru’ adalah untuk
aktivitas tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Dalam aqad tabarru’, pihak yang
berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya,
imbalan dari aqad tabarru’ adalah dari Allah SWT, bukan dari manusia. Namun demikian,
pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counterpart-nya untuk sekedar
menutup biaya (cover the cost) yang dikeluarnya untuk dapat melakukan aqad
tabarru’tersebut. Namun ia tidak boleh sedikit pun mengambil laba dari akad tabarru’ itu.
Meminjamkan jasa dan memberikan sesuatu.
Aktivitas meminjam uang dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: (1) meminjamkan
harga atau qard (pinjaman) (2) meminjam harga dengan memberikan agunan oleh si
peminjam atau rahn (gadai) dan (3) meminjam harta untuk mengambil alih pinjaman dari
pihak lain disebut hiwalah (pengalihan utang).
Aktivitas meminjamakan jasa dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: (1)
meminjamkan jasa pada saat ini untuk melakukan sesuatu atas nama orang lain disebit
wakalah (2) memberikan jasa untuk pemeliharaan uang atau barang tersebut dengan wadiah
dan (3) memberikan jasa untuk melakukan sesuatu apabila terjadi sesuatu di sebut kafalah.
Aktifitas memberikan sesuatu yang dimiliki kepada orang lain dapat dilakakan dengan cara
hibah, sedaqah, waqaf, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai