Anda di halaman 1dari 79

SEJARAH PENDIDIKAN DI INDONESIA

Penulis
Nama : MIFTAH SHOFIYAH NOVIANTI
NPM : 1813031005
P.S : Pendidikan Ekonomi

Mata Kuliah : Landasan Kependidikan


Dosen : Wardani, S.Pd., M.Pd

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL


FAKULTAS KEGURUAN DAN IIMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2018

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim dan puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, berkat
rahmat dan hidayahnya saya selaku penyusun dapat menyelesaikan makalah landasan
kependidikan ini dengan maksimal meski belum bisa dikatakan baik. Shalawat serta salam selalu
tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, dan sahabatnya.
Selanjutnya, saya selaku penyusun ingin menyampaikan rasa terima kasih
yang tak t e r h i n g g a kepada semua pihak yang membantu kelancaran
p e m b u a t a n l a p o r a n i n i , b a i k    berupa dorongan moril maupun materil. Terima kasih
kepada bapak Wardani, S.Pd M.Pd selaku dosen mata kuliah landasan kependidikan yang telah
membimbing kami.
Semoga makalah ini dapat berguna baik untuk diri kami, teman teman, dan semua yang
membaca makalah ini. Saya selaku penyusun memohon maaf atas kekurangan dalam
makalah ini. Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memenuhi tugas yang
diberikan. Terimakasih.

Bandar lampung, 21 Oktober 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................i


DAFTAR ISI .....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................1
A. Latar Belakang .............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................1
B. Tujuan Pennulisan .......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................2
1. Pengantar ......................................................................................................................2
A. Pendidikan Masa Klasik .............................................................................................3
B. Pendidikan Pada Masa Kolonial ................................................................................28
2. Dua Aliran Pokok Pendidikan Di Indonesia ..............................................................54
A. Pendidikan Taman Siswa ............................................................................................55
B. Pendidikan Masa Sekarang ........................................................................................58
3. Mengukur Perkembangan Pendidikan Di Indonesia ................................................59
BAB III PENUTUP ..........................................................................................................73
Kesimpulan ........................................................................................................................73
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................74

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.           LATAR BELAKANG
Secara formal pendidikan di Indonesia diawali sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, namun

keberadaannya tidak bisa dipisahkan dengan cita-cita dan praktek pendidikan masa sebelumnya.
Kebudayaan Indonesia sudah ada sejak zaman para sejarah. Isi kebudayaan disampaikan oleh
orang tua secara langsung kepada anak-anak. Anak-anak banyak meniru apa yang dilakukan oleh
orang tuanya baik dalam kepercayaan, agama, pewarisan hidup ekonomi, maupun keterampilan-
keterempilan yang lain. Budaya tulis pertama kali dibawa oleh orang Hindu yang disebut huruf
Pallawa. Bersamaan dengan perkembangan peradaban Hindu di Jawa, Berkembang pula
peradaban Budha di Sumatra. Pendidikan zaman Hindu dikenal dengan periode klasik.

B.      RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimanakah sejarah pendidikan pada masa klasik?
2. Bagaimanakah sejarah pendidikan pada masa kolonial?
3. Bagaimanakah sejarah pendidikan pada masa kemerdekaan?

C.      TUJUAN PENULISAN


          1. Untuk mengetahui sejarah pendidikan pada masa klasik.
          2. Untuk mengetahui sejarah pendidikan pada masa kolonial.
          3. Untuk mengetahui sejarah pendidikan pada masa kemerdekaan.

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. PENGANTAR

Pendidikan merupakan salah satu hal yang penting bagi manusia. Sarana yang digunakan
untuk mendapatkan pendidikan biasanya sekolah, namun tidak hanya dari sekolah saja kita bisa
mendapatkan pendidikan, tapi dari buku, Video , internet, pengalaman, dan masih banyak lagi.
Jika kita hidup tanpa pendidikan, kita tak akan mengenal ilmu pengetahuan.

Sejarah pendidikan di Indonesia telah berlangsung sejak lama. I Tsing, pendeta Budha
yang singgah di kerajaan Sriwijaya pada 687 masehi, menjelaskan bahwa Palembang di masa
tersebut merupakan pusat agama Budha dimana pemikir dari berbagai negara berkumpul disana.
Hanya saja, pendidikan saat itu belum diatur dan berfokus pada ajaran Budha.

Peranan pemerintah dalam mengatur pelaksanaan pendidikan terjadi sejak 1950 melalui
draf undang-undang wajib belajar pendidikan dasar 6 tahun. Prioritas dalam pendidikan semakin
ditekankan pada era pemerintahan presiden Soeharto yang diwujudkan dalam pendirian hampir
40.000 sekolah dasar baru pada akhir 1980an sehingga memungkinkan tercapainya target wajib
belajar 6 tahun.

Upaya meningkatkan mutu dan partisipasi pendidikan terus berlanjut hingga kini.
Mempelajari sejarah perkembangan pendidikan mestinya membuat kita dapat memahami apa
saja yang telah dicapai lewat pendidikan dan mengevaluasi perbaikan yang dibutuhkan untuk
menciptakan mutu dan partisipasi pendidikan yang lebih baik.

“Knowledge is power”

Kutipan yang terkenal dari Francis Bacon tersebut jelas mengungkapkan pentingnya
pendidikan bagi manusia. Sumber pokok kekuatan manusia adalah pengetahuan. Mengapa?

2
Karena manusia dengan pengetahuannya mampu melakukan olah-cipta sehingga ia mampu
bertahan dalam masa yang terus maju dan berkembang.

Dan proses olah-cipta tersebut terlaksana berkat adanya sebuah aktivitas yang dinamakan
PENDIDIKAN. Pendidikan menurut KBBI berarti sebuah kegiatan perbaikan tata-laku dan
pendewasaan manusia melalui pengetahuan. Bila kita lihat jauh ke belakang, pendidikan yang
kita kenal sekarang ini sebenarnya merupakan ”adopsi” dari berbagai model pendidikan di masa
lalu.

Informasi mengenai bagaimana model pendidikan di masa prasejarah masih belum dapat
terekonstruksi dengan sempurna. Namun bisa diasumsikan ”media pembelajaran” yang ada pada
masa itu berkaitan dengan konteks sosial yang sederhana. Terutama berkaitan dengan adaptasi
terhadap lingkungan di kelompok sosialnya.

Pendidikan merupakan salah satu hal yang penting bagi manusia. Sarana yang
digunakan untuk mendapatkan pendidikan biasanya sekolah, namun tidak hanya dari sekolah
saja kita bisa mendapatkan pendidikan, tapi dari buku, Video , internet, pengalaman, dan masih
banyak lagi. Jika kita hidup tanpa pendidikan, kita tak akan mengenal ilmu pengetahuan.

Kali ini saya akan membahas tentang sejarah pendidikan yang ada di Indonesia, dan kita
akan mulai dari zaman kita belum merdeka, yap! zaman dulu sebelum negara kita Indonesia
merdeka, kita sudah mengenal Pendidikan loh ! berikut informasinya.

Sejarah dan Perkembangan Pendidikan Indonesia

Pendidikan di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Pendidikan itu memang
terkait dengan berbagai faktor dari zamannya masing-masing, Pendidikan itu telah ada sejak
zaman kuno/tradisional yang dimulai dengan zaman pengaruh agama Hindu dan Budha, zaman
pengaruh Islam, zaman penjajahan, dan zaman merdeka (Pidarta, 2009.: 125).

A. PENDIDIKAN PADA MASA KLASIK

Masuknya kebudayaan Hindu di beberapa daerah di pulau Jawa menjadi titik awal zaman
sejarah tulis menulis di Indonesia. Tulisan dengan huruf Pallawa yang berisi sastra, agama,

3
sejarah, etika menjadi sumber pendidikan golongan raja-raja dan bangsawan. Pendidikan
mengharuskan anak-anak, pemuda dan orang dewasa mempelajari huruf Pallawa. Zaman
pemerintahan Erlangga (990-1049) banyak buku-buku bahasa, sastra, hukum, filsafat
diterjemahkan ke bahasa Jawa kuno (Kawi) sehingga lahirlah guru-guru profesional pada
zamannya. Seorang guru profesional harus lahir dari kasta Brahmana sedang muridnya bisa
terdiri dari kasta Brahmana sendiri sandar 2 kasta di bawahnya, sebab kasta sudra tidak
diperkenankan menjadi murid.
Puncak pendidikan Budha dicapai pada zaman Sriwijaya. Guru terkenal pada zaman
Sriwijaya ialah Darmapala dari Nalanda. Tahun 685, I Tsing (seorang Budhis Cina) yang pulang
dari India singgah di Sriwijaya menerjemahkan 100 buku agama Budha ke dalam bahasa Cina.
Bermula dari hal ini, agama Budha banyak dipelajari orang-orang sehingga akhirnya Budha
berkembang di pulau Jawa.
Pada abad ke-13 Islam masuk ke Indonesia. Kerajaan Islam pertama di Jawa ialah
Demak, di Aceh Samudra Pasai, di Sulawesi kerajaan Goa dengan Raja Goa Alaudin dan di
daerah Maluku Kesultanan Ternate. Dari kerajaan-kerajaan itulah menjadi pusat penyebaran
agama Islam sehingga Islam tersebar ke seluruh nusantara. Bermula dari penyebaran Islam di
dalamnya inklusif pendidikan bercorak Islam tradisional dikembangkan. Sebagai pusat
perkembangan Islam, para kiai mendirikan pondok pesantren. Dalam pondok pesantren itu para
kiai hidup bersama santri memperdalam agama Islam.
Penyelenggaraan pendidikan agama Islam masih bersifat perorangan. Para kiai membina
umat Islam di daerahnya masing-masing dengan mendirikan pondok pesantren. Terkenallah
peran Walisanga di Jawa, para syeh Minangkabau dan pada akhirnya berdiri kesultanan-
kesultanan sebagai pusat pemerintahan dan pusat penyebaran Islam.
Tujuan pendidikan Islam pada saat itu adalah mengabdi sepenuhnya kepada Allah sesuai
dengan  tuntunan rasul Muhammad SAW ( Al Qur’an dan Sunah). Materi pendidikan yang
diberikan para kiai adalah keimanan, ketaqwaan, dan akhlaq. Untuk memperdalam ilmu tauhid
diberikan juga Arkanul Iman.
Untuk mencapai tujuan tersebut diberikan program belajar yang meliputi: (a) membaca
Al Qur’an; (b) ibadat (berwudlu, shalat); (c) keimanan; dan (d) akhlaq. Cara belajar saat itu
adalah dengan model sorogan dan klasikal. Model sorogan atau individual dilakukan dengan
anak santri duduk bersila berhadapan dengan guru gaji untuk membaca Al Qur’an, secara

4
bergantian satu persatu sesuai dengan kemajuannya masing-masing. Demikian pula dalam hal
belajar berwudlu, salat seorang santri dibimbing langsung oleh guru. Pendidikan akhlaq
diberikan secara klasikal, guru bercerita tentang tarikh nabi, Sabat nabi, sifat-sifat terpuji atau
yang tercela dengan materi para tokoh pada zamannya. Lama belajar tidak ditentukan, sangat
bergantung pada kemampuan, kerajinan dan kemauan anak. Karena itu belajar tidak dipungut
biaya. Hal ini berlangsung sampai masuknya kebudayaan barat.
a. Zaman Pengaruh Hindu dan Budha
Pengaruh pendidikan pada zaman Hinduisme and Budhisme datang ke Indonesia sekitar
abad ke-5. Hinduisme dan Budhisme merupakan dua agama yang berbeda, namun di Indonesia
keduanya memiliki kecenderungan sinkretisme, yaitu keyakinan mempersatukan figur Siva
dengan Budha sebagai satu sumber Yang Maha Tinggi. Motto pada lambang Negara Indonesia
yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu yaitu Sang Maha
Tunggal yaitu Tuhan , secara etimologis berasal dari keyakinan tersebut (Mudyahardjo, 2012:
215).

Pada zaman ini pendidikan memiliki tujuan yang sama yaitu pendidikan diarahkan dalam
rangka penyebaran dan pembinaan kehidupan keberagamaan Hindu dan Budha (Mudyahardjo,
217), juga mencari petunjuk tentang apa yang diinginkan, baik buruknya, hingga pencapaiannya.

b. Zaman Pengaruh Islam (Tradisional)

Agama Islam mulai masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dan mencakup sebagian
besar Nusantara pada abad ke-16. Perkembangan pendidikan agama Islam di Indonesia sejalan
dengan perkembangan penyebaran Islam di Nusantara, baik sebagai agama maupun sebagai arus
kebudayaan (Mudyahardjo.: 221). Pendidikan agama Islam pada zaman ini disebut Pendidikan
Islam Tradisional.

Tujuan dari pendidikan agama Islam adalah sama dengan tujuan hidup Islam, yaitu
mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad S.A.W. Untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. (Mudyahardjo.: 121-
223) Pendidikan agama Islam Tradisional ini tidak diselenggarakan secara terpusat, namun

5
banyak diupayakan secara perorangan melalui para ulamanya di suatu wilayah tertentu dan
terkoordinasi oleh para wali di Jawa, terutama Wali Sanga.

1. Masuknya Islam di Indonesia

Berita Islam di Indonesia telah diterima sejak orang Venesia (Italia) yang bernama
Marcopolo singgah di kota Perlak dan menerangkan bahwa sebagian besar penduduknya telah
beragama Islam.[2] Sampai sekarang belum ada bukti tertulis tentang kapan tepatnya Islam
masuk ke Indonesia, namun banyak teori yang memperkirakannya. Pada umumnya teori-teori
tersebut dikaitkan dengan jalur perdagangan dan pelayaran antara Dunia Arab dengan Asia
Timur. Pulau Sumatra misalnya, karena letak geografisnya, sejak awal abad pertama Masehi
telah menjadi tumpun perdagangan antarbangsa dan pedagang-pedagang yang datang ke
Sumatra.

Dari sekian perkiraan, kebanyakan menetapkan bahwa kontak Indonesia dengan Islam
sudah terjadi sejak abad 7 M. Ada yang mengatakan bahwa Islam pertama kali masuk ke
Indonesia di Jawa, ada yang mengatakan di Barus. Ada yang berpendapat bahwa Islam masuk
Indonesia melalui pesisir Sumatra. Para saudagar muslim asal Arab, Persia, dan India ada yang
sampai di kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke 7 M yang berlayar ke Asia Timur
melalui selat Malaka singgah di pantai Sumatra Utara untuk mempersiapkan air minum, dan
perbekalan lainnya. Mereka yang singgah di pesisir Sumatra Utara membentuk masyarakat
Muslim dan mereka menyebarkan Islam sambil berdagang. Pada perkembangan berikutnya
terjalinlah hubungan perkawinan dengan penduduk pribumi atau menyebarkan Islam sambil
berdagang.[4]

2. Sejarah perkembangan sekolah agama islam Indonesia

Selanjutnya, siapa yang memperkenalkan Islam di Indonesia? Ada yang mengatakan


bahwa Islam dibawa ke Indonesia oleh para pedagang. Ada yang mengatakan bahwa kekuasaan
(konversi) keraton sangat berpengaruh bagi pengislaman di Indonesia. Masuknya Islam penguasa
akan diikuti oleh rakyatnya secara cepat. Dapat dikatakan bahwa Islam pada mulanya
diperkenalkan oleh para pedagang Muslim yang melakukan kontak dengan penduduk setempat
yang pada akhirnya dapat menarik hati penduduk setempat untuk memeluk Islam. Pada masa

6
awal, saudagar-saudagar muslim dikenal cukup mendominasi perdagangan dengan Indonesia.
Saudagar muslim itu mampu memperkenalkan nilai-nilai Islam terutama ketentuan-ketentuan
hukum Islam mengenai perdagangan yang memberikan keuntungan ekonomi secara maksimal,
sekaligus mereka membatasi adanya pilihan terhadap agama-agama lain. Ada yang mengatakan
bahwa para ulama memiliki peranan yang besar bagi penyebaran Islam di Indonesia. Para
pedagang msulim datang ke Indonesia untuk berdagang dan mengumpulkan kekayaan, setelah
mereka menetap maka datanglah guru-guru (ulama) yang bertujuan menyebarkan dan mengajar
penduduk setempat.[5]

Kendatipun para saudagar muslim tidak dapat dikatakan sebagain instrumen penyebaran
Islam, namun peranannya tidak dapat diabaikan bagi proses Islamisasi di Indonesia. Kehadiran
pedagang-pedagang muslim melahirka fenomena kota-kota perdagangan sebagai pusat ekonomi,
yang pada akhirnya mendukung kegiatan bagi pengembangan Islam. Kegiatan perdagangan yang
maju memungkinkan terselenggaranya pengajaran Islam dan pembangunan lembaga-lembaga
pendidikan Islam sehingga menciptakan kehidupan agama yang dinamis. Dengan adanya
dinamika umat Islam di perkotaan akhirnya mampu memperkuat penetrasi Islam sampai ke
pelosok tanah air.

3. Pendidikan Islam Indonesia Masa Awal

Sejak awal perkembangan Islam, pendidikan mendapat prioritas utama masyarakat


muslim Indonesia. Di samping karena besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi
mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran Islam kendatipun dalam sistem yang masih
sangat sederhana, di mana pengajaran diberikan dengan sistem halaqah yang dilakukan di
tempat-tempat ibadah semacam masjid, mushala, bahkan juga di rumah-rumah ulama.
Kebutuhan terhadap pendidikan mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan
mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada (indigenous religious adan social
institution) ke dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Di Jawa umat Islam mentransfer
lembaga keagamaan Hindu-Budha menjadi pesantren, umat Islam di Minangkabau mengambil
alih surau sebagai peninggalan adat masyarakat setempat menjadi lembaga pendidikan Islam,

7
dan demikian pula masyarakat Aceh dengan mentransfer lembaga masyarakat meunasah sebagai
lembaga pendidikan Islam.

Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai oleh munculnya


berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang sangat sederhana, sampai dengan
tahap-tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap. Lembaga pendidikan Islam telah
memainkan fungsi dan peranannya sesuai dengan tuntutan masyarakat dan zamannya.

1. Lembaga Pendidikan Islam di Surau

Pembahasan tentang surau sebagai lembaga pendidikan Islam di Minangkabau hanya


dipaparkan sekitar awal pertumbuhan surau samapi dengan meredupnya pamor surau. Kondisi
ini dilatarbelakangi dengan lahirnya gerakan pembaharuan di Minangkabau yang ditandai
dengan berdirinya madrasah sebagai pendidikan alternatif.

Istilah surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam
sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang
yang berfungsi sebagai tempat bertamu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki
yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur.[8] Fungsi surau ini semakin kuat posisinya
karena struktur masyarakat Miangkabau yang menganut sistem Matrilineal[9], menurut
ketentuan adat bahwa laki-laki tidak punya kamar di rumah orang tuanya sendiri, sehingga
mereka diharuskan tidur di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat amat
penting bagi pendewasaan generasi Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun
ketrampilan praktis lainnya.

Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi keagamaannya
semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman.
Pada masa ini, eksistensi surau di samping sebagai tempat shalat juga digunakan Syekh
Burhanuddin sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, khusunya tarekat (suluk).

Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem pendidikan halaqah.


Materi pendidikan yang diajarkan pada mulanya masih seputar belajar huruf hijaiyah dan

8
membaca al-Qur’an, di samping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti keimanan, akhlakdan
ibadah. Pada umumnya pendidikan ini dilaksanakan pada malam hari.

Secara bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami


kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan surau pada masa ini, yaitu:

1) Pengajaran al-Qur’an yang mencakup pendidikan untuk memahami ejaan huruf al-
Qur’an dan membaca al-Qur’an sampai pendidikan membaca al-Qur’an dengan lagu, kasidah,
berzanji, tajwid, dan pengajian kitab; dan

2) Pengajian Kitab yang meliputi materi tentang ilmu nahwu dan saraf, ilmu fikih, ilmu
tafsir, dan lain sebagainya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab dan
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru diterangkan maksudna.
Penekanan pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan.Metode pendidikan yang diterapkan di
surau bila dibandingkan dengan metode pendidikan modern, metode pendidikan surau memiliki
kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya terletak pada kemampuan menghafal muatan teoritis
keilmuannya. Sedangkan kelemahannya terdapat pada lemahnya kemampuan memahami dan
menganalisis teks. Di sisi lain, metode pendidikan ini diterapkan secara keliru. Siswa banyak
yang bisa membaca dan menghafal isi suatu kitab, akan tetapi tidak bisa menulis apa yang dibaca
dan dihafal.

Surau sebagai lembaga pendidikan Islam mulai surut peranannya karena disebabkan oleh
beberapa hal. Pertama, selama perang Padri banyak surau yang musnah terbakar dan syekh
banyak yang meninggal, kedua, Belanda mulai memperkenalkan sekolah negeri, ketiga, kaum
intelektual muda muslim mulai mendirikan madrasah sebagai bentuk ktidaksetujuan mereka
terhadap praktik-praktik surau yang penuh dengan khurafat bid’ah dan takhayul.

Dalam posisinya sebagai lembaga pendidikan Islam, poisis surau sangat strategis bai
dalam proses pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam. Bahkan
surau telah mampu mencetak para ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan semangat
nasionalisme, terutama dalam mengusir kolonialisme Belanda.

2. Lembaga Pendidikan Islam di Meunasah

9
Meunasah merupakan tingkat pendidikan Islam terendah. Meunasah berasal dari bahasa
Arab madrasah. Meunasah merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap kampung/desa.
Bangunan ini seperti rumah tetapi tidak mempunyai jendela dan bagian-bagian lain. Bangunan
ini digunakan sebagai tempat belajar dan berdiskusi serta membicarakan masalah-masalah yang
berhubungan dengan kemasyarakatan. Di samping itu, meunasah juga menjadi tempat bermalam
para anak-anak muda serta orang laki-laki yang tidak mempunyai istri. Setelah Islam mapan di
Aceh, meunasah juga menjadi tempat shalat bagi masyarakat dalam satu gampong/desa.[14]

Di antara fungsi meunasah itu adalah:

a. Sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan tempat penyalurannya,


tempat penyelesaian perkara agama, musyawarah dan menerima tamu.

b. Sebagai lembaga pendidikan Islam di mana diajarkan pelajaran membaca al-Qur’an.


Pengajian bagi orang dewasa diadakan pada malam hari tertentu dengan metode ceramah dalam
satu bulan sekali. Kemudian pada hari Jum’at dipakai ibu-ibu untuk shalat berjama’ah zhuhur
yang diteruskan pengajian yang dipimpin oleh seorang guru perempuan.

Dalam perkembangan lebih lanjut, meunasah bukan hanya berfungsi sebagai tempat
beribadah saja, melainkan juga sebagai tempat pendidikan, tempat pertemuan, bahkan juga
sebagai tempat transaksi jual-beli, terutama barang-barang yang tidak bergerak. Yang belajar di
meunasah umumnya anak laki-laki yang umumnya di bawah umur. Sedangkan untuk anak
perempuan pendidikan diberikan di rumah guru.

Pendidikan meunasah ini dipimpin oleh Teungku Meunasah. Pendidikan untuk anak
perempuan diberikan oleh Teungku perempuan yang disebut Tengku Inong. Dalam memberika
pendidikan kepada anak-anak, Tengku Meunasah dibantu oleh beberapa orang muridnya yang
lebih cerdas yang disebut sida.

Keberadaan meunasah di Aceh sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar sangat


mempunyai arti di Aceh. Semua orang tua memasukkan anaknya ke meunasah. Dengan kata lain,
meunasah merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan apabila orang Aceh mempunyai fanatisme agama yang tinggi.

10
3. Lembaga Pendidikan Islam di Pesantren

Pesantren atau pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah
sebuah asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya semua tinggal bersama dan belajar
di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai dan mempunyai asrama untuk
tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid
untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini biasanya
dikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan
peraturan yang berlaku.

Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren
menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah
atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura
umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan istilah dayah
atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau.

Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama,
umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada
santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Abad
pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.

Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Karena itu, pesantren
sebagai lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyrakat sekitar
sehingga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang
sama segala aktifitasnya pun mendapat dukungan dan apresiasi penuh dari masyarakat
sekitarnya. Semuanya memberi penilaian tersendiri bahwa sistem pesantren adalah merupakan
sesuatu yang bersifat “asli” atau “indigenos” Indonesia, sehingga dengan sendirinya bernilai
positif dan harus dikembangkan.

Dari perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan


yang tahan terhadap berbagai gelombang modernisasi. Dengan kondisi demikian itu, kata
Azyumardi Azra, menyebabkan pesantren tetap survive sampai hari ini. Sejak dilancarkannya
perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai dunia Islam, tidak banyak lembaga-

11
lembaga pendidikan tradisional yang mampu bertahan. Kebanyakan lenyap setelah tergusur oleh
ekspansi sistem pendidikan umum dan sekuler.

Nilai-nilai progresif dan inovatif sebagai suatu strategi untuk mengejar ketertinggalan
dari model pendidikan lain. Dengan demikian, pesantren mampu bersaing dan sekaligus
bersanding dengan sistem pendidikan modern.

Di sisi lain, ciri-ciri pesantren berikut unsur-unsur kelembagaannya tidak bisa dipisahkan
dari sistem kultural dan tidak dapat pula dilekatkan pada semua pesantren secara uniformitas
karena setia pesantren memiliki keunikan masing-masing, tetapi pesantren secara umum
memiliki karakteristik yang hampir sama, di antara karakteristik pesantren itu dari segi:

a. Materi pelajaran dan metode pengajaran pesantren Indonesia

Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama,
sedangkan kajian atau mata pelajarannya adalah kitab-kitab dalam bahasa Arab (kitab kuning).
Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah al-Qur’an dengan tajwid dan tafsirnya, aqa’id dan
ilmu kalam, fikih dan ushul fikih, hadis dengan mustalah hadis, bahasa Arab dengan ilmunya,
tarikh, mantiq dan tasawuf.

Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren adalah:

1) Wetonan atau di sebut juga metode bandongan adalah metode pengajaran dengan cara
ustadz/kiai membaca, menerjemahkan, menerangkan dan mengulas kitab/buku-buku keislaman
dalam bahasa arab, sedangkan santri mendengarkannya. Mereka memperhatikan kitab/bukunya
sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata yang
diutarakan oleh ustadz/kiai.

2) Sorogan merupakan metode yang ditempuh dengan cara ustadz menyampaikan


pelajaran kepada santri secara individual. Sasaran metode ini biasanya kelompok santri pada
tingkat rendah yaitu mereka yang baru menguasai pembacaan al-Qur’an. Melalui sorogan,
pengembangan intelektual santri dapat ditangkap oleh kiai secara utuh. Dia dapat memberikan

12
bimbingan penuh sehingga dapat memberikan tekanan pengajaran terhadap santri-santri tertentu
atas dasar observasi langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka.

3) Hafalan, yaitu suatu motode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari
kitab yang dipelajarinya.

b. Jenjang Pendidikan Pesantren Indonesia

Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga


pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikatn tingkat seorang santri ditandai
dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajari. Jadi jenjang pendidikan tidak ditandai
dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tetapi pada penguasaan kitab-kitab yang
telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.

c. Fungsi Pesantren

Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi
sebagai lembaga sosial dan penyiaran keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren
menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah, sekolah umum, perguruan tinggi) dan non-
formal. Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak-anak dari segala lapisan masyarakat
muslim tanpa membeda-bedakan status sosial. Sebagai lembaga penyiaran keagamaan, masjid
pesantren juga berfungsi sebagai masjid umum, yakni sebagai tempat belajar agama dan ibadah
bagi para jama’ah.

Di samping fungsi di atas, pesantren juga mempunyai peranan yang sangat besar dalam
merespons ekspansi plotik emperialis Belanda dalam bentuk menola segala sesuatu yang berbau
barat dengan menutup diri dan menaruh sikap curiga terhaadap unsur-unsur asing. Dan lebih dari
itu, pesantren sebagai tempat mengobarkan semangat jihad untuk mengusir penjajah dari tanah
air.

d. Kehidupan Kyai dan Santri Indonesia

Berdirinya pondok pesantren bermula dari seorang kyai yang menetap/bermukim di suatu
tempat. Kemudian datanglah santri yang ingin belajar kepadanya dan turut pula bermukim di

13
tempat itu. Sedangkan biaya kehidupan dan pendidikan disediakan bersama-sama oleh para
santri dengan dukungan masyarakat sekitar. Hal ini memungkinkan kehidupan pesantren bisa
berjalan stabil tanpa dipengaruhi oleh gejolak ekonomi di luar.

Eksistensi kyai dala pesantren merupakan lambang kewahyuan yang selalu disegani,
dipatuhi dan dihormati secara ikhlas. Para santri dan masyarakat sekitar selalu berusaha agar
dapat dekat dengan kyai untuk memperoleh berkah, sebab menurut anggapan mereka seperti
yang dikatakan oleh Zanakhsyari Dhofier, “Kyai memiliki kedudukan yang tak terjangkau, yang
tak dapat sekolah dan masyarakat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam.” Tegasnya,
kyai adalah tempat bertanya, tempat menyelesaikan segala urusan dan tempat meminta nasihat
dan fatwa.

Dalam perkembangannya, dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya


perubahan terus menerus pada sebagian besar pesantren. Maka pada akhir-akhir ini akan sulit
ditemukan sebuah pesantren yang bercorak tradisional murni. Karena pesantren sekarang telah
mengalami transformasi sedemikian rupa sehingga menjadi corak yang berbeda-beda.

Dilihat dari proses transformasi tersebut, sekurang-kurangnya pesantren dapat dibedakan


menjadi tiga corak, yaitu pertama, pesantren salaf, pesantren yang masih tetap mempertahankan
nilai-nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang berarti dalam sistem
pendidikannya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam corak pesantren ini. Umumnya
pesantren model ini masih eksis di daerah pedalaman-pedalaman atau pedesaan. Sehingga bisa
dikatakan bahwa desa adalah benteng terakhir dalam mempertahankan tradisi-tradisi keislaman.
Kedua, pesantren tradisional. Corak pendidikan pada pesantren ini sudah mulai mengadopsi
sistem pendidikan modern, tetapi tidak sepenuhnya. Prinsip selektifitas dalam menjaga nilai
tradisional masih terpelihara. Misalnya, metode pengajaran dan beberapa rujukan tambahan yang
dapat menambah wawasan para santri sebagai penunjang kitab-kitab klasik. Manajemen dan
administrasi sudah mulai ditata secara modern meskipun sistem tradisionalnya masih
dipertahankan. Ketiga, pesantren modern. Pesantren corak ini telah mengalami transformasi yang
sangat sinifikan baik dalam sistem pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaannya. Materi
pelajaran dan metodenya sudah sepenuhnya menganut sistem modern. Pengembangan bakat dan
minat sangat diperhatikan sehingga para santri dapat menyalurkan bakat dan hobinya secara

14
proposional. Sistem pengajaran dilaksanakan dengan porsi sama anatara pendidikan agama dan
umum, penguasaan bahasa asing (bahasa Arab dan Inggris) sangat ditekankan.

4. Lembaga Pendidikan Islam di Madrasah

Sejarah dan perkembangan madrasah akan dibagi dalam dua periode, yaitu:

1. Periode Sebelum Kemerdekaan

Pendidikan dan pengajaran agama Islam dalam bentuk pengajian al-Qur’an dan pengajian
kitab yang diselenggarakan di rumah-rumah, surau, masjid, pesantren, dan lain-lain. Pada
perkembangan selanjutnya mengalami perubahan bentuk baik dari segi kelembagaan, materi
pengajaran (kurikulum), metode maupun struktur organisasinya sehingga melahirkan suatu
bentuk baru yang disebut madrasah.

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berfungsi menghubungkan sistem lama


dengan sistem baru dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik yang masih
dapat dipertahankan dan mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, tekhnologi, dan ekonomi
yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, isi kurikulum madrasah pada
umumnya dalah apa yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam (surau dan pesantren)
ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang disebut dengan ilmu-ilmu umum. Latar
belakang pertumbuhan madrasah di Indonesia dapat dikembalikan pada dua situasi yaitu:

1) Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia

Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia muncul pada awal abad ke-20 yang
dilatarbelakangi oleh kesadaran dan semangat yang kompleks sebagaimana diuraikan oleh Karel
A Steenbrink dengan mengidentifikasi empat faktor yang mendorong gerakan pembaruan Islam
di Indonesia, antara lain:

a) Keinginan untuk kembali kepada al-Qur’an dan hadis

b) Semangat nasionalisme dalam melawan penjajah

15
c) Memperkuat basis gerakan sosial, budaya, dan politik

d) Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia

Bagi tokoh-tokoh pembaruan, pendidikan kiranya senantiasa dianggap sebagai aspek


yang strategis untuk membentuk sikap dan pandangan keislaman masyarakat. Oleh karena itu,
pemunculan madrasah tidak bisa lepas dari gerakan pembaruan Islam yang dimulai oleh usaha
beberapa orang tokoh-tokoh intelektual Islam yang selanjutnya dikembangkan oleh organisasi-
organisasi Islam.

Respons Pendidikan Islam terhadap Kebijakan Pendidikan Hindia Belanda

Awal mula bangsa Belanda datang ke Nusantara hanya untuk tujuan berdagang, tetapi
karena kekayaan alam Nusantara yang sangat banyak maka tujuan utama tadi berubah untuk
menguasai wilayah Nusantara dan menanamkan pengaruh di Nusantara sekaligus dengan
mengembangkan pahamnya yang terkenal dengan semboyan 3G, yaitu Glory (kemenangan dan
kekuasaan), Gold (emas atau kekayaan bangsa Indonesia), dan Gospel (upaya salibisasi terhadap
umat Islam di Indonesia).[31]Dalam menyebarkan misi-misinya, Belanda mendirikan sekolah-
sekolah Kristen. Misalnya di Ambon yang jumlah sekolahnya mencapai 16 sekolah dan 18
sekolah di sekitar pulau-pulau Ambon, di Batavia sekitar 20 sekolah, padahal sebelumnya sudah
ada sekitar 30 sekolah. Di samping itu, sekolah-sekolah ini pada perkembangannya dibuka secara
luas untuk rakyat umum dengan biaya yang murah. Dengan demikian, melalui sekolah-sekolah
inilah Belanda menanamkan pengaruhnya di daerah jajahannya.[32]Dengan terbukanya
kesempatan yang luas bagi masyarakat umum untuk memasuki sekolah-sekolah yang
diselenggarakan oleh Belanda, maka kalangan Islam mendapat tantangan dan saingan berat,
terutama karena sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda dilaksanakan dan dikelola secara
modern terutama dalam hal kelembagaan, kurikulum, metodologi, sarana, dan lain-lain.

Perkembangan sekolah yang demikian jauh dan merakyat menyebabkan tumbuhnya ide-
ide di kalangan intelektual Islam untuk memberikan respons dan jawaban terhadap tantangan
tersebut dengan tujuan untuk memajukan pendidikan Islam. Mereka mendiirikan lembaga
pendidikan baik secara perorangan maupun kelompok/organisasi yang dinamakan madrasah atau
sekolah.

16
a. Zaman Kolonial Belanda

Saat Belanda menjajah Indonesia, pendidikan yang ada diawasi secara ketat oleh
Belanda. Hal tersebut dikarenakan Belanda tahu bahwa melalui pendidikan, gerakan-gerakan
perlawanan halus terhadap keberadaan Belanda di Indonesia pada sat itu dapat muncul dan
menyulitkan Belanda saat itu.

Tiga poin utama dalam politik etis Belnada pada masa itu adalah irigasi, migrasi, dan
edukasi. Dalam poin eduksi, peerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya barat untuk
kalangan pribumi. Akan tetapi keberadaan sekolah-sekolah ini ternyata tidak menjadi sarana
pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yang disediakan Belanda ternyata hanya sebatas
mengajari para pribumi berhitung, membaca, dan menulis.

Pada masa ini pula, pendidikan pendidikan rakyat juga turut muncul. Sekolah sekolah
rakyat seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah muncul dan berkembang. Jadi dapat dikatakan
pada masa tersebut terdapat 3 tipe jalur pendidikan yang berbeda:

1) System pendidikan dari masa islam yang diwakili dengan pondok pesantren

2) Pendidikan bergaya barat yang disediakan oleh pemerintah Hindia-Belanda

3) Pendidikan “swasta pro-pribumi” seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah

Golongan baru inilah yang kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui pendidikan.
Perjuangan yang masih bersifat kedaerahan berubah menjadi perjuangan bangsa sejak berdirinya
Budi Utomo pada tahun 1908 dan semakin meningkat dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun
1928. Setelah itu tokoh-tokoh pendidik lainnya adalah Mohammad Syafei dengan Indonesisch
Nederlandse School-nya, Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, dan Kyai Haji Ahmad
Dahlan dengan Pendidikan Muhammadiyah-nya yang semuanya mendidik anak-anak agar bisa
mandiri dengan jiwa merdeka (Pidarta, 2009: 125-33).

b. Zaman Kolonial Jepang

17
Perjuangan bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Kolonial Jepang tetap berlanjut
sampai cita-cita untuk merdeka tercapai. Walaupun bangsa Jepang menguras habis-habisan
kekayaan alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak pantang menyerah dan terus mengobarkan
semangat 45 di hati mereka. Meskipun demikian, ada beberapa segi positif dari penjajahan
Jepang di Indonesia.

Di bidang pendidikan, Jepang telah menghapus dualisme pendidikan dari penjajah


Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi semua orang. Selain itu,
pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan oleh Jepang untuk di pakai di lembaga-
lembaga pendidikan, di kantor-kantor, dan dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini mempermudah
bangsa Indonesia untuk merealisasi Indonesia merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945 cita-cita
bangsa Indonesia menjadi kenyataan ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan kepada
dunia (Mudyahardjo, 2012:266-272).

Sejarah pendidikan yang akan diulas adalah sejak kekuasaan Belanda yang menggantikan
Portugis di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan ditentukan oleh pertimbangan ekonomi
dan politik Belanda di Indonesia (Nasution, 1987:3). Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku
untuk semua kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-
anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah.
Pendidikan bagi pribumi berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat
dibutuhkan oleh penguasa. Sarana pendidikan dibuat dengan biaya yang rendah dengan
pertimbangan kas yang terus habis karena berbagai masalah peperangan.

Kesulitan keuangan dari Belanda akibat Perang Dipenogoro pada tahun 1825 sampai
1830 (Mestoko dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) serta perang Belanda dan Belgia (1830-1839)
mengeluarkan biaya yang mahal dan menelan banyak korban. Belanda membuat siasat agar
pengeluaran untuk peperangan dapat ditutupi dari negara jajahan. Kerja paksa dianggap cara
yang paling ampuh untuk memperoleh keuntungan yang maksimal yang dikenal dengan
cultuurstelsel atau tanam paksa (Nasution, 1987:11). Kerja paksa dapat dijalankan sebagai cara
yang praktis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Rakyat miskin selalu menjadi bagian
yang dirugikan karena digunakan sebagai tenaga kerja murah. Rakyat miskin yang sebagian
bekerja sebagai petani juga dimanfaatkan untuk menambah kas negara penguasa.

18
Untuk melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah, pemerintah
mengusahakan agar bahasa Belanda bisa diujarkan oleh masyarakat untuk mempermudah
komunikasi antara pribumi dan Belanda. Lalu, bahasa Belanda menjadi syarat Klein
Ambtenaarsexamen atau ujian pegawai rendah pemerintah pada tahun 1864. (Nasution, 1987:7).
Syarat tersebut harus dipenuhi para calon pegawai yang akan digaji murah. Pegawai sedapat
mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai kekuasaan tradisional dan
berpendidikan untuk menjamin keberhasilan perusahaan (Nasution, 1987:12). Jadi, anak dari
kaum ningrat dianggap dapat membantu menjamin hasil tanam paksa lebih efektif, karena
masyarakat biasa mengukuti perintah para ningrat. Suatu keadaan yang sangat ironis, kehidupan
terdiri dari lapisan-lapisan sosial yaitu golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan
pribumi sendiri terdapat golongan bangsawan dan orang kebanyakan.

Pemerintah Belanda lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas pendidikan anak
Indonesia melalui politik etis. Politik etis dijalankan berdasarkan faktor ekonomi di dalam
maupun di luar Indonesia, seperti kebangkitan Asia, timbulnya Jepang sebagai Negara modern
yang mampu menaklukkan Rusia, dan perang dunia pertama (Nasution, 1987:17). Politik etis
terutama sebagai alat perusahaan raksasa yang bermotif ekonomis agar upah kerja serendah
mungkin untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Irigasi, transmigrasi, dan pendidikan yang
dicanangkan sebagai kedok untuk siasat meraup keuntungan. Irigasi dibuat agar panen padi tidak
terancam gagal dan memperoleh hasil yang lebih memuaskan. Transmigrasi berfungsi untuk
penyebaran tenaga kerja, salah satunya untuk pekerja perkebunan. Politik etis menjadi program
yang merugikan rakyat.

Pendidikan dasar berkembang sampai tahun 1930 dan terhambat karena krisis dunia,
tidak terkecuali menerpa Hindia Belanda yang disebut mangalami malaise (Mestoko dkk, 1985 :
123). Masa krisis ekonomi merintangi perkembangan lembaga pendidikan. Lalu, lembaga
pendidikan dibuat dengan biaya yang lebih murah. Kebijakan yang dibuat termasuk penyediaan
tenaga pengajar yang terdiri dari tenaga guru untuk sekolah dasar yang tidak mempunyai latar
belakang pendidikan guru (Mestoko, 1985:158), bahkan lulusan sekolah kelas dua dianggap
layak menjadi guru. Masalah lain yang paling mendasar adalah penduduk sulit mendapatkan
uang sehingga pendidikan bagi orang kurang mampu merupakan beban yang berat. Jadi,
pendidikan semakin sulit dijangkau oleh orang kebanyakan. Pendidikan dibuat untuk alat

19
penguasa, orang kebanyakan menjadi target yang empuk diberi pengetahuan untuk dijadikan
tenaga kerja yang murah.

Pendidikan dibuat oleh Belanda memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, gradualisme yang
luar biasa untuk penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Belanda membiarkan
penduduk Indonesia dalam keadaan yang hampir sama sewaktu mereka menginjakkan kaki,
pendidikan tidak begitu diperhatikan. Kedua, dualisme diartikan berlaku dua sistem
pemerintahan, pengadilan dari hukum tersendiri bagi golongan penduduk. Pendidikan dibuat
terpisah, pendidikan anak Indonesia berada pada tingkat bawah. Ketiga, kontrol yang sangat
kuat.

Pemerintah Belanda berada dibawah kontrol Gubernur Jenderal yang menjalankan


pemerintahan atas nama raja Belanda. Pendidikan dikontrol secara sentral, guru dan orang tua
tidak mempunyai pengeruh langsung politik pendidikan. Keempat, Pendidikan beguna untuk
merekrut pegawai. Pendidikan bertujuan untuk mendidik anak-anak menjadi pegawai
perkebunan sebagai tenaga kerja yang murah. Kelima, prinsip konkordasi yang menjaga agar
sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah di
negeri Belanda, anak Indonesia tidak berhak sekolah di pendidikan Belanda. Keenam, tidak
adanya organisasi yang sistematis. Pendidikan dengan ciri-cri tersebut diatas hanya merugikan
anak-anak kurang mampu. Pemerintah Belanda lebih mementingkan keuntungan ekonomi
daripada perkembangan pengetahuan anak-anak Indonesia.

Pemerintah Belanda juga membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai siasat untuk
mengeluarkan biaya yang murah. Sekolah desa diciptakan pada tahun 1907. Tipe sekolah desa
yang dianggap paling cocok oleh Gubernur Jendral Van Heutz sebagai sekolah murah dan tidak
mengasingkan dari kehidupan agraris (Nasution, 1987:78). Kalau lembaga pendidikan
disamakan dengan sekolah kelas dua, pemerintah takut penduduk tidak bekerja lagi di sawah.
Penduduk diupayakan tetap menjadi tenaga kerja demi pengamankan hasil panen.

Sekolah desa dibuat dengan biaya serendah mungkin. Pesantren diubah menjadi
madrasah yang memiliki kurikulum bersifat umum. Pesatren dibumbui dengan pengetahuan
umum. Cara tersebut dianggap efektif, sehingga pemerintah tidak usah membangun sekolah dan

20
mengeluarkan biaya (Nasution, 1987:80). Guru sekolah diambil dari lulusan sekolah kelas dua,
dianggap sanggup menjadi guru sekolah desa. Guru yang lebih baik akan digaji lebih mahal dan
tidak bersedia untuk mengajar di lingkungan desa.

Masa penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan merupakan catatan sejarah yang
kelam. Penjajah membuat pendidikan sebagai alat untuk meraup keuntungan melalui tenaga
kerja murah. Sekolah juga dibuat dengan biaya yang murah, agar tidak membebani kas
pemerintah. Politik etis menjadi tidak etis dalam pelaksanaannya, kepentingan biaya perang yang
sangat mendesak dan berbagai masalah lain menjadi kenyataan yang tercatat dalam sejarah
pendidikan masa Belanda.

Belanda digantikan oleh kekuasaan Jepang. Jepang membawa ide kebangkitan Asia yang
tidak kalah liciknya dari Belanda. Pendidikan semakin menyedihkan dan dibuat untuk
menyediakan tenaga cuma-cuma (romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang
Jepang (Mestoko, 1985 dkk:138). Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi
alat kekuasaan Jepang untuk kepentingan perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang
memiliki landasan idiil hakko Iciu yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk
mencapai kemakmuran bersama Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan
kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.

Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan
digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk melatih
orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang
menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai
pendukung biaya untuk perang melalui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah. Pendidikan
pula yang akan dikembangkan untuk membangun negara Indonesia setelah merdeka.

Setelah kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu menyangkut penyesuaian


bidang pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan kepada kementrian pendidikan,
pengajaran, dan kebudayaan supaya cepat untuk menyediakan dan mengusahakan pembaharuan
pendidikan dan pengajaran sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan (Mestoko, 1985:145).
Lalu, pemerintah mengadakan program pemberantasan buta huruf. Program buta huruf tidak

21
mudah dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan sumber daya, kendala gedung sekolah dan
guru. Kementrian PP dan K juga mengadakan usaha menambah guru melalui kursus selama dua
tahun. Kursus bahasa jawa, bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu pasti(Mestoko dkk, 1985:161).
Program tersebut menunjukkan jumlah orang yang buta huruf seluruh Indonesia sekitar 32,21
juta (kurang lebih 40%), buta huruf pada tahun 1971. Buta huruf yang dimaksud adalah buta
huruf latin (Mestoko dkk, 1985:327). Jadi, kegiatan pemberantasan buta huruf di pedesaan yang
diprogramkan oleh pemerintah untuk menanggulangi angka buta aksara di Indonesia dan buta
pengetahuan dasar, tetapi pendidikan kurang lebih tidak berdampak pada rumah tangga kurang
mampu.

Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama dari sektor
pertanian menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus gampang muncul kembali, contoh
yang paling terkenal dengan akibat yang hampir serupa seperti cara-cara dan praktek pada jaman
Jepang, bimas gotong royong yang diadakan pada tahun 1968-1969 disebut bimas gotong royong
karena merupakan usaha gotong royong antara pemerintah dan swasta (asing dan nasional) untuk
meyelenggarakan intensifikasi pertanian dengan menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277,
Mubyarto, 1987:37). Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi beras dalam waktu
sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB
8.37. Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan
penanaman bibit dari Taiwan. Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak penguasa.
Cara tersebut kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai cara
untuk menghasilkan panen yang lebih maksimal. Muller (1979:73) menyatakan berdasarkan
penelitian yang dilakukan di Indonesia bahwa sebagaian besar masyarakat yang masih hidup
dalam kemiskinan, paling-paling hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling minim, dan
hampir tidak bisa beradaptasi aktif sedangkan golongan atas hidup dalam kemewahan.

Pendidikan pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit dicapai oleh orang-
orang dari rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan dan diberi pengetahuan untuk
kepentingan pihak penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan untuk mencapai
keuntungan yang maksimal. Setelah jaman kemerdekaan, rakyat dari rumah tangga kurang
mampu terus menjadi sumber pemaksaan secara halus untuk pengembangan bibit padi unggul.

22
Pendidikan sebagai alat penguasa untuk mengembangkan program yang dianggap dapat
mendukung peningkatan pemasukan pemerintah.

2. Periode Sesudah Kemerdekaan Indonesia

Setelah kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kemudian pada tanggal 3


Januari 1946 dibentuklah Departemen Agama yang akan mengurus masalah keberagamaan di
Indonesia termasuk di dalamnya pendidikan, khususnya madrasah. Namun pada perkembangan
selanjutnya, madrasah walaupun sudah berada di bawah naungan Depag tetapi hanya sebatas
pembinaan dan pengawasan.[33]

Sungguhpun pendidikan Islam di Indonesia telah berjalan lama dan mempunyai sejarah
panjang, namun dirasakan, pendidikan Islam masih tersisih dari sistem Pendidikan Nasional.
Keadaan ini berlangsung sampai dengan dikeluarkannya SKB 3 Menteri tanggal 24 Maret 1975
yang berusaha mengembalikan ketertinggalan pendidikan Islam untuk memasuki mainstream
pendidikan nasional.[34] Kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi madrasah,
karena pertama, ijazah dapat mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum yang sederajat,
kedua, lulusan sekolah madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih
tinggi, dan ketiga, siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat.

Dengan SKB tersebut, madrasah memperoleh definisi yang semakin jelas sebagai
lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah sekalipun pengelolaannya berada di bawah
Departemen Agama. Namun pada perkembangan selanjutnya akhir dekade 1980-an dunia
pendidikan Islam memasuki era integrasi dengan lahirnya UU No. 2/1989 tentang sistem
Pendidikan Nasional, eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan yang bercirikan Islam
semakin mendapatkan tempatnya.

1. Sejarah Pendidikan Indonesia Masa Kolonial

Sejarah pendidikan yang akan diulas adalah sejak kekuasaan Belanda yang menggantikan
Portugis di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan ditentukan oleh pertimbangan ekonomi
dan politik Belanda di Indonesia (Nasution, 1987:3). Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku
untuk semua kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-

23
anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah.
Pendidikan bagi pribumi berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat
dibutuhkan oleh penguasa. Sarana pendidikan dibuat dengan biaya yang rendah dengan
pertimbangan kas yang terus habis karena berbagai masalah peperangan.

Kesulitan keuangan dari Belanda akibat Perang Dipenogoro pada tahun 1825 sampai
1830 (Mestoko dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) serta perang Belanda dan Belgia (1830-1839)
mengeluarkan biaya yang mahal dan menelan banyak korban. Belanda membuat siasat agar
pengeluaran untuk peperangan dapat ditutupi dari negara jajahan. Kerja paksa dianggap cara
yang paling ampuh untuk memperoleh keuntungan yang maksimal yang dikenal dengan
cultuurstelsel atau tanam paksa (Nasution, 1987:11). Kerja paksa dapat dijalankan sebagai cara
yang praktis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Rakyat miskin selalu menjadi bagian
yang dirugikan karena digunakan sebagai tenaga kerja murah. Rakyat miskin yang sebagian
bekerja sebagai petani juga dimanfaatkan untuk menambah kas negara penguasa.

Untuk melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah, pemerintah
mengusahakan agar bahasa Belanda bisa diujarkan oleh masyarakat untuk mempermudah
komunikasi antara pribumi dan Belanda. Lalu, bahasa Belanda menjadi syarat Klein
Ambtenaarsexamen atau ujian pegawai rendah pemerintah pada tahun 1864. (Nasution, 1987:7).
Syarat tersebut harus dipenuhi para calon pegawai yang akan digaji murah. Pegawai sedapat
mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai kekuasaan tradisional dan
berpendidikan untuk menjamin keberhasilan perusahaan (Nasution, 1987:12). Jadi, anak dari
kaum ningrat dianggap dapat membantu menjamin hasil tanam paksa lebih efektif, karena
masyarakat biasa mengukuti perintah para ningrat. Suatu keadaan yang sangat ironis, kehidupan
terdiri dari lapisan-lapisan sosial yaitu golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan
pribumi sendiri terdapat golongan bangsawan dan orang kebanyakan.

Pemerintah Belanda lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas pendidikan anak
Indonesia melalui politik etis. Politik etis dijalankan berdasarkan faktor ekonomi di dalam
maupun di luar Indonesia, seperti kebangkitan Asia, timbulnya Jepang sebagai Negara modern
yang mampu menaklukkan Rusia, dan perang dunia pertama (Nasution, 1987:17). Politik etis
terutama sebagai alat perusahaan raksasa yang bermotif ekonomis agar upah kerja serendah

24
mungkin untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Irigasi, transmigrasi, dan pendidikan yang
dicanangkan sebagai kedok untuk siasat meraup keuntungan. Irigasi dibuat agar panen padi tidak
terancam gagal dan memperoleh hasil yang lebih memuaskan. Transmigrasi berfungsi untuk
penyebaran tenaga kerja, salah satunya untuk pekerja perkebunan. Politik etis menjadi program
yang merugikan rakyat.

Pendidikan dasar berkembang sampai tahun 1930 dan terhambat karena krisis dunia,
tidak terkecuali menerpa Hindia Belanda yang disebut mangalami malaise (Mestoko dkk, 1985 :
123). Masa krisis ekonomi merintangi perkembangan lembaga pendidikan. Lalu, lembaga
pendidikan dibuat dengan biaya yang lebih murah. Kebijakan yang dibuat termasuk penyediaan
tenaga pengajar yang terdiri dari tenaga guru untuk sekolah dasar yang tidak mempunyai latar
belakang pendidikan guru (Mestoko, 1985:158), bahkan lulusan sekolah kelas dua dianggap
layak menjadi guru. Masalah lain yang paling mendasar adalah penduduk sulit mendapatkan
uang sehingga pendidikan bagi orang kurang mampu merupakan beban yang berat. Jadi,
pendidikan semakin sulit dijangkau oleh orang kebanyakan. Pendidikan dibuat untuk alat
penguasa, orang kebanyakan menjadi target yang empuk diberi pengetahuan untuk dijadikan
tenaga kerja yang murah.

Pendidikan dibuat oleh Belanda memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, gradualisme yang
luar biasa untuk penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Belanda membiarkan
penduduk Indonesia dalam keadaan yang hampir sama sewaktu mereka menginjakkan kaki,
pendidikan tidak begitu diperhatikan. Kedua, dualisme diartikan berlaku dua sistem
pemerintahan, pengadilan dari hukum tersendiri bagi golongan penduduk. Pendidikan dibuat
terpisah, pendidikan anak Indonesia berada pada tingkat bawah. Ketiga, kontrol yang sangat
kuat.

Pemerintah Belanda berada dibawah kontrol Gubernur Jenderal yang menjalankan


pemerintahan atas nama raja Belanda. Pendidikan dikontrol secara sentral, guru dan orang tua
tidak mempunyai pengeruh langsung politik pendidikan. Keempat, Pendidikan beguna untuk
merekrut pegawai. Pendidikan bertujuan untuk mendidik anak-anak menjadi pegawai
perkebunan sebagai tenaga kerja yang murah. Kelima, prinsip konkordasi yang menjaga agar
sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah di

25
negeri Belanda, anak Indonesia tidak berhak sekolah di pendidikan Belanda. Keenam, tidak
adanya organisasi yang sistematis. Pendidikan dengan ciri-cri tersebut diatas hanya merugikan
anak-anak kurang mampu. Pemerintah Belanda lebih mementingkan keuntungan ekonomi
daripada perkembangan pengetahuan anak-anak Indonesia.

Pemerintah Belanda juga membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai siasat untuk
mengeluarkan biaya yang murah. Sekolah desa diciptakan pada tahun 1907. Tipe sekolah desa
yang dianggap paling cocok oleh Gubernur Jendral Van Heutz sebagai sekolah murah dan tidak
mengasingkan dari kehidupan agraris (Nasution, 1987:78). Kalau lembaga pendidikan
disamakan dengan sekolah kelas dua, pemerintah takut penduduk tidak bekerja lagi di sawah.
Penduduk diupayakan tetap menjadi tenaga kerja demi pengamankan hasil panen.

Sekolah desa dibuat dengan biaya serendah mungkin. Pesantren diubah menjadi
madrasah yang memiliki kurikulum bersifat umum. Pesatren dibumbui dengan pengetahuan
umum. Cara tersebut dianggap efektif, sehingga pemerintah tidak usah membangun sekolah dan
mengeluarkan biaya (Nasution, 1987:80). Guru sekolah diambil dari lulusan sekolah kelas dua,
dianggap sanggup menjadi guru sekolah desa. Guru yang lebih baik akan digaji lebih mahal dan
tidak bersedia untuk mengajar di lingkungan desa.

Masa penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan merupakan catatan sejarah yang
kelam. Penjajah membuat pendidikan sebagai alat untuk meraup keuntungan melalui tenaga
kerja murah. Sekolah juga dibuat dengan biaya yang murah, agar tidak membebani kas
pemerintah. Politik etis menjadi tidak etis dalam pelaksanaannya, kepentingan biaya perang yang
sangat mendesak dan berbagai masalah lain menjadi kenyataan yang tercatat dalam sejarah
pendidikan masa Belanda.

Belanda digantikan oleh kekuasaan Jepang. Jepang membawa ide kebangkitan Asia yang
tidak kalah liciknya dari Belanda. Pendidikan semakin menyedihkan dan dibuat untuk
menyediakan tenaga cuma-cuma (romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang
Jepang (Mestoko, 1985 dkk:138). Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi
alat kekuasaan Jepang untuk kepentingan perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang
memiliki landasan idiil hakko Iciu yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk

26
mencapai kemakmuran bersama Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan
kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.

Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan
digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk melatih
orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang
menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai
pendukung biaya untuk perang melalui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah. Pendidikan
pula yang akan dikembangkan untuk membangun negara Indonesia setelah merdeka.

Setelah kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu menyangkut penyesuaian


bidang pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan kepada kementrian pendidikan,
pengajaran, dan kebudayaan supaya cepat untuk menyediakan dan mengusahakan pembaharuan
pendidikan dan pengajaran sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan (Mestoko, 1985:145).
Lalu, pemerintah mengadakan program pemberantasan buta huruf. Program buta huruf tidak
mudah dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan sumber daya, kendala gedung sekolah dan
guru. Kementrian PP dan K juga mengadakan usaha menambah guru melalui kursus selama dua
tahun. Kursus bahasa jawa, bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu pasti(Mestoko dkk, 1985:161).
Program tersebut menunjukkan jumlah orang yang buta huruf seluruh Indonesia sekitar 32,21
juta (kurang lebih 40%), buta huruf pada tahun 1971. Buta huruf yang dimaksud adalah buta
huruf latin (Mestoko dkk, 1985:327). Jadi, kegiatan pemberantasan buta huruf di pedesaan yang
diprogramkan oleh pemerintah untuk menanggulangi angka buta aksara di Indonesia dan buta
pengetahuan dasar, tetapi pendidikan kurang lebih tidak berdampak pada rumah tangga kurang
mampu.

Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama dari sektor
pertanian menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus gampang muncul kembali, contoh
yang paling terkenal dengan akibat yang hampir serupa seperti cara-cara dan praktek pada jaman
Jepang, bimas gotong royong yang diadakan pada tahun 1968-1969 disebut bimas gotong royong
karena merupakan usaha gotong royong antara pemerintah dan swasta (asing dan nasional) untuk
meyelenggarakan intensifikasi pertanian dengan menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277,
Mubyarto, 1987:37). Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi beras dalam waktu

27
sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB
8.37. Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan
penanaman bibit dari Taiwan. Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak penguasa.
Cara tersebut kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai cara
untuk menghasilkan panen yang lebih maksimal. Muller (1979:73) menyatakan berdasarkan
penelitian yang dilakukan di Indonesia bahwa sebagaian besar masyarakat yang masih hidup
dalam kemiskinan, paling-paling hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling minim, dan
hampir tidak bisa beradaptasi aktif sedangkan golongan atas hidup dalam kemewahan.

Pendidikan pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit dicapai oleh orang-
orang dari rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan dan diberi pengetahuan untuk
kepentingan pihak penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan untuk mencapai
keuntungan yang maksimal. Setelah jaman kemerdekaan, rakyat dari rumah tangga kurang
mampu terus menjadi sumber pemaksaan secara halus untuk pengembangan bibit padi unggul.
Pendidikan sebagai alat penguasa untuk mengembangkan program yang dianggap dapat
mendukung peningkatan pemasukan pemerintah.

B. PENDIDIKAN PADA MASA KOLONIAL

A. Pendidikan Pada Masa Portugis

Karena berkembangnya perdagangan, pada awal abad ke-16 datanglah Portugis ke


Indonesia yang kemudian disusul bangsa Spanyol. Selain untuk berdagang, mereka juga
menyebarkan agama Nasrani (Khatolik). Waktu orang-orang Portugis datang ke Indonesia,
mereka dibarengi oleh missionaris, yang diberi tugas untuk menyebarkan agama Khatolik di
kalangan penduduk Indonesia. Seorang di antaranya adalah Franciscus Xaverius, yang dianggap
sebagai peletak batu pertama Khatolik di Indonesia. Franciscus Xaverius berpendapat bahwa
untuk memperluas penyebaran agama Khatolik itu perlu sekali didirikan sekolah-sekolah. Pada
tahun 1536 didirikan sebuah seminarie di Ternate, yang merupakan sekolah agama bagi anak-
anak orang terkemuka. Selain pelajaran agama diberikan juga pelajaran membaca, menulis dan
berhitung. Di Solor juga didirikan semacam seminarie dan mempunyai ±50 orang murid, di
sekolah ini juga diajarkan bahasa Latin. Pada tahun 1546 di Ambon sudah ada tujuh kampung

28
yang penduduknya beragama Khatolik, ternyata di sana juga diselenggarakan pengajaran untuk
rakyat umum. Karena sering timbul pemberontakan, maka pada akhir abad-16 habislah
kekuasaan Portugis di Indonesia. Ini berarti habis pula riwayat missi Khatolik di Maluku. Missi
ini adalah missi negara, artinya para missionaris mendapat jaminan hidup dari negara. Maka 
jatuhnya negara mengakibatkan hilangnya tenaga missi itu, sehingga usaha-usaha  pendidikan
terpaksa harus dihentikan.

B. Pendidikan Pada Masa Belanda

Tahun  1596, di bawah pimpinan Cornelis Ed Houtman, Belanda pertama kalinya datang
ke Indonesia. Misi kedatangannya adalah berdagang. Dengan menyusuri pantai Jawa, Belanda
akhirnya mencapai daerah Timur (Ambon dan sekitarnya). Mereka kembali dengan membawa
rempah-rempah yang cukup banyak. Sejak saat itu pedagang Belanda yang datang ke Indonesia
semakin ramai. Untuk menghindari persaingan, tahun 1602 Belanda mendirikan VOC (Persatuan
Dagang Hindia Timur). Dengan dalih perdagangan inilah, VOC terus memperkuat
perdagangannya. Lewat politik yang dilakukannya dengan raja-raja Jawa, VOC sebagai
kepanjangan tangan Belanda akhirnya menjadikan Indonesia sebagai daerah jajahan (koloni).
           Untuk lebih memperkuat kedudukan, Belanda mendirikan sekolah-sekolah bagi
anak-anak Indonesia. Sekolah ini bertujuan menghasilkan pegawai-pegawai rendahan baik untuk
pegawai negeri maupun pegawai swasta. Pembukaan sekolah itu didorong oleh kebutuhan
praktis berkaitan dengan pekerjaan di berbagai bidang dan kejuruan. Secara umum
kecenderungan penyelenggaraan pendidikan kolonial adalah sebagai berikut:
(1)   Membiarkan terselenggaranya pendidikan Islam tradisional serta membantu
mendirikan beberapa madrasah Islamiah di Nusantara misalnya:
a.       Melanjutkan sistem lama dalam bentuk pengajian Al-qur’an dan Kitab Kuning.
b.      Mendirikan pondok pesantren modern misalnya di Jombang Ponpes Tebuireng, di
Ponorogo Ponpes Gontor.
c.       Mendirikan sekolah agama atau madrasah misalnya madrasah adabiah di Aceh,
Madrasah maktab Islamiah di Tapanuli medan.
(2)   Mendirikan sekolah Zending (misionaris) yang bertujuan menyebarkan agama
Kristen untuk orang-orang Belanda dan buni putra. Beberapa sekolah yang didirikan Belanda
misalnya:

29
a.       1607 mendirikan sekolah di Ambon dengan bahasa Melayu dan Belanda.
b.      1622 mendirikan sekolah di Kepulauan Banda lengkap dengan asrama
c.       1630 mendirikan sekolah Warga Masyarakat di Jakarta untuk tingkat sekolah dasar
yang mendidik budi pekerti.
d.      16422 mendirikan sekolah latin (tingkat SMP) di Jakarta.
e.       1745 mendirikan Seminari Theologika untuk mendidik calon pendeta
f.       1817 mendirikan sekolah dasar Eropa, untuk penduduk Eropa (semua orang
Belanda, semua orang yang asalnya dari Eropa, semua orang Jepang). Sekolah dasar ini terus
berkembang, pada tahun 1902 menjadi 173 buah.
g.      1860 mendirikan Gymnasium  (sekolah lanjutan) Willem III, merupakan sekolah
lanjutan tingkat pertama untuk orang Eropa di Batavia.
h.      1848 atas keputusan Raja mendirikan 20 sekolah dasar Bumiputera di setiap
Karesidenan Jawa.
i.        1892 sekolah dasar dibagti menjadi dua kategori, yaitu: sekolah dasar Kelas
Pertama ( de schoolen der eerste klasse) untuk golongan Bumiputera (bangsawan & penduduk
yang kaya) dan sekolah dasar Kelas Dua (de schoolen der tweede klasse) untuk Bumiputera
umum.
j.        1856 mendirikan sekolah guru (kweeksschool) di Surakarta, 1874 di Ambon, 1875
di Probolinggo, 1875 di Banjarmasin, 1876 di Makassar, 1879 di Padang Sidempuan.
k.      1851 mendirikan sekolah dokter Jawa dengan lama pendidikan 2 tahun setelah
sekolah rakyat 5 tahun.
                
            Dari sekolah-sekolah yang didirikan Belanda dapat dilihat beberapa ciri khas,
antara lain: (a) dualistik diskriminatif, yaitu untuk membedakan pendidikan untuk orang Eropa
dan Bumiputera , (b) sentralistik yaitu pemerintah kolonial Belanda memiliki hak mengatur
pendidikan di daerah koloninya, dan (c) tujuannya untuk dapat menghasilkan tamatan yang
menjadi warga negara Belanda kelas dua.

Didorong oleh kebutuhan praktis berkaitan dengan pekerjaan diberbagai bidang, Belanda
mendirikan sekolah-sekolah untuk rakyat Indonesia dengan tujuan menghasilkan pegawai-
pegawai rendahan baik sebagai pegawai negeri maupun swasta. Adapun kecenderungan

30
pendidikan masa kolonial ini adalah:1) membiarkan terselengarakannya pendidikan islam
tradisional serta membantu mendirikan madrasah Islam di Nusantara, 2) mendirikan sekolah
Zending (mizionaris) yang bertujuan menyebarkan agama kristen. Adapun ciri khas
pendidikannya antara lain: 1) dualistik diskriminatif, 2) sentralistik, 3) tujuan pendidikan untuk
menghasilkan tamatan sebagai warga negara Belanda kelas dua.

Kurikulum sekolah mengalami radikal dengan masuknya ide-ide liberal tersebut yang
bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual, nilai-nilai rasional dan sosial. Pada awalnya
kurikulum ini hanya diterapkan untuk anak-anak Belanda selama setengah abad ke-19. Setelah
tahun 1848 dikeluarkan peraturan pemerintah yang menunjukkan bahwa pemerintah lambat laun
menerima tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia sebagai hasil
perdebatan di parlemen Belanda dan mencerminkan sikap liberal yang lebih menguntungkan
rakyat Indonesia. Pda tahun 1899 terbit sebuah artikel oleh Van Deventer berjudul Hutang
Kehormatan dalam majalah De Gids, Ia menganjurkan agar pemerintah lebih memajukan
kesejahterran rakyat Indonesia. Ekspresi ini kemudian dikenal dengan Politik Etis. Sejak
dijalankannya Politik Etis ini tampak kemajuan yang lebih pesat dalam bidang pendidikan
selama beberapa dekade. Pendidikan yang berorientasi Barat ini meskipun masih bersifat terbatas
untuk beberapa golongan saja, antara lain anak-anak Indonesia yang orang tuanta adalah pegawai
pemerintah Belanda, telah menimbulkan elite intelektual baru.

Golongan baru inilah yang kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui pendidikan.
Perjuangan yang masih bersifat kedaerahan berubah menjadi perjuangan bangsa sejak berdirinya
Budi Utomo pada tahun 1908 dan semakin meningkat dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun
1928.

Dengan berakhirnya kekuasaan Portugis, maka timbullah kekuasaan baru, yakni Belanda.
Belanda semula datang ke Indonesia untuk berdagang. Orang Belanda, yang telah bersatu dalam
badan perdagangan VOC, menganggap perlu menggantikan agama Khatolik yang telah
disebarkan oleh orang Portugis dengan agamanya, yaitu agama Protestan. Untuk keperluan

31
inilah, maka didirikan sekolah-sekolah, terutama di daerah yang dahulu telah dinasranikan oleh
Portugis dan Spanyol.

Sekolah pertama didirikan VOC di Ambon pada tahun 1607. Pelajaran yang diberikan
berupa membaca, menulis dan sembahyang. Sebagai gurunya maka diangkat orang Belanda,
yang mendapat upah.

Memasuki abad ke 16, bangsa Portugis datang ke Indonesia dengan tujuan perdagangan
dan berusaha menyebarkan agama katolik. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendatang Portugis
ini mendirikan sekolah yang bertujuan memberikan pendidikan baca, tulis, dan hitung sekaligus
mempermudah penyebaran agama katolik. Masuknya masa pendudukan Belanda membuat
kegiatan belajar mengajar di sekolah milik pendatang Portugis menjadi terhenti.

Belanda juga membawa misi serupa Portugis yaitu menyebarkan agama Protestan kepada
masyarakat setempat. Untuk mewujudkan misi ini, Belanda melanjutkan apa yang dirintis oleh
bangsa Portugis dengan mengaktifkan kembali beberapa sekolah berbasis keagamaan dan
membangun sekolah baru di beberapa wilayah. Ambon menjadi tempat yang pertama dipilih
oleh Belanda dan setiap tahunnya, beberapa penduduk Ambon dikirim ke Belanda untuk dididik
menjadi guru. Memasuki tahun 1627, telah terdapat 16 sekolah yang memberikan pendidikan
kepada sekitar 1300 siswa.

Setelah mengembangkan pendidikan di Ambon, Belanda memperluas pendidikan di


pulau Jawa dengan mendirikan sekolah di Jakarta pada tahun 1617. Berbeda dengan Ambon,
tidak diketahui apakah ada calon guru lulusan dari sekolah ini yang dikirim ke Jakarta. Lulusan
dari sekolah tersebut dijanjikan bekerja di berbagai kantor administratif milik Belanda.

Memasuki abad ke 19, saat Van den Bosch menjabat Gubernur Jenderal, Belanda
menerapkan sistem tanam paksa yang membutuhkan banyak tenaga ahli. Keadaan ini membuat
Belanda mendirikan 20 sekolah untuk penduduk Indonesia di setiap ibukota karesidenan dimana
pelajar hanya boleh berasal dari kalangan bangsawan. Ketika era tanam paksa berakhir dan
memasuki masa politik etis, beberapa sekolah Belanda mulai menerima pelajar dari berbagai
kalangan yang kemudian berkembang menjadi bernama Sekolah Rakjat.

32
Pada akhir era abad ke 19 dan awal abad ke 20, Belanda memperkenalkan sistem
pendidikan formal bagi masyarakat Indonesia dengan struktur sebagai berikut.

 ELS (Europeesche Lagere School) – Sekolah dasar bagi orang eropa.


 HIS (Hollandsch-Inlandsche School) – Sekolah dasar bagi pribumi.
 MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) – Sekolah menengah.
 AMS (Algeme(e)ne Middelbare School) – Sekolah atas.
 HBS (Hogere Burger School) – Pra-Universitas.

Memasuki abad ke 20, Belanda memperdalam pendidikan di Indonesia dengan


mendirikan sejumlah perguruan tinggi bagi penduduk Indonesia di pulau Jawa. Beberapa
perguruan tinggi tersebut adalah:

 School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) – Sekolah kedokteran di Batavia.
 Nederland-Indische Artsen School (NIAS) – Sekolah kedokteran di Surabaya.
 Rechts Hoge School – Sekolah hukum di Batavia.
 De Technische Hoges School (THS) – Sekolah teknik di Bandung.

Hubungan antara Kompeni dengan rakyat di Pulau Jawa tidak serapat di Maluku. Ini
disebabkan oleh 2 hal:

1. Rakyat di pulau Jawa sedikit sekali menghasilkan rempah-rempah untuk keperluan pasar
dunia. Untuk mendapatkan rempah-rempah itu VOC tidak perlu  berhubungan langsung dengan
rakyat, sudah cukup bila berhubungan dengan kepala-kepala saja.
2. Rakyat di Pulau Jawa tidak terkena pengaruh Portugis. Agama Khatolik tidak masuk ke
pulau Jawa. Jadi tidak ada alasan bagi Kompeni untuk mempengaruhi rakyat di Pulau Jawa.

Karena dua alasan itulah, maka di Pulau Jawa tidak ada susunan persekolahan dan gereja yang
seluas di Maluku. Sekolah pertama di Jakarta didirikan pada tahun 1617. Lima tahun kemudian
sekolah itu mempunyai murid 92 laki-laki dan 45 perempuan. Tujuan dari sekolah ini adalah
menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang cakap, yang kelak dapat dipekerjakan pada 

33
pemerintahan, administrasi dan gereja. Sampai tahun 1786 dipergunakan bahasa Belanda sebagai
bahasa pengantar.

Dalam abad ke-17 dan 18 pendidikan kejuruan tidak diselenggarakan. Inipun tidak
mengherankan, kerena pengajaran Kompeni mempunyai dasar keagamaan. Pikiran,  bahwa taraf
ekonomi masyarakat dapat dinaikkan oleh pendidikan kejuruan, baru muncul dalam abad ke-19.

Dengan bertambah meluasnya pendidikan di Indonesia pada abad ke-20, timbullah


golongan baru dalam masyarakat di Indonesia, yaitu golongan cerdik  pandai yang mendapat
pendidikan Barat, tapi tidak mendapat tempat maupun  perlakuan yang sewajarnya dalam
masyarakat kolonial. Pendidikan menimbulkan keinsyafan nasional dan keinsyafan bernegara.
Dengan alat dan senjata yang dipelajarinya dari Barat sendiri, yaitu organisasi rakyat cara
modern, lengkap dengan susunan pengurus pusat dan cabang di daerah-daerah. Pergerakan ini
dicetuskan kaum cerdik pandai, sebagian besar keturunan kaum bangsawan. Partai maupun
pergerakan - pergerakan yang timbul sesudah tahun 1908 ada yang  berdasarkan agama seperti
Sarekat Islam, ada yang berdasarkan sosial seperti Muhammadiyah, ada pula yang berazaskan
kebangsaan, seperti Indische Partij, yang  pertama sekali merumuskan semboyan Indie los van
Nederland yang diambil alih PNI dan diterjemahkan menjadi “Indonesia Merdeka” (1928).

C. Pendidikan Pada Masa Jepang

Indonesia menjadi daerah koloni Jepang pada tahun 1942 s/d 1945. Masa itu berada pada
situasi Perang Dunia sehingga pemerintah Jepang bersifat militeristik. Pada awalnya, kedatangan
Jepang disambut gembira karena Jepang berhasil mengelabui masyarakat Indonesia dengan
taktik Jepang sebagai saudara tua bangsa Indonesia, walaupun pada akhir Jepang juga
menjadikan Indonesia sebagai jajahan.
Penyelenggaraan pendidikan zaman Jepang ditujukan untuk menghasilkan tentara yang
siap memenangkan perang bagi Jepang. Oleh karena itu banyak pemuda dilatih baris berbaris,
bela diri, menggunakan senjata sehingga lahir Keibodan (polisi pembantu), Heiho (tentara
pembantu), Fujinkai (sukarelawan wanita) yang semuanya bergabung dalam Peta (Pembala
Tanah Air). Disamping itu, bahasa Indonesia banyak digunakan di sekolah-sekolah, bahasa

34
Jepang sebagai bahasa kedua sedang bahasa Belanda dilarang. Sistem dualistic deskriminatif
dihapus dan dirintis pengintegrasian jenis sekolah.
Sekolah yang didirikan Belanda dirombak, misalnya sekolah rendah (Lagere Onderwijs)
diganti Sekolah Rakyat (Kokumin Gakho) terbuka untuk semua penduduk dengan lama
pendidikan enam tahun. Perhatian Jepang pada pendidikan sangat besar, dibuktikan dengan
mendirikan Sekolah Guru dua tahun (Sato Sikan Gakho), Sekolah Guru empat tahun (Guto Sikan
Ghako) dan Sekolah Guru enam tahun (Koto Sikan Ghako). Pembinaan guru dilakukan dengan
indoktrinasi mental ideologis Hakko ichi-U untuk kemakmuran bersama Asia Raya, latihan
kemiliteran, olahraga dengan lagu-lagu Jepang (taiso), menyanyikan lagu kebangsaan Jepang
(Kimigayo), mengibarkan bendera Jepang (Hinimaru) dan menghormati kaisar Jepang (Tenno
Heka), kerja bakti di jalan raya, asrama militer, menanam pohon jarak dan lain-lain.

Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942 yang pada masa itu sedang terjadi Perang
Dunia sehingga berimbas pada pemerintahan Jepang yang bersifat militeristik. Dalam misinya
menguasai Indonesia, Jepang banyak melakukan perubahan. Termasuk dibidang pendidikan,
penyelenggaraannya ditujukan untuk menghasilkan tentara yang siap memenangkan perang bagi
Jepang. Selain itu, di bidang pendidikan secara luas ada beberapa segi positif dari penjajahan
Jepang di Indonesia antara lain: a) Jepang telah menghapus dualisme pendidikan dari penjajah
Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi semua orang, b) pemakaian
bahasa Indonesia secara luas diinstrusikan oleh Jepang untuk di pakai di lembaga-lembaga
pendidikan, di kantor-kantor dan dalam pergaulan sehari-hari. Bahas Jepang sebagai bahasa
kedua sedang bahasa Belanda dilarang, c) Jepang mendirikan sekolah guru dengan sistem
pembinaan indoktrinasi mental ideologis, d) pembinaan murid dan para pemuda dilakukan
dengan senam pagi (taiso).

Zaman penjajahan Jepang berlangsung pendek (7 Maret 1942 – 17 Agustus 1945).


Karena Indonesia dikuasai Jepang di masa perang, segala usaha Jepang ditujukan untuk perang.
Murid-murid disuruh bergotong-royong mengumpulkan batu, kerikil dan pasir untuk pertahanan.
Pekarangan sekolah ditanami dengan ubi dan sayur-mayur untuk bahan makanan. Murid disuruh
menanam pohon jarak untuk menambah minyak untuk kepentingan perang. Yang terpenting bagi
kita di zaman Jepang ialah dengan kerobohan kekuasaan Belanda diikuti pula tumbangnya sistem
pendidikan kolonial yang pincang. Karena pemerintahan militer Jepang menginternir banyak

35
orang Belanda, maka sekolah-sekolah untuk anak Belanda dan Indonesia kalangan atas ikut
lenyap. Tinggal susunan sekolah yang semata-mata untuk anak-anak Indonesia saja. Sekolah
rendah seperti Sekolah Desa 3 tahun, Sekolah Sambungan 2 tahun, ELS, HIS, HCS yang masing-
masing 7 tahun, Schakel School 5 tahun, dan MULO dihapus semua. Yang ada hanya Sekolah
Rakyat (Kokomin Gakko) yang memberikan pendidikan selama 6 tahun, sekolah menengah yang
dibuka ialah Cu Gakko (laki-laki) dan Zyu Gakko (perempuan) yang lama pendidikannya selama
3 tahun. Selain sekolah menengah, banyak pula didirikan sekolah kejuruan, yang terbanyak ialah
sekolah guru. Jepang menganggap sekolah guru penting sekali, karena sekolah itu yang akan
menyiapkan tenaga dalam jumlah yang besar untuk memompakan dan mempropagandakan
semangat Jepang kepada anak didik.

Memasuki masa pendudukan Jepang, sistem pendidikan Belanda dihentikan dan


digantikan oleh sistem pendidikan dari Jepang. Jepang menyediakan sekolah rakyat (Kokumin
Gakko) sebagai pendidikan dasar, sekolah menengah sebagai pendidikan menengah, dan sekolah
kejuruan bagi guru. Berbeda dengan sistem pendidikan Belanda yang dibatasi bagi kalangan
tertentu, pendidikan yang diterapkan Jepang tersedia bagi semua kalangan.

Jepang melarang sekolah mengadakan pendidikan dalam bahasa Belanda. Mereka


menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama diikuti bahasa Jepang sebagai bahasa kedua.
Selain itu, Jepang juga banyak menanamkan ideologi mental kebangsaan dengan
memberlakukan tradisi seperti menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, senam bersama
menggunakan lagu Jepang (taiso), mengibarkan bendera, dan penghormatan terhadap kaisar.

D. Pendidikan Pada Masa Kemerdekaan

a. Pendidikan di Indonesia Setelah Kemerdekaan (1945-1969) 

Pendidikan dan pengajaran sampai tahun 1945 di selenggarakan oleh kentor pengajaran yang
terkenal dengan nama jepang Bunkyio Kyoku dan merupakan bagian dari kantor penyelenggara
urusan pamong praja yang disebut dengan Naimubu. Setelah di proklamasikannya kemerdekaan,
pemerintah Indonesia yang baru di bentuk menunjuk Ki Hajar Dewantara, pendiri taman siswa,
sebagai menteri pendidikan dan pengajaran mulai 19 Agustus sampai 14 November 1945,

36
kemudian diganti oleh Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dari tanggal 14 November 1945 sampai dengan 12
Maret 1946. tidak lama kemudian Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dig anti oleh Mohamad Syafei dari 12
Maret 1946 sampai dengan 2 Oktober 1946. karena masa jabatan yang umumnya amat singkat,
pada dasarnya tidak bayak yang dapat diperbuat oleh para mentri tersebut.

1. Tujuan Dan Kurikulum Pendidikan 

Dalam kurun waktu 1945-1969, tujuan pendidikan nasional Indonesia mengalami lima kali
perubahan. Sebagaimana tertuang dalam surat keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan (PP & K), Mr. Suwandi, tanggal 1 Maret 1946, tujuan pendidikan nasional pada
masa awal kemerdekaan amat menekankan penanaman jiwa patriotosme. Hal ini dapat di
pahami, karena pada saat itu bangsa Indonesia baru saja lepas dari penjajah yang berlangsung
ratusan tahun, dan masih ada gelagat bahwa Belanda ingin kembali menjajah Indonesia. Oleh
karena itu penanaman jiwa patrionisme melalui pendidikan dianggap merupakan jawaban guna
mempertahankan negara yang baru diproklamasikan.

Sejalan dengan perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan nasional Indonesia
pun mengalami perluasan; tidak lagi semata menekan jiwa patrionisme. Dalam Undang-Undang
No. 4/1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. “Tujuan pendidikan dan
pengajaran ialah membentuk manusia yang cukup dan warga negara yang demokaratis secara
bertanggung jawab tentang kesejahtraan masyarakat dan tanah air”.
Kurikulum sekolah pada masa-masa awal kemerdekaan dan tahun 1950-an di tujukan untuk:

• meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat,


• meningkatkan pendidikan jasmani,
• meningkatkan pendidikan watak,
• menberikan perhatian terhafap kesenian,
• menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, dan
• mengurangi pendidikan pikiran.

37
Menyusul meletusnya G-30 S/PKI yang gagal, maka melalui TAP MPRS No.
XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan kebudayaan di adakan perubahan dalam
rumusan tujuan pendidikan nasional yaitu, “Membentuk manusia pancasilais sejati berdasarkan
ketentuan-ketentuan seperti yang dikenhendaki oleh pembukaan UUD 1945”.

2. Sistem Persekolahan

Sistem pendidikan di Indonesia pada awal kemerdekaan pada dasarnya melanjutkan apa yang
dikembangkan pada zaman pendudukan jepang. Sistem dimaksud meliputi tiga tingkatan yaitu
pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan rendah adalah Sekolah Rakyat (SR) 6 tahun. Pendidikan menengah terdiri dari
sekolah menengah pertama dan sekolah menengah tinggi. Sekolah menengah pertama yang
berlangsung tiga tahun mempunyai beberapa jenis, yaitu sekolah menegah pertama (SMP)
sebagai sekolah menengah pertama umum; kemudian sekolah teknik pertama (STP), kursus
kerajinan negeri (KKN), sekolah dagang,sekolah kepandayan putrid (SKP) sebagai sekolah
menengah pertama kejuruan; serta sekolah guru B (SGB) dan sekolah guru C (SGC) sebagai
sekolah menengah pertama keguruan.

Sekolah menegah tinggi berlangsung tiga tahun, meliputi sekolah menengah tinggi
(SMT) sebagai sekolah menengah umum, dan sekolah kejuruan berupa sekolah teknik menengah
(STM), sekolah teknik (ST), sekolah guru kepandayan putrid (SGKP), sekolah guru A (SGA)
dan kursus guru.

b. Perkembangan Pendidikan Indonesia Tahun 1950-1959 (Demokrasi Liberal)

Pada saat demokrasi liberal di awal tahun 1950 pendidikan diatur dalam Undang-Undang
Sementara (UUDS) 1950. Tujuan dan dasar pendidikan termuat dalam UU No.4 tahun 1950
yang diberlakukan untuk seluruh Indonesia. Karena terjadi ketegangan yang berkisar pada
masalah pendidikan agama, khususnya agama islam maka setelah empat tahun baru diundangkan

38
menjadi UU No.12 tahun1954 tentang Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Undang-undang
No 12 tahun 1954 berlaku hingga tahun 1959.

Sistem persekolahan secara formal pada saat itu terdiri dari jenjang pendidikan TK,
rendah, menengah, &tinggi. Usaha penyesuaian yang dilakukan antara lain: Bahasa Indonesia
menjadi bahasa pengantar untuk semua SR negeri termasuk SR partikelir dan subsidi.
nPenyelenggaraan Pendidikan dimulai dengan Persiapan kewajiban belajar dengan menyusun
rencana 10 tahun kewajiban belajar dengan daerah uji coba Pasuruan dan Jepara. PP No.65 tahun
1951: penyerahan urusan sekolah rendah ke pemerintah propinsi kecuali SR patian. Peraturan
bersama antara Mentri Pendidikan & Mentri Agama mengatur tentang pendidikan agama,
Pendidikan masyarakat dan Partisipasi pendidikan swasta.

c. Perkembangan Pendidikan Indonesia Merdeka Tahun 1959-1965 (Demokrasi


Terpimpin)

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dianggap perlu pengkuhan Sistem Pendidikan
Nasional, maka muncul Panca Wardana, yang menekankan pada nation and character building
(pembangunan bangsa dan wataknya). Pada saat itu UUD 1945 berlaku lagi. Pada 1960, Panca
Wardhana disempurnakan menjadi Sapta Usaha Utamadengan cakupan yang lebih luas.

Sapta Usaha Tama merangkum ketentuan-ketentuan Pembukaan UUD 1945, Batang


Tubuh dan Pancasila. Pada Tahun 1965, lahir Kepres No.145 tahun 1965 berisi tentang tujuan
pendidikan, yaitu supaya melahirkan warga negara sosialis yang bertanggung jawab
terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia berjiwa Pancasila seperti dijelaskan dalam
Manipol/ Usdek.

Sistem Persekolahan selama kurun waktu 1959-1965 meliputi (1) pendidikan Prasekolah
(5-7th): TK; (2) SD (7-12 th): SD, MI; (3) SLTP (13-15 th): SMP, SMEP, SKKP, ST, MTs; (4)
SLTA ( 16-18 th): SMA, SMEA, STM, SPG,SMOA, MA; (5) PT (19-23 th): Universitas,
Institut, Sekolah Tinggi.

Sedangkan penyelenggaraan pendidikan meliputi (1) Sapta Usaha Tama; (2) Panca
Wardhana; (3) Panitia Pembantu. Pemeliharaan Sekolah dan Perkumpulan Orang Tua Murid dan
Guru-guru (POMG); (4) Pendidikan Masyarakat; (5) Perguruan Tinggi; Kurikulum Pendidikan

39
(1). SR diubah menjadi SD (2). Kurikulum SD 1964 terdiri dari 5 kelompok bidang studi
(Wardhana): W. perkembangan moral,W. Perkembangan kecerdasan, W. Perkembangan
emosional/ artistik, W.Perkembangan keprigelan dan W. perkembangan jasmani (3) Kurikulum
SMP 1962 (Kur. SMP gaya baru): Penghapusan jurusan, penambahan jam Krida, pelaksanaan
BP. (4) Kurikulum SMA Selama demokrasi terpimpin 2 kali perub.kurikulum yaitu th 1961 dan
1964. SMA terdiri atas bagian A, bagian B, dan bagian C.

Undang-Undang Dasar 1945 diterapkan secara murni dan konsekuen dengan Tujuan dan
Dasar Pendidikan (1) Membentuk manusia pancasilais sejati menurut penbukaan UUD 1945 (2)
Dasar pendidikan Pancasila (3) Isi pendidikan: mempertinggi moral,mental, budipekerti,
memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan ketrapilan, membina fisik yang
kuat dan sehat. Sistem Persekolahan Masih tetap mengikuti UU No. 12/ 1954.

Penyelenggaraan pendidikan bersifat sentralistik di bawah Mentri Pendidikan dan


Kebudayaan sebagai pembantu Presiden. Sistem Persekolahan Masih tetap mengikuti UU No.
12/ 1954. Penyelenggaraan pendidikan bersifat sentralistik di bawah Mentri Pendidikan dan
Kebudayaan sebagai pembantu Presiden. Sapta Usaha Utama berlaku selama pemerintahan Orde
Lama (Orla) hingga lhirnya Orde Baru (Orba, 1966). Sapta Usaha Utama dioperasionalkan
melalui Ketetapan MPRS (Majlis Permusyawaratan Sementara). Ketika dicanangkan PELITA
(Pembangunan Lima Tahun), ketetapan MPRS tersebut terwujud dalam GBHN (GAris-garis
Besar Haluan Negara). Hal ini berlangsung hingga 1989.

d. Pedidikan di Indonesia Selama PJP I (1969-1993)

Memasuki tahun 1965, pendidikan di Indonesia memiliki misi untuk mengajarkan dan
menerapkan nilai-nilai Pancasila. Untuk melaksanakan misi tersebut, departemen pendidikan dan
kebudayaan menyusun kurikulum yang mencakup prinsip dasar Pancasila.

Implementasi dari misi tersebut diawali dengan perubahan kurikulum di setiap jenjang
pendidikan. Melalui kurikulum SD 1968, pendidikan dasar diharapkan dapat menyampaikan
materi untuk mempertinggi mental budi pekerti, memperkuat keyakinan agama, serta
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan. Sementara itu, kurikulum SMP ditambah dengan
pembentukan kelompok pembinaan jiwa pancasila, kelompok pembinaan pengetahuan dasar, dan

40
kelompok pembinaan kecakapan khusus. Kurikulum SMA juga disempurnakan dengan tujuan
membentuk manusia pancasila sejati, mempersiapkan untuk masuk ke perguruan tinggi, serta
mengajarkan keahlian sesuai minat dan bakat.

Peningkatan pendapatan negara dari penjualan minyak membuat pemerintah mampu


mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk kebutuhan pendidikan. Pemerintah kemudian
mendirikan SD Inpres (Instruksi Presiden), merekrut lebih banyak guru, mencetak buku
pelajaran, dan mendirikan pusat pelatihan keterampilan.
Pada tahun 1989, melalui UU No. 2/1989, jenjang pendidikan di Indonesia diperbarui menjadi
tiga jenis yaitu:

 Jenjang pendidikan dasar (SD dan SLTP).


 Jenjang pendidikan menengah (SMU dan SMK).
 Jenjang pendidikan tinggi.

Pendidikan Indonesia berkembang pesat pada periode ini. Pada 1973, jumlah angka buta
huruf di golongan usia muda Indonesia mencapai hampir 20 persen. Pendirian SD Inpres,
bersama dengan sekolah lainnya, membuat tingkat buta huruf di Indonesia menurun signifikan.
Pemerintah terus berusaha agar pendidikan dapat menyebar dan dirasakan oleh hampir seluruh
penduduk Indonesia.

Upaya pemerintahan Indonesia di bidang pendidikan awal kemerdekaan ialah


mengangkat tokoh pendidik yang telah berjasa pada masa kolonial seperti Ki Hadjar Dewantara,
Moh. Syafe’i dari INS, Mr. Suwandi yang mengganti ejaan bahasa Indonesia yang disusun
sebelumnya oleh Van Phuysen.

Pengaruh masuknya ideologi kiri di dunia pendidikan ditandai melalui pengangkatan


Menteri PP dan K. Prof. Dr. Priyono dari partai Kiri Murba

UUD 1945 secara murni dan konsekuen masih diperlakukan. Tujuan dan Dasar
Pendidikan pada saat itu adalah mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di
luar sekolah dan berlangsung seumur hidup bedasar Pancasila. Undang-Undang No.2 tahun 1989
tentang Pendidikan Nasional lahir ketika Fuad Hasan menjabat sebagai menteri. Dalam

41
pembahasan UU No 2 Tahun 1989 itu juga timbul pro dan kontra. Yang menjadi masalah adalah
tentang iman dan takwa, tetapi tidak ada pengerahan massa, karena kondisi ppolitik relative
stabil. Sistem Pendidikan dan Persekolahan meliputi

(1) Sistem pendidikanterdiri dari jalur pendidikan sekolah dan pendisikan luar sekolah;

(2) Sistem persekolahan terdiri dari 3 jenjang yaitu Pendidikan dasar, Pendidikan
Menengah, dan Pendidikan tinggi.

Program pembangunan pendidikan antara lain perluasan dan pemerataan pendidikan;


peningkatan mutu pendidikan dengan pengadaan alat pendidikan, pengadaan buku pelajaran,
pengadaan dan peningkatan mutu tenaga pengajar, perubahan kurikulum.

Pembangunan jangka panjang meliputi lima pelita, yaitu pelita I-V yang dimulai pada tahun
1969/1970 hingga tahun 1993/1994, atau 25 tahun. Selama kurun tersebut, pendidikan Indonesia
Indonesia mengalami kemajuan. Hal ini terutama di tandai oleh semakin luasnya kesempatan
untuk memperoleh pendidikan pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; meningkatnya
jumblah sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia serta tenaga yang terlibat dalam
pendidikan; meningkatnya mutu pendidikan dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya;
semakin mantapnya sistem pendidikan nasional dengan di sahkan undang-undang Nomor 2
Tahun 1989 tentang system pendidikan nasional beserta sejumblah peraturan pemerintah yang
menyertainya.
Namun demikian, hingga berakhirnya pelita V, pendidikan nasional masi di hadapkan dengan
berbagai tantangan baik kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif, tantangan yang di
hadapi menyangkut pemerataan kesempatan untuk mamperoleh pendidikan khususnya
pendidikan dasar, sementara secara kualitatif tantangan yang di hadapi berkenan dengan upaya
mutu pendidikan, peningkatan relefansi pendidikan dengan penbangunan, efektifitas dan
efisiensi pendidikan

e. Pendidikan Indonesia Era 1995 – 2005


Perkembangan Pendidikan Nasional 1995/1996-1998/1999 (Awal Pembangunan Jangka Panjang
I)

42
UUD dan dasar pendidikan sistem persekolahan tidak ada perubahan dan masih mengacu
pada UUD 1945 dan UU NO.2 tahun 1989. Ketetapan MPR No II/1993 tentang GBHN
memberikan arah tujuan pendidikan nasional menurut UU no.2 tahun1989. Program
pembangunan pendidika antara lain: perluasan kesempatan belajar; prioritas mutu pendidikan;
program link and match; peningkatan penguasaan IPTEK dan pengembangan SDM
menyongsong globalisasi.

Memasuki tahun 1995, pendidikan Indonesia menekankan pada pengembangan SDM yang
mampu menjawab tantangan masa depan. Terdapat empat prioritas utama pelaksanaan
pendidikan yaitu:

1. Penuntasan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun.


2. Peningkatan mutu semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan.
3. Menghubungkan kebutuhan antara pendidikan dan industri.
4. Peningkatan kemampuan penguasaan iptek.

Pemerintah juga berusaha meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan jumlah


dan mutu pengajar, peningkatan mutu proses belajar mengajar, dan peningkatan kualitas lulusan.
Pemerintah juga berusaha menciptakan sekolah unggul dan mengembangkan kurikulum yang
menekankan perbaikan metode mengajar dan perbaikan guru.

Pada tahun 1998, suasana politik di Indonesia mengalami gejolak yang menyebabkan lahirnya
era reformasi. Sistem pemerintahan berubah dari model sentralisasi menjadi desentralisasi.
Penerapan otonomi daerah membuat penyelenggaraan pendidikan berubah menjadi otonomi
pendidikan, terutama di jenjang pendidikan tinggi. Pada masa peralihan kekuasaan, pendidikan
di Indonesia masih menerapkan kurikulum yang berlaku pada zaman orde baru. Kurikulum ini
masih digunakan pada masa pemerintahan presiden Abdurrachman Wahid dengan beberapa
perbaikan.

Sistem pendidikan di Indonesia mengalami perubahan pada masa kepresidenan Megawati


melalui kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum ini berbasis pada 3 aspek utama yaitu aspek

43
afektif, aspek kognitif, dan aspek psikomotorik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
memperbarui kurikulum tersebut menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang
mencakup tujuan pendidikan, tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat
satuan pendidikan, kalender pendidikan, serta silabus.

f. Sejarah Pendidikan Indonesia 2005 – Hingga Kini (2015)

Pemerintahan presiden SBY berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan di


Indonesia. Upaya tersebut diawali penerbitan Instruksi Presiden No. 5 pada 09 Juni 2006 yang
bertujuan mempercepat penyelesaian wajib belajar 9 tahun. Upaya ini membuat pemerintah
melibatkan program pendidikan penyetaraan seperti paket A, B, dan C agar dapat mengadopsi
kurikulum sesuai dengan standar yang berlaku.

Jenjang pendidikan di Indonesia secara umum tidak banyak berubah. Akan tetapi, terdapat lebih
banyak lembaga penyedia pendidikan untuk setiap jenjang pendidikan dimana melibatkan
partisipasi pendidikan non-formal. Struktur pendidikan di Indonesia secara umum dapat

digambarkan sebagai berikut (data Kementerian Pendidikan tahun 2007).

Seiring dengan meningkatnya mutu dan partisipasi pendidikan dasar di Indonesia, dan
berkembangnya minat terhadap pendidikan menengah, isu pendidikan di Indonesia kini beralih
pada jenjang pendidikan tinggi. Pada tahun 2011, angka partisipasi kasar (GER) untuk
pendidikan tinggi di Indonesia hanya mencapai 25 persen. Angka ini lebih rendah dibanding
rata-rata global yang mencapai 31 persen dan kebanyakan negara anggota ASEAN. Meskipun
demikian, angka ini sebenarnya meningkat signifikan dibanding sepuluh tahun yang lalu dimana
angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia hanya mencapai 12 persen.

Masuknya era pemerintahan presiden Joko Widodo (Jokowi) belum menunjukkan indikasi
munculnya upaya radikal dalam memajukan pendidikan di Indonesia. Secara fundamental,
kebijakan pendidikan masih sejalan namun dengan beberapa perbaikan dan penyesuaian.
44
Perubahan banyak terjadi pada tataran teknis dan masyarakat masih menanti upaya pemerintah
dalam mengatasi masalah dan kekurangan dalam sistem pendidikan di Indonesia.

Pemerintahan Orde Baru dengan tokoh-tokoh teknokrat dalam pucuk pimpinan 


pemerintahan melancarkan usaha pembangunan terencana dalam Pelita I sampai Pelita II, III dan
seterusnya. Dalam Pelita I inilah pendidikan dapat diperkembangkan menurut satu rencana yang
sesuai dengan keuangan negara. Keuangan negara agak membengkak waktu harga minyak
mentah meloncat dari harga $3 menjadi $12 per barrel. Hal ini memungkinkan didirikannya SD
Inpres (Instruksi Presiden) mengangkat guru-guru dan mencetak buku  pelajaran. Sebagai hasil
Pelita I dalam bidang pendidikan telah ditatar lebih dari 10.000 orang guru. Telah dibagikan
lebih dari 63,5 juta buku SD kelas I, telah dibangun 6000  buah gedung SD, telah diangkat
57.740 orang guru terutama guru SD, serta dibangun 5 Proyek Pusat Latihan Teknik yaitu di
Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Ujung Pandang.

g. Pendidikan Pada Masa Reformasi

Pada era pemerintahan Habibie yang masih menggunakan kurikulum 1994 yang
disempurnakan pada masa pemerintahan Gus Dur. Pada masa pemerintahan Megawati terjadi
beberapa perubahan tatanan pendidikan, antara lain:

1. Diubahnya kurikulum 1994 menjadi kurikulum 2000 dan akhirnya disempurnakan


menjadi kurikulum 2002 (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang merupakan kurikulum yang
berorientasi pada pengembangan 3 aspek utama, antara lain aspek afektif, kognitif dan
psikomotorik.
2. Pada 8 Juli 2003 disahkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan 
Nasional yang memberikan dasar hukum untuk membangun pendidikan nasional dengan
menerapkan prinsip demokrasi, desentralisasi, otonomi, keadilan dan menjunjung HAM.

Kemudian setelah Megawati turun dari jabatannya dan digantikan Susilo Bambang Yudhoyono,
UU No. 20/2003 masih tetap berlaku, namun pada masa SBY juga ditetapkan UU RI No.
14/2005 tentang Guru dan Dosen. Penetapan UU tersebut disusul dengan  pergantian kurikulum
KBK menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum ini  berasaskan pada PP No. 19

45
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. KTSP merupakan kurikum operasional yang
disusun dan dilaksanakan masing-masing satuan  pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan
pendidikan, tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan,
kalender pendidikan serta silabus

(BSNP, 2006: 2). Tujuan pendidikan KTSP :

1. Untuk pendidikan dasar, di antaranya meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan,


kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih
lanjut.
2. Untuk pendidikan menengah, meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih
lanjut.
3. Untuk pendidikan menengah kejuruan, meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih
lanjut sesuai dengan kejuruannya.

h. Penyelenggaraan Pendidikan Tahun 1950-1959 (Demokrasi Liberal)

Masa demokrasi liberal ditandai diberlakukannya UUDS 1950 sebagai dasar negara RI.
Pelaksanaan pendidikan diatur dengan UU No. 4 Th. 1950 dan mulai 18 Maret 1954 diperbarui
menjadi UU No. 12 Th. 1954, diberlakukan untuk seluruh Indonesia. Tujuan pendidikan dan
pengajaran menurut UU ini ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.  Pasal 5
menerangkan bahwa bahasa perasatuan (Indonesia) resmi menjadi bahasa pengantar di sekolah-
sekolah kecuali TK dan tiga kelas rendah di SD diperbolehkan menggunakan bahasa daerah
sebagai bahasa pengantar.
i.        Penyelenggaraan Pendidikan Tahun 1959-1969 (Demokrasi Terpimpin)
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 diberlakukan lagi. Secara formal
pelaksanaan pendidikan menggunakan UU No. 12 Th. 1954 dimana tujuan pendidikan adalah:
“membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air”. Namun di dalam prakteknya,

46
Mudyahardjo (2001:401) mengatakan, UU No. 12/1954 ditinggalkan, dan menggunakan
Keputusan Presiden No. 145/1954, tujuan pendidikan di semua sekolah berubah menjadi: “agar
dapat melahirkan manusia sosialis yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat
sosialis Indonesia adil dan makmur baik spiritual maupun material dan berjiwa Pancasila”.

Secara singkat penyelenggaraan pendidikan pada masa orde lama adalah sebagai berikut.
a.             Pendidikan Nasional Indonesia
Pendidikan Nasional Indonesia adalah pendidikan yang membina bangsa Indonesia yang
ber-Pancasila dan melaksanakan UUD ’45, sosialisme Indonesia, Demokrasi terpimpin,
Kepribadian Indonesia, dan merealisir ketiga kerangka tujuan revolusi Indonesia sesuai dengan
manipol, yaitu membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia berwilayah Sabang sampai
Marauke, menyelenggarakan suatu masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur lahir
batin, melenyapkan kolonialisme, mengusahakan susunan dunia baru tanpa penjajahan,
penindasan dan penghisapan, kearah perdamaian, persahabatan Internasional yang sejati dan
abadi.
b.             Konsep Struktur Persekolahan
(1)     Taman Kanak-kanak, terdiri dari TK bagian A (untuk anak berumur 4 tahun) dan
TK bagian B (untuk anak berumur 5 tahun). TK harus memperhatikan perkembangan anak, alam
sekitar anak dan lingkungan sosial anak.
(2)     Sekolah Dasar, fungsi SD ialah sebagai lembaga pendidikan yang memberikan
dasar-dasar pengetahuan dan kecakapan untuk melanjutkan pendidikan ke SMP, juga meletakkan
dasar bagi pembinaan warga negara sebagai makhluk sosialis, peletak dasar bagi pembangunan
kehidupan bangsa dengan menjadikan SD sebagai lembaga pendidikan yang lengkap, fungsional
dan ilmiah.
(3)     Sekolah Menengah Pertama, SMP disebut Sekolah Pemuda karena siswanya
berumur 13-17 tahun. Di SMP belum ada spesialisasi namun agar dapat menghasilkan anak didik
yang berdiri sendiri maka di samping mata pelajaran umum diberikan diferensiasi, berupa mata
pelajaran keahlian. Murid harus memilih satu keahlian yang sesuai dengan bakatnya. Di sekolah
ada kelas kelompok perdagang, kelompok kesenian, kelompook keterampilan, dll. Setelah tamat
di samping memiliki ijazah mereka memiliki keterampilan untuk hidup.

47
(4)     Sekolah Menengah Atas, SMA sering disebut sekolah kejujuran
(Mudyahardjo,2000) sebab tujuannya membentuk kejujuran murid, bukan pembentukan umum.
Lama pendidikan SMA 4 tahun, tamatannya diberi gelar sarjana muda. Tamatan dapat terjun
kemasyarakat atau meneruskan ke Universitas. Universitas harus bersifat akademik
(5)     Penyelenggaraan Pendidikan
(a)      Pancawardhana
Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan menetapkan lima pokok perkembangan-
Pancawardhana, yaitu: (a) Perkembangan cinta bangsa & tanah air (Kebangsaan); (b)
Perkembangan kebudayaan; (c) Perkembangan kemanusiaan; (d) Perkembangan Kemerdekaan;
dan (e) kodrat alam.
(b)     POMG
Guna mewujudkan hubungan orang tua di sekolah, maka tiap sekolah dibentuk suatu
panitia pembantu pemeliharaan sekolah yang terdiri beberapa orang tua murid yang bertugas
memelihara sekolah.
(6)     Perguruan Tinggi (PT)
UU No. 22/1961 tentang PT menetapkan hal-hal sebagai berikut:
(a)      PT adalah lembaga ilmiah yang bertugas menyelenggarakan pendidikan &
pengajaran di atas perguruan menengah dan berdasarkan kebudayaan kebangsaan Indonesia.
(b)     Tujuan PT adalah membentuk manusia susila yang berjiwa Pancasila, bertanggung
jawab akan terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur materiil dan
spirituil, menyiapkan tenaga yang cakap untuk memangku jabatan , melakukan penelitian dan
usaha kemajuan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan kehidupan masyarakat.
(c)      Perguruan Tinggi terdiri atas Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi dan
bentuk lain yang ditetapkan dengan peraturan Pemerintah.
      Universitas tersusun atas dasar kesatuan beberapa ilmu pengetahuan, sekurang-
kurangnya 4 fakultas yang meliputi keagamaan, ilmu budaya, ilmu sosial, ilmu eksakta dan
teknik.
      Institut, memberi pendidikan dan pengajaran tinggi dan melakukan penelitian
dalam beberapa cabang ilmu pengetahuan yang sejenis.
      Sekolah Tinggi, memberi pendidikan dan pengajaran tinggi, melakukan penelitian
dalam satu cabang ilmu pengetahuan.

48
      Akademi, memberi pendidikan dan pengajaran yang ditunjukkan kepada keahlian
khusus.
(d)     Penyelenggaraan PT dilakukan oleh Pemerintah dan badan Hukum Swasta (PTS).
Menurut kedudukannya PT swasta terdiri atas, PTS terdaftar, PTS diakui dan PTS disamakan.
(e)      Pendidikan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) yang didirikan 1954 berdasarkan
kesepakatan Departemen PP dan K beserta Departemen PTIP masuk dalam Universitas FKIP
(Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan). FKIP mendidik calon guru sekolah lanjutan, SGA
mendidik calon guru SD dan SGB dihapus. Karena FKIP tidak memuaskan DEP. PP & K, maka
Menteri PP & K (Prof. Priyono) mendirikan IPG (Institut Pendidikan Guru) dibawah naungan
Dep PP & K. Akibatnya terjadi konflik antara pendukung FKIP dengan IPG. Presiden
memanggil BK Senat Mahasiswa FKIP dan Pimpinan Pusat CGMI (pendukung IPG) dan
Presidium GMNI untuk adu argumentasi didepan Presiden. Akhirnya pada 3 Januari 1963
dengan Kepres No. 3/ 1963 FKIP dan IPG dilebur berdirilah IKIP.
j.        Penyelenggaraan Pendidikan Masa Orde Baru
a.    Tahun 1966-1969
Orde baru diawali setelah penumpasan G.30 S/PKI tahun 1965. Pemerintah berkeinginan
melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Oleh karena itu, dasar pendidikan adalah
falsafah negara, yakni Pancasila, sedangkan tujuan pendidikan adalah membenuk manusia
Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dikehendaki Pembukaan UUD 1945 dan
isi UUD 1945. Isi pendidikan adalah: (a) mempertinggi mental, moral, budi pekerti serta
memperbaiki keyakinan agama; (b) mempertinggi kecerdasan dan keterampilan; (c) membina
perkembangan fisik yang kuat dan sehat.
Langkah selanjutnya, Ketetapan Presiden No. 19/1965 akan ditinjau kembali karena tidak
sesuai dengan UUD 1945. UU No. 12/1954 dan UU No. 22/1961 masih diberlakukan dengan
diperbaiki melalui tap MPRS No. II/MPRS/1966, terutama tentang tujuan pendidikan.
(1)   Penyelenggaraan Pendidikan
Keputusan presidium kabinet No. 75/U/II/1966 menetapkan:
(a)    Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Pimpinan Dep. P & K
(b)   Dalam melaksanakan tugasnya Man P & K dibantu oleh Sek Jend def P & K dan
Biro Pembinaan dan Pelayanan
(2)   Pelaksana Utama Departemen P & K terdiri atas:

49
(a)    Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
(b)   Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi
(c)    Direktorat Jenderal Olahraga
(d)   Direktorat Jenderal Kebudayaan
(e)    Direktorat Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka
(3)   Penyempurnaan Kurikulum
(a)    Kurikulum SD
Kurikulum SD 1964 diubah menjadi kurikulum SD tahun 1968. Dasar tujuan dan asas
pendidikan adalah Pancasila yang mencakup lima prinsip.
1.      Prinsip umum pendidikan nasional Pancasila ialah integritas, kontinuitas dan
sinkronisasi.
2.      Landasan idiil meliputi
a.          Dasar pendididkan nasional pancasila
b.          Tujuan pendidikan membentuk manusia pancasila
c.         Isi pendidiakan nsional memprtinggi mental budi pekerti, memperkuat keyakinan
agama, memprtinggi kecerdasan dan keteranpilan
3.      Prinsip umum kurikulum ialah kriteria pemilihan isi kurikulum, prinsip didaktik
methodik , system evaluasi yang kontinyu dan obyektif.
4.      Prinsip sekolah dasar ialah tujuan pendidikan sekolah dasar dan garis besar
kurikulum SD yang meliputi kelompok pembinaan jiwa pancasila , kelompok pembinaan
pengetahuan dasar dan kelompok pembinaan kecakapan khusus.
5.      Azas-azas didaktik methodic sekolah dasar mirip dengan yang tercantum dalam
kurikulum SD 1964.
(b)   Kurikulum SMP
Struktur kurikulum SMP 1967 sbb:
1.        Kelompok pembinaan jiwa pancasila, meliputi mata pembelajaran pendidikan
agama, Kewargaan Negara, Bahasa Indonesia, dan Olahraga
2.        Kelompok pembinaan pengetahuan dasar, Bahasa Indonesia, Bhs. Daerah, Bhs.
Inggris, ilmu aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Hayat,Ilmu Bumi, Sejarah, dan menggambar.
3.        Kelompok pembinaan kecakapan khusus meliputi Administrasi,Kesenian,
Prakarya, pendidikan kesejahteraan keluarga.

50
(c)    Kurikulum SMA
Kurikulum SMA 1964 disempurnakan menjadi kurikulum SMA 1968,diberlakukan mulai
1969. Tujuannya adalah:
1.        Membentuk manusia pancasila sejati
2.        Mempersiapkan siswa untuk masuk ke PT
3.        Memberikan dasar keahlian umum sesuai dengan bakat minat
Susunan kurikulum SMA 1968
(a)      Kelompok pembinaan jiwa pancasila, meliputi pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan Negara, Bhs. Indonesia dan Olahraga
(b)     Kelompok pembinaan pengetahuan dasar.
           Kelas I meliputi sejarah, geografi, ilmu pasti, fisika, kimia, biologi, ekomoni,
dan koperasi, menggambar, bhs. Inggris
           Kelas II, III jurusan sastra social budaya meliputi bhs dan kesustraan Indonesia,
menggarang, sejarah, geografi, antropologi  budaya, ekonomi koperasi, menggambar,bhs. Inggris
ilmu pengetahuan budaya. Untuk sastra budaya ditambah bhs. Kawi daerah, sejarah kebudayaan
dan kesenian, ilmu pasti. Untuk sastra social ditambah ilmu pasti, pengetahuan dagang dan tata
buku.
           Kelas II,III jurusan IPA meliputi, aljabar analit, ilmu ukur sudut,ilmu ukur
ruang,fisika, matematika,kimia, biologi, geografi, menggambar, bhs.Inggris.
(c)      Kelompok pembinaan kecakapan khusus  meliputi PKK, prakarya pilihan
(kesenian, bahasa, keterampilan)
(d)     Perkembangan lembaga pendidikan

b.    Perkembangan pendidikan 1970-1994


(1)   Dasar Tujuan
a.         Tap MPR-RI No.IV/MPR/1973. Membenruk manusia pembangun , ber-
pancasila , sehat jasmani rohani , berpengetahuan ,trampil , tanggung jawab, sikap demokrasi ,
kecerdasan tinggi , budi pekerti luhur ,mencintai bangsanya dan semua manusia seperti
termaktub dalam UUD 1945.
b.        Tap MPR-RI No.II/MPR/1978. Meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhn
YME,kecerdasan , & keterampilan , mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian ,

51
mempertebal  semangat kebangsaan , cinta tanah air, yang mampu membangun dirinya sendiri
dan tanggung jawab terhadap pembangunan bangsa.
c.         Tap MPR-RI No.IV/MPR/1988. Meningkatkan ketaqkawaan terhadap Tuhan
YME, kecerdasan & keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memeprrkuat kepribadian,
mempertebal semangat kebangsaan, cinta tanah air, yang mampu membangunkan dirinya sendiri
dan tanggung jawab terhadap pembangunan bangsa.
a)        Pendidikan berlangsung seumur hidup, dilaksanakan dalam keluarga , sekolah dan
masyarakat , menjadi tanggung jawab bersama keluarga sekolah dan masyarakat.
b)        Untuk mengembangkan nilai 1945, dari TK s/d PT di laksanakan P4.

c)        Tap MPR-RI No.II/MPR/1988. Meningkatkan kualitas manusia Indonesia ,iman &
taqwa, budi pekerti luhur, berkepribadian, disiplin, bekerja keras, trampil, sehat jasmani rohani,
cinta tanah air, mempertebal semangat kebangsaan, kesetia kawanan sosial.
d)                    UU No.2/1989 tentang SISDIKNAS berlaku sejak 27 Maret 1989.
Pendidikan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa,mengembangkan manusia
seutuhnya,iman dan taqwa, budi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan , sehat
jasmani dan rohani, kepribadian mantap, mandiri, tanggung jawab, kemasyarakata dan Sistem
PersekolahanSistem pendidikan nasional berdasar UU No. 2/1989
System persekolahan
Menurut UU No.2/1989 sistem persekolahan terdiri dari tiga jenis yaitu:
a.            Jenjang pendidikan dasar, sekolah dasar dan SLTP
b.            Jenjang pendidiakan menengah, SMU dan SMK
c.            Jenjang pendidikan tinggi
d.       Kurikulum Sekolah Kejuruan dari Kurikulum 1968 diubah menjadi Kurikulum
1976 SMK 1984, dan Kurikulum SMK 1997

c.       Perkembangan pendidikan 1995 – 1999

1.      Tujuan dan dasar pendidikan

52
a.       Seperti termuat dalam UU No. 2/1989, bahwa pendidikan Nasional berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
b.      Tujuan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman & bertakwa, berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani rohani, kepribadian mantap, mandiri dan tanggung
jawab.
2.      Penyelenggaraan Pendidikan
a.       Pembangunan pendidikan menekankan pada pengembangan SDM yang mampu
menjawab tantangan masa depan denga proritas :
1.      Penuntasan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun
2.      Peningkatan mutu semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan
3.      Pelaksanaan link and match antara pendidikan dan industri
4.      Peningkatan kemampuan penguasaan iptek
b.      Perluasaan kesempatan belajar
Dalam rangka pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun,proritas di letakkan
pada perluasan kesempatan belajar di SLTP,di harapkan 15 tahub ke depan semua lulus SD dapat
di tampung di SLTP. Demikian juga perluasan kesempatan di SLTP dan di PT.
c.       Prioritas peningkatan mutu pendidikan
Usaha yang dilakukan antara lain:
1)        Peningkatan jumlah dan mutu guru
2)        Peningkatan mutu pendidikan PBM
3)        Peningkatan kualitas lulusan
d.      Masa yang dihadapi
1)        Rendahnya pencarian nilai EBTANAS
2)        Berpariasinya angka DANEM propinis atau dengan lainya
3)        Rendahnya mutu guru
e.       Upaya mengatasi permasalahan
1)        Penyataran guru SD,guru SLTP,SMU, dosen PT
2)        Penataran guru
3)        Pengembangan sekolah unggul

53
4)        Pengembangan kurikulum dengan menekankan perbaikan metode mengajar dan
kesejahteraan guru
Maraknya gerakan reformasi menyebabkan tumbangnya kekuasaan Orde baru. Dengan
diberlakukan UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, maka sistem pemerintahan berubah
dari sentral listrik menjadi desentralistrik. Dengan otonomi daerah maka sistem penyelengaraan
pendidkan berubah otonomi pendidikan. Pelaksanaan otonomi pendidikan banyak mengalami
perubahan-perubahan yang perlu dipahami dan dipelajari terus oleh para mahasiswa.

2. Dua Aliran Pokok Pendidikan di Indonesia

 Setelah kita pelajari berbagai aliran pendidikan secara umum baik aliran klasik, aliran
baru maupun aliram modern, yaitu merupakan pemikiran, pandangan, atau gagasan-gagasan
tentang bagaimana seharusnya melakukan pendidikan yang terjadi sebelum abad -19 (aliran
baru), mereaksi gagasan-gagasan abad 19 (aliran modern), perlu juga dipelajari beberapa aliran
pendidikan yang terjadi di masa sendiri. Macam-macam aliran tersebut dapat diketahui dari
pandangan-pandangan dan lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh berbagai ahli
pendidikan di Indonesia. Macam dan jenis lembaga pendidikan tersebut adanya ragam latar
belakang dan kepentingan pendiriannya. Ada yang karena kepentingan ras dan suku seperti
sekolah serikat Ambon, karena kepentingan memperjuangkan kaumsesamanya seperti sekolah
Dewi Sartika dan sekolah Kartini, karena kepentingan persatuan seperti sekolah Budi Utomo
karena kepentingan agama seperti sekolah-sekolah yang diadakan oleh lemabaga-lembaga
pendidikan yang dibawah naungan organisasi kemasyrakatan dan keagamaan (NU,
Muhammadyah, dsb) dan masih banyak lagi latar belakang dan kepentingannya sehingga
bermunculan berbagai lembaga pendidikan di Indonesia. Walaupun demikian kesemuanya jenis
lembaga yang bermunculan tersebut bermaksud ingin mewujudkan yang berciri khas atau sesuai
dengan karakteristik sesuai dengan budaya bangsa Indonesia sendiri.

Dari berbagai aliran penddidikan di Indonesia ada dua aliran pokok yang perlu kita
pelajari yaitu pendidikan Taman Siswa dan Pendidikan INS. Hal ini antara lain karena latar
belakang dan kepentingan pendiriannya untuk semua bangsa secara umum tanpa melihat ras,
suku, daerah, wilayah , keyakinan, dan keagamaan, atau golongan tertentu saja, sesuai dengan
pandangan hidup bangsa Indonesia. Disamping itu waktu pendiriannya terutama karena mereaksi

54
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintak colonial Belanda yang sangat tidak
menguntungkan kepentingan bangsa Indonesia , baik kesempatan yang diberikan, diskriminasi
bangsa dan golongan, maupun kepentingan hasil pendidikan misalnya hanya untuk menyiapkan
pegawai rendahan yang dibutuhkan oleh Belanda. Juga oleh karena gagasan atau pemikiran-
pemikirannya dan realisasi pendidikannya telah diakui oleh tokoh-tokoh dari aliran pendidikan
dunia. Dan yang tidak kalah pentingnya bahwa gagasan atau pemikiranya telah dilaksanakan
dalam pendidikan nasional sekarang ini seperti system among, pelaksanaan sekolah kejuruan dan
sebagainya.uraian secara mendalam akan diuraikan pada bahasan berikut ini.

1. Pendidikan Taman Siswa

a. Riwayat Singkat Pendidikan Taman Siswa

Pendiri pendidikan Taman S atau lebih dikenal dengan perguruan taman siswa ini adalah
seorang bangsawan dari Yogyakarta bernama RM. Suwardi Suryaningrat. Dilahirkan di
Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889dari ayah bernama K.P.H. Suryaningrat .Setelah usia 39
tahun atau 40 tahun (tahun jawa), tepatnya pada tanggal 23 pebruari 1928 berganti nama menjadi
Kihajar Dewantara. Pendidikan yang telah ditempuh dimulai dari Sekolah Dasar Belanda
(Europesche Lagere School), kemudian melanjutkan pendidikan ke sekolah dokter di Stovia.
Berhubung kekurangan biaya, sekolah ini ditinggalkan, kemudian bekerja dan memasuki dunia
politik bersama sama lulusan Stovia yang lain seperti Dr.Cipto Mangun Kusuma dan Dr.
Danurdirjo Setyabudi(Dr. Douwes Dekker).

b. pejuangan Sebelum Mendirikan Taman Siswa

Sebelum memasuki lapangan pendidikan, bersama dengan dua teman lainnya Dr.Cipto
Mangun Kusuma dan Dr. Danurdirjo Setyabudi, Kihajar Dewantara mendirikan organisasi
politik yang bersifat revolusioner, sehingga terkenal dengan nama tiga serangkai pendiri Indische
Partij (IP).

Dalam saat itu juga (1912) Kihajar Dewantara bersama dengan Dr. Cipto Mangunkusuma
mendrikan Komite Bumiputera yang bertujuan memprotes adanya keharusan bagi rakyat
Indonesia yang dijajah untuk merayakan kemerdekaan Nederland dari penindasan Napoleon

55
yang dengan paksa mengumpulkan uang sampai kepelosok – pelosok.Dengan brosur pertama
yang berjudul “Seandainya aku orang Belanda”dari karyanya sendiri yang secara singkat isinya
tidak selayaknya bangsa Indonesia yang ditindas ikut merayakan kemerdekaan dari bangsa
Belanda yang menindasnya.

Karena dianggap bahaya, Kihajar Dewantara diinternir ke Bangka, kemudian dieksternir


ke negeri Belanda atas permintaannya sendiri.Pada massa ini dan ditempat inilah ia mendapatkan
kesempatan untuk mempelajari masalah pendidikan dan pengajaran. Setelah 4 tahun, dengan
tanpa diminta putusan eksternir itu dicabut sehingga ia dapat pulang kembali ke tanah airnya.

Sekembali ketanah airnya ia meneruskan perjuangan politiknya, dimulai lagi dari menulis
di surat kabar yang berjudul “ Kembali ke Pertempuran” . ia menjadi sekretaris politik , dan
menjadi redaktur tiga majalah dari partai politik (National Indesche Partij) tersebut yaitu De
Beweging, Persatuan India , dan Penggugah. Dengan aktifnya kedunia politik hidupnya hanya
untuk masuk dan keluar penjara.

Karena semakin kejam Pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia, lebih-lebih


terhadap pergerakan rakyat Indonesia dan agar perjuangan untuk kepentingan bangsa lebih
bermanfaat maka Kihajar Dewantara meninggalkan medan politik yang nampak, memasuki
medan pendidikan dan pengajaran (1921) dimulai dari mengajar pada Sekolah Adhidarma
kepunyaan kakaknya R.M Suryopranoto di Yogyakarta.

c. Perjuangan Setelah Mendirikan Taman Siswa

Setlah satu tahun mengajar di Adhidarma Kihajar Dewntara mendirikan sekolah yang
sesuai dengan cita-citanya sendiri (3 Juli !922) dengan nama “Natinal Onderwisj Institut Taman
Siswa ” yang kelak diubah menjadi Perguruan Kebangsaan Taman Siswa. Sekolah ini mula –
mula hanya meliputi bagian Taman Anak dan Bagian Kursus Guru saja.

Perjuangannya mengalami banyak rintangan , tetapi semuanya dapat diatasi berkat


keberanian dan keuletan dari sifat yang dimilikinya, yang dapat dilihat dari beberapa peristiwa
berikut ini.

56
Dalam tahun 1924 ia dikenakan pajak rumah tangga, tetapi ia tidak suka membayarnya ,
karena keluarganya hanya menempati dua kamar yang dikelilingi kelas kelas di tengah
perguruannya. Menurut taksirannya seharusnya tidak kena pajak, dan barang-barang milik
perguruan juga seharusnya bebas dari pajak tersebut. Akhirnya barang-barang kepunyaan Taman
Siswa dilelang di depan umum. Tetapi kemudian pajak itu dikembalikan setelah Kihajar
Dewantara mengajukan protes. Dan atas kedermawanan pembeli, barang – barang milik Taman
Siswa yang terlelang tersebut diserahkan kembali kepada Taman Siswa.

Rintangan berikutnya adanya ordonansi Sekolah partikelir yang dikeluarkan pada tanggal
17 September 1932, dimana isinya : Sekolah Partikelir harus minta izin dahulu; guru-guru
sebelum memberi pelajaran harus memiliki izin mengjar ;dan isi pelajaran tidak boleh melanggar
peraturan negeri dan harus sesuai dengan sekolah negeri.

Kihajar Dewantara menentangnya, karena ordonansi itu diangap melampaui batas. Segera
ia mengirim kawat protes kepada Gubernur Jendral. Sikap tersebut mendapat sambutan dari
partai-partai serta banyak harian dan diperjuangkan pula di Volkraad. Akhirnya ordonansi itu
dibatalkan (1933).

Tipu muslihat lain dengan dikeluarkan “Larangan Mengajar”. Selama 2 tahun (1934-
1936) Guru Taman Siswa yang terkena korban lebih dari 60 orang bahkan ada cabang Taman
Siswa yang ditutup selama satu tahun.

Mulai bulan Pebruari taun1935 Taman siswa terkena lagi peraturan tentang tunjangan
anak yang mulai tahun ini hanya diberikan kepada pegawai negeri yang anaknya bersekolah pada
sekolah negeri,sekolah partikelir mendapatkan subsidi,sekolah-sekolah lain yang dapat hak
memakai salah satu nama sekolah negeri, misalnya HIS, Voolks Schooldan sebagainya. Oleh
perjuangan Kihajar Dewantara akhirnya mulai tahun 1938 tunjangan anak bagi semua pegawai
sama tanpa melihat sekolah yang dimasuki.

Perjuangan lainnya adalah menentang Pajak Upah yang diberlakukan tahun 1935. Kihajar
Dewantara menentangnya karena dalam Taman Siswa tidak ada majikan dan buruh ,tetapi atas
dasar kekeluargaan. Tuntutannya berhasil tahun 1940 sehingga guru-guru Taman Siswa
dibebaskan dari PajakUpah tersebut.

57
Pada jaman Jepang juga dikeluarkan peraturan tentang sekolah partikelir, yang
diperbolehkan hanya sekolah kejuruan saja (kecuali sekolah guru), misalnya urusan rumah
tangga, pertanian, perindustrian, dan lain-lainya. Karena itu Taman Dewasa diubah menjadi
Taman Tani, Taman Madya dan Taman Guru dibubarkan. Pada tahun ini ia pindah ke Jakarta
karena diangkat sebagai salah seorang pemimpin Putera (Pusat Tenaga Rakyat).

Pada zaman kemerdekaan ia pernah berturut – turut Mentri Pendidikan Pengajaran dan
Kebudayaan yang pertama, Anggota dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung, Anggota
Parlemen, serta mendapat gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Kebudayaan dari Universitas
Gajah Mada pada tanggal 19 Desember 1956. Dan pada tanggal 26 april 1959 Kihajar Dewantara
meninggal dalam usia 70 tahun.

.
2. Pendidikan di Indonesi Dewasa Ini

1. wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun

Pada tanggal 2 mei 1994 wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun untuk tingkat SLTP
dicanangkan. Sepuluh tahun sabelumnya, tepatnya pada tanggal 2 mei 1984, Indonesia juga
memulai wajib belajar 6 tahun untuk tingkat SD, bersamaan dengan peresmian berdirinya
Universitas terbuka. Wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun mempunyai 2tujuan utama yang
berkaitan satu sama lain. Pertama, meningkatkan pemerataan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan bagi setiap kelompok umur 7-15 tahun. Kedua untuk meningkatkan mutu
sumberdaya manusia Indonesia hingga mencapai SLTP. Dengan wajib belajar, maka pendidikan
minimal bangsa Indonesia semula 6 tahun ditingkatkan menjadi 9 tahun.
Sasaran-sasaran wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dalam pelita VI adalah, pertama,
meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) tingkat SLTP menjadi 66,19% dari keadaan
padaawal pelita V yang mencapai 52,67%. Kedua, meningkatkan jumblah lulusan SD/MI yang
tertampung di SLTP dan MTs sebesar 5400.000, yaitu dari 2,56 juta pad tahun 1993/1994
menjadi 3,10 juta pada tahun 1998/1999. Ketiga, tercapainya jumblah guru SD yang minimal
berkualifikasi D-II sebayak 80%, guru SLYP berkualifikasi D-III sekitar 70%. Tantangan yang

58
di hadapi oleh program wajip belajar pendidikan dasar 9 tahun memang lebih besar jika
dibandikan dengan wajib belajar 6 tahun. Alasnya antara lain, pertama, pada saat dimulainya
wajip belajar pendidikan dasar sembilan tahun, baru skitar separuh dari kelompok umur 13-15
tahun yang berada disekolah. Kedua, daya dukung berupa dana, sarana, dan tenaga yang dimiliki
oleh Indonesia untuk melaksanakan wajip belajar pendidikan dasar 9 tahun tidak lagi sebanyak
pada saat dilaksanakan wajib belajar 6 tahun. Misalnya, pembangunan SD dalam jumblah besar
melalui inpres. Ketiga, guna menampung 6,26 juta anak usia 13-15 tahun di SLTP diperlukan
sarana, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit. Sejak di mulai pada tahun 1994, program wajip
belajar pendidikan dasar sembilan tahun mencapai banyak kemajuan. Indikator-indikator
kuantitatif yang di catat menunjukan bahwa angka partisipasi meningkat sejalan dengan semakin
bertambahnya ruang belajar, jumblah guru, dan fasilitas belajar lainnya .
2. pelaksanaan kurikulum 1994

Kurikulum 1994 di berlakukan secara bertahap mulai tahun ajaran 1994/1995. kurikulum
1994 disusun dengan maksud agar proses pendidikan dapat selalu menyesuakan diri dengan
tantangan yang terus barkembang, sehingga mutu pendidikan akan semakin meningkat.
Kurikulum 1984 yang telah berjalan 10 tahun dipandang perlu untuk diperbaharui karena
menurut hasil-hasil pengkajian, ditemikan adanya materi kurikulum yang tmpang tindih dan
memerlukan penambahan. Misalnya tumpang tindih antara materi PMP, Sejarah Nasional, dan
PSPB yang dalam kurikulum 1994 strukturnya lebih di sederhanakan. Disahkannya UU No
2/1989 tentang system Pendididkan Nasional yang diikuti oleh berbagai peraturan pemerintah
mempuyai implikasi pada perlunya kurikulum pendidikan mengalami penyesuaian. Menyusul
terjadinya informasi, dilakukan kembali revisi atas kurikilum 1994 dengan menata kembali
struktur programnya yang kemudian dikenal dengan kurikulum 1994 yang disempurnakan.

3. Mengukur Kemajuan Pendidikan Indonesia

Pendidikan di Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan jika dihitung berdasarkan


angka partisipasi. Penggalakan wajib belajar 9 tahun mendorong angka partisipasi pendidikan
dasar mencapai 118 persen (terdapat 18 persen pelajar di luar target usia pendidikan dasar).
Angka partisipasi pendidikan menengah juga meningkat hingga mencapai 77 persen dimana

59
sejumlah 51 persen berasal dari populasi berusia 15 – 18 tahun (26 persen berasal dari usia yang
lebih muda atau lebih tua)

Meskipun angka partisipasi pendidikan meningkat signifikan, mutu pendidikan di Indonesia


masih relatif tertinggal dari negara lainnya jika diukur dari kualitas pelajar. Sains dan
matematika menjadi salah satu titik lemah pelajar Indonesia pada jenjang pendidikan dasar.
Menurut studi Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) di 2011,
Indonesia meraih skor 406 untuk sains dan 386 untuk matematika (rata-rata global untuk kedua
bidang adalah 500). Skor ini jauh berada di bawah Malaysia dan Thailand, dan jauh di bawah
Singapura yang menempati pada peringkat pertama untuk sains dan kedua untuk matematika.
Studi ini diadakan untuk menguji kemampuan siswa kelas 8 dari 63 negara peserta.

Lemahnya kemampuan sains dan matematika juga terjadi pada jenjang pendidikan menengah
atas. Pada studi dari Program for International Student Assessment (PISA) di tahun 2012
terhadap pelajar berusia 15 tahun dari 65 negara, Indonesia berada di peringkat 64 pada bidang
sains dan matematika. Kabar gembiranya, pelajar Indonesia merupakan pelajar yang paling
bahagia diikuti pelajar dari Albania, Peru, Thailand, dan Kolombia.

Seiring dengan tercapainya implementasi wajib belajar 9 tahun, pendidikan dasar di Indonesia
mengalami kemajuan signifikan berdasarkan angka partisipasi. PR pemerintah berikutnya adalah
memperbaiki mutu pendidikan dasar, serta meningkatkan partisipasi dan mutu jenjang
pendidikan menengah. Meskipun demikian, pendidikan tinggi juga mesti berbenah untuk
melahirkan lulusan yang berkualitas dan tenaga pemikir yang handal.

Pendidikan di Indonesia setelah proklamasi diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945


pasal 31 ayat 1,2 dan pasal 32. Pasal 31 ayat satu (1) berbunyi "Setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan " dan ayat dua (2) berbunyi "Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Pasal 32 ayat satu (1) berbunyi "Negara
memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya" dan pasal
32 ayat dua (2) "Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya

60
nasional. Sedangkan konstitusi sementara RIS menyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara
federal RIS dengan rumusan yang berbeda. Pasal-pasalnya berisi tentang hak-hak dan kebebasan
manusia. Tujuan dan dasar pendidikan pada saat itu adalah
(1) mencetak warga negara sejati yang menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara
(sebagaimana tercantum dalam Kepmendikjarbud);
(2) dasar pendidikan adalah Pancasila (Negara kesatuan I 1945-1949);
(3) membentuk manusia susila yang cakap, WNI demokratis dan bertanggung jawab.
Dasar Pancasila & kebudayaan kebangsaan Indonesia diatur dalam UUD no.4 tahun 1950
(undang-undang pendidikan dan pengajaran, yang merupakan benih timbulnya system
pendidikan nasional). Sistem Persekolahan yang diterapkan pada mulanya adalah Sekolah
Rakyat (SR) yang merupakan pendidikan rendah. Pendidikan menengah (umum,
kejuruan,keguruan) meliputi SMP, SMT, STP, ST, TM,SKP, SGKP, SGC, SGB dan SGA.

Sedangkan pendidikan masyarakat berupa PBH, kursus, dan perpus rakyat. Pendidikan
tinggi meliputi akademi, universitas, dan sekolah tinggi. Kurikulum pada setiap jenjang berisi
tentang
(1) kesadaran bernegara dan bermasyarakat;
(2) pendidikan jasmani dan
(3) pendidikan watak. Pada tahun 1947,

Panitia Mangunsarkoro di bawah pimpinan Ki Mangun Sarkoro menghasilakn lima asa


yang disebut Dasar-dasar 1947 atau Panca Dharma. Isi dari dasar-dasar 1947 adalah :
(1) kemerdekaan,
(2) kodrat alam,
(3) kebudayaan,
(4) kebangsaan dan
(5) kemanusiaan (Kusdaryanti dan Trimo, 2009).

Landasan Sejarah Pendidikan Di Masa Perjuangan Bangsa Indonesia, Masa


Pembangunan Dan MasaReformasi.

c. Zaman Kemerdekaan

61
Meski belum mencapai suasana kondusif dalam kehidupan pemerintahannya, akan tetapi
dalam bidang pendidikan pada awal kemerdekaan ini terus dilaksanakan dengan berpedoman
pada UUD1945 pasal 31. Dalam prakteknya, penyelenggaraan pendidikan pada era 1945-1950
yaitu : Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia mengusulkan perlunya pembaharuan di bidang
pendidikan. Pembentukan pendidikan masyarakat yang bertujuan membangun masyarakat adil
dan makmur berdasar pancasila.

Pembentukan Panitia Penyelidik Pengajaran

Menetapkan kurikulum awal sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan

Pembaharuan kurikulum menjadi kurikulum SR 947

d. Pendidikan di Indonesia Setelah Kemerdekaan (1945-1969)

Pendidikan dan pengajaran sampai tahun 1945 di selenggarakan oleh kentor pengajaran
yang terkenal dengan nama jepang Bunkyio Kyoku dan merupakan bagian dari kantor
penyelenggara urusan pamong praja yang disebut dengan Naimubu. Setelah di proklamasikannya
kemerdekaan, pemerintah Indonesia yang baru di bentuk menunjuk Ki Hajar Dewantara, pendiri
taman siswa, sebagai menteri pendidikan dan pengajaran mulai 19 Agustus sampai 14 November
1945, kemudian diganti oleh Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dari tanggal 14 November 1945 sampai
dengan 12 Maret 1946. tidak lama kemudian Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dig anti oleh Mohamad
Syafei dari 12 Maret 1946 sampai dengan 2 Oktober 1946. karena masa jabatan yang umumnya
amat singkat, pada dasarnya tidak banyak yang dapat diperbuat oleh para mentri tersebut.

1. Tujuan Dan Kurikulum Pendidikan

Dalam kurun waktu 1945-1969, tujuan pendidikan nasional Indonesia mengalami lima
kali perubahan. Sebagaimana tertuang dalam surat keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran,
dan Kebudayaan (PP & K), Mr. Suwandi, tanggal 1 Maret 1946, tujuan pendidikan nasional pada
masa awal kemerdekaan amat menekankan penanaman jiwa patriotosme. Hal ini dapat di
pahami, karena pada saat itu bangsa Indonesia baru saja lepas dari penjajah yang berlangsung
ratusan tahun, dan masih ada gelagat bahwa Belanda ingin kembali menjajah Indonesia. Oleh

62
karena itu penanaman jiwa patrionisme melalui pendidikan dianggap merupakan jawaban guna
mempertahankan negara yang baru diproklamasikan.

Sejalan dengan perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan nasional


Indonesia pun mengalami perluasan; tidak lagi semata menekan jiwa patrionisme. Dalam
Undang-Undang No. 4/1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. “Tujuan
pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia yang cukup dan warga negara yang
demokaratis secara bertanggung jawab tentang kesejahtraan masyarakat dan tanah air”.

Kurikulum sekolah pada masa-masa awal kemerdekaan dan tahun 1950-an ditujukan
untuk:

• meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat,

• meningkatkan pendidikan jasmani,

• meningkatkan pendidikan watak,

• menberikan perhatian terhafap kesenian,

• menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, dan

• mengurangi pendidikan pikiran.

Menyusul meletusnya G-30 S/PKI yang gagal, maka melalui TAP MPRS No.
XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan kebudayaan di adakan perubahan dalam
rumusan tujuan pendidikan nasional yaitu, “Membentuk manusia pancasilais sejati berdasarkan
ketentuan-ketentuan seperti yang dikenhendaki oleh pembukaan UUD 1945”.

2. Sistem Persekolahan

63
Sistem pendidikan di Indonesia pada awal kemerdekaan pada dasarnya melanjutkan apa
yang dikembangkan pada zaman pendudukan jepang. Sistem dimaksud meliputi tiga tingkatan
yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pendidikan rendah adalah Sekolah Rakyat (SR) 6 tahun. Pendidikan menengah terdiri
dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah tinggi. Sekolah menengah pertama yang
berlangsung tiga tahun mempunyai beberapa jenis, yaitu sekolah menegah pertama (SMP)
sebagai sekolah menengah pertama umum; kemudian sekolah teknik pertama (STP), kursus
kerajinan negeri (KKN), sekolah dagang,sekolah kepandayan putrid (SKP) sebagai sekolah
menengah pertama kejuruan; serta sekolah guru B (SGB) dan sekolah guru C (SGC) sebagai
sekolah menengah pertama keguruan.

Sekolah menegah tinggi berlangsung tiga tahun, meliputi sekolah menengah tinggi
(SMT) sebagai sekolah menengah umum, dan sekolah kejuruan berupa sekolah teknik menengah
(STM), sekolah teknik (ST), sekolah guru kepandayan putrid (SGKP), sekolah guru A (SGA)
dan kursus guru.

3. Pedidikan di Indonesia Selama PJP I (1969-1993)

Pembangunan jangka panjang meliputi lima pelita, yaitu pelita I-V yang dimulai pada
tahun 1969/1970 hingga tahun 1993/1994, atau 25 tahun. Selama kurun tersebut, pendidikan
Indonesia Indonesia mengalami kemajuan. Hal ini terutama di tandai oleh semakin luasnya
kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan;
meningkatnya jumblah sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia serta tenaga yang terlibat
dalam pendidikan; meningkatnya mutu pendidikan dibandingkan dengan masa-masa
sebelumnya; semakin mantapnya sistem pendidikan nasional dengan di sahkan undang-undang
Nomor 2 Tahun 1989 tentang system pendidikan nasional beserta sejumblah peraturan
pemerintah yang menyertainya.

Namun demikian, hingga berakhirnya pelita V, pendidikan nasional masi di hadapkan


dengan berbagai tantangan baik kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif, tantangan yang
di hadapi menyangkut pemerataan kesempatan untuk mamperoleh pendidikan khususnya
pendidikan dasar, sementara secara kualitatif tantangan yang di hadapi berkenan dengan upaya

64
mutu pendidikan, peningkatan relefansi pendidikan dengan penbangunan, efektifitas dan
efisiensi pendidikan.

B. Masa Pembangunan

Dalam rangka menyesuaikan segala usaha untuk mewujudkan Manipol, melalui


Keputusan Presiden RI No. 145 Tahun 1965 pendidikan nasional dipandang sebagai alat
revolusi. Pendidikan harus difungsikan atau harus memiliki Lima Dharma Bhakti Pendidikan,
yaitu: (1) Membina Manusia Indonesia Baru yang berakhlak tinggi (Moral Pancasila), (2)
Memenuhi kebutuhan tenaga kerja dalam segenap bidang dan tingkatnya (manpower), (3)
Memajukan dan mengembangkan kebudayaan nasional, (4) Memajukan dan mengembangkan
ilmu engetahuan dan teknlogi, (5) Menggerakkan dan menyadarkan seluruh kekuatan rakyat
untuk membangun masyarakat dan manusia Indonesia baru. Selanjutnya dinyatakan bahwa asas
pendidikan nasional adalah Pancasila – Manipol USDEK. Dengan demikian tujuan pendidikan
nasional adalah untuk melahirkan warga negara-warga negara sosialis Indonesia yang susila
yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur
baik spiritual maupun material dan berjiwa Pancasila. Dalam hal ini, moral pendidikan nasional
ialah Pancasila Manipol/USDEK, dan politik pendidikannya adalah Manifesto Politik.
Selanjutnya melalui Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem
Pendidikan Nasional Pancasila antra lain dirumuskan kembali mengenai dasar asas pendidikan
nasional, tujuan, isi moral, dan politik nasional. Yang menarik dalam rumusan-rumusan tersebut
ditegaskan sekali lagi bahwa tugas pendidikan nasional Indonesia ialah menghimpun kekuatan
progresif revolusioner berporoskan Nasakom.

Banyak progam pembangunan yang telah direncanakan dalam Pembangunan Nasional


Semesta Berencana Thap Pertama (1961-1969). Rencana proyek pembangunan di bidang
pendidikan antara lain berkenaan pengembangan pendidikan tinggi,diprioritaskannya
pengembangan sekolah-sekolah kejuruan, kursus-kursus dan sebagainya. Namun demikian
akibat pecahnya pemberontakan G-30S/PKI, maka rontoklah rencana pembangunan nasional
semesta berencana tersebut. Setelah pemberontakan G30S/PKI dapat ditumpas, terjadi suatu
keadaan peralihan masyarakat Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru.

65
1. Pendidikan Pada Masa PJP I (Pembangunan Jangka Panjang)

Pelaksaan Pelita I PJP I dicanangkan mulai 1 April 1969, maka pada tanggal 28-30 April
1969 pemerintah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengumpulkan 100 orang
pakar/pemikir pendidikan di Cipayung untuk melakukan konferensi dalam rangka: 1)
mengidentifikasi masalah-masalah pendidikan nasional, dan 2) menyusun suatu prioritas
pemecahn dari berbagai maslah tersebut, serta mencari alternatif pemecahannya.

Didalam rumusan-rumusan kebijakan pkok pembangunan pendidikan selama PJP I


terdapat beberapa kebijakan yang terus menerus dikemukakan, yaitu: 1) relevansi pendidikan, 2)
pemerataan pendidikan, 3) peningkatan mutu gru atau tenaga kependidikan, 4) mutu pendidikan,
dan 5) pendidikan kejuruan. Selain kebijakan pokok tyersebut terdapat pula beberapa kebijakan
yang perlu mendapat perhatian kita. Pertama, kebijakan untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat di dalam bidang pendidikan,. Kedua, pengembangan sistem pendidikan yag efisien
dan efektif. Ketiga, dirumuskan dan disahkannya UU RI No. 2 Tahun 1989 Tentang “ Sistem
Pendidikan Nasional” sebagai pengganti UU pendidikan lama yang telah diundangkan sejak
tahun 1950.

Kurikulum Pendidikan dalam PJP I telah dilakukan tiga kali perubahan kurikulum
pendidikan (sekolah), yaitu dikenal sebagai: Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, dan Kurikulum
1984. Kurikulum Pendidikan Kejuruan, dalam Pelita I selain penyempurnaan sistem sekolah
kejuruan juga ditingkatkan mutu pendidikannya terutama mutu guru dan laboratoriumnya.
Dengan dana pinjaman Bank Dunia diadakan brbagai usah untuk meningkatkan pendidikan
teknik menengah. Beberapa STM ditingkatkan, juga membangun apa yang disebut Sekolah
Teknik Menengah Pembangunan, diadakan bengkel-bengkel latihan pusat yang dapat digunakan
beberapa STM termasuk STM swasta. Usaha perbaikan kurikulum terus menerus, baik melalui
dan pinjaman dari ADB juga bantuan dari negara-negar sahabat.

2. Masa Reformasi

Selama Orde Baru berlansung, rezim yang berkuasa sangat leluasa melakukan hal-hal
yang mereka ingunkan tanpa ada yang berani melakukan pertentangan dan perlawanan, rezim ini
juga memiliki motor politik yang sangat kuat yaitu partai Golkar yang merupakan partai terbesar

66
saat itu. Hampir tidak ada kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu, termasuk
kebebasan untuk berbicara dan menyampaikan pendapatnya.

Maraknya gerakan reformasi menyebabka tumbangnya kekuasaan orde baru. Implikasi


dari peristiwa itu dapat dirasakan pada seluruh aspek kehidupan bernegara, termasuk bidang
pendidikan. Dengan di berlakukannya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 maka sistem
penyelengaraan pendidikan berubah ke otonomi pendidikan. Desentralisasi kekuasaan yang
menitik beratkan pada partisipasi rakyat menuntut tersedianya tenaga-tenaga terampil dalam
jumlah dan kualitas yang tnggi serta pemberdayaan lembaga-lembaga sosial di daerah termasuk
dalm bidang pendidikan. Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan di daerah akan memberikan
implikasi langsung dalam penyusunan kurikulum yang dewasa ini sangat sentalistis.

Disamping itu kesejahteraan tenaga kependidikan perlahan-lahan meningkat. Hal ini


memicu peningkatan kualitas profesional mereka. Instrumen-instrumen untuk mewujudkan
desentralisasi pendidikan juga diupayakan, misalnya MBS (Manajemen Berbasi Sekolah), Life
Skill (Lima Ketrampilan Hidup), dan TQM (Total Quality Manajement).

Pendidikan di Indonesia Dewasa Ini;

1. wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun

Pada tanggal 2 mei 1994 wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun untuk tingkat SLTP
dicanangkan. Sepuluh tahun sabelumnya, tepatnya pada tanggal 2 mei 1984, Indonesia juga
memulai wajib belajar 6 tahun untuk tingkat SD, bersamaan dengan peresmian berdirinya
Universitas terbuka. Wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun mempunyai 2tujuan utama yang
berkaitan satu sama lain. Pertama, meningkatkan pemerataan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan bagi setiap kelompok umur 7-15 tahun. Kedua untuk meningkatkan mutu
sumberdaya manusia Indonesia hingga mencapai SLTP. Dengan wajib belajar, maka pendidikan
minimal bangsa Indonesia semula 6 tahun ditingkatkan menjadi 9 tahun.

Sasaran-sasaran wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dalam pelita VI adalah, pertama,
meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) tingkat SLTP menjadi 66,19% dari keadaan
padaawal pelita V yang mencapai 52,67%. Kedua, meningkatkan jumblah lulusan SD/MI yang

67
tertampung di SLTP dan MTs sebesar 5400.000, yaitu dari 2,56 juta pad tahun 1993/1994
menjadi 3,10 juta pada tahun 1998/1999. Ketiga, tercapainya jumblah guru SD yang minimal
berkualifikasi D-II sebayak 80%, guru SLYP berkualifikasi D-III sekitar 70%. Tantangan yang
di hadapi oleh program wajip belajar pendidikan dasar 9 tahun memang lebih besar jika
dibandikan dengan wajib belajar 6 tahun. Alasnya antara lain, pertama, pada saat dimulainya
wajip belajar pendidikan dasar sembilan tahun, baru skitar separuh dari kelompok umur 13-15
tahun yang berada disekolah. Kedua, daya dukung berupa dana, sarana, dan tenaga yang dimiliki
oleh Indonesia untuk melaksanakan wajip belajar pendidikan dasar 9 tahun tidak lagi sebanyak
pada saat dilaksanakan wajib belajar 6 tahun. Misalnya, pembangunan SD dalam jumblah besar
melalui inpres. Ketiga, guna menampung 6,26 juta anak usia 13-15 tahun di SLTP diperlukan
sarana, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit. Sejak di mulai pada tahun 1994, program wajip
belajar pendidikan dasar sembilan tahun mencapai banyak kemajuan. Indikator-indikator
kuantitatif yang di catat menunjukan bahwa angka partisipasi meningkat sejalan dengan semakin
bertambahnya ruang belajar, jumblah guru, dan fasilitas belajar lainnya .

2. Pelaksanaan kurikulum 1994

Kurikulum 1994 di berlakukan secara bertahap mulai tahun ajaran 1994/1995. kurikulum
1994 disusun dengan maksud agar proses pendidikan dapat selalu menyesuakan diri dengan
tantangan yang terus barkembang, sehingga mutu pendidikan akan semakin meningkat.
Kurikulum 1984 yang telah berjalan 10 tahun dipandang perlu untuk diperbaharui karena
menurut hasil-hasil pengkajian, ditemikan adanya materi kurikulum yang tmpang tindih dan
memerlukan penambahan. Misalnya tumpang tindih antara materi PMP, Sejarah Nasional, dan
PSPB yang dalam kurikulum 1994 strukturnya lebih di sederhanakan. Disahkannya UU No
2/1989 tentang system Pendididkan Nasional yang diikuti oleh berbagai peraturan pemerintah
mempuyai implikasi pada perlunya kurikulum pendidikan mengalami penyesuaian. Menyusul
terjadinya informasi, dilakukan kembali revisi atas kurikilum 1994 dengan menata kembali
struktur programnya yang kemudian dikenal dengan kurikulum 1994 yang disempurnakan.

3 Implikasi Landasan Sejarah Pendidikan Terhadap Pendidikan.

68
Masa lampau memperjelas pemahaman kita pada masa kini. Sistem pendidikan yang kita
terapkan masa kini adalah hasil perkembangan pendidikan yang tumbuh dalam sejarah
pengalaman bangsa kita pada masa lampau. Hal ini sudah terbukti dengan adanya kemajuan
perkembangan dalam segala bidang, misalnya; ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, sosial dan
budaya. Berikut pembahasan tetntang implikasi landasan sejarah terhadap konsep pendidikan ;

Tujuan pendidikan diharapkan bertujuan dan mampu mengembangkan berbagai macam


potensi peserta didik. Serta mengembangkan kepribadian mereka secara lebih harmonis. Tujuan
pendidikan juga diarahkan untuk pengembangkan segala aspek pribadi yang terdapat dalam
individu peserta didik, baik dalam aspek keagamaan ataupun kemandirian. Dengan mengetahui
landasan sejarah pendidikan kita dapat mengetahui betapa pentingnya konsep tujuan dari
pendidikan yang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.

Proses Pendidikan terutama proses belajar- mengajar dan materi pelajaran harus
disesuaikan denagn tingkat perkembangan peserta didik, melaksanakan metode global untuk
pelajaran bahasa, mengembangkan kemandirian dan kerjasama siwa dalam pembelajaran,
menegmbangkan pelajaran dalam lintas disiplin ilmu, demokratisasi dalam pendidikan, serat
pengembangan ilmu dan teknologi.

Kebudayaan nasional, Sejarah membawa perubahan kebudayaan. Dari zaman dahulu


dahulu sampai saat ini, adanya perubahan budaya karena pengalaman sejarah melalui penemuan
baru, pertukaran budaya akibat penjajahan bangsa asing sehingga sejarah membawa dampak
perubahan peradaban kebudayaan melalui peranan pendidikan.Pendidikan harus juga memajukan
kebudayaan nasional. Pidarta (2008:149) mengatakan bahwa kebudayaan nasional merupakan
puncak-puncak budaya daerah dan menjadi identitas bangsa Indonesia agar tidak ditelan oleh
budaya global.

Inovasi-inovasi Pendidikan. Inovasi-inovasi harus berumber dari hasil hasil penelitian


pendidikan di indonesia, sehingga diharapkan pada akhirnya membentuk konsep-konsep
pendidikan yang bercirikan indonesia.

  Penyelenggaraan Pendidikan Pada Awal Kemerdekaan (1945-1950)

69
a.              Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) mengusulkan
perlunya pembaharuan di bidang pendidikan. Usulan itu antara lain :
(1)          Pengajaran harus membimbing murid untuk menjadi warga negara yang
bertanggung jawab.
(2)          Sesuai dengan sila keadilan sosial, pengajaran harus terbuka untuk setiap
penduduk baik laki-laki maupun perempuan.
(3)          Untuk orang dewasa perlu diselenggarakan pemberantasan buta huruf.
(4)          Pendidikan agama hendaknya mendapat tempat yang teratur dan seksama.
Ponpes dan madrasah yang telah lama berdiri hendaknya mendapat bantuan dan perhatian yang
nyata dari pemerintah.
(5)          `Pengajaran teknik dan perekonomian harus mendapat perhatian istimewa.
b.             Atas usulan S. Mangunsarkoro akhirnya dibentuk pendidikan masyarakat yang
bertujuan membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila. Untuk mencapai
tujuan ini sekolah harus menggunakan metode belajar (ceramah, tanya jawab, diskusi, partisipasi
aktif) dan metode kerja.
c.              Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan membentuk Panitia
Penyelidik Pengajaran yang dipimpin  Ki Hajar Dewantoro dengan tugas: (1) mengadakan
struktur pengajaran model baru; (2) menetapkan bahan pengajaran dengan menimbang keperluan
praktis; dan (3) menyiapkan rencana pelajaran untuk setiap sekolah dan setiap kelas.
d.             Pemerintah harus menambah gedung sekolah karena gedung sekolah yang ada
hancur akibat perang. Usaha dilakukan antara lain: (1) mendirikan gedung baru; (2) menyewa
rumah penduduk untuk pelaksanaan pendidikan; (3) mengadakan sistem shift ( sekolah pagi dan
sekolah sore menempati sebuah gedung).
e.              Menetapkan kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan pengajaran
nasional. Kurikulum hendaknya berisi:
(1)          Meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat
(2)          Meningkatkan pendidikan jasmani
(3)          Meningkatkan pendidikan watak

f.         Hasil pembaruan Kurikulum lahir Kurikulum SR 1947 yang membedakan tiga
macam struktur program, yaitu:

70
(1)          SR dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pada kelas rendah.
(2)          SR dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar sejak kelas satu.
(3)          SR yang diselenggarakan sore hari terbatas sampai dengan kelas IV, kelas V &
kelas VI harus masuk pagi.
g.        Kurikulum SR 1947 terdiri atas 15 mata pelajaran, yaitu:
(1)          Bahasa Indonesia
(2)          Bahasa Daerah
(3)          Berhitung
(4)          Ilmu Alam
(5)          Ilmu Hayat
(6)          Ilmu Bumi
(7)          Sejarah
(8)          Menggambar
(9)          Menulis
(10)      Seni Suara
(11)      Pekerjaan Tangan
(12)      Gerak Badan
(13)      Kebersihan dan Kesehatan
(14)      Budi Pekerti
(15)      Pendidikan Agama

a.    Penyelenggaraan Pendidikan


Untuk penyelenggaraan pendidikan dikeluarkan PP No. 65 Th. 1951 tentang penyerahan
sebagian urusan pemerintah pusat ke provinsi termasuk urusan pendidikan pengajaran dan
kebudayaan. Dengan PP tersebut provinsi memiliki kewajiban:
(1)          Mendirikan sekolah rendah kecuali sekolah rakyat latihan
(2)          Memberikan subsidi kepada partikulir
(3)          Mata pelajaran agama diberikan menurut agamanya, dimulai kelas IV
(4)          Guru agama diangkat oleh Menteri Agama atas usulan instansi agama yang
berkepentingan.
b.   Partisipasi Pendidikan Swasta

71
Sejak 1951 sekolah-sekolah swasta yang bercirikan keagamaan banyak bermunculan.
MPPK (Majelis Pusat Pendidikan Kristen), Lembaga Pendidikan Katolik demikian juga sekolah-
sekolah Muhammadiyah yang semula hanya mengajarkan ilmu agama kemudian diperluas
mengajarkan ilmu umum. Di samping sekolah keagamaan seperti Madrasah Ibtidaiyah, Aliyah,
Tsanawiyah, Mualimin, Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah umum (SD, SMP, SMEP,
SMA, SGB) Taman Siswa, Nahdatul Ulama serta badan-badan yang netral bermunculan untuk
mendirikan sekolah-sekolah.

72
BAB III
PENUTUP
A.           KESIMPULAN
Dengan mengetahui sistem-sistem pendidikan pada era sebelum dan sesudah
kemerdekaan kita dapat membedakan sistem pendidikan pada era klasik, kolonial dan era
sesudah kemerdekaan. Kita dapat menjadikan sejarah pendidikan di Indonesia sebagai suatu
pembelajaran ke masa depan untuk tentunya menjadi lebih baik dari sebelumnya juga sebagai
pengalaman yang paling berbekas untuk membentuk kepribadian setiap individu penuntut ilmu
untuk lebih giat belajar mengenai kesalahan-kesalahan bangsa terdahulu sehingga  bangsa kita
dapat sejajar bahkan melampaui bangsa-bangsa lainnya melalui pendidikan yang tentunya
merupakan salah satu tolak ukur kemajuan satu bangsa.

73
DAFTAR PUSTAKA

Asrahah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999.

Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru.
Ciputat: Logos. 1999.

Daud Ali, Muhammad. Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo


Persada. 1995.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta:
LP3S. 1983.

Dirjen Bimbaga Islam. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Depag. 1984.

Fadjar, Malik. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan. 1998.

Ibrahim Alfian, Teuku. Kontribusi Samudra Pasai terhadap Studi Islam Awal di Asia
Tenggara. Yogyakarta: Ceninnets. 2005.

Madjid, Nurcholis. Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina.


1997.

Maksum. Madrasah, Sejarah, dam Perkembangannya. Jakarta: Logos. 1999.

Mansur dan Mahfud Junaedi. Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Departemen Agama RI. 2005.

Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
2004.

Nata, Abuddin (Ed). Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga


Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Grasindo. 2001.

Nizar, Samsul. Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam. Ciputat: Quantum
Teaching. 2005.

74
Samsul. Sejarah Pendidikan Islam: Menelususri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah
sampai Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Group. 2007.

Prasodjo, Sudjono. Profil Pesantren. Jakarta: LP3S. 1982.

Sumber: https://www.tongkronganislami.net/sejarah-perkembangan-lembaga-
pendidikan-islam-indonesia/

Jumali , M dkk. 2008. Landasan Pendidikan. Surakarta : Muhammadiyah University Press


2008

http://tyarmahutasoitregb.blogspot.com/2012/11/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none.html

https://ikadekartajaya.wordpress.com/2013/09/21/landasan-sejarah-pendidikan-di-indonesia/

http://dyahrochmawati08.wordpress.com/2008/11/30/landasan-historis-pendidikan-di-
indonesia/.

Kusdaryanti ,Wiwik dan Trimo. 2009. Landasan Kependidikan. Semarang: IKIP Press. hal
76-94 –
Redja Mudyahardjo. 2001. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hal 369-
400 - Tilaar, H. A. R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. hal 2-25 -
http://omkacili.blogspot.com/2011/05/sistem-pendidikan-indonesia-pada-masa.html

Make Google view image button visible again: https://goo.gl/DYGbub

Ekadjati, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Pustaka Jaya. Jakarta.

Munandar, Agus Aris. 1990. Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur
Abad 14—15. Tesis Magister Humaniora. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Santiko, Hariani. 1986. “Mandala (Kedwaguruan) Pada Masyarakat Majapahit,” dalam


Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, buku IIb Aspek Sosial Budaya, Cipanas, 3—9 Maret
1986. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, halaman 304—18.

75
www.google.com

Ekadjati, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Pustaka Jaya. Jakarta.

Munandar, Agus Aris. 1990. Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur
Abad 14—15. Tesis Magister Humaniora. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Santiko, Hariani. 1986. “Mandala (Kedwaguruan) Pada Masyarakat Majapahit,” dalam


Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, buku IIb Aspek Sosial Budaya, Cipanas, 3—9 Maret
1986. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, halaman 304—18.

Winarno, Agung. 2014. Pengantar Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang.

Mudyahardjo, Redja. 2008. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.

Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan : Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak


Indonesia.Jakarta: Rineka Cipta.

Suardi. 2012. Pengantar Pendidikan Teori dan Aplikasi. Jakarta Barat: PT INDEKS.

76

Anda mungkin juga menyukai