Anda di halaman 1dari 6

KONSEP KEKERASAN MENURUT JOHAN GALTUNG

Anandita Pramesti
13040219120018
Email : ananditapramesti@gmail.com
Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro

A. Konsep Kekerasan
Kekerasan hadir ketika manusia dipengaruhi oleh berbagai hal entah kekuasaan,
kekayaan, agama, ras, gender dll. Kekerasan menurut Galtung sendiri adalah perilaku kasar
yang menyakiti secara fisik, emosional, verbal, institusional, struktural atau spiritual, juga
perilaku, sikap kebijakan atau kondisi yang melemahkan, mendominasi atau menghancurkan
diri sendiri maupun orang lain (Galtung, 1971) (dalam Linda, 2017:3). Tetapi konsep
kekerasan ini tidak melulu tentang perampasan kesehatan maupun tindak pembunuhan.
Konsep kekerasan ini harus diperluas dengan konsep perluasan yang logis. Maka Galtung
membaginya menjadi enam dimensi kekerasan yang mencirikan aksi kekerasan itu sendiri
atau cara pengaruhnya (Galtung, 1969:169-172).
Pertama, perbedaan anatara kekerasan fisik maupun psikologis, pada kekerasan fisik
seseorang akan dianiaya dan bisa berujung pada pembunuhan, sedangkan kekerasan
psikologis terjadi saat seseorang dibatasi dalam mengembangkan potensi mentalnya.
Pembatasan ini dilakukan kepada individu maupun kelompok sehingga korban akan
merasakan stres terkungkung di situasi yang sama dalam waktu lama. Korban akan
mendapatkan kekerasan psikologis berupa pemebohongan, cuci otak, indoktrinisasi dan
ancaman.
Kedua, perbedaan antara pendekatan positif dan negatif terhadap pemengaruh.
seseorang dapat dipengaruhi tidak hanya dengan menghukumnya ketika dia melakukan apa
yang dianggap salah oleh pemberi pengaruh, tetapi juga dengan memberi penghargaan
kepadanya ketika dia melakukan apa yang dianggap benar oleh pemberi pengaruh. Hal ini
dianggap sebagai tindak kekerasan karena masih digunakan secara efektif untuk mencegah
penyadaran manusia atas potensi yang mereka miliki. Sistem ini berorientasi pada
penghargaan, didasarkan pada janji-janji euforia, tetapi dengan demikian juga mempersempit
rentang tindakan.
Ketiga, memastikan apakah ada objek yang terluka atau tidak. Ketika seseorang, suatu
kelompok, suatu bangsa mempertunjukkan alat-alat kekerasan fisik, baik melempar batu atau
menguji senjata nuklir, boleh jadi tidak ada kekerasan dalam arti ada yang dipukul atau
dilukai, tetapi tetap ada ancaman kekerasan fisik. Bentuk ancaman ini termasuk pada
kekerasan psikologis karena membatasi tindakan manusia. Ancaman yang dilakukan adalah
dengan merusak barang-barang berharga milik korban atau mengancam akan melukai
seseorang.
Keempat, ada atau tidaknya subjek (orang) yang bertindak. Maksudnya adalah apakah
kekerasan yang dilakukan melibatkan aktor atau tidak. Jika melibatkan aktor dan jelas
orangnya maka hal itu masuk pada kekerasan pribadi atau langsung. Sedangkan kekerasan
yang tidak memiliki aktor masuk pada kekerasan struktural. Dalam kedua kasus tersebut,
individu dapat dilukai, dipukul bahkan dibunuh atau dimutilasi. Jika kasus tersebut masuk
pada kekerasan pribadi maka bisa ditelusuri lewat aktor-aktor yang terkait. Sedangkan jika
masuk pada kekerasan struktural hal itu tidak akan bermakna karena tidak boleh ada orang
yang secara langsung merugikan orang lain dalam struktur.
Kelima, harus bisa membedakan kekerasan yang disengaja maupun tidak disengaja.
Karena kekerasan sering membawa konsep bias tentang siapa sebenarnya yang bersalah.
Jangan sampai menangkap ikan kecil dan membiarkan lolos ikan besar. Tetapi hal ini sering
terjadi pada kekerasan struktural dan malah diangkat menjadi sebuah kebijaksanaan.
Keenam, membedakan dua tingkat kekerasan yaitu manifes dan laten. Kekerasan
manifes baik secara langsung maupun struktural dapat diamati dengan mudah karena entitas
teoritis dari realisasi potensi masuk ke dalam gambaran. Sedangkan keekrasan laten adalah
sesuatu yang tidak ada (tersembunyi), namun dapat mudah terjadi. Kekerasan terjadi karena
perbedaan peningkatan potensi serta penurunan tingkat aktual. Pada kekerasan pribadi saat
ada sedikit tantangan malah memicu pembunuhan dan kekejaman yang cukup besar.
Dari pernyataan di atas, Galtung sering menyebutkan tentang kekerasan
pribadi/langsung dan kekerasan struktural. Tetapi Galtung sendiri memiliki tiga pandagan
tentang kekerasan yang ia sebut dengan segitiga kekerasan. Segitiga kekrasan ini meliputi
kekerasan langsung, struktural dan kultural. Kekerasan langsung terlihat nyata apa
perbuatannya dan siapa pelakunya. Kekerasan struktural melukai kebutuhan dasar manusia,
tetapi tak ada pelaku langsung yang bisa diminta tanggung jawabnya. Sedangkan kekerasan
kultural adalah legitimasi atas kekerasan struktural maupun kekerasan langsung secara
budaya (Galtung, 1990: 291-305) (dalam Linda, 2017:2).
Sifat kekerasan langsung/pribadi adalah dinamis, mudah diamati, memperlihatkan
fluktuasi yang hebat yang dapat menimbulkan perubahan. Sedangkan kekerasan struktural
sifatnya statis, memperlihatkan stabilitas tertentu dan tidak tampak. Objek kekerasan pribadi
biasanya merasakan kekerasan, dan mungkin mengeluh sedagkan objek kekerasan struktural
dapat dibujuk untuk tidak merasakan ini sama sekali. Dalam masyarakat statis kekerasan
pribadi akan dicatat dan pelakunya akan ditandai, sedangkan kekerasan struktural tidak begitu
terlihat dan diangga normal. Sebaliknya pada masyarakat dinamis kekerasan pribadi tetap
dilihat sebagai sesuatu yang salah dan berbahaya tetapi masih bisa disesuaikan dengan
tatanan yang ada, namun kekerasan struktural terlihat menonjol dan dianggap sebagai
hambatan. (Galtung, 1969:173). Galtung mengungkapkan bahwa kekerasan langsung,
struktural dan kultural dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan dasar. Kebutuhan-
kebutuhan dasar ini adalah kelestarian dan keberlangsungan hidup (survival needs),
kesejahteraan (well-being needs), kebebasan (freedom needs), dan identitas (identity needs).
Jika empat kebutuhan dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari kekuasaan personal
dan struktural, maka konflik kekerasan akan muncul (Galtung, 1990:292).
Kekerasan pribadi bertitik berat pada "realisasi jasmani aktual". Ada tiga pendekatan
untuk melihat kekerasan pribadi yaitu cara-cara yang digunakan (menggunakan badan
manusia atau senjata), bentuk organisasi (individu, massa atau pasukan), dan sasaran
(manusia). Kekerasan pribadi dapat dibedakan dari susunan anatomis (secara struktural) dan
secara fungsional (fisiologis). Pembedaan antara yang anatomis dan fisiologis terletak pada
kenyataan bahwa yang pertama sebagai usaha menghancurkan mesin manusia sendiri
(badan), yang kedua untuk mencegah supaya mesin itu tidak berfungsi (Windhu, 1992: 74)
(dalam Thomas, 2001:94).
Menurut Galtung satu jenis kekerasan tidak mengandaikan kehadiran nyata jenis
kekerasan lainnya. Namun, dapat diakui bahwa kemungkinan kekerasan struktural nyata
mengandaikan kekerasan pribadi tersembunyi. Misalnya, jika struktur terancam, mereka yang
mendapat keuntungan dari kekerasan struktural, terutama mereka yang berada pada posisi
puncak akan berusaha mempertahankan status quo untuk melindungi kepentingan-
kepentingannya. Mereka ini bisa saja tidak tampil terang-terangan untuk membela struktur,
tetapi dengan menggunakan "alat" (polisi, tentara bayaran) untuk memerangi sumber -
sumber kekacauan, sementara mereka sendiri tetap tinggal jauh terasing dan terpencil dari
pergolakan kekerasan personal (Windhu, 1992: 77) (dalam Thomas, 2001:95).
Kemudian pada kekerasan kultural Galtung membaginya pada enam dominan
kultural, diantaranya ada agama dan ideologi, bahasa dan seni, kemudian ilmu empiris dan
ilmu formal. Masing-masing memiliki potensi keekrasan dari budaya dominan. Sehingga
mengidentifikasi elemen budaya dan menunjukkan bagaimana elmen itu, secara empiris dan
potensial dapat dipakai untuk melegitimasi keekrasan langsung ataupun kekerasan struktural.
Pada agama kekerasan terjadi saat ada satu golongan merasa bahwa keyakinan merekalah
yang paling benar, sedangkan yang lain ‘sesat’ oleh karena itu (pada pandangan mereka)
boleh dimusnakhkan. Contohnya pada pembunuhan massal rakyat Rohingiya, tindak
kekerasan pada suku Uighur dan konflik Israel-Palestina. Hingga saat ini Israel terus-terusan
membombardir wilayah Palestina dengan dalil bahwa mereka lah manusia terpilih untuk bisa
memiliki ‘tanah yang dijanjikan’, dimana tanah tersebut masih dihuni oleh warga Palestina.
Selanjutnya ada kekerasan pada bidang ideologi. Ideologi merupakan gagasan yang
dimiliki suatu negara untuk mengatur tata perilaku hidup masyrakatnya. Oleh karena itu
semua warga negara harus tunduk atas perintah yang dibentuk pemimpinnya, termasuk
perintah untuk berperang. Pembunuhan dalam perang sekarang dilakukan atas nama 'bangsa',
yang terdiri dari semua warga negara dengan beberapa etnis yang sama. Disini negara bisa
dilihat sebagai penerus Tuhan karena mewarisi hak untuk memusnahkan (eksekusi) atau hak
utuk menciptakannnya (dengan cara menjajah wilayah baru untuk dijadikan wilayahnya).
(Galtung, 1990:299).
Lalu ada kekerasan pada bidang bahasa. Kekrasan pada bidang ini tidak terlalu
terlihat atau implisit. Kekerasannya berupa munculnya kekakuan ruang dan waktu tertentu
yang dipaksakan oleh bahasa-bahasa Indo-Eropa. kekakuan yang sesuai dalam struktur logis
dengan penekanan kuat pada kemungkinan sampai pada kesimpulan yang valid (karenanya
kebanggaan Barat menjadi begitu 'logis'), kecenderungan untuk membedakan secara
linguistik antara esensi dan penampakan, meninggalkan ruang untuk keabadian esensi dan
dengan implikasi untuk legitimasi menghancurkan apa yang hanya penampakan (Galtung,
1990:299).
Berikutnya ada kekerasan pada bidang seni. Kekerasan ini berkembang di wilayah
eropa dengan istilah ‘despotisme oriental’, yaitu para pemimpin memiliki kekuasaan yang
tidak terbatas dan berperilaku sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan ini kemudian
memunculkan aliran seni lukis di Prancis pada abad ke-19 yang berlatar kebebasan seks dan
kekerasan (Galtung, 1990:300).
Setelah itu ada kekerasan pada bidang ilmu empiris. Kekerasan pada bidang ini dilihat
pada doktrin yang mengatur bahwa setiap negara harus memasuki pasar dunia dengan
produk-produk yang negara tersebut memiliki keunggulan komparatif dalam hal faktor
produksi. Pada doktrin tersebut diartikan bahwa negara-negara yang diberkahi dengan bahan
mentah tetapi memiliki tenaga kerja tidak terampil harus mengekstrak bahan mentah,
sementara negara-negara yang diberkahi modal dan teknologi, tenaga kerja terampil dan
ilmuwan, harus memprosesnya (Galtung, 1990:300). Maka yang lebih diuntungkan di sini
adalah para negara maju, karena menguasai tenaga kerja maupun sumber daya dan itu rata-
rata dimanfaatkan hanya untuk negaranya sendiri. Sehingga negara berkembang yang
dimanfaatkan sumber dayanya oleh negara lain tidak bisa maksimal dalam mengolah
kekayaan negerinya, tindakan ini tidak jarang menimbulkan maslah sosial berupa
kemiskinan.
Terakhir ada kekerasan pada bidang ilmu formal. Pada bidang ini tidak bisa
dipandang secara matematik, tetapi matematika mendisiplinkan kita ke dalam cara berpikir
tertentu yang sangat cocok dengan pemikiran dan polarisasi hitam-putih dalam ruang pribadi,
sosial, dan dunia. Sehingga semua tindakan dipkirkan secara matang-matang jika tidak sesuai
perhitungan maka akan menimbulkan konflik dan berpotensi kekerasan (Galtung, 1990:301).
B. Contoh kasus kekerasan
1. Kekerasan pribadi/langsung
Kekerasan ini tercermin pada tindakannya yang nyata dan jelas siapa aktor atau
pelakunya. Kekerasan ini sering menuju pada tindakan fisikal dan yang paling parah
adalah tindak pembunuhan. Seperti kasus kekerasan yang terjadi di Kiriwok,
Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua bahwa para tenaga kesehatan (nakes) diserang
oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Mereka menghancurkan kaca-kaca,
memukul pintu bahkan menyiramkan bensin di sekitar barak medis dan mulai
membakarnya. Mengetahui hal itu para nakes pun bersembunyi di dalam kamar
mandi, tetapi karena keadaan semakin buruk akhirnya mereka berusaha untuk keluar
mencari tempat yang lebih aman. Namun naas saat mereka berniat untuk kabur para
kawanan KKB mengetahui dan mengejar mereka, hingga ikut masuk ke dalam jurang.
Saat itu diketahui ada empat suster yang mencoba menyelamatkan diri dengan
melompat ke jurang, yaitu Marselinus, Kastriyanti, Kristina dan Gabriel, namun yang
berhasil meloloskan diri hanyalah Marselinus. Ketiga anggota nakes tadi disiksa dan
dilecehkan hingga akhirnya pingsan, kemudian dibuang ke dalam jurang yang
kedalamannya hampir 400 m (Tempo, 2021).
Kekerasan yang terjadi di atas sangatlah komplek, mulai dari penyerangan,
penyiksaan, pemerkosaan hingga pembunuhan. Semuanya nyata terlihat dan diketahui
aktornya yaitu para KKB. Motif dari penyerangan ini adalah bentuk perlawanan untuk
dapat memisahkan diri dari NKRI

2. Kekerasan Struktural
Kekerasan ini tidak begitu terlihat tapi dapat dirasakan. Tidak secara fisik tapi lebih
banyak menyerang psikologis. Contoh dari kasus ini adalah kaburnya Rachel Vennya
dari karantina. Melansir dari Beriita Satu (2021), Rachel kabur setelah tiga hari
dikarantina, padahal prosedur yang harus dilakukan adalah delapan hari. Setelah
diusut Rachel dibantu oleh oknum TNI berinisial FS, yang telah mengatur agar
selebgram Rachel Vennya dapat menghindari prosedur pelaksanaan karantina yang
harus dilalui setelah melakukan perjalanan dari luar negeri. Dengan begitu Rachel
Vennya ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.
Banyak masyarakat yang tersakiti atas tindakan Rachel, karena banyak yang taat
menjalani karantina meskipun pada akhirnya mereka tidak bisa menemui keluarga
yang mereka cintai karena sudah meninggal dunia, sedangkan Rachel dengan
kekayaan atau kekuasaan yang ia miliki bisa melakukan hal yang tidak bisa dilakukan
orang lain yang bernasib sama dengan dia (menjalani karantina). Namun lambatnya
tindakan yang dilakukan polisi juga membuat masyarakat ‘gemas’ mengapa kasus
yang lebih kecil dari ini cepat dituntaskan sedangkan ini yang menjadi contoh buruk
masyarakat sangat lamban penanganannya.

3. Kekerasan Kultural
Kekerasan kultural sering dianggap sebagai kewajaran, keabsahan, bahkan kewajiban
yang harus ditunaikan. Korban kekerasan kultural justru sering membela kekerasan
kultural. Karena menjadi bentuk legitimasi dari kekerasan langsung dan struktural hal
ini membuatnya jadi kabur dan tidak tampak seperti kekerasan. Contohnya adalah
kasus bunuh diri masal yang dilakukan oleh Sekte Gerbang Surga. Mengutip dari
Tribun News (2019) disebutkan bahwa pada tanggal 26 Maret 1997 ditemukan 39
orang tewas dalam ritual bunuh diri di sebuah rumah di San Diego, California.
Puluhan orang ini merupakan para anggota sekte Heaven's Gate atau Gerbang Surga
yang percaya bahwa mereka harus pergi meninggalkan dunia untuk mengikuti Komet
Hale-Bopp dengan menumpang pesawat ekstra terestial. Satu-satunya cara yang
mereka yakini adalah dengan bunuh diri. Mereka percaya bahwa planet bumi akan
segera memasuki fase pembersihan, dan satu-satunya cara untuk selamat yakni
dengan meninggalkan bumi sesegera mungkin. pemimpin mereka bernama Marshall
Applewhite mengatakan bahwa ritual bunuh diri massal yang dalam keyakinannya
merupakan cara beralih ke tahapan kehidupan selanjutnya. Applewhite pun mengajak
38 orang pengikutnya untuk bunuh diri. Ia meyakinkan bahwa ruh mereka kemudian
akan dibawa oleh UFO menuju ke pesawat luar angkasa dan akan tiba di tahapan
kehidupan selanjutnya yang lebih tinggi dari kehidupan di dunia. Mereka kemudian
bunuh diri dengan mencampurkan phenobarbital dengan jus apel dan dioplos dengan
vodka. Setelah menenggak racun, mereka kemudian akan menutup kepala mereka
sendiri menggunakan kain berwarna ungu, menggunakan setelah hitam dan semuanya
menggunakan sepatu nike.
DAFTAR PUSTAKA

Johan Galtung. 1969. Violence, Peace, And Peace Research. Journal of Peace
Research. Vol. 6, No. 3.

Johan Galtung. 1990. Cultural Violence. Journal of Peace Research. Vol. 27, No. 3

Linda Dwi Eriyanti. 2017. Pemikiran Johan Galtung tentang Kekerasan dalam
Perspektif Feminisme. Jurnal Hubungan Internasional. Vol. 6, No. 1.

Thomas Santoso. 2001. Kekuasaan dan Kekerasan. Masyarakat, Kebudayaan dan


Politik. Vol. 19, No. 4.

Tempo. 2021. Cerita Tenaga Kesehatan Korban Penyerangan KKB di Kiwirok:


Dilempar ke Jurang. https://nasional.tempo.co/read/1507298/cerita-tenaga-kesehatan-
korban-penyerangan-kkb-di-kiwirok-dilempar-ke-jurang/full&view=ok (diakses pada
28 Oktober 2021 pukul 20.44 WIB)

Berita Satu. 2021. Kaburnya Rachel Vennya dari Karantina Terbongkar karena Cuitan
Warganet. https://www.beritasatu.com/megapolitan/842531/kaburnya-rachel-vennya-
dari-karantina-terbongkar-karena-cuitan-warganet (diakses pada 28 Oktober 2021
pukul 21.15 WIB)

Tribun News. 2019. 7 Kasus Bunuh Diri Massal Tersadis dan Mengerikan, Nomor 5
Terjadi di Indonesia. https://makassar.tribunnews.com/2019/10/15/7-kasus-bunuh-
diri-massal-tersadis-dan-mengerikan-nomor-5-terjadi-di-indonesia (diakses pada 28
Oktober 2021 pukul 22.00 WIB)

Anda mungkin juga menyukai