Anda di halaman 1dari 173

Pilar Teduh

Membuktikan Tuhan Itu


Ada
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Judul Naskah

Penulis: Nama Penulis


Editor: Nama Editor
Tata Letak: Nama Layouter
Sampul: Pembuat Cover

Diterbitkan Oleh:
Guepedia
The First On-Publisher in Indonesia

E-mail: guepedia@gmail.com
Fb. Guepedia
Twitter. @guepedia

Website: www.guepedia.com

Hak Cipta dilindungi Undang-undang


All right reserved

2
Pilar Teduh

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur Penulis panjatkan pada


Tuhan Yang Maha Ada. Ya, wujudnya sangat jelas.
Begitu jelasnya, sehingga tidak perlu untuk “dibuktikan”
lagi ke-Ada-nnya. Dia Yang Maha Esa, Tunggal tidak
berbilang. Mandiri tidak butuh siapapun. Sederhana dan
tidak tersusun oleh komposisi apapun.
Sholawat serta salam penulis hadiahkan kepada
Sang Empu Mukjizat Al-quran yang selalu relevan
sepanjang zaman. Beserta keluarganya yang mulia, dan
para sahabatnya yang setia. Semoga kita semua
mengikuti jejak dan meneladaninya untuk kembali
kepada Rabbul ‘Izzati dalam keadaan Husnul Khatimah.
Buku yang ada dihadapan mata para pembaca ini
adalah buku tentang Filsafat Islam dengan tema Filsafat
Ketuhanan. Tema ini sangat tua usianya. Sejak zaman
Yunani Kuna, bahkan sejak manusia ada di bumi,
pertanyaan “Tuhan itu ada atau tidak ada”, mulia
dipertanyakan. Banyak tawaran jawaban yang
dilontarkan, tapi sedikit yang memuaskan akal sehat
manusia.
Maka di era modern sekitar abad ke-19 muncul
gerakan Ateisme. Yakni orang-orang yang tidak percaya
dengan adanya Tuhan. Bahkan mereka mencoba
membuktikan dan mendemontrasikan bahwa Tuhan itu
tidak dapat dipercaya. Mustahil bagi nalar untuk
mengakui bahwa Tuhan itu benar-benar ada.
Virus ini semakin menjangkit di tanah air. Diam-
diam banyak penduduk Indonesia yang meyakini
pemikiran sesat itu. Buku-buku model Ateisme itu best
seller di Barat, bahkan sudah beredar di Airport
Soekarno-Hatta. Pola pikir seperti ini bukan saja
bertentangan dengan pancasila dalam sila pertama
negara kita, bahwa setiap warga negara Indonesia harus

3
Membuktikan Tuhan Itu Ada

meyakini “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tapi juga tidak


waras jika kita tidak bertuhan. Lalu siapa yang
menciptakan kita di dunia ini? Siapa yang menjaga alam
semesta? Siapa yang mengatur kehidupan, kematian,
rezeki, dan segala fenomena yang terjadi pada manusia.
Tidak mungkin sesuatu berjalan dengan sendirinya.
Apakah benar Tuhan tidak ada. Jika ada, lalu
bagaimana kita membuktikannya? Mari simak menu
hidangan di buku ini.

Penulis ucapkan terima kasih kepada penerbit


guepedia.com yang bersedia menampung karya-karya
penulis ini. Kepada keluarga penulis, Ayahanda Mashudi
dan Ibunda Bariyah. Kakak penulis Sanjaya, S.Si, Adik
penulis Sri Diana dan Mustakim. Serta seluruh teman-
teman penulis yang mendorong lahirnya buku sederhana
ini.
Akhirnya, penulis mengucapkan selamat
menyantap makanan ruhani ini. Semoga bermanfaat dan
salam kesadaran!

Terima kasih

DKI Jakarta, 30 Desember 2018


Penulis

(Pilar Teduh)
.

4
Pilar Teduh

Daftar Isi

Kata Pengantar........................................................3
Daftar Isi.................................................................5
Bab 1 Pendahuluan.................................................7
Bab 2 Diskursus Penolakan Eksistensi Tuhan.........38
Bab 3 Pembuktian Adanya Tuhan...........................82
Bab 4 Syeikh Mishbah Yazdi Membuktikan Tuhan. .126
Bab 5 Penutup........................................................173
Tentang Penulis.......................................................176

5
Membuktikan Tuhan Itu Ada

6
Pilar Teduh

Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah

Telah banyak kritikan-kritikan yang dilancarkan


terhadap fondasi agama melalui berbagai argumen
baik yang ilmiah maupun filosofis. seringkali
kritikan-kritikan tersebut belum terjawab dengan
memuaskan dan berefek pada krisis iman dalam
hati para penganut agama. Bila saja hal ini
dibiarkan begitu saja secara berlarut-larut tanpa
jawaban yang memadai, tentu saja berkemungkinan
pada hilangnya keyakinan mereka terhadap
kebenaran-kebenaran fundamental agama.
Pertanyaan-pertanyaan kritis yang terkadang
sangat sulit ditemukan solusinya, muncul dalam
benak kalangan akademisi, terkhusus mereka yang
pernah mempelajari diskursus filsafat. Pertanyaan-
pertanyaan itu bisa jadi muncul di perguruan tinggi,
umum, maupun pesantren-pesantren agama di
pelosok negeri ini. Termasuk kepercayaan yang
paling asasi seperti kepercayaan terhadap Tuhan
ikut pula dipertanyakan secara serius. Apakah
Tuhan benar adanya? Kalaupun memang ada,
bagaimana kita bisa membuktikannya? Padahal kita
semua tahu, bahwa tidak ada seorangpun yang

7
Membuktikan Tuhan Itu Ada

pernah melihat-Nya? Katakanlah jika Tuhan ada,


tapi masalahnya apakah mungkin kita mengetahui-
Nya, padahal kita tahu manusia itu serba terbatas,
sedangkan Tuhan tidak terbatas? Bagaimana yang
terbatas, mampu mengetahui yang Tak Terbatas?
Pertanyaan-pertanyaan yang sangat
menggelisahkan bagi umat beragama secara umum,
dan peneliti secara khusus, yang kemudian
memutuskan untuk meneliti tentang diskursus
ketuhanan ini, adalah hasil menyimak perenungan
seorang Ateis di sebuah channel Youtube1.
Pertanyaan-pertanyaan itu adalah sebagai berikut.
Kepada orang-orang yang mengaku beriman.
pernahkah kita berpikir, mengapa kita mempercayai
apa yang kita percayai sekarang? Pernahkah kita
berpikir, mengapa kita memilih agama yang kita
pilih sekarang? Mengapa sebagian orang percaya
Yesus Kristus sebagai satu-satunya jalan
keselamatan abadi? Dan bukan konsep Karma atau
konsep Reinkarnasi?
Mengapa umat Islam percaya bahwa Allah adalah
satu-satunya Tuhan yang benar dan Muhammad
sebagai utusanNya? Dan bukan memilih konsep
empat kebenaran mulia Sang Buddha? Mengapa
sebagian orang percaya pada Kitab Taurat sebagai
satu-satunya wahyu Tuhan? Dan bukan Bhagavad
Gita?
Pernahkah kita bertanya-tanya, mengapa surga
kita menyerupai bumi? Yang terdiri dari unsur-
unsur yang sama dengan apa yang kita temukan di
planet bumi ini? Pernahkah kita bertanya-tanya,
mengapa Tuhan kita memerintah dengan struktur
kekuasaan yang serupa dengan waktu dan tempat
yang spesifik dimana kitab suci kita dahulu
dituliskan?
Pernahkah kita bertanya-tanya, mengapa Tuhan
kita berwujud mirip dengan kita? Atau hewan-hewan
1

8
Pilar Teduh

yang berbagi tempat di planet ini dengan kita?


Apakah agama yang kita anut merupakan yang
dominan dalam budaya kita? Apakah kita tidak
curiga sedikit saja bahwa sebagian besar penganut
agama ternyata hanya memeluk agama dari
masyarakat dimana mereka lahir, namun tetap
yakin bahwa mereka beruntng atau ditakdirkan
untuk lahir di satu-satunya agama yang benar?
Apakah itu tidak membuat kita sedikit khawatir
bahwa ternyata semua pemeluk agama memilih
agama bukan karena nilai-nilai, bukti yang
mendukung, ajaran moral, atau bentuk
peribadatannya? Melainkan hanya karena mereka
lahir di agama itu? Mengapa dari sekian banyak
pilihan agama yang ada, hampir semua pemeluk
agama di planet ini memilih agama yang berada
dalam jangkauan tangaannya?
Apakah kau seorang Kristen karena kau lahir di
Amerika atau Eropa? Seorang Muslim karena kau
lahir di Arab Saudi atau Indonesia? Seorang
Buddhis karena kau lahir di Jepang atau Cina?
Seorang Hindu karena kau lahir di India?
Mungkinkah bahwa agama itu, di hampir semua
kasus, ternyata hanyalah soal geografi semata?
Apakah kita benar-benar yakin bahwa seandainya
kita lahir di negara lain,kita akan tanpa ragu tetap
memeluk agama yang sama dengan yang sekarang
kita anut?
Apakah agama yang kita anut merupakan agama
orangtua kita juga, dan kakek nenek kita? Apakah
kita yang pertama mengenal agama ini? Apakah kita
tahu bahwa hampir semua pemeluk agama pada
akhirnya memeluk apa yang diajarkan orangtua
kita?
Mungkinkah sebenarnya tidak ada anak Muslim,
yang adahanya anak dari orangtua Muslim?
Begitupun dengan agama lainnya. Kita sangat yakin
dengan agama kita sendiri. Kita tahu bahwa agama
kitalah yang benar dan selainnya adalah salah. Kita

9
Membuktikan Tuhan Itu Ada

bahkan bertaruh dengan jiwa kita sekalipun bahwa


agama kita itu benar. Meskipun begitu, pernahkah
kita berpikir bahwa ternyata ada 20-an agama besar
dan ribuan kepercayaan di planet ini? Apakah kita
tahu bahwa dalam Agama Kristen saja, terdapat
lebih dari 45.000 aliran yang berbeda, dan masing-
masing mengaku memahami kebenaran tertinggi
lebih baik dari yang lain?
Apakah kita menyadari bahwa tiap pemeluk
agama di tiap agama itu juga sama taatnya, sama
tulusnya, dan sama yakinnya dengan kita? Apakah
kita tahu mereka bahwa juga punya kitab suci yang
tak terbantahkan itu, ahli-ahi debat, dan mengalami
mukjizat? Merasakan kehadiran Tuhan, mendengar
bisiskanNya, mematuhi segala kehendakNya yang
sempurna, mencintaiNya lebih dari apapun, dan
dapat membela imannya dengan kegigihan yang
sama dengan kita?
Meskipun begitu, karena setiap agama itu saling
bertentangan satu sama lain dalam hal-hal kecil
maupun besar, mereka tidak mungkin semuanya
benar kan? Kita tahu, entah bagaimana, tapi intinya
kita tahu, bahwa agama kita adalah pengecualian.
Meskipun begitu, jika setiap pemeluk agama berpikir
seperti itu juga, berapa kemungkinannya bahwa
hanya kita yang benar?
Kita mungkin berpikir, menjadi Ateis akan
membuat orang itu memastikan tidak akan
mendapatkan ganjaran surga dan akan berakhir
malang di neraka? Tapi surganya siapa? Nerakanya
siapa? Mungkin ada sebuah pernyataan untuk
menjaga diri, sebaiknya orang Ateis itu percaya saja
dengan Tuhan, karena tidak ada ruginya juga.
Seandainya jika tidak ada akherat, dia tidak akan
disiksa. Tetapi, jika memang ada akherat, maka dia
akan beruntung. Tapi Tuhan yang mana? Dengan
pilihan agama sebanyak itu, bukankah lebih besar
kemungkinannya bisa salah pilih? Bukankah lebih
baik bertaruh tidak ada Tuhan daripada memilih

10
Pilar Teduh

Tuhan yang salah? Bagaimana jika orang Ateis


benar dan orang beragama salah?
Atau sebuah kemungkinan lain, bagaimana kalau
bukannya Yehovah, tetapi ternyata Allah adalah
Tuhan yang benar? Atau Syiwa yang benar? Atau
Wuten yang benar? Atau sejenis Tuhan di belahan
dunia lain yang bahkann belum pernah kita dengar
namanya? Sebenearnya, kita sudah tahu bagaimana
rasanya tidak percaya pada semua Tuhan lain
kecuali Tuhan kita sendiri. bagi kita sedemikian
jelasnya, bahwa para penganut agama lain itu telah
keliru, tersesat, atau tertipu. Tapi mereka juga
berpikir yang sama juga tentang kita. Cara kita
melihat mereka sama persis dengan cara mereka
melihat kita.
Setiap orang Hindu yang taat, itu memeluk
agamanya dengan alasan yang sama kita memeluk
agama kita sendiri. Tetapi, toh kita tidak
menganggap alasan mereka cukup meyakinkan.
Apakah agama hanyalah sebuah gagasan purba
dari manusia di masa awal yang berusaha
menjelaskan serta mengendalikan dunia yang penuh
ketidakpastian di sekeliling mereka. Meskipun berisi
hal-hal tak masuk akal, kemunculan agama itu
sendiri sangat masuk akal. Kita tidak menyalahkan
nenek moyang kita karena telah menciptakan
agama.
Di era modern ini, Sains telah menyinari dunia
dan menerangi jalan kita, menghapus bayangan dan
menyingkap celah terdalam. Kita tidak lagi hidup
dalam sebuah gua. Kita telah menyebrangi lembah,
mendaki gunung, dan mulai mengerti pemandangan
sebenarnya di balik sana. Kita tidak lagi
memerlukan kisah-kisah menentramkan untuk
membuat kita merasa aman atau berharga.
Tidakkah kita mencoba meyakini penemuan-
penemuan sains itu. Sains lebih ril daripada
khayalan-khayalan agama.

11
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Mungkin inilah saatnya kita berhenti berkata


bahwa manusia adalah alasan semesta ini
diciptakan. Bahwa budaya kita entah bagaimana
lebih baik dari budaya yang lain. Bahwa satu bangsa
mengklaim diri mereka sebagai bangsa terpilih dari
bangsa-bangsa lainnya. Ini saatnya, untuk mulai
mempelajari alam semesta sesungguhnya.
Jika kita benar-benar jujur dan menghargai
kebenaran di atas segalanya, sebagaimana
pengakuan kita, dan kita tahu pasti menghargai
kebenaran, maka kita harus menghadapi
pertanyaan-pertanyaan mendasar ini. Apakah kita
mampu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan ini
dengan jawaban yang masuk akal dan memuaskan?
Sampai disini pertanyaan-pertanyaan kritis dari
video itu.
Jika kita membaca karya-karya Ateisme,
mungkin kita akan timbul kecurigaan, jangan-
jangan Tuhan hanya sebuah ilusi seperti kata
Freud2, atau delusi3 seperti kata Richard Dawkins,
atau bahkan mungkin seperti kata Christopher
Hitchens God is not Great.4 Kemungkinan lain bisa
jadi apa kata Feuerbach “agama hanya proyeksi dari
hakikat manusia yang terasing”, Marx “agama
khayalan manusia tertindas”, Nietzsche “agama
pelarian manusia dari dirinya sendiri”, Freud “agama
adalah neurosis kolektif, akibat dari kegagalan
manusia dalam mengakomodasi dorongan-dorangan
batin dan realitas secara wajar”, dan Sartre “agama

2
Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan, (Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2017) Hal. xviii. Lihat pula Erich Fromm, Psychoanalysis and
Religion (New Heaven: Yale University Press, 1950). Lihat pula Lihat Karen
Amstrong, Sejarah Tuhan (terj), (Bandung: Penerbit Mizan, 1993) Hal.459
3
Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan, (Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2017) Hal. xviii. Lihat pula Richard Dawkins, The God Delusion
(London: Black Swan, 2007)
4
Hasan Yusufian, Kalam Jadid, terj. Ali Passolowangi (Jakarta:
Sadra Press, 2014) Hal.xxviii

12
Pilar Teduh

akibat ketakutan manusia terhadap kebebasannya”


tidak tahan uji.5
Maka kemungkiinan pahitnya adalah berujung
pada apa yang disangkakan oleh Sam Harris The
end of Faith.6 Ya, keimanan akan berakhir.
Pertanyaan-pertanyaan filosofis tersebut perlu
bahkan sangat penting untuk dicarikan jawaban
rasionalnya.
Jawaban-jawaban yang diajukan bukan saja
untuk memuaskan rasio kita semata, lalu kemudian
selesai. Bukan pula sekedar untuk membentengi
iman kita agar bisa dipertanggungjawabkan secara
nalar. Membuktikan Tuhan secara mutlak atau
absolut, kiranya tidak akan mampu dengan metode
rasional filosofis. Tetapi, paling tidak argumen-
argumen dalam membuktikan eksistensi Tuhan
secara rasional, akan memberikan kemungkinan-
kemungkinan untuk bisa sampai kepada
pemahaman bahwa keyakinan semua umat
beragama terhadap Tuhan adalah masuk akal.
Barangkali perlu diberikan uraian singkat
permasalahan yang menjadi antitesis tentang tesis
eksistensi Tuhan ini, bahwa ada sekian banyak
filosof yang menolak eksistensi Tuhan secara
rasional. Beberapa penolakan tersebut datang dari
para filosof ateisme modern. Sebagian langsung pada
penolakan konsep Tuhan, sebagian lagi meragukan
agama.
Filosof Barat pertama yang mesti disebut dalam
perkara ini adalah Immanuel Kant. Kant yang
melakukan analisis secara mendalam akan
kelemahan empirisme dan menunjukkan
keterbatasan rasionalisme7, mengantarkan pada
kesimpulan bahwa Tuhan tidak bisa dijangkau

5
Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarat: Penerbit PT Kanisius,
2006) Hal. 101
6
Hasan Yusufian, Kalam Jadid, terj. Ali Passolowangi (Jakarta:
Sadra Press, 2014) Hal.xxviii

13
Membuktikan Tuhan Itu Ada

dengan nalar teoritis,8 tapi Kant membuktikan


eksistensi Tuhan dengan nalar praktis9. Gagasannya
yang pertama dia tuangkan dalam Critique of Pure
Reason, adapun argumen yang kedua tentang
konsep Tuhan dia tuangkan dalam Critique of
Practival Reason. Di sini terlihat bahwa bagi Kant,
Akal Murni tidak bisa menjangkau pengetahuan
akan Tuhan. Kant pada akhirnya jatuh pada
agnotis.10
Penolakan eksistensi Tuhan secara rasional juga
datang dari filosof asal Jerman Ludwig Feurbach
yang menyatakan bahwa “Tuhan adalah hasil
proyeksi akal manusia semata”.11 Ide dan
gagasannya tersebut sebetulnya spesifik
ditunjukkan pada konsep Tuhan perspektif teologi
Kristen. Sehingga karya yang membahas hal
tersebut dia beri judul The Essence of Christianity.12
7
Lihat daftar 12 kategori pada karya F. Budi Hardiman, Pemikiran-
Pemikiran Yang Membentuk Dunia Modern; Dari Machiavelli sampai
Nietzsche (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011) Hal. 121
8
Lihat Karen Amstrong, Masa Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap
Fundamentalisme dan Ateisme, (Bandung: Mizan Pustaka, 2011). Hal 373-
374. Lihat pula Fariz Pari, Pengalaman Rasional Eksistensi Tuhan:
Pengantar Ontoteologi dalam Jurnal Kanz Philosophia Edisi Religious
Experience Vol. 1. Numb. 1(Jakarta:Sadra International Institute, 2011) Hal.
112
9
Lihat M.T Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam: Orientasi
ke Filsafat Islam Kontemporer, diterjemahkan oleh Musa Kazhim dan Saleh
Bagir (Jakarta: Sadra Press, 2010) Hal. 17-18. Lihat juga pada Hasan
Yusufian, Kalam Jadid, diterjemahkan oleh Ali Passolowangi (jakarta: sadra
pressa, 201) Hal. 107,112, 280,394-395.
10
Dalam kamus Cambridge Internatonal Dictionary of English
dengan editor-in-chief Paul Procter (London: Cambridge University, 1995)
Hal. 27. Agnostic diartikan (someone) not knowing, or believing that it is
impossible to know, whether a god exists.
11
Muhidin, Feuerbach dan Filsafat Jerman, (Jakarta: Penerbit TePLOK
Press,2000) hal.55
12
Lihat Ludwig Feurbach, The Essence of Christianity Second
Edition, Translated by Marian Evans (London: John Chapman. 1843)hal.VI.
“for my thought I require the senses, especially sight; I found my ideas on

14
Pilar Teduh

Dalam karyanya tersebut dia lebih mendukung


materialisme daripada idealisme. Maka agaknya
premis yang muncul akan seperti ini; sesuatu yang
ril adalah yang materi, Tuhan itu immateri, maka
kesimpulannya Tuhan itu tidak rill. Jelas dalam
pandangan Feurbach, Tuhan tidak lebih dari kreasi
pikiran semu belaka. Tuhan diciptakan oleh akal,
dan disembah sendiri oleh manusia. Oleh karena itu
manusia teralineasi (terasingkan) dengan pikirannya
sendiri.
Berbeda dengan Feurbach, Karl Marx
memandang konsep dan praktik agama dengan sinis
dan penuh curiga. Bagi Marx, “agama adalah candu
atau opium rakyat”.13 Pada satu sisi agama dijadikan
alat bagi kaum borjuis untuk menekan
pemberontakan kaum proletar, dan dari bagi kaum
proletar, agama dijadikan semacam harapan yang
justru malah membuat sikap pasrah dan menerima
semua keadaan, dengan tanpa tindakan reformatif
untuk merubah kondisi tersebut. Tidak sulit kiranya
membaca konsep Tuhan perspektif Marx. Tuhan
hanyalah produk dari problem mekanisme ekonomi
dan sosial masyarakat. Bertrand Russel juga
memiliki pendapat tentang agama dengan perspektif
berbeda dari Marx. Bila Marx dari sisi ekonomi
sosial, sedangkan Russel dari sisi emosional. Dia
berpandangan bahwa “agama adalah produk
ketakutan”.14 Russell percaya bahwa semakin maju
sains, semakin hilang konsep Tuhan dan agama.
Pandangannya itu senada dengan Auguste Comte.

materials which can be appropriated only through the activity of the senses. I
do not generate the object from the thought, but the thought from the object;
and I hold that alone to be an object which has an existence beyond one’s own
brain”
13
Lihat Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx;Dari
soialisme utopis ke perselisihan Revisionisme, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1999) hal. 73
14
Hasan Yusufian, Kalam Jadid, terj. Ali Passolowangi (Jakarta: Sadra Press,
2014) Hal.xxv

15
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Filsuf Perancis Auguste Comte (1798-1847) lebih


serius, bahkan mengemukakan teorinya sendiri
tentang sejarah pemikiran manusia yang dia bagi
menjadi tiga fase perubahan. Yakni fase teologis,
fase metafisis, dan fase positivis. Gagasannya
tersebut ia tuangkan dalam masterpiece-nya Cours
de Philosophie Positive (1830-1842) setebal enam
jilid. Dalam fase teologis primitif, manusia berpikir
bahwa penyebab dari peristiwa alam adalah dewa-
dewa, ruh, atau jiwa-jiwa yang abstrak. Kemudian
wujud-wujud tersebut bergeser pada tahap kedua
metafisik. Pada tahap ini manusia berpikir bahwa
yang menjadi penyebab peristiwa alam ini adalah
masih pada sesuatu yang ghaib, namun setingkat
lebih berkembang daripada fase sebelumnya. Dan
terekhir adalah fase yang paling maju. Yakni
dominasi sains ilmiah. Dimana manusia dianggap
mengalami pencerahan. pemikiran manusia tidak
lagi menyandarkan pada sebab-sebab batin, ghaib,
atau abstrak. Tetapi sepenuhnya bertumpu pada
fakta empiris. Pada tahap final ini, manusia tidak
dibenarkan kembali mundur pada tahap
sebelumnya. Melainkan terus merangkak naik ke era
sains.15
Dari diktum uraian Comte di atas, jelas
memberikan wilayah yang rendah terhadap konsep
eksistensi Tuhan. Semakin sains modern bisa
menjawab sebab fenomena alam, maka semakin
hilang peran Tuhan. Tuhan tidak dipandang sebagai
wujud yang sakral dalam pandangan Comte.
Melainkan hanya fase pemikiran manusia yang
terbelakang, primitif, dan bahkan irrasional. Sangat
bertentangan dengan sains empiris. Gaung konsep
Tuhan dan agama, hanya membatasi sains
berkembang secara pesat. Konsep tentang Tuhan

15
Lihat Karen Amstrong, Masa Depan Tuhan: Sanggahan
Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme, diterjemahkan oleh Yuliani Liputo
(Bandung: Penerbit Mizan, 2011) Hal. 395. Lihat juga Hasan Yusufian, Kalam
Jadid; Pendekatan Baru dalam Isu-Isu Agama, diterjemahkan oleh Ali
Passolowangi (Jakarta: Sadra Press, 2014) Hal. 29

16
Pilar Teduh

hendaknya harus dilenyapkan dari fase pemikiran


manusia. Jika manusia menginginkan masa depan
yang lebih maju. Begitu kira-kira visi besar Comte.
Jean Paul Sartre seorang filosof asal Perancis
aliran ateisme eksistensialisme-nihilistik juga ikut
menolak eksistensi Tuhan secara filosofis. Dia
berpandangan bahwa “manusia otentik menuntut
tidak adanya Tuhan”.16 Atas dasar kebebasan
eksitensialis, bagi Sartre manusia hendaknya
menolak eksistensi Tuhan. Percaya pada Tuhan
hanya akan membelenggu kebebasan kehendak
manusia dengan tunduk pada kehendak Tuhan.
Dari sekian derasnya penolakan eksistensi Tuhan
secara rasional-filosofis dari filosof barat. Maka hal
ini penting untuk mendapatkan respon secara
rasional-filosofis juga, khususnya dalam diskursus
filsafat ketuhanan. Konsep tentang eksistensi Tuhan
baik secara ontologis maupun dalam status
metafisika epistemologisnya, telah digugat secara
reduksionis, seperti telah diuraikan di atas. Yang
menjadi pertanyaan adalah, mampukah para filosof
muslim memberikan jawaban yang memadai untuk
mengkritik kekeliruan pandangan para filosof
ateisme tersebut, serta sekaligus membangun
fondasi keyakinan umat beragama, khususnya Islam
agar beriman dengan kesadaran nalar, akal sehat,
dan pemikiran rasional selain berkeyakinan dengan
hati.
Sedikit perlu dipaparkan disini, tentang potensi
akal dalam mengetahui eksistensi Tuhan, sebetulnya
telah didemonstrasikan oleh para filosof klasik baik
di kalangan Muslim seperti Al-Kindi, Ibn Sina, Ibn
Rusyd, dan Mulla Shadra. Juga dari kalangan
Kristen seperti St. Anselmus, St. Agustinus, dan
Thomas Aquinas. Mereka semua telah memberikan
jawaban-jawaban rasional dengan sedemikian rupa
untuk membuktikan Tuhan secara filosofis.
16
Lihat Theo Hujibers. Mencari Allah (Pengantar ke dalam
Filsafat Ketuhanan), (Yogyakarta: Kanisius, 2002) hal. 208

17
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Paling tidak ada dua argumen klasik yang telah


diupayakan untuk menjawab diskursus ketuhanan
ini. Meskipun sebenarnya lebih dari itu. Sebagai
contoh saja, yakni argumen kosmologis dan
argumen ontologis. Argumen kosmologis
menyandarkan pada alam untuk membuktikan
adanya Tuhan, sedangkan argumen ontologis
menjadikan wujud itu sendiri sebagai basis
argumennya. Aristoteles adalah filosof pertama yang
menggunakan argumen kosmologis ini.
Argumen kosmologis diantaranya terdiri dari;
kemustahilan tasalsul (infinite regress)17 dan
pengakuan pada kausalitas, bahwa ada sebab
pertama atau first cause (al-ilah al-Ula)18 dari
rangkaian sebab yang ada di alam ini. Ada pula
istilah penggerak yang tidak bergerak (unmoved-
mover)19 yang mendasarkan argumentasi Tuhan
pada konsep gerak. The unmoved mover itulah
Tuhan. Al-Kindi juga memiliki argumen kosmologis
yang dikenal dengan argumen kebaruan alam (dalil
al-huduts).20
Melihat ada kelemahan dalam argumen
kosmologis, khususnya pada prinsip gerak dalam
membuktikan Tuhan, Ibn Sina mengajukan
argumen ontologis, yang dikenal juga dengan dalil
al-imkan. Alasan Ibn Sina menyatakan bahwa
“betapa tidak kompetennya menjadikan prinsip
gerak untuk membuktikan sang kebenaran,
sedangkan Ia sendiri adalah prinsip dari segala yang
ada.”21 Argumen ontologis ini memiliki beberapa
macam, seperti halnya argumen kosmologis.
17
Lihat Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi
Kartanegara (Jakarta; Pustaka Jaya, 1986) hal. 122
18
Lihat Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi
Kartanegara (Jakarta; Pustaka Jaya, 1986) hal. 125-126
19
Tentang konsep Tuhan sebagai penggerak awal dan penggerak
yang tak bergerak menurut para filosof muslim bisa dilihat pada Ian Richard
Netton, Allah Trancendent, hal. 53.
20

18
Pilar Teduh

Yang pertama adalah argumen kemungkinan


Ibn Sina. Dia membagi wujud dalam tiga kategori (1)
wajib al wujud, (2) mumkin al-wujud, dan (3)
mumtani’ al-wujud.22 Wajib al-wujud berarti wujud
niscaya, yang nyata keberadaannya dalam realitas.
Sedangkan mumkin al-wujud berarti wujud yang
keberadaannya bisa jadi ada, bisa jadi tiada dalam
realitas. Mumkin al-wujud bisa dipahami sebagai
wujud yang potensial, dalam arti memiliki
kemungkinan untuk ada (maujud), tetapi karena
pada dirinya sendiri dia tidak memiliki aktualitas,
maka tidak ada kemungkinan bagi dia untuk
mewujudkan dirinya sendiri. Adapun mumtani’ al-
wujud, adalah wujud yang mustahil keberadaannya
baik secara aktual maupun potensial dalam realitas.
Nah, alam ini tidak bisa kita katakan sebagai
wajib al-wujud, karena seperti yang kita ketahui,
alam ini bisa hadir dan bisa pula musnah.
Sedangkan wajib al-wujud harus senantiasa ada
selamanya. Namun, alam ini juga bukan mumtani’
al-wujud, karena dengan jelas adanya, kita tidak
bisa menolak realitas alam yang kita saksikan
dengan bola mata kita sendiri. Maka satu-satunya
kategori yang mungkin disandang alam adalah
mumkin al-wujud. Sedangkan telah disinggung
statusnya bahwa mumkin al-wujud tidak bisa
mewujudkan dirinya sendiri, maka dari itu harus
ada entitas lain yang mewujudkannya. Dialah wajib
al-wujud yang kemudian kita maksudkan sebagai
Tuhan.
Masih dengan argumen ontologis, kemungkinan
akal rasional untuk membuktikan eksitensi Tuhan
juga coba didemonstrasikan oleh Anselmus, seorang
uskup dari Canterbury, Inggris. Argumennya di

21
Lihat Dimitri Gutas, Avicenna and The Aristotelian Tradition,
(Leiden: E.J. Brill, 1988) Hal. 264. Lihat pula Mulyadhi Kartanegara,
Essentials of Epistemology, (Brunei: UBD Press, 2014) hal. 128
22
Lihat William Chittick, “Ibn Arabi” dalam Nasr dan Leaman,
History of Islamic Philosophy (London: Routledge, 1996) Hal. 514

19
Membuktikan Tuhan Itu Ada

mulai dari sebuah perenungan bahwa wujud alam


ini terdapat suatu hierarkis, ada yang besar dan ada
yang kecil. Oleh karena itu, mesti ada suatu wujud
yang paling besar diantara yang lain, begitupun
sebaliknya. Nah, adapun wujud yang paling besar,
yang tidak ada yang menandingi kebesarannya
itulah yang kita sebut sebagai Tuhan. Karena dinilai
masih ada kelemahan dalam argumen ini, Kant
memberikan kritik pada argumen ini. Kant
mengatakan “boleh jadi bahwa yang paling besar
dan tidak terbayangkan ada yang lebih besar
darinya hanya ada dalam pikiran kita, bukan dalam
realitas.” Tetapi dengan kukuh, Anselmus
membantah Kant dengan menyatakan “bahwa kalau
masih terbayang ada yang lebih besar dari apa yang
terbayang dalam pikiran kita, maka mestilah yang
ada dalam pikiran bukan yang dimaksud dengan
‘sesuatu yang tidak terbayang adanya yang lebih
besar daripada-Nya’. maka dengan demikian, Tuhan
sebagai Yang Maha Besar, mesti ada dalam realitas
bukan hanya dalam alam pikiran semata.23
Jenis argumen ontologis yang ketiga datang dari
Mulla Sadra, yang dikenal dengan Burhan al-
Shiddiqin. Argumen ini dihadirkan karena melihat
masih ada kelemahan dari argumen-argumen yang
diajukan para pendahulunya, baik oleh al-Kindi, al-
Farabi, maupun Ibn Sina. Dinilai bahwa argumen-
argumen yang telah diajukan sebelumnya
mengalami kesalahan prosedural, karena mereka
telah membuktikan eksistensi Tuhan melalui media
yang lain, seperti alam, bukan melalui Tuhan itu
sendiri. Menurut Mulla Sadra, argumen tentang
adanya Tuhan hendaklah didasarkan pada diri-Nya
sendiri, yakni pada Tuhan itu sendiri, yang
dikonsepsikan sebagai Wujud Murni (al Wujud al-
Mahdh). wujud Murni berarti Wujud Mutlak yang
tidak memiliki unsur lain kecuali wujud itu sendiri.
Dan melihat kenyataan pada realitas bahwa wujud-
23
Lihat Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan (Bandung:
Mizan Pustaka, 2017) Hal. 22-23

20
Pilar Teduh

wujud pada alam ini nyata adanya, padahal mereka


tidak mungkin ada tanpa “Ada itu sendiri”, mestilah
ada tersebut terbukti dengan sendirinya (Self evident
atau badihi) sehingga tidak memerlukan yang lain
untuk menunjukkan keberadaan-Nya.24
Argumen ontologis Shiddiqin ini adalah argumen,
yang ingin dikaji dalam penelitian ini. Yakni bahwa
Tuhan dapat dibuktikan dengan dalil-dalil secara
rasional filosofis. Adapun pemikran tokoh yang akan
diangkat adalah filsuf kontemporer asal Iran
beraliran Neo-Sadrian, Muhammad Taqi Mishbah
Yazdi.
Alasan dipilihnya Muhammad Taqi Mishbah Yazdi
dalam penelitian ini. Yang pertama, karena faktor
masa, di mana dia merupakan filsuf Islam
kontemporer yang berasal dari Iran, negara yang
paling subur dalam mengembangkan pemikiran
filsafat Islam sampai saat ini. Oleh karena itu,
dibandingkan dengan para filosof pendahulunya,
dialah yang paling dekat dengan pemikiran ateisme
modern. Kedua, dalam karya filosofisnya
philosophical Instruction yang telah diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia berjudul ‘Buku Daras
Filsafat Islam’, dia sering melontarkan kritik tajam
terhadap sejarah dan muatan filsafat barat dengan
apik dan rasional, selain melakukan telaah
pemikiran internal keislaman.25 Dengan begitu
pemilihan tokoh ini diharapkan memungkinkan
untuk merespon isu-isu terkait pemikiran atesime
modern, materialisme, dan skeptisisme yang
berkembang dalam tradisi filsafat barat modern
bahkan hingga sekarang.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang
penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka
penulis hendak menyusun penelitian dengan judul
24
Lihat Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan (Bandung: Mizan
Pustaka, 2017) Hal. 24
25
Lihat Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Mishbah
Yazdi: Filsuf Iran Kontemporer (Jakarta: Sadra Press, 2011) Hal. 17

21
Membuktikan Tuhan Itu Ada

“Kemampuan Akal dalam Membuktikan Eksistensi


Tuhan: Studi Atas Pemikiran Metafisika Muhammad
Taqi Mishbah Yazdi”.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka
dapat dikemukakan identifikasi masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Adanya problem epistemologis perspektif
Immanuel Kant dan beberapa filosof barat dalam
menjustifikasi pengetahuan metafisika tentang
eksistensi Tuhan. Bahwa konsep metafisika
tentang Tuhan itu tidak dapat dijangkau oleh
akal. Akal hanya menjangkau yang nampak
atau dalam bahasa Kant (phenemona) saja.
Adapun Tuhan ada dalam domain noumena,
sehingga sulit diterima nalar.
2. Problem epistemologis itu kemudian berefek
pada krisis ontologis pada sebagian filosof barat
seperti Auguste Comte yang lebih mengagungkan
pengetahuan sains empiris daripada hal-hal yang
berkenaan dengan metafisika seperti agama dan
konsep Tuhan. Baginya, orang-orang yang masih
percaya dengan dua domain tersebut adalah
terbilang kaum primitif. Jadi, orang-orang
beragama dianggap Comte sebagai manusia-
manusia yang terkungkung dalam dunia
takhayul yang tidak rill. Kontras daripada itu,
Para saintis dalam hal ini adalah orang-orang
yang tercerahkan, maju, dan merdeka.

Dua landasan pemikiran tersebut menjadi


pijakan bagi gerakan atesime modern. Bersama
dengan materialisme dan skeptisisme tentu saja
gerakan itu mendapat dukungan penuh,
dikarenakan senada dalam visinya. Materialisme

22
Pilar Teduh

setuju bahwa yang rill adalah materi, bukan


immateri. Tuhan itu immateri, maka Tuhan itu
tidak rill. Begitupun kaum skeptis yang
meragukan segala sesuatu. Konsep Tuhanpun
tidak luput dari keraguan tersebut. Maka etika
atau segala kebaikan yang diajarkan dalam
agama-agama akan jatuh pada nihilisme (kosong
tak bernilai) atau relaitivisme (tidak ada yang
absolut) semuanya relatif. Sehingga tidak ada
kebenaran yang benar sama sekali. Oleh karena
itu, hendaknya problem seperti ini perlu
mendapatkan respon dan jawaban yang logis-
filosofis. Bisa jadi tujuannya adalah sekedar
membentengi akidah dan kepercayaan seseorang
dalam beragama, sehingga imannya dapat
dipertanggungjawabkan dengan akal sehat. Atau
lebih dari itu adalah tuntutan untuk berpikir
secara radikal dalam upaya mengungkap
kebenaran terhadap segala sesuatu tanpa batas.
sesuai dengan pengertian sederhana filsafat yang
bermakna cinta pada kebijaksanaan atau
kebenaran.
C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah


diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan
perumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut: Bagaimana konsep tentang
eksistensi Tuhan dapat dibuktikan secara rasional-
filosofis oleh Muhammad Taqi Mishbah Yazdi?

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan disusunnya proposal penelitian ini


adalah sesuai dengan rumusan masalah yang telah
diuraikan di atas. Tujuan dari penelitian ini dapat
dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus.

23
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Adapun tujuan umumnya adalah menjelaskan


argumen tentang eksistensi Tuhan secara rasional
dalam pemikiran Muhammad Taqi Mishbah Yazdi.

Sedangkan tujuan khususnya adalah sebagai


berikut:
1. Membuktikan eksistensi Tuhan dan menolak
pandangan ateisme.
2. Membangun kesadaran berpikir secara rasional dan
filosofis dalam beragama dan berkeyakinan.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat atau signifikansi hasil penelitian yang


ingin dicapai dapat dibagi menjadi dua macam.
Pertama adalah manfaat secara teoritis yang berkaitan
erat dengan dunia akademis. Kedua adalah manfaat
secara praktis yang berkenaan dengan kontribusi
penelitian ini kepada masyarakat secara umum atau
kepada lembaga terkait.
Adapun manfaat secara teoritis penelitian ini sebagai
berikut:
1. Memberikan kontribusi untuk pengembangan ilmu
pengetahuan peneliti sendiri.
2. Menambah khazanah ilmiah dalam bidang filsafat dan
teologi untuk lembaga riset maupun
perpustakaan Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI)
Sadra Jakarta.
3. Mengembangkan konsep secara teoritis tentang
diskursus filsafat agama dan ketuhanan.

Adapun manfaat secara praktis penelitian ini sebagai


berikut:
1. Penelitian ini dapat menjadi bahan kajian atau
pemikiran lebih lanjut tentang relasi antara filsafat
ketuhanan

24
Pilar Teduh

2. Penelitian ini dapat menjadi sumber inspirasi dan


sumber referensi bagi kalangan akademisi yang
mengkaji filsafat agama dan ketuhanan
3. Secara praktis penelitian ini adalah latihan awal
untuk mengarahkan peneliti untuk berprofesi menjadi
seorang researcher (peneliti) dan sebagai syarat
memperoleh gelar sarjana agama di STFI Sadra
Jakarta.

F. Kajian Pustaka

Belum banyak tulisan yang membahas pemikiran


Mishbah Yazdi, baik dalam skripsi, tesis, maupun
desertasi di Indonesia. Tulisan yang secara khusus
membahas argumentasi eksistensi Tuhan dalam
metafisika Mishbah Yazdi belum pernah dilakukan
sebelumnya.
Adapun beberapa tulisan yang membahas
pemikiran Mishbah Yazdi. Di antaranya sebagai
berikut:

Buku
M.T Mishbah Yazdi, menulis karya teologi
islam dalam bahasa persia berjudul “Amuzesye
Aqayid”. Buku tersebut telah diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia dengan judul “Iman
Semesta: Merancang Piramida Keyakinan”.26 Buku
ini berisi 7 Bab dengan 60 pelajaran. Di dalamnya
di bahas mulai dari agama, ketuhanan, keadilan
Tuhan, Kenabian, imamah, eskatologi, serta
beberapa masalah penting lainnya. Meskipun
buku tersebut cenderung bermuatan teologis,
tetap saja ada pendekatan filosofis-rasional.
Seperti epistemologi dalam mengenal Tuhan dan
26
M.T Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan,
diterjemahkan oleh Ahmad Marzuki Amin (Jakarta: Nur Al-Huda, 2012).

25
Membuktikan Tuhan Itu Ada

pembuktian atas konsep wajibul wujud pada bab


dua tentang Ketuhanan. Metode jadalli atau
dialektika juga disajikan secara canggih dalam
karya tersebut. Analisis dan kritik terhadap
pemikiran yang keliru dan menyimpang dari
pemikiran barat tidak luput dari karya ini.
Misalnya dia sajikan pandangan dunia
materialisme dan materialisme dialektika yang
tentu saja mendapatkan respon yang tajam dan
serius dalam bab yang sama.

Muhsin Labib, doktor dari Universitas


Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,,
menulis sebuah desertasi berjudul “Pemikiran
Filsafat Ayatullah M.T Mishbah Yazdi; Filsuf Iran
Kontemporer”.27 Desertasi ini adalah karya filsafat
Islam yang berisi tiga fokus penelitian. Yakni
bidang studi filosofis atas pengetahuan, filsafat
wujud, dan filsafat ketuhanan. Karya ini menjadi
relevan terkait dengan penelitian penulis
dikarenakan berisi banyak informasi tentang
riwayat hidup M.T Mishbah Yazdi, masa
pendidikan, aktivitas ilmiahnya, serta catatan
atas karya-karyanya. Terlebih yang menulis
desertasi tersebut merupakan sarjana yang
pernah mengenyam pendidikan Hauzah di Iran
yang merupakan kelahiran M.T Mishbah Yazdi,
sehingga cukup tepat kiranya dijadikan sebagai
kajian terdahulu. Selain itu, konten yang ada
pada karya tersebut merupakan data-data yang
diperlukan untuk penelitian karya tulis ini,
terkait dengan pandangan epistemologi, ontologi,
dan teologi yang menjurus pada bangunan
paradigma metafisika eksistensi Tuhan
perspefktif Syeikh Mishbah.

27
Muhsin Labib, Pemikiran Ayatullah M.T. Mishbah Yazdi: Filsuf Iran
Kontemporer (Jakarta: Sadra Press, 2011).

26
Pilar Teduh

M.T. Mishbah Yazdi, “Buku Daras Filsafat


Islam: Orientasi ke Filsafat Islam Kontemporer”.28
Karya ini adalah terjemahan dari edisi berbahasa
Inggris Philosophical Instruction: An Introdution to
Contemporary Islamic Philosophy. Merujuk pada
terjemahan dengan bahasa Arab Al-Manhaj Al-
Jadid Fi Ta’lim Al Falsafah. Buku ini berisi tiga
bagian dan terbagi ke dalamm 30 pelajaran.
Bagian pertama terkait dengan sejarah
kemunculan filsafat dari era Yunani Klasik,
skolastik, dan modern. Bagian kedua mengupas
tentang epistemologi, terkait dengan status
pengetahuan fisik dan metafisik baik di tradisi
Islam maupun barat. Bagian ketiga berisi tentang
ontologi, topik yang dibahas adalah terkait
dengan konsep wujud dan mahiyah serta sesuatu
yang berkenaan dengannya. Karya ini menjadi
penting sebagai rujukan skripsi ini. Karena di
dalamnya terdapat pembahasan tentang fondasi
pemikiran filsafat Islam Syeikh Mishbah
termasuk analisis kritisnya dalam merespon
aliran filsafat barat seperti empirisme dan
positivisme.

Mohsen Gharawiyan, “Pengantar


Memahami Buku Daras Filsafat Islam”.29 Buku ini
merupakan terjemahan dari karya aslinya yang
berbahasa Persia Dar Amadi Amuzeyse Falsafeh,
diterjemahkan oleh Muhammad Nur Djabir ke
dalam Bahasa Indonesia. Buku ini diterbitkan
dengan tujuan untuk memahami Buku Daras
Filsafat Islam yang dinilai masih terlalu berat bagi
para pelajar pemula Filsafat. Sehingga perlu

28
M.T. Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam: Orientasi ke Filsafat
Islam Kontemporer, diterjemahkan oleh Musa Kazhim (Jakarta: Sadra Press,
2010).
29
Mohsen Gharawiyan, “Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam”
diterjemahkan oleh Muhammad Nur Djabir (Jakarta: Sadra Press, 2012).

27
Membuktikan Tuhan Itu Ada

kiranya buku ini dihadirkan sebagai


pengantarnya. Karena sebagai pengantar, selain
bahasanya yang lebih ringan, buku ini sebagian
besar merujuk pada buku daras, namun sebagian
lainnya merujuk pada karya-karya Allamah
Thaba-thaba’i dan Murtadha Murthahhari.

Karen Amstrong, menulis sebuah buku


berjudul “Masa Depan Tuhan:Sanggahan
Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme.30 Buku
ini adalah terjemahan dari karya aslinya
berbahasa Inggris “The Case for God: What
Religion Really Means”. Buku ini hanya berisi dua
bab dengan tebal 608 halaman. Bab satu
berbicara tentang sejarah konsep Tuhan dari
30.000 SM hingga 1500 M berisi 6 sub-bab. Bab
kedua tentang Tuhan Modern dari 1500 M hingga
sekarang juga berisi 6 bab. Karya ini penting
untuk melihat sisi sejarah tentang konsep Tuhan
di periode klasik dan modern, rekam jejak
kemunculan ateisme berikut argumentasi
filosofisnya, serta banyak literatur yang bisa
ditelusuri sebagai referensi skripsi ini khususnya
tentang pemikiran ateisme modern.

Hasan Yusufian, menulis sebuah buku


“Kalam Jadid:Pendekatan Baru Dalam Isu-Isu
Agama”.31 Buku ini merupakan karya terjemahan
dari bahasa Persia dengan judul Kalam Jadid.
Buku ini pada dasarnya adalah tentang kalam
atau teologi Islam. Namun, karena isu-isunya
baru maka pendekatan filosofis juga tidak
ternafikan. Di dalam buku ini didiskusikan

30
Karen Amstrong, Masa Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap
Fundamentalisme dan Ateisme, diterjemahkan oleh Yuliani Liputo, (Bandung:
Mizan Pustaka, 2011)
31
Hasan Yusufian, Kalam Jadid: Pendekatan Baru dalam Isu-Isu Agama,
diterjemahkan oleh Ali Passolowangi (Jakarta: Sadra Press, 2014).

28
Pilar Teduh

banyak tema diantaranya tentang agama dan


telaah keagamaan, asal-usul agama, pembuktian
wujud Tuhan, Sifat-sifat Tuhan, Posisi
Keburukan dalam sistem penciptaan, kebutuhan
terhadap agama, bahasa agama, akal dan wahyu,
pengalaman religius, pluralisme agama, agama
dan arena sosial, serta agama dan moralitas.
Adapun yang terkait dengan skripsi ini adalah
pada bagian bab dua asal-usul agama, dan bab
tiga pembuktian wujud Tuhan.

Artikel Ilmiah

Fariz Pari, menulis sebuah artikel ilmiah


dalam jurnal Kanz Philosophia berjudul
“Pengalaman Rasional Eksistensi Tuhan:
Pengantar Ontoteologi”.32 Artikel ini
menguraiakan tentang disiplin ontoteologi secara
ringkas, kemudian disusul dengan isu
argumentasi tentang eksistensi Tuhan pada masa
Yunani kuna yang diwakili oleh Aristoteles dan
dari tiga agama samawi Yahudi, Kristen, dan
Islam. Pada artikel ini juga dipaparkan
pembuktian empiris tidak atau ada Tuhan berikut
analisis kritis terhadapnya, lalu pembuktian
rasional tidak atau ada Tuhan berikut respon
tentangnya, dijelaskan juga pembuktian sains
tidak atau ada Tuhan dan sikap atasnya, dan
diakhiri refleksi dari penulis bahwa perkara
Tuhan lebih tepat diungkapkan dengan bahasa
iman bukan dengan dalil atau bukti secara
rasional. Persinggungan dengan skripsi ini adalah
pada dialektika dari tiga pendekatan argumentasi
pembuktian eksistensi Tuhan dari rasionalis,
empiris, dan sains. Corak penalaran metode

32
Fariz Pari, Pengalaman Rasional Eksistensi Tuhan: Pengantar
Ontoteologi, Jurnal Kanz Philosophia Vol.1. Num. 1 (Jakarta: Sadra
International Institute, 2011).

29
Membuktikan Tuhan Itu Ada

filosofis dalam artikel ini juga bisa memberikan


gambaran bagi penulis untuk menganalisis objek
yang diteliti.

Tesis
M. Alfan Sidik, menulis sebuah tesis di
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta berjudul “Epistemologi Muhammad
Taqi Mishbah Yazdi”.33 Tesis ini berisi tentang
uraian epistemologi dalam filsafat Islam guna
merespon kompleksitas modrnisme yang
melahirkan berbagai masalah tentang
skeptisisme, ateisme, dan fundamentalisme. Ada
anggapan bahwa akal tidak bisa mencapai
pengetahuann yang benar. Sehingga nalar
menjadi cuti. Namun sebaliknya, ada yang malah
mengagungkan akal semata. Sebagai pisau
analisa dalam penelitian ini digunakan teori
epistemologi Murtadha Murthahhari dan
kritisisme Immanuel Kant. Lewat pemikiran
kreatif Mishbah Yazdi yang melingkupi aliran
masya’iyyah, isyraqi, dan hikmah muta’aliyyah di
perpustakaan Hawzah ilmiah Qum-Iran.
Penelitian ini menghasilkan epistemologi Islam
yang elaboratif dalam mensintesiskan kedudukan
akal dan pengetahuan. Sehingga menghasilkan
kesimpulan bahwa cara perolehan manusia
dalam menghasilkan pengetahuan ada dua.
Yakni ‘ilmu hudhuri (pengetahuan tanpa
perantara) secara langsung, dan “ilmu hushuli
(pengetahuan dengan perantara) dengan
perantara melalui instrumen indra dan akal. Dan
akal bukan hanya sebagai instrumen, juga
sebagai sumber pengetahuan itu sendiri.
Pengetahuan juga terbagi dua macam. Yaitu
tasawwur (konsepsi) dan tasdiq (afirmasi).
Konsep ini memberikan kritik terhadap
empirisme, bahwa konsep itu bukan persepsi dari
33
M. Alfan Sidik, Epistemologi Muhammad Taqi Mishbah Yazdi,
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2014).

30
Pilar Teduh

indra, tapi dari akal. Perbedaan antara desertasi


M. Alfan Sidik dengan penelitian ini terletak pada
fokus desertasi pada wilayah epistemologis terkait
sumber, batas, nilai, dan metode pengetahuan.
Adapun penelitian ini fokusnya pada aspek
ontologis. Yakni bagaimana pembuktian
eksistensi Tuhan secara rasional dalam
pemikiran metafisika Muhammad Taqi Mishbah
Yazdi.
G. Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini


adalah menggunakan metode deskriptif analitik 34
dengan pendekatan kualitatif. Selain mendeskripsikan
konten yang akan diteliti, lebih lanjut peneliti akan
menganalisisnya dengan kaidah-kaidah logis dan
filosofis. Mengenai penelitian kualitatif ini, Bogdan
dan Biklen dalam buku metode penelitian Kualitatif
Lexy Moleong, mengemukakan ada lima karakteristik
penelitian kualitatif35 sebagai berikut:

(1)Qualitative has the natural setting as


direct source of data and researcher is the
key instrument; (2) Qualitative research is
descriptive. The data collected are in the
form word or picture, rather than numbers;
(3) Qualitative research are concerned with
34
Metode deskriptif adalah metode yang diigunakan untuk memberikan
gambaran tentang objek yang bisa berupa sistem pemikiran filsafat, nilai-nilai
budaya, nilai-nilai etika, dan lain-lain. Lihat Kaelan M.S, Metode Penelitian
Kualitatif bidang Filsafat Paradigma bagi perkembangan penelitian
interdisipliner Bidang Filsafat, budaya sosial, sastra, semiotika, hukum dan
seni (Yogyakarta: 2015) Hal. 58. Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-
kata, gambar, dan bukan angka-angka. Dalam hal ini penulis mennganalisis
data yang sangat kaya dari dokumen dan data-data sejauh mungkin dalam
bentuk aslinya, dengan proses seperti merajut satu persatu. Lihat Lexy J.
Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya Offset, 2010) Hal. 11
35
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya Offset, 2010) Hal. 8

31
Membuktikan Tuhan Itu Ada

proccess rather than simply with out comes


or products; (4) Qualitative research tend to
analize there data inductively; and (5)
Meaning is of essential concern to
qualitative approach.36

Sumber data dalam penelitian ini dapat dibagi


dalam dua macam. Yakni sumber data primer dan
sumber data sekunder.
a. Sumber Data Primer
Jenis data primer adalah data yang pokok yang
berkaitan dan diperoleh secara langsung dari
objek penelitian, sumber data primer adalah
sumber data yang dapat memberikan data
penelitian secara langsung.37 Data primer dalam
penelitian ini adalah kitab berbahasa Arab Al-
Manhaj Al-jadid Fi Ta’lim Al-Falsafah karya M.T
Mishbah Yazdi.
b. Sumber Data Sekunder
Jenis data sekunder adalah jenis data yang
dapat dijadikan sebagai pendukung data pokok,
sehingga sumber data sekunder dapat diartikan
sebagai sumber yang mampu atau dapat
memberikan informasi atau data tambahan yang
dapat memperkuat data pokok.38Sumber data
sekunder dalam penelitian ini adalah buku-
buku, makalah, artikel, manuskrip dari para

36
Dikutip dari; repository.upi.edu/1267/6/T_ADPEN_999787_Chapter3.pdf.
Hal 72. 03/06/17. 10.25 WIB. (1)kualitatif merupakan setting amaliah
sebagai sumber data langsung dan peneliti menjadi instrumen utamanya,
(2)Penelitian kualitatif bersifat deskriptif. Data yang terkumpul merupakan
kata-kata dan gambar, bukan berupa angka-angka, (3) Penelitian kualitatif
berkenaan dengan proses bukannya semata-mata hasil atau produk, (4)
Penelitian kualitatif mengutamakan pengolahan data secara umum terlebih
dahulu, (5) Makna merupakan perhatian utama dalam penelitian kualitatif.
37
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2002), Hal. 117.
38
Sumardi Suryabrata, Metodologi penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo,1998)
Hal.85

32
Pilar Teduh

penulis (tokoh) yang membahas tentang


pemikiran M.T Mishbah Yazdi. Misalnya Iman
Semesta: Merancang Piramida Keyakinan karya
M.T Mishbah Yazdi dan Pemikiran Filsafat
Ayatullah M.T Mishbah Yazdi karya Muhsin
Labib.

Bentuk penelitian ini adalah penelitian


kepustakaan (library research). Artinya semua
sumber berasal dari buku-buku, literatur,
majalah, jurnal dan dokumen atau bahan-bahan
tertulis, kemudian dari sumber itu penulis
menggunakan dokumentasi yaitu mencatat
sumber-sumber data yang diambil dari sumber-
sumber tersebut.39
Proses analisis data dilakukan, Setelah
data terkumpul secara baik dan teoritis kemudian
data tersebut diolah dan dianalisis dengan baik
secara kualitatif dengan menggunakan metode
deduktif. Yakni suatu proses analisis data yang
berangkat dari pengetahuan yang sifatnya umum,
kemudian diambil suatu pengertian yang sifatnya
khusus. Metode ini digunakan untuk
menganalisis suatu masalah yang membutuhkan
penjelasan terperinci.40 Maksudnya pendekatan
melalui sebuah predikat yang akan dibuktikan
pada pemikiran seorang tokoh, sehingga dapat
mengetahui karakteristik setiap pemikirannya.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini


terdiri dari lima bab yang satu sama lain saling
berkaitan. Satu bab akan terdiri dari beberapa
sub-bab.
39
S. Nasution, Metode Research (penelitian Ilmiah), (Jakarta: Bumi Aksara,
2006) Hal.145
40
Sumardi Suryabrata, Metodologi penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo,1998)
Hal.36

33
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Bab pertama adalah proposal penelitian


dalam menulis skripsi. Adapun sub-babnya
terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat peneilitian, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab Kedua, adalah uraian tentang
argumentasi penolakan metafisika eksistensi
Tuhan dari tradisi filsafat barat yang terindikasi
menghembuskan gerakan ateisme modern.
Adapun sub-babnya terdiri dari agnotisisme Kant
yang merupakan sumber awal landasan
epistemologi ateisme modern. Kemudian
positivisme Auguste Comte yang menyingkirkan
agama dan konsep Tuhan dari Filsafat dan secara
bersamaan mengagungkan sains. Berikutnya,
alienasi Ludwig Feurbach dan Karl Marx yang
membandang secara sinis konsep Tuhan dan
agama. Lalu teori Bertrand Russell yang
beranggapan bahwa Tuhan merupakan produk
ketakutan manusia. Terakhir, analisa dari
psikoanilis Sigmund Freud tentang kompleks-
kompleks psikis.
Bab Ketiga, adalah uraian tentang ide dan
fondasi ontologis pemikiran Muhammad Taqi
Mishbah Yazdi. Akan diuraikan pandangan dia
tentang substansi wujud: Ashalat al-Wujud,
Wahdat al-Wujud, Tasykik al-Wujud, Rabith dan
Mustaqil, Wajib dan Mumkin, ‘Illah dan Ma’lul.
Lebih lanjut akan dipaparkan juga penjelasan
Mahiyah, distingsi Jawhar dan ‘Aradh, serta
Harakah Jawhariyyah.

Bab keempat, berisi analisa argumentasi


eksistensi Tuhan secara rasional. Dalam bab ini
akan diuraikan kemungkinan pembuktian Tuhan
secara rasional, dimulai dari argumen kosmologis
Al-Kindi, argumen ontologis Ibn Sina dan Mulla
Sadra, serta argumen teleologis Ibn Rusyd.

34
Pilar Teduh

Bab kelima adalah berisi argumen


eksistensi Tuhan dalam metafisika Muhammad
Taqi Mishbah Yazdi. Adapun sub-babnya terdiri
dari dua pola argumentasi; yakni burhan limmi
dan inni, wujub dan imkan, kemudian sebab dan
akibat, kemustahilan tasalsul, kemudian
perumusan argumen wajibul wujud perspektif
Syeikh Mishbah.

Bab keenam, berisi penutup. Terdiri dari


dua sub-bab. Yakni bagian kesimpulan dan
saran.

I. Bibliografi

Amstrong, Karen. A History of God; The 4,000-


Year Quest Judaism, Christianity, and
Islam. (New York: Alfred A,Knopf, 1993)

Copleston, Frederick. A History of Philosophy. Vol. 2


(London: Search Press dan New
Jersey: Paulist Press, 1946)

Craig, Edward (ed), Routledge’s Encyclopedia of


Islamic Philosophy (disusun kembali dalam
versi Islam oleh Mulyadi Kartanegara), (London
& New York: Rouledge,1998)

D.Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition,


(Leiden: Brill, 1988)

Eliade, Mircea (ed) The Encyclopedia of Religion,


vol.13 (New York: Simon & Schuster
Macmillan, 1987)
Etienne Gilson, God and Philosophy
(Michigan:BookCrafters,1969)

35
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Hick, John H. Philosophy of Religion, (New Jersey:


Prentice-Hall, Inc, 1973)

Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Al-Manhaj Al


Jadid Fi Ta’lim Al Falsafah (Lebanon:
Dar At-ta’aruuf Lil ma’buu’aat, 1411
H/1990 M)

Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Philosophical


Instruction: an Introduction to Contemporary
Islamic Philosophy, translated by Muhammad
Legenhausen and ‘Azim Salvadir (New York:
Binghamton University State University of New
York, 1999)

Parvis Morewedge, The Metaphysica of Avicenna


(Ibn Sina), (London: Routledge & Kegan Paul,
1973)

Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, History of


Islamic Philosophy (London:Routledge, 1995)
` `

36
Pilar Teduh

BAB II
Diskursus Penolakan Eksistensi Tuhan
A. Sejarah Ateisme

Sebelum beranjak pada pemikiran


beberapa filosof barat yang menolak eksistensi
Tuhan secara filosofis, seperti yang dilakukan
oleh Ludwig Feuerbach (1804-1872 M), Karl Marx
(1818-1883M), Sigmund Freud (1856-1939 M),
Friederich Nietzsche ( 1844-1900 M), Jean-Paul
Sartre (1905-1980), Agnotisisme Immanuel Kant
(1724-1804) dan Positivisme Auguste Comte
(1798-1857). Terlebih dahulu kita menjawab
pertanyaan, bagaimanakah pemikiran ateisme ini
muncul dalam diskursus filsafat? apa yang
melatarbelakangi sehingga ateisme muncul ke
permukaan? dan siapakah tokoh ateisme yang
berpengaruh dalam geliat ateisme tersebut?
Istilah ateisme berasal dari dua kata
bahasa Yunani. Yakni awalan a yang berarti
tidak, tanpa, dan tidak ada yang menegasikan
kata yang datang sesudahnya dan kata theos
artinya Tuhan, Allah, atau Dewa. Oleh karena itu,
secara leksikal ateisme adalah paham yang

37
Membuktikan Tuhan Itu Ada

menyangkal adanya Tuhan atau menganggap


Tuhan tidak memiliki peran dalam kehidupan. 41
sedangkan dalam Cambridge Advance Learner’s
Dictionary, Ateis diartikan sebagai seseorang yang
memiliki keyakinan bahwa Tuhan atau dewa-
dewa itu tidak ada, berbanding dengan agnostik
yang sesorang tidak tahu atau meyakini
kemustahilan untuk mengetahui bahwa Tuhan
itu ada.42 Keduanya memiliki perbedaan, bila
Ateis kepercayaan pada ranah ontologis, yakni
sebuah penolakan akan eksistensi Tuhan,
sedangkan agnostik kepercayaan pada aspek
epistimologis, bahwa tidak mungkin Tuhan
diketahui.
Adapun secara historis, benih-benih
ateisme itu muncul sebenarnya jauh pada masa
pra-Sokrates dan kaum Sofis. Setidaknya ada dua
nama di masa itu, yang disebut oleh Simon P. Lili
Tjahjadi dalam pengantarnya disebuah jurnal
mahasiswa STF Driyarkara berjudul Ateisme
Modern. Yakni Kritias dan Prodikos. Bagi Kritias,
konsep tentang para Dewa merupakan produk
dari pemerintah dan penguasa, yang sengaja
dimunculkan dalam rangka menakut-nakuti para
penjahat dan para pelanggar hukum yang
mengganggu ketertiban umum. Sedangkan
Prodikos berpandangan bahwa konsep para Dewa
muncul akibat dari proyeksi buah nalar manusia
atas segala sesuatu yang bermanfaat dalam
kehidupannya di dunia ke alam ghaib, alam para
Dewa. Misalnya muncul nama-nama Dewa
DEMETRIOS untuk Dewa Pertanian, Dewa
DIONISIOS untuk Dewa kenikmatan dan
pelindung pesta, HEPHAISITOS untuk Dewa
Pelindung Para Tukang.

41
Simon P. Lili Tjahjadi, Tentang Atheisme (Jakarta: Jurnal STF Driyarkara
Ateisme Modern, 2009) Hal. 1.
42
Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, Third Edition, Digital Camus
English

38
Pilar Teduh

Di zaman Helenistik juga muncul satu


nama yang bisa dikategorikan sebagai seorang
ateis. Dia adalah Epikuros (342-271 SM). Ateisme
Epikuros terdeteksi dari penolakannya atas peran
Dewa di dunia. Baginya, para Dewa tidak
berurusan dengan segala apa yang terjadi di
dalam kehidupan manusia dan alam semesta.
Para Dewa bertempat di alam abadi. Alam Kekal
Surga yang berbeda dengan alam dunia. Manusia
tidak semestinya takut dengan para Dewa yang
mengancam atau akan menghukum manusia bila
tidak sesuai dengan kehendakNya. Karena
ketakutan itu tidak berdasar. Manusia dan para
Dewa berbeda alam. Dewa berada di alam
ketenangan yang abadi dan tidak terpengaruh
dengan problematika dunia. Sedangkan manusia
di alam dunia dengan segala lika-liku kehidupan.
Seharusnya manusia menghadapinya dengan
upaya diri sendiri, mempertanggungjawabkan
tindakannya sendiri. Tidak berpangku tangan
serta pasrah pada para Dewa. Ateisme Epikuros
ini juga begitu terkenal dalam masalah teodise
atau problem of evil. Problem yang cukup pelik
antara bencana dan penderitaan di dunia dengan
kehendak Tuhan. Apakah itu perbuatan Tuhan,
yang berarti Tuhan bersalah? atau itu
kebijaksanaan Tuhan yang mengatur hukum
alam sedemikian rupa? Bukan tempatnya untuk
membahasnya di sini.
Sejarah ateisme ini berlanjut pada zaman
Romawi. Dalam arti luas, di zaman tersebut,
istilah ateisme dipahami sebagai sikap atau
ajaran yang menghina dan menolak dewa-dewa
yang pada waktu itu diterima oleh mayoritas
masyarakat hingga diakui oleh pemangku jabatan
negara. Itulah mengapa kaum Nasrani juga
dianggap ateis, dikarenakan tidak sesuai dengan
kepercayaan tradisional pada masa Romawi abad
ke-1 hingga awal abad ke-4. Kemudian stereotip
itu berhenti dibawah Kaisar Konstantin Agung

39
Membuktikan Tuhan Itu Ada

(285-337), yang dengan bijak mentolerir secara


resmi agama Nasrani melalui Maklumat Milani
pada tahun 313. Pada saat itu pula pengejaran
terhadap para pemeluk agama Nasrani
dihentikan. Baru kemudian di abad ke-18, istilah
ateis dipahami sebagai penolakan atas ajaran
Tauhid atau keesaan Tuhan dan
transendensiNya. Tepatnya ketika Ludwig
Feuerbach (1804-1872), murid dari Schleirmacher
dan Hegel, menerbitkan bukunya yang berjudul
The Essence of Christianity pada tahun 1841.43
Pada abad ke-17 tepatnya di era
modernitas. Seperti yang telah dituliskan oleh
Franz Magnis-Suseno dalam karyanya “Menalar
Tuhan”. Filosof-filosof empirisme berambisi agar
segala macam pengetahuan harus dikembalikan
kepada pengalaman inderawi. Lalu pada akhir
abad ke-18, muncullah para filosof materalisme
mengkhususkan paradigma kehidupannya,
termasuk pandangannya terhadap manusia, pada
hal-hal yang materi saja, bahkan menolak
metafisika. Barulah kemudian pada abad ke-19,
dasar-dasar ateisme secara filosofis mulai
diberikan pondasi yang kuat dan diperkokoh
dengan rumusan-rumusan ilmiah oleh para
filosof yang telah disebutkan di atas.44 Pada masa
yang sama, ilmu pengetahuan mengalami
kemajuan yang sangat pesat. pengetahuan ilmiah
diyakini harus bisa menggeser kepercayaan akan
Tuhan. Akhrinya pada abad ke-20, filsafat
digunakan untuk menyangkal kemungkinan
mengetahui sesuatu tentang ketuhanan.
Dampaknya, manusia modern yang hidup pada
masa itu dan selanjutnya, menjadi skeptis
tentang hal-hal yang berkaitan dengan
ketuhanan.
43
Karen Amstrong, Masa Depan Tuhan terj. Yuliani Liputo (Bandung: Mizan
Pustaka, 2011) Hal. 393
44
Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarat: Penerbit PT Kanisius,
2006) Hal. 44-45

40
Pilar Teduh

Sebaliknya, orang yang mengimani Tuhan


atau orang-orang yang beragama. Dipaksa harus
bisa menghadapi tantangan dari skeptisisme
modernitas yang mempertanyakan secara sinis
konsep-konsep agama atau ketuhanan. Bahwa
percaya pada Tuhan adalah rasional dan masuk
akal. Bukan omong kosong, takhayul, atau
sesuatu yang tidak ada gunanya dalam
kehidupan. Maka terjadilah perubahan musim
kecenderungan filosofis dari teosentris warisan
abad pertengahan menuju antroposentris, yang
merupakan anak zaman modernitas. Melalui jalur
humanisme45, Renaissance46, empirisme,
rasionalisme, hingga saintisme yang dimotori oleh
positivisme Auguste Comte (1798-1857) dan
Kritisisme Immanuel Kant (1724-1804). Filsafat
barat terus bergerak ke arah modernitas yang
mulai menyingkirkan diskursus ketuhanan dalam
filsafat. Bahkan Sains lepas dari filsafat dan
mencoba independen sebagai ilmu pengetahuan
tersendiri di abad ke-19 dan 20.
Uraian di atas telah memberikan
gambaran bagaimana rute yang dilewati zaman
modernitas hingga sampai melahirkan
skeptisisme pada konsep ketuhanan dan bahkan
menceraikan ilmu pengetahuan sains dari
induknya filsafat. Oleh karena itu tidak
mengherankan bahwa di abad ke-19 dan 20
muncul para filosof ateisme oleh Feuerbach, Karl
Marx, Nietzsche, Freud, dan Sartre. Dalam bab ini
juga akan dimasukkan pemikiran agnotisisme
Kant dan Positivisme Comte, karena melihat
kedua tokoh tersebut sangat berpengaruh dalam
dialektika diskursus eksistensi Tuhan. Namun di
bawah ini perlu dikemukakan bagaimana bisa
sains berparadigma non-teistik.
45
Gerakan kembali kepada warisan budaya Romawi dan dan Yunani Pra-
Kristiani
46
Renaissance berarti kelahiran kembali zaman klasik Yunani dan Romawi
yang berlangsung dari abad ke-13 sampai dengan abad ke-16

41
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Armahedi Mazhar, pernah menuliskan


sebuah artikel ilmiah yang berjudul “Menuju
Islamisasi Paradigma Sains Posmodern”. Yang
kemudian menjadi bagian pengantar dalam karya
filosofis Mulyadhi Kartenegara berjudul
“Menyibak Tirai Kejahilan:Pengantar Epistemologi
Islam”.47 Dia menuliskan dua alasan mengapa
Sains bercerai dengan filsafat khususnya
penolakannya terhadap metafisika. Pertama,
sains tidak menerima asumsi-spekulatif
Aristoteles tentang anggapan bahwa pada
dasarnya benda-benda itu diam, oleh karena itu,
setiap benda memerlukan gaya dari luar sebagai
penggerak yang mendorong dan menarik. Kedua,
konsep metafisika yang menyimpulkan Tuhan
sebagai Prima Causa (Sebab pertama) yang
merupakan konsekuensi logis dari konsep fisika
Aristoteles tersebut. Seperti yang kita tahu, Fisika
bersama Metafisika dan Matematika, sejak
periode awal pemikiran filsafat Yunani yang
dimotori Aristoteles muncul, hingga sampai pada
filosof muslim, masuk dalam pembagian kajian
filsafat teoritis (nazhariyat).48 Hanya saja, sejak
era renaissance di Barat, Sains mulai melepaskan
diri dari Filsafat dengan menganulir metafisika
dan tetap mempertahankan kajian fisika dan
matematika.
Kembali pada pandangan fisika
Aristoteles, dalam pengantarnya, Armahedi
Mazhar menuliskan isu yang pertama tentang
hakikat benda itu diam atau bergerak. Telah
disebutkan di atas, bahwa menurut Aristoteles
yang kemudian dikembangkan oleh Newton, pada
hakikatnya seluruh benda itu diam, oleh karena
itu butuh penggerak yaitu gaya dari luar, untuk
47
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi
Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 2003) Hal. xvii-xxix
48
Osman Bakar, Science dalam Nasr and Leaman, History of Islamic
Philosophy, Part II (London: Routledge, 1996) Hal. 931. Lihat pula Haidar
Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 200) Hal. 170

42
Pilar Teduh

membuat benda itu bergerak.49 Tapi, menurut


Galileo yang kemudian disetujui oleh Newton
menolaknya. bagi mereka berdua, pada
hakikatnya setiap benda itu bergerak lurus
dengan kecepatan tetap, bukan diam. Perkara
diam dan gerak adalah hal yang relatif. Lebih
lanjut, adapun gaya bagi mereka bukanlah
penyebab gerak. melainkan penyebab perubahan-
kecepatan, berupa percepatan, perlambatan, atau
pembelokan. Dalam menolak agen eksternal yang
menjadi penyebab gerak setiap benda, Galileo dan
Newton menolak asumsi bahwa ada gaya dari
luar untuk membuat benda bergerak. Bagi
mereka, gaya itu tidak perlu dicari di luar alam
semesta, karena gaya itu sudah ada sumbernya
pada eksistensi benda-benda lain. Setiap benda
diyakini mereka, bergerak atau diam, dan saling
mempengaruhi antar benda lain dalam bentuk
gaya-gaya mekanik. Inilah pandangan mekanistik
Newtonian. Yang nantinya akan mempengaruhi
saintis setelahnya.
Pandangan Fisika Aristoteles itu kemudian
berkonsekuensi logis pada pandangan
metafisikanya. Oleh karena tidak mungkin ada
gerakan tanpa adanya penggerak atau digerakkan
melalui sentuhan, maka muncullah konsepsi
entelechy50 untuk makhluk hidup, istilah nous51
untuk bintang-bintang, dan Prima Causa untuk
alam semesta secara keseluruhan. Semua itu
sedemikian rupa bekerja pada benda-benda dan
membentuk rangkain panjang sebab penyebab
gerak yang akan berujung pada penyebab
pertama yang tidak bergerak. Istilah penggerak

49
Kamajaya, Fisika: Buku ajar kelas IX SMA, (Bandung:
PT.Grafindo Media Pratama, 2008) Hal. 147
50
Lihat kamus atau buku islam Tuhan islam manusia pak
haidar
51
Lihat kamus atau liat glosarium buku pak haidar buku saku
dan islam Tuhan islam manusia

43
Membuktikan Tuhan Itu Ada

pertama inilah yang kemudian mengilhami filosof


muslim aliran masya’iyyah atau peripatetik
seperti Al-Farabi(w.950) dan Ibn Sina (w. 1037)
untuk membuatkan konsep Tuhan dalam
pandangan Islam dalam diskursus filsafatnya.
Kemudian argumen semacam ini disebut dengan
argumen pembuktian Tuhan secara kosmologis.
Namun, seperti telah disinggung
sebelumnya, anggapan di atas mendapatkan
penentangan dari saintis modern terutama
Galileo dan Newton. Mereka menyatakan bahwa
gerak dan diam pada benda itu sifatnya relatif,
dan gaya bukanlah sebagai penyebab gerak,
melainkan hanya pengubah gerakan, oleh karena
itu tidak perlu ada istilah penyebab pertama.
Jadi, Tuhan tidak dibutuhkan lagi untuk
menjelaskan semua gerak benda, baik di bumi
maupun di langit, atau bahkan gerak manusia.
Semua gerak benda tidak memerlukan penggerak
nonmaterial. Jadi istilah entelechy, akal, nous,
malaikat, dan Prima Causa itu tidak ada
gunanya. Menjadi jelas, dengan demikian konsep-
konsep immaterial dalam sains modern (non-teis)
tidak lagi dilibatkan untuk menjelaskan gerak
dan gejala alam material. Dengan kata lain,
mekanika tidak mendukung pembuktian adanya
Tuhan dengan argumen kosmologis.
Hal inilah yang kemudian sangat
berpengaruh terhadap pandangan ateis ilmuwan
asal Perancis Pierre de Laplace (w 1827), yang
menuliskan sebuah karya kosmologis berjudul
Mechaniques Celeste, berisi tentang gerak benda-
benda angkasa tanpa menyebutkan satu kata
pun tentang Tuhan atau sinonimnya, sehingga
membuat Napoleon Bonaparte bertanya, apakah
yang menjadi alasan Laplace tidak menuliskan
nama Tuhan dalam karyanya itu. Jawaban yang
terlontar dari Laplace cukup mengejutkan.

44
Pilar Teduh

Laplace menjawab bahwa dia tidak memerlukan


hipotesis seperti itu.52
Pada masa sekarang ini, ateisme sebagai
pandangan yang menyangkal adanya Tuhan
dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni:
Ateisme praktis dan ateisme teoritis. Ateisme
praktis adalah sikap yang tidak menghiraukan
syariat-syariat agama dan hal-hal religius.
Seorang ateis praktis bisa jadi masih percaya
dengan eksistensi Tuhan pun tidak menolak
keberadaanNya. Namun, dalam kehidupannya, ia
bertindak seolah-olah tidak ada Tuhan. Secara
teoritis konsep Tuhan beserta ajaran-ajarannya
tetap dihormati dan bernilai, tetapi secara praktik
perintah Tuhan itu tidak dipedulikan. Contoh
mudah yang bisa kita temukan misalnya koruptor
muslim. Dalam istilah kitab suci Al-qur’an orang-
orang seperti itu disebut munafik.
Sedangkan ateisme teoritis adalah ajaran
yang dengan terang-terangan menolak adanya
Tuhan dan berusaha membuktikan keyakinannya
dengan berbagai argumentasi. Pada titik inilah
para penganut ateisme harus memasuki wilayah
filsafat pada ranah metafisika, sebab mereka
sedang mempertanyakan eksistensi Tuhan.
Simon P. Lili Tjahjadi membagi bentuk
ateisme menjadi tiga macam; Yakni ateisme

52
Mulyadhi Kartanegera, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam
(Bandung: Penerbit Mizan, 200) Hal. 88. Lihat juga Mulyadhi
Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan:Pengantar
Epistemologi Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 2003) Hal.
127. Lihat Pula Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius:
Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia, (Jakarta: PT
Gelora Aksara Pratama, 2007) Hal. 108. Disebutkan dalam
bahasa Perancis “Je n’ai pas besoin de cet hypothese” (saya
tidak memerlukan hipotesa seperti itu). Lihat pula Antony
Flew, A Dictionary of Philosophy, Revised Second Edition,
(New York: St. Martin’s Press, 1984) hal 197, dan Bertrand
Russsell, Religion and Science, (London: Oxford University
Press, ) Hal. 58

45
Membuktikan Tuhan Itu Ada

humanistik, ateisme sosial-politis, dan ateisme


ilmiah.53Pertama, ateisme humanistik
menganggap bahwa kepercayaan kepada Tuhan
akan membuat manusia tertindas. Manusia akan
terpasung pada larangan dan perintah Tuhan.
Manusia akan cenderung lari dari
tanggungjawabnya sendiri. Ateisme ini ingin
memperjuangkan kebebasan manusia secara
utuh dari berbagai syariat Tuhan. Seorang filosof
yang bisa dikategorikan dalam ateisme
humanistik ini adalah Jean-Paul Sartre. Filosof
berkebangsaan Perancis ini berpandangan bahwa
jika kita menerima Tuhan, berarti kebebasan
manusia terenggut. Baginya hanya ada dua
pilihan. Allah ada atau manusia bebas. Pilihan
pertama, jika manusia ingin bebas, maka tidak
bertuhan. Pilihan kedua, jika manusia bertuhan,
maka manusia tidak punya otonomi secara
penuh. Isu Teodise yang berusaha menolak
adanya Tuhan berdasarkan adanya penderitaan
dan kejahatan juga termasuk dalam jenis ateisme
humanistik.
Kedua, Ateisme sosial-politis beranggapan
bahwa mengimani Tuhan adalah akibat dari
adanya problem dalam masyarakat. Ateisme jenis
ini menyatakan kepercayaan kepada Tuhan
menunjukan adanya gejala penyakit dalam
masyarakat. Agama muncul karena masyarakat
mengalami keterasingan (alienasi) dalam hidup
mereka. Bagi Feurebach agama adalah proyeksi
pikiran manusia, sedangkan bagi Karl Marx
agama adalah candu kaum proletar yang
membuat mereka mengkhayalkan Tuhan sebagai
objek pelarian diri atas ketertindasannya di
tangan kaum borjuis. Jalan keluar yang Marx
tawarkan adalah terciptanya masyarakat
komunis tanpa kelas. Agama akan lenyap dengan

53
Simon P. Lili Tjahjadi, Tentang Atheisme (Jakarta: Jurnal STF Driyarkara
Ateisme Modern, 2009) Hal. 3

46
Pilar Teduh

sendirinya jika masyarakat ideal menurutnya itu


terealisasi.
Ketiga, ateisme ilmiah atau disebut juga
ateisme saintifik berpendapat bahwa keyakinan
terhadap Tuhan tidak sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan. Terutama ilmu
pengetahuan alam dan teknologi. Umat beragama
dianggap orang-orang yang terbelakang,
ketinggalan zaman dengan arus perkembangan
sains dan teknologi yang semakin pesat
kemajuannya. Ateisme ini memiliki optimisme
yang tinggi pada ilmu pengetahuan modern.
Mereka percaya sains dan teknologi dapat
menyingkap kebenaran dan membawa manusia
pada keselamatan. Ateisme ilmiah tidak
mengakui wahyu sebagai salah satu sumber
kebenaran. Padaabad ke-19, ateisme ilmiah ini
mencapai puncak perkembangannya bahkan
hingga sekarang. Saintis seperti Pierre de Laplace,
Charles Darwin, dan Stephen Hawking ada dalam
kategori ini.
Lalu bagaimana kaum agama menghadapi
kenyataan timbulnya ateisme tersebut. Berdiam
diri dan membiarkan pemikiran mereka terus
berkembang dalam menolak eksistensi Tuhan,
mengkritik agama, dan melayangkan gugatan
terhadap keyakinan umat beragama, nampaknya
bukanlah sikap yang tepat. Hal ini adalah
problem bersama kaum beragama. Umat
beragama memiliki tanggungjawab untuk
merespon segala tuduhan kaum ateisme itu.
Mempelajari ateisme dan memberikan penalaran
kritis terhdapanya akan semakin memurnikan
keimanan umat beragama dan sekaligus
membentengi akidah agar tahan uji terhadap
segala macam kritik akal sehat.
B. Tokoh-Tokoh Ateisme

1. Ateisme Ludwig Feuerbach

47
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Feuerbach (1804-1872) adalah murid dari


ahli Hermeneutik Jerman Schleirmacher dan
filosof kenamaan Jerman, Hegel (1770-1831).
Seringkali dia mengikuti kuliah-kuliah gurunya
itu. Seorang murid tidak semuanya menerima
pemikiran gurunya. Begitupun yang terjadi pada
Feuerbach. Feuerbach yang dengan intens
berinteraksi dengan gurunya, sangat
memungkinkan terpengaruh pada pemikiran
Hegel. Dalam karyanya, The Essence of
Christianity (1841), Feuerbach telah membawa
seruan Hegel akan Tuhan dan agama pada
konklusi logisnya. Dia menyatakan, jika ide
tentang Tuhan eksternal yang jauh di luar sana
terasa begitu mengasingkan, mengapa tidak
menyingkirkannya sama sekali? Tuhan, bagi
Feuerbach, hanyalah buatan manusia yang
tertindas. Manusia memproyeksikan sifat-sifat
mereka sendiri pada sebuah wujud imajiner yang
sekadar refleksi dari diri mereka sendiri. Jadi,
kepercayaan manusia kepada Tuhan tidak lain
dari keyakinannya pada dirinya sendiri, yang dia
hormati dan cintai pada Tuhannya tak lain
adalah dirinya sendiri.54
Hegel memiliki gagasan inti tentang
filsafat ketuhanan. Gagasannya inilah yang
kemudian mendapatkan respon dan kritik dari
muridnya, Feuerbach. Menurut Hegel, dalam
kesadaran manusia, Allah mengungkapkan diri.55
Franz Magnis menjelaskan maksud dari
pengungkapan diri Allah tersebut dihubungkan
dengan kemandirian dan kebebasan manusia
dalam berkehendak selama menjalani kehidupan
di dunia ini. Franz Magnis menyebut dengan
istilah ‘Roh Semesta’. Ada ‘roh semesta’ dibalik
setiap kehendak kita. Jadi sebetulnya kita seperti
54
Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, terj. (edisi Jerman ke
Inggris) Marian Evans (London: Trubner & Co. Ludgate Hill, 1881) Hal. 284
55
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2003) Hal. 65

48
Pilar Teduh

wayang, di depan panggung, kita melihat wayang


itu memainkan perannya secara bebas, tapi
dibalik wayang, ada sang dalang yang menjadi
pelaku dibalik layar yang mengendalikan skenario
cerita pertunjukkan wayang tersebut. Hegel
memakai kata “die List der Vernunft” yang
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi
“Kelihaian Akal Budi”.
Gagasan inilah yang kemudian menjadi
sasaran kritik Feuerbach. Menurutnya, gurunya
itu lari dari kenyataan. Hegel memberikan
pemikiran yang keliru, bahwa yang nyata
hanyalah Allah (padahal tidak nampak),
sedangkan manusia hanyalah wayangnya, dan
Allah adalah dalangnya. Justru bagi Feuerbach
manusialah yang nampak. Hegel telah
memutarbalikkan fakta. Bukan manusia yang
menjadi objek pikiran Allah, tapi sebaliknya,
Allahlah yang menjadi objek pikiran manusia.
Bagi Feuerbach, manusia secara inderawi tidak
terbantahkan. Sedangkan ‘roh semesta’ itu
hanyalah objek dari pikiran manusia semata.
Dari titik inilah Hegel dianggap Feuerbach, telah
menjadikan filsafat sebagai ‘budak agama’, bukan
menjelaskan agama pada rasionalitas. Filsafat
Roh Hegel hanyalah kepercayaan agama yang
terselubung.
Secara epistemologis, Feuerbach menolak
filsafat Hegel yang menggunakan sudut pandang
pikiran spekulatif . Feuerbach lebih
mengukuhkan realitas pengalaman inderawi,
yang menurutnya tidak bisa lagi ditawar
kenyataannya. Yang menyatakan diri adalah
realitas inderawi, bukan ‘Roh semesta’ yang
masih gagasan spekulatif. Maka dari itu, sangat
berbanding terbalik antara gurunya Hegel yang
condong pada idealisme-teosentris, Feuerbach
sebagai antitesisnya berada pada jalur
empirisme-antroposentris.

49
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Setelah mengkritik Hegel, Feuerbach


mulai mengemukakan gagasan pemikirannya,
yang kemudian menjadi kritik agama yang
penting untuk direspon. Menurutnya, bukanlah
Allah yang menciptakan manusia, tetapi
manusialah yang menciptakan Allah. Allah
seperti angan-angan bagi manusia. Agama
hanyalah sebuah proyeksi manusia. Secara
otomatis konsep-konsep agama tentang hakikat
Allah, malaikat, surga, neraka, pahala, dosa, dan
sebagainya. Itu hanyalah ide yang dibentuk dari
hasil proyeksi manusia sendiri. Penulis andaikan
seperti manusia membuat patung, lalu kemudian
patung itu kita sembah, kita anggap dia memiliki
kekuatan dan oleh karena itu kita takut suatu
saat dia murka dan menghukum kita. Kira-kira
seperti itu, meskipun sebetulnya pengandaian ini
kurang tepat, dilihat dari sisi patung yang masih
bisa kita lihat secara indrawi. Namun justru,
Tuhan masih abstrak tidak memiliki rupa dan
bentuk yang jelas. Manusia konsepsikan dan
disembah. Betapa lugunya. Bahkan eksistensi
Tuhan dianggap yang paling real, diantara
semuanya (seperti Filsafat Roh Hegel). Oleh
karena itu, agama membuat manusia teralienasi
(terasingkan) dari dirinya sendiri. Identitas
kemanusiannya tercerabut oleh ide Tuhan.
Setelah kritik dilancarkan, Feuerbach
memberikan rekonstruksi dari pemikiran Hegel
tentang bagaimana manusia menjadi diri. Untuk
menjadi diri, seharusnya manusia
memproyeksikan dirinya ke luar (bukan
sebaliknya), agar mengetahui hakikat dirinya
sendiri. Umpanya seorang seniman, dia dikatakan
seniman hanya apabila dia telah berhasil
memproykesikan bakatnya dalam bentuk karya
seni pada alam objektif. Misalnya lukisan,
patung, kerajinan, barulah ia dapat melihat
hakikat dirinya melalui karya seni objektif itu.

50
Pilar Teduh

Pada saat itulah manusia menemukan identitas


diri dan mengetahui hakikat dirinya sendiri.
Meskipun Feuerbach mengkritik agama,
dia juga menilai sisi positif dari agama. Franz
Magnis menguraikan dalam bukunya, “Agama
memiliki nilai positif karena merupakan proyeksi
hakikat manusia. Dalam agama, manusia dapat
melihat siapa dia, misalnya bahwa dia kuasa,
baik, kreatif dan lainnya. Namun celakanya,
manusia lupa, bahwa proyeksi itu adalah dirinya
sendiri.”56 Ia begitu takjub dengan apa yang ada
di dalam cermin itu. Begitu kagetnya, sampai dia
kira yang di dalam cermin itu adalah realitas
yang mandiri, yang berbeda dengan dirinya.
Bahkan yang di dalam cermin itu lebih sempurna
dari dirinya sendiri. Proyeksi di dalam cermin itu
kemudian memiliki eksistensi sendiri. Dia segan,
takut, dan menyembah hasil proyeksi yang
sebenarnya tidak real itu. Dihadapan bayangan
cermin itu manusia menjadi tidak berdaya apa-
apa, alih-alih merealisasikan diri sesuai dengan
kesempurnaan itu. Manusia malah menjadi pasif,
berdoa penuh harap padanya. Dengan demikian
agama membuat manusia teralienasi dari dirinya
sendiri. Manusia malah mengatributkan sifat-
sifat mahabaik, mahaadil, mahatahu,mahakuat,
pada Allah hasil proyeksinya yang tidak real.
Bukan malah menjadi baik, adil, tahu, dan kuat
sendiri. Menurut Feuerbach, hal ini membuat
manusia yang beragama tidak maju, agama
mencegah berkembangnya ilmu pengetahuan,
mengekang kebebasan manusia, dan sulit untuk
mencapai pencerahan atau kedewasaan.
Kesimpulan yang didapatkan Feuerbach
dari kritiknya terhadap agama adalah, bahwa
teologi harus menjadi antropologi. Jika manusia
ingin menyudahi keterasingannya, maka ia harus

56
Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2006) Hal. 67

51
Membuktikan Tuhan Itu Ada

menolak agama. Manusia harus membongkar


agama, agar dia bisa merealisasikan seluruh
potensinya. Jika Tuhan Maha Sempurna, maka
yang seharusnya menyandang kesempurnaan itu
adalah manusia itu sendiri.

Telaah dan Kritik

2. Ateisme Karl Marx

Ateisme Karl Marx sebetulnya ingin


melanjutkan kritik agama Feuerbach pada Hegel.
Yang menurut Marx belumlah lengkap.
Sebagaimana telah dikenal populer ungkapan
Marx bahwa “agama adalah candu rakyat”.
Kalimat ini seringkali diartikan sebagai agama
yang berwatak antagonis bagi manusia. Agama
seperti narkoba yang memberikan kebahagiaan
sesaat, padahal sejatinya menipu dan
menyesatkan. Agama memberikan ajaran pasrah
bagi kaum miskin dan membiarkan mereka
tertindas. Agama mengiming-imingi mereka
kebahagiaan di surga, pasca kehidupan di dunia
ini. Jadi, agama diciptakan oleh kaum borjuis
dalam rangka membius kaum proletar yang
tertindas agar mereka tidak memberontak, dan
pasrah saja dengan keadaan yang ada. Hal ini
diamini oleh Lenin.
Tetapi, nampaknya anggapan itu keliru
adanya. Franz Magnis menuliskan, maksudnya
bukanlah seperti itu. “Marx tidak dalam konteks
menyatakan fungsi agama secara positif atau
negatif dalam masyarakat. Melainkan ucapan itu
sebagai respon pada kritik agama Feuerbach yang
belum utuh. Marx setuju bila agama adalah
dunia khayalan di mana manusia mencari dirinya
sendiri. Tetapi Feuerbach tidak bertanya apa
alasan manusia melarikan diri ke khayalan,

52
Pilar Teduh

daripada mewujudkan diri dalam kehidupan


nyata. Karena dalam kehidupan nyata, struktur
kekuasaan dalam masyarakat tidak mengijinkan
manusia untuk merealisasikan hakikat dirinya.
Manusia mengapa melarikan diri ke dunia
khayalan, karena dunia nyata menindasnya.
Begitulah jawaban yang diberikan Marx.57
Jadi, agama merupakan bentuk protes
manusia pada keadannya yang tertindas itu.
Maka, kritik tidak boleh berhenti hanya pada
agama. melainkan harus merembet pada keadaan
sosial dan politik yang mendorong manusia pada
agama. Dari sini, Marx berkesimpulan, “kritik
surga berubah menjadi kritik dunia, kritik agama
menjadi kritik hukum, kritik teologi menjadi
kritik politik”.58 Marx kemudian lebih
menegaskan, bahwa yang diperlukan sbenearnya
bukanlah kritik agaa, melainkan revolusi! Agama
dengan sendiri justru akan menghilang, apabila
manusia mampu membangun dunia sendiri yang
memungkinkan dia untuk merealisasikan hakikat
dirinya sendiri secara lebih nyata dan positif.
Sampai di sini, Marx juga nampaknya setuju
bahwa teologi harus bergeser ke antropologi.
Kritik agama di atas masih menyetujui
Feuerbach, bahwa agama adalah pelarian
manusia atas penderitaan kehidupannya.
Namun, Marx memberikan catatan untuk
melengkapinya dengan ranah sosial, ekonomi,
dan politik yang berkaitan dengan agama. Yang
khas dari Marx selanjutnya adalah, bahwa ada
dua pihak antara kelas atas yang punya kuasa
untuk mengendalikan kelas bawah dengan dalih
agama. Bahwa ada yang tidak beres dalam
struktur sosial masyarakat. Agama lebih

57
Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2003) Hal. 72
58
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2003) Hal. 73

53
Membuktikan Tuhan Itu Ada

menguntungkan kelas atas ketimbang kelas


bawah. Kritik ini jelas memberikan tantangan
pada agama untuk menjawabnya. Apakah agama
benar menjadi lintah darat yang menghisap darah
rakyat? atau sebaliknya menjadi kekuatan yang
mampu membebaskan masyarakat dari
keterpurukan? Sepatutnya agama itu
memberdayakan. Namun, bagaimana menepis
kritik Marx tersebut. Apakah agama itu pelarian?
atau benarkah agar manusia bisa
mengembangkan dirinya sebagai makhluk sosial
dan politik harus berhenti mengikuti agama dan
percaya pada Tuhan.
3. Ateisme Friedrich Nietzsche

Model ateisme Feuerbach telah dibahas


diawal bab dua ini. Nampaknya dia bermaksud
menggunakan filsafat untuk mencari hakikat
agama, dan segera setelah itu, ia juga hendak
memberikan pemahaman kepada para pemeluk
agama berdasarkan hasil analisisnya. Berbeda
dengan Karl Marx. Marx menganggap hakikat
agama tidak perlu dibahas, karena dengan
sendirinya akan hilang, bila ketidakadilan di
dunia ini dihapuskan. Maka ‘kematian Allah’ bagi
Nietzsche merupakan peristiwa agung dan sama
sekali baru pada era itu. Begitulah uraian
Weischedel yang dikutip oleh Franz Magnis.59
Kematian Allah ini kemudian melandasi
lahirnya nihilisme.60 Nihilisme ini
59
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2003) Hal. 76
60
Nihilisme ada berbagai definisi. Pertama, dalam kamus
digital Cambridge Advanced Learner’s Dictionary-Third
Edition, nihilisme diartikan a belief that all political and
religious organization are bad, or a system of thought which
says that there are no principles or beliefs which have any
meaning or can be true. Artinya kepercayaan buruk pada
semua bidang politik dan organisasi agama, atau sistem
pemikiran yang mengatakan tidak ada prinsip atau

54
Pilar Teduh

menghancurkan nilai-nilai yang telah mapan dan


dianut oleh manusia. Semua tidak real, yang ada
hanyalah kehampaan serta krisis eksistensi.
Dalam keadaan demikian, mesti ada solusi. Maka
dmunculkanlah seorang manusia di atas
manusia, dalam istilah Nietzsche disebut
Ubermensch.61
Kita mungkin masih bertanya, apakah
yang dimaksud dengan kematian Allah? Apakah
dia dibunuh? Bagaimanakah cara kita
membunuhnya? Dalam buku menalar Tuhan,
Franz Magnis menjelaskan sebetulnya Allah tidak
pernah dibunuh. Tetapi yang ingin Nietzsche
katakan sebuah kenyataan bahwa Allah tidak
ada. Manusia sendiri yang mengada-adakan,
manusia sendiri yang menciptakan Allah, adapun
Allah yang dibunuh itu adalah Allah yang telah
manusia ciptakan. Alasannya, ketika Allah
diciptakan manusia, Allah menguasai manusia,
mengasingkan manusia dari dirinya dan
dunianya, membuat manusia menjadi kerdil serta
merendahkan moralitasnya. Allah sedemikian
rupa diagungkan sebagai kebenaran absolut,
sehingga membuat manusia jatuh dalam keadaan
sebaliknya, tenggelam dalam kebohongan.
Seharusnya manusia tidak melarikan diri kepada
agama, tetapi dengan gagah berani menghadapi

kepercayaan yang bermakna atau dapat memiliki kebenaran.


Kedua, dalam situs kamus.landak.com/cari?emang=nihilism
yang mengambil sumber dari Webster, nihilism the doctrine
that nothing can be known: scepticism as to all knowledge
and all reality. Berarti mihilisme adalah doktrin bahwa tidak
ada yang dapat diketahui; seperti skeptisisme terhadap
semua pengetahuan dan realitas. Dalam bahasa sederhana,
nihilisme bisa dikatakan ketiadaan eksistensi, kehampaan
makna, atau ketidaknyataan sesuatu.
61
Artinya manusia yang sudah melampai manusia yang
sekarang, dalam bahasa Jerman Uber ihn hinaus berarti
manusia di seberang manusia. Bisa dikatakan manusia yang
telah sadar atau tercerahkan dalam pemikiran Nietzsche.

55
Membuktikan Tuhan Itu Ada

setiap keadaan dan kenyataan yang ada di dunia


dengan jujur.
Agama bagi Nietzsche adalah hasil kreasi
ciptaan manusia-manusia yang pasrah, tidak
memiliki daya bangkit, dan tidak berani
memegang tanggungjawab kuasa. Oleh karena
manusia selalu kalah di dunia ini, maka konsep
akhirat dibuat untuk memenangkan penderitaan
dunia. Agama bagi Nietzsche mengajarkan
moralitas budak, bahkan sejak 2000 tahun yang
lalu. Yang dimaksud moralitas budak ialah
moralitas yang menerima begitu saja, pasrah,
sikap rela, nurut, manut, kesediaan untuk tidak
membalas, seperti yang diajarkan gereja, untuk
menawarkan ‘pipi kiri’. Moralitas ini akan
berakibat pada produksi manusia-manusia yang
sakit, lumpuh, lemah, rendah, dan akan terus
mengalami kegagalan. Jadi agama menganjurkan
moralitas perbudakan, karena nilai-nilai yang
diajarkan justru menjunjung tinggi sifat-sifat
para budak. Hal ini harus ditolak dengan tegas,
karena manusia harus mempertahankan harga
dirinya. Kita harus membersihkan diri dari
kepercayaan pada agama dan Allah. Jika kita
ingin bebas dan selamat dari perbudakan itu.
Kritik ini juga tercatat diarahkan pada
Plato yang takut dari kenyataan, maka dia lari ke
alam idea, di belakang dunia kita. Mungkin bila
menggunakan bahasa sekarang seperti istilah
‘pengecut’, yakni bersembunyi, tidak berani
mengahadapi kenyataan yang ada di dunia ini,
dunia yang dinamis, penuh tekanan, keras, dan
dihinggapi penderitaan. Lalu Plato menciptakan
dunia khayal yang ia namakan ‘kebenaran’. Yakni
sebuah alam idea yang kontras dengan alam
empiris dan kemudian menjadi karakter
metafisika dan menjadi pola dalam agama.
Filsafat tak ubahnya seperti teologi. Filsafat
dicemari oleh pemikiran para teolog. Karena itu,
dengan tegas Nietzsche menyatakan perang

56
Pilar Teduh

terhadap naluri kaum teolog dan mencoba


melawan metafisika.62
Sudah saatnya bagi ateisme untuk
menolak secara terang-terangan pada agama dan
keyakinan akan adanya eksistensi Allah. Allah
yang telah diakui ribuan tahun lamanya telah
mati, lebih tepatnya Allah kuna telah mati
semati-matinya. Sebenarnya Allah tidak mati, ia
tak pernah ada. Nilai-nilai agama dan moral
hanya kebohongan dan tidak benar-benar diakui
oleh manusia. Yang ada hanyalah kepentingan-
kepentingan, nafsu, dan kekuatan-kekuatan yang
tidak luhur. Kematian Allah inilah yang
membawa kepada nihilisme. Suatu zaman baru
yang yang akan menguasai dua abad mendatang.
Begitulah ramalan Nietzsche. Tetapi, Franz
Magnis menyebut nihilisme ini bukanlah akibat
dari kematian Allah, melainkan hanya membuka
tabir kebohingan yang begitu lama
menyembunyikannya.63
Kematian Allah ini telah mengguncang
orang-orang beragama. Keyakinan tradisional
mereka digugat sedemikian rupa. Ribuan tahun
mereka telah tertipu oleh khayakan-khayalan
semu. Ilusi bahwa manusia tidak perlu
bertanggungjawab atas dirinya sendiri karena
Allah akan melindunginya. Keyakinan ini
sungguh keliru. Sekarang manusia menghadapi
kekosongan segala makna. Krisis kehampaan
nilai-nilai moral dan spiritual. Franz Magnis
mengutip Weischedel, menyatakan kepercayaan
pada Allah berbalik menjadi “kepercayaan bahwa
sama sekali tidak ada kebenaran lagi,
kepercayaan kaum nihilis’.64

62
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2003) Hal. 78
63
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2003) Hal. 79

57
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Meskipun kenyataan Allah telah mati,


begitu terguncangnya, masih ada yang masih
mencari Allah. Begitulah si ‘manusia gila’ yang
diceritkan Nietzsche dengan begitu mengagumkan
dan dramatis. “Pada siang bolong, manusia gila
itu menyalakan obor, lari ke tengah pasar dan tak
henti-hentinya berteriak: ‘Aku mencari Allah! Aku
mencari Allah!’... “Kemanakah Allah?” ia beteriak,
‘aku akan mengatakannya kepada kamu! Kita
membunuhnya-kamu dan aku! Kita semua
adalah pembunuhnya! Tetapi bagaimana kita
melakukannya? Bagaimana kita dapat meminum
habis samudera? Siapa yang memberikan sepon
untuk menghapus habis seluruh cakrawala? Apa
yang kita lakukan waktu kita melepaskan bumi
dari matahari? Kemanakah dia sekarang?
Kemanakah kita sekarang? Menjauhi semua
matahari? Bukankah kita terus menerus jatuh?
Dan ke belakang, ke pinggir, ke depan, ke semua
sudut? Masihkah ada atas dan bawah?
Bukankah kita berkelana bagaikan dalam
ketiadaan tak terhingga? Bukankah ruang
angkasa kosong menghembusi kita? Bukankah
semuanya terasa lebih dingin? Bukankah malam
datang dan lebih banyak malam terus menerus?
Bukankah di pagi hari perlu dinyalakan lentera?
Tidakkah kita mendengar, ribut-ribut, para
penggali kuburan mengubur Allah? Tidakkah kita
mencium bau pembusukan Ilahi? Dewa-dewa
pun membusuk! Allah mati. Allah tetap mati! Dan
kitalah yang membunuhnya! Bagaimana kita
dapat melipur diri,, para pembunuh semua
pembunuh?... Bukankah keagungan tindakan ini
terlalu agung bagi kita?”.65
Para pemikir bebas dan filosof ada yang
justru menafsirkan kematain Allah dan kisah si
64
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2003) Hal. 79
65
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2003) Hal. 80

58
Pilar Teduh

‘manusia gila’ itu dengan sebuah pencerahan,


semangat baru, bagaikan fajar yang baru terbit
dan akan menerangi alam semesta. Pikiran
manusia akan kembali terbuka. Bahwa segala
keberanian untuk mencari pengertian,
pemahaman, dan kebahagiaan nalar.
Dengan peristiwa kematian Allah itu,
nihilisme akan berkuasa selama 200 tahun
mendatang. Begitulah menurut Nietzsche. Tetapi
nihilisme ini bukanlah titik akhir. Akan muncul
“manusia” yang akan “menuliskan nilai-nilai baru
di atas papan-papan baru.” Sejak kepercayaan
Allah menguasai dan membelenggu manusia,
manusia menjadi kerdil dan tidak tahu arah
tujuannya sendiri. Nah, setelah kematian Allah,
manusia harus menentukan kehendak, capaian,
dan tujuan hidupnya sendiri. Nietzsche kemudian
mengajarkan nilai-nilai dengan mengatakan “iya,
terhadap segala sesuatu yang menguatkan, dan
tidak terhadap segala hal yang melemahkan.”
Nihilisme harus diatasi oleh manusia yang
melampaui manusia. Allah telah mati dan
sekarang kita harus menghendaki agar sang ‘atas
manusia hidup’. Dia adalah manusia mandiri
yang berani menentukan sendiri apa yang baik
dan bernilai bagi dirinya sendiri. Dengan
demikian dia bisa menjadi pemenang atas Allah
dan terbebas dari nihilisme.
4. Ateisme Sigmund Freud

Sigmund Freud (1856-1939) lahir pada


tanggal 6 Mei 1856 di Freiberg, Moravia, yang
pada saat itu merupakan salah satu provinsi di
wilayah utara dari kekuasaan Austro-Hungaria
dan sekarang bagian dari negara Republik
Czech.66 disebut sebagai bapak psikoanalisa. Ia
merupakan salah satu ilmuwan yang paling

66
James F Brennan, History and System of Psychology (New Jersey: Pearson
EducationUpper Saddle River, 2002) Hal. 221

59
Membuktikan Tuhan Itu Ada

berpengaruh di dunia. Masa Freud hidup


merupakan masa yang sedang deras-derasnya
perlawanan terhadap metafisika, teolog, dan
konsep ketuhanan. Ateisme telah mengalami
zaman produktifnya, setelah ultimatum ‘kematian
Tuhan’ dari Nietzsche. Sebagai seorang ilmuwan
yang setia pada metode empiris, dia
memutuskan diri untuk menjadi ateis.
Sikap ateisme Freud sedemikian jelasnya,
sehingga baginya pertanyaan apakah ada Tuhan
tidak perlu dipertanyakan lagi. Jawabannya tentu
Tuhan tidak ada. Yang ada hanyalah alam dan
manusia beserta segala masalah diantara
keduanya. Namun, yang menjadi perhatian bagi
Freud adalah, mengapa konsep akan Tuhan
begitu menguasai kehidupan manusia padahal
Tuhan tidak bisa diindrai. Tuhan tidak dapat
dilihat, didengar, ataupun dirasakan. Tuhan
selalu ada dalam kesadaran kehidupan manusia
sepanjang sejarah. Kenyataan itulah yang
kemudian mengusik Freud untuk melakukan
penalaran filosofisnya. Freud mulai melakukan
penelitian terhadap agama dengan berusaha
membuktikan hipotesisnya bahwa agama
menurut kodrat psikologisnya merupakan sebuah
ilusi semata.
Freud kemudian dengan teorinya
menjelaskan bahwa agama sebagai pelarian
neurotis dan infantildari realitas. Manusia tidak
mampu menghadapi realitas dunia yang penuh
dengan tantangan dan tekanan. Bukannya semua
kenyataan itu dihadapi dengan memaksimalkan
potensi diri manusia itu sendiri, justru manusia
mencari perlindungan keselamatan dalam
naungan Tuhan yang tidak nyata adanya.
Manusia takut dan takluk kepada sesuatu yang
bahkan tidak berkaitan sama sekali dengan dunia
dan kenyataan yang ada. Sikap seperti inilah
yang Freud cirikan sebagai seorang neorotis dan
infantil. Oleh karena itu, manusia harus

60
Pilar Teduh

membebaskan dirinya dari neurosis dan infantil


tersebut. Agar manusia menjadi pribadi yang siap
dalam menghadapi realitas dunia dengan segala
tantangannya.
Apa yang dimaksud neurosis menurut
Freud? Neurosis adalah inti dari teori
psikoanalisa Freud. Neurosis adalah kelakuan-
kelakuan dan perasaan-perasaan aneh dalam
arti tidak sesuai dengan kenyataan yang
dihadapi.67 Misalnya orang tidak bisa
berkomunikasi secara normal atau terkadang
dalam keadaan takut tanpa alasan yang jelas.
Menurut Freud, neurosis bisa terjadi apabila
orang bereaksi tidak benar atas suatu
pengalaman emosional dan memalukan. Satu
contoh anak korban pemerkosaan. Tentu ketika
kejadian pemerkosaan, dia akan menanggung
perasaan malu yang luar biasa. Ada keinginan
yang kuat untuk melenyapkan ingatan dari
peristiwa itu. Tetapi, perasaan itu terus menerus
menghantui dan berkecamuk dalam alam bawah
sadarnya, yang sewaktu-waktu bisa berakibat
muncunya tingkah aneh yang sulit dikontrol oleh
dirinya sendiri. Neurosis ini menyebabkan
sesorang tidak bisa membawa dirinya secara
dewasa. Jika nerurosis ini tidak mampus
disembuhkan, maka resiko yang terjadi orang
tidak bisa hidup sewajarnya.
Neurosis in erat kaitannya dengan Super-
ego. Apa itu Super-ego? Super-Ego ini terletak
sebagai suara hati. Di dalam Super-Ego, ada
norma-norma yang diajarkan oleh ayah dalam
tatanan keluarga, dan nilai-nilai dalam tatanan
masyarakat. Norma dan nilai itu hadir dalam
kesadaran diri kita. ketika kita hendak bertindak
an memutuskan sesuatu yang melenceng dari

67
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2003) Hal. 85. Cari di buku Where there is
no pshyciater

61
Membuktikan Tuhan Itu Ada

dua kode etik tersebut, Super-Ego akan segera


memberikan teguran keras. Namun, konflik
terjadi ketika Super-Ego bukan hanya menegur
kalau, misalnya seks bebas tidak dibenarkan,
melainkan Super-Ego sudah menegurnya ketika
baru ada rangsangan, padahal dia belum
mengambil sikapnya. Akibatnya, dia menekan
dan menahan perasaan itu. Alh-alih seharusnya
biarkan dirinya terangsang secara wajar, dan
bersikap dengan tenang sesuai dengan nilai yang
dia anut. Hal seperti inilah neurut Freud dapat
menghasilkan Neurosis.68
Untuk mengatasai pasien yang terjangkit
neurosis, psikoanalisa mengambil dua langkah:
Pertama, pasien dibangkitkan untuk berani
mengingat kembali peristiwa buruk yang
menimpanya, kedua, daripada memaksakan
untuk melupakannya, pasien diarahkan agar
mengambil sikap rasional. Dari sekian sebab-
sebab neourosis, ada sebab yang paling penting
menurut Freud, yaitu Kompleks Oedipus.69 Yakni
peristiwa seorang anak kecil yang mencintai ibu
kandungnya sendiri, bahkan ingin sekali
mengawininya. Namun, hal ini tidak bisa, karena
ada ayah yang memiliki ibunya. Maka timbul ide
keji untuk membunuh ayahnya. Situasi semakin
dilematis, satu sisi dia bermaksud menyingkirkan
ayahnya, sebagai saingan untuk memiliki ibunya,
dilain sisi ayahnya ia kagumi wibawanya. Ambisi
buruk itu jelas mendapat teguran keras oleh

68
Lihat Buku Sigmund Freud di kampus tentang neurosis
terbitan series mizan. Kemungkinan adanya neurosis bisa
dideteksi bila muncul rasa fobia (keadaan takut tanpa
alasan), Obsesi (kelakuan yang tida proporsional),
hipokhondrik (merasa sakit padahal tidak sakit), histeris dan
dan ciri-ciri psikosomatris lainnya.
69
Oedipus adalah salah satu tokoh dalam mitologi Yunani yang, dengan tanpa
sadar, telah membunuh ayahnya sendiri, kemudian kawin dengan ibunya.
Tentu saja perbuatannya itu mendapatkan kecaman dan kutukan dari para
Dewa.

62
Pilar Teduh

Super-Ego. Tetapi, dia tidak peduli dan malah


menyengkal teguran itu. Nah, penyangkalan
inilah yang menghasilkan neurosis.
Atas dasar teori di atas Freud mengkritik
fungsi daripada agama. Bahwa agama baginya
adalah ilusi infantil dan neurosis kolektif. Konsep
agama membuat manusia percaya akan
eksistensi dewa-dewa. Dewa-dewa itu diyakini
dapat mengatasi ancaman-ancaman bencana
alam, membuat orang pasrah dengan
keadaannya, seburuk apapun keadaan itu, agama
menjanjikan ganjaran atas perbuatan manusia.
Jadi, dengan agama manusia ingin berlindung
dari segala macam ancaman dan penderitaan
yang mungkin menimpanya. Padahal
perlindungan itu hanyalah sebuah ilusi. Pada
kenyataannya, dewa-dewa itu tidak benar-benar
melindungi, hanya diharapkan sebagai pelindung.
Inilah yang dimaksud ilusi: Keyakinan bahwa
suatu harapan akan terpenuhi, bukan karena
kenyataan mendukung harapan itu, melainkan
karena orang menginginkannya.
Ilusi itu infantil (kekanak-kanakkan).
Seperti rengekan dan tangisan anak kecil karena
mengharapkan sesuatu. Agama bagi Freud
membawa manusia dewasa seperti anak kecil; Ia
menghadapi kenyataan dengan wishful thinking.
Maka dari itu, agama akan melumpuhkan
manusia. Manusia mengharapkan keselamatan
secara pasif dari Tuhan. Bukannya mencari jalan
dan mengusahakannya sendiri dengan
memanfaatkan segenap potensinya. Menggalih
kekuatan-kekuatannya. Orang beragama
dianggap terjangkit neurosis kolektif. Bukan
dalam arti klinis. Maksudnya individu beragama,
karena masyarakat beragama, dari sana individu
mengikuti pandangan dunia bersama masyarakat
secara kolektif. Gejala sosial agama ini
menunjukkan adanya ciri-ciri neurosis bahkan
secara massal. Orang beragama mengharapkan

63
Membuktikan Tuhan Itu Ada

keselamatan (salvation), tetapi agama tidak


mungkin mewujudkannya. Orang mematuhi
perintah dan larangan agama (syariat), tidak
melakukan perbuatan dosa bukan karena
pertimbangan rasional, tetapi karena takut
dihukum Tuhan.70
Tuhan diandaikan seperti ‘ayah super’.
Dia dicintai sekaligus ditakuti. Manusia beragama
bukan karena pertimbangan yang masuk akal,
tetapi karena takut Tuhan. Takut melanggar
perintah dan larangan Tuhan. Takut karena
hukuman Tuhan. Sedangkan manusia punya
keinginan-keinginan dan dorongan-dorongan
untuk melakukan segala perbuatan baik maupun
buruk. perbenturan konflik menhan keinginan
pribadi dan perintah Tuhan itulah yang
menyebabkan adanya gejala neurosis pada
agama. Manusia secara berlebihan takut masuk
neraka, melakukan ritual secara detail, hidup
tidak dinikmati karena dihantui dosa. Dari sisi
ini, agama dianggap mematikan pengembangan
diri manusia bahkan untuk mencapai
kebahagiaanpun tidak bisa dalam agama.
Freud kemudian mengajukan teori asal-
usul agama dalam karyanya yang berjudul Totem
und Tabu. Diceritakan ada kelompok manusia,
yang didalamnya terdapat ‘ayah super’ sebagai
pemimpin yang memiliki atas kaum perempuan.
Hal ini pada gilirannya menimbulkan kedengkian
pada anak-anak lelakinya. Oleh sebab itu,
mereka membunuh ayah mereka. Meskipun telah
dibunuh, tidak hilang kekaguman mereka pada
ayahnya, seperti idola, bahkan mereka ingin
berwibawa seperti ayahnya. Maka dari itu,
mereka tetap mangambil alih semua peraturan
dan larangan sebagai aturan hidup mereka. Ayah
70
Imam Ali menyatakan dalam Nahjul Balaghah. Orang beragama itu ada tiga
macam; Pertama, orang beragama karena takut dihukum Tuhan. Ini agama
para budak. Kedua, orang beragama karena mengharap surga. Ini agama para
pedagang. Ketiga, beragama karena kesadaran. Inilah agama para ‘arif.

64
Pilar Teduh

disimbolkan sebagai totem.71 Oleha karena itu,


dar sinilah muncul agama sebagai seperangkat
sistem atau peraturan yang apabila ditaati akan
menjamin keselamatan dan perlindungan dari
‘ayah super’ atau Tuhan. Menurut Freud dengan
ini agama berasal dari konflik Oedipus.
Telaah dan Kritik
Metode psikoanalisis Freud serta teori
insting seksualnya, memiliki beberapa
kelemahan, sehingga Freud harus mengahadapi
banyak kritikan yang ditujukan padanya.
Pertama, Freud dalam metode penelitiannya
mengkaji dan menguji beberapa orang di antara
orang-orang yang memiliki perilaku tak normatif,
yang keliru kemudian ialah Freud melakukan
suatu generalisasi secara luas, dan
menambahkannya dengan dimensi-dimensi
global. Hasrat-hasrat seksual pada anak-anak
yang tidak normal mencintai salah satu dari
orangtuanya begitu aneh, tidak memiliki dasar
yang logis-rasional, hanya bersandarkan pada
dongeng dan cerita mitologi yang belum pasti
kebenarannya, tidak bisa diterapkan secara
umum, dan yang paling lemah daripada itu
adalah teorinya lebih dekat pada fantasi atau
imajinasi belaka.72
Kedua, pemikiran Freud lebih banyak
terbentuk dalam budaya Kristen-Yahudi. Dan
oleh karena itu tidak dapat digeneralisasikan
kepada agama-agama lainnya. Mislanya
Hubungan ‘ke-ayah-an Tuhan dengan manusia
hanya ada dalam konsep ketuhanan Kristen.
Begitupun asal-usul kisah tentang pembunuhan
ayah oleh manusia-manusia awal atau anaknya
71
Sebuah patung atau benda simbolis didalamnya mereka meyakini kekuatan
almarhum ayah itu tetap melindungi mereka.
72
Hasan Yusfian dengan mengutip pendapat psikolog Hans J.Eysenk dalam
Kalam Jadid: Sebuah Pendekatan Baru Dalam Isu-Isu Agama (Jakarta: Sadra
Press, 2014) Hal. 39

65
Membuktikan Tuhan Itu Ada

tidak dapat diperoleh selain dari dugaan dan


anggapan semata. Kisah yang Freud sajikan
terkesan bersifat imajinatif dan hanya semacam
kisah-kisah peri. Seharusnya Freud membangun
argumentasinya dalam format ilmiah dan filosofis,
tetapi ‘cerita-cerita’ yang telah dia tuliskan justru
telah mengurangi ketajaman analisis seorang
Freud sendiri.
Ketika Sigmund Freud menyampaikan
teorinya tentang pengaruh bawah sadar terhadap
kehidupan manusia ia dianggap menimbulkan
revolusi pertama dalam pemikiran psikologi. Tapi
sebetulnya ada revolusi lain yang segera
menyusul, setelah revolusi Freud, yang dipimpin
oleh anak didiknya sendiri, yakni Carl Gustav
Jung. Bila Freud berkata bahwa seluruh tingkah
laku dan perilaku manusia sebetulnya berdasar
atau didiorong oleh apa yang dia sebut
‘Libestribe’. Ada dua yang mendorong manusia
untuk mempertahankan kehidupan ini. Pertama,
dorongan untuk mencintai Libestribe yang
kemudian dilahirkan di kalangan orang awam
menjadi dorongan seksual. Biasa ini dibicarakan
oleh Freud berkenaan dengan dorongan seksual
terhadap kehidupan manusia. Bahwa banyak dari
kehidupan manusia dikuasai atau dipengaruhi
oleh dorongan seksual yang tersimpan di alam
bawah sadar.
Lalu muridnya Carl Gustav Jung tidak
sependapat dengan Sigmund Freud gurunya
tersebut. Jung berpendapat bahwa disamping
alam bawah sadar kita memiliki apa yang dia
sebut sebagai ‘a collective unconsiousness’ artinya
bawah sadar yang bersifat kolektif. Dan bawah
sadar itu sangat mempengaruhi kehidupan
manusia. Diantara bawah sadar itu adalah
hubungan kita terhadap hal-hal yang bersifat
spiritual. Jadi menurut Jung, orang ini hanya
bisa normal secara psikologis, apabila dia
menghubungkan dirinya dengan yang maha

66
Pilar Teduh

tinggi konsep itu kita sebut sebagai Tuhan. Carl


Gustav Jung pernah menyatakan, “ Kebanyakan
dari pasien-pasienku ada dua hal yang saya
temukan. Pertama, usia separuh baya ke bawah.
Dan kedua, usia separuh baya ke atas. Gangguan
kejawaannya berbeda. Yang pertama, gangguan
kejiwaannya disebabkan oleh
ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan dasar
seperti kebutuhan penghargaan, kebutuhan akan
kekayaan, atau kebutuhan akan pekerjaan tetap.
Kebutuhan kebutuhan itu yang umumnya fisikal
menyebabkan mereka mengalami gangguan jiwa.
Tetapi yang kedua, separuh baya ke atas, mereka
memiliki gangguan jiwa, karena mengalami krisis
spiritual. Misalnya karena dia tidak mempercayai
agama lagi. Karena dia tidak lagi merasakan
bagaimana kehangatan dalam kehidupan
keagamaannya. Dan kebanyakan dari pasienku,
adalah dari kelompok setengah baya ke atas ini.”
Jadi, kebanyakan pasien dari Jung adalah orang
yang berusia 35 tahun ke atas, yang mengalami
krisis spiritual yang disebabkan kurangnya
kepercayaan mereka terhadap kehidupan
keberagaannya. Jadi, dalam mengobati mereka,
Jung berusaha mengembalikan kepercayaan
mereka terhadap agama yang semula mereka
yakini. Carl Gustav Jung adalah tokoh yang
berpendapat bahwa manusia adalah makhluk
yang beragama ‘homo religiousus’ yang tidak bisa
hidup normal tanpa menganut agama tertentu. 73
Pendapat Jung juga diperkuat oleh istilah yang
William James sebut sebagai ‘The Great Socious’74
artinya sahabat yang agung, konsep itulah yang
kita sebut sebagai Tuhan. Manusia tidak bisa
hidup tanpa sosok Tuhan tempat manusia
menghamba, beribadah, dan berkeluh kesah
memohon harapan dan doa-doanya.
73
Jalaluddin Rakhmat, Democracy Project: Carl Gustav Jung
Dan Collective Unconsiousness. Cari link Youtubenya.
74
William James, The Varietas of Religious, cari bukunya.

67
Membuktikan Tuhan Itu Ada

5. Ateisme Jean-Paul Sartre

Jean-Paul Sartre adalah filosof asal


Perancis yang lahir pada abad ke-19. Tepatnya di
Paris, 21 Juni 1905. Kedua orangtuanya
beragama Katolik taat, sementara kakeknya
pemeluk Protestan. Diketahui Sartre telah
menolak adanya Tuhan sejak usia 12 tahun. Hal
ini dipengaruhi konsep Tuhan dari semangat
Katolik yang menampilkan Tuhan seperti polisi.
Figur Tuhan suka menghukum, mengawasi, dan
dapat memasuki seluruh kehidupan manusia.
Dia tidak setuju dengan konsep Tuhan seperti itu
sehingga membentuk keputusannya untuk
menolak Tuhan dan menjadi ateis.75
Pandangan ateisme Sartre didasarkan
pada teori filsofisnya yang beraliran
eksistensialisme.Tuhan dalam pandangan Sartre
adalah produk manusia, manusia sendiri yang
menciptakan eksistensi Tuhan dalam pikirannya,
Tuhan direduksi dalam eksistensi manusia.76
Anggapan Sartre ini bisa kita maklumi
memandang ‘Tuhan Yesus’ sebagai Tuhan dalam
bentuk manusia (the Anthropomorfic God). Rektor
STF Driyarkara Simon P. Lili, menyebutnya dalam
ateisme humanistisk. Sartre memandang realitas
menjadi dua macam kenyataan, yaitu ertre-on-soi
dan etre-pour-soi. Dua distingsi itu yang pertama
berarti “berada pada dirinya sendiri” (ertre-on-soi)
dan yang kedua “berada bagi dirinya sendiri”
(etre-pour-soi).77 ertre-on-soi dimaksudkan ada
75
Eko Sugiyanto, Jurnal Filsafat Driyarkara: Menanggapi Ateisme Sartre
dengan Pandangan Hidup Jawa, (Jakarta: STF Driyarkara, 2009) Hal. 14-15.
76
Lihat James F Brennan, History and System of Psychology (New Jersey:
Pearson EducationUpper Saddle River, 2002) Hal. 221. The essence God,
according to Sartre, is a product of humans, who gives God Existence in their
minds. God is reducible to human existence.
77
Bertens, K, Filsafat Barat Kontemporer; Perancis (Jakarta:
Gramedia, 2001) Hal. 81. Lihat juga Frans Magnis Suseno,
Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003) Hal.

68
Pilar Teduh

pada benda-benda yang adanya begitu saja dan


tidak ada kesadaran. Adapun etre-pour-soi
merupakan ada khas bagi manusia yakni ada
dengan kesadaran. Kesadaran berarti sama
dengan kebebasan. melalui kebebasan membuat
manusia beranjak dari proses menuju menjadi.
Manusia bisa menembus ada etre-on-soi yang
merupakan identitas benda-benda mati. Ketika
manusia melihat sesuatu, manusia dapat
menyadari apa sesuatu itu dan sesuatu itu bukan
dirinya. Misalnya ketika saya melihat buku, maka
disitu ada dua realitas dalam kesadaran saya.
Saya yang melihat buku, sesuatu itu buku, dan
saya bukanlah buku itu begitupun sebaliknya,
buku itu bukanlah saya.
Sartre menolak konsep Tuhan karena dia
melihat kontradiksi dalam eksistensi Tuhan
sendiri (self-contradiction) berdasarkan dua
distingsi cara pandangnya. Sartre menganggap
Tuhan adalah being-in-itself-for-itself. Maksudnya
Tuhan adalah etre-on-soi dan etre-pour-soi
sekaligus. Tuhan disamping eksis sempurna pada
dirinya sendiri dan tetap-tidak berubah. Juga Dia
adalah wujud yang bebas secara sempurna dan
tidak bergantung pada apapun. Hal ini menurut
Satre adalah sebuah konsep yang berlawanan
dalam konsep Tuhan. Sifat Tuhan yang tetap,
abadi dan tidak berubah (ciri-ciri etre-on-soi)
bertentangan dengan kehendak, kesadaran, dan
kebebasan (ciri-ciri etre-pour-soi). Yang pertama
melekat pada eksistensi benda, yang kedua khas
pada manusia. Mengatributkan kedua-duanya
pada Tuhan adalah kontradiksi dan tidak masuk
akal.
Seharusnya manusia adalah makhluk
yang bebas secara mandiri, penuh, dan

94. Bandingkan pula Eko Sugiyanto, Jurnal Filsafat Driyarkara:


Menanggapi Ateisme Sartre dengan Pandangan Hidup Jawa, (Jakarta: STF
Driyarkara, 2009) Hal. 15

69
Membuktikan Tuhan Itu Ada

sempurna. Manusia tidak terikat dan bergantung


pada apapun, termasuk Tuhan. Mengandaikan
ada Tuhan sebagai pencipta benda-benda di alam
semesta termasuk manusia berarti menyerahkan
seluruh kodrat dan kehendak manusia pada
Tuhan. Ini mirip seperti konsep ketuhanan dalam
ilmu kalam Jabariyah (determinisme). Bahwa
semua adalah kehendak Tuhan, tidak ada
kehendak manusia. Segala upaya dan usaha
manusia dianggap sia-sia, karena semua telah
direncanakan sedemikian rupa oleh Tuhan.
Manusia seperti robot yang dikendalikan oleh
pembuatnya. Pandangan ini jelas ditentang oleh
Sartre, baginya manusia sebagai etre-pour-soi
harus menentukan sendiri segala sesuatunya.
Artinya tidak ada etre-pour-soi untuk Tuhan.
Sebab ketika ada dualisme kebebasan. Maka
Tuhan akan menghilangkan kebebasan manusia.
Jika hakekat manusia adalah kebebasan total
sebagai etre-pour-soi maka dengan adanya Tuhan
manusia tidak lagi bebas.78 Ini mirip dengan
konsep Qadariyah dalam ilmu kalam Islam yakni
kebebasan sempurna (free will). Sepertinya Sartre
terjebak dalam aliran Qadariyah ini. Padahal baik
Qadariyah maupun Jabariyah telah mendapat
kritikan yang tajam di kalangan filosof maupun
teolog Islam.
Sarte mempertanggungjawabkan
pendiriannya dengan membentangkan eksistensi
manusia sebagai kebebasan mutlak. Maka hanya
dua pilihan yang fundamental. Tuhan atau
manusia.79 Jika kita pilih Tuhan, maka
konsekuensinya hilang kebebasan. Jika pilih
manusia, maka itulah kebebasan sempurna
untuk diri kita masing-masing. Pada intinya
manusia harus bertanggungjawab atas dirinya
78
Eko Sugiyanto, Jurnal Filsafat Driyarkara: Menanggapi Ateisme Sartre
dengan Pandangan Hidup Jawa, (Jakarta: STF Driyarkara, 2009) Hal. 16
79
Petrus Giono, Jurnal Filsafat Driyarkara:Kematian Tuhan (Jakarta: STF
Driyarkara, 2009) Hal. 8

70
Pilar Teduh

sendiri, sadar akan dirinya sendiri. Manusia


harus membentuk dirinya sendiri. Manusia
adalah apa yang dia ciptakan sendiri. Begitula
inti ajaran eksitensialisme.80 Bahkan lebih lanjut
tanggungjawab itu bukan hanya individual, tetapi
juga komunal. Bila kita mengakui ada Tuhan,
maka yang bertanggungjawab menjadi Tuhan,
bukan manusia. Dengan demikian manusia
menjadi tidak otentik.

6. Agnotisisme Immanuel Kant

Agnostik adalah istilah yang berasal dari


bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata. Yakni
a yang berarti ‘bukan’ atau ‘tidak’, dan gnostikos
yang berarti “orang yang mengetahui atau
mempunyai pengetahuan tentang”. Dengan
demikian, agnostik berarti “tidak diketahui”. 81
Dalam kamus cambridge International Dictionary
of English yang disusun oleh Paul Procter,
Agnostik diartikan “seseorang yang tidak
mengetahui, atau tidak mempercayai
kemungkinan untuk mengetahui, termasuk
apakah Tuhan ada”.82

Secara terminologi, agnostisisme adalah


paham yang memiliki keyakinan bahwa kitab
tidak dapat memiliki pengetahuan tentang Tuhan.
Atau keyakinan bahwa mustahil untuk
membuktikan ada atau tidak adanya Tuhan.
Karen Amstrong menjelaskan makna agnotisisme
80
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2003) Hal. 93
81
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2002). Hal, 22
82
Dalam kamus Cambridge Internatonal Dictionary of English dengan editor-
in-chief Paul Procter (London: Cambridge University, 1995) Hal. 27. Agnostic
diartikan (someone) not knowing, or believing that it is impossible to know,
whether a god exists.

71
Membuktikan Tuhan Itu Ada

diturunkan dari bahasa latin agnosco yang


berarti ‘aku tidak tahu’, sebuah penolakan yang
berprinsip untuk menangguhkan kepercayaan
pada doktrin, pengajaran, atau ide yang tidak
dapat dibuktikan.83 Merujuk pada makna istilah
agnostik di atas, secara umum, menurut T.H
Huxley yang dikutip oleh Lorens Bagus,
agnostisisme berarti teori tentang tidak dapat
diketahuinya sesuatu. Dalam hal ini, Tuhan
sebagai objek pengetahuan, dalam kacamata
agnostik tidak dapat dipastikan kemungkinan
ada atau tidak adanya.

Agnotisisme menunjukan sikap dan


pendapat filosofis yang mempertahankan bahwa
hal yang melampui indera itu tidak dapat
diketahui. Oleh karena itu, konsekuensi yang
harus dihadapi oleh paham ini adalah penolakan
terhadap kemungkinan metafisika sebagai
sebuah ilmu. Maka dari itu, perkara Tuhan
termasuk dalam domain metafisika, kaum
agnostik dengan ini menolak kemungkinan
diketahuinya Tuhan.

83
Karen Amstrong, Masa Depan Tuhan, terj. Yuliani Lupito (Bandung: Mizan
Pustaka,2011) Hal. 25

72
Pilar Teduh

Paham ini terdapat dalam Kritisisme84


Kant, maupun dalam filsafat agama yang terkena
pengaruh Kantianisme. Yang kemudian, paham
agnostik ini akan sangat dominan bahkan bagian
yang tidak terpisahkan pada postivisme.

Immanuel Kant merupakan filosof asal


Jerman yang disebut-sebut sebagai filosof
modern terbesar di Barat. Rene Descartes telah
diakui sebagai Bapak Filsafat modern, namun
segera pemikiran rasionalismenya mendapatkan
kritik tajam dari Empirisme David Hume.
Alasannya, karena Descartes belum sempat
memasukkan unsur empiris dalam pemikirannya.
Segera empirisme Hume juga pada kenyataannya
belum berdaya cukup kuat untuk memasukkan
unsur rasionalisme dalam pemikirannya. Barulah
pada era Kant, unsur kedua pemikiran tersebut
diolah sedemikian rupa, sehingga menghasilkan
sintesa yang cukup solid. Tidak heran sehingga
banyak ahli yang menyatakan bahwa Immanuel
Kant merupakan filosof modern terbesar di Barat
karena pencapainnya tersebut, serta
pengaruhnya pada filosof setelahnya.
84
Kritisisme adalah filsafat yang terlebih dahulu menyelidiki kemampuan
rasio dan batas-batasnya sebelum tindakan mengetahui dengan menggunakan
rasio itu dijalankan. Kritisisme biasanya dipertentangkan dengan dogmatisme,
yakni filsafat yang langsung menjalankan tindakan mengetahui sebelum
kemampuan rasio dan batas-batasnya diketahui. Dogmatisme percaya begitu
saja terhadap kemampuan rasio, dan berpikir dengan menggunakan kategori-
kategori metafisis, seperti Allah, substansi, esensi, dan lain-lain. Tanpa lebih
dulu menyelidiki apakah memang rasio memiliki kemampuan untuk
mengetahui hal-hal tersebut. Lihat Fizerald Kennedy Sitorus, artikel ilmiah
Kant; dari Subjek yang Kosong Hinnga Tuhan Sebagai Postulat, (Jakarta:
Komunitas Salihara, 2016) Hal. 2. Lihat pula F. Budi Hardiman, Filsafat
Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2004) Hal. 133. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa ‘kritisisme’
menurut Kant adalah upaya filsafat yang terlebih dahulu menyelidiki die
Bedingung der Moglichkeit (syarat-syarat kemungkinan) pengetahuan kita.
Demikianlah ‘kritik’ dipahami oleh Kant sebagai “pengadilan tentang
kesahihan pengetahuan” atau “pengujian kesahihan”.

73
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Munculnya Agnotisisme Kant tidak


terlepas dari bangunan epistemologinya yang
khas dalam memandang pengetahuan. Bagi Kant,
semua pengalaman itu bermula dari pengalaman
indrawi, (meskipun diperlukan rasio) maka
sebagai konsekuensinya, kita tidak akan pernah
mampu memiliki pengetahuan yang diluar batas
objek indrawi. Konsep tentang Tuhan bukanlah
objek indrawi, oleh karena itu kita tidak pernah
bisa mampu memiliki pengetahuan mengenai
Tuhan. Bagi Kant, konsep mapan agama-agama
samawi seperti pewahyuan dari Tuhan melalui
malaikat pada para rasulnya melalui fenomena-
fenomena empiris tertentu, yang dikisahkan pada
kitab-kitab suci agama tersebut. sebatas
kemampuan nalar kita, itu hanya sampai pada
fenomena empirisnya semata. Dengan
menyatakan klaim bahwa Tuhan telah
menampakkan diri melalui fenoomena-fenomena
itu adalah sudah di luar dari kemampuan rasio
manusia.

Kant sebetulnya tidak mengatakan


penolakan secara langsung pada eksistensi
Tuhan. Jika pikiran kita tidak mampu
mengetahui konsep Tuhan, bukan berarti kita
dengan gegabah berkesimpulan bahwa Tuhan
tidak ada. Karena dengan mengatakan Tuhan
tidak ada, itu juga sama saja mengandaikan
pengetahuan tertentu tentang Tuhan. Yakni
pengetahuan tentang Tuhan tidak ada. Jadi,
nampaknya Kant kurang tegas menyatakan
Tuhan ada atau Tuhan tidak ada. Baginya,
menegaskan keduanya itu diluar kemampuan
pikiran manusia. Nalar manusia tidak bisa
mengafirmasi atau menegasi eksistensi Tuhan.
Inilah sikap agnotisisme. Bila kita bertanya

74
Pilar Teduh

apakah Tuhan ada? atau apakah Tuhan tidak


ada? maka kaum agnotis akan menjawab dia
tidak tahu. Alasannya karena kapasitas pikiran
kita tidak mampu terlampau jauh pada ranah itu.
Agnotisisme tidak sedang pro atau kontra pada
teologi spekulatif (bahwa Tuhan ada) atau ateisme
spekulatif (bahwa Tuhan tidak ada). Tapi
agnotisisme Kant memiliki pendirian sendiri,
bahwa eksistensi Tuhan tidak pernah dapat
diverifikasi atau difalsifikasi. Inilah kira-kira
pandangan sekilas agnotisisme tentang konsep
eksistensi Tuhan.

Telaah dan Kritik


Pemikiran Kant dalam filsafat
empirismenya, begitu terpengaruh dengan
gagasan David Hume. Terutama dalam prinsip
kausalitas. Bagi Kant, pengalaman tidak bisa
menetapkan hubungan niscaya antara sebab dan
akibat. Bukti pengaruh Hume pada ide-ide
filosofis Kant telah diungkapkan sendiri. Syeikh
Mishbah mengutip pengakuan Kant dalam
karyanya Philosophical Instructions, “Dialah
(Hume) yang telah membangunkanku dari
keterpurukan dogmatisku”85
Butuh waktu yang panjang bagi Kant,
dalam merenungi masalah-masalah filsafat dan
menuliskannya dalam bentuk esai-esai dan
buku-buku sekian banyaknya. Dia mengajukan
gagasan filosofis yang memiliki daya tahan lama
dan diterima luas dibandingkan aliran filsafat
sebelumnya seperti rasionalis dan empiris. Tetapi,
sangat disayangkan, pada akhirnya dia sampai

85
“It is Hume who awakened me from my dogmatic slumber,” Lihat
Pula Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Philosophical Instructions: An
Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, ter. Muhammad
Legenhausen, (New York: Institute of Global Cultural Studies
University of Binghamton, 1999). Hal. 36

75
Membuktikan Tuhan Itu Ada

pada kesimpulan bahwa nalar atau akal teoritis


tidak mampu memecahkan soal-soal metafisika
dan bahwa kaidah-kaidah rasional kurang
memiliki nilai ilmiah.
Dengan demikian, hal-hal metafisika yang
menyangkut keberadaan Tuhan, keabadian ruh,
eskatologi, dan hal lain semacamnya tidak bisa
dituntaskan dengan bukti-bukti rasional, tapi
keyakinan dan keimanan padanya merupakan
implikasi dari suatu sistem etika. Dengan kata
lain, semua aturan yang diterima melalui akal
praktis merupakan penggugah keimanan kepada
Tuhan dan hari kebangkitan, dan bukan
sebaliknya. Seharusnya, keimanan kepada Tuhan
dan hari kebangkitan, yang merupakan nalar
teoritis (nazhariyat) pada cabang metafisika
(ilahiyat), akan berdampak pada etika
(akhlak)yang ada pada wilayah nalar praktis
(‘amaliyat).86 Seperti dalam ungkapan ungkapan
yang populer dalam Islam bahwa “sholat itu
dapat mencegah perbuatan keji dan munkar”.87
Sholat di situ bukan diartikan secara ibadah
praktis, tetapi lebih kepada ‘kasadaran akan
kehadiran Tuhan’ yang sepenuhnya bersifat
metafisik-teoritis.
Berdasarkan ini, Syaikh Mishbah memuji
keunggulan Kant di satu sisi, karena telah
menghidupkan kembali nilai-nilai etika yang
sudah redup di era Renaissance. Tetapi, di sisi
lain Syaikh Mishbah mencela Kant, karena Kant
harus digolongkan sebagai salah satu orang yang
bertanggungjawab dan terlibat secara filosofis

86
Lihat pembagian filsafat akal teoritis (matematika, fisika, metafisika) dan
filsafata akal praktis (etika, ekonomi, dan politik) Muhammad Taqi Mishbah
Yazdi, Al-Manhaj Al-Jadid Fi Talim Al Falsafah terj.Muhammad Abdul
Munim al-Khafini (Beirut: Dar atta’aarif al matbuu’aat, 1999) Hal.18
87
Haidar Bagir, Buat Apa Shalat, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007) Hal. 48

76
Pilar Teduh

sebagai faktor pemusnah dasar-dasar filsafat


yang bercorak metafisika.88
7. Positivisme Auguste Comte

Filsuf Perancis Auguste Comte (1798-


1847) lebih serius, bahkan mengemukakan
teorinya sendiri tentang sejarah pemikiran
manusia yang dia bagi menjadi tiga fase
perubahan. Yakni fase teologis, fase metafisis,
dan fase positivis. Gagasannya tersebut ia
tuangkan dalam masterpiece-nya Cours de
Philosophie Positive (1830-1842) setebal enam
jilid. Dalam fase teologis primitif, manusia
berpikir bahwa penyebab dari peristiwa alam
adalah dewa-dewa, ruh, atau jiwa-jiwa yang
abstrak. Kemudian wujud-wujud tersebut
bergeser pada tahap kedua metafisik. Pada tahap
ini manusia berpikir bahwa yang menjadi
penyebab peristiwa alam ini adalah masih pada
sesuatu yang ghaib, namun setingkat lebih
berkembang daripada fase sebelumnya. Dan
terekhir adalah fase yang paling maju. Yakni
dominasi sains ilmiah. Dimana manusia dianggap
mengalami pencerahan. pemikiran manusia tidak
lagi menyandarkan pada sebab-sebab batin,
ghaib, atau abstrak. Tetapi sepenuhnya
bertumpu pada fakta empiris. Pada tahap final
ini, manusia tidak dibenarkan kembali mundur
pada tahap sebelumnya. Melainkan terus
merangkak naik ke era sains.89
88
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Philosophical Instructions: An
Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, ter. Muhammad
Legenhausen, (New York: Institute of Global Cultural Studies University of
Binghamton, 1999). Hal. 37. Lihat pula Muhammad Taqi Mishbah Yazdi,
Buku Daras Filsafat Islam, terj. Musa Kazhim (Jakarta: Sadra Press, 2010)
hal. 18
89
Lihat Karen Amstrong, Masa Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap
Fundamentalisme dan Ateisme, diterjemahkan oleh Yuliani Liputo (Bandung:
Penerbit Mizan, 2011) Hal. 395. Lihat juga Hasan Yusufian, Kalam Jadid;
Pendekatan Baru dalam Isu-Isu Agama, diterjemahkan oleh Ali Passolowangi
(Jakarta: Sadra Press, 2014) Hal. 29

77
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Dari diktum uraian Comte di atas, jelas


memberikan wilayah yang rendah terhadap
konsep eksistensi Tuhan. Semakin sains modern
bisa menjawab sebab fenomena alam, maka
semakin hilang peran Tuhan. Tuhan tidak
dipandang sebagai wujud yang sakral dalam
pandangan Comte. Melainkan hanya fase
pemikiran manusia yang terbelakang, primitif,
dan bahkan irrasional. Sangat bertentangan
dengan sains empiris. Gaung konsep Tuhan dan
agama, hanya membatasi sains berkembang
secara pesat. Konsep tentang Tuhan hendaknya
harus dilenyapkan dari fase pemikiran manusia.
Jika manusia menginginkan masa depan yang
lebih maju. Begitu kira-kira visi besar Comte.
Telaah dan Kritik
Teori yang telah dikemukakan Comte
tentang asal-usul agama dan eksistensi Tuhan
tidak memiliki dasar argumentasi yang jelas. Dia
berasumsi bahwa konsep agama tidak dilandasi
dengan pijakan rasional dan fitri. Segera kita
akan menelaah dan mengkritik anggapan lemah
dari Comte tersebut.
Pertama, berdasarkan fakta sejarah
munculnya kebanyakan agama besar justru
terjadi bersamaan dengan kejayaan pemikiran
filsafat. Misalnya, sebelum agama Ibrahim,
filsafat telah dikenal luas di India, Mesir, dan
Kasdim, Kristen lahir setelah masa filsafat
Yunani, dan begitupun Islam memulai ekspansi
dakwahnya juga setelah kejayaan filsafat Yunani
dan Iskandariah.90 Dengan munculnya ilmu,
agama dan hal-hal yang supranatural atau
metafisik tidak memliki ruang lagi. Seperti istilah
yang dikenal dalam budaya Barat The God of
gaps yang dimaksudkan kepercayaan kepada
Tuhan akan menutup atau mencegah manusia
90
Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizan, jil.1.(Qum: Muassah Mathbu’at
Ismailyan, 1393) Hal. 424

78
Pilar Teduh

untuk mengenal pengetahuan ilmiah. Padahal itu


sangat mudah dibantah bahwa terdapat banyak
ilmuwan yang pada saat yang sama dia juga
penganut agama yang taat. Pola berpikir teologis,
metafisis, dan positif tidak selalu saling
berlainan, tetapi pada saat yang sama bisa saja
terjadi dan berbaur pada satu orang. Mislanya
pada filosof klasik Aristoteles, Ibn Sina, dan
banyak lainnya. Apalagi di era kemajuan modern,
sains dan agama bisa berkolaborasi sedemikian
harmonis dalam menjelaskan berbagai fenomena
alam.
Kedua, Berdasarkan pemikiran Islam,
klasifikasi teologis, metafisis, dan positifis bisa
bersesuaian antara satu dan lainnya. Misalnya
konsep Tuhan dalam satu sisi disebut sebagai
sebab hakiki terhadap seluruh fenomena, ada
pula kecenderungan atas cause yang
dikonsepsikan baik dalam sains dan filsafat.
Tuhan juga disebut sebagai sebab dari semua
sebab seluruh fenomena alam semesta.
Ketiga, positivisme menggunakan
pandangan dunia (world view) empirisme yang
hanya mengandalkan persepsi indrawi dan
eksperimental. Padahal pengetahuan yang
mengandalkan indrawi adalah yang paling rapuh
dan rentan mengalami kekeliruan. Dan
keterbatasan pengetahuan ini pada hal-hal yang
materi saja, seharusnya mereka tidak bisa
mengklaim penolakan atau penetapan konsep-
konsep metafisika dan perkara supranatural
dalam agama. Karena hal demikian justru
melanggar jangkauan di luar materi atau fisik.
Artinya, mereka tidak punya kredibilitas untuk
berbicara pengetahuan metafisika, jika mereka
konsisten dengan metode penelitian yang meraka

79
Membuktikan Tuhan Itu Ada

tetapkan sendiri, yakni berkutat pada ruang


laboratorium yang sempit.91

Bab III
Argumentasi Pembuktian Eksistensi Tuhan
A. Konsep Tuhan

Sebelum membuktikan eksistensi Tuhan


baik secara kosmologis, ontologis, atau teleologis.
Perlu kiranya kita harus memperjelas maksud
tentang istilah “Tuhan”. Baik menurut perpektif
teologis, filosofis, maupun Irfan atau Tasawuf.
Namun sepertinya sudah menjadi kesepakatan
bersama, bahwa berdasarkan pemahaman
umum, biasanya Tuhan dipahami sebagai
pencipta alam semesta.92

91
Lihat 6 kritikan Muhammad Taqi Mishbah Yazdi pada dasar-dasar
positivisme dalam karyanya Buku Daras Filsafat Islam, terj. Musa Kazhim
(Jakarta: Sadra Press, 2010) Hal. 153-154. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi,
Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic
Philosophy, ter. Muhammad Legenhausen, (New York: Institute of Global
Cultural Studies University of Binghamton, 1999). Hal. 154
92
Muhammad Taqi Mizhbah Yazdi, Philosophical Instructions; an
Introdiction to Contemporary Islamic Philosophy terj. Muhammad
Legenhausen (Qum: Dar Rāh-e Haqq Institute, 1992) Hal. 506. “The
Concept which common people have about Almighty God and
the meaning which is understood upon hearing the word
‘God’ or its synonyms in various language is that of an
existent which has created the cosmos.”

80
Pilar Teduh

Telah terjadi perdebatan antara tokoh


ateis yang hendak menolak eksistensi Tuhan dan
kaum teis yang meyakini eksistensi Tuhan. Kaum
ateis diwakili oleh seorang filosof asal Inggris
Bertrand Russell (1872-1970 M) dan seorang
teolog Kristen Frederick Copleston (1907-1994).
Sebelum memulai debat, mereka menyepakati
definisi tentang konsep Tuhan. Yakni, “suatu
entitas konkrit (individual) yang berbeda dengan
alam semesta dan merupakan penciptanya.”93

Tuhan dalam agama-agama juga memiliki


penyebutan tersendiri yang khas. Islam menyebut
Tuhan adalah Allah, Kristen dengan God, Yahudi
dengan Yehova94. Plotinus seorang pendiri
mazhab filsafat neo-platonisme, menyebut Tuhan
sebagai “The Great Unknown”berarti “Yang agung
dan tak di kenal” atau “The One” berarti “Yang
Esa”.95 Selain agama samawi, seperti Taoisme
juga memiliki persepsi tersendiri tentang Tuhan.
Dalam Taoisme, “apa saja yang seseorang
katakan tentang Tao, maka pastilah itu bukan
Tao”.96 Ajaran Buddha juga kurang lebih sama
dengan Tao. Bagi agama Buddha pertanyaan
tentang Tuhan dianggap tidak perlu lagi untuk
didiskusikan. Maka tidak sepenuhnya salah, jika
93
Hasan Yusufian, Kalam Jadid: Sebuah Pendekatan Baru Dalam Isu-Isu
Agama terj. Ali Passolowangi (Jakarta: Sadra Press, 2014) Hal. 62
94
Yehova atau Yahweh adalah nama Tuhan dari agama Yahudi. Mengingat
penyebutan atau pembacaan nama ini dalam pandangan kaum Yahudi
terlarang, kualitas atau penyebutannya tidak begitu jelas. Lihat uraian lebih
jauh tentang konsep Tuhan Yahudi dalam Karen Amstrong, Masa Depan
Tuhan, terj. Yuliani Liputo (Bandung: Mizan Pustaka, 2009) Hal.108-110
95
Lihat Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, edisi 2, (New York:
Columbia University Press, 1983) Hal. 117
96
Tao adalah sebuah prinsip yang mengatur alam semesta, tidak terungkapkan
dengan kata-kata (uneffable). Ninian Smart, The World’s Religions
(Cambridge: Cambridge University Press, 1993) hal. 113

81
Membuktikan Tuhan Itu Ada

terkadang ada yang mengatakan bahwa


Buddhisme itu “tidak bertuhan”.97 Dalam arti
tidak memiliki konsep yang positif dan personal
tentang Tuhan. Sedangkan agama Hindu, dalam
literatur Veda terdapat dua istilah dalam
mengkonsepsikan Tuhan, yaitu Brahman dan
Parabrahman. Brahman adalah aspek Tuhan
yang impersonal, sedangkan Parabrahman adalah
aspek Tuhan yang personal (berkepribadian).
Sabda Krishna sebagai aspek Parabrahman
dijelaskan dalam kitab Bhagavadgita, “Aku
adalah sandaran Brahman, yang bersifat kekal,
tidak pernah mati, tidak dapat dimusnahkan dan
bersifat kekal, kedudukan dasar kebahagiaan
yang paling tinggi.98

Para filosof juga memiliki pandangan


tersendiri tentang Tuhan. Al-Kindi seorang filosof
muslim awal mengatakan Tuhan sebagai sebab
pertama (al –‘illah al-ula).99 Bisa dipahami bahwa
Tuhan sebagai sebab pertama adalah, Tuhan
sebagai sebab dari segala keberadaan wujud yang
lain. Termasuk alam semesta ini merupakan
akibat-akibatnya. Istilah sebab pertama ini juga
dikenal dengan istilah Prima Causa.100 Masih
berkaitan dengan Alam, Al-Kindi yang
mendapatkan pengaruh dari Aristoteles juga
memiliki deskripsi lain tentang Tuhan. Tuhan

97
Ninian Smart, The World’s Religions (Cambridge: Cambridge University
Press, 1993) hal. 77. Menurut riset yang dilakukan oleh Ninian Smart, Agama
Buddha khususnya Theravada adalah sebuah contoh dari mistisisme tanpa
Tuhan.
98
Kitab Bhagavadgita 14.27
99
Lihat L. Ivry, Al-Kindi’s Metaphysics: A Translation of Ya’qub ibn Ishaq
Al-Kindi’s Treatise Fil Al-Falsafa Al-Ula (Albany: State University of New
York, 1974) Hal. 172.
100
Lihat Anthony Flew, A Dictionary of Philosophy, Revised Second edition
(New York: St. Martin’s Press, 1984) Hal. 69

82
Pilar Teduh

disandingkan dengan alam disebut sebagai


Penggerak Yang Tidak Digerakkan (The Unmoved
Mover).101 Thomas Aquinas seorang filosof dan
teolog yang sama-sama terpengaruh dengan
pemikiran Aristoteles, juga menyebut Tuhan
sebagai Prima Moves (Penggerak utama) atau The
First Unmoved Mover (Penggerak pertama yang
tidak bergerak/digerakkan).102

Mulyadhi Kartanegara dengan mengutip


pandangan dari Aristoteles menyebut istilah
“Atraksi”103 untuk menggambarkan Tuhan. Yakni
Tuhan sebagai tujuan kemana unsur-unsur
mineral, tumbuhan, dan hewan (termasuk
manusia) semuanya tertarik, tak ubahnya seperti
logam-logam (paku, jarum, dan lain-lain) tertarik
pada sebuah magnet, tanpa magnet tersebut
harus bergerak, atau seperti segala macam
kumbang tertarik pada bunga yang cantik.
Konsep ibarat tentang Tuhan ini juga pernah
digambarkan secara menarik oleh Abu Sulaiman
Al-Sijistani, seorang filosof abad ke-10. Mulyadhi
juga mengutipnya dalam karyanya Pengantar
Epistemologi Islam. Sulaiman Al-Sijistani,
menggambarkan bagaimana Tuhan bisa menarik
yang lain (alam) ke arahnya, tanpa ia sendiri
harus bergerak, umpama seorang raja yang
cukup duduk di singgasana untuk
mengumpulkan bawahannya melalui sebuah
prosesi.104 Penganalogian ini hampir mirip seperti
ungkapan puisi Maulana Jalaluddin Rumi. Rumi
101
Ian Richard Netton, Allah Transcendent: Studies in The Structure and
Semiotics of Islamic Philosophy, Theology and Cosmology (Richmont:
Curzon Press, 1989) Hal. 53
102
Lihat Anthony Flew, A Dictionary of Philosophy, Revised Second edition
(New York: St. Martin’s Press, 1984) Hal. 19
103
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi
Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 2003) Hal. 12

83
Membuktikan Tuhan Itu Ada

mengandaikan Tuhan sebagai sebuah cahaya


yang dengan sangat berkilaunya sehingga
menarik perhatian laron-laron yang begitu saja
ingin mendekatinya, bahkan tidak peduli mereka
terbakar oleh cahaya itu.105 Alam semesta bagi
Rumi juga bergerak dengan atas dasar cinta,
kepada Tuhan Sang Pemilik dan Maha Cinta. 106
Suhrawardi seorang filosof Islam pendiri Mazhab
Isyraqiyyah menyebut Tuhan sebagai Nur al-
Anwar (Cahaya di atasa segala Cahaya).107 Ala’ud
Dawlah as-Simnani (1261-1336 M), sufi terkenal
Iran, menyebut Tuhan sebagai nur-i muthlaq
(Cahaya murni).108

Ibn Sina juga memiliki deskripsi yang


berbeda tentang Tuhan. Bagi Ibn Sina Tuhan
secara ontologis dikonsepsikan sebagai Wajib Al—
104
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi
Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 2003) Hal. 150. Lihat juga Joel L.
Kraemer, The Philosophy in The Renaissance of Islam (Leiden: E.J. Brill,
1886) .
105
Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan (Bandung: Mizan Pustaka,
2017) Hal. 126
106
Cinta yang dimaksud bukan cinta biasa (hubb), tetapi cinta (‘isyq) yang
bergelora, yang penuh dengan kerinduan. Lihat Mulyadhi Kartanegara, The
mystical Reflections of Rumi (Chicago: The University of Chicago, 1994) Hal.
58. Lihat Pula Abdul Hadi W.M, Cakrawala Budaya Islam, (Yogyakarta:
Ircisod, 2016) Hal. 132. Lihat pula pengantar Abdul Hadi W.M dalam karya
Haidar Bagir, Belajar Hidup dari Rumi, (Bandung: Mizania/Noura, 2015) Hal.
xxvii
107
Hossein Ziai, Shihab al-Din Suhrawardi: Founder of the Illumination
School, History of IslamicPhilosophy, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman, (New York: Routledge, 1996) Hal. 455. disebut The Ligh of Ligh
(Nur al-Anwar). Lihat pula Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah
Peripatetik (Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2005) Hal. 223.
108
Jamal J. Elias, The Throne Carrier of God: The Life and Thought of ‘Ala
ad-Dawlah as-Simnani. (New York: State University New York Press, 1995),
diterj. Munir A.Muin dan Omang Komarudin dalam buku Sang Penyangga
Singgasan Tuhan: Kehidupan dan Pemikiran Ala ad-Dawlah as-Simnani
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2007) Hal. 207

84
Pilar Teduh

Wujud (wujud niscaya). Biasanya konsep ini


dikontraskan dengan status ontologis alam
sebagai mumkin al-wujud (wujud yang
mungkin/potensial). Artinya alam karena sifatnya
yang potensial, dia tidak akan benar-benar
menjadi mewujud secara aktual, tanpa ada yang
membuatnya wujud. Alam sabagai potensial akan
bergantung pada yang niscaya dan senantiasa
aktual. Yang membuat alam aktual itulah yang
disebut Wajib al-wujud atau Tuhan.

Kaum Teolog juga memiliki pandangan


yang berbeda tentang konsep Tuhan. Misalnya
kita ambil dari mazhab teologi Islam yang sangat
populer di kalangan Sunni, yakni Asy’ariyyah.
Teori atom Asy’ariyyah yang kadang juga disebut
dengan istilah occasionalism mengandaikan
Tuhan sebagai sebab langsung dari apapun yang
terjadi di dunia ini,109 atau sebagai sebab tidak
langsung dengan mendelegasikan kekuasannya
melalui hukum alam, atau melalui agen-agen
lain, seperti akal dan jiwa, atau, dalam bahasa
agama, para malaikat.110

Ibn Arabi seorang sufi terkenal asal


Murcia, Andalusia, menggambarkan Tuhan
dengan konsep wahdat al-wujud (kesatuan
wujud)111. Yakni hakikat wujud itu tunggal dan
109
Lihat Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar
Epistemologi Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 2003) Hal. 12 dan 150.
110
Konsep Tuhan seperti itu bisa dilihat dalam teori penciptaan melalui
emanasi. Yakni, Tuhan digambarkan sebagai Akal Pertama. Aktivitas akal
adalah berpikir, dan berpikir harus ada objek, oleh karena itu dari objek yang
dipikirkan itu, akan menghasilkan objek baru, begitu seterusnya sehingga
muncul penciptaan alam semesta dari Tuhan sebagai Akal Pertama hingga
Akal Sepuluh . Lihat Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan (Bandung:
Mizan, 2017) Hal. 97
111
Dalam terjemahan bahasa Inggrisnya disebut “the Oneness of Being”.
Lihat William C. Chittick , Ibn ‘Arabi, History of Islamic Philosophy, ed.

85
Membuktikan Tuhan Itu Ada

selainnya hanyalah cerminan, bayangan, atau


biasa dikenal manifestasi dari satu hakikat wujud
tersebut.
a. Zat dan Sifat Tuhan

Zat (Esensi) Tuhan adala Diri Tuhan


sendiri tanpa dikaitkan dengan yang lain. Dapat
dimengerti, sebagai zat, Tuhan adalah berbeda
dari segala sesuatu dalam segala aspek. Tuhan
sebagai zat adalah “unik” atau “satu-satunya”
dan “tidak ada bandingnya”. Usaha apapun yang
ingin mendeskripsikan Dia (dari sisi Zat), sudah
dapat dipastikan bukanlah Dia. Mungkin dalam
tataran inilah, konsep Kant yang menyatakan
Tuhan dalam kategori noumena bukan
Phenomena, sehingga akal rasional tidak mungkin
bisa menjangkaunya, sehingga apapun yang kita
maksud tentang Dia, bukanlah Dia sebenar-
benarnya (Das ding an Sich). Tuhan pada sisi Zat-
Nya, melampui segala apa yang diatributkan
pada-Nya. Apapun yang kita gambarkna tentang
Tuhan, pasti penggembaran tersebut dengan
sesuatu, sedangkan Tuhan sendiri tidak sama
dengan sesuatu apapun. Maka dari itu, dari sisi
Zat-Nya, manusia tidak akan mampu mengenal
hakikat Tuhan. Istilah yang tepat untuk
menggambarkan hal ini adalah The Great
Uknown.
Jika memang demikian adanya, mungkin
kita akan timbul sebuah pertanyaan, lalu
bagaimana caranya mengetahui Tuhan yang tak
terbatas, sedangkan manusia itu serba terbatas?
Caranya adalah dengan mengetahui sifat-sifat-
Nya (attribute) bukan dzat-Nya (Esensi). Sifat-sifat

Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (New York: Routledge, 1996) hal.
504. Pandangan wahdat al-Wujud kemudian dikoreksi oleh Syaikh Ahmad
Sirhindi, mengganti istilah tersebut menjadi wahdat al-Syuhud (kesatuan
penyaksian). Lihat William C. Chittick , The School of Ibn ‘Arabi, History of
Islamic Philosophy, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (New York:
Routledge, 1996) hal. 520.

86
Pilar Teduh

Tuhan akan muncul bila kita menalar konsep


Tuhan, kemudian kita hubungkan dengan alam.
Berbeda dengan zat-Nya yang bersifat tanzih,
sifat-sifat Tuhan ini berbagi dengan manusia ,
sehingga dikatakan ada unsur keserupaan
(tasybih) antara sifat Tuhan dan sifat-sifat
manusia.112 Nah, dengan dasar keserupaan
itulah, yang merupakan syarat bagi kemungkinan
pengetahuan, manusia sangat mungkin mengenal
Tuhan dari sisi sifat-sifat-Nya. Adapun dari sisi
sifat tanzih-Nya, manusia tidak akan mampu
mengetahui zat Tuhan. Jadi, kita bisa
mengatakan bahwa tanzih ini mewakili aspek
transendensi Tuhan, sedangkan tasybih mewakili
aspek imanensi-Nya.
Meskipun pendapat di atas terlihat masuk
akal dan lebih mudah diterima, masih ada
pendapat lain, yang menyangkal pendapat
tersebut. Ada kelompok yang mengatakan bahwa
Tuhan hanyalah memiliki zat saja, Dia tidak
memiliki sifat-sifat, karena mereka beralasan
bahwa sifat-sifat-Nya adalah sama dengan zat-
Nya. Namun, akan ada kerancuan dari pendapat
yang kedua ini. Penulis kira, yang menyetujui
pendapat kedua ini, mereka akan segara
menemui kegagalan ketika mendapatkan
pertanyaan bagaimana manusia bisa mengenal
Tuhan? Karena hal itu berarti, Ia hanya memiliki
aspek tanzih atau keperbedaannya saja, padahal
manusia sebagai subjek, tidak akan mampu
mengenal objek apapun, tanpa ada keserupaan
dengan objeknya. Hal yang sama berlaku bagi
kelompok yang ketiga, yang berpendapat bahwa
tidak ada keserupaan apapun (tasybih) antara
Tuhan dan manusia, baik dari segi zat dan sifat-

112
Lihat William C. Chittick , Ibn ‘Arabi, History of Islamic Philosophy, ed.
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (New York: Routledge, 1996) hal.
501. “In theological language, Ibn ‘Arabi describes the vision acvieved
through human perfection as the balanced combination of the declaration of
God’s incomparability (tanzih) and that of His Similarity (tasybih).”

87
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Nya, juga akan mengalami kegagalan, ketika


hendak menjelaskan kemungkinan pentehauan
tentang Tuhan oleh manusia. Oleh karena itu,
agaknya penulis berpendapat yang paling tepat
yakni membenarkan adanya unsur keserupaan
(tasybih) dalam sifat-sifat Tuhan dan unsur
perbedaan (tanzih) dalam zat-Nya, sehingga
melalui keserupaan sifatnya dengan sifat
Tuhannya, manusia memiliki kemungkinan
secara potensial untuk mengetahui Tuhan secara
positif. Di sinilah, kita bisa mengkritik kekeliruan
klaim Feuerbach yang mengatakan bahwa Tuhan
hanyalah produk dari pikiran manusia sendiri,
pada kenyataannya tidak ada Tuhan, yang ada
adalah sifat-sifat manusia sendiri, yang kemudian
dikonsepsikan dalam wujud Tuhan sebagai
eksistensi yang memiliki sifat paling sempurna.
Segera kita bisa mengerti, dia berpendapat
demikian, karena hanya melihat Tuhan dari sisi
keserupaan (tasybih) sifat manusia dan Tuhan
semata, tidak melihat aspek keberbedaan (tanzih)
dari sisi zat-Nya. Maka dari itu, konsep Tuhan
yang transenden hilang, yang ada minimal dalam
kacamata empiris, Tuhan hanya diakui pada
ranah imanensi saja. Itupun sebenarnya sifat-
sifat manusia yang dilekatkan pada wujud Tuhan
menurut Feuerbach adalah ilusi, lalu apakah
sifat-sifat yang dimiliki manusia juga dianggap
ilusi? Sungguh pendapat yang lemah.
b. Transendensi dan Imanensi Tuhan
Pada sub-bab sebelumnya telah
disinggung transendensi adalah keadaan sifat
Tuhan dari sisi Zat-Nya, yakni aspek tanzih
bahwa Tuhan sama sekali berbeda dengan
apapun. Sedangkan Imanensi berhubungan
dengan sifat-sifat yang serupa antara Tuhan dan
manusia, yakni aspek disebut aspek tasybih.
Namun, yang jadi pertanyaan kali ini adalah
“apakah Tuhan berada di luar alam atau di dalam

88
Pilar Teduh

alam? Meskipun sekilas secara rasional Tuhan


tidak membutuhkan tempat, benar dari sisi
tanzih, Tuhan tidak sama dengan alam yang
butuh pada tempat, tetapi pertanyaan ini
menyangkut konsep Tuhan pada ranah tasybih.
Transendensi adalah pandangan yang
mengatakan bahwa Tuhan itu ada di luar alam.
Sedangkan imanensi sebaliknya, yaitu pandangan
yang mengatakan bahwa Tuhan ada di dalam
alam dan bahkan pada diri manusia.
Transendensi Tuhan secara umum diminati oleh
para filsuf yang menggambarkan Tuhan begitu
jauh dari alam dan manusia. Tuhan dipandang
sedemikian jauh dan tidak pernah sama sekali
kontak dengan dunia fisik.
Adapun Imanensi Tuhan lebih diminati
oleh para sufi. Dalam pandangan mereka, Tuhan
tidaklah jauh dari alam dan manusia. Dengan
menggunakan metode penyucian jiwa (tazkiya an-
nafs), kemudian hati kita bersih dari debu dosa,
justru Tuhan ada bersemayam di dalam hati kita.
Atas dasar ini, menurut sebagian sufi, para filsuf
dianggap salah jalan, karena telah mengarahkan
pikiran mereka jauh ke luar, sementara
kebenaran yang mereka cari ada di dalam diri
dan hati mereka. Pendapat para sufi ini
berdasarkan pada ayat-ayat al-qur’an dan hadis
yang menyatakan bahwa Allah ini dekat (qarib)
bahkan lebih dekat daripada urat lehernya
sendiri.113
Menurut penulis, pandangan para filsuf
tentang transendensi Tuhan juga bukanlah
pandangan yang keliru, bila dibandingkan dengan
para sufi yang lebih memilih imanensi Tuhan.
Pasalnya, sama halnya dengan dasar para sufi
yang berpijak apad qura’an dan hadis, para filsuf
113
Qs. Qaf (50):16. Lihat keterangan lebih lanjut dalam Haidar Bagir, Buku
Saku Tasawuf, (Bandung: Mizan Pustaka, 2006) Hal. 63

89
Membuktikan Tuhan Itu Ada

juga bisa saja dinukilkan sebuah dalil yang


berasal dari al-qur’an yang menggambarkan diri
Tuhan sebagai “pengatur dari atas singgasana
segala urusan yang ada di langit maupun di
muka bumi”.114 Jadi, menurut penulis, dua
pendapat yang berbeda itu tidak saling
bertentangan, tetapi memperluas perspektif dan
sudut pandang kita tentang konsep ketuhanan.
Pendekatan dengan model seperti ini justru saling
melengkapi dan malah bisa memberikan sebuah
gambaran yang lebih utuh tentang transendensi
dan imanensi Tuhan. Dalam bahasa qur’an
imanensi Tuhan itu berhubungan dengan aspek
lahir Tuhan (zahir), sedangkan transendensi
Tuhan berhubungan dengan aspek batin Tuhan
(al-bathin).
c. Hubungan Tuhan dan Alam
Para pemikir muslim, baik teolog, filsuf,
maupun sufi, bersepakat bahwa alam tidak
pernah dikonsepsikan sebagai sesuatu yang
bersifat independen, dalam arti berdiri sendiri
secara mandiri, tanpa ada campur tangan dari
pencipta (creator), seperti anggapan kaum saintis-
materialistik (ateisme saintis). Tetapi,
cendekiawan muslim selalu memandang alam
sebagai sesuatu yang senantiasa terhubung
dengan Tuhan sebagai perancang dan pengatur
alam semesta (cosmos designer). Namun
demikian, pola hubungan alam dan Tuhan ini
telah dikonsepsikan secara berbeda-beda oleh
mereka; ada yang menganggap hubungannya
jauh, dan ada yang menganggap pola
hubungannya dekat.
Secara singkat saja, ada yang
menggambarkan hubungan alam dan Tuhan itu
seperti hubungan dalam ilmu logika yakni tanda
114
Qs. Nur (24): 35. Lihat keterangan lebih lanjut dalam Haidar Bagir, Buku
Saku Tasawuf, (Bandung: Mizan Pustaka, 2006) Hal. 63

90
Pilar Teduh

(sign) dan yang ditandai (signified) misalnya kita


bisa ambil contoh antara bayangan dan wajah.
Mungkin kita pernah melihat lukisan siluet wajah
yang biasanya berwarna hitam putih berupa
sketsa wajah atau hanya bagian kepala saja.
Sebagai ilustrasi, bayangan dalam benak pelukis
itu digoreskan dalam bentuk lukisan indah siluet,
dari mana sumber lukisan itu bisa muncul, tentu
saja pelukis dapatkan dari wajah asli di balik
lukisan siluet wajah itu. Alam dalam analogi ini
seperti bayangan, dan Tuhan adalah wajah
aslinya. Alam sering dikonsepsikan sebagai
tanda, yakni tanda (ayat) dari segala sifat
sempurna Tuhan, seperti kebesaran Tuhan,
ketinggian Tuhan, keindahan Tuhan, dan luasnya
kasih sayang Tuhan, semuanya tercermin
sebagaimana yang telah nampak dengan jelas
pada alam raya yang begitu mengesankan ini.
Pendapat lainnya juga bisa kita tampung
tentang hubungan antara Tuhan dan alam. Ada
yang berpendapat alam sebagai tempat
bermanifestasinya (Mazhar Tajalli) dari sifat-sifat
dan tindakan Tuhan. Bedanya dengan pendapat
awal, jika sebagai tanda, alam digambarkan
sebagai pantulan atau refleksi sifat-sifat Tuhan,
di mana antara Tuhan dan alam terdapat jarak
(gaps) yang cukup jauh , namun sebagai tempat
tajalli sifat atau tindakan (af’al) Tuhan, antara
alam dan Tuhan dipandang sangatlah dekat,
bahkan sebenarnya tidak berjarak sama sekali,
karena dengan begitu, Tuhan telah menjadi
fondasi dari seluruh alam semesta serta yang ada
di dalamnya.
Pola hubungan antara Tuhan dan alam,
pada gilirannya akan menghasilkan teori
penciptaan. Teori penciptaan latensi (kumun)
menjelaskan bahwa penciptaan alam telah
dilakukan di masa lalu sekali untuk semuanya

91
Membuktikan Tuhan Itu Ada

dan selamanya (once for all). Akan tetapi, setelah


diciptakan, alam kemudian disembunyikan untuk
nantinya diatur kemunculannya yang tepat di
masa depan sesuai dengan perkembangannya.
Sebaliknya, ada juga sebuah teori penciptaan
berterusan (Continuous Creation) yang
menyatakan bahwa alam diciptakan secara terus
menerus. Pendapat ini datang dari teori atom
Asy’ari yang berpendirian bahwa alam terdiri atas
atom-atom.115 tetapi, karena atom-atom itu
bertahan hanya satu dua saat saja, maka untuk
mempertahankan kelangsungan alam, Tuhan
harus menciptakan atom-atom baru setiap atom-
atom lama berakhir dan lenyap. Tanpa
penciptaan terus menerus, alam akan musnah.
Kenyataan bahwa alam masih ada sampai
sekarang, maka Tuhan secara aktif terus
menerus mencipta.
Teori lain yang sudah populer tentang
penciptaan alam adalah teori emanasi. Teori ini
menyatakan bahwa alam terjadi sebagai
pelimpahan (fayd) atau emanasi dari Tuhan
sebagai wujud pertama.116 Dari Tuhan. muncul
kemudian 10 akal, dan dari akal-akal tersebut,
muncul langit pertama dengan jiwa dan tubuhnya
(body), selanjutnya bintang-bintang tetap, planet-
planet, seperti saturnus, Jupiter, Mars, Venus,
Matahari, bulan dan dari bulan ini muncullah
bumi, yang disebut dunia bawah bulan. Dan teori
115
Gagasan ini mungkin terinspirasi dari para Filsuf Elea, salah satunya
Democritos (460-370 SM) bahwa segala sesuatu terdiri atas susunan atom-
atom; atom emerupakan zat (matter) terkecil dari segala sesuatu dan
merupakan bagian terakhir yang tidak mungkin dibagi-bagi lebih lanjut. Lihat
Fuad Hassan, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya,
1996) Hal. 18
116
Lihat Deborah L.Black,Al-Farabi, History of Islamic Philosophy, ed.
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (New York: Routledge, 1996) hal.
189. Teori emanasi ini didasarkan al-Farabi dari adopsi teori kosmologi
geosentris Ptolemaic.

92
Pilar Teduh

yang diajukan terakhir tentang penciptaan alam,


adalah teori Realisasi-Diri. Teori ini memandang
Tuhan mengembangkan diri-Nya di alam ini,
sehingga jadilah apa yang ada di alam ini sebagai
pengejawantahan diri (self-manifetasion).
d. Hubungan Tuhan dan Manusia
Setelah membahas hubungan antara
Tuhan dan alam, secara lebih spesifik, kita
beranjak pada hubungan antara Tuhan dan
Manusia. Ini penting, karena hanya manusia dari
beragam makhluk di alam, yang bisa menalar
Tuhan dengan akalnya. Adapun penalaran
tertinggi dan yang paling utama, sebelum topik-
topik pembahasan filsafat lainnya adalah tentang
Tuhan.117
Manusia sebagai makhluk Teomorfis
(menyerupai ‘bentuk’ Tuhan) selain manusia
mengandung semua unsur kosmis, sebenarnya ia
juga mengandung unsur illahi, melalui ruh yang
ditiupkan Allah kepada diri manusia. Dari sinilah,
sebagai makhluk teomorfis, manusia berpotensi
untuk menyerap asma-asma atau sifat-sifatAllah
hingga menjadi manusia paripurna (insan al-
Kamil).118
Manusia sebagai Khalifah Allah di bumi,
selain sebagai tujuan penciptaan alam, manusia
juga merupakan wakil Tuhan di muka bumi
(khalifatul fi al-ardh) dengan dua alasan. Pertama,
karena ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Kedua, karena kebebasan memilihnya. Bebas di
sini bukan berarti bebas secara mutlak, seperti
anggapan filsuf eksistensialis Sartre, karena tidak
ada dan tidak akan pernah ada kebebasan

117
Lihat Felix Klein-Franke, Al-Kindi, History of Islamic Philosophy, ed.
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (New York: Routledge, 1996) hal.
169
118
Abdul Hadi W.M, Cakrawala Budaya Islam, (Yogyakarta:
Ircisod, 2016) Hal. 132-133

93
Membuktikan Tuhan Itu Ada

sebebas-bebasnya. Paling tidak, kebebasan kita


dibatasi dengan kebebasan orang lain. Dari dua
kelebihan itu, dengan ilmu pengetahuan,
manusia memungkinkan dirinya untuk mengenal
Tuhan, dan dengan kebebasan memilihnya
manusia bisa memutuskan untuk meyakini dan
menghayati Tuhan atau justru menolak
keberadaan Tuhan. Namun, ketika eksistensi
Tuhan ditolak, bukan berarti itu menunjukkan
bahwa Tuhan tidak ada. Secara dengan
kemampuan manusia berpengetahuan itu,
manusia bisa mengerti, ada banyak hal yang
kasat mata namun keberadaannya tidak bisa kita
tolak. Misalnya nafas yang kita hirup sehari-hari,
jelas kita tidak bisa melihatnya, terasa gaib
kehadirannya, tetapi apa kemudian kita menolak
keberadaannya, tentu tidak. Belum lagi sinyal
handphone, sinyal radio, televisi, suara, dan
sebagainya. Semua itu nampak gaib tapi ada.
Setelah kita mengetahui beberapa definisi
atau konsep Tuhan baik dari kalangan teolog,
filosof, atau sufi, dari sisi zat dan sifatnya,
transendensi dan imanensinya, hubungan Tuhan
dan alam, serta hubungan Tuhan dan manusia,
selanjutnya akan dipaparkan beberapa
argumentasi untuk membuktikan eksistensi
Tuhan secara rasional.

B. Argumentasi Keberadaan Tuhan


a. Argumen Kosmologis
Kosmologis secara leksikal berarti
berkaitan dengan kosmos (alam). Argumen
kosmologis ini adalah argumen untuk
membuktikan keberadaan (existence) Tuhan
dengan cara merenungkan apa yang terjadi di
alam semesta ini. Dalam pandangan Filosof

94
Pilar Teduh

Yunani maupun Filosof Muslim, apapun yang


terjadi di alam semesta ini, tidak mungkin bisa
terjadi dengan sendirinya. Hal ini sudah menjadi
kesepakatan bersama. Oleh karena itu, harus ada
sebabnya. Kita tidak mungkin mengandaikan ada
benda bergerak dengan sendirinya, tanpa ada
yang menggerakan. Pasti ada sebab benda itu
bergerak. Sebab itu bisa alami atau bisa juga
manusia yang menggerakannya. Kita juga bisa
mengandaikan ada sebab lain, selain dua sebab
itu, dan sebab lain itu juga punya sebab lain lagi,
dan begitu seterusnya sehingga membentuk
sebuah rangkaian sebab yang sangat panjang.
Dari sini mungkin kita akan bertanya,
apakah mungkin rangkaian sebab-sebab itu akan
terus berjalan sampai tidak terhingga? Menurut
para Filosof, rangkaian sebab yang sangat
panjang atau bahkan tidak terhingga itu, yang
disebut tasalsul (infinite regress), adalah mustahil
adanya.119 Secara rasional kita tidak mungkin
membayangkan sungai yang mengalir dari hulu
ke hilir, tidak ada titik beranjak awal aliran air itu
bermula. Sebagaimana benda itu bergerak harus
ada sebab awal yang menggerakannya. Jika kita
kembali pada argumen kosmologis yang ingin

119
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1986 ) hal. 122. Bandingkan dengan Majid Fakhry, History of
Islamic Philosophy, (New York: Columbia University Press, 1983)

95
Membuktikan Tuhan Itu Ada

membuktikan eksistensi Tuhan, maka Sebab


Pertama (al-‘illah al-Ula) itulah yang kita sebut
Tuhan. Jadi Tuhan dikonsepsikan sebagai sebab,
yakni Sebab Pertama (First Cause).120

Argumen kosmologis pada awalnya berasal dari


Aristoteles dan pada perkembangannya didukung
juga oleh para filosof muslim seperti Al-Kindi
yang diyakini oleh beberapa intelektual muslim
sebagai filosof islam pertama. Al-Kindi menyebut
pembahasan metafisika (termasuk ketuhanan)
sebagai al-falasafah al-uula (filsafat pertama)
dengan mengadopsi klasifikasi Aristoteles.121
Argumen ini pada intinya adalah
menempatkan Tuhan sebagai sebab pertama (al
‘illat al-ula). Mempersepsikan Tuhan sebagai
sebab pertama beranjak pada suatu penalaran
yang terjadi pada kenyataan realitas bahwa suatu
kejadian tidak mungkin terjadi dengan sendirinya
begitu saja. Secara rasional, sesuatu itu harus
120
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1986 ) hal. 125-126.
121
Lihat Felix Klein Frankle, Al-Kindi, History of
IslamicPhilosophy, ed. Seyyed Hossein Nasr and Oliver
Leaman (New York: Routledge, 1996) Hal. 168-169.
“Aristotle had called metaphysic the “first Philosophy”, Al-
Kindi, adopting this name, explained its meaning in the
following way:Konowledge of The First Cause has truthfully
been called “First Philosophy”, since all the rest of
Philosophy contained in its konowledge. The First Cause is,
therefore, the first in nobility, the first in genus, the first in
rank with respect to that knowledge which is most certain;
and the first in time, since it is the cause of time.”

96
Pilar Teduh

terjadi karena sesuatu yang lain.Sesuatu yang


lain itulah yang kita sebut sebagai sebab, adapun
kejadian itu disebut sebagai akibat atau dalam
istilah filsafat islam disebut musabbab. Penalaran
selanjutnya, setelah kita menemukan adanya
relasi kausalitas pada suatu kejadian, kita akan
menemukan kenyataan bahwa setiap kejadian
akan selalu mengandaikan adanya perubahan,
dan setiap kejadian dan perubahan akan selalu
membutuhkan sebuah murajjih atau sufficient
reason (alasan yang memadai) dalam
pengaktualannya.
Tuhan disebut sebagai sebab dalam istilah
lainnya dikenal dengan sebab pertama (causa
prima). Hal ini dapat dimengerti bahwa Ia adalah
sebab paling awal bahkan paling fundamental
dari semua sebab-sebab dalam deretan yang
panjang. Oleh karena Ia sebagai sebab pertama,
maka konsekuensi logis yang muncul adalah Ia
juga sebagai sumber, dari mana segala sesuatu
yang lain itu mengada, yakni tempat bermula
alam semesta berasal. Tanpa sumber, maka tidak
mungkin sesuatu akan muncul. Oleh karena itu,
melihat kenyataan alam semesta ini ada, maka
cukuplah ini menjadi dalil bagi para filosof yang
membuktikan eksistensi Tuhan, sebagai sebab
pertama.

97
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Argumen kosmologis ini lebih jauh


menolak apa yang disebut tasalsul, yakni sebuah
rangkaian kejadian yang tanpa akhir.
Seharusnya, betapapun panjangnya rangkaian
sebab itu mesti ada seluruh titik dimana seluruh
sebab itu berhenti. Karena bila terjadi tasalsul,
maka tidak mungkin terjadi sesuatu apapun,
karena tidak ada yang memulainya. Maka dari itu
sebagian para filosof Yunani dan muslim
bersepakat bahwa rangkaian sebab itu harus
berhenti pada sebuah sebab yang tidak bersebab
(the Uncaused Cause), yang mereka sebut
Tuhan.122
Masih berkaitan dengan argumen
kosmologis. Ada variasi kedua dalam argumen
kosmologis ini. Yakni mengandaikan Tuhan
sebagai Penggerak Pertama (Muharrik al-awwal).
Argumen ini bermula pada pengamatan bahwa
gerak apapun yang kita saksikan di dunia ini
tidak mungkin bergerak dengan sendirinya tanpa
ada sesuatu yang menggerakkan. Konsepsi
bahwa alam bergerak tanpa ada yang
menggerakkan telah dianggap irrasional dan
dianggap lemah. Hampir semua filosof baik dari
Yunani maupun muslim telah sepakat

122
Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah
Pengantar Filasafat Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2006) Hal.
81

98
Pilar Teduh

kemustahilan sesuatu bisa bergerak dengan


sendirinya, tanpa ada yang menggerakkan.
Meskipun begitu, konsepsi bergerak dengan
sendirinya (Self Operating) ini didukung oleh
Kaum Naturalis Modern, yang memandang bahwa
alam ini otonom (terlepas) dari apapun kecuali
dirinya sendiri, bahkan Tuhan. Sedangkan para
Filosof Muslim meyakini bahwa sebuah gerak
(harakah) harus ada penggeraknya (muharrik).
Maka, seperti halnya dalam argumen
kosmologis sebab, pada argumen kosmologis
gerak ini juga kita bisa berpotensi
membayangkan adanya rangkaian penggerak
yang tak terhingga. Tetapi, sebagaimana dalam
kasus sebab, adanya penggerak tanpa batas
adalah hal yang mustahil terjadi. Karena bila hal
itu terjadi, maka akan terjadi kembali apa yang
dinamakan dengan tasalsul. Seperti yang telah
didemonstrasikan sebelumnya, infinite regress
menurut para filosof adalah suatu hal yang tidak
mungkin. Kita ambil sebuah contoh lomba balap
sepeda. Sejauh apapun jarak lomba sepeda
ditentukan, mestilah ia punya titik start. Kalau
tidak, bagaimana para pembalap ini akan sampai
ke garis finish? Bagaimana mungkin para
pembalap bisa mencapai garis akhir, bila tidak
punta titik awal, atau kita tarik mundur titik awal
tersebut menjadi tidak terhingga. Dengan

99
Membuktikan Tuhan Itu Ada

penalaran demikian, para filosof Yunani dan


muslim, memiliki kesimpulan bahwa gerak
apapun itu, mestilah berakhir pada Penggerak
Pertama (al-Muharrik al-Awwal), dari mana segala
gerak yang ada di dunia ini bermula.
Yang menjadi ciri khas dalam argumen ini
bahwa Penggerak Pertama (al-Muharrik al-Awwal)
haruslah tidak bergerak, sehingga muncul istilah
unik Penggerak yang Tak Bergerak (the Unmoved
Mover).123 Mengapa tidak boleh bergerak? Karena
jika dia bergerak, maka secara logis dia butuh
penggerak. Dan bila itu terjadi, maka dia tidak
layak lagi disebut sebagai Penggerak Pertama.
Mungkin kita kan kebingungan, kemudian
memunculkan pertanyaan. Lalu apakah ada
penggerak yang tidak bergerak? Jawabannya ada.
Seorang presiden bisa saja memerintahkan
panglima atau jenderalnya untuk maju ke medan
perang tanpa dia ikut dalam pertempuran itu.
Cukuplah dia duduk dan mengamati
perkembangan pasukan perangnya di dalam
istana. Atau kita bisa memanfaatkan percobaan
sains untuk contoh lainnya. Ambil sebuah
magnet, kemudian dekatkan logam besi seperti
jarum. Tanpa magnet itu bergerak, maka jarum

123
Ian Richard Netton, Allah Transcendent: Studies in The Structure and
Semiotics of Islamic Philosophy, Theology and Cosmology, (Richardmond:
Curzon Press, 1989) Hal. 53. Cari Jurnal STF Driyarkara Kosmologi
Aristoteles....

100
Pilar Teduh

itu dengan sendirinya akan bergerak mendekat. 124


Hal inilah yang belakangan dikenal dengan The
law of Atraction. Aristoteles menyebut Tuhan
sebagai sebuah atraksi, di mana semua yang ada
di dunia ini tertarik mendekati-Nya. Hukum
seperti berlaku juga pada alam. Lihatlah bunga
yang cantik, tanpa harus dia bergerak, kumbang
akan datang mendekatinya. Sehingga Rumi Sang
Penyair sekaligus sufi besar Persia,
menyenandungan Syair tentang Kecantikan
Tuhan telah membuat alam jatuh cinta kepada-
Nya, dan cinta inilah yang yang menjadi
‘’kekuatan funadamental” alam, yang senantiasa
bergerak sedemikia rupa ke arah yang
dicintainya, yaitu Tuhan, tanpa Tuhan sendiri
bergerak.125 Sama persis seperti laron yang
terbang ke arah lampu, tanpa lampu itu bergerak
sedikitpun.
Masih ada variasi ketiga dari argumen
kosmologis ini. Yakni argumen dari kebaruan
alam (dalil al-huduts). Argumen ini diajukan oleh
al-Kindi (w.886) dianggap sebagai filosof Muslim
pertama.126 Bila kita perhatikan alam semesta

124
Joel Kraemer, Philosophy in The Renassaince of Islam, (Leiden: E.J. Brill,
1986) Hal. 194
125
Cari puisi Rumi tentang Cinta, alam, dan Tuhan
126
Felix Klein Franke, Al-Kindi, History of Islamic Philoshopy ed. Seyyed
Hossein Nasr dan Oliver Leaman (London dan New York: Routledge:1996)
Hal. 165. Abu Ya’qub ibn Ishaq Al-Kindi is generally held to have been the

101
Membuktikan Tuhan Itu Ada

yang luas ini, maka kita akan dapati kenyataan


bahwa pada hakikatnya alam semesta ini
terbatas, baik dari sisi materi, gerak, dan
waktunya. Al-Kindi, dengan logika matematika,
dia berusaha mendemontrasikan keterbatasannya
alam semesta tersebut.
Kita mulai dari gerak alam semesta,
apakah benar adanya terbatas? Gerak alam
semesta adalah sama dengan gerak materi alam.
Sementara kita sudah jelas mengetahui bahwa
gerak materi alam adalah terbatas, dengan
demikian gerak alam pun juga terbatas. Lalu
bagaimana dengan waktu? Apakah waktu juga
terbatas? Menurut Al-Kindi, waktu tidak lain
adalah ukuran gerak, sedangkan gerak alam
terbukti terbatas, oleh karena itu waktu juga
mestilah terbatas. Maka dari itu, kesimpulan
yang dapat kita ambil adalah alam semesta
sebegitupun luasnya, dengan fakta yang ada, baik
dari aspek materi, gerak, dan waktu
eksistensinya adalah terbatas. Kita bisa membuat
premis sebagai berikut; Semua yang terbatas
adalah baru (hadits), dan setiap yang baru pasti
dicipta (muhdats). Oleh karena dia baru dan
dicipta, maka konsekuensi logisnya adalah dia
butuh kepada Pencipta (al-Muhdits). Tanpa
pencipta tersebut, semua yang baru dan dicipta
first Muslim Philosopher.

102
Pilar Teduh

tidak mungkin eksis. Faktanya kita bisa lihat


sendiri dengan mata kepala kita, bahwa alam
yang baru ini ada, maka dari itu hal ini
membuktikan bahwa alam ini ada penciptanya.
Pencipta (al-Muhdits) itulah yang dimaksud
127
Tuhan.
Namun argumen kosmologis ini masih
dianggap lemah dan masih memiliki ruang untuk
dikritik. Salah satu kritikan yang muncul
terhadap argumen kosmologis ini datang dari
professor logika asal USA Madsen Pirie dalam
bukunya yang berjudul “How to Win Every
Argument: The Use and Abuse of Logic”.
Sebagaimana judulnya, argumen kosmologis akan
dilihat kekeliruan dalam kerangka logika
formalnya.
Adapun pernyataan kekeliruan argumen
kosmologis ini Madsen ungkapkan sebagai
berikut:
Segalanya haru punya penyebab.
Penyebab tersebut pada gilirannya harus
disebabkan oleh penyebab terdahulu.
Karena urutan tersebut tak bisa terus
menerus berlanjut, maka kita tahu bahwa
pasti harus ada penyebab yang tidak

127
Lihat Hasan Yusufian, Kalam Jadid: Sebuah Pendekatan Baru Dalam Isu-
Isu Agama, terj. Ali Passolowangi (Jakarta: Sadra Press, 2014) Hal. 83

103
Membuktikan Tuhan Itu Ada

membutuhkan penyebab untuk memulai


prosesnya.128

(Tapi, kalau segalanya harus punya


penyebab, bagaimana bisa ada sesuatu
tanpa penyebab?)

Argumen kosmologis seperti ini disebut


sebagai sebuah kesimpulan yang mengingkari
premis. Dalam historisnya, argumen semacam ini
telah dipakai oleh Aristoteles, Thomas Aquinas,
dan Al-Kindi. Ada banyak istilah dalam
perynataannya, seperti “Penyebab tanpa
penyebab, penyebab pertama, atau penggerak
pertama”. Kalimatnya bisa diubah-ubah
sedemikian rupa, tetapi kekeliruannya segera
dapat terdeteksi sebagai kesimpulan yang
mengingkari premis.

Terlihat ada upaya menjadikan sosok


Tuhan sebagai pengecualianterhadap penyataan
awal biasanya dianggap benar tanpa
dipertanyakan ulang argumennya, misalnya
”segalanya dalam alam semesta harus punya
penyebab di luar dirinya sendiri...” jelaslah
niatnya adalah untuk menghadirkan suatu
penyebab yang terletak di luar alam semesta dan
karenanya tak perlu penyebab. Sayangnya,
128
Madsen Pirie,Rahasia Selalu Menang Berargumentasi: Penggunaan dan
Penyalahgunaan Logika (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008) Hal. 19

104
Pilar Teduh

pengubahan argumen seperti ini memiliki


beberapa kelemahan:

1. Alam semesta bukanlah di dalam alam


semesta, dirinyalah alam semesta itu
sendiri.
2. “Segalanya di dalam alam semesta”
adalah alam semesta

Hal ini memperkenankan kita


menerjemahkan kalmiat pertama menjadi:
“Alam semesta harus punya penyebab di
luar dirinya sendiri.” Dengan asumsi
seperti ini, bukanlah hal yang
mengejutkan jika kita berusaha
membuktikannya.

Ada beberapa versi lain argumen


kosmologis yang lebih sederhana dan
cukup populer, meskipun demikian tidak
ada yang terbebas dari inkonsistensi,
yakni memperkenankan jawaban yang
dikehendaki menjadi satu kekecualian.

Tak peduli sejauh apapun anda


mundur, segalanya harus punya
permulaan, entah kapan. Tuhanlah yang
memulai segalanya.

(Kalau segalanya harus punya permulaan,


berarti Tuhan juga mesti punya

105
Membuktikan Tuhan Itu Ada

permulaan? Bukankah Tuhan bagian dari


segalanya itu?atau Tuhan pengecualian
dari segalanya?)

Tak ada yang terus menerus ada.


Pastilah ada Tuhan yang mengawalinya.

(Pernyataan pertama menunjukan tidak


ada sesuatupun yang terus menerus ada.
Bukankah Tuhan bagian dari sesuatu itu?
Berarti Tuhan tidak bisa terus menerus
ada? Atau Tuhan pengecualian dari segala
sesuatu yang ada?)

Begitulah kita temukan inkonsistensi


logika formal dalam argumen kosmologis
ini.

b. Argumen Ontologis
Argumen kosmologis di atas meskipun
sangat berguna untuk membuktikan eksistensi
Tuhan dengan berdasarkan pada penalaran akal
pada alam, tetapi masih memiliki kelemahan,
sebagaiman telah didemonnstarikan pada uraian
di atas. Paling tidak, penelaran jenis ini mulai
sedikit terlepas dari ketergantungan pada nash
ayat-ayat suci dan lebih menghargai akal.
Meskipun argumen ini telah diterima dan
digunakan oleh Al-Kindi, tetapi seperti sifatnya
filsafat yang radikal, argumen kosmologi

106
Pilar Teduh

mendapatkan dialektikanya, Ibn Sina adalah


salah satu filosof yang tidak mengakui kekuatan
argumen kosmologis ini. Alasan logis yang
diajukannya demikian,“adalah tidak berguna
untuk sampai kepada kebenaran pertama melalui
gerak dan melalui fakta bahwa ia merupakan
prinsip gerak... Betapa tidak kompetennya untuk
mengatakan bahwa gerak harus menjadi alat
untuk menetapkan Yang Esa, Sang Kebenaran,
yang Ia sendiri adalah prinsip dari segala yang
ada.”129
Setelah Ibn Sina menyebutkan sisi
kelemahan argumen kosmologis yang bersandar
pada prinsip-prinsip keterbatasan alam, dia
menawarkan alternatif pembuktian eksistensi
Tuhan dari sisi lain yang menurutnya lebih tinggi
kedudukannya dan lebih kukuh kebenarannya.
Yakni sebuah argumen ontologis yang sering
dikenal dengan argumen kemungkinan (dalil al-
imkan). Apa perbedaan antara argumen
kosmologis dan argumen ontologis? Bedanya
dasar pembuktian argumen kosmologis berangkat
dari alam, sedangkan argumen ontologis basisnya
adalah wujud itu sendiri. Argumen ontologi ini
ada tiga variasi: Pertama, argumen kemungkinan

129
Lihat Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition, (Leiden: E.J.
Brill, 1988) Hal. 264. Bandingkan pula dengan Mulyadhi Kartanegara,
Essentials of Islamic Epistemology, (Brunei: UBD Press, 2014) Hal. 128

107
Membuktikan Tuhan Itu Ada

(dalil al-imkan) Ibn Sina, Kedua, argumen


Ontologis Anselmus, dan yang ketiga, Argumen
Ontologis dari Mulla Sadra yang disebut Burhan
al-Shiddiqin.
Marilah kita beranjak pada argumen
ontologis yang diajukan oleh Ibn Sina yang
dikenal juga di Barat dengan nama Avicenna.
Argumen kemungkinan (dalil al-imkan), bermula
dengan pengamatan pada realitas wujud yang
kemudian membaginya menjadi tiga kategori: (1)
Wajib al-Wujud, (2) Mumkin al-Wujud, (3)
130
Mumtani’ al-Wujud. Wajib al-wujud artinya
adalah wujud yang niscaya, yakni wujud yang
harus selalu ada, dan pasti adanya, tidak
mengenal waktu dulu, sekarang, atau yang akan
datang. Sedangkan Mumkin al-Wujud artinya
berada pada titik tengah diantara keberadaannya
maupun ketiadannya. Artinya mumkin al-Wujud
ini secara potensial dia memiliki kemungkinan
untuk ada (maujud), tetapi, karena mumkin al-
Wujud tidak memiliki prinsip aktualitas pada
dirinya, oleh karena itu dia tidak mampu
mewujudkan dirinya sendiri. Adapun mumtani’
al-Wujud adalah wujud yang mustahil ada baik
secara potensial maupun secara aktual.

130
Lihat tentang pembagian wujud ini pada Sayyed Hossein Nasr, Three
Muslim Sages, (Cambridge: Harvard University Press, 1964) Hal. 24-25

108
Pilar Teduh

Dengan pembagian realitas wujud menjadi


tiga kategori tersebut, Ibn Sina kemudian
menganalisis alam semesta. Menurutnya, alam
ini tidak bisa dikategorikan sebagai wajib al-
Wujud. Karena wujud sebagaimana yang telah
dipaparkan bahwa ia niscaya ada baik di waktu
dulu, sekarang, atau nanti. Namun pada
kenyataannya, benda-benda yang ada di alam
semesta ini ada dalam beberapa waktu tertentu
lalu kemudian hilang, rusak, dan punah. Hal ini
menunjukkan bahwa ia bukanlah wajib al-Wujud
pada dirinya. Tetapi, alam ini juga tidak bisa kita
kategorikan sebagai mumtani’ al-Wujud yang
berarti mustahil adanya dan kita tolak
kehadirannya pada realitas, padahal
kenyataannya jelas ada. Hanya mumkin al-Wujud
satu-satunya kategori yang proporsional untuk
alam. Artinya alam semesta ini bersifat potensial
untuk ada, meskipun dia tidak bisa mewujudkan
dirinya sendiri.
Sekarang kita telah menentukan bahwa
alam semesta ini bersifat mungkin, lalu mengapa
dia tidak bisa mewujudkan dirinya sendiri?
Karena mumkin al-wujud tidak memiliki prinsip
aktualitas, dia hanya bersifat potensial. Untuk
mengaktualkan potensinya, dia butuh sesuatu
selainnya yang memiliki prinsip aktualitas.
Pilihannya hanya dua, apakah mumtani’ al-Wujud

109
Membuktikan Tuhan Itu Ada

atau wajib al-Wujud yang dapat mengaktualkan


potensi alam semesta yang bersifat mumkin. Jika
kita memilih mumtani’ itu adalah hal yang
mustahil. Maka mestilah Wajib al-Wujud yang
niscaya ada, lebih dulu ada, dan akan terus ada.
Wajib al-Wujud telah aktual dan memiliki prinsip
aktualitas untuk mewujudkan selainnya. Wajib
al-Wujud inilah yang secara rasional dan masuk
akal dapat diterima sebagai sebab bagi
pengaktualan potensi alam ke dalam
aktualitasnya. Wajib al-Wujud itulah yang kita
sebut Tuhan.
Argumen ontologis jenis kedua datang dari
seorang Uskup dari Canterbury, Inggris, St.
Anselmus (w. 1109) . Argumen ini masih sama
dengan argumen imkan Ibn Sina dari sisi wujud
sebagai titik penalarannya. Jika Ibn Sina
membagi wujud berdasarkan potensi dan
aktualnya, sehingga terbagi menjadi tiga kategori,
St. Anselmus mendapatkan perspektif berbeda
dalam merenungkan wujud. Dia melihat adanya
kategori hierarkis pada wujud alam semesta. Jika
kita perhatikan wujud-wujud alam dari sudut
ukurannya, maka kita akan dapati bahwa wujud-
wujud tersebut ada yang kecil dan ada juga yang
besar, Hal ini menunjukkan bahwa wujud-wujud
itu tersusun secara bergradasi. Nah, jika
demikian sifat dasar alam, maka kita dapat

110
Pilar Teduh

menyimpulkan bahwa seharusnya ada suatu


wujud yang paling besar di antara semua wujud
di alam ini. Wujud yang paling besar, yang tidak
terbayangkan oleh akal, tentang adanya wujud
yang lebih besar lagi darinya, itulah yang kita
sebut Tuhan.
Argumen Ontologis Anselmus ini
mendapatkan perhatian dari Immanuel Kant
(w.1804). Kant menganggap argumen ini lemah
dalam membuktikan Tuhan. Kritiknya adalah
sebagai berikut, “boleh jadi bahwa yang paling
besar dan tidak terbayangkan ada yang lebih
besar darinya itu hanya ada dalam pikiran kita,
bukan dalam realitas.” Anselmus rupa-rupanya
telah mengantisipasi datangya kritik tersebut
dengan menyatakan, “bahwa jika masih
terbayang ada yang lebih besar dari apa yang
terbayang dalam pikiran kita, maka mestilah
yang ada dalam pikiran itu bukan yang dimaksud
dengan ‘sesuatu yang tidak terbayang adanya
yang lebih besar dari-Nya’. Oleh karena itu, kita
bisa menetapkan Tuhan sebagai yang terbesar,
mesti ada dalam realitas dan bukan hanya ada
dalam pikiran saja.131
Masih ada argumen ontologis jenis ketiga
yang disebut dengan Burhan al-Shiddiqin.

131
Lihat Hasan Yusufian, Kalam Jadid: Sebuah Pendekatan Baru Dalam Isu-
Isu Agama, terj. Ali Passolowangi (Jakarta: Sadra Press, 2014) Hal. 71

111
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Argumen tersebut diajukan oleh pendiri aliran


hikmah muta’aliyyah, Mulla Shadra (w.1642).
Burhan al-Shiddiqin artinya adalah argumen
132
orang-orang yang lurus atau jujur. Mengapa
Mulla Shadra masih mengajukan argumen lain,
bukannya menerima argumen yang telah
diajukan oleh al-Kindi, al-Farabi, atau Ibn Sina?
Apakah masih ada kelemahan dalam argumen
para filosof sebelumnya tersebut? Jawabannya
ya. Mulla Shadra masih menemukan celah kritik
terhadap argumen-argumen para pendahulunya.
Menurut Mulla Shadra, argumen-argumen para
filosof sebelumnya itu telah mengalami kesalahan
secara prosedural. Karena mereka telah
membuktikan Tuhan dengan perantara lain,
yakni lewat alam, bukan melalui Tuhan itu
sendiri. Yang paling kuat menurut Mulla Shadra,
hendaknya membuktikan eksistensi Tuhan
adalah didasarkan pada Tuhan itu sendiri. Ia
menyebut istilah khas untuk mengkonsepsikan
Tuhan, yakni Wujud al-Mahdh yang berarti wujud
murni. Seperti apakah argumennya? Marilah kita
simak urainnya sebagai berikut.
Maksud Mulla Shadra menyatakan Wujud
al-Mahdh atau wujud murni adalah, Tuhan tidak
bisa disebut sebagai ini atau sebagai itu, dari apa

132
Lihat Hasan Yusufian, Kalam Jadid: Sebuah Pendekatan Baru Dalam Isu-
Isu Agama, terj. Ali Passolowangi (Jakarta: Sadra Press, 2014) Hal. 76

112
Pilar Teduh

yang ada di realitas dunia ini. Dia bukanlah


bagian dari langit atau bagian dari bumi. Dia
bukan ini dan itu semua. Dia sungguh berbeda
dengan apapun. Yang satu-satunya bisa kita
tegaskan adalah Ia adalah wujud itu sendiri, yang
menjadi sebab dan syarat utama bagi eksistensi
wujud-wujud yang lain. Cobalah kita ambil
contoh dalam perkara ini, agar bisa dipahami
dengan mudah. Misalnya kita melihat ada buku
berwarna merah. Adakah pertanyaan dalam
benak kita, apakah mungkin ada buku berwarna
merah, sedangkan merah itu sendiri tidak ada?
Tentu itu hal yang mustahil. “merah itu sendiri”
haruslah sudah ada terlebih dahulu sebelum
adanya benda-benda berwarna merah, sebagai
syarat awal bagi keberadaan benda-benda itu.
Sekarang kita ganti “merah pada gelas” itu
kita analogikan “ada pada seluruh realitas alam”.
Mungkinkah kita menyatakan pohon itu ada,
burung itu ada, manusia itu ada, pena itu ada,
buku itu ada, kalau “ada itu sendiri” tidak ada?
Adapun “ada itu sendiri” pada hakikatnya bukan
yang dimaksud ini dan itu, tetapi justru ia
menjadi dasar mutlak, syarat utama, dan sebab
paling awal bagi eksistensi yang lainnya. Oleh
karena itu, dia tidaklah sama dengan apapun di
realitas alam ini. Realitas selain wujud murni
atau kadang disebut juga wujud mutlak, adalah

113
Membuktikan Tuhan Itu Ada

ciptaan atau kreasiNya. Wujud Mutlak itu


sederhana, artinya tidak tersusun oleh apapun,
kecuali wujud itu sendiri, maka dari itu dia
pantas disebut sebagai Wujud Murni. Kita telah
melihat kenyataan dengan jelas setelah
didemonstrasikan sebelumnya, sehingga kita bisa
membuat premis sebagai berikut; Faktanya
wujud-wujud di alam ini ada, padahal mereka
semua tidak mungkin ada tanpa “ada itu sendiri’’,
maka Tuhan, sebagai “wujud murni” atau “ada
itu sendiri”. mestilah ada dan terbukti dengan
sendirinya (self evident atau badihi) sehinga
seharusnya sudah jelas dengan sendirinya, tidak
memerlukan yang lain untuk menunjukkan
keberadaa-Nya. Sebab, jika “ada itu sendiri” tidak
ada, maka segala sesuatu tidak akan ada. Tetapi,
“ada itu sendiri” itu ada, maka segala sesuatu
juga mestilah ada.
c. Argumen Teleologis

Secara leksikal, teleologis berasal dari


bahasa Yunani yang berarti tujuan yang hendak
dicapai.133 Secara singkat, argumen ini dapat

133
Hasan Yusufian, Kalam Jadid : Pendekatan Baru Dalam Isu-Isu
Agama terj. Ali Passolowangi (Jakarta: Sadra Press, 2014) Hal.
88. berasal dari kata telos (tujuan) dan
logos (ilmu), berkaitan dengan kajian tentang fenomena yang
menampakkan keteraturan,
desain, tujuan, akhir, cita-cita, tendensi, sasaran, dan arah. Lihat Haidar Bagir,
Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung: Mizan Pustaka, 2005)Hal. 17. Lihat juga
Karen Amstrong, Masa Depan Tuhan, terj. Yuliani Liputo(Bandung: Mizan

114
Pilar Teduh

dipahami klaimnya yang menyatakan bahwa alam


ini diciptakan dengan tujuan tertentu, bukan
tercipta secara acak, kebetulan, dan begitu saja.
Namun ada design (rancangan) dalam penciptaan
ini dan dengan tujuan tertentu yang hendak
dicapai. Argumen Teleologis ini dikenal juga
Argument from Design134 atau dalam istilah filsafat
Islam disebut Dalil al-Inayah atau disebut juga al-
asbab al-gha’iyyah (final cause), karena ia
menunjukkan Tuhan adalah pemelihara
manusia, dan tujuan penciptaan alam adalah
untuk menunjang kehidupan manusia.135
Pencetusnya adalah Ibn Rusyd, filosof muslim
abad ke-12, dikenal di kalangan sarjana barat
sebagai Averroes.136 Karena Ibn Rusyd merupakan
filosf muslim, tentu saja corak pemikirannya
terinspirasi dengan ajaran Islam. Begitupun
dengan argumen ini yang sesuai dengan ayat al-
quran; “langit dan bumi dicipta dengan tujuan
tertentu” (bi-haqq)” (QS. 6:73).
Adapun struktur argumen ini memiliki
dua aspek: Pertama, adalah aspek design atau
rancangan. Kedua, adalah aspek tujuan. Aspek
design didapatkan dari pengamatan kita terhadap
struktur dan mekanisme alam yang begitu tertata
dengan sangat rapih. Baik dari dunia secara luas
dan rumit (makro) mencakup galaksi hingga alam
yang sempit dan sederhana (mikro) seperti
struktur atom. Semuanya diatur sedemikian rupa

Pustaka, 2011) Hal. 147


134
Argumen ini juga digunakan oleh William Paley (1743-1805), Lihat dalam
Karen Amstrong, Masa Depan Tuhan (Bandung: Mizan Pustaka, 2011) Hal.
388. Argument From Design atau argumen Teleologis ini adalah argumen
tentang eksistensi Tuhan berdasarkan bukti adanya tujuan, desain, keteraturan,
atau kombinasi dari hal-hal ini di alam semesta.
135
Aminullah el-Hady, Ibn Rusyd Membela Tuhan: Filsafat Ketuhanan Ibn
Rusyd (Surabaya;LPAM,2004) Hal. 290
136
Dominique Urvoy, Perjalanan Intelektual Ibn Rusyd, terj. Achmad Syahid
(Surabaya: Risalah Gusti, 2000) Hal. V

115
Membuktikan Tuhan Itu Ada

dan berjalan begitu harmonisnya. Tidak sulit


untuk menunjukan keteraturan alam itu. Ambil
sebuah contoh sistem tata surya (solar system).
Ada Matahari sebagai pusat dari peredaran
planet-planet disekelilingnya, yang meskipun
memiliki ukuran berbeda-beda, masing-masing
planet punya garis edar sendiri, satelit sendiri,
yang tidak pernah bertabrakan antara satu sama
lainnya. Mereka dengan garis orbitnya tetap pada
posisinya dengan kecepatan konstan. Coba kita
perhatikan planet yang dihuni manusia ini,
planet bumi diperkirakan berusia jutaan tahun
oleh para ilmuan. Bumi berputar pada porosnya
(berotasi) dan mengililingi matahari (berevolusi)
sehingga muncul perhitungan waktu sebulan dan
setahun. Semua itu terjadi dengan kecepatan
yang pasti presisi, tanpa ada kekurangan dan
kelebihan. Aktivitas bumi tersebut senantiasa
berada pada titik ekuilibriumnya. Begitu juga bila
kita amati pada bidang fisika mikro. Ada inti atom
(nucleus) hingga orbitnya yang terdiri dari proton
dan neutron, mengelilingi intinya dengan
kecepatan yang tetap tanpa terjadi tubrukan.
Alam raya berdasarkan penemuan-
penemuan Sains abad modern ini telah
membuktikan bahwa semesta ini ditata dengan
sedemikian halusnya (finely tuned) melalui
hukum konstan fisika, atau gerak rotasi dan
revolusi bumi dan planet-planet lainnya yang
kecepatannya sungguh teratur, tetapi juga pada
kecepatan cahaya, percepatan gravitasi, belum
lagi konstanta-konstanta yang semakin nampak
pada penemuan fisika modern seperti konstanta
Bohr, Planck Boltz, dan banyak lainnya. 137
Termasuk bila kita mengkaji aalam semesta dari
cabang ilmu-ilmu lainnya misalnya anatomi
137
Lihat uraian Hukum konstan dalam berbagai ilmu pengetahuan ilmiah
fisika modern, kimia, dan biologi berkenaan dengan argumen teleologis di
Hatem Abu Shahba, The Final Conlusion: Your Journey to Certainity, terj.
Ety Triana (Jakarta: Nur Al-Huda, 2011) Hal. 17-18

116
Pilar Teduh

tubuh hewan, manusia, dan tumbuhan pada ilmu


biologi masing-masing terletak tepat dan sesuai
fungsinya, ilmu kimia yang mengkaji unsur-
unsur dan molekul-molekul kimiawi yang ada
pada tubuh makhluk hidup memiliki kadarnya
yang sesuai sehingga mereka tetap hidup dan
berkembang.
Berdasarkan perspektif filosof klasik
Yunani dan muslim, alam semesta ini telah
dirancang sedemikian akuratnya dengan
hitungan matematis sehingga alam semesta ini
teratur. Klaim seperti itu pernah diungkapkan
oleh Pythagoras yang menyatakan bahwa “dunia
ini bisa dijelaskan semua dengan prinsip-prinsip
Matematika”138 Menurut Plato, sebelum dunia ini
tercipta, Tuhan terlebih dahulu merancang
bentuk dan hukum-hukumnya, sehingga alam ini
berjalan sesuai dengan hukum-hukum tetap
tersebut. Suatu kenyataan bahwa alam ini
memiliki hukum matematis dapat dibuktikan
pada ilmu astronomi dan geofisika. BMKG (Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) misalnya
bisa membuat laporan prakiraan cuaca tiap hari,
laporan gerhana matahari atau bulan total jauh
sebelum itu terjadi, laporan siaga bencana alam
sebelum bencana itu terjadi, itu semua
menunjukkan adanya korelasi yang erat antara
ilmu matematika dan alam semesta. Bagaimana
mungkin pikiran manusia bisa melakukan
ramalan matematis, jika alam ini tidak memiliki
hukum matematis itu, bahkan sebagian besar
laporan-laporan BMKG tentang matematika dan
statistika alam itu sebagian besar benar-benar
terjadi. Misalnya peristiwa gerhana matahari total
di tahun 2016, sebelumnya telah diprediksikan
terjadi pada tanggal 9 maret, yang akan melintasi
11 provinsi di Indonesia, dan akhirnya betul-betul

138
Fuad Hassan, Pengantar Filsafat Barat (Jakarta: Pustaka Jaya, 1996)
Hal.19-20

117
Membuktikan Tuhan Itu Ada

terjadi.139 Orang berbondong-bondong


mengunjungi peritiwa langka yang hanya terjadi
350 tahun sekali, di lokasinya yang sudah
ditentukan untuk melihat secara langsung dan
mengabadikannya. Hal ini merupakan indikasi
kuat bahwa benar alam berjalan sesuai dengan
hukum matematis. Sampai di sini kita telah
membuktikan argumen teleologis pada aspek
yang pertama, yaitu aspek design (rancangan).
Sekarang kita akan beranjak pada aspek
yang kedua, yakni aspek tujuan. Satu
pertanyaan yang mungkin akan menyembul ke
permukaan tentang misteri penciptaan alam ini.
Yakni, apakah ada tujuan tertentu alam ini
diciptakan? Ataukah peristiwa dan kejadian alam
semesta ini hanya sebuah kebetulan secara
random saja? Bila kita mengacu pada aspek
design, nampaknya mustahil sesuatu yang
terancang secara sistematis tidak memiliki
tujuan. Kita bisa mencari bukti dengan
meminjam penemuan disiplin ilmu fisika modern
yang menyatakan bahwa alam semesta ini
diciptakan sedemikian halusnya (the fine tunning)
dan adanya fakta bilangan-bilangan konstanta-
konstanta fisika yang dengan sendirinya
menggiring pada kesimpulan bahwa alam ini
hendak mencapai tujuan tertentu. Klaim ini
bukan tanpa alasan, beberapa ahli fisika modern
ternama seperti John Darrw dan Frank Tipler
telah mengakuinya. Tujuan tersebut adalah
munculnya kehidupan yang sadar dalam bentuk
manusia. Berkaitan dengan kesadaran manusia
ini, muncullah satu istilah dalam fisika modern
yang disebut Prinsip Antrofik (Anthrophic
Principle).140
139
Dikutip dari http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/03/gerhana-
matahari-total-9-maret-akan-melintasi-11-provinsi-di-indonesia 19/12/2017.
pukul 2.13. WIB
140
Richard Dawkins, The Delusion of God, (London: Black Swan, 2007) Hal.
162-165

118
Pilar Teduh

Jadi manusia sesuai dengan prinsip


antrofik, merupakan tujuan akhir dari pada
penciptaan alam semesta ini. Sebenarnya bila
kita merujuk pada sebuah hadis qudsi yang lebih
populer dikalangan sufi yang berbunyi, “Kalau
bukan karena engkau, tidak akan kuciptakan
alam semesta”.141 Meskipun yang dimaksud
sebagai ‘engkau’ tersebut adalah Nabi
Muhammad Saw, tetapi bisa ditafsirkan dia
sebagai sosok manusia, yakni manusia dengan
level yang paling sempurna (al-Insan al-Kamil).
Untuk lebih mempertegas, Jalaluddin Rumi,
dalam syair sufistiknya bersenandung “tanpa
mengharap buah, akankah petani itu menanam
pohon?” Dengan mudah , kita bisa langsung
menjawab tidak. Ibarat itu mengandaikan
manusia itu seperti buah. Buah memang
munculnya terakhir pada proses penanamannya
dari ranting pohon. Tetapi yang menjadi tujuan
utama si petani itu menanam pohon adalah
buah. Buah itulah tujuan akhir dari proses
panjang pertumbuhan pohon itu. Begitupun
manusia, meskipun dia muncul belakangan
setelah tumbuhan dan hewan-hewan, tetapi yang
menjadi tujuan akhir penciptaan alam oleh
Tuhan adalah manusia.
Ibn Rusyd adalah salah satu filosof
Muslim yang menggunakan argumen ini untuk
membuktikan eksistensi Tuhan. Menurutnya,
argumen teleologis ini merupakan argumen yang
lebih tepat daripada argumen yang lainnya,
karena argumen ini ada dalam al-Quran pada QS
2:28, yang artinya “Allah telah menciptakan
segala apa yang ada di bumi (sebagai fasilitas)
untuk manusia”. Tujuannya tidak lain adalah
menjadi wakil Tuhan (khalifah) di muka bumi ini.
Ibn Rusyd oleh karena dia menggunakan al-
quran sebagai dalil, dia tidak juga hanya disebut
teolog, lebih dari itu, dia malah memiliki visi
141
Cari di buku Firman Kudus terbitan ICC

119
Membuktikan Tuhan Itu Ada

harmonisasi antara filsafat dan syariat agama.


Usaha seperti ini selayaknya kita apresiasi Ibn
Rusyd bukan hanya sebagai ulama dalam arti
ahli fikih atau kalam, tetapi juga dia pantas
menyandang Filosof. Bahkan dia disebut sebagai
“The Comentator” dikalangan filosof Barat seperti
Thomas Aquinas, karena seringnya Averroes
mengkritik filsafat Aristoteles.142
Kembali pada argumen teleologis aspek
kedua, yakni tujuan, bagi Ibn Rusyd, adanya
unsur-unsur air, tanah, api, dan udara, serta
tumbuhan juga hewan-hewan, semua itu nampak
sebagai fasilitas dan kemudahan bagi manusia
untuk bertahan hidup dan bahkan lebih dari itu
mendapatkan kebahagiaan. Bahkan dari sekian
banyak makhluk hidup (organik) dan makhluk
tak hidup (anorganik) hanya manusia yang
diberikan kelebihan daripada yang lainnya, takni
adanya akal yang berfungsi menampung segala
macam ilmu pengetahuan dan bisa memahami
berbagai hal di hamparan alam yang luas ini.
Tidak cukupkah bahwa semua itu merupakan
bukti adanya Pencipta atau perancang yang luar
biasa. Tidak mungkin adanya keteraturan dan
keserasian alam ini terjadi secara kebetulan,
melainkan harus dicipta dan dirancang oleh
sebuah agen yang dengan sengaja dan penuh
sadar serta bijaksana melakukannya untuk
mencapai tujuan tertentu.143
Maka dengan demikian, melalui dalil
teleologis dengan aspek pertama, adanya
rancangan (design) dan aspek kedua, tujuan (dalil
al-‘inayah), para filosof maupun sufi sepakat
bahwa argumen ini bisa memberikan bukti
keberadaan Tuhan. Bila kita melihat sebuah

142
Dominique Urvoy, Ibn Rushd, History of Islamic Philosophy ed. Seyyed
Hossein Nasr and Oliver Leaman, (New York: Routledge, 1996) Hal.333
143
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius:Memahami Hakikat Tuhan, Alam,
dan Manusia (Jakarta; Pustaka Jaya, 2000) Hal. 35

120
Pilar Teduh

taman yang indah, secara logis, kita pasti berpikir


ada tukang kebun yang bertugas untuk
menanam dan merawatnya. Begitupun adanya
tujuan dan rancangan yang teratur pada alam
semesta ini, meski ada pencipta dan pengaturnya.
Pencipta dan Pengatur alam semesta itulah yang
kita sebut Tuhan.
Tetapi, sebagaimana argumen-argumen
sebelumnya, seperti argumen kosmologis dan
ontologis, argumen kosmologis ini juga masih ada
celah untuk kita melayangkan kritik
terhadapnya. Pertama, argumen teleologis
bersandar pada alam, bukan pada Tuhan itu
sendiri, sehingga kredibilitasnya masih dibawah
argumen ontologis. Kedua, argumen ini masih
menggunakan nash yang menuntut nalar untuk
percaya terlebih dahulu kepada kitab suci. Ketiga,
apakah sudah dapat dipastikan bahwa alam ini
teratur? dengan demikianada pengaturnya? Lalu
bagaimana dengan adanya kejahatan,keburukan,
dan bencana alam, apakah itu juga disebut
keteraturan? Kalaupun ada pengautrnya,
berapakah pengatur itu? tunggal ataukah jamak?
Kritik terakhir ini disampaikan oleh filosof Stoa
Epicurus yang dikenal dengan the Problem of Evil
yang biasanya muncul dalam disiplin Filsafat
Agama (Philosophy of Religion) pada pembahasan
tentang Keadilan Tuhan (Teodise).144 Namun,
bukan tempatnya untuk diuraikan di sini.

144
Lihat https://rumahfilsafat.com/2010/08/04/jika-ada-tuhan-
mengapa-ada-kejahatan-dan-penderitaan/ diambil 13/04/2017. 0:54.
Lihat Pula sebuah artikel yang ditulis oleh Haidar Bagir, Membincang
Keadilan Tuhan (Teodise) dalam Bencana Tsunami di Aceh, Unusia
NO. 56/XXVIII/II/2005.

121
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Bab IV
Analisa Akal dalam Membuktikan Eksistensi Tuhan
Perspektif Metafisika Muhammad Taqi Mizhbah Yazdi

A. Akal
Akal berasal dari kata dalam bahasa Arab ‘aql
yang berarti pengikat secara harfiah. ‘aql berasal
dari kata kerja ‘aqala yang berarti berakal dan

122
Pilar Teduh

berpikir.145 Dalam kamus al-‘asyri akal diartikan


mengerti, memahami, dan mengikat
(pengetahuan).146 Adapun secara terminologis,
akal adalah alat penalaran (reasoning) yang
memliki kemampuan menangkap makna abstrak
dari apa yang dilihat, didengar, diraba, dicium,
dan dikecap. Akal juga mampu memahami simbol
atau kata-kata yang ditulis atau diucapkan.147
Al-quran seringkali menyerukan manusia
untuk memaksimalkan potensi akalnya dengan
bentuk dan variasi istilah yang beragam, seperti;
memandang secara seksama (nazdar), berfikir
(tafakkur), merenungkan (tadabbur), mengambil
pelajaran (i’tibar), menyadari (tadzakkur), dan
mendalami pemahaman (tafaqquh). Dengan
demikian, bila ada seseorang atau kelompok
tertentu yang menolak akal, itu berarti sama saja
mereka menentang logika al-quran.148
Para filosof muslim memiliki definisi
tersendiri tentang akal. Akal adalah makhluk
immaterial atau spiritual (al-mujarrad), Substansi

145
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) Hal. 956-957.
146
Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Al-‘asri (Surabaya: Multi
Karya Grafika,1996) Hal. 1307
147
Mulyadi Kartanegara, Lentera Kehidupan (Bandung: Mizan Pustaka,
2017) Hal.
148
Hasan Yusufian, Akal dan Wahyu: Tentang Rasionalitas Dalam Ilmu,
Agama, dan Filsafat, terj. Ammar Fauzi Heryadi (Jakarta: Sadra Press, 2011)
Hal. 243

123
Membuktikan Tuhan Itu Ada

akal bersifat non-materi murni, wujudnya tidak


terikat dengan dimensi ruang dan waktu, juga
tidak berkaitan dengan materi.149 Muhsin Labib
dengan mengutip pandangan Syeikh Mishbah,
“akal (‘aql atau intelek), yaitu substansi unik yang
mempunyai kemampuan untuk memahami
dengan perantara benda, dan kadangkala tanpa
perantaranya”.150 Sedangkan Hasan Yusufian
mengutip Mulla Sadra (979-1050 H) menyebut
terminologi akal adalah “kemampuan khas
manusia dalam membedakan baik dan buruk;
mana jalan dan mana jurang”.151Terkadang akal
disebut juga sebagai malaikat, misalnya pada
teori emanasi akal kesepuluh disebut Malaikat
Jibril sebagai pemberi bentuk (Wahib al-
152
shuwar). Mohsen Gharawiyan menyebutkan di
dalam filsafat malaikat-malaikat juga disebut akal
yang non-materi.153 juga disebut Sebagai makhluk
non-materi, akal bisa berdiri sendiri tanpa
149
Mohsen Gharawiyan, Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam,
terj. Muhammad Nur Djabir (Jakarta: Sadra Press, 2012). Hal. 179. Akal juga
kadang disebut dengan logos atau nous.
150
Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T Mishbah Yazdi, (Jakarta:
Sadra Press, 2011). Hal. 234
151
Hasan Yusufian, Akal dan Wahyu, (Jakarta: Sadra Press, 2011).Hal. 10.
Lihat pula M. Shadrul Mutaalihin Syirasi, Syarh Ushul Kafi, jil. 1. Hal. 222-
227
152
Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung: Mizan Pustaka, 2005)
Hal. 81
153
Mohsen Gharawiyan, Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam,
terj. Muhammad Nur Djabir (Jakata: Sadra Press, 2012) Hal. 179

124
Pilar Teduh

bergantung pada tubuh fisik (jism). Akal juga


kadang diistilahkan sebagai jiwa rasional
manusia (an-nafs al-nuthqiyah). Sebagai jiwa
manusia, akal akan tetap hidup ketika manusia
mengalami kematian. Ketika pasca kematian, Ibn
Sina tidak lagi menyebutnya jiwa, tapi akal. Akal
inilah yang kemudian masuk dalam alam akhirat,
untuk mempertanggungjawabkan amal
perbuatannya ketika hidup di dunia.
Akal begitu penting kedudukannya pada
diri manusia. Karena yang menjadi pembeda
(difference/fashl) antara manusia dengan
makhluk lainnya, seperti hewan dan tumbuhan,
adalah akalnya. Lalu seperti apa kecakapan-
kecakapan akal itu? Kecakapan pertama, akal
memiliki kemampuan untuk menangkap makna
secara abstrak atau esensial dari benda-benda
yang dilihat atau dari kata-kata yang tertulis atau
terucapkan. Kemampuan tersebut disebabkan
dari potensi akal yang dapat menyerap ‘’bentuk-
bentuk universal” dari akal kesepuluh atau
dianggap Malaikat Jibril, dengan cara
berhubungan (ittishal) yang terjalin antara kedua
belah pihak. Kemampuan menangkap bentuk-
bentuk universal tersebut tidak bisa terjadi begitu
saja. Tetapi ada indra sebagai perantaranya.
Adapun indra tersebut dibagi menjadi dua
macam, menurut filosof muslim. Yakni Indra luar

125
Membuktikan Tuhan Itu Ada

(lahir), yang terdiri dari lima indra; Indra


penglihatan, pendengaran, perabaan,
pengecapan, dan penciuman. Dan indra dalam
(batin), yang terdiri dari Indra bersama (hiss
musytarak), Retensi (khayal), Imajinasi
(mutakhayilah), estimasi (wahm), dan memori
(Quwwat al-Hafizhah).154 Indra bersama (hiss
musytarak) fungsinya adalah menerima,
mengolah dan menyimpan data-data indriawi
menjadi satu informasi yang lengkap. Retensi
(khayal) memiliki fungsi ingatan jangka panjang,
yakni merekam dan menyimpan bentuk-bentuk
fisik yang telah dicerap oleh indra eksternal,
terutama dalam bentuk gambar (image), sehingga
hal-hal penting seperti wajah keluarga, rumah
kita, alamat, dan lainnya, terus melekat dan tidak
hilang sesaat. Fungsi indra batin lainnya
Imajinasi (mutakhayyilah), adalah dapat
mengkombinasikan image-image yang didapatkan
dari retensi (khayal) menjadi bentuk yang unik.
Para arsitek dan pelukis adalah orang-orang yang
sangat baik dalam memanfaatkan imajinasi ini.
Hingga terkadang memunculkan karakter gambar
yang unik, seperti kuda bertanduk (unicorn), kuda
terbang, naga, dan sebagainya, meskipun itu
semua tidak ada di dunia nyata, hanya dalam
154
Mulyadhi Kartanegara, The Essentials of Islamic Epistemology (Brunei:
UBD Press, 2014) hal.29-30

126
Pilar Teduh

mutakhayyilah. Indra selanjutnya estimasi


(wahm) berfungsi untuk memilah mana yang baik
dan buruk, mana yang berguna mana yang
berbahaya. Estimasi erat kaitannya dengan
kecakapan gerak pada manusia, di sinilah peran
arah gerak mendekat ke atau menjauh dari
ditentukan. Dan indra batin yang teralhir adalah
memori (Hafizhah), yakni merespon dan
melestarikan apa-apa yang direkam oleh wahm.
Satu contoh bila kita melihat api berbahaya,
karena bisa membakar dan melukai kulit kita,
maka ketika kita melihat api akan jaga jarak,
tidak boleh kontak secara langsung, karena dapat
membahayakan diri kita.
Indra-indra tersebut membantu akal
dalam memperoleh konsep-konsep universal.
Filosof Muslim seperti Ibn Sina dan Aristoteles
memiliki perbedaan pendapat mengenai hal ini.
Aristoteles berpendapat bahwa pemahaman akal
manusia tentang konsep universal terjadi karen
proses abstraksi saja, dengan bantuan indra-
indra tersebut. Sadangkan Ibn Sina
menambahkan faktor lain, yang menjadi sumber
perolehan konsep-konsep universal itu, yakni
Akal Aktif atau Malaikat Jibril sebagai faktor
eksternal yang bersifat spiritual.155 Akal (intelek)
tidak sama dengan pikiran (mind), yang mungkin
155
Lentera Kehidupan, Hal 138

127
Membuktikan Tuhan Itu Ada

lebih terkait dengan otak (brain).156 Akal (intelek)


juga tidak berasal dari dunia fisik dan tidak
bersifat materi. Akal bersifat immateri (mujarrad)
yang memiliki unsur malaikat yang ada pada
manusia, yang mampu mencerap baik objek-
objek fisik tetapi juga hal-hal yang metafisik
seperti mengenal Tuhan dan hal-hal gaib atau
spiritual lainnya. Maka dari itulah, dengan
pandangan dunia (worldview) terhadap akal
demikian, maka bukanlah hal yang mustahil bagi
akal dalam menalar dan membuktikan eksistensi
Tuhan. Pasalnya, akal memiliki potensi untuk
menembus alam fisik atau dunia materi ini.
Bahkan wilayahnya bukan hanya pada penelaran
secara diskursif, seperti yang sering digunakan
oleh para filosof, lebih dari itu, para sufi
berkeyakinan bahwa akal dalam arti intuisi hati
(qalb) dan menyingkap (mukasyafah) rahasia-
rahasia alam semesta, lebih dari penalaran
rasional. Oleh karena itu, tidak heran jika
Ikhwan al-Shafa menyebut manusia sebagai alam
kecil (mikrokosmos).157

156
Kata ‘’mind” dalam sebagian literatur barat berarti sama dengan jiwa,
Rene Descartes (w.1650) misalnya, menggunakan istilah “mind-body
problem” untuk menjelaskan hubungan antara jiwa dan tubuh. Lihat Anthony
Flew, a Dictionary of Philosophy, (New York: St. Martin Press, 1984) Hal.
232-233
157

128
Pilar Teduh

Kecakapan kedua yang dimilki oleh akal


adalah kemampuannya untuk bertanya. Tidak
ada makhluk lain, kecuali manusia yang mampu
untuk bertanya suatu hal. Mengajukan suatu
pertanyaan sangatlah penting, karena dengan
begitu, manusia bisa mendapatkan informasi
yang ia butuhkan. Pertanyaan-pertanyaa itu
biasanya mencakup 5W+H (What, Why, When,
Where, Who dan How). Pertanyaan “apa” (what),
adalah untuk mengetahui hakikat atau esensi
sesuatu, kemudian “mengapa” (why), untuk
mengetahui sebab terjadinya sebuah peristiwa,
lalu “kapan” (when), untuk menanyakan waktu
suatu kejadian tertentu, adapun “di mana”
(where) untuk mendapatkan keterangan tempat
sebuah peristiwa, sedangkan “siapa” (who), untuk
mengetahui subjek pelakunya, dan terakhir
“bagaimana” (how), untuk mengetahui gambaran
seperti apa cara atau kronologis sebuah kejadian.
Dengan kemampuan bertanya yang dimiliki akal,
manusia bisa mengetahui banyak informasi atas
objek yang ditelitinya. Kemampuan akal dalam
bertanya ini juga ada kaitannya dengan 10
kategori. satu substansi, dan sembilan aksiden
(ruang, waktu, kualitas, kuantitas, relasi, aktif,
pasif, posisi, dan keadaan)158 yang telah Tuhan

158

129
Membuktikan Tuhan Itu Ada

ciptakan dalam pikiran atau mentalitas manusia.


Pertanyaan-pertanyaan itu tidak terbatas pada
objek-objek fisik saja, tetapi juga melampaui fisik
(metaphysic).
Kecakapan ketiga yang paling khas yang
dimiliki akal manusia adalah kesadaran akan
dirinya sendiri (self-consciousness). Nah, dengan
kesadaran inilah, manusia bisa memiliki
kemampuan untuk mengetahui (cognitive faculty)
bukan hanya pada dirinya sendiri, tetapi juga
selain dirinya, orang lain, lingkungan dan
termasuk juga Tuhannya. Kecakapan kognitif dan
kesadaran diri ini memiliki kedudukan yang
sangat istimewa pada diri manusia. Bagiamana
tidak, hanya dengan kemampuan inilah, alam
semesta ini bisa diketahui, tanpa kemampuan ini,
alam akan kehilangan maknanya. Apa gunanya
alam semesta bila tidak ada yang mengetahuinya,
tidak ada yang mengeksplorasinya. Perenungan
keindahan alam semesta sehingga membawa
kepada kekaguman akan kebesaran kreasi Tuhan
juga muncul berkat adanya kemampuan kognitif
dan kesadaran ini. Argumen teleologis guna
membuktikan eksistensi Tuhan, berdasarkan
adanya penciptaan alam yang begitu halusanya
(finely tuned), yang telah dipaparkan pada bab
sebelumnya, sangat berkaitan dengan
kemampuan akal yang satu ini.

130
Pilar Teduh

B. Pengetahuan
Macam-macam pengetahuan menurut
Muhammad Taqi Mizbah Yazdi, dari satu sudut
pandang secara umum bagaimana jalur
pengetahuan diperoleh dalam upaya
mendapatkan pandangan dunia (world view),
terbagi menjadi empat macam. Pertama,
pengetahuan indrawi (experimental
understanding). Kedua, Pengetahuan rasional
(Intellectual Understanding). Ketiga, Pengetahuan
Tekstual (Devotional Understanding or Religious
Understanding). Keempat, Pengetahuan hudhuri
atau Syuhudi (Mystical or Intuitive
Understanding).159 Adapun Penjelasan rinci dari
keempat pengetahuan tersebut sebagai berikut:
1. Pengetahuan Indrawi. Dengan pancaindranya,
seseorang akan mendapatkan sebuah
pengetahuan yang berkaitan dengan fungsi
dari masing-masing indra-indra itu. Peran
akal juga tidak boleh dinafikkan dalam
perolehan pengetahuan tersebut.
Pengetahuan yang diperoleh lewat jalur indra
ini telah digunakan di berbagai cabang ilmu
empiris seperti: Fisika, Kimia, dan Biologi.
2. Pengetahuan Rasional. Pengetahuan ini
tersusun dari konsep-konsep

159
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Theological Instructions: An
Introduction To Contemporary Islamic Theology terj. Mirza Muhammad
Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khumayni (IIK), 2006) Hal. 29

131
Membuktikan Tuhan Itu Ada

abstraktif(mafahim intizaiyah), yang disebut


juga dengan konsep sekunder (ma’qulat
tsanawiyah).160 Dalam hal ini, akal memiliki
peranan utama dalam perolehan
pengetahuan, namun juga terkadang
menggunakan indra dan eksperimen dalam
proses abstraksi konsep atau dalam
membentuk premis-premis analogis. Adapun
ruang lingkup pengetahuan rasional ini
adalah logika, filsafat, dan matematika.
3. Pengetahuan Tekstual. Pengetahuan ini
meliputi pengetahuan agama yang
berdasarkan pada keterangan otoritas kitab
suci dan para pemuka agama.
4. Pengetahuan Hudhuri atau Syuhudi.
Pengetahuan ini terkait langsung dengan
wujud objeknya (ma’lum), tanpa melalui
perantara gambaran konseptual di mental
(mafhum dzihni), serta bebas dari kekeliruan.
160
Konsep sekunder adalah tipe-tipe konsep universal yang didapatkan
dengan cara analisis akal dan membandingkan antara objek yang satu dengan
yang lainnya, contoh konsep sekunder filsafat (Philosophical Secondary
Intellegible) ‘api adalah sebab timbulnya panas’. Kedua, ada konsep sekunder
logika (Logical Secondary Intellegible), contohnya ‘api adalah konsep
universal’, yang kedua ini hanya terjadi pada konsepsi mental, tidak bisa
dipredikasikan pada realitas eksternal, seperti konsep primer (Primer
Intellelgible), misalnya ‘api merah’. Lihat Mohsen Gharawiyan, Pengantar
Memahami Buku Daras Filsafat Islam, Terj. Muhammad Nur djabir (Jakarta:
Sadra Press, 2012). Hal. 61-62. Lihat pula Muhammad Taqi Mishbah Yazdi,
Buku Daras Filsafat Islam, terj. Musa Kazhim (Jakarta: Shadra Press, 2010)
Hal. 148-149. Lihat Pula Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Philosophical
Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, ter.
Muhammad Legenhausen, (New York: Institute of Global Cultural Studies
University of Binghamton, 1999). Hal. 142

132
Pilar Teduh

Namun, karena pengetahuan hudhuri juga


berkaitan dengan penafsiran konseptual yang
mengetahuinya. Maka,, kekliruan bisa saja
terjadi pada penafsiran yang menyertai
pengetahuan ini.161

Macam-Macam Pandangan Dunia

Dari empat macam pengetahuan itu, menurut


Mishbah Yazdi akan memunculkan empat
pandangan dunia. Pertama, pandangan dunia
empiris (Scientific Worldview). Kedua, pandangan
dunia falsafi (Philosophical Worldview). Ketiga,
pandangan dunia agama (Religious Worldview).
Keempat, pandangan dunia irfani (Gnostic
162
Worldview). Adapun penjelasan empat macam
pandangan dunia itu adalah sebagai berikut:

1. Pandangan dunia empiris, adalah pandangan


universal seputar eksistensi yang diperoleh
melalui data-data empiris dan pengetahuan
eksperimental.
2. Pandangan dunia falsafi, adalah pandangan
universal seputar eksistensi yang diperoleh
melalui analisis rasional dan penalaran akal.

161
Ulasan tentang empat macam pengetahun ini dapat dirujuk di Muhammad
Taqi Mishbay Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan.
(Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 53-54
162
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Theological Instructions: An Introduction
To Contemporary Islamic Theology terj. Mirza Muhammad Abbas Rida
(Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK), 2006) Hal. 30

133
Membuktikan Tuhan Itu Ada

3. Pandangan dunia agama, adalah pandangan


yang diperoleh dari para pemuka agama dan
pandangan-pandangan mereka tentang
realitas universal segala sesuatu.
4. Pandangan dunia irfani, adalah pandangan
yang diperoleh dengan jalan penyingkapan
(kasyf) dan penyaksian batin (syuhudi). Orang
yang menggunakan jalur ini harus berjuang
mensucikan jiwanya (purification/tazkiyah al-
nafs).163

Pandangan Dunia Ilahi dan Materialisme

Pandangan dunia (world view)


berdasarkan keimanan atau pengingkaran
terhadap alam metafisik dapat dibagi menjadi dua
macam; yakni pandangan dunia ilahi (Divine
Worldview)dan pandangan dunia materialisme
(Materialistic Worlview).164

Materialisme sebetulnya bukan hanya ada


pada saat berkembangnya filsafat empirisme di
Barat, tetapi sudah sejak dahulu dalam tradisi
klasik Arab, materialisme sudah dikenal sebagai
al-thabi’i dan al-dahri, terkadang juga disebut

163
Lihat uraian empat macam pandangan dunia tersebut dalam Muhammad
Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan.
(Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 55
164
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Theological Instructions: An
Introduction To Contemporary Islamic Theology terj. Mirza Muhammad
Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK), 2006) Hal. 21

134
Pilar Teduh

zindiq atau mulhid (ateis), sedangkan di zaman


kita sekarang ini, mereka dikenal sebagai al-
maddi (materialis).165 Karen Amstrong,
mendefinisikan ateisme (mulhid) sebagai sebuah
penyangkalan secara langsung terhadap
eksistensi Tuhan; tetapi hingga abad ke-19,
istilah ini biasanya merupakan pelecehan yang
ditujukan kepada orang lain dan orang-orang
pada umumnya tidak menyebut diri mereka ateis.
Sebelum dikenal sekarang, pada umumnya
ateisme berarti ‘kepercayaan palsu’, istilah ini
digunakan untuk menggambarkan cara hidup,
ide, atau sebentuk agama yang disetujui orang-
orang.166

Yang paling menonjol di era sekarang


adalah materialisme dialektika yang merupakan
bagian dari filsafat Marxisme. Filsafat
materialisme juga dapat dijadikan satu
pandangan dunia yang hanya menerima
eksistensi materi saja. Adapun secara epistemik,
mereka hanya hanya mengandalkan pengetahuan
ilmiah yang berdasarkan kemampuan indrawi
dalam mencapai pengetahuan. Kaum Materialis
berbanding terbalik dengan kaum Metafisik.

165
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida
Keyakinan. (Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 29
166
Karen Amstong, Masa Depan Tuhan, terj. Yuliani Liputo (Bandung: Mizan
Pustaka, 2011) Hal. 26

135
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Kaum Materialis biasanya menolak eksistensi


Tuhan dann konsep-konsep supranatural
lainnya. Itu berarti pandangan dunia juga
digunakan pada pandangan ilhadiyah (ateisme)
dan madiyah (materialisme). Sedangkan kaum
Metafisik menerima eksistensi non-fisik dan tidak
menolak realitas fisik. Secara epistemologis,
kaum arif tidak hanya mengandalkan indrawi,
tetapi juga akal, dan intuisi.

Analisis Kritis

Jangkauan pengetahuan empiris, seperti


yang telah dipaparkan sebelumnya, terbatas pada
fenomena-fenomena alam materi saja, kita tidak
bisa mangandalkan pengetahuan ini untuk
mengetahui dasar-dasar pandangan dunia,
seperti apa yang hendak dicapai dalam penelitian
ini yakni mengenal eksistensi Tuhan.
Pengetahuan empiris dan ekperimen tidak bisa
menetapkan atau menafikan eksistensi Tuhan
melalui penelitian di ruang laboratorium. Karena
memang itu diluar jangkauan ilmu-ilmu empiris.
Pengalaman indrawi tidak akan mampu menilai
ada atau tidak adanya sesuatu di luar lingkaran
materi. Pengetahuan indrawi aau eksperimental
menurut Syeikh Mishbah tidak bisa dijadikan
landasan dasar pandangan dunia (World View)
mengenai alam semesta dalam arti yang hakiki.
Hal yang dicapai paling maksimal disebut sebagai
pengetahuan tentang alam materi’. Dan
pengetahuan semacam ini tidak mampu
memecahkan persoalan-persoalan mendasar
dalam pandangan dunia. Misalnya tentang
eksistensi Tuhan, penciptaan alam semesta

136
Pilar Teduh

(kosmologi), atau kehidupan setelah kematian


(eskatologi).167
Mengenai pengetahuan yang ketiga, yakni
pengetahuan yang diperoleh melalui agama atau
dikenal dengan istilah ta’abbudi (taklid) mengikuti
pemuka agama (ulama), menurut Syeikh mIshbah
memang berlaku dan bernilai secara sekunder,
karena terlebih dahulu, kita harus membuktikan
keberadaan pengetahuan sebelumnya yang
menjadi sumber pengetahuan ini. Misalnya,
karena kitab suci yang menjadi sumber otentik
dalam agama berasal dari nabi, maka kita harus
mengenal dulu pengetahuan tentang kenabian
(nubuwwah). Bahkan sebelum adanya nabi, kita
harus menetapkan siapa yang mengutus sang
nabi sebagai penyampai risalah itu (rasulullah).
Tetapi, yang tidak mungkin dalam hal ini, jelas
kita tidak akan dapat menetapkan eksistensi
pengutus nabi, melalui lisan nabi sendiri.
Sebagaimana kita tidak bisa menjelaskan
keberadaan Tuhan karena al-quran telah
meriwayatkan-Nya. Sehingga masalah eksistensi
Tuhan dianggap tuntas. Secara logis ini kurang
sistematis dan karrena itu sulit untuk diterima.
Yang benar adalah kita harus mengenal
keberadaan Tuhan sebagai langkah awal,
kemudian mengenal sang nabi sebagai rasul yang
menyampaikan risalah Tuhan kepada umat
manusia, kemudian pesan itu berupa wahyu yang
diberikan Tuhan kepada nabi sebagai hujjah
kenabiannya dan petunjuk bagi seluruh umat
manusia, maka pada akhirnya barulah kita bisa
menerima keyakinan parsial (far’iyah) dan ajaran-
ajaran praktis yang bersandar pada informasi
yang valid dan sumber yang terpercaya.168
167
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Theological Instructions: An
Introduction To Contemporary Islamic Theology terj. Mirza Muhammad
Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK), 2006) Hal. 30.
168
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida
Keyakinan. (Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 56

137
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Oleh sebab itulah, pengetahuan


ta’abbdudi yang didapatkan melalui pemuka
agama bukan termasuk pengetahuan primer,
karena untuk mengehaui persoalan yang
prinsipil, dia masih memerlukan pengetahuan
lain untuk menetapkannya. Pengetahuan ini
tidak mempunyai peran langsung dalam
menyelesaikan berbagai persoalan prinsipil di
dalam pandangan dunia seputar wujud dan
penciptaan alam semesta.
Sekarang mari kita analisis pengetahuan
yang keempat mengenai pengetahuan hudhuri
dan syuhudi, kita memerlukan penjelasan yang
cukup rumit dan luas. Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan mengenai pengetahuan ini.
Pertama, pandangan dunia mengenai eksistensi
(wujud) dan penciptaan alam semesta merupakan
pengetahuan yang terbentuk dari gambaran-
gambaran secara konspetual di dalam pikiran,
sementara dalam pengetahuan hudhuri tidak ada
tempat bagi gambaran-gambaran secara
konseptual tersebut.169
Kedua, untuk menjelaskan berbagai
persoalan yang terkait dengan pengetahun
hudhuri dan kasyf melalui perantara kata-kata
dan gambaran konseptual membutuhkan
kemampuan yang mumpuni serta kekuatan
analisis rasional yang tajam secara
filosofis.Seseorang yang tidak memiliki kapabilitas
tersebut, dikhawatirkan akan terjebak pada
distorsi dan penyimpangan yang tidak diinginkan.
Ketiga, Seringkali terjadi kekeliruan
tentang hakikat realitas, antara yang
menggunakan pendekatan syuhudi dan kasyf
dengan yang menggunakan penafsiran secara
konseptual terhadap hakikat tersebut. Bahkan,
169
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Theological Instructions: An
Introduction To Contemporary Islamic Theology terj. Mirza Muhammad
Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK), 2006) Hal. 31

138
Pilar Teduh

menurut Syeikh Mishbah, kekeliruan dan


kekaburan itu bisa juga terjadi pada si pelaku
syuhud (musyahid) itu sendiri.
keempat, Ada prasyarat yang harus
dipenuhi ketika hendak menggunakan
pendekatan syuhudi. Pasalnya, seseorang tidak
mungkin mencapai berbagai hakikat batin kecuali
setelah melakukan perjalanan dan pelatihan
ruhani (sayr wa suluk irfani) dengan waktu yang
tidak sebentar. Namun, keimanan dan keyakinan
seseorang terhadap metode sayr wa suluk, yang
dianggap sebagai pengetahuan praktis,
bergantung pada dasar-dasar teoritis dan
persoalan-persoalan yang mendasar dalam
pandangan dunia.
Maka dari itu, sebelum seseorang
memutuskan untuk menerjunkan diri untuk
mengamalkan sayr wa suluk, dia harus mampu
menuntaskan persoalan-persoalan itu dengan
baik. Sedangkan pengetahuan syuhudi itu baru
bisa didapatkan pada saat musyahid berada pada
puncak perjalanan sayr wa suluk itu. Pada
hakikatnya, irfan hakiki itu baru bisa dicapai
tatkala musyahid berusaha dengan keras dan
penuh keikhlasan dalam beribadah kepada
Tuhan. Sementara usaha dan suluknya itu
berkelit berkelindan kepada pengetahuannya
tentang Tuhan dan tentang cara ibadah kepada-
Nya.
Jadi, dari sekian jalan pengetahuan
empiris, agama, dan syuhudi, ternyata satu-
satunya jalan bagi seseorang yang berusaha
untuk mencari solusi dalam menghadapi
masalah-masalah pokok pandangan dunia adalah
dengan pendekatan logika atau metode rasional.
Maka dari itu, menurut Syeikh Mishbah,
pandangan dunia yang sebenarnya untuk
memecahkan masalah-masalah prinsipil seperti
eksistensi Tuhan adalah pandangan dunia falsafi.

139
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Akan tetapi, membatasi diri ketika


berupaya mencari solusi atas berbagai
problematika tersebut hanya pada metode
rasional dan premis-premis filosofis bukan berarti
bahwa untuk pencapaian pandangan dunia
semacam itu bergantung kepada pemecahan atas
seluruh persoalan filsafat. Upaya itu cukup
dengan mengkaji sebagian masalah filsafat yang
sederhana dan tampak jelas. Dengan pendekatan
rasional dan filosofis inilah kita dapat
membuktikan eksistensi Tuhan . Hal ini dinilai
merupakan masalah yang paling penting dalam
pandangan dunia, meskipun studi khusus
mengenai masalah-masalah ini dan cara
mengahadapi berbagai kritik serta keraguan dan
pemecahannya membutuhkan kejelian filosofis
secara luas.
Begitupun ketika kita membatasi berbagai
pengetahuan yang dapat membuahkan dan
menyelesaikan masalah-masalah yang mendasar
melalui pengetahuan rasional, bukan berarti kita
menafikan begitu saja pengetahuan-pengetahuan
lainnya untuk memecahkan masalah-masalah
tersebut. Bahkan, kita dapat menggunakan
argumen-argumen rasional yang sebagian
premisnya dihasilkan dari pengetahuan hudhuri
dan indrawi. Kita juga bisa saja menggunakan
pengetahuan agama dengan memanfaatkan dalil
naqli yang ada dalam kitab suci al-quran dan
hadits atau kitab suci dalam agama lainnya.
Akhirnya, tatkala pandangan dunia dan
ideologi170 yang benar itu dapat dicapai, seseorang

170
Pandangan dunia adalah seperangkat keyakinan mengenai penciptaan,
alam semesta, dan manusia, bahkan mengenai wujud secara mutlak.
Sedangkan arti ideologi, salah satunya adalah seperangkat pandangan
universal tentang sikap praktis manusia. Berdasarkan dua arti ini, sistem
akidah setiap agama dapat dianggap sebagai sebuah pandangan yang bersifat
universal. Sedang sistem hukum praktis agama agama yang bersifat umum
adalah ideologinya. Maka dari itu, kedua istilah ini dapat diterapkan pada
ushuluddin dan furu’uddin. Lihat Muhammad Taqi Mishbah Yazdi,

140
Pilar Teduh

akan melangsungkan usahanya hingga sampai ke


mukasyafah dan musyhadah (penyaksian mata
batin) melalui usaha yang gigih dalam menempuh
tingakatan-tingkatan sayr wa suluk sehingga
dapat menyaksikan hakikat tanpa melalui
konsep-konsep mental berbagai hakikat yang
dibuktikan melalui argumen-argumen rasional.
C. Mengenal Tuhan

Prinsip agama yang paling fundamental


menurut Muhammad Taqi Mishbah Yazdi adalah
keimanan kepada wujud Tuhan yang
menciptakan alam semesta. Gagasan seperti ini
sebenarnya telah didahului oleh Al-Kindi, yang
menyatakan bahwa pembahasan tentang Wujud
Tuhan disebut sebagi al-falsafah al-ula (Filsafat
Pertama).171 dan telah dipaparkan sebelumnya,
bahwa perbedaan yang paling mendasar antara
pandangan dunia ilahi (Divine Worldview) dan
pandangan dunia materialisme (Materialistic
Worldview) terletak pada ada atau tidaknya
keimanan atau kepercayaan kepada Tuhan
sebagai eksistensi yang menciptakan alam
semesta. Maka, prioritas utama yang harus
ditempuh oleh para pecinta dan pencari
kebenaran adalah berusaha menemukan jawaban
dari pertanyaan apakah Tuhan ada atau tidak
ada?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus
menggunakan pengetahuan rasional yang
dominan pada penggunaan akal. Bukan
bersandar pada pengetahuan eksperimental,
pengetahuan agama, atau pengetahuann syuhudi
Theological Instructions: An Introduction To Contemporary Islamic Theology
terj. Mirza Muhammad Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK),
2006) Hal. 21. Lihat pula Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta:
Merancang Piramida Keyakinan. (Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 28
171
Lihat Felix Klein Frankle, Al-Kindi, History of IslamicPhilosophy, ed.
Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman (New York: Routledge, 1996) Hal.
168-169.

141
Membuktikan Tuhan Itu Ada

dan hudhuri seperti yang telah dijelaskan


sebelumnya. Penggunaan akal untuk mengetahui
Tuhan (ma’rifatullah) ini didukung oleh Toshihiko
Izutsu, ketika mengemukakan pandangan
Mu’tazilah.172 Setelah akal telah menetapkan
jawaban positif ataukah negatif, yang betul-betul
meyakinkan. Bila ternyata jawaban itu positif
bahwa Tuhan ada, maka keyakinan setiap agama
memiliki dasar rasional yang masuk akal, dan
demikian bisa melanjutkan kajian selanjutnya,
seperti Tauhid, sifat-sifat Tuhan, keadilan Tuhan
dan seterusnya. tetapi, bila jawaban itu negatif
tidak ada Tuhan, maka konsep seluruh agama di
dunia hanyalah sia-sia, karena basis pandangan
dunia yan paling fundamentalnya telah runtuh.
Dengan demikian, pandangan dunia materialisme
terbukti dengan sendirinya. Dan itu juga berarti
tidak perlu lagi untuk membahas semua
persoalan yang berkaitan dengan agama.
1. Pengetahuan Hudhuri dan Hushuli
Dalam rangka mengenal Tuhan, Syeikh
Mishbah mengemukakan dua macam
pengetahuan yang perlu dibahas. Yaitu
pengetahuan hudhuri (knowledge by
presence) dan pengetahuan hushuli
(knowledge by representative). Dua
pengetahuan ini dikelompokkan berdasarkan
ada atau tidak adanya perantara untuk
mendapatkan suatu pengetahuan. Tidak ada
pengetahuan yang lepas dari dua bentuk
pengetahuan tersebut.173

172
Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis
Semantik Iman dan Islam terj. Agus Fahru Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1994) Hal.124. Karena akal menurut Mu’tazilah adalah sesuatu yang
umum pada semua orang baik yang beriman ataupun yang kafir, bahkan tidak
ada perbedaan antara Nabi dan orang biasa ketika bersangkutan dengan akal.
173
Muhammad Taqî Mishbâh al-Yazdî, Al-Manhaj al-Jadîd fî Ta‘lîm al-
Falsafah, terj. M. -Abdul Mun’im al-Khâqânî (Qom: Mu‘assasah al-Nasyr al-
Islâmî, tt.), I: 171-172.

142
Pilar Teduh

Pada pengetahuan Hudhuri, seseorang dapat


mengetahui dan mengenal Tuhan dengan
jalan hati (qalb) dan batin (syuhudi), tanpa
perantara pemahaman-pemahaman berupa
gambaran konseptual di dalam benak.
Artinya, untuk mengenal Tuhan, para arif
atau sufi yang biasa menggunakan metode
penyingkapan (kasyf) atau huhduri ini tidak
memerlukan argumentasi rasional lagi.
Namun, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, pencapaian pengetahuan
semacam ini memerlukan pembinaan jiwa
yang kuat melalui sayr wa suluk sehingga
menghasilkan jiwa yang suci. Bukan orang
biasa yang dapat menguasai pengetahuan
itu, hanya orang-orang yang benar-benar
tulus jiwanya dan ikhlas dalam beribadah
serta sabar dalam perjalanan spirituallah
yang bisa berhasil mencapai maqam tersebut.
Adapun tingkatan-tingkatan yang rendah
dari pengetahuan ini, walaupun dapat
dicapai oleh orang-orang biasa, tetapi karena
biasanya ia tidak dilndasi kesadaran,
tidaklah cukup untuk membentuk
pandangan dunia yang berlandaskan
kesadaran.174
Pada pengetahuan huhsuli, seseorang
mengenal Tuhan melalui konsep-konsep
universal seperti Tuhan sebagai Sang
Pencipta, Mahakaya, Mahakuasa, Mahatahu,
dan meyakini keberadaannya. Kemudian dia
menggabungkan dengan pengetahuan
174
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Theological Instructions: An
Introduction To Contemporary Islamic Theology terj. Mirza Muhammad
Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK), 2006) Hal. 21. Lihat
pula Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida
Keyakinan. (Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 33. Lihat pula Muhammad
Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan.
(Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 66

143
Membuktikan Tuhan Itu Ada

hushuli lainnya hingga dia dapat


memperoleh suatu pandangan dunia yang
utuh. Semua pengetahuan manusia yang
didapatkan dari argumentasi rasional atau
studi filosofis adalah termasuk dalam
pengetahuan hushuli. Barulah setelah
manusia berhasil menguasai secara penuh
hakikat lewat ilmu hushuli tahapan yang
lebih tinggi lagi dalam mengenal Tuhan bisa
diraih dengan ilmu huhduri.
2. Pengetahuan Fitrah (Intrinsic Nature)
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, dengan
merujuk pada ucapan-ucapan orang-orang
suci (saints), para sufi (gnostic), dan para
filosof menemukan pernyataan bahwa
mengenal Tuhan merupakan salah satu fitrah
manusia yang sudah melekat dalam diri
setiap manusia.175 Fitrah sendiri secara
leksikal berasal dari bahasa Arab yang berarti
sebuah bentuk penciptaan (type of creation).
Adapun karakteristik fitrah itu terdiri dari
tiga macam; Pertama, fitrah memiliki kualitas
yang berbeda dari sisi kuat (syiddah) dan
lemahnya (dho’f) pada makhluk-makhluk
satu spesies. Tetapi semua memiliki bentuk
fitrah yang sama. Kedua, Fitrah ditetapkan
bersifat permanen dan akan selalu ada terus
menerus sepanjang hidup manusia. Fitrah
pada setiap makhluk tidak bisa mengalami
perubahan dari satu waktu ke waktu. Seperti
apa yang difirmankan Allah Swt dalam surat
cintanya “Itulah fitrah Allah yang telah Dia
ciptakan manusia atas dasar fitrah itu dan
175
In most of the discourses of the saints, gnostics and philosophers we find
that knowing God is a natural instinct of man, and something that is inherent
to him through his intrinsic nature. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi,
Theological Instructions: An Introduction To Contemporary Islamic Theology
terj. Mirza Muhammad Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK),
2006) Hal. 33.

144
Pilar Teduh

tidak mungkin mengalami perubahan bag


Allah”(Qs. al-Rum: 30). Ketiga, fitrah adalah
suatu bawaan sejak lahir ((self-sufficient)) dan
suatu bentuk keniscayaan dari penciptaan
makhluk. Fitrah tidak didapatkan dari
pendidikan atau proses pembelajaran
tertentu. Meskipun begitu, perlu bimbingan
dan arahan yang baik untuk membuatnya
berkembang dari lemah menjadi kuat.
Sedangkan fitrah yang ada pada diri
manusia dapatdibagi menjadi dua macam:
Pertama, pengetahuan-pengetahuan yang
bersifat fitriah yang dimiliki manusia tidak
didapatkan dengan proses pendidikan atau
pembelajaran. Kedua, tentang
kecenderungan-kecenderungan fitrah. Jika
ada orang yang memiliki kesadaran tentang
Tuhan kemudian beragama tanpa adanya
proses belajar atau penelitian tertentu
tentang keyakinannya itu, maka hal tersebut
disebut dengan mengetahui Tuhan melalui
fitrah (Knowing God through instrinsic nature)
dalam bahasa arab disebut ‘ma’rifatullah ‘ala
al-fithrah’. Dan jika ada seseorang yang
memiliki kecenderungan untuk beribadah
dan menghamba kepada Tuhan, maka hal itu
dinamakan penghambaan fitriah kepada
Tuhan (Worshiping God through instrinsic
nature).176 Jadi berdasarkan hal ini, Syaikh
Mishbah menyatakan bahwa kesadaran
beragama merupakan salah satu
keistimewaan yang dimiliki manusia
dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Bahkan bukan hanya pada perasaan atau
kecenderungan terhadap Tuhan saja, Bahkan

176
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Theological Instructions: An
Introduction To Contemporary Islamic Theology terj. Mirza Muhammad
Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK), 2006) Hal. 34

145
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Syaikh Mishbah menegaskan bahwa


marifatullah atau mengenal Tuhan juga dapat
dikategorikan sebagai kelaziman fitrah pada
setiap manusia.
Namun, yang perlu diperhatikan fitrah
penghambaan dan pengenalan akan Tuhan
tersebut tidak dengan kesadaran penuh (full
awareness), dalam arti untuk orang-orang
awam yang tidak memerlukan penalaran
secara rasional dalam keyakinannya tersebut.
Dan memang setiap orang memiliki tingkatan
atau derajat tertentu berkenaan dengan
pengetahuannya kepada Tuhan baik yang
bersifat hudhuri atau fitrah. Mungkin ada
sebagian orang yang hanya dengan merenung
sejanak saja atau dengan nalar sederhana
saja bisa mengenal Tuhan. Kemudian seiring
berjalannya waktu, dia memperkuat dan
memperkokoh pengetahuan akan Tuhan itu
sampai mata batinnya terbuka, atau bahkan
dia akan sampai kepada derajat pengetahuan
yang penuh dengan kesadaran akan Tuhan
(syu’uriyah).
Jadi mengenal Tuhan secara fitrah,
maksudnya bahwa hati seseorang dapat
mengenal Tuhan, dan di dalam jiwanya
terdapat potensi pengenalan itu secara sadar,
yang kemudian bisa menguat. Akan tetapi,
potensi-potensi fitriah pada orang awam itu
tidak dengan kesadaran. Maka dari itu,
mereka memerlukan argumentasi rasional.
Dalam arti, selain melalui fitrah, mereka juga
tetap membutuhkan penalaran rasional
untuk dapat mengenal Tuhan secara sadar.

D. Cara-Cara Mengenal Tuhan


Dalam rangka mengenal Tuhan, ada
berbagai macam cara dan metode yang telah

146
Pilar Teduh

ditulis dalam buku-buku filsafat, teologi, hadist,


dan kitab-kitab suci samawi. Berbagai macam
argumen yang disebutkan dalam buku-buku
tersebut menjelaskan sisi dan dimensinya
masing-masing. Ada yang menggunakan
pendekatan empirik. Ada yang menggunakan
premis-premis dan penalaran secara rasional.
Ada pula yang berupaya membuktikan Tuhan
secara langsung, sebagaimana juga dalam buku-
buku lainnya menjelaskan keberadaan sesuatu
yang tidak membutuhkan selainnya (wajib al-
wujud).
Berkenaan dengan argumentasi yang
mencoba membuktikan eksistensi Tuhan, Syaikh
Mishbah mengumpamakan dengan jembatan-
jembatan yang dipasang di atas sebuah sungai
yang besar, yang akan dilalui oleh orang-orang
untuk menyeberang dari satu tepi ke tepi lainnya.
Dilihat dari bahan membuat jembatan itu, ada
yang hanya menggunakan kayu sederhana yang
ditancapkan melintang ditengah sungai yang
menghubungkan dua tepi, agar orang-orang bisa
menyebrangi sungai dengan membawa barang-
barang yang ringan dengan melintasi jembatan
itu dan sampai di tujuan, tanpa harus berenang
mengarungi sungai. Ada juga jembatan lain yang
terbuat dari bahan batu-batu beton yang panjang
dan memiliki kekuatan lebih besar daripada
kayu. Tetapi, untuk melewati jembatan ini butuh
waktu yang lama. Ada pula yang lebih kuat dari
bahan beton, yaitu jembatan-jembatan yang
dibuat khusus untuk kereta yang membawa
beban berat. Bahan tersebut dari besi-besi yang
kuat, berkelok, dan berliku. Jalan yang dilewati
bukan cuma sungai, tetapi juga bukit dan
dataran yang luas. Analogi ini seperti derajat
dalil-dalil yang berupaya untuk membuktikan
keberadaan Tuhan. Ada yang paling mudah dan

147
Membuktikan Tuhan Itu Ada

sederhana, ada yang sedang, dan ada pula yang


paling rumit.
Ada orang yang mengenal Tuhan dengan
cara yang sederhana, dengan penalaran yang
sederhana pula. Kemudian dari kepercayaan
akan Tuhan itu dia praktikan dalam bentuk
ibadah. Ada lagi orang yang mengenal Tuhan
setingkat lebih tinggi dari yang pertama, dia
dengan akal pikirannya mampu menampung
beban keraguan, dan dia bisa melewati jalan-
jalan terjal dan rumit. Nah, sementara orang yang
membawa beban berlebih serta mampu
menghadapi berbagai keraguan dan kritik, maka
dia harus melewati jalan yang dibuat di atas
dasar-dasar yang kokoh, sehingga dia mampu
bertahan ketika di tengah jalan mendapatkan
berbagai tantangan, kesulitan, dan cobaan
tertentu.
Untuk pembahasan yang pertama,
berkenaan dengan cara atau jalan mengenal
Tuhan, kita akan memulai dengan jalan yang
paling mudah. Selanjutnya, Syaikh Mishbah akan
menjelaskan berbagai argumentasi yang rumit,
yang untuk memahaminya, kita memerlukan
dasar-dasar dan kaidah-kaidah filosofis. Nah,
argumentasi inilah yang tepat bagi mereka yang
pikiran-pikirannya seringkali terdapat berbagai
keraguan, dan ingin menyanggah keraguan-
keraguan yang bersarang pada dirinya, bisa juga
digunakan untuk menyelamatkan orang lain yang
tersesat dan menyimpang.
1. Keistimewaan Cara Mudah
Cara mudah untuk membuktikan
eksistensi Tuhan memiliki beberapa
keistimewaan. Pertama, cara ini tidak
membutuhkan premis-premis yang sulit
dimengerti, rumit, dan sangat teknis, serta
dapat dijelaskan dengan mudah. Dengan cara

148
Pilar Teduh

yang mudah, semua orang dengan berbagai


tingkatan pengetahuan akan dapat
memahaminya dengan baik.
Kedua, cara yang paling mudah ini akan
mengantarkan manusia secara langsung
untuk mengenal Tuhan sebagai Sang Pencipta
alam semesta Yang Maha Kuasa. Berbeda
dengan argumentasi filosofis dan teologis yang
terlebih dahulu membuktikan eksistensi
Tuhan secara dzat-Nya yang dikonsepsikan
sebagai wajib al-wujud.
Ketiga, kelebihan cara mudah ini akan
membangkitkan fitrah manusia dan
membimbing pengetahuan fitriah mereka ke
jenjang kesadaran yang lebih tinggi. Jika
seseorang berusaha memahami cara yang
paling mudah ini dengan baik, maka dia
berpotensi merasakan kondisi irfani, seolah-
olah dia dapat menyaksikan kekuasaan
Tuhan dalam menciptakan alam semesta
berikut beragam kejadian-kejadiannya yang
menakjubkan, serta merenungkan bagaimana
cara pengaturannya dengan bijak. Itulah
pengetahuan yang ditunjukkan oleh fitrah
sesorang di dalam mata batinnya.177
Keistimewaan-keistimewaan di atas
tersebut membuat para ulama dan tokoh-
tokoh agama samawi memilih cara yang aling
sederhana ini dalam menjelaskan dan
membuktikan keberadaan Tuhan, serta
mengajak umatnya untuk berjalan menuju
hakikat Tuhan. Sedangkan kepada para
177
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Theological Instructions: An
Introduction To Contemporary Islamic Theology terj. Mirza Muhammad
Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK), 2006) Hal. 36. Lihat
pula Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida
Keyakinan. (Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 33. Lihat pula Muhammad
Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan.
(Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 74-75

149
Membuktikan Tuhan Itu Ada

pengikut setianya, mereka mengajarkan


metode argumentasi yang lain. Mereka pun
menggunakan argumen-argumen yang rumit
dalam perdebatan dan diskusi mereka dengan
para pemuka ateis (mulhid) atau para filsuf
materialis (maddiyah).
2. Tanda-Tanda Yang Jelas
Syaikh Mishbah menggolongkan argumen
teleologis sebagai argumen yang paling
mudah. Karena struktur pembuktiannya tidak
terlalu membutuhkan premis-premis yang
rumit, dan bisa menjangkau semua orang
dengan level pengetahuan yang beragam
sekalipun. Bahkan orang awam pun bisa
dengan mudah memahaminya. Dia menyebut
argumen teleologis ini dengan istilah tanda-
tanda yang jelas (familiar signs). Dalam
bahasa al-quran, tanda-tanda disebut ayat.
Syaikh Mishbah menguraikan bahwa cara
paling mudah untuk mengenal dan
menetapkan wujud Tuhan adalah dengan
merenungkan ayat-ayat atau tanda-tanda
kekuasaan Tuhan yang terhampar luas
membentang di semesta dan jagad raya ini.
Istilah yang biasa dipakai dalam al-quran
adalah memikirkan ayat-ayat Tuhan (tafakkur
li ayatillah). Tanda-tanda itu begitu nyata baik
dalam diri manusia sendiri atau di luar diri
manusia, baik yang ada di langit maupun di
bumi, baik yang ada di darat maupun di laut.
Semua itu memberikan jejak atau tanda-
tanda yang menunjukkan kepada hati untuk
beranjak menuju pusat wujud yang hadir
dalam setiap ruang dan waktu.178
178
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Theological Instructions: An
Introduction To Contemporary Islamic Theology terj. Mirza Muhammad
Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK), 2006) Hal. 36. Lihat
pula Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida
Keyakinan. (Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 75

150
Pilar Teduh

Buku yang ada dihadapan pembaca itu


juga merupakan salah satu tanda atau dalil
atas wujud Tuhan. Bagi orang-orang yang
berfikir, ketika membaca buku, pada saat itu
juga dia mestinya akan segera mengenal
keberadaan dan siapa pengarangnya dan
pasti mempunyai tujuan mengapa buku
tersebut disusun? Pernahkah kita berasumsi
bahwa buku itu muncul dari benda-benda
tertentu tanpa kehadiran seorang penulis
yang mempunyai motif dan tujuan?
Bukankah naif jika ada seseorang yang
dengan mudah percaya bahwa sebuah
ensiklopedi yang berjilid-jilid tercetak dan
terbit dari negeri antah berantah, atau
muncul akibat ledakan kandungan bumi,
kemudian serpihan-serpihan yang
berterbangan di udara, lalu menyatu dan
membentuk huruf-huruf terus tiba-tiba
membentur kertas-kertas dan jadilah sebuah
ensiklopedi yang tebal? Lebih tidak masuk di
akal lagi, apabila ada sesorang yang meyakini
bahwa alam semesta tercipta secara spontan
dan terjadi begitu saja, tanpa ada sebab
apapun. Bahkan orang percaya hal demikian,
lebih naif daripada orang yang meyakini
terciptanya buku dari satu ledakan bumi,
kemudian jadilah ensiklopedi yang berjilid-
jilid secara tiba-tiba.
sesungguhnya bila kita cermati secara
mendalam, setiap sistem terarah dan
bertujuan merupakan dalil yang
menunjukkan adanya pembuat sistem itu.
Coba kita saksikan sistem yang terjadi begitu
terarh dan bertujuan pada alam semesta ini
merupakan sistem universal yang
menunjukkan adanya Sang Pencipta Yang
Maha Bijak yang telah menciptakan sistem

151
Membuktikan Tuhan Itu Ada

tersebut dan sekaligus menjadi


pemeliharanya.
Bila kita berjalan ke taman-taman, maka
kita dapati bunga-bunga yang cantik
berwarna-warni, aromanya yang harum, dan
bentuknya yang indah, serta kita lihat pohon-
pohon yang menumbuhkan buah-buahan
yang segar, dengan rasa yang manis dan lezat
untuk dikonsumsi. Lalu perhatikan lagi
dengan seksama hewan-hewan seperti burung
yang terbang bebas, mengeluarkan kicauan
yang menggugah semangat di pagi hari. Coba
lihat lagi ayam yang mengeluarkan telurnya,
kemudian menetaskan anak ayam dari
cangkang telur itu. Juga anak sapi yang
ketika melahirkan anaknya, pada saat yang
sama kelur pula susu untuk asupan gizi bagi
anaknya. Seluruh fenomena itu merupakan
tanda-tanda kekuasaan, kebesaran, dan
wujud Sang Pencipta.
Sungguh merupakan penciptaan dan
pengaturan yang menakjubkan, dimana
keluarnya air susu dari kantong susu
induknya itu bersamaan dengan kelahiran
anak-anaknya. Ikan-ikan di laut yang setiap
tahunnya untuk pertama kali menempuh
perjalanan ribuan kilometer guna
mengeluarkan telurnya. Burung-burung laut
yang mengetahui sarang-sarangnya di antara
tumbuh-tumbuhan laut yang begitu banyak
dan beragam, tidak pernah sekalipun keliru
atau salah jalan ketika kembali ke sarangnya.
Lebah-lebah yang keluar dari sarangnya
setiap pagi lalu menempuh perjalanan yang
panjang untuk mengisap sari madu bunga-
bunga kemudian kembali pada malam hari ke

152
Pilar Teduh

sarang-sarangnya. Semua itu merupakan


tanda-tanda wujud dan kebesaran Tuhan.179
Yang lebih mengherankan lagi dan
membelalakkan mata dari itu semua adalah
bahwa lebah, sapi, atau kambing tersebut
menghasilkan madu dan susu melebihi
kebutuhannya dengan tujuan agar manusia
pun dapat mengambil manfaat darinya.
Hanya saja, sebagian dari manusia banyak
yang mengingkari nikmat dari Sang Pemberi
Karunia itu dan bahkan ada yang menantang-
Nya.
Sebagian tanda-tanda itu semua kita bisa
lihat terhampar luas pada alam semesta,
selain itu kita juga bisa melihat lebih banyak
tanda-tanda kekuasaan dan pengaturan Sang
Pencipta Yang Maha Bijak yang lebih
menakjubkan lagi pada diri manusia.
Bagiamana organ-organ tubuh manusia bisa
tersusun begitu rapihnya. Bayangkan saja
setiap organ tersusun dari jutaan sel yang
hidup secara mandiri. Padahal seluruh sel itu
tumbuh dan berasal dai satu sel betina.
Setiap sel itu mengandung bahan-bahan yang
dibutuhkan dengan porsi tertentu. Masing-
masing organ itu diletakkan pada tempatnya
yang sesuai. Coba kita perhatikan dengan
seksama bagaimana organ-organ berfungsi:
menghirup oksigen melalui paru-paru, lalu
memindahkannya melaluisel darah merah,
juga aktivitas hati untuk membuat gula yang
diperlukan, kemudian menyingkirkan sel-sel
yang rusak dan menggantikannya dengan sel-

179
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Theological Instructions: An
Introduction To Contemporary Islamic Theology terj. Mirza Muhammad
Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK), 2006) Hal. 37. Lihat
pula Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida
Keyakinan. (Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 76

153
Membuktikan Tuhan Itu Ada

sel yang baru dan memusnahkan kuman-


kuman melalui mekanisme tertentu.
Demikian pula cara kerja organ-organ tubuh
lain yang begitu mengagumkan. Semua itu
menunjukkan wujud dan kebesaran sang
penciptanya.180
Mungkin kita akan bertanya, siapakah
yang mengadakan sistem ciptaan yang begitu
mengesankan ini, dimana ribuan ilmuwan
sepanjang sejarah umat manusia tidak
mampu mengungkap rahasia-rahasia alam
penciptaan ini, kecuali hanya sedikit saja.
Setiap sel merupakan sistem kecil yang
mempunyai tujuan. Setiap kelompok dari sel-
sel itu membentuk anggota yang merupakan
sistem yang lebih besar. Kumpulan dari
kelompok-kelompok yang banyak dan rumit
itu membentuk satu sistem badan yang lebih
luas dan terarah pada tujuan yang khas.
Tidak berakhir sampai di situ saja.
Sistem-sistem yang tak terhingga, yang terdiri
dari makhluk-makhluk bernyawa dan tak
bernyawa itu, membentuk tata cipta yang
bersifat universal sebagai alam yang diatur
oleh Tuhan dengan pengaturan-Nya yang
cermat dan bijak. Hal ini sesuai dengan
firman Allah Swt: “Sesungguhnya Allah
menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan
biji buah-buahan. Dia mengeleuarkan yang
hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang
mati dari yang hidup. Demikian itulah Allah,
maka mengapa kamu masih berpaling?”.181

180
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Theological Instructions: An
Introduction To Contemporary Islamic Theology terj. Mirza Muhammad
Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK), 2006) Hal. 37. Lihat
pula Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida
Keyakinan. (Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 77
181
Qs. Al-an’am: 95

154
Pilar Teduh

Dengan demikian, jelaslah bahwa semakin


banyak dan luasnya pengetahuan manusia
dan semakin banyak sistem serta hubungan
antara fenomena alam yang dapat
disingkapkan, maka semakin jelas pula
rahasia-rahasia penciptaan alam semesta ini.
Dari sini, memikirkan fenomena alam yang
sederhana melalui dalil-dalil yang jelas saja,
sudah cukup bagi hati yang tulus untuk
membuktikan keberadaan Wujud Sang
Pencipta alam semesta Yang Maha Kuasa.
Inilah cara yang paling sederhana untuk
membuktikan keberadaan Tuhan. Jalan atau
metode yang digunakan adalah dengan
merenungkan tanda-tanda yang eksternal di
alam semesta yang luas, dengan segala sistem
yang luar biasa, dan mencermati tanda-tanda
yang internal pada tubuh manusia sendiri,
dengan semua sistem yang rumit dan teratur
menakjubkan. Semua keteraturan itu
memiliki fungsi masing-masing dan tujuan
tertentu. Dari semua tanda-tanda itu, nalar
manusia seharusnya bisa mengambil
kesimpulan bahwa ada pencipta sekaligus
pengatur Yang Maha Bijak dan Maha Cerdas
yang konsep itulah kita sebut sebagai Wujud
Tuhan. Dengan demikian, terbuktilah
eksistensi Tuhan lewat argumen yang biasa
dikenal argumen teleologis, atau yang biasa
dikenal di barat argument from design. Syaikh
Mishbah menganggapnya sebagai argumen
yang berada pada level yang paling sederhana.
Sehingga dapat digunakan untuk orang
awam.
E. Pembuktian Atas Konsep Wajib Al-Wujud
Pada pembahasan sebelumnya, telah
diuraikan beberapa argumentasi dalam
membuktikan eksistensi atau wujud Tuhan yang

155
Membuktikan Tuhan Itu Ada

biasa digunakan oleh para filsuf ketuhanan dan


para ulama teologi dengan derajat yang paling
sederhana. Argumen-argumen tersebut bisa
ditemukan dalam kitab-kitab filsafat maupun
teologi secara lebih rinci. Beberapa filsuf atau
teolog yang telah membahasanya dari tradisi
filsafat barat ada Willian Paley dan Thomas
Aquinas. Sedangkan dari filsafat Islam ada Ibn
Rusyd atau biasa dikenal sebagai Averroes.
Kali ini, kita akan mengajukan argumen
lain yang berlandaskan pada premis-premis yang
lebih sedkit, sehingga lebih mudah untuk
dipahami. Meskipun begitu, bobot argumen yang
nanti akan disampaikan, lebih kuat dari yang
sebelumnya. Argumen ini akan membuktikan
wujud Tuhan sebagai Wajib al-Wujud (Wujud
Niscaya Ada). Maksudnya, Tuhan itu ada, dan
keberadaan-Nya itu merupakan hal yang pasti
(dharuri), tanpa memerlukan sesuatu selainnya,
untuk mewujudkannya. Adapun untuk
menetapkan sifat-sifat Tuhan, baik yang positif
(tsubutiyah) maupun yang negatif (salbiyah)
seperti Tuhan yang berilmu, berkuasa, tidak
berjasad, tidak terbatas pada ruang dan waktu,
semua itu tidak dapat dibuktikan dengan
argumen ini, namun harus dibuktikan dengann
dalil lain.
1. Bentuk Argumentasi
Berdasarkan asumsi rasional. maka kita
akan dapati bahwa realitas itu dapat kita bagi
menjadi dua macam; Yakni, Wajib al-Wujud
(Wujud Niscaya Ada) dan mumkin al-wujud
(yang mungkin ada). Secara akal sehat, tidak
ada satu realitas pun yang keluar dari dua
asumsi tersebut. Sebagaimana kita juga tidak
mungkin mengatakan bahwa seluruh realitas

156
Pilar Teduh

itu mumkin al-wujud. Karena setiap mumkin al-


wujud pasti membutuhkan sebab.182
Apabila setiap sebab masih berupa
mumkin al-wujud, maka dia adalah akibat yang
tentunya membutuhkan kepada sebab yang
lain. Pada akhirnya, jika demikian adanya,
tidak akan ada realitas apapun sama sekali.
Karena, rangkaian sebab itu sebenarnya
adalah rangkaian akibat ‘yang mungkin’ dan
karena itu tidak pasti adanya. Maka dari itu,
rangkaian mumkin al-wujud menjadi ada
tatkala berakhir kepada suatu realitas yang
bukan lagi akibat dari realitas apapun.
Artinya, bahwa rangkaian wujud itu akan
berakhir pada Wajib al-Wujud.
Argumen ini adalah argumen yang berasal
dari tradisi filsafat yang menurut penulis
memiliki bobot yang sedang, bia dibandingkan
argumen teleologis sebelumnya dalam
menetapkan eksistensi Tuhan. Argumen ini
terdiri dari beberapa premis rasional, tanpa
menggunakan premis empiris seperti argumen
telologis. Akan tetapi, karena argumen
semacam ini biasanya menggunakan sejumlah
konsep dan istilah filosofis, maka terlebih
dahulu kita harus menjelaskan beberapa
istilah dan premis yang akan membentuk
argumen ini.
2. Wujud dan Imkan
Setiap proposisi (qadhiyah), bahkan yang
paling sederhana sekalipun, minimal harus
tersusun dari dua konsep; yakni subjek
(maudhu) dan predikat (mahmul). Misalnya
proposisi yang berbunyi, “Jamal ganteng.”
182
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Theological Instructions: An
Introduction To Contemporary Islamic Theology terj. Mirza Muhammad
Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK), 2006) Hal. 38. Lihat
pula Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida
Keyakinan. (Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 81

157
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Proposisi ini terdiri dari Jamal sebagai subjek


dan ganteng sebagai predikat.
Lalu, tertetapkannya predikat pada
subjek tidak keluar dari tiga keadaan;
Pertama, ketetapan predikat pada subjek
bersifat mustahil (mumtani’). Contohnya,
angka 1 lebih besar dari 2. Kedua,
tertetapkannya predikat pada subjek bersifat
pasti (dharuri). Contohnya, 1 itu adala ½ dari
2. Ketiga, tertetapkannya predikat pada subjek
bersifat tidak mustahil sekaligus tidak pasti.
Contohnya, bulan di atas kepala kita.183
Dalam logika dijelaskan bahwa proposisi
pada keadaan yang pertama itu bersifat
mustahil, contohnya angka 1 lebih besar dari
2. Kemudian pada keadaan kedua, proposisi
itu bersifat pasti, contohnya, angka 1 adalah
½ dari 2. Adapun pada keadaan ketiga,
proposisi itu bersifat mungkin dengan makna
khusus. Namun, filsafat hanya membahas
sesuatu yang ada, maka para filsuf membagi
realitas hanya dua bagian saja, yaitu Wajib al-
Wujud dan mumkin al-wujud.
Wajib al-Wujud adalah realitas yang ada
dengan sendirinya, tidak bergantung kepada
realitas yang lain. Tentu, realitas ini bersifat
azali (tidak bermula) dan abadi (tidak
berakhir). Karena, apabila sesuatu itu pernah
tiada (ma’dum) pada masa tertentu, itu
menunjukkan bahwa wujud tersebut tidaklah
berasal dari dirinya sendiri, tetapi wujudnya
itu membutuhkan kepada realitas selainnya,
yang merupakan menjadi sebab atau syarat
bagi keberadaannya. Tentunya, jika sebab atau
183
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Theological Instructions: An
Introduction To Contemporary Islamic Theology terj. Mirza Muhammad
Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK), 2006) Hal. 38. Lihat
pula Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida
Keyakinan. (Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 82

158
Pilar Teduh

syarat itu tidak ada, maka wujud tersebut


tidak akan mengada.
Sedangkan mumkin al-wujud adalah
realitas yang ada tidak dengan sendirinya,
tetapi wujudnya diadakan dan bergantung
kepada realitas selainnya. Dengan akata lain,
mumkin al-wujud tidak mungkin terwujud
kecuali dengan perantara selainnya.
Penjelasan rasional ini secara otomatis
menafikkan secara pasti adanya wujud yang
mustahil (mumtani al-wujud). Pada saat yang
sama, penjelasan ini tidak dapat
mengidentifikasi, apakah realitas itu ada di
luar Wajib al-Wujud ataukah mumkin al-wujud.
Dengan kata lain, kita bisa menggambarkan
kebenaran sebuah proposisi tersebut dengan
tiga asumsi. Sebagai berikut:
Pertama, setiap realitas itu Wajib al-Wujud.
Kedua, setiap realitas itu mumkin al-wujud.
Ketiga, sebagian realitas itu Wajib al-wujud,
dan sebagian lainnya adalah mumkin al-
wujud.184
Berdasarkan asumsi yang pertama dan
ketiga, keberadaan Wajib al-Wujud sudah
tertetapkan. Yang harus dikaji lebih jauh
adalah asumsi yang kedua, yaitu apakah
mungkin setiap realitas itu mumkin al-wujud?
Andai saja kita bisa menggugurkan asumsi ini,
maka kita dapat menegaskan keberadaan
Wajib al-Wujud secara pasti, meskipun untuk
menetapkan keesaan dan sifat-sifatNya
diperlukan argumentasi tersendiri.
Dalam rangka untuk menggugurkan asumsi
kedua, kita perlu menambahkan premis lain ke
184
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Theological Instructions: An
Introduction To Contemporary Islamic Theology terj. Mirza Muhammad
Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK), 2006) Hal. 39. Lihat
pula Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida
Keyakinan. (Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 83

159
Membuktikan Tuhan Itu Ada

dalam argumen terdahulu itu, yaitu bahwa


seluruh realitas tidak mungkin bersifat
mumkin al-wujud, namun premis ini bukanlah
jelas dengan sendirinya (self evident/badihi).
Oleh karena itu butuh pembuktian dengan
menggunakan premis-premis sebagai beriku:
- Bahwa mumkin al-wujud itu butuh kepada
sebab
- Bahwa rangkaian sebab yang tidak ada
ujungnya (tasalsul) adalah mustahil terjadi
(muhal). Maka dari itu, rangkaian sebab
harus berakhir kepada realitas yang bukan
berupa mumkin al-wujud dan juga tidak
butuh lagi kepada sebab. Tidak lain dia
adalah Wajib al-Wujud.185

Dari sinilah sebagian konsep filosofis lainnya


terlibat di dalam argumentasi ini dan perlu
kepada penjelasan.
3. Sebab dan Akibat
Apabila wujud pada realitas itu bergantung
kepada realitas yang lain, di dalam filsafat,
realitas yang bergantung itu disebut sebagai
akibat (ma’lul), dan realitas yang menjadi
tempat bergantungnya disebut sebagai sebab
(‘illah).186 Dan, boleh jadi sebab ini sendiri
masih bergantung kepada sebab yang lain.

185
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Theological Instructions: An
Introduction To Contemporary Islamic Theology terj. Mirza Muhammad
Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK), 2006) Hal. 38. Lihat
pula Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida
Keyakinan. (Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 84
186
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Philosophical Instructions: An
Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, ter. Muhammad
Legenhausen, (New York: Institute of Global Cultural Studies University of
Binghamton, 1999). Hal. 279. Lihat pula uraian tentang definisi kausalitas
pada Mohsen Gharawiyan, Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam,
terj. Muhammad Nur Djabir (Jakarta: Sadra Press, 2012) Hal. 105.

160
Pilar Teduh

Artinya, bahwa pada gilirannya, sebab itu


sendiri masih membutuhkan dan bergantung
kepada sebab yang lain, dimana ia juga adalah
akibat dari realitas ketiga ini. Namun, jika
sebab itu bukan akibat, dan tidak bergantung
kepada yang lain, maka Dia adalah sebab
Mutlak yang tidak butuh kepada selainnya
sama sekali. Dengan ini, kita telah mengenal
dua istilah filsafat: sebab dan akibat, serta
definisi dari keduanya.
Selanjutnya, kita akan menjelaskan
premis bahwa setiap mumkin al-wujud
membutuhkan kepada sebab. Mengingat
bahwa mumkin al-wujud itu tidak mengada
dengan sendirinya, maka mumkin al-wujud
tersebut bergantung kepada realitas yang lain.
Karena proposisi (qadhiyah) berikut ini jelas,
adakalanya predikat itu dibandingkan dengan
suatu subjek, adakalanya predikat itu bisa
ditetapkan pada subjek itu secara dzati
(substansial), dan adakalanya ditetapkan
secara aradhi (aksidental); karena sesuatu
yang lain).187
Misalnya, adakalanya sesuatu itu terang
secara substansial (dengan sendirinya), namun
adakalanya jugaia terang karena sesuatu yang
lain, misalnya cahaya. Atau, setiap benda
(jism) adakalanya berminyak dengan
sendirinya, atau berminyak dengan perantara
yang lain, seperti minyak. Adapun asumsi yang
menyatakan bahwa sesuatu itu terang atau
berminyak tidak dengan sendirinya atau tidak

187
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Theological Instructions: An
Introduction To Contemporary Islamic Theology terj. Mirza Muhammad
Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK), 2006) Hal. 39. Lihat
pula Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida
Keyakinan. (Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 85

161
Membuktikan Tuhan Itu Ada

pula melalui perantara yang lain, adalah


asumsi yang absurd.
Maka dari itu, adakalanya ketetapan
wujud (sebagai predikat) pada suatu subjek
secara substansial, yaitu dengan sendirinya
dan tanpa perantara yang lain (bil-dzat), atau
dengan perantara yang lain (bil-ghayr). Apabila
ketetapan wujud pada suatu subjek tidak
dengan sendirinya, pastu wujudnya itu
ditetapkan dengan perantara yang lain. Atas
dasar ini, setiap mumkin al-wujud (yang
mungkin wujudnya) itu ada dengan perantara
yang lain dan ia adalah akibat baginya.
Adalah kaidah logika yang diterima oleh
semua orang yang berakal, bahwa setiap
mumkin al-wujud membutuhkan sebab.
Namun, berangkat dari pengertian hukum
kausalitas, bahwa setiap realitas
membutuhkan kepada sebab, sebagian orang
menganggap dengan begitu, berarti eksistensi
Tuhan juga membutuhkan sebab. Menurut
Syaikh Mishbah, mereka telah lalai bahwa
yang menjadi subjek pada hukum kausalitas
adalah realitas yang mumkin atau ma’lul
(akibat), bukan realitas secara mutlak. Dengan
kata lain, setiap realitas ‘yang tidak berdiri
sendiri’ membutuhkan sebab, bukan setiap
realitas tanpa ajektif itu.188

4. Kemustahilan Tasalsul
Premis yang terakhir yang telah kita
gunakan dalam argumentasi ini adalah bahwa
mata rantai sebab harus berakhir pada yang
dirinya bukan lagi akibat. Sebagaimana yang
188
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Theological Instructions: An
Introduction To Contemporary Islamic Theology terj. Mirza Muhammad
Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK), 2006) Hal. 40. Lihat
pula Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida
Keyakinan. (Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 85

162
Pilar Teduh

telah dikemukakan oleh ahli teologi, bahwa


mata rantai akibat-sebab yang tak berujung (
tasalsul) itu mustahil (muhal). Atas dasar ini,
dapat dibuktikan bahwa Wujud Tuhan sebagai
Wajib al-Wujud. Bahwa Wajib al-Wujud
merupakan Sebab Pertama (Prime Cause) yang
ada dengan sendirinya dan tidak perlu kepada
wujud yang lain.
Sebenarnya, perkara kemutahilan tasalsul
ini menurut Syaikh Mishbah adalah mendekati
badihi (self evident). Meskipun begitu, para
filsuf tetap saja mengajukan bergagai argumen
untuk menunjukkan kemustahilan tasalsul ini
dengan tujuan tertentu. Baik untuk
memperkuat argumentasi, atau menentang
orang yang masih memperdebatkan tasalsul
ini. Padahal setiap orang, sejenak saja
mencoba untuk merenung, pasti dia akan
mendapati bahwa tasalsul adalah sebuah
kemustahilan. Artinya, setiap wujud akibat
sudah niscaya butuh kepada sebab. Karena
eksistensi atau keberadaannya disyarati oleh
keberadaan sebab tersebut.
apabila diasumsikan bahwa segala
sesuatu adalah akibat, yang oleh karena itu
semuanya membutuhkan sebab, tentu tidak
akan terealisasi realitas apapun. Karena tidak
masuk akal mengasumsikan adanya mata-
rantai yang saling bergantungan tanpa suatu
wujud yang merupakan puncak
kebergantungan mata rantai tersebut.
Sebagai permisalan, ada sebuah lomba
lari maraton. Seluruh peserta sudah berada di
garis start, itu tandanya mereka sudah siap
untuk berlomba. Akan tetapi, setiap anggota
tidak mau memulai berlari, kecuali yang
lainnya lari terlebih dahulu. Nah, disinilah
letak kekacauannya. Apabila keputusan

163
Membuktikan Tuhan Itu Ada

semacam ini diambil oleh seluruh peserta,


maka tidak akan terjadi perlombaan tersebut.
Seperti halnya, bila wujud segala sesuatu
mumkin al-wujud, yakni sesuatu itu disyarati
dengan wujud yang lain, maka tidak akan
terwujud sesuatu apapun.189
Dengan demikian, adanya hal-hal objektif
di luar ini merupakan bukti atas keberadaan
realitas yang tidak membutuhkan; yang
wujudnya itu tidak disyarati oleh wujud
selainnya.
5. Perumusan Argumen
Berdasarkan premis-premis yang telah
diuraikan di atas, kita bisa menjelaskan
sebuah rumusan argumen sebagai berikut;
Bahwa wujud segala sesuatu itu tidak lepas
dari dua kondisi. Yaitu, bila tidak wujudnya
bersifat pasti (dharuri) dan ada dengan
sendirinya, yang kemudian diistilahkan
sebagai Wajib al-Wujud (Wujud Niscaya Ada),
atau tidak bersifat dharuri, maka wujudnya
pasti bergantung kepada yang lain, yang
kemudian disebut sebagai mumkin al-wujud.
Dengan demikian, sesuatu itu hanya ada
dua pilihan, bila tidak wajib al-Wujud, berarti
mumkin al-wujud. Tidak ada pilihan ketiga.
Adapun bila wujud itu bersifat mustahil ada
(mumtani’), maka sesuatu itu tidak akan
terwujud sama sekali, dan karena itu itu kita
tidak akan menganggapnya sebagai sesuatu
apapun. Mumtani’ hanya ada pada proposisi
sederhana sebagai predikat terhadap subjek.
Misalnya, 2 lebih besar dari 4. Predikasi inipun
tidak berarti apa-apa. Karena sesuatu itu
189
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Theological Instructions: An
Introduction To Contemporary Islamic Theology terj. Mirza Muhammad
Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK), 2006) Hal. 39. Lihat
pula Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida
Keyakinan. (Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 86

164
Pilar Teduh

selamanya tidak akan pernah terjadi. Maka


dari itu, setiap sesuatu itu adalah sebagai
wujud Niscaya Ada (Wajib al-Wujud) atau
wujud kontingen (mumkin al-wujud).
Kemudian jika kita pikirkan konsep
mumkin al-wujud dengan cermat, jelas bahwa
sesuatu yang menjadi misdak dari konsep itu
sudah pasti sebagai akibat dan membutuhkan
akan sebab. Karena sudah dipahami, bahwa
sesuatu yang tidak dengan sendirinya ada dan
keberadaannya tersebut membutuhkan
kepada perantara yang lainnya, wujudnya itu
menjadi niscaya melalui perantara lainnya.
Sebagaimana setiap sifat yang tidak bisa
diterapkan dengan sendirinya, mesti
ditetapkan dengan perantara.
Inilah poin utama yang dimaksud dari
hukum kausalitas, bahwa setiap sesuatu yang
wujudnya itu lemah dan memiliki
ketergantungan dan bersifat mumkin al-wujud,
tentu saja ia membutuhkan sebab. Ketika
dinyatakan bahwa ‘setiap sesuatu’’
membutuhkan sebab, itu bukan berarti bahwa
Tuhan pun butuh kepada sebab, tidak pula
berarti bahwa iman kepada Tuhan, Zat yang
tak bersebab, bertentangan dengan
kausalitas.190
Dari sisi lain, jika dikatakan bahwa setiap
yang ada itu adalah mumkin al-wujud dan
butuh kepada sebab, maka tidak akan ada
sesuatu apapun. hal ini sebagaimana seperti
lomba lari maraton yang telah dikemukakan
sebelumnya. Bahwa setiap peserta
menggantungkan keputusan larinya kepada
190
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Theological Instructions: An
Introduction To Contemporary Islamic Theology terj. Mirza Muhammad
Abbas Rida (Qum: Institute of Imam Khomeini (IIK), 2006) Hal. 41. Lihat
pula Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida
Keyakinan. (Jakarta: Nur Al-Huda, 2012) Hal. 87

165
Membuktikan Tuhan Itu Ada

yang lainnya, maka niscaya batal sudah


perlombaan lari tersebut. Dengan demikian,
hal-hal yang ada di luar itu merupakan dalil
atas keberadaan Wujud Niscaya Ada (Wajib al-
Wujud).
F. Burhan Shiddiqin
Demonstrasi ini dirumuskan oleh Ṣadr al-
Muta'allihīn atas dasar prinsip-prinsip teosofi
transenden (ḥikmat-e muta'āliyyah) yang telah dia
kemukakan sendiri, dan dia menganggapnya
sebagai demonstrasi yang paling tegas dan paling
pasti layak disebut demonstrasi yang lurus
(Burhan Shiddiqin).Demonstrasi ini telah
dirumuskan dalam sejumlah versi yang berbeda,
namun tampaknya yang terkuat dari mereka
adalah yang dia rumuskan sendiri, Yang
dirumuskan terdiri dari tiga premis:

Pertama, fundamentalitas eksistensi dan


Kei'tibarian Mahiyah.
Kedua, memiliki tingkat untuk eksistensi dan
gradasi khususnya (tashkīke khāṣṣ) antara sebab
dan akibat, sehingga keberadaan akibatnya tidak
memiliki kemandirian dari eksistensi penyebab
pemberi eksistensi.

Ketiga, kriteria kebutuhan akan akibat


penyebabnya adalah relatif dan ketergantungan
keberadaannya pada penyebab; Dengan kata lain,
itu adalah kefakiran dari tingkat keberadaannya,
dan selama ada kefakiran dalam suatu eksistensi
itu tentu akan menjadi akibat dan membutuhkan
yang lebih tinggi dan tidak akan ada kemandirian
darinya.

Dengan premis-premis ini, Demonstrasi


yang lurus, dapat dirumuskan sesuai dengan
selera Ṣadr al-Muta'allihīn sebagai berikut:

166
Pilar Teduh

Tingkat eksistensi - kecuali tingkat tertinggi, yang


memiliki kesempurnaan tak terbatas dan absolut
serta Zat yang mandiri - adalah wujud
bergantung pada drinya sendiri, dan jika pada
tingkat tertinggi tidak terjadi, juga tidak pada
tingkat lainnya, karena asumsi yang tersirat
tentang terjadinya pada tingkat lainnya tanpa
terjadi pada tingkat eksistensi tertinggi, akan
menjadi independen dan tanpa membutuhkan
selainnya, sementara itu aspek eksistensial
(keberadaan) mereka adalah relasi itu sendiri,
kefakiran serta kebutuhan mereka terhadap
wujud yang lebih tinggi darinya.

Selain fakta bahwa ia memiliki


keunggulan dibandingkan demonstrasi Ibn Sīnā,
demonstrasi ini juga memiliki beberapa
keunggulan lainnya.Salah satunya adalah bahwa
demonstrasi ini bergantung pada konsep
eksistensi, dan tidak ada apa pun atau
kontingensi apapun yang disebutkan. Jelas
demonstrasi semacam itu lebih sesuai dengan
doktrin fundamentalitas eksistensi.

Yang kedua adalah bahwa hal itu tidak


memerlukan penolakan terhadap daur atau
tasalsul, tapi justru demonstrasi itu sendiri
menunjukan kemustahilan adanya asumsi
tasalsul pada penyebab efisien. Yang ketiga
adalah dengan bantuan demonstrasi yang sama,
tidak hanya kesatuan, tapi juga beberapa sifat
lain dari kesempurnaan Tuhan Yang Maha Esa
telah ditetapkan.

Bab V
Penutup
A. Kesimpulan

167
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Setelah penulis menguraikan pembahasan


mengenai kemampuan akal dalam membuktikan
eksistensi Tuhan perspektif Muhammad Taqi
Mishbah Yazdi, dalam bab demi bab, akhirnya
kita bisa menarik beberapa kesimpulan yang
menjadi intisari dari karya ilmiah ini. Adapun
kesimpulan yang bisa kita dapatkan adalah
sebagai berikut:
1. Pandangan para penolak eksistensi Tuhan
baik ateisme atau agnostik menggunakan
pandangan dunia (world view) emipiris dan
eksperimental yang biasa digunakan dalam
pengetahuan ilmiah (sains). Oleh karena itu,
konsekuensi logisnya menurut Muhammad
Taqi Mishbah Yazdi, mereka seharusnya tidak
bisa menetapkan atau menolak eksistensi
Tuhan yang jelas-jelas di luar jangkauan
mereka. Karena ruang lingkup pengetahuan
ilmiah hanya terbatas pada dunia materi,
sedangkan eksistensi Tuhan adalah immateri.
Tidak mungkin sesuatu yang immateri dapat
dianalisis di dalam ruang laboratorium.
2. Ada banyak cara untuk mengenal Tuhan dari
yang paling sederhana seperti melihat tanda-
tanda di alam semesta menunjukkan ada
penciptanya, atau cara yang sedang melalui
hukum kausalitas, bahwa setiap akibat
membutuhkan sebab. Alam ini adalah akibat
maka dari itu ia membutuhkan sebab.
Namun, argumen ini masih perlu menjelaskan
kemustahilan daur dan tasalsul. Adapun
argumen yang paling rumit dan dipilih oleh
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi adalah
Burhan Shiddiqin. Yakni membuktikan
Wajibul Wujud (Tuhan) melalui Tuhan itu
sendiri. Karena tidak ada di dunia ini yang

168
Pilar Teduh

tidak terlepas dari “Ada”. Dialah Yang Maha


Ada.
B. Saran
Setelah mengkaji tentang tema Filsafat
Ketuhanan dalam pandangan para Filosof Barat
dan Perspektif Filsafat Islam penulis banyak
mendapatkan penemuan intelektual yang
menarik. Bahwa mengenal Tuhan itu tidak hanya
secara khusus melalui agama. Tapi juga bisa
melalui Sains dann Filsafat serta Tasawuf. Tapi,
ternyata dari semua itu, dasar yang harus
ditempuh adalah Filsafat, bahkan sebelum
agama.

Bagaimana kita memyakini ajaran suatu agama


yang bersumber dari kitab suci, dan kitab suci itu
berasal dari nabi, serta nabi sendiri adalah
utusan Tuhan. Tapi, Tuhan itu sendiri belum bisa
dibuktikan ada atau tidak adanya secara positif.
Bila Tuhan sudah mampu dibuktikan dan
hasilnya positif benar-benar ada, barulah kita
akan berbicara agama. Namun, bila eksistensi
Tuhan itu hasilnya negatif atau tidak ada. Maka
runtuhlah pondasi agama. Kita akan sia-sia
meyakini agama, tanpa adanya unsur ketuhanan
di dalamnya.

Hemat penulis, membahas dan mendialogkan


keyakinan ketuhanan dengan pendekatan
rasional itu sangat diperlukan. Terlebih di
Indonesia ini, pembahasan seperti ini jarang
sekali dilakukan. Agama Islam di Indonesia lebih
dominan kepada Fiqih Oriented. Hanya seputar
halal dan haram, boleh dan tidak boleh. Seperti
agama hanya seputar hukum saja (Law Oriented
Religion).

169
Membuktikan Tuhan Itu Ada

Sisi negatif dari pendekatan ini, orang-orang


pemeluk agama akan paranoid. Agama seperti
penuh dengan seabrek peraturan dan terkesan
menakutkan. Maka dari itu akan timbul
pemikiran bahwa beragama itu sulit dan
merepotkan. Berbeda jika agama bisa
diperbincangkan dengan akal sehat, rasional, dan
masuk akal. Agama mampu mecerdaskan dan
mencerahkan pemikiran manusia. Sehingga
agama bisa dijalankan dengan penuh kesadaran,
tanpa paksaan.

170
Pilar Teduh

Tentang Penulis

Jamal. Lahir di
daerah pesisir
pantai utara
Desa Pabean
Ilir, Blok Tegur
RT. 20. RW. 05.
N0 47. 45219
Kecamatan
Pasekan,
Kabupaten
Indramayu,
Jawa Barat
pada hari
Jum’at 22 April
1994. Riwayat
pendidikan
dasar, penulis
tempuh di SDN Pabean Ilir III. Kemudian penulis
melanjutkan di SMPN 1 Pasekan. Setelah itu, penulis
mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan
pendidikan di Islamic Boarding School SMA Unggulan
Da’i An-Nur. Penulis pernah menjadi peserta pemilihan
murid berprestasi Indramayu mewakili SD hingga SMP.
Ketika SMP, penulis aktif dalam organisasi siswa intra
sekolah (osis) sebagai ketua dan ekstrakurikuler
Pramuka. Begitupun ketika SMA, penulis juga sempat
aktif dalam osis sebagai ketua dan ekstrakurikuler
paskibra, Beladiri Tarung Derajat, dan sebagai vokalis
grup band bernama Adventure hingga berhasil meraih
juara 1 tingkat pelajar nasional di Universitas Indonesia,
pada peringatan Geography-Festival tahun 2012. Selain
tertarik pada seni musik, penulis juga hobi menulis puisi
dan syair. Beberapa karya lagu telah dibuat di studio
rekaman. Selain itu, satu film yang penulis bintangi
sendiri berjudul “Bingkisan An-Nur” juga sudah bisa di
tonton di channel Youtube. Saat ini, penulis aktif di
organisasi Forum Himpunan Mahasiswa (FHM) Sadra
sebagai ketua, pengurus Himpunan Mahasiswa Islam

171
Membuktikan Tuhan Itu Ada

(HMI) Komisariat Sadra Fatmawati, Komunitas Pemuda


Nusantara (PENA), Sekolah Politik Kerakyatan Parta
Amanat Nasional (SPK-PAN), Barisan Muda (BM) PAN,
serta komunitas seni Teatrikal dan Satra (Teras).
Beberapa prestasi telah diraih oleh penulis. seperti juara
IV olimpiade geografi tingkat kabupaten Indramayu, dan
mewakili kabupaten tersebut berlomba di Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI), Juara 1 Puisi dan Cerpen
tingkat SMA Unggulan Da’i An-Nur, Juara 1 Adzan di
SMA yang sama, peringkat akademik 1 SDN Pabean Ilir
III, SMPN 1 Pasekan, dan SMA Unggulan Da’i An-Nur,
Juara 1 Logic Contest STFI Sadra, Juara 1 Orasi STFI
Sadra, dan Juara 2 Futsal STFI Sadra.

172
Pilar Teduh

173

Anda mungkin juga menyukai