Anda di halaman 1dari 4

Agama Bukan Fenomena Alam

 October 3, 2021  Muhammad Nuruddin


Dalam tulisan sebelumnya telah penulis jelaskan bahwa tidak tepat jika kita
memaknai agama sebagai sistem sosial, seperti definisi yang dikemukakan oleh
Dennet. Jantung terdalam dari ajaran agama bukanlah pemikiran-pemikiran
yang dikreasiakan oleh para pemeluknya, ataupun praktek-praktek yang terlihat
oleh kasat mata, melainkan pesan-pesan dan aturan yang diyakini berasal dari
Allah Swt. Istilah lebih ringkasnya ialah wahyu. Jantung terdalam dari hakikat
agama itu berada pada wahyu, yang diyakini sebagai informasi ilahi. 
Kita katakan juga di sana bahwa agama tidaklah disebut agama kecuali memuat
tiga hal. Satu, Tuhan, sebagai dzat yang disembah. Dua, hamba, sebagai
penyembah. Dan yang ketiga ialah aturan, yang mengatur hubungan antara
keduanya. Atas dasar itu, jika tidak ada sesuatu yang diyakini sebagai Tuhan,
dan aturan yang berasal dari diri-Nya, maka sebagai konsekuensinya kita tidak
dapat menamai sesuatu itu sebagai agama. Sekarang kita berlanjut pada
pertanyaan selanjutnya, apakah agama dapat kita sebut sebagai fenomena
alam, sehingga dengan begitu kita dapat mengamatinya dengan kaca mata
sains? 

Tentu saja, Dennet, dan orang-orang Ateis pada umumnya, akan menjawab
pertanyaan ini secara afirmatif. Bagi mereka, agama itu tidak lebih dari sekedar
hasil pemikiran umat manusia semata. Dari kutipan yang telah kita sertakan
dalam tulisan yang lalu, jelas terlihat bahwa Dennet memang memandang
agama sebagai fenomena alam biasa. Yang jadi pertanyaan, apakah klaim itu
tepat? Apa benar agama itu bisa kita katakan sebagai fenomena alam? Inilah
yang akan kita jawab. 

Sebetulnya, jawaban untuk pertanyaan ini pada akhirnya akan menggiring kita
kembali pada perdebatan tentang definisi agama itu sendiri. Apakah agama itu
fenomena alam atau bukan, itu bergantung pada definisi agama itu sendiri. Jika
Anda sepakat dengan paparan penulis sebelumnya, yang memandang agama
sebagai aturan ilahi, atau aturan yang berasal dari Tuhan, yang ditujukan pada
sosok-sosok yang bernalar sehat, rasanya tidak begitu sulit bagi kita untuk
menafikan ketepatan klaim tersebut. 

Seperti yang telah penulis kemukakan di sana, bahwa agama dan keberagamaan
adalah dua hal yang berbeda. Dan Dennet, sayangnya, tidak membedakan
kedua hal itu. Agama itu aturan yang berasal dari Tuhan. Sementara
keberagamaan ialah hasil pemahaman dan pengamalan umat beragama
terhadap pesan-pesan yang berasal dari Tuhan itu. Jika Anda memandang
agama sebagai pesan-pesan yang datang dari Tuhan, maka jelas dia bukan
bagian dari fenomena alam. 

Ya, jika yang Anda maksud dengan agama itu ialah keberagamaan, dan
keberagamaan itu sendiri merupakan sesuatu yang kasat dan terlihat, mungkin
ketika itu Anda dapat memandang agama sebagai bagian dari fenomena alam.
Atau katakanlah fenomena kemanusiaan. Tapi, sekali lagi, yang Anda duga
sebagai agama itu pada hakikatnya bukanlah agama. Itu hanyalah pemahaman
dan pengamalan seseorang atau kelompok terhadap agama, bukan agama itu
sendiri. Dan itulah yang kita sebut dengan keberagamaan. 

Jika Anda sepakat dalam pembedaan dua hal ini, maka omong kosong belaka
kalau ada orang yang melihat agama sebagai fenomena alamiah, dan
mengkritiknya dengan metode penelitian yang diajukan oleh para ilmuwan.
Pengalaman kewahyuan bukanlah sesuatu yang berada dalam jangkauan sains.
Karena sosok yang menyampaikan wahyu itu sendiri bukanlah sosok yang
keberadaannya dapat dibuktikan, maupun dinafikan oleh sains. Yang
menyampaikan wahyu itu ialah wujud metafisik. Sementara sains hanya
memberikan penjelasan tentang alam fisik. 

Dan karena itu memaksa sains untuk berbicara tentang sesuatu yang berada “di
luar” lingkup kajiannya sama saja dengan memaksa seseorang untuk berbicara
tentang sesuatu yang bukan bagian dari keahliannya. Jika wahyu diartikan
sebagai informasi yang berasal dari Tuhan, dan Tuhan itu sendiri bukanlah
wujud yang merupakan bagian dari alam, maka ketika itu agama tidak bisa
didekati dengan metode ilmu-ilmu alam. Agama tidak bisa diuji kesahihannya
dengan menggunakan metode sains, dengan alasan yang telah penulis
kemukakan tadi. 

Ya, Anda bisa mencermati keberagamaan, sebagai bagian dari fenomena


kemanusiaan, melalui kacamata sains. Kalaulah Anda tertarik untuk melakukan
itu. Tapi, harap diingat, bahwa dengan cara seperti itu, Anda tidak akan pernah
mampu menyentuh sisi terdalam dari ajaran agama. Yang Anda sentuh
hanyalah sisi-sisi permukaan dari agama saja, bukan hakikat dari agama itu
sendiri. 

Jadi, apakah agama merupakan bagian dari fenomena alam, dan karena itu dia
bisa diuji dengan menggunakan metode ilmu-ilmu alam? Barangkali kita bisa
sepakat dengan Dennett, bahwa, sekali lagi, jika yang dimaksud dengan agama
itu ialah “pengalaman, kepercayaan, praktik, teks, artefak, lembaga, konflik, dan
sejarah keagamaan Homo Sapiens, maka ini”, demikian Dennett menegaskan
pandangannya, “adalah katalog tebal tentang fenomena alam yang tidak
diragukan.” “Secara psikologis”, lanjut Dennet, “halusinasi karena obat-obatan
dan kecanduan karena agama sama-sama bisa dikaji oleh ilmuwan saraf dan
psikolog.” (hlm. 29)

Tapi, lagi-lagi kita katakan bahwa yang Dennett katakan sebagai agama ini
sebetulnya bukan hakikat terdalam dari ajaran agama itu sendiri. Yang dia
katakan sebagai agama itu ialah fenomena keberagamaan yang terlahir dari
pemahaman, pengamalan dan penghayatan yang bersangkutan terhadap ajaran
agama yang dianutnya. Bukan agama sebagai pesan-pesan yang berasal dari
Tuhan. Dan kesimpulan ini sebenarnya terlahir karena sejak awal Dennett
sendiri sudah keliru dalam memaknai hakikat agama itu. Kesimpulan yang keliru
memang sering terlahir dari konsepsi yang tidak tepat. 

Di bagian tulisannya yang lain, Dennet tampaknya tidak dapat memungkiri


bahwa “mungkin ada ranah yang dikuasai oleh agama—wilayah aktivitas
manusia yang tidak dapat dijangkau oleh sains—tapi itu bukan berarti sains
tidak dapat atau tidak boleh mempelajari fakta tersebut.” (hlm. 30) Ini penggalan
kalimat yang, menurut saya, agak lucu. Kalau memang terbukti bahwa ada sisi-
sisi agama yang tidak dapat dijangkau oleh sains, seperti yang dia katakan
sendiri, lantas apa gunanya sains memasuki wilayah yang tidak dapat
dijangkaunya itu? 

Ya kalau soal boleh sih tentu saja boleh. Tapi, pada akhirnya, kesimpulan-
kesimpulan yang akan dilahirkan oleh sains dalam memandang agama adalah
kesimpulan spekulatif yang mudah kita sangsikan kesahihannya. Kenapa? Ya
karena dia membahas tentang sesuatu yang bukan berada dalam wilayah
lingkup kajiannya. Apa yang akan Anda katakan kalau ada seorang penjual
sayuran di pinggiran jalan ingin berbicara tentang persoalan politik global
beserta solusi-solusinya?

Apakah Anda akan yakin dengan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya?


Apakah Anda memandang sikap semacam itu sebagai sikap yang bijak, yang
mencerminkan kearifan seorang ilmuwan? Tentu saja tidak. Begitu juga halnya
kalau sains “dipaksa” untuk berbicara tentang sesuatu yang berada di luar
jangkauannya. Kata Dennet, “saya tidak sedang menyarankan agar sains
berusaha melakukan apa yang dilakukan agama, tapi sains harus mempelajari,
secara ilmiah, apa yang dilakukan agama.” (hlm. 30) 

Saya tidak membayangkan betapa lucunya kalau ada orang bilang, “saya tidak
sedang menyarankan penjual sayur untuk berusaha melakukan apa yang telah
dilakukan oleh para politisi. Tapi para tukang sayur harus berusaha, dalam
kapasitasnya sebagai tukang sayur, untuk bicara tentang politik sesuai dengan
kapasitasnya.” Kelucuan yang sama sebetulnya dapat kita jumpai pada orang-
orang yang memaksa sains untuk berbicara tentang sesuatu yang berada di luar
bidang kajiannya. Jika ada orang yang menolak keberadaan Tuhan, atau
mencampakkan agama, atas nama sains, maka sesungguhnya dia termasuk
orang yang tengah mempertontonkan kelucuan itu. 

Dari paparan yang lalu kita sudah membuktikan bahwa definisi Dennett tentang
agama adalah definisi yang keliru. Dan kesimpulannya yang memandang agama
sebagai fenomena alam terlahir dari konsepsi yang keliru itu. Sebagai orang
yang tidak percaya kepada Tuhan, memang wajar kalau dia punya pandangan
demikian. Tetapi, jika keberadaan Tuhan itu sendiri mampu dibuktikan dengan
argumen-argumen yang meyakinkan, dan aturan yang berasal dari Tuhan itu
terbukti sebagai jantung utama dari ajaran agama, maka ketika itu Dennett
perlu meninjau pandangannya, seraya sadar dengan kenyataan bahwa agama
dan keberagamaan adalah dua hal yang berbeda. Demikian, wallâhu ‘alam
bisshawâb.

Anda mungkin juga menyukai