Anda di halaman 1dari 20

PAHLAWAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

1. Sultan Agung

Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa: Sultan Agung


Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat:
Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645) adalah Sultan ke-tiga Kesultanan
Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya,
Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah
ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No.
106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.

Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan
Raden Mas Rangsang. Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam
usia 20 tahun menggantikan adiknya(beda ibu), Adipati Martapura, yang hanya
menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas
Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum
dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita tuna grahita diangkat
hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya,
Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian,
patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan
oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 mulai
dibangun istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota Gede,
yang kelak mulai ditempati pada tahun 1618.
Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614
Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang.
Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh
Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa
sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim
duta untuk mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah.
Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut
melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama
dengan VOC.
Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jayakarta di bagian Barat pulau Jawa
yang belum ditaklukkan Mataram, dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas
mereka pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut,
Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan
menghadapi Surabaya dan Banten.
Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC.
Kedua pihak saling mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak
membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik
kedua pihak pun putus.
Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia
untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram.
Tawaran tersebut ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk
menyatakan perang.
Maka, pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung
Bahureksa, bupati Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober
dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah
10.000 prajurit. Perang besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram
mengalami kehancuran karena kurang perbekalan. Menanggapi kekalahan ini Sultan
Agung bertindak tegas, pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk
menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC
menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun
berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629,
sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total
semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara
mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC
berhasil memusnahkan semuanya.
Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung
berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan
timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu
J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.
Sultan Agung pantang menyerah dalam perseteruannya dengan VOC
Belanda. Ia mencoba menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis untuk
bersama-sama menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun
1635 karena ia menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah.

2. Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Serang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno
Edi (Serang, Purwodadi, Jawa Tengah, 1752 - Yogyakarta, 1828) adalah seorang
Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah anak Pangeran Natapraja yang menguasai
wilayah terpencil dari kerajaan Mataram tepatnya di Serang yang sekarang wilayah
perbatasan Grobogan-Sragen. Setelah ayahnya wafat Nyi Ageng Serang
menggantikan kedudukan ayahnya. Nyi Ageng Serang adalah salah satu keturunan
Sunan Kalijaga, ia juga mempunyai keturunan seorang Pahlawan nasional yaitu
Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara.
Ia dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo. Ia pahlawan nasional yang
hampir terlupakan,mungkin karena namanya tak sepopuler R.A. Kartini atau Cut
Nyak Dhien tapi ia sangat berjasa bagi negeri ini.Warga Kulon Progo mengabadikan
monumennya di tengah kota Wates berupa patungnya yang sedang menaiki kuda
dengan gagah berani membawa tombak.

3. Teungku Chik di Tiro

Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman (Tiro, Pidie, 1836 – Aneuk


Galong, Aceh Besar, Januari 1891) adalah seorang pahlawan nasional dari Aceh.

Teungku Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah.


Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda
Tiro. Ia lahir pada tahun 1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng
kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan dalam
lingkungan agama yang ketat.
Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu
agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di
sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam
berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang
diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda,
kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini
dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang
Sabil.
Dengan perang sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu
pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya.
Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng
Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di sekitar
kota Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie
stelsel) yaitu membuat benteng yang mengelilingi wilayah yang masih dikuasainya.
Belanda yang merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan
mengirim makanan yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun ia
memakannya, dan akhirnya Muhammad Saman meninggal pada bulan Januari 1891
di benteng Aneuk Galong.

4. Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan
Aceh, 1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung
Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang
berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim
diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan
Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang
menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan
Belanda.

Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak
Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar
memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk
menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut
Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar
bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang
Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di
pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua
dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama
Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. [2][3] Ia akhirnya ditangkap dan
dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun,
keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih
berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien
dibuang ke Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908
dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini
diabadikan sebagai Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya di Meulaboh.
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan
mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van
Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang
dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan
Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirim
3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai
Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya
Baiturrahman dan membakarnya. Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang
pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak
kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873.
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah
VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh
pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu
dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya
bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29
Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan
menghancurkan Belanda.
Cut Nyak Dien, setelah tertangkap oleh pihak Belanda
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya
Cut Nyak Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk
ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan
menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya
moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir).
Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut
Gambang.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar
tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan
hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893,
Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan
"menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang
berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar
Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda
dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda,
meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia
datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya.[1][2] Cut Nyak Dien berusaha
menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus
berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik
Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit
yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar
melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin
menyerang basis Aceh.
Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh
(Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan
mengganti jendral yang bertugas.[1] Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh.
Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu,
kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang
menghancurkan semua yang ada di jalannya. Akibat dari hal ini, pasukan Belanda
merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De
Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena
banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan
ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.[1]
Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan
mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai
informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang
Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak
peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian
ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:
“ Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata
pada orang yang sudah syahid ”
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah
pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya.
Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara
Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien
sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan
juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit memperoleh makanan. Hal ini
membuat iba para pasukan-pasukannya.
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi
markasnya kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut
Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien
berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi
Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda. Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut
Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah
dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya
yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan
permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden
Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106
Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

5. Pangeran Diponegoro

Bendara Pangeran Harya Dipanegara (lebih dikenal dengan nama


Diponegoro, lahir di Ngayogyakarta Hadiningrat, 11 November 1785 – meninggal di
Makassar, Hindia Belanda, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang
pahlawan nasional Republik Indonesia. Pangeran Diponegoro terkenal karena
memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah
Hindia Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban paling besar
dalam sejarah Indonesia.
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah
milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah muak dengan
kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat
mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati
dan dukungan rakyat. Atas saran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro
menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah gua yang bernama Gua
Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang
sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan
Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah
seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan
Diponegoro di Gua Selarong. Perjuangan Pangeran Diponegoro ini didukung oleh
Sunan Pakubuwana VI dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara
dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro.
Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa
saja yang bisa menangkap Diponegoro, hingga akhirnya ditangkap pada 1830.
Perang Diponegoro merupakan perang terbuka dengan pengerahan pasukan-
pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri—yang sejak perang Napoleon menjadi
senjata andalan dalam pertempuran frontal—di kedua belah pihak berlangsung
dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa.
Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat
dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah
direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik
dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang.
Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu
dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi
dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk
menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan
waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi
yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-
bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam
sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda
akan melakukan berbagai usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan
tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria,
disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral
dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata
terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan
provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan
bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat
yang berjuang di bawah komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi
tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang
serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu, ketika suatu wilayah yang
tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan
ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan
semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang
terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerilla warfare) yang
dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. Ini bukan sebuah perang
suku, melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat
itu belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat
saraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak
Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan
telik sandi (spionase) dengan kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari
informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro
dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada
tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul
kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah
kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil
menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro
menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya
dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado,
kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal
8 Januari 1855.
Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran
Diponegoro: Ki Sodewa atau Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom,
Pangeran Joned yang terus-menerus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir
tragis. Empat putra Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran
Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewa.
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan
Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban di pihak pemerintah Hindia
sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang
Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Ngayogyakarta menyusut
separuhnya. Mengingat bagi sebagian kalangan dalam Kraton Ngayogyakarta,
Pangeran Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak
diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwana
IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan
semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu
Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi
mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Periode-periode penting

Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Letnan Jenderal Hendrik Merkus


de Kock tanggal 28 Maret 1830 yang mengakhiri Perang Diponegoro (1825-1830),
karya Nicolaas Pieneman.
 20 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens
bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Kabupaten Purworejo).
Cleerens mengusulkan agar Kangjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di
Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock
dari Batavia.
 28 Maret 1830 Dipanegara menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock
memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Dipanegara agar
menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Dipanegara. Tetapi Belanda
telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Dipanegara
ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung
Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux
pada 5 April.
 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung
Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari
Gubernur Jenderal Van den Bosch.
 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Dipanegara, Raden Ayu
Retnaningsih, Tumenggung Dipasana dan istri, serta para pengikut lainnya
seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna akan dibuang ke
Manado.
 3 Mei 1830 Dipanegara dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux
ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
 8 Januari 1855 Dipanegara wafat dan dimakamkan di Makassar, tepatnya di
Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat
kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar.
Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh putranya bernama
Bagus Singlon atau Ki Sodewa. Ki Sodewa melakukan peperangan di wilayah
Kulonprogo dan Bagelen.
Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di
beberapa kota besar Indonesia terdapat Jalan Pangeran Diponegoro. Kota Semarang
sendiri juga memberikan apresiasi agar nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa
hidup. Nama-nama tempat yang menggunakan namanya antara lain Stadion
Diponegoro, Jalan Pangeran Diponegoro, Universitas Diponegoro (Undip), maupun
Kodam IV/Diponegoro. Juga ada beberapa patung yang dibuat, patung Diponegoro
di Undip Pleburan, patung Diponegoro di Kodam IV/Diponegoro serta di pintu
masuk Undip Tembalang.

Mata uang kertas Rp1.000,00 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan


tahun 1975 setelah kemerdekaan.
Pemerintah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno
pada tanggal 8 Januari 1955 pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati
100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan
Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui
Keppres No.87/TK/1973.
Penghargaan tertinggi justru diberikan oleh Dunia, pada 21 Juni 2013,
UNESCO menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory
of the World). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik yang dibuat sendiri oleh
Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada 1832-
1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran Diponegoro yang memiliki
nama asli Raden Mas Antawirya.[1][2]
Selain itu, untuk mengenang jasa Pangeran Diponegoro dalam
memperjuangkan kemerdekaan, didirikanlah Museum Monumen Pangeran
Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Sasana Wiratama" di Tegalrejo,
Yogyakarta, yang menempati bekas kediaman Pangeran Diponegoro.
PAHLAWAN PERGERAKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

1. Kiai Haji Samanhudi

Nama : K.H. Samanhudi


Lahir/Wafat : 1878-1956
Asal daerah : Jawa Tengah
SK Presiden : 590 Tahun 1961 9 – 11 – 1961

Kiai Haji Samanhudi nama kecilnya ialah Sudarno Nadi.(Laweyan, Surakarta,


Jawa Tengah, 1868 – Klaten, Jawa Tengah 28 Desember 1956) adalah pendiri
Sarekat Dagang Islamiyah, sebuah organisasi massa di Indonesia yang awalnya
merupakan wadah bagi para pengusaha batik di Surakarta.

Dalam dunia perdagangan, Samanhudi merasakan perbedaan perlakuan oleh


penguasa penjajahan Belanda antara pedagang pribumi yang mayoritas beragama
Islam dengan pedagang Cina pada tahun 1911. Oleh sebab itu Samanhudi merasa
pedagang pribumi harus mempunyai organisasi sendiri untuk membela kepentingan
mereka. Pada tahun 1911, ia mendirikan Sarekat Dagang Islam untuk mewujudkan
cita-citanya.
Ia dimakamkan di Banaran, Grogol, Sukoharjo. Sesudah itu, Serikat Islam
dipimpin oleh Haji Oemar Said Cokroaminito.

2. HOS Tjokroaminoto

Nama : H.O.S. Tjokroaminoto


Lahir/Wafat : 1883-1934
Asal daerah : Jawa Timur
SK Presiden : 590 Tahun 1961 9 – 11 – 1961

Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 6


Agustus 1882 – meninggal di Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun)
adalah seorang pemimpin organisasi Sarekat Islam (SI) di Indonesia.
Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M.
Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M.
Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai bupati Ponorogo.
Sebagai salah satu pelopor pergerakan nasional, ia mempunyai tiga murid
yang yang selanjutnya memberikan warna bagi sejarah pergerakan Indonesia, yaitu
Semaun yang sosialis/komunis, Soekarno yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang
agamis.
Pada bulan Mei 1912, Tjokroaminoto bergabung dengan organisasi Sarekat
Islam. Ia dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit setelah
Kongres SI di Banjarmasin.
Salah satu kata mutiara darinya yang masyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu,
semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan
Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang
kemerdekaan.

3. Haji Agus Salim

Nama : K.H. Agus Salim


Lahir/Wafat : 1884 – 1954
Asal daerah : Sumatera Barat
SK Presiden : 657 Tahun 1961 27 – 12 – 1961
Haji Agus Salim lahir dengan nama Mashudul Haq (yang bermakna "pembela
kebenaran" tahun 1884 adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Agus Salim
lahir dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya adalah
seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau.
Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI) dan menjadi
pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto. Peran Agus Salim pada masa
perjuangan kemerdekaan RI antara lain:
 anggota Volksraad (1921-1924)
 anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
 Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III
1947
 pembukaan hubungan diplomatik Indonesia - Arab - Mesir tahun 1947
 Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
 Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949
Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan
politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old
Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan
di tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar
Negeri.
Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun
penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim masih mengenal batas-
batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik. Ia meninggal dunia pada 4
November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

4. Cipto Mangunkusumo

Nama : Dr. Tjiptomangunkusumo


Lahir/Wafat : 1886 – 1943
Asal daerah : Jawa Tengah
SK Presiden : 109 Tahun 1964 2 – 5 – 1964

Cipto Mangunkusumo adalah seorang Dokter Pendiri Indische Partij. Cipto


Mangunkusumo adalah seorang dokter profesional yang lebih dikenal sebagai tokoh
pejuang kemerdekaan nasional. Dia merupakan salah seorang pendiri Indische Partij,
organisasi partai partai pertama yang berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka
dan turut aktif di Komite Bumiputera.

Awal perjuangan Cipto Mangunkusumo, pria kelahiran Pecangakan,


Ambarawa tahun 1886, ini dimulai sejak dia kerap menulis karangan-karangan yang
menceritakan tentang berbagai penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda.
Karangan-karangan yang dimuat harian De Express itu oleh pemerintahan Belanda
dianggap sebagai usaha untuk menanamkan rasa kebencian pembaca terhadap
Belanda.
Tidak bekerja sebagai dokter pemerintah yang diupah oleh pemerintahan
Belanda, membuat dr. Cipto semakin intens melakukan perjuangan. Pada tahun 1912,
dia bersama Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara)
mendirikan Indische Partij, sebuah partai politik yang merupakan partai pertama
yang berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.
Di Banda Neira, dr. Cipto mendekam/terbuang sebagai tahanan selama tiga
belas tahun. Dari Banda Naire dia dipindahkan ke Ujungpandang. Dan tidak lama
kemudian dipindahkan lagi ke Sukabumi, Jawa Barat. Namun karena penyakit
asmanya semakin parah, sementara udara Sukabumi tidak cocok untuk penderita
penyakit tersebut, dia dipindahkan lagi ke Jakarta.
Jakarta merupakan kota terakhirnya hingga akhir hidupnya. dr. Cipto
Mangunkusumo meninggal di Jakarta, 8 Maret 1943, dan dimakamkan di Watu
Ceper, Ambarawa. Atas jasa dan pengorbanannya sebagai pejuang pembela bangsa,
oleh negara namanya dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang
disahkan dengan SK Presiden RI No.109 Tahun 1964, Tanggal 2 Mei 1964 dan
namanya pun diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Pusat di Jakarta.

5. KH Ahmad Dahlan

Nama : K.H. Ahmad Dahlan


Lahir/Wafat : 1868-1934
Asal daerah : D.I. Yogyakarta
SK Presiden : 657 Tahun 1961 27 – 12 – 1961

Ahmad Dahlan (bernama kecil Muhammad Darwisy), adalah pelopor dan


bapak pembaharuan Islam. Kyai Haji kelahiran Yogyakarta, 1 Agustus 1868, inilah
yang mendirikan organisasi Muhammadiyah, 18 November 1912. Beliau wafat pada
usia 54 tahun di Yogyakarta, 23 Februari 1923.
PAHLAWAN PERINTIS KEMERDEKAAN

1. Ir. Soekarno

Dr.(H.C.) Ir. H. Soekarno (ER, EYD: Sukarno, nama lahir: Koesno


Sosrodihardjo) (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta,
21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat
pada periode 1945–1966.[5]:11, 81 Ia memainkan peranan penting dalam memerdekakan
bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan
Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus
1945. Soekarno adalah yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia dan ia sendiri yang menamainya.

Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang


kontroversial, yang isinya —berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar
Angkatan Darat— menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan
menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar
Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan
mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen. Setelah
pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Soekarno diberhentikan dari
jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS pada tahun yang sama dan
Soeharto menggantikannya sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat
tidak memerhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk
"mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan
tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memerhatikan dan
sekaligus memanfaatkan tokoh-tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta,
dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik
hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa
Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti
Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H. Mas Mansyur, dan lain-lainnya disebut-
sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerja sama
dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia,
meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir
Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks
proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerja sama
dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan
sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah
merumuskan Pancasila, UUD 1945, dan dasar dasar pemerintahan Indonesia
termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk
menyingkir ke Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh
Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke
Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan
Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut.
Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut,
karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar
Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi,
pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian
menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat
Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang
membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang, antara lain
dalam kasus romusha.

2. Ki Hadjar Hardjo Oetomo

Ki Hadjar Hardjo Oetomo adalah salah satu Pahlawan Perintis


Kemerdekaan RI dari Madiun, Jawa Timur. Ketika berjuang dalam perintisan
kemerdekaan RI, ia bergabung dengan Organisasi Boedi Oetomo, Syarekat Islam dan
Taman Siswa. Selain begabung dengan organisasi tersebut, Ki Hadjar Hardjo
Oetomo juga mendirikan organisasi pencak silat SH Pemuda Sport Club (SH-PSC)
yang kemudian menjadi Persaudaraan Setia Hati Terate. Dibidang ekonomi untuk
membantu masyarakat untuk lepas dari penindasan lintah darat,ia mendirikan
perkumpulan Harta Djaja semacam koperasi sekarang.
Ki Hadjar Hardjo Oetomo lahir di daerah Winongo, Kota Madiun pada tahun
1883. Masa kecilnya dihabiskan didaerah tersebut sampai remaja. Sebelum
mendirikan SH PSC, Ki Hadjar Hardjo Oetomo magang sebagai guru di SD Banteng
Madiun. Tidak betah menjadi guru, bekerja di Leerling Reambate di SS (PJKA)
Bondowoso, Panarukan dan Tapen. Tahun 1906 keluar dari PJKA dan bekerja
menjadi Mantri Pasar Spoor Madiun di Mlilir dengan jabatan terakhir sebagai Ajudan
Opsioner Pasar Mlilir, Dolopo, Uberan dan Pagotan (wilayah selatan Madiun). Pada
tahun 1916 bekerja di pabrik gula Redjo Agung Madiun. Tahun 1917 masuk menjadi
saudara SH dan dikecer langsung oleh Ki Ngabei Soerodiwirjo, pendiri Persaudaran
Setia Hati. Pada tahun ini bekerja di stasiun kereta api Madiun hingga menjabat Hoof
Komisaris.
Pada Tahun 1922 untuk berjuang dan pergerakan melawan penjajahan
Pemerintah Belanda, Ki Hadjar Hardjo Oetomo bergabung dengan organisasi
Syarekat Islam (SI) dan Boedi Oetomo. Untuk melatih pemuda yang tergabung
dalam Syarekat Islam maupun Boedi Oetomo, tahun ini juga mendirikan Setia Hati
Pencak Sport Club di desa Pilangbango, Madiun, yang kemudian berkembang dan
bernama Persaudaraan Setia Hati Terate sampai ke daerah Nganjuk, Kertosono,
Jombang, Ngantang, Lamongan, Solo, dan Yogyakarta. Tahun 1925, ditangkap oleh
Pemerintah Belanda dan dipenjara di Cipinang, kemudian dipindahkan ke Padang,
Sumatra Barat selama 15 tahun. SH PSC dibubarkan Belanda karena terdapat nama
"pencak". Setelah pulang dari masa tahanan mengaktifkan kembali SH PSC dan
untuk menyesuaikan keadaan, kata "pencak" pada SH PSC menjadi "pemuda". Kata
"pemuda" semata-mata hanya untuk mengelabui Belanda agar tidak dibubarkan.
Bertahan sampai tahun 1942 bersamaan dengan datangnya Jepang ke Indonesia.
Ki Hadjar Hardjo Oetomo meninggal pada tanggal 13 April 1952 dan
dimakamkan di TPU Desa Pilangbango, Kota Madiun, Jawa Timur.

3. Mohammad Hatta

Dr.(HC) Drs. H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Mohammad


Athar, populer sebagai Bung Hatta; lahir di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi,
Sumatera Barat), Hindia Belanda, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret
1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil
Presiden Indonesia yang pertama. Ia bersama Soekarno memainkan peranan penting
untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda sekaligus
memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia juga pernah menjabat sebagai
Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Ia mundur dari jabatan
wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta
juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Bandar udara internasional Jakarta, Bandar Udara Soekarno-Hatta,
menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya. Selain
diabadikan di Indonesia, nama Mohammad Hatta juga diabadikan di Belanda yaitu
sebagai nama jalan di kawasan perumahan Zuiderpolder, Haarlem dengan nama
Mohammed Hattastraat.
Saat-saat mendekati Proklamasi pada 22 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membentuk panitia kecil yang disebut
Panitia Sembilan dengan tugas mengolah usul dan konsep para anggota mengenai
dasar negara Indonesia. Panitia kecil itu beranggotakan 9 orang dan diketuai oleh Ir.
Soekarno. Anggota lainnya Bung Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad Soebardjo, A.A.
Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno
Tjokrosujoso.
Kemudian pada 9 Agustus 1945, Bung Hatta bersama Bung Karno dan
Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat (Vietnam) untuk dilantik sebagai Ketua
dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini
bertugas melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan
dari pihak Jepang kepada Indonesia. Pelantikan dilakukan secara langsung oleh
Panglima Asia Tenggara Jenderal Terauchi. Puncaknya pada 16 Agustus 1945,
terjadilah Peristiwa Rengasdengklok hari dimana Bung Karno bersama Bung Hatta
diculik ke kota kecil Rengasdengklok (dekat Karawang, Jawa Barat).
Penculikan itu dilakukan oleh kalangan pemuda, dalam rangka mempercepat
tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Malam hari, mereka mengadakan rapat
untuk persiapan proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediaman Laksamana
Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol 1 Jakarta. Sebelum rapat, mereka menemui
somabuco (kepala pemerintahan umum) Mayjen Nishimura untuk mengetahui
sikapnya mengenai pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pertemuan
tersebut tidak menghasilkan kesepahaman sehingga tidak adanya kesepahaman itu
meyakinkan mereka berdua untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan itu tanpa
kaitan lagi dengan Jepang.

4. Adam Malik

Adam Malik Batubara (lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara, 22 Juli


1917 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 5 September 1984 pada umur 67 tahun)
adalah mantan Menteri Indonesia pada beberapa Departemen, antara lain ia pernah
menjabat menjadi Menteri Luar Negeri. Ia juga pernah menjadi Wakil Presiden
Indonesia yang ketiga.

Adam Malik adalah anak dari pasangan Abdul Malik Batubara dan Salamah
[2][3]
Lubis. Ayahnya, Abdul Malik, adalah seorang pedagang kaya di Pematangsiantar.
[2]
Adam Malik adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Adam Malik menempuh
pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School Pematangsiantar. Ia
melanjutkan di Sekolah Agama Madrasah Sumatera Thawalib Parabek di
Bukittinggi, namun hanya satu setengah tahun saja karena kemudian pulang
kampung dan membantu orang tua berdagang.
Keinginannya untuk maju dan berbakti kepada bangsa mendorong Adam
Malik untuk pergi merantau ke Jakarta. Pada usia 20 tahun, ia bersama dengan
Soemanang, Sipahutar, Armijn Pane, Abdul Hakim, dan Pandu Kartawiguna
memelopori berdirinya Kantor Berita Antara.
Kariernya diawali sebagai wartawan dan tokoh pergerakan kebangsaan yang
dilakukannya secara autodidak. Pada masa mudanya, ia sudah aktif ikut pergerakan
nasional memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, antara lain melalui pendirian
Kantor Berita Antara yang berkantor pada waktu itu di Buiten Tijgerstraat 38 Noord
Batavia (Jl. Pinangsia II Jakarta Utara) kemudian pindah JI. Pos Utara 53 Pasar Baru,
Jakarta Pusat. Sebagai Direktur diangkat Mr. Soemanang, dan Adam Malik menjabat
Redaktur merangkap Wakil Direktur. Dengan modal satu meja tulis tua, satu mesin
tulis tua, dan satu mesin roneo tua, mereka menyuplai berita ke berbagai surat kabar
nasional. Sebelumnya, ia sudah sering menulis antara lain di koran Pelita Andalas
dan Majalah Partindo. Tahun 1941 sebagai utusan Mr. Soemanang bersama Djohan
Sjahroezah datang ke rumah Sugondo Djojopuspito minta agar Soegondo bersedia
menjadi Direktur Antara, dan Adam Malik tetap sebagai Redaktur merangkap Wakil
Direktur.
Pada tahun 1934-1935, ia memimpin Partai Indonesia (Partindo) Pematang
Siantar dan Medan. Pada tahun 1940-1941 menjadi anggota Dewan Pimpinan
Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di Jakarta. Pada 1945, menjadi anggota
Pimpinan Gerakan Pemuda untuk persiapan Kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
Di zaman penjajahan Jepang, Adam Malik juga aktif bergerilya dalam
gerakan pemuda memperjuangkan kemerdekaan. Menjelang 17 Agustus 1945,
bersama Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana, ia pernah membawa Bung Karno dan
Bung Hatta ke Rengasdengklok untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Demi mendukung kepemimpinan Soekarno-Hatta, ia menggerakkan rakyat
berkumpul di lapangan Ikada, Jakarta.

5. Raden Otto Iskandardinata

Raden Otto Iskandardinata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 31 Maret


1897 – meninggal di Mauk, Tangerang, Banten, 20 Desember 1945 pada umur 48
tahun). Ia mendapat nama julukan si Jalak Harupat.

Otto Iskandardinata lahir pada 31 Maret 1897 di Bojongsoang, Kabupaten


Bandung. Ayah Otto adalah keturunan bangsawan Sunda bernama Nataatmadja. Otto
adalah anak ketiga dari sembilan bersaudara.[2]
Otto menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS)
Bandung, kemudian melanjutkan di Kweekschool Onderbouw (Sekolah Guru Bagian
Pertama) Bandung, serta di Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas) di Purworejo,
Jawa Tengah. Setelah selesai bersekolah, Otto menjadi guru HIS di Banjarnegara,
Jawa Tengah. Pada bulan Juli 1920, Otto pindah ke Bandung dan mengajar di HIS
bersubsidi serta perkumpulan Perguruan Rakyat.
Dalam kegiatan pergarakannya pada masa sebelum kemerdekaan, Otto pernah
menjabat sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Bandung pada periode 1921-
1924, serta sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Pekalongan tahun 1924. Ketika
itu, ia menjadi anggota Gemeenteraad ("Dewan Kota") Pekalongan mewakili Budi
Utomo.
Oto juga aktif pada organisasi budaya Sunda bernama Paguyuban Pasundan.
Ia menjadi Sekretaris Pengurus Besar tahun 1928, dan menjadi ketuanya pada
periode 1929-1942. Organisasi tersebut bergerak dalam bidang pendidikan, sosial-
budaya, politik, ekonomi, kepemudaan, dan pemberdayaan perempuan.
Otto juga menjadi anggota Volksraad ("Dewan Rakyat", semacam DPR) yang
dibentuk pada masa Hindia Belanda untuk periode 1930-1941.
Pada masa penjajahan Jepang, Otto menjadi Pemimpin surat kabar Tjahaja
(1942-1945). Ia kemudian menjadi anggota BPUPKI dan PPKI yang dibentuk oleh
pemerintah pendudukan Jepang sebagai lembaga-lembaga yang membantu persiapan
kemerdekaan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai