1. Sultan Agung
Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan
Raden Mas Rangsang. Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam
usia 20 tahun menggantikan adiknya(beda ibu), Adipati Martapura, yang hanya
menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas
Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum
dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita tuna grahita diangkat
hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya,
Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian,
patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan
oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 mulai
dibangun istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota Gede,
yang kelak mulai ditempati pada tahun 1618.
Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614
Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang.
Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh
Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa
sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim
duta untuk mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah.
Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut
melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama
dengan VOC.
Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jayakarta di bagian Barat pulau Jawa
yang belum ditaklukkan Mataram, dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas
mereka pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut,
Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan
menghadapi Surabaya dan Banten.
Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC.
Kedua pihak saling mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak
membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik
kedua pihak pun putus.
Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia
untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram.
Tawaran tersebut ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk
menyatakan perang.
Maka, pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung
Bahureksa, bupati Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober
dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah
10.000 prajurit. Perang besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram
mengalami kehancuran karena kurang perbekalan. Menanggapi kekalahan ini Sultan
Agung bertindak tegas, pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk
menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC
menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun
berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629,
sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total
semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara
mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC
berhasil memusnahkan semuanya.
Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung
berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan
timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu
J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.
Sultan Agung pantang menyerah dalam perseteruannya dengan VOC
Belanda. Ia mencoba menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis untuk
bersama-sama menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun
1635 karena ia menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah.
Nyi Ageng Serang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno
Edi (Serang, Purwodadi, Jawa Tengah, 1752 - Yogyakarta, 1828) adalah seorang
Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah anak Pangeran Natapraja yang menguasai
wilayah terpencil dari kerajaan Mataram tepatnya di Serang yang sekarang wilayah
perbatasan Grobogan-Sragen. Setelah ayahnya wafat Nyi Ageng Serang
menggantikan kedudukan ayahnya. Nyi Ageng Serang adalah salah satu keturunan
Sunan Kalijaga, ia juga mempunyai keturunan seorang Pahlawan nasional yaitu
Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara.
Ia dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo. Ia pahlawan nasional yang
hampir terlupakan,mungkin karena namanya tak sepopuler R.A. Kartini atau Cut
Nyak Dhien tapi ia sangat berjasa bagi negeri ini.Warga Kulon Progo mengabadikan
monumennya di tengah kota Wates berupa patungnya yang sedang menaiki kuda
dengan gagah berani membawa tombak.
Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan
Aceh, 1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung
Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang
berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim
diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan
Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang
menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan
Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak
Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar
memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk
menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut
Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar
bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang
Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di
pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua
dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama
Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. [2][3] Ia akhirnya ditangkap dan
dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun,
keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih
berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien
dibuang ke Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908
dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini
diabadikan sebagai Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya di Meulaboh.
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan
mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van
Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang
dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan
Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirim
3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai
Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya
Baiturrahman dan membakarnya. Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang
pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak
kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873.
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah
VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh
pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu
dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya
bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29
Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan
menghancurkan Belanda.
Cut Nyak Dien, setelah tertangkap oleh pihak Belanda
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya
Cut Nyak Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk
ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan
menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya
moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir).
Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut
Gambang.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar
tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan
hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893,
Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan
"menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang
berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar
Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda
dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda,
meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia
datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya.[1][2] Cut Nyak Dien berusaha
menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus
berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik
Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit
yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar
melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin
menyerang basis Aceh.
Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh
(Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan
mengganti jendral yang bertugas.[1] Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh.
Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu,
kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang
menghancurkan semua yang ada di jalannya. Akibat dari hal ini, pasukan Belanda
merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De
Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena
banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan
ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.[1]
Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan
mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai
informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang
Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak
peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian
ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:
“ Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata
pada orang yang sudah syahid ”
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah
pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya.
Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara
Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien
sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan
juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit memperoleh makanan. Hal ini
membuat iba para pasukan-pasukannya.
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi
markasnya kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut
Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien
berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi
Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda. Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut
Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah
dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya
yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan
permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden
Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106
Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
5. Pangeran Diponegoro
2. HOS Tjokroaminoto
4. Cipto Mangunkusumo
5. KH Ahmad Dahlan
1. Ir. Soekarno
3. Mohammad Hatta
4. Adam Malik
Adam Malik adalah anak dari pasangan Abdul Malik Batubara dan Salamah
[2][3]
Lubis. Ayahnya, Abdul Malik, adalah seorang pedagang kaya di Pematangsiantar.
[2]
Adam Malik adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Adam Malik menempuh
pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School Pematangsiantar. Ia
melanjutkan di Sekolah Agama Madrasah Sumatera Thawalib Parabek di
Bukittinggi, namun hanya satu setengah tahun saja karena kemudian pulang
kampung dan membantu orang tua berdagang.
Keinginannya untuk maju dan berbakti kepada bangsa mendorong Adam
Malik untuk pergi merantau ke Jakarta. Pada usia 20 tahun, ia bersama dengan
Soemanang, Sipahutar, Armijn Pane, Abdul Hakim, dan Pandu Kartawiguna
memelopori berdirinya Kantor Berita Antara.
Kariernya diawali sebagai wartawan dan tokoh pergerakan kebangsaan yang
dilakukannya secara autodidak. Pada masa mudanya, ia sudah aktif ikut pergerakan
nasional memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, antara lain melalui pendirian
Kantor Berita Antara yang berkantor pada waktu itu di Buiten Tijgerstraat 38 Noord
Batavia (Jl. Pinangsia II Jakarta Utara) kemudian pindah JI. Pos Utara 53 Pasar Baru,
Jakarta Pusat. Sebagai Direktur diangkat Mr. Soemanang, dan Adam Malik menjabat
Redaktur merangkap Wakil Direktur. Dengan modal satu meja tulis tua, satu mesin
tulis tua, dan satu mesin roneo tua, mereka menyuplai berita ke berbagai surat kabar
nasional. Sebelumnya, ia sudah sering menulis antara lain di koran Pelita Andalas
dan Majalah Partindo. Tahun 1941 sebagai utusan Mr. Soemanang bersama Djohan
Sjahroezah datang ke rumah Sugondo Djojopuspito minta agar Soegondo bersedia
menjadi Direktur Antara, dan Adam Malik tetap sebagai Redaktur merangkap Wakil
Direktur.
Pada tahun 1934-1935, ia memimpin Partai Indonesia (Partindo) Pematang
Siantar dan Medan. Pada tahun 1940-1941 menjadi anggota Dewan Pimpinan
Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di Jakarta. Pada 1945, menjadi anggota
Pimpinan Gerakan Pemuda untuk persiapan Kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
Di zaman penjajahan Jepang, Adam Malik juga aktif bergerilya dalam
gerakan pemuda memperjuangkan kemerdekaan. Menjelang 17 Agustus 1945,
bersama Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana, ia pernah membawa Bung Karno dan
Bung Hatta ke Rengasdengklok untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Demi mendukung kepemimpinan Soekarno-Hatta, ia menggerakkan rakyat
berkumpul di lapangan Ikada, Jakarta.