Anda di halaman 1dari 5

PAHLAWAN DAERAH

H. Agus Salim

H. Agus Salim (Masyhudul Haq) lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat,
tanggal 8 Oktober 1884 dan meninggal di Jakarta, tanggal 4 November 1954 di
usia 70 tahun. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk
bekerja di Konsulat Belanda di sana.

Pada periode inilah beliau berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih
merupakan pamannya.Tahun 1915, ia terjun ke dunia jurnalistik di Harian Neratja
sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan
Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak.

Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi


Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar
Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan
membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).
Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin
Sarekat Islam.
Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 dan meninggal di
Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908 dimakamkan di Gunung Puyuh,
Sumedang. Seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang
melawan Belanda pada masa Perang Aceh.

Setelah wilayah VI Mukim diserang ia mengungsi, suaminya bertempur melawan


Belanda dan tewasnya Ibrahim Lamnga di Gle Tarum 29 Juni 1878 membuat Cut
Nyak Dhien lebih jauh dalam perlawanannya terhadap Belanda.

Tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar dan memiliki anak
bernama Cut Gambang. Namun, tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur,
membuat Cut Nyak Dhien berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama
pasukannya. Usianya saat itu sudah tua serta kondisi tubuh yang buruk membuat
pasukannya Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia dibawa ke Banda
Aceh untuk dirawat.

Cut Nyak Dhien meninggal pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung
Puyuh, Sumedang.
Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan


meninggal di Gowa, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun. Raja
Gowa ke-16 yang terlahir dengan nama Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng
Mattawang Karaeng Bonto Mangape, pemberian dari Qadi Islam Kesultanan Gowa
yakni Syeikh Sayyid Jalaludin bin Ahmad Bafaqih Al-Aidid. Ia digelar Sultan
Hasanuddin, setelah meninggal ia digelar Tumenanga Ri Balla Pangkana.

Merupakan putera Raja Gowa ke-15. Mulai memerintah tahun 1653-1669.


Pertengahan abad ke-17, Kompeni Belanda (VOC) berusaha memonopoli
perdagangan di Maluku. Sultan Hasanuddin menolak keras kehendak itu. Ia pernah
mengucapkan kepada Kompeni untuk berniaga bersama-sama. Tetapi Kompeni
tidak mau.

Tahun 1667, VOC Belanda di bawah pimpinan Cornelis Speelman kembali


menyerang Makassar. Dengan terpaksa Sultan Hasanuddin menandatangani
Perjanjian Bungaya pada 18 November 1667 di Bungaya. Sultan Hasanuddin wafat
pada tanggal 12 Juni 1670. Ia dimakamkan di Katangka, Kabupaten Gowa.
Dijuluki De Haantjes van Het Osten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan dari
Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Kabupaten Gowa.
Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu lahir di Nusa Laut, Maluku, 4 Januari 1800, meninggal
di Laut Banda, Maluku, 2 Januari 1818 pada umur 17 tahun. adalah seorang gadis
dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut.

Sejak awal perjuangan, ia ikut mengambil bagian dan pantang mundur.


Mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun
di Pulau Saparua.

Namun akhirnya karena tidak seimbang dalam persenjataan, tipu daya musuh dan
pengkhianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani hukuman. Ada
yang harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus
Tiahahu divonis hukum mati tembak. Martha Christina Tiahahu berjuang untuk
melepaskan ayahnya dari hukuman mati, tetapi ia tidak berdaya dan meneruskan
bergerilyanya di hutan, tetapi akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa.

Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan
penghormatan militer jasadnya diluncurkan di Laut Banda menjelang tanggal 2
Januari 1818.
Sri Sultan Hamengkubuwono I

Sri Sultan Hamengkubuwono, lahir di Kartasura, 6 Agustus 1717, meninggal di


Yogyakarta, 24 Maret 1792 pada umur 74 tahun. Merupakan pendiri sekaligus raja
pertama Kesultanan Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 – 1792.

Pernah terjadi perang hebat antara Mangkubumi dengan Pakubuwono II yang


dibantu VOC. Sejarahwan menyebut perang sebagai Perang Suksesi Jawa III.

Memiliki nama asli Raden Mas Sujana, putra dari Raja Kasunan Kartasura yang
bernama Amangkurat IV. Dia adalah seorang raja terbesar, mampu mengalahkan
Surakarta, meski Yogyakarta masih tergolong negeri baru. Bahkan armada perang
dan pasukan lebih besar dari jumlah armada perang VOC di Jawa.

Tidak hanya seorang yang ahli berperang, dia juga mencintai keindahan alam.
Taman Sari Keraton Yogyakarta merupakan karya arsitektur yang dirancang oleh
ahli bangunan Kasultanan berkebangsaan Portugis yang memiliki nama Jawa
Demang Tegis.

Hamengkubuwono I menghembuskan napas terakhirnya pada 24 Maret 1792.


Tahtanya diwariskan kepada putranya Raden Mas Sundoro, yang bergelar Sri
Sultan Hamengkubuwono II.

Anda mungkin juga menyukai