Anda di halaman 1dari 2

Sebuah Perjalanan Hidup Agus Salim

The Grand Old Man


Agus Salim lahir di Bukit Tinggi, Sumatera Barat pada 8 Oktober 1884. Dia menjadi anak ke empat Sultan Mohammad Salim, seorang jaksa di sebuah pengadilan negeri. Karena status sosialnya itu, maka terbukalah bagi Agus Salim untuk mengikuti pendidikan sekolah yang seluas-luasnya. Selain karena dia anak yang cerdas, dalam usia muda, dia telah menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing diantaranya, Inggris, Belanda, Arab, Prancis, Turki, Jepang dan Jerman. Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS) dan lulus pada tahun 1898 dengan predikat lulusan terbaik di 3 kota yaitu, Surabaya, Semarang dan Yogyakarta. Kemudian beliau di kirim oleh orang tuanya ke Batavia (Jakarta) untuk masuk ke sekolah menengah Hoogere Burgerschool (HBS) selama lima tahun, lalu ia memberikan permohonan beasiswa kedokteran di Belanda kepada pemerintah. Namun yang disayangkan, permohonannya itu ternyata di tolak. Saat itu ia sempat patah semangat. Tapi karena kecerdasannya itu juga telah menarik perhatian Raden Ajeng Kartini yang pada waktu itu mendapat tawaran beasiswa dari pemerintah Hindia Belanda untuk meneruskan studi ke Belanda. Ketika terbayang oleh Raden Ajeng Kartini hal itu tidak mungkin, mengingat bahwa dia sudah sampai pada tarap hidup berumah tangga maka dikemukakan saran agar beasiswa itu diberikan kepada pelajar yang berprestasi cemerlang yaitu Agus Salim. Tetapi ia menolaknya. Dia beranggapan pemberian itu karena usul orang lain, bukan karena penghargaan atas kecerdasannya. Sifat inilah yang kemudian mendasarinya menjadi seorang pemimpin berbakat dan berpengetahuan luas. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya. Sepulang dari Jedah, dia mendirikan sekolah Hollands Inlandse School (HIS) dan kemudian masuk ke dunia Pergerakan Nasional. Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baru di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur

Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarikat Islam. Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarikat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto. Sekilas mengenai peranan beliau pada masa perjuangan kemerdekaan RI diantaranya yaitu, anggota Volksraad (1921-1924), anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945, Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947, pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947, Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947, Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949 Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri. Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim masih mengenal batasbatas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik. Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal. Manusia punya rencana, tetapi Tuhanlah Maha Penentu. Pada tanggal 4 November 1954 jam 14.42, Haji Agus Salim wafat di Rumah Sakit Umum Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Inilah yang merupakan salah satu pahlawan dunia kita, selama 50 tahun, ia telah mencurahkan tenaganya demi kepentingan nusa dan agama.

Nama Shindi Wulandari

Anda mungkin juga menyukai