Anda di halaman 1dari 19

Haji Agus Salim: Kisah Teladan Kesederhanaan

Haji Agus Salim


(Leiden Is Lijden, Memimpin Itu Menderita)
-----------

Oleh: Haris Munandar dan Faisal Basri

Haji Agus Salim muda

Haji Agus Salim di usia senja

Catatan: Siapa nyana kalau foto di sebelah kiri adalah Haji Agus Salim. Kebanyakan
kita mengenal sosok diplomat ulung itu lewat foto di sebelah kanan: berkopiah,
berkacamata, dan berjanggut panjang yang sudah memutih seluruhnya. Tulisan ini
adalah salah satu bagian dari buku berjudul Untuk Republik: Kisah-kisah Teladan
Kesederhanaan Tokoh Bangsa, yang insya Allah akan segera naik cetak. Ada 22
tokoh nasional lagi yang diangkat dalam buku itu, mular dari Ibu Inggit hingga
Artidjo Alkostar.
Sangat boleh jadi tidak ada tokoh bangsa yang semelarat namun sebahagia Haji Agus
Salim. Hatta masih punya rumah di kawasan Menteng. Agus Salim boro-boro punya
rumah. Sampai wafat ia tetap berstatus “kontraktor”. Kediamannya berupa rumah
sempit di gang sempit pula masih berstatus sewa, ketika sang penghuni, Agus Salim,
wafat pada November 1954.

Padahal, kurang apa posisi yang pernah ia sandang: salah satu dari sembilan perumus
Pembukaan UUD 45, anggota dewan Volksraad, diplomat ulung yang meraih
pengakuan internasional pertama bagi RI, dan Menteri Luar Negeri era revolusi itu
wafat.

Baru setelah itu, beberapa tahun kemudian, anak-anaknya patungan membeli rumah
kontrakannya itu demi mengenang sang ayah. Sepanjang hidupnya Agus Salim
hidup nomaden, berpindah-pindah dari kontrakan di satu gang ke gang lainnya di
berbagai kota.

Di dalam gang sempit itu, berkelok dari jalan utama, menyelusup gang pada
perkampungan di sudut kota, di tempat becek, di kawasan kumuh, di sanalah Agus
Salim dan istrinya, Zainatun Nahar, menjalani hari-hari mereka.

Di Jakarta, pasangan ini pernah tinggal di daerah Tanah Abang, Karet, Petamburan,
Jatinegara, di gang-gang Kernolong, Tuapekong, gang Listrik dan masih banyak
lagi. Khusus ketika tinggal di gang listrik, menjadi kenangan tersendiri. Di gang
Listrik, justru Haji Agus Salim dan istrinya Zainatun Nahar hidup tanpa listrik gara-
gara tak sanggup membayar iuran listrik.

Salah satu muridnya yang juga diplomat pejuang, Mr. Mohammad Roem
mengenang kasur gulung, ruang makan, dapur, dan tempat menerima tamu di
kontrakan Haji Agus Salim bersatu dalam satu ruangan besar. Nasi goreng kecap
mentega menjadi menu favorit, khususnya ketika keluarga Salim sedang tidak ada
makanan lain yang lebih bergizi, dan tidak ada uang. Murid politiknya yang lain,
Kasman Singodimedjo, mengagumi kondisi guru besarnya itu sambil mengingat
adagiumnya yang menciutkan hati,
LEIDEN IS LIJDEN, MEMIMPIN ITU MENDERITA.

Ketua delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati, Willem Schermerhorn


membuat penilaian pribadi terhadap setiap anggota delegasi lawan untuk ditelisik
setiap kelemahan dan kekuatannya. Untuk Salim, ia mencatatnya sebagai sosok
negosiator tangguh, pandai bicara dan berdebat. Ia hanya mempunyai satu
kelemahan: selama hidupnya melarat. Mungkin nanti akan ada “pendekatan khusus”
agar Salim tidak galak-galak amat dalam perundingan. Biar miskin, Salim ternyata
tidak pernah mempan disogok, baik terang-terangan maupun secara tersamar.
Baginya, jangankan yang haram; yang halal saja belum tentu ia mau.

Perawakannya kecil, doyan merokok, dan sangat cerdas. Setidak-tidaknya Salim


mampu berbicara dalam sembilan bahasa. Selera humornya tinggi, dan ia bisa
melucu dengan lancar dalam kesembilan bahasa itu. Haji Agus Salim tidak terlahir
sebagai orang papa. Lingkungan keluarganya berada dan ia sempat lama memiliki
pekerjaan bergaji besar yang bisa menyenangkan keluarganya secara materi. Ia baru
“jatuh miskin” gara-gara “jatuh cinta” kepada HOS Tjokroaminoto. Ditugasi sebagai
intel politik, Salim malahan terjun penuh sebagai pejuang kemerdekaan,

Di luar dugaaan, Haji Agus Salim di masa muda ternyata sangat tampan. Kalau lahir
zaman sekarang, rasa-rasanya mudah baginya untuk menjadi bintang sinetron. Foto
ini sangat jarang beredar, sehingga kita terbiasa dengan penampilannya di usia lanjut
dengan jenggot panjang yang sering membuatnya diolok-olok lawan politiknya
mirip kambing.

Meskipun miskin untuk ukuran orang kebanyakan, Salim sendiri merasa dirinya
baik-baik saja. Karenanya, rasa percaya dirinya selalu tinggi, tidak pernah minder
atau canggung di lingkungan mana pun. Dalam urusan satu ini Salim mirip BK. Ia
bisa berbincang dengan Pangeran Phillip (suami Ratu Inggris) sama nyamannya
dengan kalau ia bicara dengan hansip yang di tengah ronda malam mampir ke rumah
kontrakannya. Dengan segala keunikannya itu, H Agus Salim dijuluki The Grand
Old Man.

Sebagai ulama, Salim dikenal mengedepankan rasionalitas. Misalnya dalam soal


berpuasa yang lazimnya mengikuti waktu matahari terbit dan terbenam. Ketika
berdiplomasi di Markas Besar PBB New York, Amerika Serikat, Salim sahur pukul
4 subuh dan berbuka pukul 7 malam seperti kebiasaan di Indonesia dan Jeddah.
Padahal sesuai waktu setempat, berbuka seharusnya pada pukul 10 malam karena
saat itu musim panas. Ada benarnya, sikap tersebut. Coba, bagaimana kalau kita
berpuasa di Skandinavia ketika ada saat tertentu di sana di mana matahari sama
sekali tidak tenggelam selama 24 jam?

Salim pernah membuat kesal seorang ulama senior ketika ia bertanya apakah Adam
dan Hawa itu punya pusar? Dijawab oleh sang ulama: “Punya. Mereka kan manusia
seperti kita.” Dari mana si ulama tahu sampai segituyakinnya? Salim bertanya lagi,
“Berarti mereka berdua ada yang melahirkan. Bukankah pusar itu penghubung
antara janin dan rahim ibunya, sehingga janin tersebut memperoleh asupan oksigen
dan makanan.” Si ulama sok tahu itu terkesiap, lalu mencak-mencak dan mengutuki
Salim sebagai ahli bid’ah, murtad, calon penghuni neraka, dan seterusnya.

Dalam urusan ini Salim lagi-lagi mirip BK. Di dekat rumah pengasingan di Ende
ada tetangga yang memelihara anjing. Omi menyukai anjing itu dan sering
memberinya makan. Suatu ketika kaki Omi dijilat anjing itu. Oleh Bu Amsi, mertua
BK, Omi disuruh mencuci kakinya sampai tujuh kali, sekali di antaranya dicampur
pasir atau tanah, seperti ajaran orang-orang tua dulu yang mengutip Sunnah Nabi.
BK berbisik Omi cukup mencucinya sekali saja dengan sabun sampai bersih. Omi
bertanya mengapa tidak tujuh kali seperti kata nini (nenek)? Karena di zaman nini
muda dulu belum ada sabun.

Haji Agus Salim lahir dengan nama asli Musyudul Haq (bermakna “pembela
kebenaran”) di Koto Gadang, 8 Oktober 1884. Di masa kanak-kanak, keluarganya
merekrut pengasuh dari Jawa Timur. Panggilan sayang sekaligus hormat untuk anak
laki-laki khas Jawa Timur termasuk Madura adalah “Gus”. Sapaan ini bisa berlanjut
sampai yang bersangkutan berusia lanjut, khususnya di kalangan dekat. Contohnya
adalah Gus Dur. Sapaan itu yang selalu dipakai sang pengasuh, sampai akhirnya
malahan mengaburkan nama aslinya. Teman-teman sekolahnya ikut memanggil
“Gus” lalu “Agus”. Karena ayahnya bernama Sutan Mohamad Salim, maka nama
Salim ditambahkan sehingga menjadi Agus Salim. Di sekolah pertamanya, ia
terdaftar sebagai “August Salim”.
Ia mulai menimba ilmu di sekolah khusus anak-anak Eropa, Europeesche Lagere
School(ELS), sekolah dasar paling bergengsi di era kolonial. Ini karena ayahnya
adalah seorang jaksa Pengadilan Riau yang terpandang. Bakat istimewanya sejak
kecil adalah bahasa-bahasa asing. Ia senang dan cepat sekali menguasai satu bahasa.
Pelajaran-pelajaran lain dikuasainya dengan mudah karena logika berpikirnya
sangat tajam. Begitu lulus pada 1897, ia melanjutkan studinya ke Hogere Burger
School(HBS) di Batavia. Lulus dari HBS dengan nilai tertinggi saat berumur 19
tahun, Agus Salim mengajukan beasiswa untuk belajar kedokteran di Belanda, tapi
ditolak. R.A. Kartini yang telah memperoleh persetujuan beasiswa sebesar 4.800
gulden tapi batal berangkat karena hendak menikah, berusaha melobi pemerintah
agar dana itu dapat digunakan Salim. Ditolak lagi, Kartini terus membelanya dengan
mengajukan permohonan ulang. Prosesnya panjang tapi pada akhirnya disetujui.
Hanya saja, Salim terlanjur ngambek,dan ia memutuskan untuk bekerja saja.

Pekerjaan pertamanya sudah memberikan kesejahteraan memadai, yakni sebagai


penerjemah dan asisten notaris di sebuah perusahaan pertambangan di Indragiri.
Selanjutnya pada 1906, ia terbang ke Jeddah untuk menjadi penerjemah dan petugas
urusan haji di Konsulat Belanda. Atasannya Konsul N. Scheltema, adalah mantan
controleur (semacam Inspektur Pemeriksa Wilayah, jabatan setingkat bupati) di kota
Wlingi, Jawa Timur. Salim sering terlibat adu argumen dengan atasannya ini.
Meskipun begitu, semua pekerjaan dan tugas yang diberikan kepadanya selalu beres,
jadi sama sekali tidak ada alasan untuk mengatakannya sebagai pemalas lalu
memecatnya. Ia tidak dapat dicap sebagai ongeschikt(tidak berguna). Bahkan ia
diakui mampu meringankan beban atasannya, dan ia dihargai sebagai asisten yang
bermanfaat. Cuma, karena sering ngeyel, sang Konsul suka sebal.

Dalam sebuah kesempatan bertukar pikiran yang panas antara Salim dengan
atasannya, Konsul Belanda itu menyindir: “Salim, apakah engkau kira bahwa
engkau ini seorang yang paling pintar di dunia?” Sindiran yang tidak perlu dijawab
ini malahan dengan tangkas ditanggapi oleh Haji Agus Salim: “Itu sama sekali tidak
benar, meneer. Banyak orang yang lebih pintar dari saya, cuma saya belum bertemu
dengan seorang pun di antara mereka di sini.” Si Konsul tambah sebal. Tetapi apa
mau dikata, ia tidak pernah menang debat. Oleh karena itu, alangkah lega hati sang
Konsul Belanda saat ia tahu Salim ditarik pemerintah Hindia Belanda untuk
ditempatkan di Surabaya pada tahun 1911.
Selama bermukim di Jeddah, Salim memperdalam ilmu agama Islam, ketrampilan
diplomatik dan sejumlah bahasa asing di luar Belanda dan Inggris yang sudah ia
kuasai. Dengan cepat ia menguasai bahasa-bahasa, Jerman, Prancis, Turki, Jepang,
dan Arab. Di sana ia menunaikan ibadah haji. Gajinya sekitar 200 gulden, sangat
besar di masa itu. Pendeknya, ia sudah hidup cukup enak. Ia bahkan bisa jalan-jalan
ke Eropa, terutama Belanda di mana ia pernah menengok Bung Hatta muda yang
tengah kuliah di sana. Kondisi ini berlanjut sampai pemerintah kolonial meminta
bantuannya menginfiltrasi SDI, sebuah organisasi pribumi di Hindia Belanda yang
menunjukkan gelagat menentang pemerintah.

Didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh H. Samanhudi di Solo, Sarekat Dagang
Islam (SDI) awalnya dimaksudkan untuk membantu para pedagang batik pribumi
bersaing dengan para pedagang Tionghoa. SDI sangat mudah diterima oleh
masyarakat pedesaan dan mengalami perkembangan pesat. Kian besar, kian
berpengaruh pula SDI, sehingga mulai merambah urusan-urusan politik. Selain H
Samanhudi, ada tokoh penting lainnya, yakni RM Tirtoadisuryo. Pada tahun 1909
Tirtoadisuryo mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia, disusul Sarekat
Dagang Islam di Bogor pada 1911. Hubungannya dengan H Samanhudi kurang baik
akibat persaingan pengaruh. Samanhudi merasa pelopor SDI karena ia lebih dulu
mendirikannya di Solo; sementara Tirtoadisuryo merasa dirinyalah pimpinan SDI
karena organisasi bentukannya lebih besar. Hubungan keduanya benar-benar rusak
ketika Tirtoadisuryo menolak permintaan Samanhudi membantunya
mengembangkan SDI Solo.

H Samanhudi mencari orang lain untuk membangun organisasi, dan pilihannya jatuh
kepada HOS Tjokroaminoto yang ketika itu anggota perkumpulan Budi Utomo. Di
tahun 1912 Tjokroaminoto mengubah SDI menjadi Sarekat Islam (SI). Urusannya
tidak melulu ekonomi, melainkan sosial dan…. politik. Perkembangannya sangat
pesat karena yang dirangkul bukan cuma para pedagang lagi, melainkan semua
elemen masyarakat pribumi termasuk kalangan yang semula tak dilirik organisasi
mana pun, yakni kaum tani dan buruh yang jumlahnya sangat banyak.

Tjokroaminoto mampu memikat hati rakyat kebanyakan berkat sikapnya yang anti
feodalisme. Ia jago pidato dengan sosok gagah lengkap dengan kumis melintang bak
Bima. Tjokroaminoto sangat rajin bertemu langsung dengan rakyat hingga ke
berbagai pelosok sehingga ia diterima, diakui dan bahkan dicintai sebagai pemimpin
rakyat orisinal dengan julukan “Yang Utama”. Ciri-ciri ini nantinya dimiliki salah
seorang muridnya, Soekarno bin Soekemi Sosrodihardjo. Sebagai tokoh agama dan
kebathinan ketika Soekarno masih bersekolah di HBS ia sudah memperoleh ilham
betapa pemuda itu akan memainkan peran sangat besar dalam sejarah bangsanya.

Tjokroaminoto kemudian menggantikan Samanhudi sebagai pemimpin tertinggi SI,


dan memindahkan pusat kegiatan ke Surabaya. Gubernur Jenderal AWF Idenburg
mulai menaruh curiga terhadap SI dan Tjokroaminoto, sehingga keluarlah perintah
agar SI diawasi dengan ketat, terutama agar tidak berkembang menjadi gerakan
politik subversif. Keadaan dan kondisi ekonomi yang buruk secara umum setelah
Perang Dunia I telah mempercepat radikalisasi pergerakan kebangsaan Indonesia.

Untuk mengatasinya, pemerintah kolonial mendirikan dinas intelijen politik pada 6


Mei 1916 yang diberi nama Politieke Inlichtingen Dienst (PID)yang kemudian
diambil alih militer. Pada 24 September 1919, Gubernur Jenderal memutuskan untuk
memakai kepolisian sebagai alat penindas gerakan radikal. Ia pun membentuk dinas
intelijen baru dengan nama Algemene Recherche Dienst (ARD) atau Dinas
Penyelidikan Umum. ARD dan PID ini yang menjadi musuh utama para pejuang
pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan.

Jauh sebelumnya untuk mengawasi Sarekat Islam, ARD melakukan strategi infiltrasi
ke dalam tubuh organisasi dengan menyusupkan agen-agennya untuk mengawasi
organisasi ini dari dalam. Pemerintah Hindia Belanda ingin memata-matai mereka
dan memerlukan seorang “Snouck Hurgronje” baru. Datuk Tumenggung penasihat
urusan bumiputera (adviseur voor inlandse zaken)mengusulkan nama Salim untuk
tugas itu,

Haji Agus Salim menerima tawaran itu karena diberitakan Tjokroaminoto berniat
menjual Sarekat Islam kepada Jerman yang akan membiayainya untuk melakukan
pemberontakan di Jawa. Jika itu benar, maka ia akan menyeret Hindia Belanda ke
dalam pertikaian antara negara-negara besar dunia. Alasan kedua, ia sudah rindu
tanah air. Dengan cara-cara tidak langsung, mula-mula ia mempelajari seluk beluk
Sarekat Islam baik mengenai asas, tujuan, anggaran dasar, anggaran rumah tangga
sampai sikap para pemimpinnya. Kesimpulan penyelidikannya, tuduhan terhadap
Tjokroaminoto dan SI tidak terbukti sama sekali. Ia melihat sosok Tjokroaminoto
merupakan seorang pemimpin yang sejati.

Salim justru terpikat dengan sosok Tjokroaminoto sehingga memutuskan untuk


berhenti bekerja sebagai agen intelijen dan pegawai Pemerintah Hindia Belanda. Ia
masuk ke dalam organisasi Sarekat Islam. Ketika Haji Agus Salim menyatakan
bergabung dengan Sarekat Islam, di saat itu pula secara bertahap Salim mulai
menjalani kehidupan ekonomi yang serba terbatas. Perubahan drastis gaya hidup
diterima secara biasa saja oleh Salim. Tinggal di apartemen serba bagus dan di
kontrakan kumuh dan becek, hampir sama saja baginya.

Tjokroaminoto merasa senang dan sangat gembira menerimanya, karena Haji Agus
Salim merupakan salah seorang yang paling berpendidikan dan paling pandai yang
pernah masuk dalam Sarekat Islam. Dalam diri Haji Agus Salim terdapat kombinasi
antara ketaatan pada pokok ajaran Islam dengan pandangan yang progresif pada
masalah-masalah sosial dan ekonomi, dan juga seorang realis dalam memandang
tujuan dan potensi masa depan bangsa Indonesia. SI menjadi ajang bagi Haji Agus
Salim untuk menempa diri.

Karena SI tidak menawarkan gaji, Salim mencari pekerjaan sampingan. Di tahun


1915 ia bergabung ke Harian Neratja sebagai redaktur, sebelum diangkat menjadi
kepala redaksi. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga
akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Ia juga mendirikan
Surat kabar Fadjar Asia. Selanjutnya ia menjadi redaktur harian Moestika di
Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan
Oemoem (AIPO).

Di sela-sela kesibukannya Salim menikahi Zainatun Nahar yang sudah dinikahinya


secara gantung sebelum ia berangkat ke Jeddah (mungkin ini alasan ketiga Salim
mau dijadikan intel). Pernikahan ini memberinya 10 anak (2 meninggal saat kecil).
Sama halnya dengan Bung Hatta dan Rahmi, Zainatun adalah jodoh sejati Salim
yang mendampinginya dalam kondisi apa pun tanpa mengeluh. Ia adalah sosok istri
pilihan yang tahan banting dan senantiasa menjadi sumber semangat bagi suami dan
anak-anaknya. Rumah tangga Salim dikenal harmonis, dan selalu riang meskipun
tidak punya banyak uang.

Ketika menulis di berbagai media, Salim terampil merangkai kata-kata untuk


mengkritisi kebijakan pemerintah. Di harian Neratja terbitan 25 September 1917, ia
menulis: “Dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang.” Tulisan ini untuk
mengkritik kebijakan Belanda yang mendiskriminasi masyarakat pribumi, sekaligus
mengecam penjajahan itu sendiri. Di harian Fadjar Asia, 29 November 1927, ia
menulis tentang polisi: “Sikap polisi terhadap rakyat, istimewa keganasan dan
kebuasan polisi dalam memeriksa orang yang kena dakwa atau yang hanya kena
sangka-sangka rupanya belum berubah-ubah. Hampir tiap hari ada pesakitan di
depan landraad(pengadilan) yang mencabut pengakuan di depan polisi yang lahir
bukan karena betul kejadian melainkan hanya karena kekerasan siksa …”

Sejak bergabungnya Salim ciri ke-Islam-an SI menguat, Dalam waktu bersamaan


masuk pula anasir-anasir kiri (pengikut Henk Sneevliet, si pembawa komunisme ke
Hindia Belanda) yang kebanyakan justru anak didik terdekat Tjokroaminoto sendiri,
khususnya Semaun. Semaun menganjurkan agar SI bergerak lebih radikal dan
menentang partisipasi SI dalam Volksraadyang mereka nilai tak lebih dari “komidi
omong”. Mereka mengincar tokoh Islam seperti Haji Agus Salim dan Abdul Moies
sebagai musuh. Pada kongres pengurus SI di Surabaya 6-10 Oktober 1921, terjadi
pertentangan sengit antara dua kubu. Ujungnya, dengan suara 23 lawan 7 suara,
golongan komunis dikeluarkan dari SI. Mereka lantas membentuk SI tandingan (SI
Merah) yang selanjutnya berkembang menjadi Partai Komunis Indonesia.

Agitasi para tokoh kiri bisa dihadapi secara cerdas oleh Salim. Dalam sebuah sidang,
Muso mengejek gurunya sendiri, Tjokroaminoto, yang berkumis seperti kucing, dan
Agus Salim yang berjenggot mirip kambing. Muso berteriak kepada hadirin:
“Saudara-saudara, orang yang berjanggut itu seperti apa? “Kambing!” jawab
hadirin. “Lalu, orang yang berkumis itu seperti apa? “Kucing!” Begitu giliran Salim
berpidato, ia membalas: “Saudara-saudara, pertanyaan yang tadi belum lengkap.
Orang yang tidak berkumis dan tidak berjanggut itu seperti apa?” Salim menjawab
sendiri: “Anjing!”
Dalam suatu pertemuan SI, setiap akhir kalimat yang disampaikan Agus Salim,
selalu disambut oleh para peserta dengan sahutan “mbek, mbek, mbek”. Itu untuk
mengejek janggutnya yang panjang seperti janggut kambing. Salim dengan
entengnya menukas, “Tunggu sebentar. Sungguh menyenangkan, kambing-kambing
pun mendatangi ruangan ini untuk mendengar pidato saya. Sayang mereka kurang
mengerti bahasa manusia, sehingga menyela dengan cara yang kurang pantas. Saya
sarankan kepada mereka agar keluar ruangan sekadar makan rumput di lapangan.
Kalau pidato saya untuk manusia ini selesai, mereka akan disilakan masuk kembali
dan saya akan berpidato dalam bahasa kambing untuk mereka.”

Pada 1927, Agus Salim mendapat undangan mengikuti sebuah kongres Islam di
Mekkah. Waktu itu pemerintah kolonial Belanda yang masih kesal atas
pembelotannya mempersulit Salim memperoleh paspor. Setelah berupaya keras,
akhirnya ia berhasil memperoleh paspor itu di Surabaya. Sayangnya, kapal yang
akan ke Arab Saudi, kapal Kongsi Tiga, sudah berangkat ke Batavia, Salim takkan
dapat mengejarnya karena perjalanan dari Surabaya ke Jakarta memakan waktu
cukup lama. Mengetahui hal itu, HOS Tjokroaminoto mengirim telegram ke
perwakilan Kongsi Tiga di Jakarta. Isinya: Jika kapal itu berangkat ke Mekkah tanpa
Agus Salim, maka tahun depan tidak ada seorang pun jamaah haji yang berangkat
dengan kapal Kongsi Tiga. Kapten kapal pun terpaksa menunda keberangkatan
selama 2×24 jam hanya untuk menunggu Salim yang buru-buru ke Jakarta
menggunakan kereta api.

Ketika Salim tiba di Tanjung Priok, ia disambut dengan upacara kehormatan oleh
awak kapal. Mereka berbaris rapi di sepanjang jalan menuju pintu masuk. Ketika
Agus Salim lewat, mereka memberinya hormat. Setelah di kapal, Salim bertanya
kepada sang kapten, “Mengapa saya disambut dengan cara seperti itu? Bukankah
saya hanya orang biasa?” Dengan agak jengkel si kapten menjawab: “Kapal ini tidak
akan menunda keberangkatannya selama 2×24 jam hanya untuk menunggu orang
biasa!”

Pada awal abad ke-20, ada sejumlah perubahan penting dalam kebijakan pemerintah
kolonial yang dikenal dengan “Politik Etis” yang dicetuskan oleh Ratu Wilhelmina
dalam pidatonya pada tahun 1901 atas desakan parlemen yang disponsori oleh
Conrad Theodore van Deventer. Pelaksanaan politik etis ini berpedoman pada tiga
prinsip yaitu irigasi, migrasi dan edukasi. Dari Ketiga prinsip tersebut, politik etis
bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran penduduk pribumi dengan memberikan
pendidikan seluas mungkin.

Sejak saat itu dimulailah pembangunan berskala cukup besar di Hindia Belanda.
Salah satunya yang kemudian sangat berpengaruh dalam sejarah adalah pembukaan
sekolah mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Tiga perguruan
tinggi menjadi mashur karena melahirkan generasi terdidik yang menjadi tulang
punggung pergerakan kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan, yakni STOVIA,
TH dan RH.

Pemerintah Hindia Belanda juga mengadakan serangkaian perubahan sistem


pemerintahan di Hindia Belanda. Salah satunya dengan dikeluarkannya undang-
undang desentralisasi tahun 1903. UU ini membuka peluang dan wewenang kepada
keresidenan mengelola diri sendiri, termasuk pembentukan dewan daerah.
Pelaksanaannya mengecewakan pihak bumiputera, karena mayoritas anggota dewan
daerah terdiri atas pejabat-pejabat Belanda dan orang-orang Barat lainnya yang
diangkat oleh pemerintah. Partisipasi pihak bumiputera dalam dewan daerah masih
kecil.

Perubahan terpenting terjadi tahun 1916, ketika parlemen Belanda mengesahkan UU


Dewan Rakyat atau Volksraad. Pada tanggal 18 Mei 1918 dewan rakyat pertama
diresmikan oleh Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum. Pembentukan
Volksraadternyata juga dimaksudkan menampung radikalisme HOS Tjokroaminoto
dengan mengajaknya bekerja sama. Awalnya Tjokroaminoto, Salim dan Moeis
mendukung dan bergantian mewakili SI sebagai anggota Volksraad.Sikap kooperatif
ini luntur ketika tidak ada kemajuan berarti di sana dan ditangkapnya Tjokroaminoto
pada Agustus 1921 karena dituduh terlibat dalam pemberontakan di Garut oleh
kelompok bawah tanah yang mengatasnamakan SI.

Selama menjadi anggota Volksraad,,Salim mencetak reputasi sebagai jago debat.


Dalam buku kasiknya yang berjudulNationalism and Revolution in Indonesia,
George McTurnan Kahin menuturkan perdebatan antara H Agus Salim melawan J.
Bergmeyer. Salim mulai “panas” ketika tak diperkenankan berpidato dalam Bahasa
Melayu, dan harus menggunakan bahasa Belanda. Salim yang fasih berbahasa
Belanda menolak, karena ia merasa punya hak bicara dalam bahasa Melayu. Saat itu
Bergmeyer cari gara-gara dengan menginterupsi: “Apa kata ekonomi itu dalam
Bahasa Melayu?” Salim membalas: “Coba Tuan sebutkan dahulu apa kata ekonomi
itu dalam Bahasa Belanda, nanti saya akan sebutkan Bahasa Melayunya.” Karena
memang tak ada istilah khusus dalam Bahasa Belanda (dan Bahasa Melayu) untuk
menyebut “ekonomi”, Bergmeyer pun mak klakep terdiam.

Kiprah politik Salim berlanjut di Jong Islamieten Bond (JIB). Selain bergerak di
jalur politik, Agus Salim juga seorang jurnalis. Ia antara lain sempat berkiprah
bersama Harian Neratja, Hindia Baroe, dan mendirikan surat kabar Fadjar Asia. Haji
Agus Salim bergabung ke jajaran Bapak Bangsa ketika terpilih sebagai salah seorang
anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia bahkan termasuk
dalam Panitia Sembilan, tim kecil perumus Pembukaan UUD RI. Secara terpisah,
karena cita bahasanya yang halus, Salim bersama Prof Pangeran Aria Husein
Djajadiningrat dan Mr Soepomo juga diminta menjadi penghalus bahasa dalam
penyusunan batang tubuh UUD 1945.

Setelah Indonesia merdeka, karena kompetensinya, Agus Salim sempat dipercaya


menjabat menteri dalam beberapa kabinet. Di Kabinet Sjahrir I dan II, Agus Salim
adalah menteri muda luar negeri. Sementara itu, di Kabinet Amir Sjarifuddin (1947)
dan Kabinet Hatta (1948–1949), ia menjabat menteri luar negeri. Salim dikenal
sebagai sosok yang jujur dan tidak pernah minta macam-macam. Ia disukai dan
dituakan oleh para politisi lainnya, termasuk oleh Soekarno, Hatta dan Sjahrir. Hatta
yang juga jago debat pun mengaku segan kalau harus bersilat lidah melawan Haji
Agus Salim.

Pada tahun 1947, ia menjadi penasehat tim perundingan Linggarjati; di tahun yang
sama ia bersama Sutan Sjahrir menjadi wakil Indonesia dalam Konferensi Inter-Asia
di New Delhi. Misi diplomatik ini sukses. Sjahrir dan Salim mengikat janji dengan
Pandit Jawaharlal Nehru (Bapak India) dan Muhammad Ali Jinnah (Bapak Pakistan)
untuk saling mendukung kemerdekaan masing-masing.

Manuver diplomasi RI ditanggapi Belanda dengan Agresi Militer I. Belanda


menuduh dengan melakukan manuver diplomasi itu, RI sudah menyalahi Perjanjian
Linggarjati. RI membalas dengan menggencarkan misi diplomatik. Selanjutnya Haji
Agus Salim selaku menteri luar negeri memimpin delegasi Indonesia ke Timur
Tengah untuk memperoleh pengakuan kedaulatan. Berkait kepiawaiannya
berbahasa Arab dan adab Islamnya yang mengesankan, Indonesia berhasil
memperoleh pengakuan formal dan dukungan moral kemerdekaan dari Mesir (10
Juni 1947), Lebanon (29 Juni 1947), dan Suriah (2 Juli 1947).

Ini adalah prestasi besar, karena merupakan pengakuan de jure pertama dari
masyarakat internasional bagi eksistensi Republik Indonesia sebagai sebuah negara
merdeka dan berdaulat. Pengakuan ini terasa kian berharga kalau diingat saat itu
Indonesia terikat dengan Perjanjian Linggarjati yang hanya mengakui Sumatera,
Jawa dan Madura sebagai wilayahnya. Pengakuan Mesir berlaku untuk wilayah
Indonesia yang meliputi semua bekas Hindia Belanda. Mesir tidak berubah sikap
sekalipun diprotes habis-habisan oleh Belanda.

Selanjutnya Agus Salim kembali mendampingi Sutan Sjahrir, dalam sidang Dewan
Keamanan PBB di Lake Success, Amerika Serikat. Kelanjutan Linggarjati macet
karena Belanda menolak berunding sebagai protes terhadap manuver diplomatik RI.
Misi ke PBB sukses karena PBB atas dukungan Amerika Serikat membentuk Komisi
Jasa Baik yang bisa memaksa Belanda duduk kembali di meja perundingan. Dalam
proses ini Amerika Serikat bersikap tegas kepada Belanda karena kesal. Pengucuran
pertama dana Marshall Plan yang dimaksudkan untuk membangun kembali Eropa
pasca Perang Dunia Kedua, justru digunakan Belanda untuk membiayai aksi-aksi
militernya di Indonesia.

Sedikit catatan untuk tim delegasi RI saat itu. Kita sudah tahu anggota delegasi
seperti Sumitro Djojohadikusumo dan Sudjatmoko (mantan rektor PBB, adik ipar
Sjahrir). Tapi mungkin belum banyak yang pernah mendengar nama Charles Tambu.
Sebenarnya ia bukan orang atau warga negara Indonesia. Ia berdarah Tamil dan
warga negara Ceylon (Sri Lanka, setelah merdeka dari Inggris). Tapi sejak muda ia
sudah jatuh cinta kepada Indonesia, dan ikut berjuang di berbagai kesempatan dan
forum internasional. Bung Karno menyambut hangat kehadirannya dengan
menghadiahkan paspor Indonesia hanya beberapa saat sebelum misi diplomatik
Sjahrir dilancarkan. Ia sempat menjadi Konsul Jenderal Indonesia di Manila periode
1949-1953. Kecintaannya terhadap Indonesia tidak pernah redup dalam situasi
susah. Ketika di Manila, ia dan istrinya harus mondok di rumah seorang tukang
cukur kenalannya. Itulah “Wisma Indonesia” pertama di Manila. Ketika hendak
menghadap Presiden Filipina, ia harus meminjam jas tukang cukur itu. Gajinya US$
6 per minggu. Suatu ketika kas sang diplomat tinggal 20 sen. Ia membeli beberapa
buah apel. Dengan apel dan air ledeng, sang diplomat dan nyonya bertahan hidup
selama tiga hari.

Dalam Perjanjian Renville, Agus Salim kembali diutus untuk berunding dengan
Belanda, mendampingi Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, Ali Sastroamijoyo,
Mohammad Roem, Ir. Djuanda, dr. Jo Leimena dan Mr Johannes Latuharhary.
Dalam perundingan tersebut sejak awal Salim sudah merasa perundingan itu tidak
ada gunanya, karena ia menduga Belanda sudah memutuskan untuk menempuh jalur
militer guna merebut kembali jajahannya. Salim pun mengingatkan Belanda:
“Pengakuan penuh negara-negara Timur Tengah itu akibat anda mengerahkan
kekuatan militer. Kerahkan lagi kekuatan militer yang lebih besar, maka kami akan
memperoleh pengakuan penuh dari seluruh dunia.”

Belanda mengabaikan peringatan itu, dan ternyata Salim terbukti benar. Burma,
India, Pakistan yang baru merdeka, dan banyak negara lain sontak memprotes Agresi
Militer II, sekaligus menyusul Mesir, Lebanon dan Suriah dalam memberikan
pengakuan de jure penuh kepada Republik Indonesia. Negara-negara Sekutu lambat
laun terpaksa melakukan langkah serupa atau mereka akan mengalami kesulitan
berurusan dengan bekas jajahannya, sehingga akhirnya Belanda pun melakukan hal
serupa melalui KMB. Andaikan Belanda mendengarkan peringatan Salim, ceritanya
mungkin akan berbeda.

Semasa menjadi diplomat banyak beredar cerita menarik tentang Salim. Dalam
berbagai acara resepsi diplomatik, keberadaan Salim mudah dibedakan dari
kebanyakan. Selain lebih pendek, dandanannya pun sungguh kontras. Bila para
diplomat lain berpenampilan serba necis, ia justru mengenakan jas usang berhiaskan
jahitan dan tisikan di sana-sini. Untung para ibu di zaman itu rata-rata mahir
menjahit, sehingga tidak terlalu kentara. Pembeda lain, ia selalu bak lokomotif kereta
api jaman rekiplik yang mengepulkan asap di mana-mana.

Jika ada sisa uang belanja dari istrinya, biasanya uang itu habis untuk membeli…
rokok. Dalam berbagai acara resmi Salim santai saja menikmati rokok kretek yang
asapnya membuat kebanyakan orang Eropa terasa menyengat. Suatu ketika
Pangeran Phillip dari Inggris yang mungkin merasa terganggu bertanya apa yang
dihisap Salim. Salim menjawab, “Ini tuan, adalah benda yang membuat tuan-tuan
datang dan menjajah negeri kami. Cengkeh.” Phillip yang tadinya hendak menegur
jadi tidak enak sendiri.

Dalam sebuah acara makan malam Salim memilih menyantap hidangan dengan
tangannya langsung. Seorang Eropa terkesima dengan tindakannya dan bertanya
“Bukankah itu tidak higienis? Mengapa Anda makan menggunakan tangan, padahal
sudah ada sendok dan garpu.” Salim lantas menjawab: ”Saya menyuap dengan
tangan sendiri untuk masuk ke mulut saya. Sedangkan sendok yang tuan-tuan pakai
pernah masuk ke mulut banyak orang. Jadi, ini lebih higienis,” katanya sambil
menunjukkan tangannya yang berlepotan makanan.

Kepiawaian Salim dalam menguasai bahasa asing, dikisahkan pula oleh seorang
Indonesianis AS, Prof George McTurnan Kahin. Suatu hari Kahin mengundang
Salim dan Ngo Dinh Diem (pernah menjadi perdana menteri Vietnam Selatan)
makan di ruang dosen Cornell University. Ketika itu ia diminta sebagai pembicara
tamu di universitas tersebut, sedangkan Diem sedang mengumpulkan dukungan bagi
Vietnam Selatan. Melihat keduanya berdebat seru dalam Bahasa Perancis, Kahin
begitu terperangah. Kalau Diem yang bangsawan dan pernah sekolah di Paris serta
negaranya lama dijajah Perancis, ia tidak heran; namun ia baru tahu Salim demikian
fasih bicara dalam bahasa itu. Lebih terperangah lagi ketika ia melihat Diem
berulang kali terpesona mendengarkan kata-kata Agus Salim.

Satu hal lagi yang mempertebal kenyentrikan Haji Agus Salim adalah ia mendidik
sendiri anak-anaknya di rumah, tidak mengirimkan mereka ke sekolah. Ini bukan
mau ngirit, tapi Salim tidak percaya sekolah di zaman kolonial mampu memberikan
pendidikan yang paling dibutuhkan. Dari 8 anak, semuanya dididik sendiri bersama
istrinya, kecuali anak bungsunya ketika usia Salim sudah terlalu lanjut dan Indonesia
sudah merdeka. Pendidikan keluarga Salim biasanya berlangsung sambil bermain
atau ketika sedang makan.

Menurut anak ke-8, Siti Asiah atau yang akrab disapa Bibsy, paatjedan
maatje(panggilan sayang anak-anak Salim untuk ayah-ibunya) sering menyanyikan
lagu-lagu yang liriknya diambil dari karya para sastrawan dunia. Selain itu ayahnya
juga pandai melucu sehingga bisa memikat dan tak membosankan. Untuk melatih
kemampuan berbahasa, sedari kecil mereka telah mengajak anak-anak berbicara
Bahasa Belanda, sehingga bahasa itu ibarat bahasa ibu mereka. Ketika ada teman
yang menegur karena Salim dianggap meremehkan sekolah formal, Salim
memanggil salah satu putrinya dan disuruhnya mengobrol dengan dalam bahasa
Belanda.Teman Salim itu kalah.

Pendidikan home schoolingala Agus Salim tak semata-mata dimaksudkan membuat


anak pintar, namun juga memperhatikan pertumbuhan jiwa mereka. Ia bersama
istrinya, tak menginginkan anak-anak terkekang oleh kehendak orang tua. Oleh
karenanya, ia pantang memberi kualifikasi seperti “kamu nakal” atau “kamu jahat”
kepada anak-anaknya. Meski tak mengenyam pendidikan formal, namun anak-anak
Salim bisa tumbuh dan “jadi orang”.

Salah satu putranya, Islam Besari Salim, menjadi perwira pejuang gerilya di
Sumatera dan menjadi petugas penghubung penting di masa Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI). Terakhir ia pernah menjadi atase militer di KBRI
Peking (sekarang Beijing). Ketika W.R. Supratman memainkan lagu Indonesia Raya
dengan biola pada acara akbar Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928, putri sulung
Agus Salim, Theodora Atia yang biasa disapa Dolly, pada usia usia 15 tahun,
mengiringinya dengan piano.

Salim dan istrinya adalah vegetarian. Lagi-lagi bukan untuk ngirit,tapi karena
keduanya masih ada ikatan keluarga. Dari bacaannya Salim tahu anak-anak dari
suami-istri yang masih berkerabat ada kemungkinan mengalami kelainan atau
gampang sakit-sakitan. Tapi itu bisa dicegah kalau suami-istri tersebut tidak makan
daging. Demi memperoleh anak-anak yang sehat, keduanya bertekad menjauhi
daging. Kebiasaan itu melekat pula pada semua anak. Hubungan keduanya
harmonis, tidak pernah ada pertengkaran besar. Tampaknya, ini yang membuat Haji
Agus Salim selalu merasa baik-baik saja meskipun kantungnya kosong.

Hubungan keduanya awet mesra, tidak cuma di masa muda, tapi berlanjut terus
sampai di masa senja. Kalau tidak mesra, masak iya, anaknya sampai 10 orang. Perlu
diketahui anak bungsu lahir ketika jumlah usia keduanya pas 100 tahun. Salim
berusia 55 tahun, dan sang istri 45 tahun. Kurang bukti apa kalau keduanya selalu
mesra? Lagi-lagi ini nampaknya yang menjadi alasan mengapa Pak dan Bu Salim
selalu bahagia, tidak perduli seperti apa kondisi dompet keduanya.

Sikap ikhlas sang ibu menular ke anak-anaknya. Mereka tidak menaruh keberatan
sering berpindah-pindah, bahkan pernah lebih dari sekali dalam sebulan. Mereka
menganggap semua rumah baik, asalkan mereka bisa berkumpul dan rukun. Soal
makan mereka tidak pernah rewel. Kalau sudah ada nasi hangat, maka beberapa tetes
kecap, sesendok mentega atau susu kental manis sudah cukup sebagai lauk.

Kadang sikap praktis Salim “agak keterlaluan”. Ketika salah satu putranya
meninggal saat masih bayi, Salim tidak punya uang untuk sekedar membeli kain
kafan. Salim pun memakai taplak meja dan seprei sebagai kain kafan. Ketika para
kerabatnya menegur dan menawarkan bantuan, Salim menampik: “Tidak apa-apa.
Simpan saja uang itu untuk yang masih hidup dan memerlukan. Ini cukup. Anak
saya ini tidak memerlukan apa-apa lagi.”

Seperti telah disinggung di atas, ketika menjadi aktivis SI, Salim pernah menjabat
pemimpin redaksi “Hindia Baroe”, koran yang dimiliki beberapa pengusaha
Belanda. Melalui koran ini, ia sering mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yang
tidak prorakyat. Oleh pemiliknya, Salim diminta untuk tidak terlalu keras mengkritik
pemerintah. Namun permintaan itu malah dijawabnya dengan pengunduran diri.
Karena ingin hidup bebas dan idealis, Salim sering tak mempunyai pendapatan tetap,
karena itu dompetnya lebih sering kosong daripada berisi. Akibatnya ia kerap
berpindah-pindah rumah, dari kontrakan satu ke kontrakan lainnya.

Mr. Mohammad Roem yang menjadi penerusnya sebagai menteri luar negeri suatu
ketika bertandang ke rumah Salim. Ia menceritakan dengan perasaan tidak percaya,
bahwa rumahnya di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, berada di kawasan kumuh dan
becek. Ia juga pernah tinggal di Jatinegara, di mana keluarga H Agus Salim hanya
menempati satu ruangan. Di rumah itu, Roem melihat koper-koper bertumpuk di
pinggir ruang dan beberapa kasur digulung. Meski sudah menjabat sebagai menteri
luar negeri, Salim dan keluarganya masih tinggal di rumah kontrakan.
Kebanyakan rumah yang dikontrak oleh Agus Salim pun tidaklah luas dan nyaman.
Demi mengubah suasana, setiap enam bulan sekali, Agus Salim menyusun ulang tata
letak meja-kursi, lemari, hingga tempat tidur. Dengan melakukan itu, ia merasa
mengubah lingkungan tanpa perlu pindah ke tempat lain. Tak jarang pula, rumah
yang ditempatinya itu bocor di mana-mana. Meski demikian, keluarga H. Agus
Salim tak mengeluh. Mereka selalu mengedepankan syukur. Bagi mereka, rumah
yang bocor justru dirasakan sebagai suka cita yang dapat menciptakan keasyikan
bersama. Bila hujan tiba dan atap bocor, Zainatun Nahar, istri Agus Salim, bergegas
menaruh ember-ember di tempat-tempat yang bocor. Ia lalu mengajak anak-anak
mereka yang masih kecil membuat perahu dari kertas, dan asyik-lah mereka bermain
perahu bersama.

H. Agus Salim sebagai menteri seharusnya berhak mendapatkan sebuah rumah di


Menteng. Perumahan Menteng sejak dulu adalah kawasan elite yang hanya dihuni
para pejabat tinggi dan pengusaha besar Belanda. Tidak ada orang Indonesia yang
tinggal di sana di masa kolonial. Di masa Jepang kawasan yang kosong ditinggal
kabur penghuninya itu diambil alih untuk para pembesar militer Jepang dan
beberapa di antaranya diberikan kepada para tokoh Indonesia, termasuk Bung Karno
yang kebagian rumah besar di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, lokasi pembacaan
proklamasi.

Setelah KMB, kompleks itu dikuasai Sekretariat Negara yang membagikannya


untuk rumah dinas para pejabat tinggi. Karena kebanyakan belum punya rumah
sendiri, biasanya rumah dinas itu kemudian dihadiahkan negara untuk para pejabat
tinggi yang menghuninya. Saat ini, keistimewaan hadiah rumah dari negara hanya
diberikan kepada para mantan presiden.

Bung Karno pernah membantu menyediakan sebuah rumah di Kebayoran untuk


Salim. Rumah itu lantas ditempati putra Salim yang sudah menikah. Tapi karena
sering kebanjiran, rumah itu lalu dijual, dan oleh Salim uangnya dibagi rata ke anak-
anaknya dan sebagian disedekahkan. Salim sendiri seumur-umur menikmati
statusnya sebagai “kontraktor”.

Watak riang menjadikan kehadiran Salim mencerahkan suasana. Suasana debat


panas akan reda jika ada Salim. Apalagi kalau lelucon-leluconnya mulai keluar.
Konon, kalau soal lelucon, Salim bisa menjadi pesaing berat Gus Dur. Satu ilustrasi,
Di atas Kapal Perang Amerika USS Renville, Haji Agus Salim bertindak sebagai
anggota delegasi dalam perundingan dengan Pihak Belanda dalam perundingan yang
kelak disebut sebagai perundingan Renville. Haji Agus Salim kehausan, ia meminta
air minum kepada pelayan wanita di kapal itu. “Hampir saja saya pingsan karena
kehausan,” kata Agus Salim setelah disuguhkan segelas air oleh pelayan. “Jangan
khawatir tuan, kalau tuan pingsan, pasti nanti saya peluk,” ujar si pelayan wanita
mencoba bercanda dengan Agus Salim. “Kalau sudah pingsan, buat apa saya
dipeluk,” jawab Agus Salim membuat si pelayan tersipu..

Usia lanjut mendorong Salim beristirahat dari dunia politik praktis dan pemerintahan
pada tahun 1953. Jabatan terakhir yang dipegangnya adalah penasihat Kementerian
Luar Negeri. Begitu pensiun Salim mengajak sang istri tetirah di Ithaca Amerika
Serikat selama enam bulan atas undangan Cornell University yang diatur oleh sobat
lamanya, Prof Kahin. Di sana Salim menjadi tokoh populer dan sempat pula bertemu
dengan sejumlah tokoh seperti istri mendiang Presiden AS, FD Roosevelt, yakni
Eleanor Roosevelt.

Sepulangnya ke tanah air, di masa pensiun Salim sempat membuat sejumlah tulisan,
sampai ia jatuh sakit. Tadinya dikira sakit biasa, tetapi takdirnya sudah tiba. Pada 4
November 1954 Haji Agus Salim wafat dalam kesederhanaan, tenang dan damai.
Haji Agus Salim adalah pahlawan pertama yang dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata. Gelar Pahlawan Nasional dianugerahkan Negara di tahun 1961.

Dikutip Dari Tulisan Faisal Basri: “https://faisalbasri.com/2019/04/21/haji-agus-


salim-kisah-teladan-kesederhanaan/”

Anda mungkin juga menyukai