Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

WACANA PEDIDIKAN SATU ATAP


Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur pada mata kuliah
“ Kapita Selekta Pendidikan”

Disusun Oleh :
AGA FAHZIO RIVALDO
S1.VI.15.20.011

Dosen Pengampu :
Hilmi, M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH ( STIT ) YPI AL-YAQIN
MUARO SIJUNJUNG
2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama allah swt yang maha pengasih lagi maha penyayang ,
kami panjatkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “
WACANA PENDIDIKAN SATU ATAP” ini dengan baik. Makalah ini telah kami susun
dengan maksimal dan mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini . Terlepas dari itu semua , kami menyadari
sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menrima segala kritik dan saran dari
para pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang wacana Pendidikan satu atap
ini dapat memberikan manfaat aupun inspirasi terhadap pembaca.

Sijunjun, juni 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
A. Pengertian dualisme sistem Pendidikan....................................................................3
B. Integrasi pada dualisme sistem Pendidikan..............................................................5
C. Konsep Pendidikan satu atap......................................................................................9
BAB III PENUTUP...............................................................................................................11
A. Kesimpulan.................................................................................................................11
B. Saran...........................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................13

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia dewasa ini dihadapkan pada ragam persoalan internal dan ekternal
yang ditimbulkan oleh berbagai macam perubahan, seperti perubahan tenologi,
perubahan sosial dan perubahan budaya yang terutama membawa dampak dalam
berbagai kemajuan dan perkembangan pendidikan. Kemajuan dan perkembangan
pendidikan menjadi faktor keberhasilan suatu bangsa. Beberapa indikasi dapat dilihat
dari kemajuan dunia barat seperti Amerika dan Eropa yang selalu menjadi anutan
setiap berbicara masalah pendidikan. Hal ini diketahui dari berbagai data yang telah
memberikan informasi tentang keunggulan dibidang Pendidikan seperti model
pembelajaran, hasil-hasil penelitian, produk-produk lulusan dan sebagainya.
Tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam UU SISDIKNAS adalah
untuk mengembangkan potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Implementasi dari aspek pendidikan isi adalah input (anak didik) sebagai obyek dalam
pendidikan, sedangkan proses/trasformasi merupakan mesin yang akan mencetak
anak didik sesuai yang diharapkan, dan Tujuan merupakan hasil akhir yang dicapai
atau output. Perlu diketahui bahwa proses/ trasformasi dalam kerjanya dipengaruhi
oleh berbagai factor, seperti fasilitas, waktu, lingkungan, sumber daya, pendidik dan
sebagainya, dimana faktor tersebut sangat menentukan output. Oleh karena itu sebuah
sistem pendidikan perlu melakukan penyesuaian dengan lingkungan, karena
lingkungan mengandung sejumlah kendala bagi bekerjanya sistem (misalnya:
keterbatasan sumber daya). Untuk itu sistem pendidikan dituntut oleh lingkungan
untuk mengolah sumber daya pendidikan secara efektif dan efisien.1
Berbagai inovasi dibidang pendidikan ditelurkan oleh pemerintah pusat. Satu
diantaranya Sekolah Satu Atap. Ini merupakan model pengelolaan pendidikan oleh
satuan pendidikan dengan menyatukan sekolah-sekolah dari tingkat TK, SD, SMP,
sampai dengan SMA maupun beberapa diantara jenjang sekolah yang ada pada satu
wilayah tertentu. Model ini di desain untuk mendekatkan lembaga pendidikan ke

1
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21,( Yogyakarta: Safiria
Ingaria Press. 2003) hal. 34

1
tempat yang paling mudah dijangkau oleh masyarakat. Harapannya, tidak ada anak
usia sekolah yang tidak bersekolah hanya karena jarak tempuh ke sekolah sangat jauh.
B. Rumusan Masalah
a. Apa itu dualisme sistem penyelenggaraan Pendidikan?
b. Bagaimana upaya integrasi pada dualisme system penyelenggaraan
Pendidikan?
c. Bagaimana konsep Pendidikan satu atap?

C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui dualisme sistem penyelenggaraan Pendidikan
b. Untuk mengetahui upaya integrasi pada dualisme sistem penyelenggaraan
Pendidikan
c. Untuk mengetahui konsep Pendidikan satu atap

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dualisme sistem Pendidikan
Perkataan “dualisme” adalah gabungan dua perkataan yang berasal dari bahasa
Latin yaitu “dualis” atau “duo” dan “ismus” atau “isme”. “Duo” memberi arti kata
dua sedangkan “ismus” berfungsi membentuk kata nama bagi satu kata kerja. Dua-
lisme adalah dua prinsip yang saling bertentangan. Secara terminologi, dualisme da-
pat diartikan sebagai dua prinsip atau paham yang berbeda dan saling bertentangan.
Oleh karena itu, dualisme ialah keadaan yang menjadi dua dan ia adalah satu sistem
atau teori yang berdasarkan pada dua prinsip yang menyatakan bahwa ada dua subs-
tansi.2
Dalam konteks pendidikan, Marwan Sarijo menyatakan bahwa istilah dualis-
me dan dikotomi memiliki makna yang sama yaitu pemisahan antara pendidikan
umum dari pendidikan agama. Dengan pemaknaan di atas, dualisme dan dikotomi
pendidikan adalah pemisahan sistem pendidikan antara pendidikan Islam dan pen-
didikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan atau
ilmu umum. Dualisme dan dikotomi ini, bukan hanya pada tataran pemilahan tetapi
masuk pada wilayah pemisahan. Dalam operasionalnya, pemisahan mata pelajaran
umum dengan mata pelajaran agama, sekolah umum dan madrasah yang pengelola-
annya memiliki kebijakan masing-masing.
Di Indonesia, bidang pendidikan ditangani oleh dua kementerian yakni
Kemen- terian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama. Dalam
pelaksanaan- nya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membawahi lembaga
pendidikan mulai TK, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi Umum. Sedangkan
Kementerian Agama mengurusi lembaga pendidikan dari RA, MI, MTs, MA, hingga
Perguruan Tinggi Agama Islam (UIN, IAIN, STAIN dan PTAIS). Hal tersebut
memunculkan pemahaman adanya dualisme pendidikan, yakni adanya sekolah umum
dan sekolah agama. Kedua lembaga penyelenggara pendidikan tersebut merupakan
bagian sistem pendidikan nasional.3

2
Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safira Insan
Press, 2005,) hal. 91-91.
3
Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: PT Raja
Gradindo Persada, 2009) hal. 83.

3
Bentuk dualisme dalam pendidikan itu dapat dilihat dari kebijakan pemerintah,
baik dari kebijakan dalam undang-undang pendidikan nasional maupun Peraturan
Pemerintah. Pergumulan antara sistem pendidikan umum dengan sistem pendidikan
Islam pun terus berlangsung. Pada tahun 1974, pemerintah mengeluarkan Keputusan
Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang
dilakukan oleh Kemen- terian Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya
penyelenggaraan pendi- dikan agama. Keputusan itu diikuti oleh Inpres No. 15 Tahun
1974 tentang Pelaksa- naan Keputusan Presiden tersebut. Keputusan ini mendapat
tantangan keras dari ka- langan Islam. Alasannya karena madrasah harus dikelola oleh
Kemendikbud sebagai satu-satunya kementerian yang bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan pendi- dikan nasional. Bahkan sebagian umat Islam memandang
Kepres dan Inpres tersebut sebagai manuver untuk mengabaikan peranan dan manfaat
madrasah juga dipan- dang sebagai langkah untuk mengurangi tugas dan peranan
Kementerian Agama dan bagian dari upaya sekulerisasi yang dilakukan pemerintah
Orde Baru. Hal ini cukup beralasan dikaitkan dengan setting sosial politik yang
berlangsung pada awal pe- merintah Orde Baru yang menerapkan kebijakan politik
yang memarjinalkan politik Islam melalui pengebirian partai politik Islam4
Munculnya reaksi keras dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde
Baru. Pemerintah kemudian mengambil kebijakan yang lebih operasional dengan me-
ngeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada tanggal 24 Maret 1975, yang di-
tandatangani oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri
Agama yaitu No. 6 Tahun 1975; No. 037/U/1975; dan No. 36 Tahun 1975. Inti dari
ketetapan dari SKB Tiga Menteri ini adalah:
1. Agar madrasah untuk semua jenjang dapat mempunyai nilai yang sama
dengan ijazah sekolah umum yang setingkat.
2. Agar lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat dan
lebih atas.
3. Agar siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat,
maka ku- rikulum yang diselenggarakan madrasah harus terdiri dari 70%
mata pelajaran umum dan 30% mata pelajaran agama.5

4
Departemen Agama, Sejarah Madrasah, Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia,( Jakarta:
Departemen Agama RI, 2004) hal. 142.
5
Ibid. hal 148

4
Pada kenyataannya, dualisme pendidikan di Indonesia sampai sekarang ma-
sih melingkupi pendidikan nasional. Kementerian Agama sebagai pemegang otoritas
pengelolaan pendidikan agama berhadapan dengan Kementerian Pendidikan dan Ke-
budayaan selaku pengelola pendidikan umum sehingga muncul persoalan-persoalan,
yakni dualisme dalam pendidikan di Indonesia. Adanya dualisme dalam pendidikan
yakni pendidikan umum dan pendidikan agama sampai sekarang masih tampak dalam
UU RI No.20 tahun 2003 Bab VI, pasal 15 tentang Sisdiknas yang berbunyi: “Jenis
pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi dan
keagamaan”. Dari pasal tersebut tampak jelas terjadinya dualisme dalam pendidikan
agama dan pendidikan umum.
B. Integrasi pada dualisme sistem Pendidikan
Ulama-ulama terdulu tidak pernah membedakan ilmu umum dan ilmu agama.
Namun, menurut Muhamad Abduh, harus ada skala prioritas dimana ilmu agama
perlu diajarkan pertama kali karena berkaitan dengan kebutuhan dasar sebagai orang
beragama. Dia harus tahu hakikat agamanya supaya punya identitas, sistem moral
yang kuat, dan visi yang jelas.6Bukti bahwa ulama dulu tak pernah membedakan
disiplin ilmu tertentu dapat dilihat dari otoritas keilmuan yang dikuasai ulama-ulama
terdahulu. Ini mengindikasikan Islam sangatlah menjunjung tinggi keutamaan ilmu
dari aspek keutuhan il- mu. Para tokoh muslim dan ulama terdahulu juga telah
membuktikan kesatuan ilmu yang wajib dipelajari. Al-Kindi merupakan seorang filsuf
sekaligus agamawan, begitu pula al-Farabi. Ibn Sina, selain ahli dalam bidang
kedokteran, filsafat, psikologi, dan musik, beliau juga seorang ulama. Al-Khawarizmi
adalah ulama yang ahli matema tika, al-Ghazali, walaupun belakangan popular karena
kehidupan dan ajaran sufistiknya, sebenarnya beliau telah melalui berbagai bidang
ilmu yang diketahuinya, mulai dari ilmu fiqh, kalam, falsafah, hingga tasawuf. Ibn
Rusyd, seorang ahli fikih yang mampu menghasilkan karya besarnya Bidayat Al-
Mujtahid, mampu mengsinergikan filsafat dan ilmu fiqh. Ibn Khaldun dikenal sebagai
ulama peletak dasar sosiologi mo- dern dalam karya besarnya Al-Mukaddimah, yang
sampai sekarang banyak ahli yang mengkajinya, baik dari dari kalangan umat Islam
maupun para orientalis.
Maka dapat dikatakan bahwa ilmu orang-orang zaman dahulu sebenarnya
hampir tidak mengenal konsep dualisme ilmu, karena bagi mereka semua aliran ilmu

6
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,( Cet. XIV; Jakarta: Bulan
Bintang, 2003) hal. 58

5
berada di bawah satu atap bangunan pemikiran dan berasal dari Allah SWT. . Tidak
ada ilmu yang berdiri sendiri. Semuanya terhubung dan saling melengkapi.
Keseimbangan antara dunia dan akhirat menunjukkan betapa penting dan saling
berhubungannya keduanya. Dalam bidang keilmuan tidak ada perbedaan antara ilmu
duniawi dengan ilmu ruhani lainnya, sebagaimana QS al-Mujadilah/58:

‫ا‬JJ‫ت َوهّٰللا ُ بِ َم‬


ٍ ۗ ‫وا ْال ِع ْل َم د ََر ٰج‬JJُ‫وْ ا ِم ْن ُك ۙ ْم َوالَّ ِذ ْينَ اُوْ ت‬JJُ‫ع هّٰللا ُ الَّ ِذ ْينَ ٰا َمن‬J ‫ هّٰللا‬J‫فَا ْفسحُوْ ا ي ْفس‬
ِ Jَ‫ ُزوْ ا يَرْ ف‬J‫ ُزوْ ا فَا ْن ُش‬J‫ َل ا ْن ُش‬J‫ح ُ لَ ُك ۚ ْم َواِ َذا قِ ْي‬ ِ َ َ َ
‫تَ ْع َملُوْ نَ خَ بِ ْي ٌر‬
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu,
“Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya
Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan,
“Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat
(derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.

Dualisme dalam pendidikan adalah konsep yang sama sekali tidak dikenal da-
lam tradisi keilmuan salaf. Banyaknya ulama yang punya otoritas keilmuan lebih dari
satu bidang adalah bukti kuat ulama kita tidak mengenal konsep dikotomi ilmu. Ra-
sulullah saw. sekalipun sebagai suri tauladan yang baik (uswatun hasanah), tidak per-
nah membedakan antara ilmu umum dan ilmu agama karena semua ilmu datangnya
dari satu Dzat, yaitu Allah swt. Apa yang diistilahkan orang-orang sekarang sebagai
ilmu agama (ilmu-ilmu Islam- teologi, tafsir, hadis, fikih, dll) dan ilmu-ilmu umum
(ilmu sekuler), dalam pandangan Islam, pada batas tertentu, wajib dikuasai semua-
nya. Artinya, bagi setiap muslim wajib mempelajarinya. Artinya, terminologi dalam
ranah keilmuan Islam sangat luas cakupannya menyangkut hal yang bisa diverifikasi
dan hal-hal yang bersifat metafisik. Maka menerjemahkan kalimat ‘ilmu dalam ba-
hasa Arab dengan science (Inggris) menurut penulis tidak tepat karena istilah science
sangat positivistik hanya mendasarkan kebenaran pada realitas empiris belaka. Secara
konseptual, menurut Abdul Rahman Al Segaf, 7dalam pendidikan Islam tidak
dijumpai dualisme. Jika kita menoleh pegangan Islam yakni al-Qur'an ataupun hadis
tidak ditemukan, baik secara tersirat terlebih lagi tersurat menemukan dalil me-
ngenai dualisme ilmu atau pendidikan. Justru sebaliknya Islam mengajarkan untuk

7
Abd. Rahman Assegaf, Pengantar dalam buku Pendidikan Islam Integratif, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005) hal. 7.

6
menuntut semua cabang ilmu. Akar masalah dualisme pendidikan di Indonesia adalah
persoalan pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama. Menurut Dr. Mochtar Naim,
dualisme pendidi- kan adalah penyebab utama dari kesenjangan pendidikan di
Indonesia dengan segala akibat yang ditimbulkannya. Hal ini merupakan warisan dari
kolonial Belanda.
Menurut Ramayulis, solusi untuk mengurangi atau meniadakan dualisme da-
lam pendidikan dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip keseimbangan yang
mendasari pendidikan Islam yaitu keseimbangan antara kehidupan duniawi dan
ukhrawi, keseimbangan antara jasmani dan rohani, serta keseimbangan antara indivi-
du dan masyarakat. Al-Faruqi menawarkan islamisasi ilmu ke dalam pendidikan Islam
dengan me- lebur dua sistem pendidikan; tradisional dan modern, menjadi sistem
pendidikan yang berwawasan Islam. Ini dimaksudkan untuk menghilangkan problem
dualisme dalam sistem pendidikan. Ide tersebut berisikan suatu prinsip bahwa
keilmuan barat tidak harus ditolak, artinya perlu diterima, tetapi harus melalui proses
filterisasi yang disejalankan dengan nafas Islami agar tidak bertentangan dengan al-
Qur'an dan ha- dis. Untuk memecahkan masalah dualisme pendidikan, merupakan al-
Faruqi me- mecahkan problem dualisme pendidikan adalah islamisasi ilmu dalam
pendidikan Is- lam. Menurut al-Faruqi, jalannya adalah melakukan islamisasi ilmu.
Menurutnya, pa- ra akademisi Islam hendaknya memberi solusi melalui islamisasi
ilmu. Artinya, aka-demisi muslim harus menguasai semua disiplin ilmu modern,
memahami disiplin tersebut dengan sempurna, dan merasakan itu sebagai perintah
agama. Setelah itu, mereka harus mengintegrasikan pengetahuan baru tersebut ke
dalam keutuhan wa- risan Islam dengan melakukan eliminasi, perubahan, penafsiran
kembali, dan penye- suaian terhadap komponen-komponennya sebagai world view
Islam dan menetapkan nilai-nilainya8
Selanjutnya, mendorong pemerintah untuk mengintegrasikan pendidikan
umum dan pendidikan agama ke dalam satu sistem. Sebagai bagian dari proses
pencarian rumusan sistem pendidikan nasional yang tunggal, pergumulan itu secara
bertahap harus menghasilkan penyesuaian-penyesuaian yang signifikan. Tentu butuh
proses yang panjang dan mungkin terjadi ketegangan politik di antara komponen yang
berbeda pandangan. Gagasan tentang pendidikan nasional di bawah satu atap berarti
penghilangan "dualisme" penyelenggaraan pendidikan di Indonesia seperti yang

8
Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005),
hal. 18

7
dijalankan selama ini, sebenarnya bukan suatu hal baru. Pada masa Orde Baru,
Mendikbud pernah mengemukakan gagasan ini yang berarti bahwa semua lembaga
pendidikan, termasuk lembaga pendidikan keagamaan, diurus di departemennya. Pada
saat itu, gagasan ini mendapat reaksi keras dari kalangan pemimpin dan organisasi
Islam, terutama karena pertimbangan politis, yakni kekhawatiran akan adanya proses
sekuralisasi dalam bidang pendidikan di Indonesia. Di samping itu, umat Islam yang
pada waktu itu termarjinalisasi secara politis, berpikir bahwa keberadaan pendidikan
keagamaan bukan hanya sekadar bentuk kelembagaan, tetapi juga merupakan
simbolisme politik Islam di Indonesia.
Selang 20 tahun kemudian, gagasan itu kembali muncul pada masa kekuasaan
Presiden Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil dengan Gus Dur. Memang Gus
Dur tidak secara eksplisit menyatakan perlunya pendidikan nasional dalam satu atap,
namun kebijakannya tentang perubahan nama Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menjadi Kemendiknas dapat menjadi indikasi ke arah penyatuatapan ini.
Kali ini, gagasan penyatuan pendidikan nasional ini disambut biasa-biasa saja, dalam
arti tidak ada penolakan keras maupun penerimaan dengan penuh kegembiraan.
Tiadanya penolakan ini bisa jadi karena umat Islam sudah berada dalam center of
power sehingga pendidikan keagamaan di bawah Kemenag bukan merupakan satu-
satunya ekspresi simbolik politik Islam.
Oleh karena itu, menurut penulis dalam rangka menyikapi dan menangani
dualisme pendidikan di Indonesia, maka ada beberapa langkah yang ditawarkan yaitu:
1. Harus ada keberanian pemerintah dan DPR untuk merevisi Undang-
undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), terutama pasal yang
mengatur tentang penyelenggara pendidikan di Indonesia. Mengingat
adanya dampak-dampak negatif yang dimunculkan terhadap
perkembangan pendidikan nasional.
2. Harus ada keinginan yang kuat dan action nyata dari pihak perguruan
tinggi, baik PTUN maupun PTAI sebagai lembaga keilmuan dan
pencetak “agent of change” dalam mengintegrasikan ilmu umum dan
agama itu sendiri dan dilanjutkan dengan sosialisasi pemahaman
berupa kajian-kajian kepada pemerintah dan masyarakat akan dampak-
dampak yang ditimbulkan jika dualisme pendidikan di Indonesia ini
terus dipertahankan.

8
3. Masyarakat harus mengubah cara pandang terhadap dualisme
pendidikan. Bahwa pendidikan yang diselenggarakan oleh dua lembaga
dalam sebuah negara akan menyebabkan kebingungan dan tumpang
tindih antar lembaga yang menaungi pendidikan di Indonesia.
Dengan demikian, wajah baru pendidikan Islam hendaknya berwujud
pendidikan bermutu, di mana dualisme pendidikan di Indonesia harus diakhiri.
Dualisme pendidikan hanya mengakibatkan persoalan-persoalan yang rumit. Islam
tidak pernah mengotak-kotakkan ilmu, bahkan Islam memiliki konsep bahwa ilmu itu
sumbernya satu, yaitu dari Allah swt., baik itu ilmu agama maupun ilmu umum.

C. Konsep Pendidikan satu atap


Sekolah Satu Atap (SATAP) terdiri dari sekolah dasar (kelas 1-6) dan sekolah
menengah pertama (kelas 7-9) yang berada dalam satu komplek, biasanya dengan
membangun ruang kelas tambahan untuk menampung mereka yang berada di kelas
selanjutnya. Sekolah seperti ini dimaksudkan untuk membantu peralihan dari
pendidikan tingkat sekolah dasar ke sekolah menengah pertama agar lebih mudah dan
terjangkau dari sisi pembiayaan. Pada daerah terpencil, terpencar dan terisolir yang
sulit dicapai, umumnya SMP belum didirikan atau jika sudah ada maka SMP tersebut
berada di luar jangkauan lulusan SD setempat. Jumlah lulusan SD di daerah dengan
kondisi seperti itu umumnya relatif sedikit, dengan demikian pembangunan Unit
Sekolah Baru SMP dipandang tidak efisien. Namun demikian, di lain pihak di daerah
tersebut biasanya merupakan daerah-daerah di mana APK SMP masih rendah dan
merupakan kantong anak-anak yang belum memperoleh layanan pendidikan SMP
atau yang sederajat. Salah satu cara yang bisa dilakukan pada daerah dengan ciri
seperti tersebut di atas adalah dengan mendekatkan SMP ke lokasi konsentrasi anak-
anak yang belum mendapatkan layanan pendidikan SMP dengan mengembangkan
Pendidikan Dasar Terpadu di SD yang sudah ada atau bisa disebut sebagai SD-SMP
Satu Atap. Pengembangan SD-SMP Satu Atap ini menyatukan lokasi SMP dan lokasi
SD dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya dan sarana prasarana yang ada pada
SD yang telah ada tersebut.
Tujuan umum dari program ini seperti dikutip dari laman
http://www.psmp.web.id adalah mempercepat penuntasan wajib belajar pendidikan
dasar 9 tahun dan meningkatkan mutu pendidikan dasar. Sedangkan tujuan khususnya

9
adalah: Memperluas layanan pendidikan dasar atau meningkatkan daya tampung SMP
pada daerah terpencil, terpencar dan terisolir guna menunjang tercapainya penuntasan
wajar pendidikan dasar 9 tahun. Mendekatkan SMP dengan SD pendukungnya, serta
memberikan kesempatan dan peluang bagi anak untuk melanjutkan pendidikannya,
serta meningkatkan partisipasi masyarakat. Sementara sasaran program
pengembangan SD-SMP Satu Atap dengan dana dari APBN Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan ini adalah SD negeri di daerah terpencil, terpencar dan terisolir yang
memenuhi syarat berdasarkan hasil analisis dan verifikasi Dinas Pendidikan Propinsi
atas usulan Disdik Kabupaten, serta ditetapkan oleh Direktur Pembinaan Sekolah
Menengah Pertama, Ditjen Pendidikan Dasar, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Sasaran program block grant pembangunan SD-SMP Satu Atap adalah
sekolah menengah pertama yang memenuhi syarat serta ditetapkan oleh Direktur
Pembinaan SMP Ditjen Pendidikan Dasar berdasarkan usulan dari Pemerintah
Kabupaten/ Kota. Pada tahun anggaran 2013 lalu Direktorat Pembinaan SMP
merencanakan alokasi pembangunan 147 SD-SMP Satu Atap dengan unit cost untuk
masing-masing unit sebesar Rp 811.900.000,- untuk memenuhi kebutuhan
pengembangan SD SMP satu atap di seluruh Indonesia, dengan prioritas sasaran pada
propinsi dan kabupaten dengan APK dibawah rata-rata nasional.
Sekolah satu atap mempunyai beberapa keuntungan terhadap calon peserta
didik khususnya maupun kepada pihak pengelola (baik swasta maupun instansi
pemerintah/negeri). Keuntungan itu diantaranya dapat mengatasi masalah jarak (yang
pada umumnya banyak menjadi kendala di daerah-daerah terpencil) di mana di daerah
pedalaman antara sekolah dasar dengan sekolah menengah pertama dapat terjadi
jaraknya tidak dekat bahkan teramat jauh untuk ukuran seorang calon peserta didik
yang baru lulus dari sekolah dasar.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam konteks pendidikan, Marwan Sarijo menyatakan bahwa istilah dualis-
me dan dikotomi memiliki makna yang sama yaitu pemisahan antara pendidikan
umum dari pendidikan agama. Dengan pemaknaan di atas, dualisme dan dikotomi
pendidikan adalah pemisahan sistem pendidikan antara pendidikan Islam dan pen-
didikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan atau
ilmu umum. Di Indonesia, bidang pendidikan ditangani oleh dua kementerian yakni
Kemen- terian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama. Dalam
pelaksanaan- nya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membawahi lembaga
pendidikan mulai TK, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi Umum. Sedangkan
Kementerian Agama mengurusi lembaga pendidikan dari RA, MI, MTs, MA, hingga
Perguruan Tinggi Agama Islam . Hal tersebut memunculkan pemahaman adanya
dualisme pendidikan, yakni adanya sekolah umum dan sekolah agama. Kedua
lembaga penyelenggara pendidikan tersebut merupakan bagian sistem pendidikan
nasional. Bentuk dualisme dalam pendidikan itu dapat dilihat dari kebijakan
pemerintah, baik dari kebijakan dalam undang-undang pendidikan nasional maupun
Peraturan Pemerintah.
Menurut Ramayulis, solusi untuk mengurangi atau meniadakan dualisme da-
lam pendidikan dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip keseimbangan yang
mendasari pendidikan Islam yaitu keseimbangan antara kehidupan duniawi dan
ukhrawi, keseimbangan antara jasmani dan rohani, serta keseimbangan antara indivi-
du dan masyarakat. Ini dimaksudkan untuk menghilangkan problem dualisme dalam
sistem pendidikan. Untuk memecahkan masalah dualisme pendidikan, merupakan al-
Faruqi me- mecahkan problem dualisme pendidikan adalah islamisasi ilmu dalam
pendidikan Is- lam. Selanjutnya, mendorong pemerintah untuk mengintegrasikan
pendidikan umum dan pendidikan agama ke dalam satu sistem.
Sekolah Satu Atap terdiri dari sekolah dasar dan sekolah menengah pertama
yang berada dalam satu komplek, biasanya dengan membangun ruang kelas tambahan
untuk menampung mereka yang berada di kelas selanjutnya. Sekolah seperti ini
dimaksudkan untuk membantu peralihan dari pendidikan tingkat sekolah dasar ke
sekolah menengah pertama agar lebih mudah dan terjangkau dari sisi pembiayaan.
11
Jumlah lulusan SD di daerah dengan kondisi seperti itu umumnya relatif sedikit,
dengan demikian pembangunan Unit Sekolah Baru SMP dipandang tidak efisien.
Sementara sasaran program pengembangan SD-SMP Satu Atap dengan dana dari
APBN Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini adalah SD negeri di daerah
terpencil, terpencar dan terisolir yang memenuhi syarat berdasarkan hasil analisis dan
verifikasi Dinas Pendidikan Propinsi atas usulan Disdik Kabupaten, serta ditetapkan
oleh Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, Ditjen Pendidikan Dasar,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

B. Saran

12
DAFTAR PUSTAKA

Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Yogyakarta:
Safiria Ingaria Press. 2003.
Abu Bakar Umar dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam, Yogyakarta:
Safira Insan Press, 2005.
Djamas Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, Jakarta:
PT Raja Gradindo Persada, 2009.
Departemen Agama, Sejarah Madrasah, Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia,
Jakarta: Departemen Agama RI, 2004.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,Cet. XIV;
Jakarta: Bulan Bintang, 2003.
Assegaf Abd. Rahman , Pengantar dalam buku Pendidikan Islam Integratif, Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Rahim Husni , Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2005.

13

Anda mungkin juga menyukai