Anda di halaman 1dari 21

AL-KINDI

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam

DOSEN PENGAMPU:
Prof. Dr. Drs. Purbayu Budi Santosa, M.S.

DISUSUN OLEH: KELOMPOK 3

Dien Nur Aulia Zahro 12020219130036


Ira Agustina 12020219120026
Nugroho Joyo Prakoso 12020219140106
Sekar Arum Nurdamayanti 12020219120028

UNIVERSITAS DIPONEGORO
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
EKONOMI ISLAM
2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang mendorong dan mendukung
perkembangan pemikiran. Hal ini banyak dinyatakan oleh kitab suci al-Qur’an
yang mengajak manusia untuk berpikir dan mengkaji alam sekitar dengan
menggunakan rasio. Kondisi ini mengantarkan umat Islam untuk selalu
memupuk kebiasaan berfikir sehingga melahirkan filosof dan saintis Muslim
khususnya sebelum abad 14 Masehi, seperti al-Farabi, al-Kindi, dan Ibnu Sina.
Kendatipun para filosof itu banyak mengkaji dan menganalisis filsafat Yunani
yang tidak berhubungan dengan dunia Islam, namun pemikiran dan filsafat
mereka tetap berdasarkan ajaran agama Islam. Mereka tidak begitu saja
menerima pemikiran filsafat Yunani tetapi juga mempelajarinya sesuai dengan
Islam atau tidak.
Diantara pokok masalah yang lain dan sering dibicarakan dalam Islam
adalah tentang Sang Pencipta (Khaliq) atau Allah. Para filosof Muslim termasuk
Al-Kindi sangat mementingkan permasalahan ini. Bahkan dalam pembahasan Al-
Kindi sangat jelas akan pembahasannya tentang Allah, seperti bagaimana cara
Allah menciptakan alam raya ini dan bagaimana keadaan jiwa setelah meninggal.
Harus diakui bahwa Al-Kindi belum mempunyai filsafat yang lengkap. Ia telah
berusaha mempertemukan filsafat dan agama atau akal dengan wahyu, serta lebih
jauh lagi, mengislamkan ide-ide yang terdapat pada filsafat Yunani. Pemikiran
filsafat Al-Kindi merupakan pemikiran awal yang merintis jalan bagi filosof
muslim sesudahnya untuk mempelajari hal-hal yang bersifat sangat ghaib sekali,
seperti wujud, zat dan penciptaannya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah hidup dan karya-karya Al-Kindi?
2. Bagaimana cara Al-Kindi memadukan antara ilmu filsafat dan agama?
3. Bagaimana filsafat ketuhanan yang dikemukakan oleh Al-Kindi?
4. Bagaimana pendapat Al-Kindi tentang proses terbentuknya alam?
5. Bagamana hasil pemikiran Al-Kindi mengenai filsafat kejiwaan?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui sejarah hidup dan karya-karya Al-Kindi.
2. Mengetahui cara Al-Kindi memadukan antara ilmu filsafat dan agama.
3. Mengetahui tentang filsafat ketuhanan yang dikemukakan oleh Al-Kindi.
4. Mengetahui pendapat Al-Kindi tentang proses terbentuknya alam.
5. Mengetahui hasil pemikiran Al-Kindi mengenai kejiwaan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Hidup dan Karyanya


Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’cub ibnu Ishaq ibnu Al-
Shabbah ibnu ‘Imran ibnu Muhammad ibnu Al-Asy’as ibnu Qais Al-Kindi.
Kindah, pada siapa nama Al-Kindi dinisbatkan, adalah suatu kabilah terkemuka
pra-Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman.
Kabilah ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan kesustraan Arab,
sang penyair-pangeran Imr Al-Qais, yang gagal untuk memulihkan tahta kerajaan
Kindah setelah pembunuhan ayahnya.
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M) dari keluarga
kaya dan terhormat. Kakek buyutnya, Al-Asy’as ibnu Qais adalah seorang sahabat
Nabi Muhammad SAW. yang gugur dalam syuhada’ bersama Sa’ad ibnu Abi
Waqqas dalam peperangan kaum Muslimin dengan Persia di Irak. Sementara itu
ayahnya, Ishaq ibnu Al-Shabbah adalah Gubernur Kufah pada masa pemerintahan
Al-Mahdi (775-785 M) dan Al-Rasyid (786-809 M). Ayahnya meninggal ketika ia
masih usia kanak-anak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut
ilmu dengan baik. Al-Kindi sendiri mengalami masa pemerintahan lima khalifah
Bani Abbas, yakni Al-Amin (809-813 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Al-Mu’tasim
(833-842 M), Al-Wasiq (842-847 M), dan Al-Mutawakkil (847-861 M).
Sedikit sekali informasi yang bisa diperoleh menenai Riwayat
pendidikannya. Ia pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi Bahasa dan
teologi Islam. Kemudian selagi masih muda, ia menetap di Baghdad, ibu kota
kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa
itu. Ia sangat tekun mempelajari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, tidaklah
heran ia dapat menguasai ilmu astronomi, ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu
pasti, ilmu seni musik, meteorologi, optika, kedokteran, matematika, filsafat, dan
politik. Penguasaannya terhadap filsafat dan disiplin ilmu lainnya telah
menempatkan ia menjadi orang Islam pertama kebangsaan Arab dalam jajaran
para filsuf terkemuka. Karena itu pulalah ia dinilai pantas menyandang gelar
Failasuf al-‘Arab (Filsuf kebangsaan Arab).
Memandang kejeniusan tokoh ini, agaknya tuduhan yang mengatakan
bahwa Al-Kindi tidak mengerti secara baik ilmu logika sulit dibuktikan. Pasalnya
tidak satupun karya logikanya yang ditemukan lagi. Karena lingkup pengetahuan
ilmiahnya yang luar biasa, atau mungkin juga karena alas an lain, misalnya
kesesuaian pahamnya dengan ide-ide Mu’tazilah, Al-Ma’mum lalu mengajaknya
bergabung dengan kalangan cendekiawan yang giat dalam usaha pengumpulan
dan penerjemahan karya-karya Yunani. Agaknya Al-Kindi termasuk orang yang
beruntung, ketika di Baghdad ia dengan cendekiawan Persia dan Suriah, yang
diduga dari merekalah ia mendapat bimbingan sehingga ia menjadi seorang di
antara sedikit orang Islam-Arab yang menguasai Bahasa Yunani dan Siryani, atau
kedua-duanya sekaligus. Oleh karena itu, pernyataan Al-Ahwaniy dapat diterima
ketika ia mengatakan bahwa Al-Kandi termasuk salah seorang dari empat besar
penerjemah Bersama Hunain ibnu Ishaq, Sabit ibnu Qurra, dan Umar ibnu Al-
Farkhan Al-Thabari.
Al-Ma’mum menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab negara dan Al-Kindi
juga menulis beberapa risalah tentang keadilan, kemahaesaaan Tuhan dan
perbuatan-Nya, bahkan lebih jauh dari itu, ia ikut pula membantah paham-paham
yang bertentangan dengan mazhab negara tersebut berdasarkan pemikirannya.
Sungguhpun demikian, kita tidak bisa menetapkan secara pasti bahwa Al-Kindi
adalah seorang Mu’tazilah. Selain itu, seseorang baru bisa disebut Mu’tazili
apabila ia menerima dan meyakini lima ajaran pokoknya (al-Ushul al-Khamsat).
Al-Kindi memperoleh kedudukan yang terhormat di sisi Al-Ma’mun dan
Al-Mu’tasim dan bahkan ia diangkat sebagai guru bagi Ahmad putra al-Mu’tasim,
kepada siapa ia banyak memperhambakan karyanya. Akan tetapi, kedudukannya
ini bukan berarti ia lepas dari pengalaman pahit yang menimpa para pemikir
kreatif dan inovatif terdahulu. Pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil, daulat
Bani Abbas kembali menjadikan ahlussunah wal-jama’ah sebagai mazhab negara,
ganti dari mazhab Mu’tazilah. Suasana ini dimanfaatkan oleh kelompok-
kelompok yang berpegang secara ketat pada doktrin ini dan tidak menyukai
filsafat untuk memojokkan Al-Kindi. Atas hasutan Muhammad dan Ahmad, dua
orang putra Ibnu Syakir, di antara yang mereka katakanlah, orang yang
mempelajari filsafat menjadi kurang terhormat pada agama. Al-Mutawakkil
memerintahkan agar Al-Kindi didera dan perpustakaannya yang bernama Al-
Kindiyah disita. Akan tetapi, tidak lama kemudian perpustakaannya dikembalikan
lagi kepada pemiliknya.
Ada dua kisah menarik yang dihubungkan dengan Al-Kindi. Pertama,
kisah tentang kekikirannya sama terkenalnya dengan kejeniusannya. Kedua, kisah
kepiawaiannya tentang musik. Menurutnya, rasa seni bukan hanya dimiliki oleh
manusia, tetapi juga hewan. Bila seruling ditiup dengan baik, maka hewan, seperti
ular dan buaya akan keluar dari tempat persembunyiannya dan ikut mengikuti
irama seni tersebut. Begitu pula para penggembala dengan suara terompetnya
yang khas akan dapat memanggil dan mengumpulkan hewan gembalanya, seperti
sapi, kambing, domba, dan lainnya. Dengan seni musik ini ia telah berhasil
mengobati anak tetangga pedagang kaya yang ditempa penyakit syaraf dan tiba-
tiba lumpuh, padahal tidak seorang dokter pun di Baghdad yang mampu
menyembuhkannya. Ia pernah pula menulis dan membentangkan undang-undang
“Musical Sound’ dan seni musik yang berpengaruh sampai ke Eropa.
Tentang kapan Al-Kindi meninggal tidak ada suatu keterangan pun yang
pasti. Agaknya, menentukan tahun wafatnya sama sulitnya dengan menentukan
tahun kelahirannya dan siapa-siapa saja guru yang mendidiknya. Mustafa ‘Abd
Al-Raziq cenderung mengatakan tahun wafatnya adalah 252 H, sedangkan
Massignon menunjuk tahun 260 H, suatu pendapat yang diyakini oleh Hendry
Corbin dan Nelline. Sementara itu, Yaqut Al-Himawi mengatakan bahwa Al-
Kindi wafat sesudah berusia 80 tahun atau lebih sedikit.
Betapa pun juga, Al-Kindi sudah dinobatkan sebagai filsuf Muslim
berkebangsaan Arsb yang pertama, ia layak disejajarkan dengan filsuf-filsuf
Muslim non-Arab. Sumbangan Al-Kindi yang sangat berharga dalam dunia
filsafat Islam ialah usahanya untuk membuka jalan dan menjawab rasa enggan
dari umat Islam lainnya untuk meenrima ilmu filsafat ini, yang terasa asing di
masa itu.
1. Karya tulisnya
Telah disebutkan bahwa Al-Kindi aktif terlibat dalam kegiatan
penerjemahan buku-buku Yunani dan sekaligus ia melakukan koreksi serta
perbaikan atas terjemahan orang lain. Sebagai peneremah terkemuka, tidaklah
aneh sekiranya ia mendapat penghargaan dari Khalifah al-Ma’mun yang terkenal
cintanya pada filsafat dam sains. Menurut informasi, Al-ma’mun membayar siapa
saja yang sanggup menerjemahkan buku-buku ke dalam Bahasa Arab dengan
emas seberat buku yang diterjemahkan. Hal ini dapat dijadikan indikasi maraknya
kegiatan ilmiah dan juga sebagai motivasi pendorong bagi orang-orang untuk
melakukan kegiatan tersebut.
Selain itu, ia juga termasuk orang yang kreatif dan produktif dalam
kegiatan tulis-menulis. Tulisannya cukup banyak dalam berbagai disiplin ilmu.
Akan tetapi, amat disayangkan kebanyakan karya tulisnya telah hilang sehinga
sulit menjelaskan berapa jumlah karya tulisnya. Informasi akhir-akhir ini
merupakan suatu kegembiraan bahwa sebagian dari risalah Al-Kindi yang hilang
tersebut ditemukan kembali. Sebuah ikhtisar yang berisi 25 risalah Al-Kindi
ditemukan oleh Ritter di Istanbul, sementara beberapa risalah pendeknya yang lain
ditemukan di Aleppo. Menurut George Atiyeh, karya-karya tulis Al-Kindi dalam
berbagai bidang risalah itu, baik oleh Ibnu Nadim maupun Qifthi, dikelompokkan
dalam 17 kelompok, yaitu; (1) Filsafat; (2) Logika; (3) Ilmu hitung; (4) Globular,
(5) Musik; (6) Astronomi; (7) Geometri; (8) Sperikal; (9) Medis; (10) Astrologi;
(11) Dialektika; (12) Psikologi; (13) Politik; (14) Meteorologi; (15) Dimensi; (16)
Benda-benda pertama; (17) Spesies tertentu logam dan kimia.
Untuk lebih jelasnya di bawah ini dikemukakan beberapa karya tulis Al-
Kindi.
1. Fi al-falsafat al-‘Ula.
2. Kitab al-Hassi ‘ala Ta’allum al-Falsafat.
3. Risalat ila al-ma’mun fi al-‘illat wa Ma’lul.
4. Kitab al-Falsafat al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyat wa
al-Mu’tashah wa ma Fauqa al-Thabi’iyyat.
5. Kammiyat Kutub Aristoteles.
6. Fi al-Nafs.
Dari uraian karya tulis di atas dapat dijadikan bukti tentang luasnya
wawasan keilmuan Al-Kindi. Bahkan, beberapa karya tulisnya telah
diterjemahkan oleh Gerard Cremona ke dalam bahasa latin, yang sangat
mempengaruhi pemikiran Eropa pada abad pertengahan. Oleh karena itu,
beralasan kiranya Cardono menganggap Al-Kindi sebagai salah satu seorang dari
dua belas pemikir terbesar. Namun, kita tidak menemukan informasi lebih lanjut
tentang nama-nama dari dua belas pemikir besar tersebut dan juga apa saja
kriterianya dalam menentukan hal tersebut.
B. Pemaduan Filsafat dan Agama
Salah satu usaha Al-Kindi memperkenalkan filsafat ke dalam dunia Islam
dengan cara mengetok hati umat supaya menerima kebenaran walaupun dari mana
sumbernya. Menurutnya, kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran
dari mana saja Sumbernya. Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada
sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah
meremehkan dan merendahkan martabat orang yang menerimanya.
Telah dipaparkan bahwa Al-Kindi adalah orang Islam yang pertama
meretas jalan mengupayakan pemaduan atau keselarasan antara filsafat dan
agama, atau antara akal dan wahyu. Menunurutnya, antara keduanya tidaklah
bertentangan karena masalah ilmu tentang kebenaran. Sedangkan kebenaran itu
adalah satu (tidak banyak). Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, keesaan-Nya, dan
keutamaan serta ilmu-ilmu selain yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh
apa-apa yang bermanfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudarat. Hal seperti
ini juga dibawa oleh para rasul Allah, dan juga mereka menetapkan keesaan Allah
dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nva
Atas dasar itulah menurut Al-Kindi kita wajib berterima kasih kepada para
pendahulu kita yang telah memberi kita ukuran kebenaran. Jika mereka tidak
membekali kita dengan dasar-dasar pikiran yang membuka jalan bagi kebenaran,
pastilah kita tidak akan dapat, sekalipun kita telah mengadakan penyelidikan yang
lama dan tekun, menemukan prinsip utama yang benar atas dasar penarikan
kesimpulan kita yang kabur, dan yang dari generasi ke generasi telah terbuka
sejak dahulu hingga sekarang
Tujuan ungkapan Al-Kindi di atas adalah untuk menghalalkan filsafat bagi
umat Islam. Usaha yang ia lakukan cukup menarik dan bijaksana. la mulai dengan
membicarakan kebenaran. Sesuai dengan anjuran agama yang mengajarkan bahwa
kita wajib menerima kebenaran dengan sepenuh hati tanpa mempersoalkan
sumbernya, sekalipun, misalnya, sumber itu dari orang asing. Kemudian, usaha
berikutnya ia masuk pada persoalan pokok, yakni filsafat. Telah dipaparkan
bahwa tujuan filsafat sejalan dengan ajaran yang dibawa oleh rasul. Oleh karena
itu, sekalipun ia datang dari Yunani, maka kita, menurut Al-Kindi, wajib
mempelajarinya, bahkan lebih jauh dari itu, kita wajib mencarinya.
Agaknya untuk memuaskan semua pihak, terutama untuk orang-orang
islam yang tidak senang pada filsafat, dalam usaha pemanduannya ini, Al-Kindi
juga membawakan ayat-ayat Al-Qur’an. Menurutnya menerima dan mempelajari
filsafat sejalan dengan anjuran Al-Qur’an yang memerintahkan pemeluknya untuk
meneliti dan membahas segala fenomena di alam semesta ini. Diantara ayat-
ayatnya adalah sebagai berikut :
1. Surat Al-Hasyr [59] : 2
‫ار‬
ِ ‫ص‬ َ ْ ‫فَا ْعتَ ِب ُر ْوا ٰٓياُولِى‬
َ ‫اْل ْب‬
...Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-
orang yang mempunyai pandangan.
2. Surat Al-A’raf [7] : 185
‫ض َو َما َخلَقَ ه‬
َ ‫ّٰللا ُ م ِْن‬
‫ش ْيء‬ َ ْ ‫ت َو‬
ِ ‫اْل ْر‬ ِ ‫ا َ َولَ ْم يَ ْنظُ ُر ْوا فِ ْي َملَكُ ْو‬
ِ ‫ت السَّمو‬
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi
dan segala apa yang diciptakan Allah...
3. Surat Al-Ghasyiyat [80] : 17-20
)19( ‫ت‬ْ َ‫صب‬ِ ُ‫ْف ن‬ ِ َ‫) َوإِلَى ْال ِجب‬18( ‫ت‬
َ ‫ال َكي‬ ْ َ‫ْف ُرفِع‬ َّ ‫) َوإِلَى ال‬17( ‫ت‬
َ ‫س َماءِ َكي‬ ْ َ‫ْف ُخ ِلق‬ ِ ْ ‫أَفَ ََل يَ ْنظُ ُرونَ ِإ َلى‬
َ ‫اْلبِ ِل َكي‬
ْ ‫ْف سُطِ َح‬
20( ‫ت‬ َ ‫ض َكي‬ ِ ‫َوإِلَى ْاْل َ ْر‬
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana
diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung
bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
Dengan demikian, Al-Kindi telah membuka pintu bagi penafsiran filosofis
terhadap Al-Qur’an, sehingga menghasilkan penyesuaian antara wahyu dan akal
dan antara filsafat dan agama. Lebih lanjut ia kemukakan bahwa pemaduan antara
filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan berikut :
1. Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat.
2. Wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling
bersesuaian.
3. Menuntut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama.
Seperti dimaklumi bahwa filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat
segala sesuatu, maka dalam hal ini termasuk di dalamnya masalah ketuhanan,
etika, dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Begitu pula agama
memerintahkan umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan, kapan dan di mana pun
juga, walaupun sampai ke negeri jauh, misalnya, Cina sekalipun, bahkan ia
menempatkan pakar ilmu pengetahuan pada peringkat yang tinggi. Ilmu yang
dimaksudkan di sini tentu terkandung di dalamnya ilmu filsafat, apalagi kebenaran
yang ditawarkannya serasi atau sesuai dengan kebenaran yang dikedepankan
wahyu.
Al-Kindi juga menghadapkan argumennya kepada orang- orang agama
yang tidak senang terhadap filsafat dan filosof. Jika ada orang yang mengatakan
bahwa filsafat tidak perlu, mereka harus memberikan argumen dan
menjelaskannya. Usaha pemberian argumen tersebut merupakan bagian dari
pencarian pengetahuan tentang hakikat. Untuk sampai pada yang dimaksud,
secara logika, mereka perlu memiliki pengetahuan filsafat. Kesimpulannya bahwa
filsafat harus dimiliki dan dipelajari.
Dalam tulisannya Kammiyat Kutub Aristoteles, Al-Kindi mengemukakan
beberapa perbedaan antara filsafat dan agama sebagai berikut:
1. Filsafat adalah ilmu kemanusiaan yang dicapai oleh filosof dengan
berpikir, belajar, dan usaha-usaha manusiawi. Sementara itu, agama
adalah ilmu ketuhanan yang menempati peringkat tertinggi karena
diperoleh tanpa proses belajar, berpikir, dan usaha manusiawi,
melainkan hanya dikhususkan bagi para rasul yang dipilih Allah
dengan menyucikan jiwa mereka dan memberinya wahyu.
2. Jawaban filsafat menunjukkan ketidakpastian (semu) dan memerlukan
pemikiran atau perenungan. Sementara itu, agama (Al-Qur'an)
jawabannya menunjukkan kepastian (mutlak benar) dan tidak
memerlukan pemikiran atan perenungan, seperti firman Allah yang
disampaikan Rasulullah Saw. ketika ia ditanya orang tentang siapa
yang menghidupkan tulang belulang yang telah rapuh. Untuk lebih
jelasnya, dapat dikemukakan teks ayat surat (QS Yasin [36]:78-81)
sebagai berikut:
‫شأ َ َها ٰٓ أ َ َّولَ َم َّر ۖة‬
َ ‫ِي أَن‬
ٰٓ ‫ قُ ۡل ي ُۡحيِي َها ٱلَّذ‬٧٨ ‫ِيم‬
ٞ ‫ِي َرم‬
َ ‫ظ َم َوه‬ َ ‫ِي خ َۡلقَ ۖۥهُ قَا َل َمن ي ُۡحي ِ ۡٱل ِع‬
َ ‫ب لَنَا َمث َ اَل َونَس‬
َ ‫ض َر‬
َ ‫َو‬
َ ‫ أ َ َو لَ ۡي‬٨٠ َ‫ض ِر ن اَارا فَإِذَآٰ أَنتُم م ِۡنهُ تُوقِد ُون‬
‫س‬ َ ‫ش َج ِر ۡٱْل َ ۡخ‬
َّ ‫ ٱلَّذِي َجعَ َل لَكُم مِنَ ٱل‬٧٩ ‫علِي ٌم‬ َ ‫َوه َُو بِكُ ِل خ َۡلق‬
٨١ ‫مِثلَ ُهمۚ بَلَى َوه َُو ۡٱل َخلَّقُ ۡٱلعَلِي ُم‬
ۡ َ‫علَ ٰٓى أَن يَ ۡخلُق‬ َ ‫ت َو ۡٱْل َ ۡر‬
َ ‫ض بِقَدِر‬ َّ ‫ٱلَّذِي َخلَقَ ٱل‬
ِ ‫س َم َو‬
78. Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada
kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang
belulang, yang telah hancur luluh?79. Katakanlah: "Ia akan dihidupkan
oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha
Mengetahui tentang segala makhluk. 80. yaitu Tuhan yang menjadikan
untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api)
dari kayu itu". 81. Dan tidaklah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi
itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? Benar, Dia berkuasa.
Dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui.

3. Filsafat menggunakan metode logika, sedangkan agama menggunakan


metode keimanan.
Dari uraian yang dipaparkan di atas dapat dilihat bahwa sikap Al-Kindi
tentang filsafat dan agama tidaklah konsisten. Pada satu kesempatan ia
menyamakan tingkat kepastian yang diberikan oleh kedua jenis ilmu ini. Namun,
pada kali yang lain, ia meletakkan pengetahuan rasional lebih rendah daripada
pengetahuan kenabian. Agaknya, ketidak konsistenannya ini ada kaitannya
dengan ilmu filsafat sebagai disiplin ilmu baru yang ia perkenalkan kepada dunia
Islam. Hal ini terekam dari pernyataannya yang berbunyi: “Yang paling luhur dan
mulia di antara segala karya manusia adalah karya filsafat, yang definisinya
adalah ilmu segala sesuatu berikut kebenaran-kebenarannya sebatas kemampuan
manusia." Jelas sekali bahwa filosof pertama dalam Islam ini kepastian yang
diberikan oleh tidak bermaksud memasukkan filsafat ke dalam dunia Islam dari
pintu depan dan mengusir agama dari pintu belakang. Filsafat dan berfilsafat
merupakan kebutuhan manusia dan tidak dilarang dalam Islam.
Kesimpulannya, Al-Kindi merupakan pionir dalam melakukan usaha
pemaduan antara filsafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Ia
melempangkan jalan bagi Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd yang datang
kemudian. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Al-Kindi telah memainkan
peranan yang besar dan penting di "pentas" filsafat Islam.
C. Filsafat Ketuhanan
Tulisan Al-Kindi yang membicarakan ketuhanan antara lain Fi al-Falsafat
al-Ûla dan Fi Wahdaniyyat Allah wa Tanâhi Jirm al-'Alam. Dari tulisan-tulisan
tersebut dapat dilihat bahwa pandangan Al-Kindi tentang ketuhanan sesuai dengan
ajaran Islam dan bertentangan dengan pendapat Aristoteles, Plato, dan Plotinus.
Allah adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada. Ia
mustahil tidak ada dan selalu ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud
yang sempurna dan tidak didahului wujud lain. Wujud-Nya tidak berakhir,
sedangkan wujud lain disebabkan wujud-Nya. Ia adalah Maha Esa yang tidak
dapat dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek.
Ia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan.
Benda-benda yang ada di alam ini, menurut Al-Kindi, mempunyai dua
hakikat: hakikat sebagai juz'i (al-haqîqat juz'iyyat) yang disebut 'aniah dan
hakikat sebagai kulli (al-haqîqat kulliyyat), yang disebut mâhiah, yaitu hakikat
yang bersifat universal dalam bentuk genus (jins) dan species (nau').
Tujuan akhir dalam filsafat Islam adalah untuk memperoleh pengetahuan
yang meyakinkan tentang Allah. Allah dalam filsatat Al-Kindi, tidak mempunyai
hakikat dalam arti 'aniah dan mâhian. Tidak 'aniah karena Allah bukan benda
yang mempunyai sifat fisik dan tidak pula termasuk dalam benda-benda di alam
ini. Allah tidak tersusun dari materi (al-hayûla) dan bentuk (al-shûrat). Akan
tetapi, Allah juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mâhiah karena Allah
tidak merupakan genus atau species. Bagi Al Kindi, Allah adalah unik. Ia hanya
satu dan tidak ada yang setara dengan-Nya. Dialah Yang Benar Pertama (al-haqq
al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wâhid). Selain dari-Nya,
semuanya mengandung arti banyak.
Berdasarkan uraian di atas ternyata Al-Kindi lebih mengesakan Allah
dibandingkan dengan kaum Mu’tazilah yang selama ini dianggap demikian
rasional. Pada penafiannya terhadap ‘aniah dan mahiah dari ke-Mahaesaan Allah,
Al-Kindi memiliki pandangan yang mirip dengan pandangan Mu’tazilah yang
menafikan sifat dari zat Allah. Akan tetapi, ketika Mu’tazilah menyatakan bahwa
Tuhan itu mengetahui dengan ilmu-Nya dan ilmu-Nya adalah zat-Nya (Alim bi
‘ilmih wa ‘ilmuh zatuh); berkuasa dengan kekuasaan-Nya dan kekuasaan-Nya
adalah zat-Nya (qadir bi qudratih wa qudratuh zaituh); dan seterusnya. Al-Kindi
ternyata telah meninggalkan pandangan ini. Selain memberikan sebutan baru bagi
Allah, Al-Kindi juga menyatakan Allah hanya bisa dilukiskan dengan kata-kata
negatif: Allah tidak sama dengan ciptaan-Nya, Allah tidak berbentuk, Allah tidak
berbilang, Allah tidak berhubungan, dan Allah tidak berbagi. Ia adalah Maha Esa
(wahdat) dan yang selain-Nya berbilang. Dengan demikian, nafi al-shifat
(peniadaan sifat) bagi Mu’tazilah ini berarti Allah mempunyai hakikat, sedangkan
bagi Al-Kindi Allah tidak punya hakikat. Dilihat dari sisi ini, pandangan
Mu’tazilah yang menyandang gelar kehormatan kaum rasionalisme dalam Islam,
bisa dianggap musyrik. Jadi, Al-Kindi dalam mengesakan Allah amat
menekankan ketidaksamaan-Nya dengan ciptaan-Nya.
Sesuai dengan paham yang ada dalam Islam, Allah, bagi Al-Kindi adalah
pencipta alam semesta dan mengaturnya, yang disebut dengan ibda’. Pendapatnya
ini berbeda dengan pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa Allah sebagai
penggerak utama yang tidak bergerak. Disini, terlihat Al-Kindi sekalipun
terpengaruh oleh filsafat Yunani, ia tidak begitu saja menerima ide-ide yang ada
di dalamnya, tetapi ia menyesuaikannya dengan ajaran Islam.
Adapun alam, menurut Al-Kindi, sebagai ciptaan Allah beredar menurut
aturan-Nya (sunatullah) tidak kadim, tetapi mempunyai permulaan. Ia diciptakan
Allah dari tiada menjadi ada (creation ex nihilo) atau menurut istilah yang
digunakan izhar-al-syai’ ‘an laisa. Pengertian kadim, menurut Al-Kindi adalah
tidak berpemulaan. Pendapat Al-Kindi tentang diciptakannya alam dari ketiadaan
sejalan dengan pandangan kaum teolog Muslim, tetapi berbeda dengan pendapat
para filosof Yunani dan bertentangan dengan pendapat kaum filosof Muslim.
Sementara itu, dalam Al-Qur’an sendiri tidak dijelaskan secara tegas, apakah alam
semesta diciptakan dari materi yang sudah ada atau dari ketiadaan. Untuk
membuktikan adanya Allah, Al-Kindi mengajukan tiga argumen:
1. Baharunya alam;
2. Keanekaragaman dalam wujud;
3. Kerapian alam.
Tentang dalil atau argumen baharunya alam telah lazim dikenal dikalangan
kaum teolog sebelum Al-Kindi. Akan tetapi, Al-Kindi mengemukakannya secara
filosofis. Ia berangkat dari pertanyaan, apakah mungkin sesuatu menjadi sebab
bagi wujud dirinya? Dengan tegas Al-Kindi menjawab, bahwa itu tidak mungkin
karena alam ini mempunyai permulaan waktu dan setiap yang setiap mempunyai
permulaan akan berkesudahan (mutanahi). Justru itu setiap benda, ada yang
menyebabkan wujudnya dan mustahil benda itu sendiri yang menjadi sebabnya.
Ini berarti bahwa alam semesta baharu dan diciptakan dari tiada oleh yang
menciptakannya, yakni Allah. Justru itu setiap benda, ada yang menyebabkan
wujudnya dan mustahil benda itu sendiri yang menjadi sebabnya. Ini berarti
bahwa alam semesta baharu dan diciptakan dari tiada oleh yang menciptakannya,
yakni Allah.
Tentang argumen yang kedua, keanekaragaman dalam wujud, kata Al-
Kindi dalam alam empiris ini tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa
keseragaman atau sebaliknya. Terjadinya keanekaragaman dan keseragaman ini
bukan secara kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan atau yang merancangnya.
Sebagai penyebab mustahil alam itu sendiri, dan jika alam yang menjadi sebab
(illat) -nya akan terjadi tasalsul (rangkaian) yang tidak akan habis-habisnya.
Justru itu, sebab atau ‘illat-nya harus yang berada di luar alam sendiri, yakni Zat
Yang Maha Baik, Maha Mulia, dan lebih dahulu adanya dari alam, yang disebut
dengan Allah Swt.
Dalam uraian di atas, Al-Kindi menyebut dua sebab atau ‘illat: pertama,
sebab yang sebenarnya dan aksinya adalah ciptaan dari ketiadaan (ibda’). Ia
adalah Allah Yang Maha Esa, Pencipta Tunggal Alam Semesta. Kedua, sebab
yang tidak sebenarnya. Sebab ini adanya lantaran sebab lain dan sebab-sebab itu
sendiri adalah sebab-sebab dari efek-efek lain. Sebab-sebab seperti ini jelas
berkehendak dan membutuhkan yang lain tanpa berkesudahan. Ia bukanlah
dinamakan sebab yang menciptakan alam ini.
Tentang argumen yang ketiga, kerapian alam, Al-Kindi menegaskan
bahwa alam empiris ini tidak mungkin teratur dan terkendali begitu saja tanpa ada
yang mengatur dan mengendalikannya. Pengatur dan pengendalinya tentu yang
berada di luar alam. Zat itu tidak sama dengan alam. Zat itu tidak terlihat, tetapi
dapat diketahui dengan melihat tanda-tanda atau fenomena yang terdapat di ala
mini. Zat itulah yang disebut dengan Allah SWT.
D. Alam
Di dalam risalahnya yang berjudul al-ibanat ‘an al-illat al-Fa’ilat al-
Qaribat fi kawn wa al-Fasad, pendapat Al-Kindi dengan Aristoteles bahwa benda
di alam ini dapat dikatakan wujud yang aktual apabila terhimpun empat ‘illat,
yakni:
1. al-Unshuriyyat (materi benda);
2. al-Shurriyat (bentuk benda);
3. al-Fa’illat (pembuat benda, agent);
4. al-Tamamiyyat (manfaat benda).
Selanjutnya, Al-Kindi membagi ‘illat al-Fa’illat menjadi qaribat (dekat)
dan ba’idat (jauh). ‘Illat yang dekat (qaribat) ada yang bertalian dengan alam dan
ada pula yng bertalian dengan Allah. Sementara itu, ‘illat yang jauh (ba’idat)
hanya bertalian dengan Allah. Kalau dicontohkan dengan sebatang kapur tulis,
pabrik yang memproduksi kapur disebut ‘illat yang dekat (qaribat) dan manusia
yang menciptakan pabrik disebut ‘illat yang jauh berasal dari alam (ba’idat
thabi’iy). Namun, pada hakikatnya yang menciptakan pencipta pabrik (manusia)
tersebut adalah ‘illat baidat ilahiy (sebab yang jauh dari Tuhan), yakni Allah.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar berikut ini.
Gambar 2.1 Sebab Alam
Telah dikemukakan bahwa alam, menurut Al-Kindi, disebabkan oleh
sebab yang jauh, yakni Allah. Ia yang menciptakan alam dari tiada (creation ex
nihilo). Adapun, tentang baharunya alam, Al-Kindi mengemukakan tiga argumen,
yakni gerak, zaman, dan benda. Benda untuk menjadi ada harus gerak. Masa
gerak menunjukkan adanya zaman. Adanya gerak tentu mengharuskan adanya
benda. Mustahil kiranya ada gerak tanpa ada benda. Ketiganya sejalan dan akan
berakhir. Lebih lanjut, Al-Kindi mengemukakan beberapa argumen dalam
menetapkan baharunya alam.
1. Semua benda yang homogen, yang tiada padanya lebih besar
ketimbang yang lain, adalah sama besar.
2. Jarak antara ujung-ujung dari benda-benda yang sama besar, juga sama
besarnya dalam aktualitas dan pontensialibitas.
3. Benda-benda yang mempunyai batas tidak bisa tidak mempunyai
batas.
4. Jika salah satu dari dua benda yang sama besarnya dan homogen
ditambah dengan homogen lainnya, maka keduanya menjadi tidak
sama besar.
5. Jika sebuah benda dikurangi, maka besar sisanya lebih kecil daripada
benda semula.
6. Jika satu bagian diambil dari sebuah benda, lalu dipulihkan kembali
padanya, maka hasilnya adalah benda yang sama seperti semula.
7. Tiada dari dua benda homogen yang besarnya tidak mempunyai batas
bisa lebih kecil ketimbang yang lain.
8. Jika benda-benda yang homogen yang semuanya mempunyai batas
ditambahkan bersama, maka jumlahnya juga akan bertambah terbatas.
E. Filsafat Jiwa
Tidak mengherankan bahwa pembahasan tentang jiwa menjadi agenda
yang penting dalam filsafat Islam. Hal ini disebabkan jiwa termasuk unsur utama
dari manusia, bahkan ada yang mengatakan sebagai intisari dari manusia. Kaum
filosof muslim memakai kata jiwa (al-nafs) pada apa yang diistilahkan al quran
dengan (al-ruh). Kata ini telah masuk ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk
nafsu, nafas, dan roh. Akan tetapi, kata nafsu dalam penggunaan sehari hari
berkonotasi dengan dorongan untuk melakukan perbuatan yang kurang baik
sehingga kata ini sering dirangkaikan menjadi satu dengan hawa, yakni hawa
nafsu.
Al-Quran dan hadist Nabi Muhammad Saw tidak menjelaskan secara jelas
dan tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan, Al-Quran sebagai sumber pokok ajaran
Islam menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh
karena itu adalah urusan Allah bukan manusia. Justru itu, kaum filsuf Muslim
membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan oleh para
filsuf Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam.
Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, Al-Kindi juga mengatakan
bahwa jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam,
dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansi
(jauhar)-nya berasal dari substansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama
dengan hubungan cahaya dengan matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri,
terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani dan ilahi,
sementara itu, jisim mempunyai hawa nafsu dan marah.
Dalam hal ini Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan
bahwa jiwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur materi
dan bentuk. Materi adalah badan dan bentuk adalah jiwa manusia. Dalam hal ini
pendapat Al-Kindi lebih dekat ke pendapat Plato yang mengatakan kesatuan
antara jiwa dan badan adalah kesatuan, binasannya badan tidak membawa binasa
pada jiwa. Al-Kindi juga menjelaskan bahwa pada manusia terdapat 3 daya: daya
bernafsu (yang terdapat dalam perut), daya marah (yang terdapat pada dada), daya
pikir (yang terdapat pada kepala).
Manusia, menurut Al-Kindi, apabila meninggalkan segala yang berbentuk
empiris atau benda dan memusatkan pandangan pada hakikat-hakikat sesuatu,
niscaya akan terbuka baginya pengetahuan tentang yang ghaib dan mengetahui
rahasia-rahasia ciptaan. Akan tetapi apabila tujuan manusia hidup didunia ini
mendapatkan kelezatan makanan dan minuman atau materi semata, maka akan
tertutup jalan bagi daya pikirnya untuk mengetahui hal-hal mulia dan tidak
mungkin sifatnya mencapai kualitas sempurna atau mulia menyerupai kualitas
kesempurnaan dan kemulian Allah Swt.
Al-Kindi dalam risalahnya menjelaskan akal. Akal menurutnya terbagi
menjadi 4 macam, satu berada didalam jiwa, tiga lagi didalamnya. Adapun
macam-macamnya adalah sebagai berikut:
1. Akal yang selamannya ada di aktualitas (al-‘aql allazi bi al fil abada).
Akal pertama ini berada diluar jiwa manusia, bersifat ilahi, dan
selamannya dalam aktualitas. Karena selalu berada dalam aktualitas,
akal inilah yang membuat aksi yang bersifat potensi pada jiwa manusia
menjadi aktual . Sifat-sifat akal ini ialah sebagai berikut:
a. Ia adalah akal pertama.
b. Ia selamannya dalam aktualitas.
c. Ia merupakan species dan genus.
d. Ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir.
e. Ia tidak sama dengan akal potensial, tetapi lain daripadanya.
2. Akal yang bersifat potensial (al-aql bi al-quwwat), yakni akal murni
dalam jiwa manusia yang masih merupakan potensi dan belum
menerima bentuk-bentuk indrawi dan akali.
3. Akal yang bersifat perolehan (acuired intellect). Penamaan perolehan
sepertinya dimaksudkan oleh Al-Kindi untuk menunjukan bahwa akal
dalam bentuk ini diperoleh dari akal dalam bentuk ini diperoleh akal
yang berada diluar jiwa manusia, yakni akal pertama yang membuat
akal potensial keluar dan menjadi akal aktualitas.
4. Akal yang berada keadaan aktual nyata, ketika ia aktual maka ia disebut
akal “Yang Kedua”. Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah
mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Ia dapat diibaratkan dengan
proses penulisan kalau seseorang sungguh-sungguh melakukan
penulisan.
Jika kita merujuk pada risalah Al-Kindi tentang akal sebagaimana yang
dikemukakan oleh Abu Rayyan, niscaya kita mengetahui bahwa dalam persoalan
akal ini Al-Kindi hampir mengutip secara penuh pendapat Aristoteles dan itu
dikatakan secara jelas dalam risalahnya itu. Sepertinya Al-Kindi memang tidak
melakukan pembahasan mendalam tentang akal ini. Kendati demikian, apa yang
dilakukannya ini telah merupakan peretas jalan bagi pembahasan kaum filsuf
muslim yang datang sesudahnya.
Jiwa yang bersih setelah berpisah dengan badan pergi ke Alam Kebenaran
atau Alam Akal, diatas bintang-bintang di dalam lingkungan cahaya Allah, dekat
dengan allah dan dapat melihat-Nya. Disinilah letak kesenangan abadi dari jiwa.
Jadi, hanya jiwa yang sucilah yang dapat sampai ke alam kebenaran itu.
Jiwa yang masih kotor dan belum bersih harus mengalami penyucian terlebih
dahulu. Mula-mulanya ia harus pergi ke bulan, kemudian setelah berhasil
membersihkan diri disana lalu ke merkurius dan seterusnya. Naik setingkat demi
setingkat, sampai akhirnya sesudah benar-benar bersih mencapai alam akal, dalam
lingkungan cahaya Allah dan melihat Allah. Disini terlihat bahwa Al-Kindi tidak
percaya pada kekekalan hukuman terhadap jiwa, tetapi meyakini pada akhirnya
jiwa akan memperoleh keselamatan dan naik ke alam akal. Alhasil, bagi Al-Kindi
jiwa adalah sesuai terminologi Al-Quran, khalidina fiha yang dalam bahasa
Indonesia sering diterjemahkan dengan kekal, namun kekalnya berbeda dengan
Allah karena kekalnya dikekalkan oleh Allah.
Harus diakui bahwa Al-Kindi belum mempunyai filsafat yang lengkap. Ia
telah berusaha mempertemukan filsafat dan agama atau akal dengan wahyu, serta
lebih jauh lagi, mengislamkan ide-ide yang terdapat pada filsafat Yunani.
Pemikiran filsafat Al-Kindi merupakan pemikiran awal yang merintis jalan bagi
filosof muslim sesudahnya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-Kindi merupakan pionir dalam melakukan usaha pemaduan antara
filsafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Ia melempangkan jalan bagi Al-
Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd yang datang kemudian. Dalam hal ini, dapat
dikatakan bahwa Al-Kindi telah memainkan peranan yang besar dan penting di
"pentas" filsafat Islam. Adapun, pemikiran Al-Kindi tentang filsafat yakni tentang
filsafat ketuhanan, alam, dan filsafat kejiwaan.
Filsafat ketuhanan sendiri menurut Al-Kindi bahwa Allah hanya bisa
digambarkan dengan kata-kata negatif antara lain; Allah tidak sama dengan
ciptaan-Nya, Allah tidak berbentuk, Allah tidak berbilang, Allah tidak
berhubungan, dan Allah tidak berbagi. Ia adalah Maha Esa (wahdat) dan yang
selain-Nya berbilang. Adapun, pemikiran Al-Kindi mengenai proses terbentuknya
alam adalah bahwasannya ala mini terbentuk dari kebaharuan. Sedangkan,
pemikiran Al-Kindi mengenai jiwa adalah bahwa jiwa itu tesusun tunggal berbeda
dengan jasad dan akan kembali ke penciptanya. Apabila jiwa tersebut bersih maka
akan mendapatkan nikmat ketika kembali tetapi apabila jiwa tersebut tidak bersih
maka akan melakukan pembersihan terlebih dahulu sebelum masuk surga.
B. Saran
Nama Al-Kindi mungkin tidak seterkenal Ibnu Rusyd sehingga banyak yang
tidak mempelajari filsafatnya. Namun, pemikiran Al-Kindi mampu membuka
pemikiran-pemikiran filsafat Islam lainnya di kemudian hari. Sehingga, sangat
penting untuk mahasiswa, dosen, maupun masyarakat umum dalam mempelajari
filsafat Al-Kindi.
DAFTAR PUSTAKA

Zar, S. 2019. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Depok: PT Rajagrafindo


Persada.

Anda mungkin juga menyukai