Sepanjang abad ke-16 dan 17, tepatnya pada puncak kekuasaannya di bawah
pemerintahan Suleiman Al-Qanuni, Kesultanan Utsmaniyah adalah salah satu negara terkuat di
dunia, imperium multinasional dan multibahasa yang mengendalikan sebagian besar Eropa
Tenggara, Asia Barat/Kaukasus, Afrika Utara, dan Tanduk Afrika.
Pada awal abad ke-17, kesultanan ini terdiri dari 32 provinsi dan sejumlah negara vasal,
beberapa di antaranya dianeksasi ke dalam teritori kesultanan, sedangkan sisanya diberikan
beragam tingkat otonomi dalam kurun beberapa abad dengan Konstantinopel sebagai ibu
kotanya dan kekuasaannya atas wilayah yang luas di sekitar cekungan Mediterania, Kesultanan
Utsmaniyah menjadi pusat interaksi antara dunia Timur dan Barat selama lebih dari enam abad.
Kesultanan ini bubar pasca Perang Dunia I, tepatnya pada 1 November 1922. Pembubarannya
berujung pada kemunculan rezim politik baru di Turki, serta pembentukan Balkan dan Timur
Tengah yang baru.
Setelah penaklukkan Mesir oleh Utsmaniyah pada 1517, Khalifah Al-Mutawakkil III
menyerahkan kedudukan khalifah kepada Sultan Selim I. Hal ini menjadikan penguasa
Utsmaniyah tidak hanya berperan sebagai sultan (kepala negara Utsmaniyah), tetapi juga sebagai
pemimpin dunia Islam secara simbolis. Setelah Kesultanan Utsmaniyah dibubarkan, Wangsa
Utsmaniyah sempat mempertahankan status mereka sebagai khalifah selama beberapa saat
sampai kekhalifahan juga dibubarkan pada 3 Maret 1924.
A. SEJARAH
Putra Murad II, Mehmed II, menata ulang negara dan militernya, lalu
menaklukkan Konstantinopel pada tanggal 29 Mei 1453. Mehmed mengizinkan Gereja
Ortodoks mempertahankan otonomi dan tanahnya dengan imbalan mengakui pemerintahan
Utsmaniyah. Karena hubungan yang buruk antara negara-negara Eropa Barat dan Kekaisaran
Romawi Timur, banyak penduduk Ortodoks yang mengakui kekuasaan Utsmaniyah alih-alih
Venesia.
Pada abad ke-15 dan 16, Kesultanan Utsmaniyah memasuki periode ekspansi. Kesultanan
ini berhasil makmur di bawah kepemimpinan sejumlah Sultan yang tegas dan efektif.
Ekonominya juga maju karena pemerintah mengendalikan rute-rute perdagangan darat utama
antara Eropa dan Asia.