Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia, pelaksanaan hukum Islam diwakili oleh beberapa
institusi. Majlis Ulama Indonesia (MUI) lebih dikenal oleh masyarakat
sebagai lembaga yang berusaha menyelesaikan banyak permasalahan agama
dengan mengeluarkan fatwa. Disamping itu, ormas-ormas Islam seperti
Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan yang
lainnya memiliki institusi yang bertugas untuk mendalami dan
merekomendasikan pendapat (bahkan sikap) organisasi terhadap persoalan
(hukum) yang terjadi di masyarakat.
Maka dari itu dengan segala partisipasinya kepada umat, NU
beristinbath untuk menjawab segala tantangan-tantangan dan perkembangan
agama melalui majelis musyawarah Bahtsul Masail.
Bahtsul Masail adalah forum yang membahas masalah-masalah yang
belum ada dalilnya atau belum ketemu solusinya. Masalah tersebut meliputi
masalah keagamaan, ekonomi, politik, budaya dan masalah-masalah lain yang
tengah berkembang di masyarakat. Masalah tersebut dicarikan solusinya yang
diambil dari Kutubul Mu’tabaroh.
Di kalangan Nadlatul Ulama’, Bahtsul Masail merupakan tradisi
intelektual yang sudah berlangsung lama. Sebelum Nahdlatul Ulama’ (NU)
berdiri dalam bentuk organisasi formal (jam’iyah), aktivitas Bahtsul Masail
telah berlangsung sebagai praktek yang hidup di tengah masyarakat muslim
nusantara, khususnya kalangan pesantren.1

B. Rumusan Masalah

1
M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik.
(Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1998). 41-42

1
1. Bagaimana sejarah singkat LBM?
2. Apa Urgensi atau tujuan LBM?
3. Bagaimana prosedur istinbath hukum LBM?
4. Bagaimana ruang lingkup fatwa LBM?
5. Apa saja contoh- contoh fatwa kontemporer LBM?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dalam
makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Mengetahui sejarah singkat LBM?
2. Memahami urgensi atau tujuan LBM?
3. Mengetahui prosedur istinbath hukum LBM?
4. Mengetahui ruang lingkup fatwa LBM?
5. Mengetahui contoh- contoh fatwa kontemporer LBM?

BAB II
PEMBAHASAN

2
A. Sejarah singkat Lembaga Bahsul Masa’il (LBM)
Di kalangan Nadlatul Ulama, Bahtsul Masail merupakan tradisi
intelektual yang sudah berlangsung lama. Sebelum Nahdlatul Ulama (NU)
berdiri dalam bentuk organisasi formal (jam’iyah), aktivitas Bahtsul
Masail telah berlangsung sebagai praktek yang hidup di tengah masyarakat
muslim nusantara, khususnya kalangan pesantren. Hal itu merupakan
tanggung jawab ulama dalam membimbing dan memandu kehidupan
keagamaan masyarakat sekitarnya.

NU kemudian melanjutkan tradisi itu dan mengadopsinya sebagai


bagian kegiatan keorganisasian. Bahtsul Masail sebagai bagian aktivitas
formal organisasi pertama dilakukan tahun 1926, beberapa bulan setelah
NU berdiri. Tepatnya pada Kongres I NU (kini bernama Muktamar),
tanggal 21-23 September 1926. Selama beberapa dekade, forum Bahtsul
Masa`il ditempatkan sebagai salah satu komisi yang membahas materi
muktamar. Belum diwadahi dalam organ tersendiri.
Pada tingkat nasional, bahtsul masail diselenggarakan bersamaan
momentum Kongres atau Muktamar, Konferensi Besar (Konbes), Rapat
Dewan Partai (ketika NU menjadi partai) atau Musyawarah Nasional
(Munas) Alim Ulama. Mulanya Bahtsul Masail skala nasional
diselenggarakan setiap tahun. Hal itu terjadi sejak Muktamar I (1926)
sampai Muktamar XV (1940). Namun situasi politik yang kurang stabil
akibat meletusnya Perang Dunia II, membuat kegiatan Bahtsul Masail
yang menyertai Kongres, setelah periode 1940, menjadi tersendat-sendat.
Tidak lagi tiap tahun.Sejak tahun 1926 sampai 2007 telah
diselenggarakan Bahtsul Masa`iltingkat nasional sebanyak 42 kali. Ada
beberapa Muktamar yang dokumennya belum ditemukan, yaitu Muktamar
XVII (1947), XVIII (1950), XIX (1952), XXI (1956), XXII dan XXIV.
Dari dokumen yang terlacak, baru ditemukan 36 kali Bahtsul Masail skala
nasionalyang menghasilkan 536 keputusan.

3
Setelah lebih setengah abad NU berdiri, Bahtsul Masail baru
dibuatkan organ tersendiri bernama Lajnah Bahtsul Masail Diniyah. Hal
itu dimulai dengan adanya rekomendasi Muktamar NU ke-28 di
Yogyakarta tahun 1989. Komisi I Muktamar 1989 itu merekomendasikan
PBNU untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, sebagai
lembaga permanen.
Untuk memperkuat wacana pemben-tukan lembaga permanen itu,
pada Januari 1990, berlangsunghalaqah (sarasehan) diPesantren Mamba’ul
Ma’arif Denanyar Jombang, yang juga merekomen-dasikan pembentukan
Lajnah Bahtsul Masa`il Diniyah. Harapannya, dapat mengonso-lidasi
ulama dan cendekiawan NU untuk melakukan ijtihad jama’i.
Empat bulanan kemudian, pada tahun 1990 pula, PBNU akhirnya
membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, dengan SK PBNU nomor
30/A.I.05/5/1990. Sebutan lajnah ini berlangsung lebih satu dekade.
Namun demikian, status lajnah dinilai masih mengandung makna
kepanitian ad hoc, bukan organ yang permanen. Karena itulah, setelah
Muktamar 2004, status “lajnah” ditingkatkan menjadi “lembaga”, sehingga
bernama Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama.
Dalam sejarah perjalanan Bahsul Masail, pernah ada keputusan
penting yang berkaitan dengan metode kajian. Dalam Munas Alim Ulama
di Lampung tahun 1992 diputuskan bahwa metode pemecahan masalah
tidak lagi secara qawly tetapi secara manhajiy. Yakni dengan mengikuti
metode dan prosedur penetapan hukum yang ditempuh madzhab empat
(Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah). Bukan sekadar mengikuti
hasil akhir pendapat madzhab empat.2

B. Urgensi Atau Tujuan Lembaga Bahsul Masa’il (LBM)

2
http://lbmnu.blogspot.co.id/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-nu.html, di download pada hari
jum’at /9/03/2018. Jam 11:57 WIB.

4
LBMNU selayaknya lembaga yang bertugas memperbincangkan
masalahmasalah agama sekaligus mencari solusinya, hanya memberikan
fatwa kepada NU. Para kalangan NU tidak wajib patuh dan tunduk kepada
apa yang diputuskan oleh NU. Hasil keputusan bahsu masail diberbagai
tingkat tidak ubahnya hasil dari ijtihad. Ketika ada warga NU yang patuh
terhadap hasil Bahsu masail, maka hal itu hanyalah ikatan moral saja,
bukan ikatan yang harus dipatuhi dan diikuti. Dengan demikian keputusan
komisi bahtsul masa'il tersebut, meski telah merupakan kesepakatan,
hanyalah bersifat amar ma'ruf atau menampakkan alternatif yang dianggap
terbaik di antara sekian alternatif yang ada. Sebab, sekali keputusan
menyangkut masalah khilafiyah (yang masih diperselisihkan), NU tetap
menghargai hak seseorang untuk memilih pendapat yang dipilih, terutama
jika menyangkut soal ubudiyah, yang notabenya lebih merupakan urusan
pribadi seseorang dengan Tuhannya.
Kemudian bahsu masail tersebut akan semakin kuat ketika
disahkan oleh pengurus syuriah oleh tingkat pusat.Adapun macam-macam
bahsu masail NU berkembang pada saat ini dibagi menjadi empat macam
1. Tingkat tingkat nasional, berskala muktamar, musyawarah alim ulama,
dan kofrensi besar
2. Tingkat wilayah, berskala provinsi dan dilaksanakan di tingkat wilayah
3. Tingkat cabang/ kabupaten dan kecamatan
4. Tingkat desa. Permasalahan-permasalahan dilaksanakan dalam rapat
forum anggota.
Tingkat muktamar diselenggarakan 5 tahun sekali yang dihadiri
oleh pengurus pusat, wilayah, cabang, Seluruh permasalahan diputuskan
oleh para ulama-ulama NU yang berkompeten dibidangnya. Pada tingkat
muktamar tidak hanya memperbincangkan masalah agama saja akan tetapi
lebih dari itu Tingkat muktamar lebih jauh membahas program
pengembangan NU, laporan-laporan pertanggung jawaban NU.
Disamping muktamar, bahsu masail NU terdiri dari Munas
(Musyawarah Nasional) Alim Ulama. Bahsu masail tingkat Munas dihadiri

5
oleh alim ulama, pengasuh pondok pesantren yang berkompeten dalam
bidangnya baik pengurus maupun diluar pengurus NU, dimana munas
diselenggarakn oleh pengurus besar Syuriah yang dipimpin oleh Rais Am
sebagai pimpinan NU tertinggi. Adapun pelaksanaan Munas dilaksanakan
dalam satu tahun sekali. Permasalahan-permasalahan yang di bahas dalam
Munas dikhususkan untuk permasalahan agamut yang menyangkut
kehidupan umat dan bangsa.
Tingkat koferensi dihadiri oleh pengurus tingkat pusat atau
sekurangkurangnya separuh tingkat wilayah. Koferensi ini berguna untuk
mengevaluasi dan memonitoring pelakasanaan keputusan muktamar dan
mengkaji perkembangan organisasi NU, peranannya dalam masyarakat, dan
membahas masalah sostial agama.
Adapun permusyawaratan yang lain di tingkat wilayah/propinsi,
daerah/kabupaten dan kota madya, dan majelis wakil cabang/kecamatan
secara berurutan bernama Konferesi Wilayah, Konferensi Cabang, dan
Konferensi Majelis Wakil Cabang. Ketiga-tiganya digelar sekali dalam lima
tahun, dihadiri oleh pengurus pada tingkat masing-masing dan pengurus satu
tingkat di bawahnya, kecuali Konferensi Cabang yang diikuti oleh Pengurus
Cabang, pengurus Wakil Cabang, dan Pengurus Ranting. Agenda utama
yang dibahas dalam forum ini adalah disamping membahas tentang laporan
pertanggungjawaban kerja dari pengurus lama, evaluasi keorganisasian,
pemilihan pengurus baru termasuk program kerja dan tugas-tugas terkait,
juga membahas masalah-masalah sosial dan keagamaan.
Adapun Sifat keputusan LBMNU sebagai berikut:
1. Seluruh keputusan bathsul masa’il di lingkungan NU yang diambil
dengan prosedur yang telah disepakati dalam keputusan ini, baik
diselenggarakan dalam struktur organisasi maupun di luarnya
mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak saling membatalkan.
2. Suatu hasil keputusan bathsul masa’il dianggap mempunyai kekuatan
daya ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriah NU
tanpa harus menunggu Munas Ulama maupun Muktamar.

6
3. Sifat keputusan dalam bathsul masa’il tingkat Munas dan Muktamar
adalah:
a Mengesahkan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan
sebelumnya dan/atau.
b Diperuntukan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak
yang luas dalam segala bidang.3

C. Prosedur Istinbath Hukum Lembaga Bahsul Masa’il (LBM)


Pengambilan qaul (pendapat imam mazhab) ataupun wajah
(pendapat pengikut mazhab), yang kemudian disebut metode qauly,
merupakan metode utama yang digunakan dalam menyelesaikan masalah
keagamaan, terutana yang menyangkut hokum fiqh, dengan merujuk
langsung pada teks kitab-kitab yang disusun para pengikut madzhab empat
(Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali), walaupun dalam prakteknya didominasi
oleh kitab Syafi’iyah.
Apabila menghadapi masalah yang tidak dapat dirujukkan
langsung pada kitab-kitab sebagaimana tersebut di atas, maka ditempuhlah.
(ilhaaqul masaa’ili bi nadzhaa’iriha) yakni mengaitkan masalah baru yang
belum ada ketetapan hukumnya, walaupun ketetapan hukum itu”hanya”
berdasarkan teks suatu kitab yang dianggap mu’tabar,yang kemudian dikenal
dengan metode ilhaqiy.
Disamping dua metode di atas masih tetap dipakai, Munas Bandar
Lampung mempopulerkan metode istinbath hukum lain manakala kedua
metode tersebut tidak dapat digunakan, yaitu apa yang disebut metode
bermazhab secara manhajy, yakni menelusuri dan mengikuti metode
istinbath hukum (manhaj) yang ditempuh oleh madzhab empat, Hanafi,
Maliki, Syafi’I, dan Hanbali.
Pendekatan mazhaby menegaskan kepada warga Nahdiyyin agar
hanya memakai empat mazhab yang masih di anggap relevan dengan

3
Mohamad Sobary, NU dan Keindonesiaan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h.226-
227.

7
tuntunan kehidupan beragama,sesuai anggaran dasar NU. Walaupun kalau
merujuk pada kitab-kitab andalan dalam Lajnah Bahtsul Masa’il yang
hampir semua keputusannya mengacu pada kitab-kitab tersebut, ternyata
bermadzhab kepada selain empat mazhab diperbolehkan dengan syarat
madzhab dimaksud telah terkodifikasi, sehingga dapat diketahui
persyaratan-persyaratan dan hasil-hasil ijtihad dari madzhab itu
Keputusan Lajnah Bahtsul Masa’il dalam Muktamar I tahun 1926
yang menegaskan bahwa penetapan hukum suatu masalah harus dirujukkan
secara berurutan kepada:
1. Pendapat yang disepakati asy-Syaikhain (Imam Nawawi dan Rafi’i)
2. Pendapat yang dipegang Imam Nawawi saja;
3. Pendapat yang dipegang Imam Rafi’I saja;
4. Pendapat yang didukung mayoritas ulama;
5. Pendapat ulama yang terpandai; 6. Pendapat ulama yang paling wara’.
Keputusan ini disamping Syafi’i-sentris juga tidak terdapat
penjelasan legal-institusional mengenai mengapa Imam Nawawi
diprioritaskan, bagaimana menentukan kriteria bahwa suatu pendapat
disokong oleh ulama terbanyak, apa standar bahwa seorang ulama itu lebih
pandai dari yang lain, dan apa pula tolok ukur kewara’an (kemampuan
menjaga diri dari syubhat) seorang ulama.
Menurut (K.H.A.Aziz Mansyhuri) pengutamaan untuk merujuk
kepada pendapat Imam Nawawi daripada Imam Rafi’I adalah seperti yang
terjadi atas Ibn Hajar yang lebih diutamakan dari pada Imam ar-Ramli.
Adapun alasannnya adalah berdasar pertimbangan penampilan karya
ilmiahnya yang ahsan (lebih berbobot) dan alimnya orang orang itu.
Sedangkan maksud didukung oleh mayoritas ulama adalah pendapat ulama
tersebut banyak dikutip dan dijadikan rujukan oleh para ulama dalam karya-
karya mereka. Penentuan ulama terpandai adalah jika pendapat ulaa tersebut
sering dijadikan rujukan oleh para ulama lain dalam kitab-kitab mereka.
Sementara seorang ulama disebut paling wara’ adalah apabila dilihat dari
biografinya tidak bersinggungan dengan hal-hal syubhat (tidak jelas halal

8
haramnya) apalagi yangmenjadi larangan agama, dan juga dilihat dari aspek
karamah (kekeramatan) Nya. 4

D. Ruang Lingkup Fatwa Lembaga Bahsul Masa’il (LBM)


NU mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran
Islam yakni al-Qur’an, as-sunnah, al-ijma’, dan qiyas. Dalam memahami
serta menafsirkan Islam dari berbagai sumber tersebut, NU mengikuti
paham ahlusunnah wal jama’ah, dengan Ruang lingkup sebagai berikut:
1. Di bidang aqidah, NU menganut paham ahlusunnah wal jama’ah yang
dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansyur
Al-Maturidi.
2. Di bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan salah satu dari 4
mazhab. Keempat mazhab tersebut yaitu mazhab Abu Hanifah An-
Num’an (Hanafi), Imam Malik bin Anas (Maliki), Imam Muhammad bin
Idris Asy-Syafi’i (Syafi’i) serta Imam Ahamd bin Hambal (Hambali).
3. Di bidang tasawuf mengikuti aliran tasawuf Imam Al-Junaid Al-
Bugdadi, Imam Al-Ghazali serta imam-imam yang lain.
Pada prinsipnya NU menggenggam pendirian dasar bahwa Islam
adalah agama yang fitri atau suci, yang bersifat menyempurnakan segala
kebaikan yang secara asasi sudah dimiliki oleh manusia. Berdasarkan prinsip
tersebut, NU tidak pernah berniat menghapus nilai-nilai yang sudah menjadi
milik masyarakat. NU hanya ingin menyempurnakan dan membimbing
nilai-nilai atau tradisi yang telah ada di masyarakat, sehingga selaras dengan
ajaran Islam. Bertitik tumpu pada dasar keagamaan seperti itu maka dalam
perilaku kemasyarakatan NU mengambil sikap antara lain:
1. Menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma-norma ajaran Islam
2. Mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi
3. Menjunjung tinggi sifat keikhlasan dan berkhidmat serta berjuang
4. Menjunjung tinggi persaudaraan (ukhuwah), persatuan

4
Yusuf Qardhawi. Fatwa antara Ketelitian dan Kecerobohan. (Jakarta; Gema Isani Press.1997).
h. 55-58.

9
(ittihad) serta kasih mengasihi
5. Meluhurkan kemuliaan moral (akhlakul karimah) dan menjunjung tinggi
kejujuran (ash-shidqu) baik dalam berpikir, bersikap maupun dalam
bertindak
6. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada agama, bangsa dan
negara
7. Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dan
ibadah kepada Allah SWT
8. Menjunjung tinggi ilmu pengetahuan serta para ahlinya
9. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang
membawa manfaat bagi kemaslahatan umat
10. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu dan
mempercepat perkembangan masyarakat
11. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah-tengah kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Dengan prinsip-prinsip tersebut, dapat dimengerti jika NU
senantiasa bersikap “lunak” terhadap beragam nilai atau tradisi yang telah
menyatu dengan kehidupan masyarakat. NU tak pernah menyulut “api
peperangan” terhadap tradisi, yang penting bagaimana agar pelaksanaan
berbagai tradisi itu sesuai dengan Islam. Biarlah “kulitnya” masih diwarnai
tradisi versi lama, asal “isinya” sudah Islam. Dengan demikian upaya
mempribumikan Islam atau meng-Indonesia-kan Islam, sebetulnya sudah
lama dilakukan oleh NU.5

E. Contoh-contoh Fatwa Kontemporer Lembaga Bahsul Masa’il (LBM)


1. Menikah Melalui Media Internet Dan Telekomunikasi
Jefri dan Reni adalah sepasang kekasih yang bekerja di Jepang.
Setelah mengenal lebih jauh mereka memutuskan untuk menikah.

5
Sahal Mahfudl, Bahsul Masail dan Istinbath Hukum NU: Sebuah Catatan Pendek, dalam kata
pengantar buku “Kritik Nalar Fiqih NU”, cet . I, (Jakarta: Lakpesdan, 2002) h.10-11.

10
Namun karena terkendala kontrak kerja mereka tidak bisa pulang ke
Indonesia. Akhirnya mereka memanfaatkan 3G untuk akad nikah dengan
orang tuanya di Indonesia. Prakteknya kedua mempelai tetap berada di
Jepang sedangkan wali dan kedua saksinya menyaksikan dan
mendengarkan melalui media internet dan handphone 3G dari Indonesia.
Sah kah pernikahan Jefri dan Reni dengan cara tersebut? Jawab anya
tidak sah. Solusinya adalah suami mewakilkan qobul nikahnya kepada
orang yang bisa hadir di tempat akad. 6

2. Aborsi Di Mata Islam


Untuk menutupi aib akan kehamilannya yang dihasilkan dengan
laki-laki lain yang belum resmi menjadi suaminya, Maria berkeinginan
menggugurkan kandungannya. Apakah Islam memperbolehkan
pengguguran kandungan sebagaimana yang dilakukan Maria? Jawabanya
diperinci sebagai berikut:
Jika pengguguran tersebut dilakukan sebelum kandungan
berumur empat bulan maka hukumnya makruh. Namun menurut Syekh
Wahbah Zuhaili hukumnya haram jika tidak ada hal yang membahayakan
(darurat). Jika dilakukan saat kandungan berumur empat bulan maka
hukumnya haram.7

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Bagi ulama NU, term ini lebih dikonotasikan pada (istikhrāj
alhukmu min an-nas’i (mengeluarkan hukum dari teks-teks primer; al-Qur’an
6
Tirakat’14. 2014. Ngaji Fiqih. Purna Siswa III ALiyah 2014: Lirboyo, Kediri, h. 103-104.
7
Tim Lajnah Ta’lif Wan Nasyr, (LTN) PBNU. 2011. Khalista: Surabaya, hal.151

11
dan as-Sunnah) yang dilakukan oleh mujtahid mutlak, yang menurut ulama
NU sangat berat untuk dilakukan ulama sekarang dengan segala
keterbatasannya baik dalam ilmu pokok yaitu penguasaan ilmu tentang
alQur’an dan assunnah maupun ilmu bantu yaitu penguasaan dalam bidang
bahasa Arab dan sebagainya. Untuk itu sebagai gantinya (kesepakatan
hukum).
Menurut Sahal Mahfud, istinbat hukum langsung dari sumber
primer yang cenderung kepada pengertian ijtihad mutlaq, bagi ulama NU
masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan yang memang
disadari terutama dalam ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus
dikuasai oleh seorang mujtahid. Sementara jika ijtihad dilakukan dalam batas
mazhab yang lebih praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah
mampu memahami ibarat kitab-kitab fiqh sesuai dengan terminologinya yang
baku.
Istinbat hukum diartikan bukan untuk memgambil hukum secara
langsung dari sumber hukum yang asli yakni al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi
melakukan tatbiq (penerapan) secara dinamis terhadap Nas-nas (teks-teks)
yang telah dielaborasi ulama fiqh periode klasik dan menengah kepada
persoalan waqi’iyyah (kasuistik) yang dicari hukumnya. Secara definitif, NU
memberikan definisi istinbāt hukum sebagai suatu upaya mengeluarkan
hukum syara’ denganal-qawā’id fiqhiyyah dan al-qawā’id alusūliyyah
(Islamic legal teory) baik berupa adillah ijmāliyyah (dalil global), adillah
tafsīliyyah (dalil terperinci) maupun adillah al-ahkām (dalil hukum). Dengan
demikian produk hukum yang dihasilkan merupakan hasil ijtihad ulama atas
nas-nas al-Qur’an dan assunnah yang sesuai dengan prinsip-prinsip ijtihad
yang di gunakan para mujtahid (tempo dulu.
Penggunaan kaidah fiqhiyyah di kalangan NU, nampaknya
dilatarbelakangi oleh konsep bermazhab dalam mengembangkan hukum
Islam, yang menjadi pilihan bagi NU di masa awal. Pilihan ini
dilatarbelakangi oleh situasi masyarakat Indonesia yang telah menganut
mazhab Syafi’i secara kultural.

12
Dengan demikian, apa yang dipilih NU adalah akumulasi pendapat
masyarakat dalam memahami dan mengamalkan hukum Islam yang
dielaborasi dari teks al-Qur’an dan assunnah. Akumulasi tersebut selanjutnya
terformat dalam konsep bermazhab, dengan cara mengikuti pendapat-
pendapat yang sudah jadi dalam lingkungan mazhab tertentu, yakni berupa
aqwal (pendapat-pendapat) hasil ekplorasi hukum yang dilakukan oleh
seorang mujtahid, sekaligus menggunakan manhaj (metode) tersebut, bila
memang diperlukan

B. Saran
Demikianlah makalah yang kami buat, dan kami sadar karena
keterbatasan pada diri kami, maka kami berharap kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Atas segala
saran dan yang diberikan kepada kami selaku penyusun mengucapkan terima
kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Haidar, M. Ali , 1998. Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia Pendekatan


Fikih dalam Politik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Mohamad Sobary, 2010. NU dan Keindonesiaan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.

13
Sahal Mahfudl, 2002. Bahsul Masail dan Istinbath Hukum NU: Sebuah
Catatan Pendek, dalam kata pengantar buku “ Kritik Nalar Fiqih
NU” , cet. I. Jakarta : Lakpesdan.
Tirakat’14. Ngaji Fiqih. 2014. Purna Siswa III ALiyah 2014: Lirboyo,
Kediri.
Tim Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) PBNU. 2011.Surabaya: Khalista.
Yusuf Qardhawi. 1997. Fatwa antara Ketelitian dan Kecerobohan. Jakarta:
Gema Isani Press.
Zahro Ahmad. 2004.Tradisi Intelektual NU: Lajnan Bahtsul Masa’il 1926-
1999. Yogyakarta: LkiS.
http://lbmnu.blogspot.co.id/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-nu.html,di
download pada hari jum’at /9/03/2018. Jam 11:57 WIB.

14

Anda mungkin juga menyukai