Anda di halaman 1dari 19

PERKEMBANGAN DRAMA DI MESIR DAN SURIAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Maalah Diskusi Dirasat Masrahiyyah

Dosen Pembimbing: Rizqi Handayani, MA

Oleh:

Abdullah Maulani (1112021000049)

Nila Munasari (1112021000062)

Tubagus Wildanul Hakim (1112021000048)

PRODI BAHASA DAN SASTRA ARAB

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2016
PENDAHULUAN

Menurut Imam Suyono drama adalah suatu aksi atau perbuatan ( Bahasa Yunani).
Sedangkan dramatic jenis karangan yang dipertunjukan dalam suatu tingkah laku, mimik dan
perbuatan.1 Atau disebut juga sikap dan sifat manusia dengan gerak yang dipentaskan.

Dalam dunia Arab, misalnya memulai pertunjukan drama ini salah satunya pertunjukan
rakyat yang masih dapat ditemukan di Mesir , Khayaluz - zill (shadow play). Untuk
memainkannya dibutuhkan layar, pelakon dibuat dari kertas atau kulit dan lampu, sementara
yang memainkannya disebut babah.

Pertunjukan ini dimainkan dengan cara memasang kain putih tipis sebagai layar dan
tokohnya dimainkan babah dibelakang layar dan diterangi lampu , dan ditonton dari depan layar.
Babah juga harus melakonkan seluruh cerita2.

Perjalanan drama mengalami pergolakan panjang dalam perkembangannya di berbagai


Negara. Sedangkan masa kematangan drama Arab bermula pada 1930 hingga sekarang yang
melahirkan banyak dramawan dan karya-karya yang monumental dan fenomenal pada masanya
dengan corak yang berbeda-beda. Drama Arab merasakan proses panjang untuk mencapai
kejayaannya, Berikut akan kami ulas sejarah singkatnya dalam pembahasan ini.

1
www.academia.edu/11934839/makalah_jurnal_pengajaran_drama
2
Betty Mauli Rossa Bustam, dkk, Sejarah Sastra Arab dalam Berbagai Perspektif, (Yogyakarta:
Deepublish, 2015, cet 1), hlm. 155.

2
PERKEMBANGAN DRAMA MESIR

A. Perkembangan Drama Mesir

Jika kita melihat sejarah, bahwasannya teater (drama) Arab sudah lahir sejak tahun 1847
M, yang di gagas pertama kali oleh Marûn An-Nuqass dengan judul “al-Bakhīl” yang terinspirasi
oleh Muller yang ketika itu sementara menjadi hari kelahiran teater di negeri Arab. Aspeknya
hanya terikat pada wujud, dan seni ini di bawa oleh para cendekiawan Arab yang berada di ranah
Eropa, kemudian mereka mengembangkannya di daerah mereka.Terkait hal ini, Shakespeare
telah membuat drama sebanyak 37 kali, yang dia ambil dari masa Yunani dan Romawi kuno,
seperti musim semi yang menggugurkan negaranya.3

Mouliere berhaluan pada kesenian sirkus Komedi Italia yang menjadi populer masa itu.
Dan pada abad ke-20 Bernard Shoe menemukan kesalahan pada drama di lingkungan sastra
yang di dapat dari para pendahulunya. Ada beberapa macam drama tradisional seperti badut dan
akrobat, kemudian juga ada sirkus dalam drama “Androklees dan Singa”, Melodrama pada
“Murid Setan”, Ksatria, Berlsczk dan lain sebagainya. Selain itu pelopor drama Arab seperti :
Marwan An-Nuqas, Ahmad Abu Khalil al-Qabani, dan Ya‟kub Shunu‟ mereka telah meletakkan
pondasi utama dalam penulisan naskah drama. Mereka semua telah sepakat dalam menentukan
bentuk-bentuk drama yang berada di wilayah Arab. Drama di wilayah Arab tidak sepopuler
drama yang ada di Eropa, dikarenakan cikal bakal dari sebuah drama terdapat di wilayah Eropa.
Oleh sebab itu, banyak orang-orang Arab yang mengambil bentuk-bentuk drama yang ada di
Eropa.4

Menurut Zaki Tholimat, bahwasannya unsur seni drama yang di bawa oleh al-Qabani
lebih lemah daripada unsur-unsur yang di bawa oleh An-Nuqas. Karena bahasa sangatlah penting
dalam sebuah drama, guna mengetahui apakah bahasa yang di gunakan bahasa asing atau bukan.
Kemudian menurut Ya‟kub Shunu‟, bahwa sebuah drama yang di tampilkan haruslah terikat
dengan dua cabang asal drama (Prancis dan Italia) yang telah mengunjungi Mesir pada tahun
1870 M, yang di sajikan dalam bentuk komedi dan opera. Kemudian Shunu‟ membuat drama

3
Alī al-Rā‟iy, al-Masrah fī al-Wathan al-„Arabiy, (Kuwait: „Alim al-Ma‟rifah, 1979), h. 65.
4
Alī al-Rā‟iy, al-Masrah fī al-Wathan al-„Arabiy, h. 66.

3
sebanyak 32 macam drama, yang kebanyakan menceritakan tentang kondisi sosial Mesir pada
waktu itu. 5

Kemudian kelompok-kelompok pertunjukan Suriah dan Lebanon mulai memasuki


wilayah Mesir, dan kelompok ini sudah berkembang di Iskandariah sampai ke Mesir. Kelompok-
kelompok ini membuat novel-novel dengan menggunakan bahasa Perancis terjemahan, yang
menyuguhkan keindahan dan kenikmatan bagi para pembacanya. Lebih banyak menggunakan
bentuk-bentuk sajak dan puisi. Langkah awal yang di lakukan oleh gerakan ini adalah
pembaharuan di Mesir, sehingga orang-orang asing dapat hidup di lingkungan baru. Dan
pembaharuan di dalam drama lebih luas daripada pembaharuan di dalam cerpen, sehingga
memutuskan hubungan diantara orang-orang asing dan orang-orang mesir itu sendiri. Para
pembaharu Mesir meletakkan puisi-puisi pada drama, sampai para penonton merasa terpesona
dengan nyanyian-nyanyian yang di tampilkan seperti opera di Italia. Dan dewasa ini, banyak
drama yang di tampilkan berupa gerakan-gerakan dan nyanyian-nyanyian. Para pembaharu
banyak meniru para dramawan-dramawan Prancis Klasik seperti Roseen, Koerne dan Muller.
Kemudian orang-orang Suriah dan Lebanon yang bermukim di Mesir melakukan hal yang
serupa, seperti Salim Nuqas, Abi Khalil al-Qabbani dan Iskandar Farh. (Hal 213)

Orang-orang Mesir kemudian mengikuti jejak Suriah dan Lebanon dalam seni yang
baru ini, mereka mengembangkan aliran yang berbeda seperti aliran Abdullah „Akasyah dan
aliran Syeikh Salamah Hajazi (seorang penyanyi terkemuka) yang memperkuat drama dengan
nyanyian seperti pada aliran „Aziz „Aid yang menampilkan drama tragedi. Akan tetapi aliran ini
tidak berkembang lama sampai pada abad ke-20 George White seorang dramawan Paris datang
dengan membawa aliran baru dan mementaskan kaidah-kaidah drama yang lebih baik pada tahun
1912 M. Di tahun yang sama, para dramawan amatir membentuk sebuah kelompok bernama
“Jam‟iyyah Anshar al-Tamtsil” bertujuan untuk meletakkan dasar-dasar kesenian yang benar.
Kelompok ini terdiri dari Abdurahman Rusydi, Ibrahim Ramzi, Muhammad Taimur. Kemudian
Syekh Salamah Hijazi bergabung dengan George White dan mereka membentuk perkumpulan
yang baru pada tahun 1914, dua tahun setelahnya. Di tengah-tengah perang dunia pertama,
Abdurrahman Rusydi membentuk kelompok drama yang tidak berlangsung lama, kemudian
muncul Najib Raihan dengan karyanya yang berupa nyanyian dan ratapan dengan judul “Kasy

5
Alī al-Rā‟iy, al-Masrah fī al-Wathan al-„Arabiy, h. 68.

4
Kasy Bik” berdasarkan ketidaksetujuannya pada kekerasan, dan juga bersama Aziz Aid
membentuk kelompok yang menampilkan nyanyian pendek yang disebut Operet. Kelompok ini
secara keseluruhan menampilkan drama-drama yang diadaptasi dari barat dan mulai
menampilkan pertunjukkan dramawan-dramawan baik profesional maupun amatir yang
diadaptasi dari kisah Seribu Satu Malam dan kisah imajinatif lainnya baik dari sejarah Arab
Islam maupun cerita bentuk lokal. Hal ini bertujuan untuk membangkitkan kecintaan terhadap
nasionalisme Mesir.6

B. Tokoh-tokoh Drama Mesir

Pelopor drama Arab modern di Mesir bernama Ya‟qûb Shunû‟. Dia mulai berkenalan
dengan dunia drama sejak pertunjukan drama dua kelompok drama Eropa yakni Perancis dan
Italia ketika keduanya mengunjungi Mesir pada 1870. Drama-drama yang ditampilkan
diantaranya komedi, dan opera yang membuat drama Arab terilhami kebangkitannya. Orang-
orang Arab kemudian mempelajari tooh-tokoh seperti Guldoni, Mouliere, dan Syiridan dalam
bahasa aslinya. Oleh karena itu, keberadaan Shunû‟ dan kelopoknya membentuk sebuah bentuk
drama baru yakni drama musikal. Kemudian setelah itu Shunû‟ bersama para dramawan lain
mengarang drama-drama hingga jumlahnya mencapai 32. Mayoritas temanya bercerita tentang
gambaran realitas sosial masyarakat Mesir saat itu seperti fenomena perseteruan dan kelaliman di
masyarakat saat itu. Pengaruh nasionalisme dan Barat mengalir dalam drama-drama yang mereka
pentaskan.7

Kemudian Shunû‟ menggunakan setip unsur kesenian untuk menampilkan inti drama
yang berbentuk humor dalam setiap pertunjukannya, dia juga menggunakan aspek-aspek dialog
maupun peragaan, seperti penggunaan dalam drama komedi. Ya‟qub Shunû‟ mulai
menginspirasi munculnya penulis – penulis lokal Mesir. Pada tahun 1894 muncul drama Mesir
yang mengambil bentuk melodrama sosial, drama itu berjudul “Shidqul Ikhā” dan nama
pengarangnya Ismail Ashim, dimana drama ini mengungkapkan akan kemewahan dan
keglamoran hidup, juga dalam empat babaknya bercerita tentang urusan – urusan kerajaan pada

6
Syauqī Dhaif, al-Adab al’Arabiy al-Mu’āshir fī Mishr, (Kairo: Dār al-Ma‟ārif, 1961), h. 214.
7
Alī al-Rā‟iy, al-Masrah fī al-Wathan al-„Arabiy, h. 68.

5
saat itu, dimana terlihat jelas bahwa drama ini menceritakan Mesir. Selain itu drama ini bercerita
tentang perjuangan merebut kemerdekaan dan peradaban serta menjelaskan bagaimana
perpecahan orang – orang Mesir dapat membuat orang-orang Barat yang tamak itu dengan
mudahnya menduduki Mesir. Tujuan drama sebenarnya saat itu adalah untuk menampilkan baik
atau buruknya kehidupan sosial sang pengarang kemudian dipentaskan dalam bentuk karya dan
drama. Lalu tujuan berikutnya adalah untuk merepresentasikan aliran seni yang dianut.8

Bicara tentang drama Mesir, tidak terlepas dengan tiga tokoh berikut. Yakni, Farh Anton,
Ibrahim Ramzi, dan Muhammad Taimur. Mereka membuat drama pada tahun 1913 dengan judul
“Mesir Dulu dan Kini”. Drama ini merupakan drama sosial yang menggambarkan keburukan-
keburukan sosial di sekitarnya dan membandingkannya dengan budaya barat pada masa itu.
Namun, pertunjukan ini minim akan bentuk drama. Pada tahun 1914 mereka mementaskan
drama sejarah yang berjudul “Sultan Salahuddin dan Kerajaan Yerusalem”. Drama ini sarat akan
muatan drama dan pembentukan penokohannya dan dialognya. Drama ini menggambarkan
konflik antara pahlawan muslim timur tengah para penjajah barat. Yang mempengaruhi akan
jiwa sosial dan nasionalisme. Sedangkan Ibrahim Ramzi sejak tahun 1892 M berusaha membuat
drama-drama, namun belum matang hingga dia kembali dari Inggris dan mempelajari kesenian
yang diadaptasi dari sebagian tema-tema Eropa. Meskipun drama yang berjudul “Abthal al-
Manshurah” yang ditulisnya pada tahun 1915 M itu sudah lebih baik menurut kaidah drama
secara keseluruhan, drama sejarah itu menampilkan bentuk kepahlawanan orang Mesir di tengah
perang Salib. Hal ini sejalan dengan Muhammad Taimur yang wafat di usia muda pada tahun
1921 M, setelah perjalanannya ke Prancis dan mendedikasikan hidupnya untuk belajar drama.
Kemudian dia berusaha untuk membangkitkan kesenian ini, dimana dia mengkritisi dan
menampilkan tak kurang dari 1004 jenis drama seperti “Burung dalam Sangkar”, “Abdu Satr
Afandi”, “Jurang”, “Sepuluh Kebaikan” yang salah satunya diadaptasi dari drama Prancis, yang
latar belakangnya berupa kerajaan Mesir. Dia menyadari bahwa dalam dramanya mengandung
unsur drama yang sensitif karena ditulis dengan bahasa Amiyyah.9

Pada saat terjadinnya perang dunia pertama, dia menghidupkan drama berbentuk ratapan
dan musikalisasi drama yang di adaptasi Yoseph Wahbi dramawan Italia dan mecampurkan

8
Alī al-Rā‟iy, al-Masrah fī al-Wathan al-„Arabiy, h. 70.
9
Syauqī Dhaif, al-Adab al‟Arabiy al-Mu‟āshir fī Mishr, h. 214.

6
unsur tersebut ke dalam dramanya. Kemudian Aziz Aid dan Zaki Thalimat mencampurkan juga
ke drama-drama kelas elit. Lalu dikembangkan oleh kelompok Ramses dan diaktifkan juga oleh
kelompok George White. Buku-buku Muhammad Taimur juga banyak dikutip dalam
penyusunan drama sosial yang di populerkan oleh Anton Yazbik dengan bentuk drama radikal
seperti “Kekerasan dalam Rumah” dan “Pengorbanan”. Yoseph Wahbi mengkhususkan genre
yang diaktifkan oleh Najib Raihan dan Ali Kisar dalam drama tragedi. Tidak sampai pada tahun
1928 M kelompok ini mengalami kemerosotan. Kemudian pemerintah mendirikan lemabaga
resmi yang berupa perguruan tinggi dram pada tahun 1934 M. Kelompok teater ini juga
mengalami kemerosotan karena munculnya bioskop.10

Pada seperempat abad ini, kebangkitan mulai terasa sejak munculnya Taufiq Hakim
yang mana belum pernah ada sebelumnya. Dia memperbaiki kaidah-kaidah dalam prosa seperti
yang dilakukan oleh Ahmad Syauqi terhadap kaidah-kaidah puisi. Dia juga memperbaiki
moralitas manusia melalui drama, dan memadukan dua kebudayaan dengan esensi Mesir Arab.
Maka dari itu, bagi orang Mesir penulis drama merupakan profesi yang baik. Drama yang
disuguhkan oleh Taufiq Hakim dikenal luas sebagai drama yang menjaga aspek-aspek dasar seni
drama dan berisi tentang unsur-unsur yang menguatkan drama secara keseluruhan. Dia tidak
mengadaptasi dari penulis-penulis barat, akan tetapi memanfaatkan bakat menulisnya dan
lingkungannya serta jiwa arab Mesirnya. Tentu saja dia mendominasai penokohannya akan
filsafat abstrak dan instingnya ini berdasarkan pada realita kehidupan. Tulisan-tulisannya
mencakup filsafat hati dan akal. Filsafat Taufiq mendasar kepada iman dengan meminimalisir
akal dan kecenderungan seperti spritual yang dianut dalam kehidupan Timur dan meresap
kejiwaan mereka.11 Aspek bidang drama ini mulai diminati baik oleh kalangan akademis maupun
kalangan umum, dan yang paling di minati oleh Mahmud Taimur. Dia menulis drama pada
awalnya dengan menggunakan bahasa amiyyah seperti oleh saudaranya Muhammad, kemudian
dia mengalihbahasakan dari amiyyah ke fusha di beberapa bentuk dramanya. Mayoritas drama-
dramanya itu berkisah tentang aspek sosial di lingkungannya, dan juga mencakup kehidupan
para petani. Dia juga telah mengangkat tema sejarah Arab dalam dramanya. Dia juga selalu
dalam karyanya menyentuh ranah-ranah kemanusiaan dan juga konflik dalam dramanya selalu
berkutat anraea akal dan mental spritual.

10
Syauqī Dhaif, al-Adab al‟Arabiy al-Mu‟āshir fī Mishr, h. 215.
11
Syauqī Dhaif, al-Adab al‟Arabiy al-Mu‟āshir fī Mishr, h. 216.

7
Di samping itu, Taimur dan Taufik Hakim juga berperan banyak dalam perkembangan
kesenian Mesir modern. Banyak orang yang memuji hasil skill dan karya mereka berdua. Karena
mereka Mesir mampu mencapai kebangkitan seni secara matang. Maka dari itu, karya mereka
berdua banyak mempengaruhi kesusastraan besar di dunia dan juga banyak melahirkan banyak
seni dalam bentuk artikel, cerpen, drama, dan puisi drama serta diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa.12

12
Syauqī Dhaif, al-Adab al‟Arabiy al-Mu‟āshir fī Mishr, h. 217.

8
PERKEMBANGAN DRAMA DI SURIAH

A. Sekilas Tentang Suriah


Republik Suriah sekarang dibatasi oleh Turki (utara), Irak (timur), Yordania (selatan),
Israel (barat daya), Libanon dan Laut Mediterania (barat). Luas tanahnya mencapai 185,180
Km2, penduduknya berdasarkan data tahun 1986 berjumlah 10.931.000; 59 orang per kilometer,
49% hidup di kota dan 51% di pedalaman.13
Suriah mengalami iklim Laut Tengah yang ekstrem dengan pengaruh gurun di bagian
timur dan selatan. Kira-kira sepertiga wilayah Suriah menerima lebih dari 125 mm hujan per
tahun; tetapi di sebelah barat di jalur yang melewati As-Suwayda, Damaskus, Hims, Hamah dan
Aleppo, curah hujan rata-rata 250-375 per tahun. Daerah pegunungan yang tinggi dan daerah
pantai menerima lebih dari 750 mm. musim hujan berlangsung dari September dan Mei, dan
hujan paling lebat turun pada bulan Maret. Gurun Suriah tidak terlalu kering untuk tumbuh-
tumbuhan. Pada musim semi, gurun itu tampak cerah denga bunga-bunga liar yang berwarna-
warni, tetapi ini tidak lama rumput-tumputan juga tumbuh sedikit, tetapi cukup untuk biri-biri,
kambing, dan unta. Suriah bagian barat ditumbuhi perdu yang pendek di sana-sini, dan hutannya
ditumbuhi pohon ek, pinus, cedar, zaitun liar, dan cypess (semacam cemara). Hutan lindung yang
baik terdapat di Pegunungan Ansariyah.14

B. Sosial, Budaya dan Antropologi Masyarakat Suriah


Suriah sekarang adalah bagian dari Negara-negara Arab modern yang nama negaranya
diambil dari istilah nama Negara kuno, yang dikenal sejak berabad-abad sebelum masehi,
terutama lagi pada masa kejayaan Romawi dimana wilayah ini masuk dalam kekuasaan Romawi
Timur, Byzantium. Wilayah ini menunjukkan keragaman warisan tradisi kuno dari mulai
Romawi Byzantium, Mesir Afrika, Aramaic, dan Israiliyyat sampai tradisi Arab Islam. Kesatuan
ragam budaya mereka telah dipadukan dengan proses arabisasi Islam; Umayah I di Damaskus
dan dinasti kecil Hamdaniyyah di Aleppo. Sekalipun pengaruh Turki Islam masa dinasti Usmani

13
Groiler Encyclopedia, Negara dan Bangsa, (Jakarta: Groiler International, 2003), h. 411.
14
Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi; Asia (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1990), h. 219.

9
cukup lama menguasai Suriah, tetapi tampaknya tidak memberi bekas yang cukup dominan
secara umum.15
Penduduk Suriah yang menggunakan bahasa Arab terdiri dari 85-90% dari keseluruhan
populasi Suriah. Bahasa Kurdi sebagai minoritas (9%), mereka juga memiliki komunitas kecil
seperti orang-orang Armenia, Circassia, Turki, dan mereka-mereka yang berbahasa Aramaic.
Minoritas-minoritas ini sebagian besar pandai dalam dua bahasa di kalangan mereka untuk
menunjukkan sebagai bagian dari Arab-nya. Dengan demikian, pembagian bahasa ini tidak
mempengaruhi integritas nasional Suriah. 85% dari orang-orang Syiria adalah muslim yang
terbagi ke dalam berbagai sekte. Kira-kira 75% orang Sunni dan yang lainnya Syiah;
Ismailiyyah, Alawites, dan kelompok Druz (perpaduan ideologi Syiah-Khawarij-Komunis) yang
baru muncul sekitar 1963. Alawites mempunyai peran penting dalam kancah politik karena
mereka menguasai militer dan partai Ba‟ath. Populasi nonmuslim terbanyak adalah Kristen
terutama Ortodok Yunani yang berpusat di Dmaskus dan Aleppo. Suriah juga terdiri dari
sekumpulan 260.000 orang pengungsi Palestina, dua pertiga dari mereka tinggal di provinsi
Damaskus.16
Penduduk berpendidikan cukup baik dalam standar Timur Tengah. Fasilitas pendidikan
di semua tingkatan telah ditingkatkan dengan baik sejak pertengahan tahun 1960-an, walaupun
buta huruf masih tersebar luas pada orang tua dan wanita di daerah-daerah pedesaan. Pelayanan
kesehatan pun ditingkatkan sebagai akibat dari kebijaksanaan pemerintah yang meningkatkan
jumlah dokter dan menyebarkan mereka dengan penuh kebijaksanaan, tetapi tidak sepadan
dengan andil rumah sakit dan personilnya yang masih berpusat di kota Damaskus saja.17

C. Situasi Politik di Suriah


Ketika penggalian di daerah Ebua ditemukan, eksistensi wilayah Syria mengindikasikan
sebagai bekas Negara besar di Millenium ketiga saat itu, di mana aktivitas sosial dan
perdagangannya berkembang dengan pesat yang menghubungkan antara aktivitas lembah
Sungai Nil dengan pusat peradaban Mesopotamia. Juga di Tell Ledia di sebelah utaranya telah
ditemukan pusat persenjataan yang cukup lengkap yang diduga persenjataan orang-orang

15
Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etno-Linguistik dan Geopolitik, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2009), h. 127.
16
Ajid Thohir, h. 129.
17
Ajid Thohir, h. 130.

10
terdahulu atau mungkin para tentara zaman nabi Daud a.s., yang menunjukkan angka tahunnya
sekitar 5000 SM. Sejak penemuan itu pula akhirnya bisa dipastikan Damaskus akhirnya diklaim
termasuk sebagai kota tertua di dunia yang sekarang dijadikan sebagai ibukota Syiria.18
Pada tahun 1516, Syiria ditaklukkan oleh Sultan Selim I yang memerintah Turki Istanbul
dan akhirnya Syiria masuk sebagai bagian dari kekaisaran Ottoman sampai Perang Dunia
Pertama. Ketika nasionalisme Arab semakin kuat, oposisi mensponsori pemberontkan Arab-
Syiria terhadap Turki oleh Inggris sangat diperhitungkan sehingga terjadilah pengusiran terhadap
orang-orang Turki yang kemudian menghasilkan penegakan wilayah independen yang
dikehendaki oleh orang-orang Arab-Syiria sendiri atas dasar-dasar nasionalismenya. Ketika
tentara Inggris membagi-bagikan wilayah perbatasan Timur Tengah pusat, dan daerah-daerah
Timur Tengah sekitarnya, akhirnya telah menimbulkan Syiria dan daerah-daerah baru
membentuk Negara kesatuannya masing-masing. Perserikatan nasional-yang mungkin berada di
bawah tekanan-akhirnya menyetujui hak Perancis terhadap wilayah Syiria ada tahun 1922. Pada
tahun 1946, kemerdekaan telah tercapai setelah perjuangan yang panjang.19 Setelah peperangan
saudara di Syiria bergejolak, antara 1949 dan 1963, sering terjadi pergantian pemerintahan dan
kudeta tentara. Suriah juga hamper porak poranda akibat menangani daerah-daerah pedalaman,
tingkatan sekte, dan perpecahan ideologi. Ini merupakan manifestasi mereka dalam rentetan
konflik kekuatan dalam negeri yang sangat kompleks, sebagaimana juga terjadi di Negara-negara
yang baru muncul di dunia Islam lainnya.

D. Perkembangan Drama di Suriah

Sebagai genre kesenian dan satra yang diperagakan oleh aktor panggung, drama tidak
terlalu berkembang di dunia kesusasteraan Arab. Meskipun popularitas drama sudah naik sealma
tujuh abad yag lalu juga tidak memberi kontribusi yang berarti bagi perkembangan drama di
Suriah. Adapun pelopor drama modern yang bernama Marun al-Naqash (1917-1935), Kalil
Qabbani (1833-1902) dan lainnya menulis karya adaptasi Barat.20

18
Ajid Thohir, h. 122.
19
Ajid Thohir, h. 124.
20
Admer Gouryh, Recent Trends in Syirian Drama, artikel diunduh melalui
http://pages.uoregon.edu/kthomas/MiddleEasternDrama/RecentTrendsInSyrianDrama-Gouryh.pdf

11
Peneliti yang tercatat memperhatikan secara khusus mengenai perkembangan drama di
Suriah adalah Adnan bin Dzaril. Hal ini didukung oleh faktor bahwa sahabat-sahabatnya
merupakan para seniman, musisi dan para penulis naskah drama dan puisi yang mayoritas
mendapatkan semangat berkarya dari Ahmad Abu Khalil al-Qabbani, yang berjuang demi
aktivitas teatrikal di Suriah dan aktivitas seni lainnya, hingga akhirnya ketetapan pemerintah
mengintervensi lapangan pertunjukan, demi memperkokoh dan memenuhi setiap sendi
kehidupan masyarakatnya pada tahun 1959. Adnan juga memperluas kesungguhan upayanya di
bidang teatrikal yang telah dimulainya pada tahun 1959, dimana pada tahun ini didirikan
lembaga kesenian yang berada di bawah komando kementerian kebudayaan dengan menyeru
seluruh pihak yang terkait dengan dunia teatrikal Suriah yang terdiri dari berbagai macam-
macam latar belakang untuk bergabung ke dalam komunitas pemula teatrikal saat itu, yang
meneliti tema-tema yang berkembang pada kelompok-kelompok teatrikal resmi Suriah.21

Adapun rincian-rincian yang dimaksud Profesor Adnan dalam bukunya “Drama Suriah,
Sejak Khalil Qabbani hingga Kini” menemukan banyak fakta mengenai kesungguhan para
seniman. Beberapa fakta itu diantaranya adalah kebangkitan dan perkembangan teatrikal tidak
akan menemui titik akhir, meskipun kesungguhan al-Qabbani saat itu belum membuahkan hasil,
namun di era berikutnya drama al-Qabbani mengalami perkembangan dan terkenal di sebagain
kalangan budayawan, ilmuwan, dan seniman Arab yang concern akan kebangkitan Arab dalam
perlbagai bidang. Misalnya dalam perkembangan drama yang berimbas munculnya drama yang
beraliran nasionalis Suriah tidak serta-merta menarik perhatian para seniman dan para pemerhati
kesusasteraan Arab disana yang beraktivitas di klub-klub dan akademi-akademi kesusasteraan
disana. Mereka juga yang berperan menjadikan dunia teatrikal Suriah menjadi dunia teatrikal
yang terpisah dari sisi komersilnya seperti yang disuguhkan pada era Qabbani dan masa setelah
kepergiannya. Mereka juga mendorong situasi dimana seorang penulis tidak merasa ketakutan
akan tulisan-tulisannya, dimana hal ini merupakan faktor keterbelakangan bagi dunia
pertunjukan di Suriah.22

Adnan juga menjelaskan dalam bukunya, bahwasanya ada satu jenis kesenian yang
beraliran teatrikal di Suriah yang dipentaskan di sebuah kafe di Karagoz bersama dengan suatu

21
Ali al-Rā‟ī, al-Masrah fī al-Wathan al-‘Arabī, (Kuwait: Alim al-Ma‟rifat, 1979), h. 171.
22
Ali al-Rā‟ī, al-Masrah fī al-Wathan al-‘Arabī, h. 172.

12
tarian bagi orang-orang dermawan. Dari pentas Karakoz ini muncullah seorang seniman yang
bernama Muhammad Habib yang menampilkan bagian dari permainan dan tarian di lingkungan
kesenian Karagoz. Dia pun selalu menampilkan pertunjukan ini hingga menghilang dari kesenian
Karagoz. Terkadang dalam satu malam ia bisa menampilkan dua sampai tiga pertunjukan di dua
sampai tiga kafe yang berbeda. Hal semacam ini sebaaimana dimaksud oleh Adnan yang dikutip
dari pendapat penyair yang bernama Raghib Abu Rabbah disebabkan karena Muhammad Habib
merupakan satu-satunya orang yang mempunyai keterampilan itu di Damaskus dan setelah itu
diikuti oleh komunitas di kafe tempat berkumpulnya para pendongeng dan begitu juga di
Karakoz. Disamping itu pertunjukan ini juga untuk menyinggung konflik yang terjadi saat itu.
Selain itu pertunjukan ini juga sebagai alat untuk mengkritisi pemeritahan saat itu dan juga
kadangkala murni sebagai tarian.23

Di lingkungan Karakoz sendiri terdapat beberapa seniman drama tradisional seperti


George Dukhl yang masuk bersamaan dalam teater musikal di kafe-kafe atau pentas-pentas.
Adapun iramanya disadur dari nyanyian khususnya kasidah, tarian ala Timur serta nyanyian dari
tarian lama. Kemudian timbullah karakteristik humoris yang disuguhkan George yang berperan
sebagai pelawak. Dia jualah yang memperkenalkan kesenian tradisional Suriah ke seluruh
penjuru negeri yang menyatukan orang-orang kalangan terpelajar dan kalangan terbelakang
seraya menumbuhkan harapan mereka dalam situasi krisis saat itu, sehingga mereka dapat
terbebas dari krisis tersebut. Disamping George Dukhl, disana juga ada seniman lokal lain yang
bernama Jamil al-Urghuli yang terkenal dengan sebutan “Manusia Berbudi Luhur”. Dia juga
tercatat menyuguhkan beberapa drama komedi, seperti drama komedi keliling bayaran, dan juga
pertunjukan buduanitanya. Pertunjukan ini disuguhkan dengan kereta Suriah, permainannya
dengan kata-kata seperti gerakan mengolok-olok lalu tertawa terbahak-bahak. Terkadang Jamil
al-Urghuli menari-nari tarian yang disebut dengan tarian „Balishah‟, yaitu tarian masyarakat
kelas bawah yang menampilkan penari dari dua barisan penonton bukan dari panggung dan di
belakangnya menyerupai permainan yang menirukan gerakan orang yang tertawa. 24

Seiring dengan fakta-fakta di atas, disana juga terdapat orang-orang dari bangsa Turki
yang menginvasi Suriah dari masa ke masa. Salah satu bangsa yang terkenal adalah kelompok

23
Ali al-Rā‟ī, al-Masrah fī al-Wathan al-‘Arabī, h. 172
24
Ali al-Rā‟ī, al-Masrah fī al-Wathan al-‘Arabī, h. 172-173.

13
dari Urtughul Bek. Kelompok ini memiliki reputasi yang besar dan hanya memiliki sedikit tradisi
teatrikal. Namun dari Urtughul lah muncul semacam jenis teatrikal improvisasi dari kebiasaan
mereka dari segi gerakannya. Dan sisi humornya berasal dari ide atau gagasan jenaka yang
bersifat spontan namun tidak berlebihan. Namun pertunjukan ini perlahan lenyap setelah adanya
drama besar setelah Perang Dunia ke-2. Tak lama kemudian era Kesh Kesh Bek dari Rihan yang
menginvasi Suriah, dimana era itu mulai muncul pertunjukan seniman Hasan Hamdan yang
mempromosikan kepribadian Kesh Kesh Bek melalui pertunjukannya. Selain Hasan Hamdan
muncul juga Amin Atallah yang sealiran dengannya. Lalu ada seniman Muhammad Ali Abduh
yang mempertunjukkan melalui pementasannya kepribadian suku Barbarian. Sepanjang
demonstrasi kegiatan teatrikal yang mendominasi di Suriah pasca era al-Qabbani, Adnan tidak
banyak menyebut jurang pemisah antara drama mana yang berfilosofi drama untuk drama dan
drama untuk aspek komersial yang diadopsi para seniman yang berbeda-beda belakangan ini,
melainkan dengan jelas mengagungkan posisi drama untuk drama demi menghibur para sultan
dan disandingkan dengan tari-tarian, festival tradisional, dan ditampilkan dalam „drama adat‟
yang tidak memiliki bentuk baku.25

Selain itu jurang pemisah ini tidak akan ada apabila para seniman yang lebih terampil
muncul setelah al-Qabbani, kemudian drama Suriah juga tidak dalam posisi saduran: posisi
dimana drama tradisional Suriah lebih rendah.

Namun hal ini merupakan faktor rekonsiliasi antara seniman popular dengan
cendekiawan tidak tercapai. Hal inilah yang menjadikan faktor utama terpuruknya kegiatan
drama Suriah sepanjang tahun mulai masuknya pemerintah pada tahun 1959. Karena aktivitas
teatrikal tidak berjalan sepanjang tahun itu, praktis penulis drama yang yang menggambarkan
emosi kaumnya secara dalam dan pantas mewakili kaumnya tidak muncul. Meskipun sudah ada
penulis yang lebih dahulu eksis untuk menginspirasi sense of drama mereka, dan peka terhadap
kebutuhan akan kesenian drama bangsa Suriah.26

Berlawanan dengan Adnan, Ahmad Sulaiman al-Ahmad tidak menganggap bahwa


aktivitas drama di Suriah sebelum 1959. Dalam artikelnya di majalah al-Adab al-„Arab ia
menegaskan bahwa aktivitas drama sebelum era 60-an tidak terdapat naskah kesusasteraan yang

25
Ali al-Rā‟ī, al-Masrah fī al-Wathan al-‘Arabī, h. 173.
26
Ali al-Rā‟ī, al-Masrah fī al-Wathan al-‘Arabī, h. 174

14
ditulis untuk mengekspresikan jiwa seni mereka dalam sebuah pementasan. Lebih lanjut Ahmad
Sulaiman menyebut sejumlah drama yang ditulis di permulaan tahun 1936 ketika seorang
penyair yang bernama Abu Risyah menggubah puisi drama yang berjudul „Rayat Dzī Qār‟ yang
menjadi salah satu karya terpenting dalam khazanah drama Arab. 27 Kemudian Ahmad Sulaiman
juga menyebutkan banyak drama lain yang dikarang saat itu. Dua diantaranya seperti Māmozain
(1945) dan al-Ma‟mûniyyah (1947) yang keduanya tidak dipentaskan secara teatrikal. Karena
pada saat itu, penulis naskah drama tidak memiliki kesempatan yang bagus untuk
mempertunjukkan hasil karyanya. Situasi semacam ini bertahan hingga era 60-an.28

Riyadh Ashmat menuturkan bahwa kebangkitan drama di Suriah dipelopori oleh dua
orang yakni Rafīq Shibbān dan Syarīf Khazandār. Keduanya telah mengembalikan dari drama ke
versi Perancis ke versi Suriah setelah mereka dilatik oleh dua seniman besar yang bernama Jean
Louis Breau dan Jean Villar. Keduanya mempertunjukkan contoh drama yang berkembang di
dunia dan mencoba melatih dasar-dasar kesenian drama secara umum dan diwaktu yang
bersamaan masyarakat Suriah menerima akan hal ini. Kemudian Rafīq Shibbān membentuk
kelompok teatrikal yang mejadi inti dari perjalanan perkembangan drama di Suriah dan diberi
nama „Nadwah al-Fikr wa al-Fann‟. Pemerintah pun tidak berpangku tangan untuk membantu
wadah kesenian yang kecil ini. Ia pun mendirikan Lembaga Teatrikal Negeri pada tahun 1959
untuk menyokong kegiatan klub yang didirikan al-Shibbān. Kemudian pemerintah juga
mengirim seorang pemuda yang bernama Hānī‟ Shanubar ke Amerika untuk mempelajari seni
teater disana. Setelah itu berbondong-bondong kelompok yang dikirim pemerintah Suriah untuk
mempelajari seni drama ke perguruan tinggi di Kairo itu kembali ke negeri asalnya. Faktor
inilah yang menjadikan dunia teatrikal Suriah mulai terbentuk dan menjadi pemacu semangat
para penulis naskah drama untuk menampilkan karyanya.29

Kemudian tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa salah satu penulis naskah drama
terkenal yang bernama Sa‟dallāh Wannûs yang mementaskan dramanya pada 1967 yang berjudul
„Haflatu Samrin min Ajli 5 Hazīrān‟ menjadi pembuka era baru yang penting dalam dunia drama
Suriah. Sebelumnya Wannûs telah menulis sekitar lima judul drama pendek yakni “La‟batu al-
Dubābīs”, “al-Jarād”, “al-Maqhā al-Zujājī”, “Jitsatu „ala al-Rafīsh” dan “al-Fīl yā Malik al-

27
Ali al-Rā‟ī, al-Masrah fī al-Wathan al-‘Arabī, h. 174.
28
Ali al-Rā‟ī, al-Masrah fī al-Wathan al-‘Arabī, h. 175.
29
Ali al-Rā‟ī, al-Masrah fī al-Wathan al-‘Arabī, h. 175.

15
Zamān”. Lalu ia juga menulis seri drama yang terbagi ke dalam dua bagian yakni “Hikāyat
Jauqatu al-Tamātsil” dan “al-Rasûl al-Majhûl fi Ma‟tam Antijûna”. Karyanya ini masih belum
banyak mengandung simbol-simbol tertentu dan masih mengambil bentuk drama Barat,
mengingat Wannûs mendapatkan pengetahuan tentang drama dari negeri Barat.30

Kemudian Wannûs menulis drama yang menjadi permulaan bentuk baru sebuah drama,
yakni bentuk drama spontanitas. Ketika mementaskan dramanya yang berjudul “Haflatu Samrin
min Ajli 5 Hazīrān” yang mengikuti bentuk drama “Mughāmirah Ra‟su al-Mamlûk Jābir”
dimana keduanya juga bercerita tentang pemecahan sebuah teka-teki. Pada tahun 1978, Sadallāh
Wannûs menerbitkan naskah dramanya yang berjudul “al-Mulk Huwa al-Mulk” yang mana di
dalamnya memuat hikmah seni yang memukau “Alfu Lailah wa Lailah” yang menceritakan
Harun al-Rasyid yang merasa jenuh dan memutuskan mengajak menterinya untuk berkeliling
malam. Hingga suatu saat dia mendengar seseorang berkata “Ah, jika aku seorang raja, maka aku
akan menegakkan keadilan di antara manusia dan akan melakukan ini itu dan seterusnya. Lalu
Harun al-Rasyid menjemput lelaki tersebut ke istananya dan menjadikanya khalifah dalam satu
hari… dan seterusnya. Wannûs juga mengangkat tema yang bermutu dari hikayat lain dari Alfu
Lailah wa Lailah yakni hikayat Harun al-Rasyid yang keluar bersama menterinya dan keduanya
menyamar menjadi seorang pengemis. Kemudian datanglah seorang laki-laki yang didampingi
oleh menteri dan algojo tanpa menyadari bahwa sang pengemis itu merupakan khalifah yang
sebenarnya.31

Salah satu penulis drama Suriah yaitu Mushtafa al-Hallāj yang menulis beberapa judul
seperti “al-Qatl wa al-Nadm” (1956), “al-Ghadab” (1959), “Lailī Khāshin fī Dresden” dan “ al-
Darāwīs Yabhatsûna „ani al-Haqīqah” (1970). Drama yang pertama menceritakan tentang
perjuangan bangsa Tunisia dalam merebut kemerdekaannya. Sedangkan dalam drama yang
berjudul “al-Ghadab” al-Hallāj mengungkapkan perjuangan dan perlawanan bangsa Aljazair
terhadap kaum penjajah Perancis. Adapun drama yang berjudul al-Darāwīs Yabhatsûna „ani al-
Haqīqah (1970) pengarag mengambil tema situasi genting di pemerintahan negeri dunia ketiga.
Dia juga mengungkapkan bagaimana para filsuf seperti Paul Sartre mengalami penyiksaan dan
situasi mencekam lainnya di abad ke-20. 180 Mushtafa al-Hallāj tercatat tidak terpaku pada suatu

30
Ali al-Rā‟ī, al-Masrah fī al-Wathan al-‘Arabī, 175-176.
31
Ali al-Rā‟ī, al-Masrah fī al-Wathan al-‘Arabī, h. 176.

16
latar dan setting tertentu, tema yang ia ambil secara umum adalah kebebasan manusia di atas
kesewenang-wenangan.32

Penulis Suriah berikutnya yakni Mamdûh „Adwān yang menulis puisi drama “al-
Makhād”, “Muhākamatu al-Rijāl al-ladzī lam Yhārib”, “Kayfa Tarakta al-Sayf?”, “Laylu al-
„Abīd”, dan drama “Hāmlat Yatiqidzhu Mutaakhiran”. Tiga judul drama terakhir cukup dikenal
di kalangan seniman. Dalam drama “Kayfa Tarakta al-Syaf”, pengarang menyindir situasi politik
yang terjadi di zaman Abu Dzar al-Ghifārī dalam menegakkan keadilan dan kepedulian orang-
orang kaya terhadap orang-orang miskin. Mamdûh juga melihat sosok Abu Dzar sebagai
manusia yang tulus, jujur dibalik sisi buruknya. Suatu saat Abu Dzar berada dalam situasi yang
mengharuskannya menyeru dengan pedang namun dia tidak melakukannya. Dari sinilah muncul
pertanyaan dalam drama “Abu Dzar, mengapa kau tanggalkan pedangmu?”. Selain itu Mamdûh
juga dikenal sebagai penulis yang mengadopsi tema-tema drama kekayaan kebudayaan
Jahiliyyah, revolusi terhadap pemerintah sehingga muncul fitnah di zaman Khalifah Utsman bin
„Affan. Mamdûh juga menyuguhkan bentuk drama di dalam drama untuk menggambarkan
peristiwa fitnah yang terjadi di era Utsman bi „Affān sebagai tema utama dalam dramanya. 33

32
Ali al-Rā‟ī, al-Masrah fī al-Wathan al-‘Arabī, h. 183.
33
Ali al-Rā‟ī, al-Masrah fī al-Wathan al-‘Arabī, h. 184.

17
PENUTUP

Teater (drama) Arab sudah lahir sejak tahun 1847 M, yang di gagas pertama kali oleh
Marwan An-Nuqass dengan judul “al-Bakhil” yang terinspirasi oleh Muller yang ketika itu
sementara menjadi hari kelahiran teater di negeri Arab.

Drama Mesir, tidak terlepas dengan tiga tokoh berikut. Yakni, Farh Anton, Ibrahim
Ramzi, dan Muhammad Taimur. Mereka membuat drama pada tahun 1913 dengan judul “Mesir
Dulu dan Kini”. Drama ini merupakan drama sosial yang menggambarkan keburukan-keburukan
sosial di sekitarnya dan membandingkannya dengan budaya barat pada masa itu.

Kebangkitan mulai terasa sejak munculnya Taufiq Hakim yang mana belum pernah ada
sebelumnya. Dia memperbaiki kaidah-kaidah dalam prosa seperti yang dilakukan oleh Ahmad
Syauqi terhadap kaidah-kaidah puisi. Dia juga memperbaiki moralitas manusia melalui drama,
dan memadukan dua kebudayaan dengan esensi Mesir Arab.

Salah satu penulis drama Suriah yaitu Mushtafa al-Hallāj yang menulis beberapa
judul seperti “al-Qatl wa al-Nadm” (1956), “al-Ghadab” (1959), “Lailī Khāshin fī Dresden” dan
“ al-Darāwīs Yabhatsûna „ani al-Haqīqah” (1970). Penulis Suriah berikutnya yakni Mamdûh
„Udwān yang menulis puisi drama “al-Makhād”, “Muhākamatu al-Rijāl al-ladzī lam Yhārib”,
“Kayfa Tarakta al-Sayf?”, “Laylu al-„Abīd”, dan drama “Hāmlat Yatiqidzhu Mutaakhiran”. Tiga
judul drama terakhir cukup dikenal di kalangan seniman.

Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
pembahasan dalam makalah ini,namun tentunya masih banyak kekurangan dalam penyampaian
makalah ini, sebab “Tak ada gading yang tak retak.”

Pemakalah berharap semoga apa yang kami sampaikan dapat menjadi pencerah wawasan
kita serta melahirkan manfaat bagi pemakalah khususnya, dan pembaca umumnya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Groiler Encyclopedia, Negara dan Bangsa, Jakarta: Groiler International, 2003.


Mauli, Betty, dkk, Sejarah Sastra Arab dalam Berbagai Perspektif Yogyakarta: Deepublish,
2015.
al-Rā‟iy, Alī, al-Masrah fī al-Wathan al-‘Arabiy, Kuwait: „Alim al-Ma‟rifah, 1979.
al-Rā‟ī, Ali, al-Masrah fī al-Wathan al-‘Arabī, Kuwait: Alim al-Ma‟rifat, 1979.
Gouryh, Admer Recent Trends in Syirian Drama, artikel diunduh melalui
http://pages.uoregon.edu/kthomas/MiddleEasternDrama/RecentTrendsInSyrianDrama-
Gouryh.pdf
Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi; Asia, Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1990.
Syauqī Dhaif, al-Adab al’Arabiy al-Mu’āshir fī Mishr, Kairo: Dār al-Ma‟ārif, 1961.
Thohir,Ajid, Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etno-Linguistik dan Geopolitik, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2009.
www.academia.edu/11934839/makalah_jurnal_pengajaran_drama

19

Anda mungkin juga menyukai