Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

KEBENARAN

MATA KULIAH:

FILSAFAT ILMU

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rizald M. Rompas M.Agr.

Disusun Oleh :

NIKEN KUSUMAWARDANI

NIM. 220521050001

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PERAIRAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan pembuatan makalah
ini tepat pada waktunya.
Adapun makalah yang ditulis berjudul “Kebenaran dalam Perspektif
Filsafat Ilmu”. Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen Mata Kuliah Filsafat
Ilmu, Prof. Dr. Ir. Rizald M. Rompas M.Agr. yang telah membimbing kami, dan
terima kasih pula kepada semua yang terlibat dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari sangat banyak kekurangan di dalam penulisan makalah ini
terlepas bahwa sebagai manusia kami juga bukanlah mahkluk yang sempurna.
Untuk itu kami juga menerima saran dan kritik yang membangun dalam penulisan
selanjutnya.
Akhir kata semoga tulisan ini dapat bermanfaat.

Manado, 21 Agustus 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1
C. Tujuan .......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3
A. Definisi Kebenaran....................................................................................... 3
B. Kaitan Kebenaran dengan Ilmu Pengetahuan .............................................. 5
C. Teori Kebenaran dalam Persfektif Filsafat Ilmu .......................................... 9
BAB III PENUTUP............................................................................................... 15
A. Kesimpulan ................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang diberikan keistimewaan
akal untuk berfikir secara realistis. Berfisik secara rasional merupakan salah
satu cara yang ditempuh manusia untuk menemukan kebenaran terhadap
informasi yang diterima. Terutama di masa sekarang, masifnya perkembangan
teknologi membuat manusia zaman sekarang dapat memperolah berbagai
macam informasi, dimanapun dan kapanpun. Informasi yang diterima
mengandung dua kemungkinan yakni informasi yang benar maupun dusta.
Informasi benar jika informasi tersebut sesuai fakta yang sebenarnya dan
informasi dust ajika tidak didasarkan pada fakta yang terjadi, baik terjadi
penambahan maupun pengurangan informasi.
Filsafat dan manusia tidak dapat dipisahkan. Pada dasarnya manusia
dilahirkan sebagai seorang filsuf atas dirinya sendiri. Tujuan berfilsafat ini
ialah untuk menemukan kebenaran yang sebenarnya. Teori kebenaran sering
dianalogikan sebagai seorang manusia sebagai makhluk berfikir. Dalam
berfikir tersebut manusia akan menemukan dan menimbulkan beberapa
pertanyaan atas berbagai kejadian yang terjadi. Kemudian pertanyaan tersebut
akan menghasilkan sebuah jawaban dan jawaban yang diharapkan sebagai
fakta yang terjadi itulah disebut kebenaran (Salminawati dan Dewi. 2022).
Kebenaran merupakan salah satu subjek sentral dalam filsafat. Berbagai
macam masalah dalam filsafat berhubungan dengan kebenaran. Kebenaran
dapat dicari dengan mencari pengalaman yang dalam hal ini berupa teori yang
dapat menguatkan dasar fakta yang terjadi sebelum menjadi sebuah kebenaran.
Filsafat sebagai ibu dari semua ilmu tentunya sangan diperlukan untuk
mengungkapkan bagaimana prinsip dasar dalam mencari kebenaran.
Kebenaran akan selalu menjadi bagian dari kehidupan. Setiap orang
ingin memastikan bahwa mereka dapat mengetahui yang terbaik untuk hidup
mereka. Orang yang berbeda akan memiliki makna kebenaran yang berbeda
pula. Sebagian orang akan mendefinisikan kebenaran bahwa kebenaran harus
menjadi sesuatu yang benar-benar konkret yang dapat dibuktikan baik dengan
menggunakan rumus atau analisis. Beberapa orang akan mendefinisikan
kebenaran sebagai sesuatu yang terlalu abstrak untuk dibahas. Dengan
demikian kondisi ini akan membawa orang-orang ini ke dalam beberapa
argumen untuk menentukan kebenaran yang sebenarnya (UKEssay, 2018).
Sehingga pada dasarnya kita harus memahami bahwa bidang pengetahuan yang
berbeda membutuhkan cara identifikasi yang berbeda untuk menemukan
sebuah kebenaran.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan urairan-uraian diatas, maka dapat ditarik rumusan masalah dalam
makalah ini adalah:
1. Apa definisi Kebenaran ?
2. Apa saja teori-teori kebenaran dalam filsafat ilmu ?

1
3. Bagaimana keterkaitan antara kebenaran dengan ilmu pengetahuan ?

C. Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui tentang kebenaran, teori-teori tentang
kebenaran dalam filsafat ilmu, serta keterkaitan antara kebenaran dengan ilmu
pengetahuan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebenaran
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan memerlukan pengetahuan
dalam memahami proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya.
Salah satu keunggulan manusia dibandingkan makhluk lain ialah adanya akal.
Dengan akal ini lah manusia harus perfikir untuk mencari dan mengembangkan
ilmu serta mencari kebenaran di lingkungan sekitarnya.
Kebenaran adalah sesuatu yang dapat dijelaskan dengan akal sehat, yang
tidak akan tumbang seiring waktu yang menolak semua yang salah, dekaden,
dan tidak berdasar. Kebenaran berasal dari kata benar. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) kebenaran adalah keadaan (hal dan sebagainya) yang
cocok dengan keadaan (hal) yang sesungguhnya. Secara etimologis, kebenaran
memenuhi kondisi yang ditentukan, keadilan, akurasi, kebenaran dan
kesesuaian. Menurut Abbas Hamami, kebenaran digunakan pada kata benda
kongkrit dan abstrak. Apabila subyek memaparkan kebenaran artinya
proposisinya benar. Kebenaran selalu dihubungkan dengan suatu statement.
Bradley seorang filsuf terkenal mengatakan “kebenaran itu adalah
kenyataan”. Kebenaran dalam perspektif filsafat ilmu, adalah ‘kenyataan’.
Kenyataan yang dimaksud tidak selalu sesuatu yang harusnya terjadi, tetapi
segala sesuatu yang terjadi termasuk ketidakbenaran (keburukan) itu sendiri.
Jadi, ada dua pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang dalam arti sesuatu
yang nyata-nyata terjadi dan kebenaran dalam arti lawan dari ketidakbenaran
(keburukan) (Rompas, dkk., 2017).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sifat “benar” dapat berada pada
kegiatan berpikir maupun hasil pemikiran yang dapat diungkapkan dalam
bahasa lisan maupun tertulis, yang berupa: jawaban, penyataan, penjelasan,
pendapat, informasi, berita, tindakan, peraturan. Hasil pemikiran dikatakan
benar, bila memahami bahwa ada hubungan antara yang diterangkan dengan
yang menerangkan, atau memahami bahwa tidak ada hubungan antara yang
diterangkan dengan yang menerangkan. Hasil pemikiran dikatakan salah, bila
memahami bahwa ada hubungan antara yang dite- rangkan dengan yang
menerangkan, padahal tidak ada, atau memahami bahwa tidak ada hubungan
antara yang diterangkan dengan yang menerangkan, padahal ada (Indarti,
2020).
Berbicara tentang masalah kebenaran secara filsafat bukan merupakan
hal yang tabu atau mewah. Namun ini mernjadi dasar bagaimana suatu manusia
dapat beretika dan bermoral. Kebenaran selalu berkaitan dengan masalah yang
dihadapi (Salminawati dan Harahap, 2022). Kebenaran dalam filsafat selalu
terjadi dalam berbagai bentuk yang bergantung dari persfektif yang digunakan.
Kebenaran dalam perspektif rasionalisme tentu akan berbeda dengan
kebenaran dalam perspektif penganut empirisme (Mustofa dan Padli, 2021).
Sehingga posisis kebenaran akan menjadi suatu bahasan terus menerus ada
dalam filsafat. Seperti filsafat justru akan mempertanyakan mengenai

3
kebenaran sesuatu. Hal ini disebabkan karena kebenaran bersifat dinamis yang
selalu ada dan tidak akan pernah berhenti.
Tidaklah mudah untuk mendefinisikan apa sesungguhnya kebenaran itu.
Kaum positivisme logis membagianya menjadi kebenaran factual dan
kebenaran nalar.
1. Kebenaran faktual adalah kebenaran tentang ada atau tidaknya suatu
kebenaran yang diukur dan diamati secara inderawi. Misalnya Ketika mata
melihat bintang dilangit maka dapat dikatakan benar bahwa dilangit
memang ada bintang yang bisa di amati. Kebenaran factual merupakan
kebenaran yang awalnya ingin mencapai sesuatu pengetahuan secara
nyata, berguna, tertentu, dan pasti, namun justru kebenaran factual ini
malah memungkinkan terjadinya kebenaran nisbi akibat keterbatasan
inderawi.
2. Kebenaran nalar adalah kebenaran yang disimpulkan dari proses
pemikiran atau penalaran yang berada dalam matematika dan logika.
Kebenaran nalar meskipun tidak menambah pengetahuan baru, namun
bersifat tautologis (selalu benar dalam semua situasi). Kebenaran
tautologis tidak dapat, tidak perlu, dan tidak ditentukan oleh pengalaman
inderawi sehingga tidak dapat dipermasalahkan oleh empirisitas.
Sehingga, karena kebenaran nalar yang bersifat tautologis itulah maka
dapat berguna untuk penemuan pengetahuan yang benar tentang dunia.
Dengan demikian, pengetahuan nalar akan membantuk subyek untuk
memperoleh kebenaran faktualnya.

Kebenaran dapat diukur dengan dua kemungkinan. Pertama ialah


kemungkinan yang disebut kebenaran apriosis atau kebenaran hipotesis.
Sementara kemungkinan kedua disebut dengan kebenaran aposterioses atau
kebenaran empiris. Kebenaran aprioris merupakan kebenaran yang disebabkan
oleh pengaruh akal logika tanpa memerlukan bukti empiris. Sementara
kebenaran aposteriosis merupakan kebenaran yang bisa didapatkan pada
pengalaman di lapangan melalui sebuah ukuran dari apa yang ingin diketahui.
Kedua kemungkinan kebenaran ini berdasrakan pada teori ilmu pengetahuan
dari ahli filsafat seperti Kant, Comte dan sebagainya. Kant mengungkapkan
bahwa ilmu pengetahuan harus memiliki sifat sistesis aprioris atau analisis
aposterioris, sehingga kebenaran ilmu pengetahuan akan berlandaskan pada
penggunaan akal atau penggunaan hipotesis yang akan divalidasi melalui bukti
hasil pengukuran yang objektif.
Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral,
kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan
etika, iamenunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang
kita rasakan.Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan
psikologi yang merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas
objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang ada sejauh berhadapan
dengan akal budi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi.
Sesuatu yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akal budi yang akan
menyatakannya (Wahyudi, 2004).
Sementara itu menurut Ford (2006) dalam Rompas, dkk (2017),
kebenaran dapat dibedakan menjadi 4 jenis:

4
1. Kebenaran Metafisik
Kebenaran metafisik merupakan kebenaran yang paling mendasar dan
puncak dari seluruh kebenaran, karena itu harus diterima apa adanya (given
for granted), misalnya iman dan doktrin-doktrin absolut agama. kebenaran
ini tidak bisa diuji kebenarannya (baik melalui justifikasi maupun
falsifikasi) berdasarkan norma eksternal seperti kesesuaian dengan alam,
logika deduktif, atau standar-standar perilaku professional.

2. Kebenaran Logika
Sesuatu dianggap benar apabila secara logika atau matematika
konsisten dan koheren dengan apa yang telah diakui sebagai benar atau
sesuai dengan apa yang benar menurut kepercayaan metafisik. Adanya suatu
kebenaran terdapat pada perbedaan nyata antar satu hasil analisis dengan
analisis lain, jika telah diuji dengan uji signifikansi pada taraf 5% atau 1%.

3. Kebenaran Etik
Kebenaran etik merujuk pada perangkat standar moral atau profesional
tentang perilaku yang pantas dilakukan. Seseorang dikatakan benar secara
etik bila ia berperilaku sesuai dengan standar perilaku itu. Sumber
kebenaran etik bisa berasal dari kebenaran metafisik atau dari norma sosial-
budaya suatu kelompok menyatakan atau komunitas profesi tertentu.
Kebenaran ini ada yang mutlak (harus memenuhi standar etika universal)
dan ada pula yang relatif. Kebenaran Empirik
Kebenaran ini yang lazimnya dipercayai melandasi pekerjaan ilmuwan
dalam melakukan riset. Sesuai (kepercayaan, asumsi, dalil, hipotesis,
proposal) dianggap benar apabila konsisten dengan kenyataan alam, dalam
artian dapat diverifikasi, justifikasi atau dikritik. Hakiki, kebenaran empirik
sering disebut kebenaran ilmiah. Namun tentu saja tidak mengsampingkan
kebenaran lainnya.

B. Kaitan Kebenaran dengan Ilmu Pengetahuan


Kebenaran, ilmu pengetahuan, dan filsafat tidak dapat dipisahkan satu
dan yang lainnya. Esensi pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah
pengetahuan. Ilmu merupakan kekuatan untuk mencari kebenaran maupun
kesalah pada suatu teori tertentu. Tanpa ilmu filsafat, penemuan tidak akan
terbukti kebenarannya. Sehingga dalam kehidupan, manusia harus memiliki
pengetahuan dan kebenaran (Rompas, dkk, 2017).
Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya kualitas
setiap pengetahuan yang dimiliki oleh subyek bergantung pada jenis
pengetahuan yang dibangunnya, apakah pengetahuan ini berupa pengetahuan
biasa, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, atau pengetahuan agama. Jika
yang dibangun adalah pengetahuan biasa, maka kebenarannya bersifat
subyektif. Jika yang dibangun adalah pengetahuan ilmiah, maka kebenaran
yang terkandung didalamnya bersifat relative, sehingga kandungan
kebenarannya selalu berpeluang untuk mendapatkan revisi atau diperkaya oleh
hasil penemuan yang mutakhir. Bilamana yang dibangun adalah pengetahuan
filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dengan model pemikian yang
analitis, kritis, dan spekulatif, maka sifat kebenarannya absolut-intersubjektif.

5
Demikian juga dengan kebenaran yang dibangun berlandaskan pada
pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama. Maka kebenarannya
memiliki sifat dogmatis, karena pernyataan dalam suatu agama selalu
dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataanpernyataan
dalam ayat-ayat kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan
keyakinan yang digunakan untuk memahaminya itu
Kebenaran juga berkait dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana
cara atau dengan alat apa pengetahuan itu dibangun. Apakah dibangun dengan
penginderaan, akal budi, intuisi, atau dengan kepercayaan otoritatif. Implikasi
dari penggunaan alat yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan
berakibat pada karakteristik kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan itu.
Demikian juga cara tertentu yang digunakan untuk membuktikannya.
Kebenaran pengetahuan dapat pula dikaitkan nilai kebenaran
pengetahuan atas bagaimana relasi antara subjek dan objek, manakah yang
dominan dalam membangun pengetahuan itu, subjek atau objek. Jika subjek
yang berperan maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebenaran yang
sifatnya subjektif, karena itu nilai kebenaran dari pengetahuan yang
dikandunganya itu amat tergantung pada subjek yang memiliki pengetahuan,
atau jika objek amat berperan maka sifatnya pun akan objektif.
Dalam filsafat, terdapat epistemologi/filsafat pengetahuan yang
merupakan cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat,
pengandaian-pengandaian dasarnya, serta pertanggungjawaban atas
pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Pada awalnya, pembahasan
dalam epistemologi lebih terfokus pada sumber pengetahuan (the origin of
knowledge) dan teori tentang kebenaran (the theory of truth) pengetahuan.
Pembahasan yang pertama berkaitan dengan suatu pertanyaan apakah
pengetahuan itu bersumber pada akal pikiran semata, pengalaman indera, kritik
atau intuisi. Sementara itu, pembahasan yang kedua terfokus pada pertanyaan
apakah “kebenaran” pengetahuan itu dapat digambarkan dengan pola
korespondensi, koherensi atau praktis-pragmatis. Selanjutnya, pembahasan
dalam epistemologi mengalami perkembangan, yakni pembahasannya terfokus
pada sumber pengetahuan, proses dan metode untuk memperoleh pengetauan,
cara untuk membuktikan kebenaran pengetahuan, dan tingkat-tingkat
kebenaran pengetahuan (Mustofa dan Padli, 2021).
Kebenaran merupakan sifat dari pengetahuan. Kebenaran pengetahuan
dapat dibagi atas beberaoa kriteria sebagai berikut:
1. Menurut sumber atau asalnya, terbagi menjadi:
a. Fakta empiris (kebenaran empiris).
Kebenaran pengetahuan empiris harus dibuktikan dengan sifat yang ada
dalam obyek empiris (yang didasarkan pengamatan inderawi) yang
menjadi sumber atau asal pengetahuan tersebut.

b. Wahyu atau kitab suci (kebenaran wahyu)


Kebenaran wahyu sumbernya berasal dari wahyu atau kitab suci yang
dipercaya sebagai ungkapan tertulis dari wahyu. Sehingga yang menjadi
acuan pembuktian kebenaran wahyu adalah wahyu atau kitab suci yang
merupakan tertulis dari wahyu.

6
c. Fiksi atau fantasi (kebenaran fiksi).
Kebenaran fiksi atau fantasi bersumber pada hasil pemikiran fiksi atau
fantasi dari orang bersangkutan. Dan yang menjadi acuan
pembuktiannya adalah alur pemikiran fiksi atau fantasi yang terwujud
dalam ungkapan lisan atau tertulis, visual atau auditif, atau dalam
ungkapan keempat-empatnya.

2. Menurut cara atau sarana yang digunakan, terbagi menjadi:


a. Kebenaran Inderawi. Kebenaran pengetahuan inderawi (penglihatan)
harus dibuktikan dengan kemampuan indera untuk menangkap hal atau
obyek inderawi dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Penglihatan dapat menghasilkan pengetahuan tentang warna, ruang,
ukuran besar/kecilnya obyek, serta adanya suatu gerak atau perubahan.
Sesuai dengan perspektif penglihatan disadari bahwa penangkapan
penglihatan sering tidak tepat.

b. Kebenaran Intelektual. Kebenaran intelektual didasarkan pada


pemakaian akal budi atau pemikiran agar dapat berpikir secara lurus,
yaitu mengikuti kaidah-kaidah berpikir logis, sehingga tidak mengalami
kesesatan dalam berpikir.

c. Kebenaran Intuitif. Kebenaran intuitif didasarkan pada penangkapan


bathin secara langsung (konkursif) yang dilakukan oleh orang
bersangkutan, tanpa melalui proses penalaran terlebih dahulu
(diskursif).

d. Kebenaran Iman. Kebenaran iman didasarkan pada pengalaman hidup


yang berdasarkan pada kepercayaan orang bersangkutan.

3. Menurut bidang atau lingkup kehidupan. Hal ini membuat pengetahuan


diembangkan secara berbeda. Terbagi menjadi: pengetahuan agama
(kebenaran agama), pengetahuan moral (kebenaran moral), pengetahuan
seni (kebenaran seni), pengetahuan budaya (kebenaran budaya),
pengetahuan sejarah (kebenaran historis), pengetahuan hukum (kebenaran
yuridis), pengetahuan politik (kebenaran politik).

4. Menurut tingkat pengetahuan yang diharapkan dan diperoleh. Terbagi


menjadi: pengetahuan biasa sehari-hari (ordinary knowledge) memiliki
kebenaran yang sifatnya subyektif, amat terikat pada subyek yang
mengenal, pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) menghasilkan
kebenaran ilmiah, pengetahuan filsafati (philosofical knowledge)
menghasilkan kebenaran filsafati. Kriteria yang dituntut dari setiap tingkat
kebenaran berbeda. Kebenaran pengetahuan yang diperoleh dalam
pengetahuan biasa sehari cukup didasarkan pada hasil pengalaman sehari-
hari, sedangkan kebenaran pengetahuan ilmiah perlu diusahakan dengan
pemikiran rasional (kritis, logis, dan sistematis) untuk memperoleh
pengetahuan yang selaras dengan obyeknya (obyektif) (Wahano, 2008).

7
Ilmu pengetahuan selalu mengandung keyakinan mengenai kebenaran.
Kebenaran ilmiah akan muncul dari hasil penelitian ilmiah. Untuk dapat
menemukan kebenaran, syarat pertama yang harus terpenuhi adalah jaminan
bahwa pengetahuan yang diperoleh harus berasan dari sumber yang benar. Hal
ini berarti suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya tahapan-
tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh pengetahuan ilmiah.
Para filsuf memiliki pandangan yang berbeda mengenai sumber pokok
pengetahuan. Terjadi silang pendapat antara idealisme dan realisme,
antara rasionalisme dan empirisisme. Sejarah mencatat bahwa Plato dan
Aristoteles merupakan pelopor awal perseteruan antara rasionalisme dan
empirisisme. Bagi Plato, pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan
bersifat a priori dan bersumber pada akal. Ia lebih mengungulkan dunia
idea yang bersifat tetap sebagaimana rumus dan hukum universal matematika
tinimbang dunia pengalaman empirik. Dalam filsafat modern, apa yang
digagas oleh Plato disuarakan kembali oleh René Descartes yang dikenal
sebagai punggawa rasionalisme. Menurut Descartes, pengalaman inderawi
tidak bisa dipercaya sebagai sumber pengetahuan yang sejati. Menurutnya
pengalaman inderawi bisa menipu. Plato tidak menafikkan peranan indera
dalam mencapai pengetahuan. Namun, karena sifat pengetahuan yang
bersumber dari indera bersifat tidak tetap dan berubah-ubah, maka indera tidak
bisa dianggap sebagai sumber pokok pengetahuan.
Pengetahuan hukum universal dicapai melalui sebuah proses panjang
pengamatan empiris yang disebut Aristoteles sebagai istilah abstraksi. Tanpa
adanya pengamatan inderawi, manusia tidak akan sampai pada pengetahuan
universal tersebut. Hal ini kemudian di suarakan Kembali di era modern oleh
David Hume.
Ditengah silang pendapat antara rasionalisme dan empirisisme, terdapat
Immanuel Kant yang hadir untuk sebagai penengah kedua teori tersebut.
Menurut Kant, baik rasionalisme maupun empirisisme terlalu ekstrim dalam
memposisikan rasio dan pengalaman inderawi sebagai sumber utama
pengetahuan manusia dengan mengabaikan satu sama lainnya. Sehingga Kant
mengupayakan adanya jalan tengah yang mengakomodasi secara proporsional
dan berimbang antara rasionalisme maupun empirisime. Kerangka filosofis
Kant inilah yang dikenal sebagai kritisisme (Faradi, 2019).
Perubahan perspektif kebenaran dari rasionalisme, empirisisme,
kemudian berujung pada kritisisme merupakan contoh klasik evolusi
pengetahuan manusia dalam merumuskan kebenaran. Dimana ini dapat
disederhanakan menjadi sumber-sumber kebenaran pengetahuan yang dapat
diperoleh melalui:
1. Rasionalisme, yaitu pengetahuan diperoleh dengan akal. Tidak
mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan (Rompas,
dkk., 2017). Sehingga akal pikiran merupakan petunjuk bagi manusia
untuk dapat sampai kepada realitas yang sebenarnya.
2. Empirisme, yaitu pengetahuan diperoleh melalui pengalaman, bukan
bawaan. Sehingga sangat menekankan metode eksperimen dalam proses
pencapaian pengetahuan manusia.

8
3. Kritisisme, yaitu pengetahuan diperoleh dengan menggunakan
pengalaman dan akal manusia.
4. Intuisisme, yaitu pengetahuan diperoleh dari hasil evolusi pemahaman
yang tertinggi, mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis yang bersifat
analisis, menyeluruh, dan mutlak. Intuisi diperoleh melalui pengamatan
langsung yang bersifat personal dan tidak bisa diramalkan (Atabik, 2014).

Selain itu, untuk mencari dan menemukan kebenaran dapat digunakan cara-
cara berikut:
1. Penemuan secara kebetulan. Kondisinya yang tidak pasti dan tidak selalu
memberikan gambaran tentang kebenaran.
2. Trial and error, yaitu upaya aktif dilakukan untuk mencoba lagi. Pada saat
percobaan dilakukan, solusi yang tepat untuk dilakukan belum diketahui.
3. Wewenang, pendapat suatu lembaga/badan atau orang terkemuka yang
dianggap berwibawa dijadikan pedoman, yang kebenarannya dianggap
mutlak dan bahkan pendapat itu sudah menjadi milik umum, misalnya
kepercayaan pada seseorang yang tidak pernah salah.
4. Pemecahan spekulatif, pemecahan masalah terjadi melalui pemilihan
berbagai kemungkinan pemecahan, dimana yang bersangkutan juga tidak
yakin apakah cara yang dipilihnya paling sesuai, tetapi hanya atas dasar
pertimbangan yang kurang baik sehingga pilihan dianggap baik.
5. Orang memiliki kemampuan berpikir kritis atau berdasarkan pengalaman.
Silogisme mengatur cara berpikir, yaitu dengan mengambil premis-premis
untuk menarik kesimpulan (deduktif) atau berdasarkan fakta yang
diperoleh melalui pengalaman langsung dan kemudian menarik
kesimpulan umum (induktif) untuk sampai pada jangkauan kebenaran.
Dari sinilah metode penelitian dimulai, karena manusia mulai mencari cara
terbaik untuk mencapai tujuannya.
6. Metode penelitian ilmiah, penelitian ini merupakan keingintahuan
manusia pada tataran ilmiah. Seseorang akan diyakinkan bahwa ada
penyebab yang dapat dijelaskan secara ilmiah untuk setiap efek dari suatu
fenomena. Penelitian bersifat objektif karena kesimpulan hanya ditarik
jika didasarkan pada bukti yang meyakinkan dan dikumpulkan melalui
proses yang jelas, sistematis, dan terkendali (Salminawati dan Harahap,
2022).

C. Teori Kebenaran dalam Perspektif Filsafat Ilmu


Dalam konteks ilmu, kebenaran berkaitan dengan validitas
pengetahuan/ilmu dengan cara menguji suatu kebenaran diperlukan teori-teori
yang akan berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi jalannya pengujian tersebut.
Berikut merupakan beberapa teori tentang kebenaran dalam perspektif filsafat
ilmu:

9
1. Teori Korespondensi (correspondence theory of truth)
Teori kebenaran korespondensi, Correspondence Theory of Truth yang
kadang disebut dengan accordance theory of truth, adalah teori yang
berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika
berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau
objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau keadaan benar itu
apabila ada kesesuaian (correspondence) antara arti yang dimaksud oleh
suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyaan
atau pendapat tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika
ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan
fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai
dan menyatakan apa adanya (Mustofa dan Padli, 2021). Misalnya jika
seorang mahasiswa mengatakan “matahari terbenam di sebelah barat”
maka penyataan tersebut adalah benar sebab pernyataan tersebut bersifat
factual atau sesuai dengan fakta yang ada, yaitu matahari terbit dari timur
dan terbenam di barat.
Teori ini merupakan teori kebenaran yang paling awal dan paling tua
dan salah satunya berasal dari Aristoteles (384–322 SM) yang
menyebutkan bahwa kebenaran sebagai suatu persesuaian antara apa yang
dikatakan dengan kenyataan. Dimana dunia menyediakan "apa adanya"
atau "apa yang tidak ada", dan perkataan atau pemikiran yang benar sesuai
dengan fakta yang disediakan. Gagasan ini menarik akal sehat dan
merupakan benih dari apa yang disebut teori kebenaran korespondensi
(Blackburn, 2020).
Persoalan yang muncul sehubungan dengan teori ini adalah bahwa
semua pernyataan, proposisi, atau hipotesis yang tidak didukung oleh bukti
empiris, oleh kenyataan faktual apa pun, tidak akan dianggap benar.
Misalnya, pernyataan “Ada Tuhan yang Mahakuasa” tidak akan dianggap
sebagai suatu kebenaran kalau tidak didukung oleh bukti empiris tertentu.
Karena itu, hal ini tidak akan dianggap sebagai pengetahuan, dan
pernyataan ini hanya akan dianggap sebagai sesuatu yang menyangkut
keyakinan (Sonny Keraf & Mikhael Dua, 2001: hal. 67-68 dalam Indarti,
2020).
Signifikansi teori ini terutama apabila diaplikasikan pada dunia sains
dengan tujuan dapat mencapai suatu kebenaran yang dapat diterima oleh
semua orang. Seorang ilmuan akan selalu berusaha meneliti kebenaran
yang melekat pada sesuatu secara sungguh-sungguh, sehingga apa yang
dilihatnya itu benar-benar nyata terjadi (Atabik, 2014).

2. Teori Koheren (Coherence Theory of Truth)


Menurut teori koherensi, sebuah pernyataan bisa dianggap benar hanya
jika pernyataan itu koheren atau tidak bertentangan dengan pernyataan
sebelumnya yang sudah terbukti benar. Untuk dianggap benar, teori ini
mensyaratkan adanya konsistensi atau tidak adanya pertentangan
(kontradiksi) antara suatu pernyataan dengan aksioma. Karena itulah teori
koherensi dikenal juga sebagai teori konsistensi (Mustofa dan Padli, 2021).
Sebagai contoh, di dalam disiplin ilmu meteorologi disebutkan bahwa
massa udara akan bergerak dari tempat bertekanan tinggi ke tempat

10
bertekanan rendah. Jika ada satu pernyataan bahwa terdapat massa udara
yang bergerak dari tempat bertekanan rendah ke tempat bertekanan tinggi,
maka tanpa harus menyaksikan bukti faktualnya kita bisa menyatakan
bahwa pernyataan orang tersebut tidak benar karena ia bertentangan
dengan pengetahuan pertama. Pernyataan orang tersebut memiliki
kontradiksi dengan pengetahuan yang sudah ada.
Salah satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini bahwa
kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau kesesuaiannya
dengan pernyataan lain. Timbul pertanyaan, bagaimana dengan kebenaran
pernyataan lain tadi? Jawabannya, kebenarannya ditentukan berdasarkan
fakta apakah pernyataan tersebut sesuai dan sejalan dengan pernyataan lain
lagi. Hal ini berlangsung terus sehingga akan terjadi gerak mundur tanpa
ada hentinya (infinite regress atau regressus in infinitum) atau akan terjadi
gerak putar tanpa henti. Karena itu, kendati tidak bisa dibantah bahwa teori
kebenaran koherensi ini penting, namun dalam kenyataannya perlu
digabungkan dengan teori kebenaran korespondensi, yang menun- tut
adanya kesesuaian dengan realitas (Sonny Keraf & Mikhael Dua, 2001:
hal. 70 dalam Indarti, 2020).

3. Teori Pragmatis (The Pragmatic Theory of Truth)


Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam
sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make
Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli
filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang
menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-
ahli filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John
Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis
(Rompas, dkk, 2017).
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa
arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau
sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada peran fungsi
dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya dalam lingkup
ruang dan waktu tertentu. Teori ini juga dikenal dengan teori problem
solving, artinya teori yang dengan itu dapat memecahkan segala aspek
permasalahan (Rompas dkk., 2017). Secara sederhana, teori pragmatis
dapat diartikan sebagai teori yang menganggap suatu pernyataan
dipastikan kebenarannya jika pernyataan tersebut bisa berlaku, bermanfaat
dan memuaskan. Maksudnya adalah hal kebenaran dibuktikan apabila
dapat terbukti kegunaannya, fungsi dan tujuannya juga sebab akibat yang
ditimbulkannya
Menimbang teori pragmatisme dengan teori-teori kebenaran
sebelumya, pragmatisme memang benar untuk menegaskan karakter
praktis dari kebenaran, pengetahuan, dan kapasitas kognitif manusia. Tapi
bukan berarti teori ini merupakan teori yang terbaik dari keseluruhan teori.
Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan
kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan
ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi
demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat

11
pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan
maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi
bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang
menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan,
demikian seterusnya (Atabik, 2014).

4. Teori Performatif (The Performance Theory of Truth)


Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau
dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Dalam fase hidupnya,
manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang
otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama,
pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran
performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun,
kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa
berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena
terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa
daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini
seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan
pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari
kebenaran (Rompas, dkk., 2017).
Teori ini berasal dari John Langshaw Austin (1911-1960) dan dianut
oleh filsuf lain seperti Frank Ramsey dan Peter Starwon. Filsuf-filsuf ini
mau menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan
yang hanya menyatakan sesuatu (deskriptif) (Mustofa dan Padli, 2021).
Teori kebenaran performatif berpendapat bahwa menganggap kebenaran
pada proposisi tidak benar-benar mencirikan proposisi itu sendiri, juga
tidak mengatakan sesuatu yang berlebihan. Sebaliknya, itu memberi tahu
kita sesuatu tentang niat pembicara. Alih-alih mengatakan, "Memang
benar salju itu putih", seseorang dapat menggantinya dengan "Saya
menerima pernyataan bahwa salju itu putih” (Dowden dan Swartz).
Sehingga menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar jika ia
menciptakan realitas. Teori ini juga disebut sebagai “tindak Bahasa”
mengaitkan kebenaran suatu Tindakan yang dihubungkan dengan suatu
pernyataan.

5. Teori Konsensus (The Consensus Theory of Truth)


Menurut teori konsensus, suatu teori akan dinyatakan benar jika teori
tersebut berdasarkan pada paradigma atau suatu persfektif tertentu dan ada
komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut.
Dimana paradigma ini menunjukkan keanekaragaman individual dalam
penerapan nilai-nilai bersama dan berfungsi sebagai keputusan yuridiktif
yang diterima dalam hukum tak tertulis (Rompas, dkk., 2017).
Teori ini pada awalnya digagas oleh Thomas Kuhn, seorang ahli
sejarah ilmu pengetahuan. Menurutnya, perkembangan ilmu pengetahuan
ditandai dengan adanya pergeseran paradigma lama yang digantikan oleh
paradigma baru. Pergeseran tersebut ditentukan oleh penerimaan

12
masyarakat terhadap sebuah paradigma. Sehingga sebuah teori ilmiah
akan dianggap benar sejauh teori ini mendapat dukungan atau terdapat
kesepakatan (consensus) dalam masyarakat ilmiah terkait kebenaran teori
tersebut (Mustofa dan Padli, 2021).

6. Teori Kebenaran Semantik


Teori kebenaran semantik sebenarnya mengacu pada pendapat
Aristoteles dengan ungkapan sebagai berikut: “Mengatakan sesuatu yang
ada sebagai yang ada dan sesuatu yang tidak ada sebagai yang tidak ada,
adalah benar”, dan juga mengacu pada teori korespondensi, yang
menyatakan bahwa: “kebenaran terdiri dari hubungan kesesuaian antara
apa yang dikatakan dengan apa yang terjadi dalam realitas” (Indarti, 2020).
Menurut teori semantik bahwa pengetahuan atau proposisi itu
mempunyai nilai kebenaran dan memiliki arti apabila proposisi itu
menunjukkan makna yang sesungguhnya dengan menunjuk pada referensi
atau mengacu pada kenyataan (fakta atau data). Teori kebenaran ini dianut
oleh para filusuf analitika Bahasa yang dikembangkan pasca Bertrand
Russell dan G.E. Moore sebagai tokoh pemula filsafat analitika bahasa
(Rompas, dkk., 2017).
Bertrand Russell dengan teman-temannya berusaha untuk
membangun bahasa ilmiah, dengan menyusun proposisi-proposisi dengan
logika yang ketat, agar mampu menggambarkan dunia yang dapat
dipertanggungjawabkan. Mereka menganggap bahwa bahasa sehari-hari
itu belum memadai, karena memiliki banyak kelemahan, antara lain:
kekaburan makna, tergantung pada konteks, mengandung emosi, dan
menyesatkan. Namun sebaliknya terdapat kelompok filsuf analitika bahasa
lain (Wittgenstein Periode II, Moritz Schlick, Alfred Jules Ayer) yang
beranggapan bahwa bahasa biasa, yang digunakan dalam komunikasi
sehari-hari, sebenarnya telah cukup memadai sebagai sarana
pengungkapan konsep-konsep filsafat. Untuk mengatasi kelemahan-
kelemahan dan kekurangan-kekurangan bahasa sehari-hari dalam filsafat,
harus diberikan suatu pengertian khusus atau penjelasan terhadap
penyimpangan-penyimpangan tersebut (Kaelan, 1998: 82-83).
Menurut Wittgenstein Periode II (dalam penjelasannya tentang
filsafat bahasa biasa), masalah-masalah filsafat itu timbul justru karena
adanya penyimpangan-penyimpangan penggunaan bahasa biasa oleh para
filsuf dalam berfilsafat, sehingga timbul penyimpangan dan kekacauan
dalam filsafat itu, serta tanpa adanya suatu penjelasan untuk dapat
dimengerti. Menurut pandangan ini, tugas filsuf adalah memberikan
semacam terapi untuk penyembuhan dalam kelemahan penggunaan bahasa
filsafat tersebut (Wahana, 2008).

7. Teori Kebenaran Non-Deskripsi


Teori kebenaran non-deskripsi dikembangkan oleh para penganut
filsafat fungsionalisme. Menurut paham ini pada dasarnya suatu
pernyataan akan memiliki nilai benar amat tergantung pada peran dan
fungsi pernyataan itu. White (1970) menyatakan bahwa “to say, it is true
that not many people are likely to do that, is a way of agreeing with the

13
opinion that not many people are likely to do that and not a way of talking
about the sentence used to express the opinion”. Berdasarkan pernyataan
ini, pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu memiliki
fungsi yang amat praktis dalam kehidupan keseharian. Pernyataan itu juga
merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakannya secara praktis
dalam kehidupan keseharian. White (1970) lebih lanjut menjelaskan
bahwa “The theory non-descriptive gives us an important insight into
function of the use of “true” and “false”, but not an analysis of their
meaning” (Rompas, dkk., 2017).

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan memerlukan pengetahuan
dalam memahami proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya.
Salah satu keunggulan manusia dibandingkan makhluk lain ialah adanya
akal. Dengan akal ini lah manusia harus perfikir untuk mencari dan
mengembangkan ilmu serta mencari kebenaran di lingkungan sekitarnya.
Kebenaran adalah sesuatu yang dapat dijelaskan dengan akal sehat, yang
tidak akan tumbang seiring waktu yang menolak semua yang salah,
dekaden, dan tidak berdasar.
Kebenaran, ilmu pengetahuan, dan filsafat tidak dapat dipisahkan
satu dan yang lainnya. Esensi pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran
adalah pengetahuan. Ilmu merupakan kekuatan untuk mencari kebenaran
maupun kesalahan pada suatu teori tertentu. Kebenaran ilmiah akan muncul
dari hasil penelitian ilmiah. Untuk dapat menemukan kebenaran, syarat
pertama yang harus terpenuhi adalah jaminan bahwa pengetahuan yang
diperoleh harus berasal dari sumber yang benar.
Dalam konteks ilmu, kebenaran berkaitan dengan validitas
pengetahuan/ilmu dengan cara menguji suatu kebenaran diperlukan teori-
teori yang akan berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi jalannya pengujian
tersebut. Ada berbagai teori yang menunjukkan kebenaran, yaitu: Teori
korespondensi, teori koherensi atau konsistensi, teori pragmatik, teori
performatif, teori konsensus, dan teori kebenaran non-deskripsi.

15
DAFTAR PUSTAKA

Atabik, A. 2014. Teori Kebenaran Persfektif Filsafat Ilmu: Sebuah Kerangka untuk
Memahami Konstruksi Pengetahuan Agama. Fikrah, Vo. 2 No.1, Juni 2014.
Blackburn, Simon W.. 2020. "truth". Encyclopedia Britannica, 19 Nov. 2020,
https://www.britannica.com/topic/truth-philosophy-and-logic. [Diakses
tanggal 21 August 2022]
Faradi, A., A. 2019. Teori-teori Kebenaran dalam Filsafat: Urgensi dan
Signifikansinya dalam Upaya Pemberantas Hoaks. Jurnal Ilmu-Ilmu
Ushuluddin Vol. 07. No.01, Juli 2019.
Indarti, N. 2020. Hakikat Ilmu Pengetahuan dan Relasinya dengan Teori Kebenaran
dalam Perspektif Tafaqquh Fi Al-Diin. Jurnal Al-Makrifat Vo.5 No.1, April
2020.
Padli, M., S., dan Mustofa, M., L., 2021. Kebenaran dalam Perspektif Filsafat Serta
Aktualisasinya dalam Menyaring Berita. Jurnal Filsafat Indonesia Vol. 4 No.1
Tahun 2021.
Rompas, R. M., Memah, M.Y., Wagey, B.T. 2017. Filsafat Ilmu. Unsrat Press.
Salminawati, dan Dewi, M. M. 2022. Teori Kebenaran berdasarkan Persfektif
Filsafat dan Sains Islam. JOSR: Journal of Social Research, 1(4), 254-260.
Salminawati, dan Harahap, F. R. H. 2022. Konsep Kebenaran berdasarkan Tinjauan
Filsafat, Agama dan Ilmu Pengetahuan. JOSR: Journal of Socia Research, 1(3),
724-730.
Sutardjo A. Wiramihadrja. 2015. Pengantar Filsafat. PT. Refika Aditama. Bandung.
UKEssay. 2018. Defining and Discussing Truth Philosophy Essay. [online]. Dapat
diakses melalui: https://www.ukessays.com/essays/philosophy/defining-and-
discussing-truth-philosophy-essay.php?vref=1 [Diakses tanggal 21 August
2022].
Wahano, P. 2008. Menguak Kebenaran Ilmu Pengetahuan dan Aplikasinya dalam
Kegiatan Perkuliahan. Jurnal Filsafat Vol. 18 No.3, Desember 2008.
Wahyudi, I. 2004. Refleksi tentang Kebenaran Ilmu. Jurnal Filsafat, Jilid 38, No.3,
Desember 2004.

16

Anda mungkin juga menyukai