Anda di halaman 1dari 12

TEORI KEBENARAN

MAKALAH
Untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu Dr. Dadan Anugrah, M.Si.

Disusun Oleh:

Intan Tania (1224060062)

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

KONSENTRASI HUBUNGAN MASYARAKAT

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh.

Dengan menyebutkan nama Allah SWT. Yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang,
saya panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
saya selaku penulis dapat menyelesaikan tugas makalah dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu. Selain itu,
makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan mengenai teori kebenaran bagi para pembaca
dan juga bagi saya selaku penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Dr. Dadan Anugrah, M.Si. selaku dosen
pengampu Mata Kuliah Filsafat Ilmu. Adapun makalah ini telah saya usahakan semaksimal
mungkin. Namun, kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 30 November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI .............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 1
C. Tujuan Makalah .............................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3
A. Kebenaran Koheresi ........................................................................................................ 3
B. Kebenaran Korespondensi .............................................................................................. 3
C. Kebenaran Pragmatis ...................................................................................................... 4
D. Kebenaran Performatif .................................................................................................... 5
E. Kebenaran Proporsi ......................................................................................................... 5
F. Kebenaran Konstruktivisme............................................................................................ 6
G. Kebenaran Religiusisme ................................................................................................. 6
BAB III PENUTUPAN ............................................................................................................ 8
A. Kesimpulan ..................................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 9

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia selalu berusaha untuk menemukan sebuah kebenaran, apabila manusia
mengerti dan memahami kebenaran maka sifat asasi yang berada didalam hati
terdalamnya akan terdorong untuk melaksanakan kebenaran itu. Dalam perkembangan
dunia filsafat hakikat kebenaran sangat penting terhadap pencarian kebenaran tersebut.
Karena setiap kebenaran harus diserap oleh kebenaran itu sendiri. Hakikat kebenaran
merupakan suatu obyek yang terus dikaji oleh manusia terutama para ahli filsuf, karena
hakikat kebenaran manusia ini akan mengalami pertentangan batin yaitu konflik
psikologis.

Cara yang harus ditempuh untuk memperoleh kebenaran ialah dengan


menggunakan rasio seperti para rasionalis melalui pengalaman atau empiris.
Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip lewat
penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat di pahami. Dari
sini muncul teori-teori kebenaran seperti teori korespondensi, koheresi dan
pragramatisme.

Membahas tentang kebenaran merupakan hal yang tidak aka nada habisnya,
karena kebenaran bersifat falsibilitas (sesuatu yang dapat dilaksanakan). Artinya akan
mengalami degradasi (penurunan) karena adanya teori baru. Sementara kebenaran yang
mutlak adalah kebenaran dari maha yang paling benar (Allah SWT). Oleh karena itu,
selain menggunakan rasio penemuan kebenaran yang terakhir adalah kebenaran yang
bersumber dari wahyu.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa itu kebenaran koheresi?
2. Apa itu kebenaran korespondensi?
3. Apa itu kebenaran pragmatis?
4. Apa itu kebenaran performatif?
5. Apa itu kebenaran proporsi?
6. Apa itu kebenaran kostruktivisme?

1
7. Apa itu kebenaran religiusisme?

C. Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, dapat diambil tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa itu kebenaran koheresi
2. Untuk mengetahui apa itu kebenaran korespondensi
3. Untuk mengetahui apa itu kebenaran pragmatis
4. Untuk mengetahui apa itu kebenaran performatif
5. Untuk mengetahui apa itu kebenaran proporsi
6. Untuk mengetahui apa itu kebenaran konstruktivisme
7. Untuk mengetahui apa itu kebenaran religiusisme

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebenaran Koheresi
Koheren ialah berhubungan atau bersangkut paut (KBBI, 1996: 511), koheren
atau consistent memiliki arti kesesuaian antara subjek, objek, tindakan dan sifat, yang
masing-masing harus bisa untuk disatukan dalam satu garis horizon) Landasan teori ini
adalah analisis, penalaran dan berpikir benar. Kita memerlukan kondisi di mana kondisi
ini dapat mengungkap informasi tentang relativitas kebenaran, yakni bagaimana
sesuatu dianggap benar atau salah pada suatu saat. Menurut perspektif ini, suatu
tindakan akan sempurna jika tindakan tersebut mencakup realitas, namun kebenarannya
mutlak.
Menurut teori koheresi, suatu pernyataan dapat dianggap benar jika tidak
bertentangan dengan pernyataan sebelumnya yang memang sudah terbukti benar.
Untuk dianggap benar, teori ini mensyaratkan adanya konsistensi atau tidak adanya
pertentangan (kontradiksi) antara suatu pertanyaan dengan aksioma. Karena itulah teori
koheresi dikenal juga dengan teori kosistensi.
Sebagai contoh, di dalam disiplin ilmu matematika terdapat postulat bahwa
jumlah sudut semua jenis bangun ruang segitiga berjumlah 180°. Jika ada satu
pertanyaan bahwa terdapat satu bentuk segitiga yang jumlah sudutnya 210°, maka tanpa
harus menyaksikan bukti faktual segitiga tersebut kita bisa menyatakan bahwa
pernyataan orang tersebut tidak benar karena ia bertentangan dengan postulat.
Pernyataan orang tersebut memiliki kontradiksi dengan postulat yang sudah ada.
Contoh lainnya, seseorang memberi pernyataan bahwa di dalam kolam alun-
alun kota terdapat seekor ikan hiu yang masih hidup, menurut teori koherensi, tanpa
menunggu fakta, kita bisa meentukan pernyataan orang tersebut tidak benar karena
bertentangan dengan aksioma yang sudah ada sebelumnya bahwa ikan hiu adalah jenis
ikan air asin (laut). Tidak logis jika ikan air asin bisa hidup dalam air kolam alun-alun
kota yang merupakan kolam air tawar.

B. Kebenaran Korespondensi
Teori kebenaran korespondensi merujuk pada teori kebenaran yang tertua yaitu
berdasarkan pada teori Aristoteles, yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang kita
ketahui dapat ditegakkan pada kenyataan yang diketahui oleh subyek. Teori
korespondensi mengemukakan bahwa suatu proposisi dianggap benar apabila sesuai

3
dengan fakta atau realitas yang ada di dunia. Kebenaran ini dapat dibuktikan langsung
melalui suatu pengalaman dan juga pengamatan dunia nyata.
Teori ini menyatakan bahwa sebuah pernyataan dianggap benar hanya jika
pernyataan tersebut berhubungan dengan fakta obyektif yang ada. Fakta obyektif
tersebut adalah segala bentuk fenomena berupa tampilan visual, gelombang suara, rasa
maupun tekstur, yang bisa ditangkap melalui panca indera. Sederhananya, suatu
pernyataan dianggap benar jika ada faktanya. Jika tidak, maka pernyataan tersebut
bukan kebenaran. Oleh karena sifatnya yang mengandalkan pengalaman inderawi
dalam menangkap fakta, maka teori ini menjadi teori yang digunakan oleh para
empirisis.
Teori korespondensi menyatakan bahwa suatu proposisi dianggap benar apabila
sesuai dengan kenyataan yang ada. Jika sebuah pengetahuan sudah terbukti benar
melalui pengamatan atau eksperimen, maka hal tersebut dapat dijadikan aksioma atau
postulat, yang merupakan kebenaran umum dan tidak perlu dibuktikan lagi. Contohnya,
bahwa matahari terbit dari arah timur adalah sebuah aksioma karena sudah diyakini
benar dan tidak perlu dibuktikan lagi. Aksioma atau postulat dapat digunakan sebagai
dasar untuk membuktikan kebenaran pernyataan lain dalam disiplin ilmu matematika.

C. Kebenaran Pragmatis
Teori pragmatis meletakan dasar kebenarannya pada manfaat praktis dan
memecahkan persoalan kehidupan. Tidak hanya berlaku pada dunia empiris, teori
pragmatis lebih lanjut dan bisa diterapkan karena berkaitan dengan obyek pengetahuan
metafisik. Teori ini muncul sebagai kritik terhadap kaum positivis yang menganggap
pernaytaan metafisik sebagai pernyataan yang tidak bermakna karena ia tidak memiliki
dasar faktual di dunia empiris.
Kaum pragmatis menganggap bahwa pernyataan metafisik dapat dianggap
benar jika memiliki manfaat praktis dalam kehidupan. Sebagai contoh, pernyataan
"Neraka ada bagi manusia yang berperilaku jahat" meskipun tidak memiliki bukti
empiris yang bisa dipertanggungjawabkan, namun bisa dianggap benar jika memiliki
manfaat dalam menurunkan angka kejahatan.
Charles Pierce, seorang tokoh pragmatisme, menjelaskan bahwa kriteria dasar
kebenaran dalam pragmatisme dapat dijelaskan dari berbagai sudut pandang yang
berbeda. Karena berbagai sudut pandang ini memiliki hasil yang berbeda-beda, maka
standar kebenaran juga akan berbeda-beda. Kebenaran menurut seseorang tidak selalu

4
benar menurut orang lain, karena apa yang memuaskan bagi seseorang tidak selalu
memuaskan bagi orang lain. Namun, kritik terhadap teori pragmatisme adalah bahwa
variasi pandangan ini dapat membuatnya rentan terhadap relativisme.

D. Kebenaran Performatif
Teori kebenaran performatif adalah hasil dari konsep J.L. Austin yang
membedakan antara ujaran konstatif dan ujaran performatif. Austin, seorang tokoh
filsafat analitik bahasa dari Inggris, menyatakan bahwa pengujian kebenaran yang
berbasis pada fakta, seperti yang terdapat dalam teori korespondensi, hanya dapat
diterapkan pada ujaran konstatif. Ucapan konstatif mengandung pernyataan yang bisa
dianggap konstan, sehingga ia dapat diuji kebenarannya. Ada beberapa hal yang sulit
dibuktikan kebenarannya karena adanya keterbatasan dalam masyarakat untuk
mengakses fakta yang terjadi.
Austin memperkenalkan jenis ujaran performatif untuk kasus-kasus di mana
kebenaran tidak dapat dibuktikan melalui fakta objektif atau konsistensi logis. Jenis
ujaran ini tidak berkaitan dengan kebenaran proposisi, melainkan dengan apakah ujaran
tersebut diucapkan secara layak atau tidak oleh penutur. Kebenaran performatif
bergantung pada otoritas penutur, yang dapat didefinisikan sebagai kewenangan,
keahlian, atau kompetensi sang penutur dalam hal yang diucapkannya.

E. Kebenaran Proporsi
Teori ini menyatakan bahwa suatu pernyataan memenuhi persyaratan material
suatu proposisi daripada persyaratan formal untuk dianggap benar. Suatu proposisi
dianggap benar dalam logika Aristoteles jika memenuhi persyaratan formal suatu
proposisi. Yang dimaksud dengan proposisi hanyalah pernyataan yang mencakup
banyak gagasan rumit. Pengetahuan logis, bukan pengetahuan empiris, adalah standar
yang digunakan oleh pengetahuan filosofis untuk mengukur kebenaran. Klaim ini
memperjelas bahwa logika pengetahuan berfungsi sebagai ukuran kebenaran filosofis.
Sederhananya, sesuatu itu benar jika masuk akal, dan salah jika tidak masuk akal. Kita
tidak bisa memaksakan data empiris untuk mendukung klaim filosofis. Contoh
kebenaran proposisi adalah kenaikan suhu bumi disebabkan oleh aktivitas manusia. Hal
ini memang kebenaran proposisi ini dapat tergantung pada perspektif seseorang, tetapi
dapat diukur berdasarkan bukti ilmiah dan konsensus ilmiah tentang perubahan iklim.

5
F. Kebenaran Konstruktivisme
Pandangan konstruktivis filsafat tentang kebenaran menyoroti, bahwa selain
objektif, kebenaran juga diciptakan oleh konstruksi sosial dan pengetahuan subjektif.
Konstruktivisme menolak gagasan bahwa ada kebenaran hakiki yang dapat ditemukan
secara otomatis dan obyektif di luar kognisi manusia. Sebaliknya, realitas dipahami
sebagai produk konstruksi sosial, pengalaman pribadi, dan interpretasi subjektif.
Dalam pengertian ini, teori konstruktivisme radikal menolak gagasan bahwa
realitas dan pengetahuan dapat dipisahkan dan digunakan untuk menentukan apa yang
merupakan kebenaran. Gagasan ini menyoroti fakta bahwa pengetahuan secara aktif
mengubah realitas selain mencerminkannya. Oleh karena itu, kebenaran dipandang
sebagai produk konstruksi sosial dan interpretasi individu terhadap realitas.
Penerapan konstruktivisme pada pendidikan menyoroti pentingnya menyadari
bahwa pengetahuan adalah proses dinamis yang berkembang melalui interaksi sosial
dan pengalaman pribadi. Dalam pandangan ini, realitas ditafsirkan secara sosial dan
subjektif, sehingga mengarah pada penciptaan kebenaran. Sebagai contoh, seseorang
sedang belajar memasak melalui pengalaman praktis dan eksperimen. Proses ini
melibatkan pemahaman tentang bahan makanan, teknik memasak, dan penyesuaian
resep.
Namun, pandangan konstruktivisme tentang kebenaran bukannya tanpa
pencela. Sejumlah ilmuwan dan filsuf telat menunjukan bahwa konstruktivisme
mungkin mengarah pada relativisme, yang menganggap semua sudut pandang sama
validnya. Konstruktivisme juga dapat meragukan keberadaan kebenaran obyektif yang
melampaui konstruksi sosial dan interpretasi pribadi.
Pandangan konstruktivisme tentang kebenaran dalam filsafat diakhiri dengan
menekankan, bahwa kebenaran tidak hanya dipahami secara subjektif dan dikonstruksi
secara sosial, tetapi juga obyektif. Gagasan bahwa kebenaran itu mutlak dan dapat
ditemukan secara objektif di luar akal manusia ditolak oleh konstruktivisme. Namun,
ada argumen tambahan yang menentang konstruktivisme kebenaran yang berpusat pada
relativisme dan gagasan kebenaran objektif.

G. Kebenaran Religiusisme
Untuk memahami keberadaan dan kebenaran, teori kebenaran ilmiah dalam
religiusme memadukan unsur sains dan agama. Untuk memperoleh pemahaman yang

6
lebih baik tentang agama melalui penerapan teknik ilmiah, diperlukan penelitian
filosofis dan ilmiah terhadap gagasan-gagasan keagamaan.
Meskipun agama mengakui pentingnya nilai-nilai spiritual dan etika dalam
kehidupan manusia, religiusme juga menerima sains sebagai sarana untuk memahami
sains sebagai sarana untuk memahami secara objektif beberapa bagian agama. Hal ini
merupakan upaya untuk mendamaikan dua sudut pandang yang sering dianggap
bertentangan dengan pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah dan keyakinan
agama berdasarkan keyakinan.
Menurut teori kebenaran ilmiah dalam religiusime, kebenaran agama dapat
diselidiki dengan menggunakan metode ilmiah, seperti analisis tekstual, penelitian
sejarah, dan pertimbangan budaya. Hal ini termasuk mempelajari teks-teks suci atau
tradisi serta melakukan penelitian empiris mengenai dampak praktik keagamaan
terhadap kehidupan masyarakat dampak masyarakat secara keseluruhan.
Sebagai contoh, seseorang menganggap kebenaran mutlak terdapat dalam
ajaran agama tertentu dan memandang kepatuhan terhadap nilai-nilai agama tersebut
sebagai jalan menuju kebenaran dan kebahagiaan.

7
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Menurut kebenaran koheresi suatu pernyataan dianggap benar jika tidak
bertentangan dengan pernyataan sebelumnya yang memang sudah terbukti benar.
Sedangkan menurut kebenaran korespondensi mengemukakan bahwa sebuah
pernyataan dianggap benar apabila sesuai dengan fakta atau realitas yang ada di dunia.
Lalu menurut kebenaran pragmatis, menjelaskan bahwa kriteria dasar kebenaran
pragmatism dapat dijelaskan dari berbagai sudut pandang yang berbeda karena
berbagai sudut pandang memiliki hasil yang berbeda-beda. Sedangkan teori performatif
menyatakan bahwa pengujian kebenaran yang berbasis pada fakta seperti yang terdapat
dalam teori korespondesni yaitu hanya dapat diterapkan pada ujaran konstratif
(perbedaan atau pertentangan antara dua hal). Lalu kebenaran proporsi menyatakan
bahwa pernyataan memenuhi persyaratan material suatu proposisi daripada persyaratan
formal untuk dianggap benar. Kemudian kebenaran konstruktivisme tentang kebenaran
tidak hanya dipahami secara subjektif dan dikonstruksi secara sosial tetapi juga secara
objektif, gagasan bahwa kebenaran itu mutlak dan dapat ditemukan secara objektif
diluar akal manusia ditolak oleh konstruktivisme. Kebenaran terakhir yaitu religiusisme
menyatakan bahwa untuk mamahami keberadaan dan kebenaran itu memadukan unsur
sains dan juga agama.

8
DAFTAR PUSTAKA
Faradi, A. A. (2019). Teori-Teori Kebenaran dalam Filsafat: Urgensi dan Signifikansinya dalam
Upaya Pemberantasan. Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 106-111.
Hasanah, H. (t.thn.). Teori Kebenaran. 01.
Surajiyo, H. D. (2023). Teori-Teori Kebenaran dalam Filsafat: Aplikasinya mengukur
kebenaran dalam Fenomena Penyebaran Hoax pada Media Sosial. Seminar Nasional
Mahasiswa Ilmu Komputer dan Aplikasinya (SENAMIKA), 171-173.
Tamrin, A. (2019). Relasi Ilmu, Filsafat dan Agama Dalam Dimensi Filsafat Ilmu. Jurnal sosial
dan Budaya Syar'i , 77-79.
Gita, Retno. Teori Kebenaran Filsafat. Diakses pada 30 November 2023 dari
https://www.academia.edu/40283582/Teori_teori_kebenaran_Filsafat.

Anda mungkin juga menyukai