Anda di halaman 1dari 15

TUGAS 5

FILSAFAT PENDIDIKAN
“Hakikat dan Teori-Teori Kebenaran”

Disusun Oleh :
Nama : Anestra Putri Fauziah
Nim : 22129012

Dosen Pengampu:
Prof. Yalvema Miaz, MA.,Ph.D
Dr. Yullys Helsa, S.Pd., M.Pd.

3 Maret 2024

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN


PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikanrahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga penuli berhasil menyelesaikan
tugas yang telah diberikan dalam mata kuliah “filsafat Pendidikan” yang alhamdulillah tepat
pada waktunya yang berjudul ”Hakikat dan Teori-Teori Kebenaran”
Penulisan tugas ini menjadi suatu bahan bagi penulis untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Pendidikan. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin membuat makalah ini,
walaupun masih ada kekurangan. Pada kesempatan ini penulis, tidak lupa menyampaikan rasa
terima kasih dan penghargaan kepada pihak yang ikut membantu dalam penyelesaian makalah
ini terutama Prof. Yalvema Miaz, MA.,Ph.D dan Dr. Yullys Helsa, S.Pd., M.Pd. selaku dosen
pengampu yang senantiasa memberikan arahan dalam proses perkuliahan.
Semoga bimbingan dan bantuan yang telah diberikan, menjadi amal kebaikan disisi Allah
SWT. Penulis mengharapkan kritikan dan saran demi kemajuan penulis dimasa depan. Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak , baik yang terkait secara lansung
atau tidak.
Akhir kata, semoga Allah SWT selalu kekuatan dan memberkahi semua amal baik yang
telah kita jalani.Amin.

Padang, 3 Maret 2024

Anesrtra Putri Fauziah


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................i

DAFTAR ISI .............................................................................................................................ii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3

A. Konsep dasar Kebenaran........................................................................................................ 4

B. Teori-teori tentang kebenaran ................................................................................................ 8

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 16

a. Kesimpulan .............................................................................................................. 17

b. Saran ......................................................................................................................... 19

DAFTAR RUJUKAN ............................................................................................................. 20


PEMBAHASAN

A. Hakikat Kebenaran
Benar adalah sesuatu yang apa adanya atau sesuai kenyataan yang ada, sebuah
fakta tentang realita berdasarkan data-data yang ada. Sedangkan “kebenaran” dapat
digunakan sebagai suatu kata benda yang kongkret maupun abstrak.
Menurut Randall & Bucher kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan
kenyataan. Kemudian menurut Jujun S. Suriasumantri kebenaran adalah pernyataan tanpa
ragu. Contoh, ketika kita mengakui kebenaran sebuah proposisi bahwa bumi bergerak
mengelilingi matahari, dasar kita, tidak lain adalah sesuai tidaknya proposisi tersebut
dengan kenyataannya
Setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian
yang berbeda-beda satu dengan lainnya tentang kebenaran, karena kebenaran tidak bisa
dilepaskan dari makna yang dikandung dalam suatu pernyataan. Berarti kebenaran
berkaitan erat dengan kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan, dan nilai kebenaran itu
sendiri, dan dalam proses penilaian kebenaran tak jarang penilaian tersebut juga
tergantung dari latar belakang pandangan atau ideologi setiap orang yang karena sebab
inilah kebenaran jadi terasa relatif dan jauh dari kepastian atau kebenaran mutlak, yang
tak dipungkiri hal ini sering menggiring kita pada keraguan atau kebingungan
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai
atau mencari kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja, masalah
kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi, kajian
epistemologi untuk menilai suatu “kebenaran” membawa orang kepada sesuatu
kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran yaitu kebenaran
epistemologis, kebenaran ontologis, kebenaran semantic
Bakhtiar (2010, h. 111) menjelaskan bahwa kebenaran epistemologis adalah yang
berhubungan dengan pengetahuan manusia dan kebenaran dalam arti ontologis adalah
kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau
diadakan kemudian kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran yang terdapat serta
melekat dalam tutur kata dan bahasa. Namun, kali ini yang dibahas oleh penulis dalam
paper ini adalah kebenaran epistemologis karena kebenaran yang lainnya secara tidak
langsung berhubungan erat dengan kategori kebenaran epistemologis

B. Macam – Macam Teori Kebenaran


Pembahasan mengenai kebenaran sudah dimulai sejak Plato melalui metode
dialog, kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles. Plato dianggap sebagai filsuf yang
membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang awal.
Dari pemikiran Plato kemudian muncul teori-teori pengetahuan baik sebagai kritik atau
sebagai dukungan atas teori yang sudah dibangun Plato. Menurut seorang filsuf Jaspers
sebagaimana dikutip oleh Hammersa bahwa sebenarnya para pemikir sekarang hanya
melengkapi dan menyempurnakan filsafat Plato dan filsafat Aristoteles (Hamami dalam
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010, h. 138).
Jadi pemikiran-pemikiran Plato dan Aristoteles secara tidak langsung menjadi
gambaran atau pemicu munculnya ideide baru dari para filsuf-filsuf setelahnya. Berikut
ini adalah penjelasan mengenai teori-teori kebenaran yang penulis rangkum dari beberapa
referensi:
a. Teori Kebenaran Korespondensi (Saling Bersesuaian)
Kebenaran menurut teori korespondensi bahwa suatu proposisi atau pengertian
adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang diselaraskannya, yaitu apabila ia
menyatakan apa adanya. Kebenaran adalah yang bersesuaian dengan fakta yang
berselaras dengan realitas yang serasi dengan situasi aktual (Bakhtiar, 2010, h. 112).
Sebaliknya, jika pernyataan bertentangan dengan kenyataan atau fakta yang ada,
maka pernyataan tersebut dianggap sebagai penyataan yang salah atau sesat.
Misalnya, ada pernyataan yang mengatakan Lionel Messi adalah seorang pesepakbola
profesional. Kalau pernyataan tersebut bersesuaian dengan fakta yang ada di
kenyataan yang sebenarnya maka itu dianggap sebagai “kebenaran”. Jika ternyata
Lionel Messi bukan seorang pesepak bola profesional, melainkan seorang pemain
basket. Maka pernyataan tersebut dianggap sebagai bukan kebenaran.
Dengan demikian menurut teori korespondensi ini, Bakhtiar (2010, h. 113)
menjelaskan bahwa kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas
objektif yaitu suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras
dengan situasi kebenaran ialah persesuaian antara pernyataan mengenai fakta dengan
fakta aktual atau antara putusan dengan situasi seputar yang diberi interpretasi
Mengenai teori korespondensi tentang kebenaran dapat disimpulkan, kita
mengenal dua hal yaitu pertama, penyataan dan kedua, kenyataan. Menurut teori ini,
kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan
sesuatu itu sendiri (Bakhtiar, 2010, h. 115). Sebagaimana contoh dapat dikemukakan
Jakarta adalah ibukota republik Indonesia. Pernyataan ini disebut benar karena
kenyataanya Jakarta memang ibukota republik Indonesia. Kebenarannya terletak pada
hubungan antara pernyataan dengan kenyataan. Adapun jika dikatakan bandung
adalah ibukota republik Indonesia. Pernyataan itu salah karena tidak sesuai antara
pernyataan dengan kenyataan.
b. Teori Kebenaran Koherensi (Saling Berhubungan)
Berkebalikan dengan paham korespondensi, paham koherensi dianut oleh para
pendukung idealisme rasionalisme. Teori koherensi ini berkembang pada abad 19
dibawah pengaruh hegel dan di ikuti oleh pengikut madzhab idealisme seperti
Leibniz, Spinoza dan filsuf britania F.M Bradley (1864-1924). Bakhtiar (2010, h.
116) menjelaskan bahwa teori koherensi yaitu suatu proposisi cenderung benar jika
proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan (koheren/konsisten) dengan
proposisi benar yang lain, atau jika arti yang dikandungnya dalam keadaan saling
berhubungan dengan pengalaman kita. Misalnya kita mempunyai pengetahuan bahwa
semua manusia pasti akan mati adalah pernyataan yang memang benar adanya. Jika
Ahmad adalah manusia, maka pernyataan bahwa Ahmad pasti akan mati, merupakan
pernyataan yang benar pula. Sebab pernyataan kedua konsisten dengan pernyataan
yang benar.
Mengenai teori konsistensi ini, Bakhtiar (2010, h. 117) menjelaskan bahwa dapat
kita ambil kesimpulan yaitu :
a. Kebenaran menurut teori ini ialah kesesuaian anatra suatu pernyataan dengan
pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu kita ketahui, terima dan akui sebagai
benar
b. Teori ini agaknya dapat dinamakan teori penyaksian (justifikasi) tentang
kebenaran, karena menurut teori ini satu putusan dianggap benar apabila
mendapat penyaksian penyaksian (justifikasi, pembenaran) oleh putusan-putusan
lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui, diterima, dan diakui benarnya.

Mengenai teori konsistensi ini, Bakhtiar (2010, h. 117) menjelaskan bahwa


dapat kita ambil kesimpulan yang pertama, kebenaran menurut teori ini ialah
kesesuaian anatra suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah lebih
dahulu kita ketahui, terima dan akui sebagai benar. Kedua, teori ini agaknya dapat
dinamakan teori penyaksian (justifikasi) tentang kebenaran, karena menurut teori ini
satu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian penyaksian (justifikasi,
pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui,
diterima, dan diakui benarnya.
c. Teori Kebenaran Pragmatis
Pragma artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan
bagi filsafat yang dikembangkan oleh William james di Amerika Serikat, benar
tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat
sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika
tidak mendatangkan manfaat (Bakhtiar, 2010, h. 118-119).
Menurut teori pragmatisme, suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur
dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional atau bermanfaat dalam
kehidupan manusia. Bakhtiar (2010, h. 119) Menjelaskan bahwa teori, hipotesa atau
ide adalah benar apabila hal tersebut membawa kepada akibat yang memuaskan,
apabila hal tersebut berlaku dalam praktik, apabila hal tersebut mempunyai nilai
praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaanya oleh hasilnya dan oleh akibat-akibat
praktisnya jadi kebenaran ialah apasaja yang berlaku (works).
Dapat dipahami bahwa kebenaran dalam pandangan pragmatisme adalah
sebatas kegunaan praktis dalam kehidupan. Apabila suatu proposisi memiliki
kegunaan praktis maka akan dipandang sebagai suatu kebenaran. Sebaliknya, apabila
proposisi tidak memiliki kegunaan praktis maka tidak dipandang sebagai suatu
kebenaran, walaupun ada kemungkinan sesuatu yang tidak bersifat fungsional
tersebut adalah kebenaran yang sesungguhnya.
Dari teori ini dapat diberikan sebuah contoh pandangan para penganut teori
pragmatis tentang Tuhan. Bagi pragmatisme suatu agama itu bukan benar karena
Tuhan yang disembah oleh penganut agama itu memang ada, tetapi agama itu
dianggap benar karena pengaruhnya yang positif atas kehidupan manusia. Berkat
kepercayaan orang akan Tuhan dan mengikutinya seseorang kepada ajaran agama
maka kehidupan masyarakat berlaku secara tertib,, sejahtera dan jiwanya semakin
tenang.
Kebenaran dalam pandangan pragmatisme seiring berjalannya waktu akan
membawa kebenaran pada masa kadaluarsa (expired). Artinya ada masanya
kebenaran yang sudah dianggap suatu kebenaran akan dibuang, karena tidak lagi
bersifat fungsional atau bermanfaat.
d. Teori Kebenaran Sintaksis

Penganut teori- kebenaran sintaksis berpijak bahwa suatu pernyataan


dikatakan benar jika pernyataan itu mengikuti aturan-aturan yang baku. Atau dengan
kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang di
syaratkan maka proposisi itu tidak memiliki arti. Teori ini berkembang di antara filsuf
analisa bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika (Hamami
Dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010). Jadi dalam teori kebenaran ini susunan
pola kalimat atau pernyataan sangat diperhatikan karena hal itu sangat mempengaruhi
terhadap penilaian kebenaran.
e. Teori Kebenaran Semantis

Teori ini kebanyakan dianut dan berkembang di kalangan filsuf analitika


bahasa. Kebenaran menurut faham ini adalah suatu proposisi dinilai benar ditinjau
dari segi arti atau makna, apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu
mempunyai referensi yang jelas. Artinya teori ini bertugas untuk mengungkap
kesahihan proposisi dalam referensinya. Pernyataan yang mengandung kebenaran
adalah pernyataan yang memiliki arti atau makna yang sesungguhnya dengan
merujuk pada kenyataan. Arti yang bersifat definitif, yaitu arti yang dengan jelas
menunjuk ciri yang khas dari sesuatu yang ada. (Hamami Dalam Tim Dosen Filsafat
Ilmu UGM, 2010). Seperti “Irigasi menyebabkan kesulitan dalam mengatur
pengairan”, pernyataan ini akan dikatakan benar bila menunjukkan makna yang sahih
tentang bendungan dalam kenyataan yang sesungguhnya. Tentu kebenaran
pernyataan diatas akan di cek langsung ke referensinya.

f. Teori Kebenaran Performatik

Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh


pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian
muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah,
sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.
Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus (1473-1543)
mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang difatwakan gereja.
Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh gereja
walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris. Dalam fase hidupnya, manusia
kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang otoritas yang menjadi
rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat,
dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial
yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan
rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran
dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat
patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani
melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk
mencari kebenaran.
g. Teori Kebenaran Struktural Paradigmatik

Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau
perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung
paradigma tersebut. Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan
bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh
kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang
telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut.
Pandangan apriori ini disebut paradigma oeh Kuhn dan world view oleh
Sardar. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu
masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang
memiliki suatu paradigma bersama. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang
kokoh karena adanya paradigma. Sebagai konstelasi komitmen kelompok, paradigma
merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku
kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara
yang sama. Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam
penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu
pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam
hukum tak tertulis.
h. Agama Sebagai Teori Kebenaran

Manusia adalah makhluk pencari kebenaran, salah cara untuk menemukan suatu
kebenaran adalah melalui agama (Bakhtiar, 2010, h 121). Agama dengan
karekteristiknya sendiri memberikan jawaban atau pencerahan atas segala persoalan
mendasar yang dipertanyakan manusia baik tentang alam manusia maupun tentang
Tuhan yang disembahnya.
Kalau teori-teori kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan akal, budi, rasio
dan reason manusia, dalam agama untuk menilai sebuah kebenaran yang
dikedepankan adalah wahyu yang ada di kitab sucinya dan yang diyakini bersumber
dari Tuhan, Dengan demikian suatu hal itu dianggap benar apabila sesuai dengan
ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak (Bakhtiar, 2010, h. 22)
C. Kesimpulan
Kebenaran adalah jika pernyataan tidak berlawanan dengan fakta yang ada atau
ide-ide atau gagasan tidak berlawanan dengan realita, dan tak jarang kebenaran merujuk
pada pengalaman inderawi seseorang. Penilaian kebenaran ini tak dipungkiri sangat
dipengaruhi oleh latar belakang ideologi orang yang menilai, para penganut empirisme
cenderung melihat kebenaran dari fakta dan realita yang ada, berbeda dengan para
penganut rasionalisme cenderung melihat kebenaran dari ide-ide yang saling mempunyai
keterkaitan satu sama lainnya, kemudian jika orang yang latar belakangnya religius
cenderung melihat atau menilai kebenaran sebuah pernyataan dari firman-firman
Tuhannya yang ada di kitab sucinya.
Kebenaran yang sifatnya subjektif inilah yang tak jarang membuat bingung dan
ragu akan manakah yang benar namun, dari teori-teori kebenaran ini kita bisa tidak hanya
melihat dari satu teori untuk menilai sebuah kebenaran tapi kita kombinasikan untuk
mencari kebenaran sesungguhnya atau kebenaran yang bernilai mutlak.
D. Permasalahan/Penyelesaian
1. Mengapa filsafat dengan pendidikan berkaitan?
Jawab : Filsafat dan pendidikan merupakan dua hal yang saling terkait karena
pendidikan pada hakikatnya merupakan hasil dari pemikiran (filsafat), filsafat merupakan
arah dan pedoman atau pijakan dasar bagi tercapainya pelaksanaan dan tujuan
pendidikan. Jadi, filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakikatnya merupakan
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang Pendidikan. terimakasih
2. Bagaimana proses pembentukan Karakter Manusia menurut pandangan Filsafat?
Jawab : Menurut pendapat saya, sejak lahir setiap manusia dikaruniai dua potensi atau
karakter, yakni potensi kebaikan/ karakter baik dan potensi keburukan/ karakter buruk.
Potensi tersebut akan berkembang mengikuti proses pertumbuhan manusia. Potensi mana
yang akan dominan, baik atau buruk tergantung bagaimana lingkungan yang
membentuknya. Jika tumbuh dalam lingkungan yang baik, maka akan menjadi baik, dan
jika tumbuh dalam lingkungan yang buruk, maka akan menjadi buruk. Oleh karena itu,
dalam dunia pendidikan, lingkungan sekolah harus benar-benar mampu menjadi
lingkungan belajar yang baik bagi anak agar mampu mengoptimalkan karakter baik
dalam setiap diri anak. Terima kasih.
takut akan kegagalan dan ragu-ragu dalam usaha kita dalam menggapai cita-cita tersebut
3. Bagaimana agar terhindar dari Ruang dan Waktu yang salah?
Jawab : Sebelum kita menghindar, kita harus memahami dahulu mana yang berarti salah
maupun benar dalam konteks ruang dan waktu. Ketika kita telah memahami betul apa
yang dimaksud benar sesuai ruang dan waktu maka diri kita pun akan memposisikan diri
pada keadaan yang benar. Maka dari itu kita harus mampu belajar memposisikan diri
untuk mengetahui mana yang baik dan benar juga mana yang salah dan buruk. Ketika
kita berada pada posisi yang salah sebenarnya hati kita pun akan merasa tidak nyaman,
maka berusahalah untuk selalu menjernihkan hati dan pikiran kita dengan mendekatkan
diri kepada Allah SWT agar kita selalu takut pada hal hal buruk yang menjerumuskan
kita
4. Bagaimana Filsafat memandang konsep hubungan/interaksi dalam keluarga dan
masyarakat?
Jawab : Sangat penting dalam bagi kita dalam membangun hubungan interaksi kepada
masyarakat atau keluarga, karena interaksi yang sering terjalin akan memudahkan kita
untuk saling bekerjasama dalam membangun kehidupan kekluargaan. Hal utama yang
menjadi perhatian bagi yang ingin membangun hubungan dengan masayarakat atau
keluarga adalah komunikasi, dengan komunikasi yang lancar maka kerbersamaan akan
selalu ada dan terjaga.
Manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki kepribadian atau katakteristik yang
berbeda-beda. Adanya perbedaan tersebut menjadikan seseorang tidak akan bisa
menjalani hidupnya tanpa adanya orang lain. Maka dari itu diperlukan suatu interaksi
atau hubungan untuk saling melengkapi diantara perbedaan yang ada dalam diri setiap
orang. Karena dengan melakukan suatu interaksi atau hubungan akan membuat setiap
orang untuk saling membantu.
5. Bagaimana cara mengetahui diri sendiri dan menyadari bahwa Filsaat sangatlah
dekat dengan diri kita masing-masing?
Jawab : Gali dalam pikiran, selami mereka, pahami mereka satu persatu, ajak kenalan
lagi bila perlu, karena semua yang ada di dalam pikiran diri ini merupakan dasar filsafat
yang memang sudah menjadi bakal filsafat sejak dulu. Renungi diri sendiri, evaluasi diri,
atau bahkan hanya melakukan aktifitas seperti biasanya sudah termasuk filsafat. Cukup
sadari bahwa diri ini sedang beraktifitas melakukan apapun, baik benar maupun salah
tetap sudah termasuk berfilsafat. Kenali diri lebih dalam lagi dan selalu bersyukur karena
sudah melakukan aktifitas yang baik setiap harinya.

Semua persoalan yang terjadi, pada akhirnya kita kembalikan kepada diri kita sendiri.
Manusia tentu mempersoalkan dirinya sendiri. Dalam suatu persoalan, perdebatan dan
cita-cita, kita terus –menerus bertanya tentang diri kita sendiri, Siapakah sebetulnya aku
ini?, bahkan ketika kita mengalami suatu pertentangan, kebingungan ataupun
kebimbangan mengenai yang baik dan buruk, maka kita akan refleks berfikir untuk
menjawab permasalahan tersebut. Jadi, cara untuk mengetahui diri sendiri dengan terus
memikirkannya dan menerjemahkannya, karena ada banyak hal dalam diri kita juga yang
perlu diterjemahkan (hermeneutika). Jika seseorang tidak berusaha mengenal diri sendiri,
maka dia akan sulit menentukan arah dan tujuan hidupnya. Sebenar-benarnya tidak ada
manusia yang mampu mengetahui dirinya sendiri, yang ada manusia yang berusaha untuk
mengetahui dirinya sendiri.
E. Daftar Rujukan

Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 3-10.

Bakhtiar, Amsal. (2010). Filsafat Ilmu. Jakarta:Rajawali Pers.

Bagus, Lore. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2010

Drs.Ali Saifullah H.A, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1977.

Ferry Hidayat, Pengantar Teori-Teori Filsafat (Bekasi: STBA Pertiwi, 2016), h. 7.

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Cet. ke-18. (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 8-35.

Nur A. Fadhil Lubis, Pengantar Filsafat Umum, Edisi Revisi, Cet. ke-3. (Medan: IAIN
Press, 2011), h. 3

Mahsun Mahfud, “Hakikat Kebebasan Berpikir Dan Etika,” Jurnal Hermeneia Vol. 6,
No. 1 (June 2007): h. 163-164 Manusia dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka

Al-Husna Ismaun, 2001. Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar


Pendidikan, Malang: Usaha Nasional, 1980.

Palmquis Stephen. Pohon Filsafat. Cetakan I. Pustaka Pelajar. Jakarta. 2000.

Uyoh Sadullo, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: PT. Media Iptek, 1994. Hasan
Langgulung, 1986.

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, cet. XVI, Jakarta :
Sinar Harapan, 2003

Surajiyo. (2000). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: IISIP Jakarta.

Wiramihardja, Sutardjo. (2007) Pengantar Filsafat. Bandung:Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai