Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ITP ANEKA TERNAK

“ ULAT HONGKONG “

Oleh :

AAN HERWANDI C1071171035

AGUSTINO C1071171044

DEDEK FEBRIADI C1071171025

YOGA PANGESTU TAMURA C1071171008

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS TANJUNG PURA

PONTIANAK

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Serangga merupakan golongan binatang dengan populasi terbesar bila


dibandingkan dengan golongan binatang lain yaitu hampir 75% dari total binatang
yang hidup di dunia (Partosoedjono, 1985). Jumlah tersebut terbagi lagi ke dalam
beberapa spesies dengan variasi sifat yang berbeda. Beberapa spesies ada yang
bersifat menguntungkan dan juga merugikan bagi makhluk hidup yang lain. Salah
satu jenis serangga tersebut adalah Tenebrio molitor. Di alam bebas serangga ini
bersifat merugikan karena dapat menyerang simpanan bahan pangan manusia. Akan
tetapi jika ditangani secara benar, serangga ini dapat memberikan keuntungan yang
lebih yaitu sebagai pakan (burung dan ikan) dan memiliki harga jual per kilogram
yang lebih tinggi daripada daging ayam.
Di kalangan para peternak, serangga ini dikenal juga sebagai ulat hongkong
atau ulat tepung. Secara ekonomis Tenebrio molitor memiliki nilai positif khususnya
ketika dalam fase larva (dalam bentuk ulat). Ulat tepung dapat diternakkan dan
dijadikan komoditi yang dapat diperjualbelikan. Kandungan nutrisi yang tinggi pada
ulat tersebut yaitu sekitar 48% protein dan 40% energi (Purwakusuma, 2007)
menyebabkan banyak peternak mengunakan Tenebrio molitor sebagai sumber pakan
bagi ternaknya. Selain itu, Tenebrio molitor juga dapat digunakan sebagai makanan
alternatif sumber protein bagi manusia.
Mengingat kegunaan dari Tenebrio molitor di atas, maka perlu dilakukan
pembudidayaan agar ketersediannya tetap dapat memenuhi permintaan konsumen.
Untuk mendapatkan produktifitas ulat yang baik dapat dilakukan melalui perbaikan
dalam manajemen pemeliharaan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam
manajemen pemeliharaan ulat tepung yaitu perkembangbiakannya.
Siklus hidup ulat tepung terdiri dari empat tahap yaitu telur, larva, pupa dan
imago (dewasa). Pada tahapan dewasa dikenal sebagai masa kawin karena pada
tahap tersebut organ reproduksinya sudah sempurna. Pada umumnya, serangga betina
hanya bersifat menerima sperma dari jantan dan karena umurnya yang singkat,
menyebabkan serangga melakukan perkawinan dengan banyak jantan (poliandri)
(Drnevich et al., 2001) dan mengeluarkan telur dalam jumlah yang banyak selama
masa hidupnya. Dengan demikian perlu diketahui perbandingan (rasio) antara jantan
dan betina yang akan dikawinkan untuk mendapatkan hasil terbaik.
Pembudidayaan ulat tepung yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya
hanya memperhatikan masalah perkandangan dan pemberian pakannya saja, sementara
masalah reproduksi tidak terlalu diperhatikan (Warintek, 2007). Hal tersebut mungkin
disebabkan karena sulitnya membedakan jenis kelamin pada kumbang ulat tepung
sehingga tidak mengefisienkan waktu mereka. Akan tetapi jika diperhatikan secara
benar, perbedaan antara jantan dan betina tersebut masih dapat diidentifikasi meskipun
hanya terdapat sedikit ciri yang membedakan antara jantan dan betina. Perbedaan yang
terlihat yaitu pada bagian ujung perutnya atau pada beberapa segmen terakhir dari
perutnya. Kumbang betina memiliki sedikit pemisah diantara tiga bagian segmen perut
paling ujung dan hampir tidak terlihat. Sedangkan pada jantan memiliki membran
intersegmental yang berwarna terang.

B. Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui budiaya ulat hongkong, serta
kendala dan prospek bisnisnya seperti apa.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Siklus hidup ulat hongkong terdiri dari empat tahap, yaitu telur, larva, kepompong
(pupa) serta serangga dewasa dan siklus ini bisa berlangsung antara 3–4 bulan
(Purwakusuma, 2007) melalui proses matamorfosis sempurna (Enchanted Learning,
2007). Menurut Sastrodihardjo (1984), serangga yang mengalami metamorfosis sempurna
memiliki bentuk serangga muda (larva) sangat berbeda dengan serangga dewasa atau
imago. Diantara stadium larva dan dewasa terdapat stadium pupa. Pada stadium pupa
terjadi berbagai perubahan pada organ larva dan diganti dengan organ imago (dewasa)
meskipun beberapa organ larva masih ada yang terbawa menjadi organ imago.

Telur umumnya berbentuk seperti kacang dalam bentuk gerombol atau sendiri-
sendiri (Purwakusuma, 2007). Lyon (1991) menyatakan bahwa kumbang betina ulat
tepung dapat mengeluarkan telur sebanyak 275 butir selama 22-137 hari. Besarnya telur
serangga pada umumnya tidak melebihi 3,5 mm, sehingga seringkali tidak terlihat jelas
(Pracaya, 1995). Telur dari kumbang ulat tepung memiliki panjang sekitar 1,2 mm
(Paryadi, 2003). Kebanyakan telur serangga diletakkan dalam satu situasi dimana
mereka memberikan sejumlah perlindungan sehingga pada waktu menetas akan
mempunyai kondisi yang cocok bagi perkembangannya (Pracaya, 2007).

Cara bertelur serangga bervariasi, ada yang sekaligus menyelesaikannya dalam


waktu sehari, ada juga yang berlangsung dalam beberapa hari dan ada juga serangga yang
bertelur memakai jarak antara 2-5 hari (Pracaya, 1995). Telur-telur yang di keluarkan oleh
kumbang betina T. molitor akan menetas menjadi ulat tepung kecil (fase larva) dalam
waktu 4-14 hari (Lyon, 1991).

Larva ulat tepung memiliki bentuk seperti cacing, halus, keras, memanjang (Lyon,
1991), berwarna kuning terang dengan panjang badan sekitar 35 mm dan lebar 3 mm
(Hechunli, 2007). Larva tidak memiliki sayap, berbeda dengan nimfa pada proses
metamorfosis sederhana (Pracaya, 1995) dan biasanya mempunyai 13-15 segmen yang
berwarna coklat kekuning-kuningan (Salem, 2002). Umur larva biasanya berkisar antara
50-122 hari mulai dari awal menetas sampai sebelum menjadi pupa (Hechunli, 2007).
Setelah larva keluar dari telur, pertumbuhan selanjutnya akan terhalang oleh
dinding tubuh yang keras. Hal ini yang menyebabkan terjadinya pergantian kulit
(moulting) pada larva. Setelah berganti kulit, serangga akan bertambah besar dan
berubah bentuk (Sastrodihardjo, 1984). Larva akan mengalami moulting antara 9-20 kali
sebelum menjadi pupa (Lyon, 1991). Pergantian kulit pada serangga ditandai dengan
serangkaian kejadian fisiologis yang dikaitkan dengan proses apolisis dan ekdisis.
Apolisis secara khusus berkaitan dengan pelepasan secara bertahap epidermis
anteroseptor dari kutikula, sedangkan ekdisis berkaitan dengan pengguguran kutikula
lama (Hepburn, 1985).

Pupa merupakan salah satu tahapan hidup dari serangga yang mengalami
metamorfosis sempurna. Fase pupa biasanya disebut juga sebagai fase diam (Uen, 2007)
karena pada fase ini ulat berhenti makan dan jarang terlihat aktifitasnya, terkecuali jika
ada gangguan dari lingkungan. Ditambahkan oleh Purwakusuma (2007) bahwa meskipun
mereka terlihat tidak aktif, mereka akan tetap merespon berupa gerakan apabila disentuh,
biasanya berupa gerakan memutar. Salem (2002) menjelaskan bahwa selama dalam fase
pupa, terjadi perubahan dari larva menjadi dewasa.
Pupa dikenal juga sebagai fase yang terlihat tidak aktif dan tidak makan,
sehingga akan terjadi penurunan bobot badan karena banyaknya energi yang digunakan
untuk merombak struktur larva menjadi kumbang (Enchanted Learning, 2007). Lubis
(2006) menyebutkan bahwa pupa memiliki rataan bobot badan sekitar 0,1348 g/ekor.
Pada tahapan pupa, dibutuhkan waktu sekitar 7-24 hari sampai akhirnya pupa menjadi
kumbang (Lyon, 1991). Akan tetapi, lamanya periode pupa juga bisa mencapai 30 hari
pada suhu 15°C, 9 hari pada suhu 25°C dan 6 hari pada 35°C (Wikipedia, 2007b).

Fase imago (dewasa) merupakan tahap perkembangan terakhir pada serangga


setelah munculnya pupa pada proses metamorfosis sempurna. Pada fase ini, serangga
akan mengalami kedewasaan organ kelamin dan pertumbuhan sayap (Wikipedia,
2007b). Coleoptera memiliki dua pasang sayap (Partosoedjono, 1985), sayap-sayap
tersebut berkembang di bagian dalam selama tahapan pradewasa (Borror et al., 1982).
Pasangan pertama disebut elytra (Partosoedjono, 1985), sayap ini menebal dan
berfungsi sebagai pelindung sayap belakangnya (Pracaya, 1995). Satu pasangan sayap
kedua tipis dan lebih panjang dari pasangan sayap petama, apabila dalam keadaan tidak
terbang maka sayap tersebut dilipat (Partosoedjono, 1985). Meskipun kumbang ulat
tepung memiliki sayap, akan tetapi kemampuannya untuk terbang kurang baik karena
terganggu oleh adanya elytra (Pracaya, 2007).
Kumbang ulat tepung memiliki panjang antara 23-26 mm dan berwarna hitam
kemerahan sampai hitam (Fossweb, 2007). Ketika baru keluar dari pupa, kumbang
dewasa umumnya berwarna putih atau pucat (Borror et al., 1982) kemudian mengalami
pengerasan dan berwarna lebih gelap (Amir dan Kahono, 2003).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Siklus Hidup Tenebrio molitor

Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi aktifitas serangga (Husaeni


dan Nandika, 1989). Secara umum, serangga bersifat poikilothermi, yaitu suhu tubuhnya
naik dan turun mengikuti suhu lingkungan (Triplehorn dan Johnson, 2005). Menurut
Borror et al. (1982), suhu yang optimum untuk pertumbuhan serangga sekitar 260C.
Sementara menurut Haines (1991), ulat tepung mampu bertahan hidup pada kisaran
suhu antara 25-27 0C dengan kelembaban minimum 20%. Borror et al. (1982)
menjelaskan bahwa ulat tepung mampu mengekstraksi uap air dari udara bila
kelembaban melebihi 90%. Dengan demikian, kisaran kelembaban yang dapat ditolelir
oleh ulat tepung adalah 20-90 %.

Culin (2008) menjelaskan bahwa dengan semakin rendah suhu lingkungan, maka
pertumbuhan ulat tepung akan lambat, bahkan bisa mencapai enam bulan. Dengan
demikian, adanya perbedaan suhu dapat mempengaruhi lamanya waktu yang dibutuhkan
untuk satu siklus pertumbuhan.
BAB III

PEMBAHASAN

1. Taksonomi dan Morfologi Ulat Hongkong


 Kingdom : animalia
 Phylum : arthropoda
 Class : insect
 Order : coleopteran
 Suborder : polyphaga
 Family : tenebrionidae
 Genus : tenebrio
 Spesies : tenebrio molitor

2. Tingkah Laku Ulat Hongkong


 Serangga Tenebrio Molitor,Induk Ulat Hongkong
 Ulat hongkong sebenarnya adalah fase larva dari serangga bernama latin
Tenebrio Molitor. Serangga berwarna hitam ini merupakan serangga pemakan
biji-bijian. Dalam Fase hidupnya serangga Tenebrio Molitor ini terdiri dari 4
siklus hidup , yaitu telur –> larva(ulat Hongkong) –> kepompong –> ulat
dewasa/Serangga. Siklus seperti ini bisa berlangsung dalam waktu 3 sampai 4
bulan. Larva atau ulat hongkong ini akan mengalami pergantian kulit
sebanyak 15 kali sebelum akhirnya berubah menjadi kepompong. Pada saat
berganti kulit inilah saat yang tepat untuk diberikan kepada ikan hias, karena
zat kitin yang terkandung pada kulit ulat hongkong tidak bisa dicerna oleh
ikan.
 Untuk pemilihan induk, usahakan tidak lebih dari 2 kg, agar ulat yang jadi
kepompong ukurannya bisa besar-besar (rata-rata panjang 15 mm dan lebar 4
mm. Sedangkan ulat dewasa dengan ukuran panjang rata-rata 15 mm, dan
diameter rata-rata 3 mm akan mulai menjadi kepompong sekitar 7 sampai 10
hari lagi secara bergantian.
 Pengambilan kepompong, harus dilakukan selama 3 (tiga) hari sekali, supaya
kepompong yang sudah dipisah dan ditempatkan di dalam kotak tersendiri
berubah menjadi kumbang secara serentak.
 Pemilihan kepompong, dilakukan tiga hari sekali, serta kepompong yang
dipilih haruslah yang sudah berwarna putih kecoklatan. Dan cara
pengambilannya pun, harus hati-hati jangan sampai lecet/cacat. Apabila
terjadi, maka kepompong akan mati busuk. Kepompong yang sudah dipilih,
kita taruh di dalam kotak pemeliharan yang sudah diberi alas koran.Kemudian,
disebar sedemikian rupa. Jangan sampai bertumpuk, lalu ditutup kembali
memakai kertas koran hingga rapat.
 Kepompong akan menjadi kumbang, dalam usia mulai 10 hari. Dan apabila
sayap kumbang masih berwarna kecoklatan, jangan diambil dulu. Biarkan
sampai berwarna hitam mengkilat, dan kumbang siap ditelurkan. Satu
kotak/peti, kita tebari kumbang sekitar 250 gr, dan berikan kapas sebagai alas
untuk bertelur yang sudah dibeberkan.
 Pembibitan ini dibiarkan sampai 7 hari, dan diturunkan bila waktu tersebut
tiba. Kumbang yang sudah terpisah dari kapas, diberi kapas baru lagi dan
begitu seterusnya. Tingkat kematian pada kumbang ini, bisa mencapai 2 s/d 4
persen sekali turun.
 Kapas yang ada telurnya, kita simpan dalam peti terpisah, telur akan mulai
menetas setelah 10 hari. Setelah usia ulat mencapai 30 hari baru kita pisahkan

dari kapasnya.

3. Perkawinan
Ulat hongkong adalah hasil dari perkawinan kumbang T.molitor yang memiliki tiga
tahapan. Tahap :
 pertama, jantan mengejar betina sampai betina kelelahan.
 Kemudian kumbang jantan menaiki betina dan membengkokkan abdomen
bagian belakangnya ke bawah tubuh betina.
 Tahap terakhir dari perkawinan adalah disekresikannya sperma oleh kumbang
jantan ke organ kelamin betina. Lama waktu perkawinan pada kumbang T
molitor yaitu berkisar antara 45-120 detik (Worden dan Parker 2001).

4. Performa produksi dan reproduksi


Setelah proses perkawinan dalam beberapa hari betina masuk ke tanah lunak dan
meletakkan sekitar 500 telur. Setelah empat sampai 19 hari telur menetas. Banyak
pemangsa atau predator yang memakan telur kumbang ulat hongkong, termasuk
hewan reptil.
Selama tahap larva, mealworm ( ulat hongkong ) memakan vegetasi dan
serangga mati. Ulat hongkong juga mengalami molts berkala . Molting ini terjadi
disetiap tahap larva, atau instar ( dari bahasa Latin “bentuk”, “rupa”) adalah tahap
perkembangan arthropoda , seperti serangga , antara setiap mabung (ecdysis), sampai
mancapai kematangan seksual ).
Larva spesies ini mangalami 9-20 instar. Dan yang terakhir menjadi pupa. Pupa
baru berwarna keputihan, dan akhirnya cokelat dari waktu ke waktu. Setelah 3 sampai
30 hari, tergantung pada kondisi lingkungan seperti suhu, akan muncul menjadi
kumbang dewasa.

5. Pakan
A. Pakan untuk ulat bibit
 Untuk satu kotak beri makanan sekitar 500 gr, dengan interval waktu 4
hari sekali. Atau apabila makanan sudah benar-benar bersih, dengan
cara dikepal-kepal menjadi 3 bagian. Gunanya supaya kepompong
yang ada, tidak tertimbun makanan karena apabila hal ini terjadi
kepompong akan busuk.
 Selain ampas tahu dan dedak, makanan sebaiknya dicampur dengan
tepung tulang atau pur, tujuannya agar kepompong besar-besar.
 Pemberian pakan untuk kumbang, jangan terlalu banyak dan caranya
disebar merata sekitar 100 gr sekali makan per 3 hari sekali.
B. Pakan untuk ulat kecil
 Apabila ulat masih ada dalam kapas, sebaiknya pemberian pakan
dengan sayuran sosin, capcay atau selada, cabut maksimal 4 lembar
sampai habis, dan sayuran tersebut dijemur dulu sampai setengah
kering.
 Apabila makanan biasa, ukurannya 100 gr dan disebar tunggu sampai
makanan itu habis, baru diberi lagi.
 Apabila ulat sudah terpisah dari kapas, pemberian pakan sekitar 1 kg,
dengan cara dikepal dan sebagian disebar merata. Sedangkan untuk
ulat kecil, satu kotak sekitar 2 kg dengan ukuran ulat panjang 6 mm
dan diameternya 1,5 mm (umur 30 – 60 hari).
 Untuk ulat dewasa (umur 60 – 90 hari), pemberian pakan 1,5 kg
sampai dengan 2 kg per kotak, dengan cara dikepal dan disebar sedikit

6. Penyakit
A. Ciri-ciri ulat yang terkena penyakit dan penanggulangannya:
 Kulit ulat kuning kehitam-hitaman.Jangan terlalu banyak diberi makan
dari daun-daunan, dan jangan terlalu banyak diberi dedak.
 Ulat mati berwarna merah. Apabila hal ini terjadi, maka
pencegahannya adalah pemberian pakan tidak terlalu basah. Hal ini
harus segera diatasi karena penyakit ini selain menular menyerang
dengan cepat.
 Ulat mati berwarna hitam Hal ini terjadi apabila pemberian makanan
disebar, biasanya terjadi pada ulat dewasa usia 1 sampai 3 bulan, maka
alangkah baik pemberian makanannya dilakukan secara dikepal-kepal.
7. Prospek bisnis
Pemasaran dilakukan dengan jasa orang ketiga sebagai distributor. Hal ini
dilakukan untuk menghemat biaya dan mempermudah pembayaran. Produk yang
dipasarkan ada 3 Jenis yakni Ulat Hongkong sebagai Pakan
Sampingan/Suplemen Burung, Ulat Hongkong Sebagai Pakan
Sampingan/Suplemen Ikan Hias, dan Ulat Hongkong Sebagai pakan
Sampingan/Suplemen Udang. Ulat Jenis Ini Berukuran 3 cm dengan berat rata-rata
150 mg. Daerah yang banyak permintaan terhadap Ulat Hongkong ini antara lain
Kudus dan Malang.
Ulat yang dikonsumsi ikan hias mempunyai perlakuan yang berbeda yakni Ulat
yang diberikan setelah ada manipulasi dengan Nutrisi tertentu. Seperti beta karoten
yang terdapat dalam wortel. Ulat untuk ikan hias biasanya berukuran lebih kecil
Yakni berukuran 2 cm dengan berat rata-rata 100 mg Daerah yang banyak permintaan
terhadap Ulat Hongkong ini antara lain Bali. Udang yang mengkonsumsi yakni Udang
Windu. Ulat Untuk udang windu biasanya berukuran paling besar yakni berukuran 3,5
cm dengan berat rata-rata 170 mg dengan usia sekitar 3 ½ bulan dan warnanya cukup
gelap. Daerah Yang banyak permintaan terhadap Ulat Hongkong ini adalah
Semarang. Profit Usaha mengalami penurunan harga karena kendala adanya kematian
yang disebabkan oleh iklim yang kurang mendukung. Namun tidak terlalu signifikan
dengan Grafik Keuntungan yang tetap naik. Hasil panen Sekitar 90 Kg. jumlah ini
berkurang dari harapan panen mencapai lebih dari 100 Kg.
Gambar ulat hongkong ( larva atau mealworm ) untuk manusia dan hewan
peliharaan.
8. Perkandangan
Usahakan untuk tempat/bangunan peternakan ini, terbuat secara permanen atau
terbuat dari tembok sekelilingnya. Tujuannya, agar terhindar dari tikus atau hama
semut. Atap terbuat dari enternit serta 95% bangunan tertutup. Lantai terbuat dari
tembok atau ubin. Suhu sangat mempengaruhi pertumbuhan ulat. Usahakan suhu
dalam ruangan, tetap antara 29 – 30 0C dan selalu lembab, artinya tidak terlalu dingin
dan tidak terlalu panas. Suhu tersebut, merupakan suhu terbaik untuk ternak ini.
daya ulat hongkong langkahnya cukup mudah yang diperlukan hanyalah
ketelatenan dan bisa dilakukan di rumah
 Siapkan kandang pemeliharaan berupa papan triplek, atau bisa dengan nampan
plastik. Ukuran sesuaikan dengan kebutuhan. Jika memakai triplek atau papan
sudut-sudut diberi lakban agar ulat tidak kabur.
 Siapkan media pemeliharaan berupa campuran dedak halus(Polard) dan ampas
tahu kering, bisa dibeli di toko pakan ternak.
 Telur ulat hongkong yang dibeli dari peternak, atau bisa membeli ulat
hongkong kemudian dibudidayakan hingga menjadi serangga dan kemudian
bertelur.
 Makanan ulat hongkong bisa diberikan limbah sayuran, timun, pepaya,jipang
dan bahan makanan lainnya yang mengandung banyak air.
 Kunci budidaya ulat hongkong ini adalah ketelatenan dalam melakukan
pemeliharaan. Jika tidak teliti terkadang ada hama sejenis ulat hongkong yang
berukuran lebih kecil numpang hidup pada media, namun ulat kecil ini bersifat
kanibal dan memakan ulat-ulat hongkong yang lain sehingga produksi
menurun. Biasanya ulat jenis ini datang dari media dedak halus dan dari
lingkungan sekitar.
9. Daerah Perkembangan
Budidaya ulat hongkong tidak begitu rumit. Asal lokasinya cocok dan
pakannya mencukupi, ternak ulat ini sudah bisa dipanen dalam waktu sekitar tiga
bulan.
Karena masa panennya cepat, banyak orang tertarik membudidayakan ulat hongkong.
Namun, peternak kerap terkendala pemilihan lokasi yang kurang pas buat budidaya.
Pasalnya, ulat ini hanya cocok dikembangkan di daerah dataran tinggi dengan
ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Hari Wibowo, peternak ulat hongkong di Wajak, Jawa Timur mengatakan,
ulat hongkong berkembang dengan maksimal jika diternakkan pada suhu 28 hingga
31derajat celcius.Makanya, tidak semua daerah di Indonesia cocok untuk beternak
ulat hongkong. “Sebenarnya ada juga yang beternak ulat hongkong di Bandung,
Cilacap, dan Solo tapi biaya produksi lebih tinggi karena mereka harus menyesuaikan
kandang dengan suhu dataran tinggi,” ujarnya.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa cara membudidayakan ulat hongkong sangat
mudah, yang diperlukan hanyalah ketelatenan, budidaya ulat hongkong tidak
begitu rumit. Asal lokasinya cocok dan pakannya mencukupi, ternak ulat ini
sudah bisa dipanen dalam waktu sekitar tiga bulan. Karena masa panennya
cepat, banyak orang tertarik membudidayakan ulat hongkong. Namun,
peternak kerap terkendala pemilihan lokasi yang kurang pas buat budidaya.
Pasalnya, ulat ini hanya cocok dikembangkan di daerah dataran tinggi dengan
ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut

B. SARAN
Adapun saran dari makalah ini, semoga para pembaca dapat melihat
peluang beternak ulat hongkong karena prospek bisnisnya lumayan
menguntungkan dan cara budidayanya juga sangat mudah.
DAFTAR PUSTAKA

Purwakusuma. 2007. Pengendalian hama dan penyakit ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Sastrodihardjo. 1984. Pengantar Entomologi Terapan. Institut Teknologi Bandung, Bandung.


Lyon, F.W. 1991. Yellow and Dark Mealworm. diakses : http://www.ohioline.
osu.edu/hygfact/2000/2093.html. diunduh : 1 Desember 2019.
Pracaya. 2007. Hama Dan Penyakit Tanaman Edisi Revisi. Jakarta: Penebar Swadaya.
Paryadi. 2003. Performans ulat tepung (Tenebrio molitor L.) pada berbagai rasiom
pemberian pollard dan pakan komersial. (Skripsi). Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Pracaya. 1995. Hama dan Penyakit Tumbuhan. Jakarta : Akbar Media Eka Sarana.
Salem, R. 2002. The Life Cycle of The Tenebrio Beetle. diakses : http://www. javafinch.
co.uk/Feed/live.html. diunduh : 1 Desember 2019.
Sastrodihardjo. 1984. Pengantar Entomologi Terapan. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Uno, Hamzah B. 2007. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang
Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.
Lubis, A.U., 2006. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) di Indonesia. Pusat Penelitian
Perkebunan Marihat-Bandar Kuala, Pematang Siantar.
Partosoedjono S. 1985. Mengenal Serangga. Bogor: Agromedia.
Borror et al., 1982. Patogenesis Nematoda Tanaman. Universitas Paddjaran: Bandung.
Amir, M., W.A. Noerdjito, dan S. Kahono. 2003. Kupu (Lepidoptera). Serangga Taman
Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat.
Biodiversity Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 2005. Introduction To The Study of
Insects. Seventh Edition. USA: Thomson Brooks/ColeConservation Project in
Indonesia. JICA.
Haines C. P. and R. I. Pranata. 1982. Result of A Survey of The Insect and Arachnids
Associated With Stored Products In Some Parts of Java. Regional Centre for
Tropical Biology. Bogor.
Culin, J. 2008. Insect Growth and Development. [Internet]. [diunduh 2019 Desember 1].
Tersedia pada http://entweb.clemson.edu.

Anda mungkin juga menyukai