Anda di halaman 1dari 14

FIQH AL-SIYÂSAH AL-JÂBIRÎ

Analisis Kitab al-‘Aql al-Siyâsî al-’Arabî (Nalar Politik Arab)

Abbas Arfan

Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang


Mobile Phone:
Email:

Abstrak
Perkembangan pemikiran Islam Indonesia akhir-akhir ini dapat dikatakan cukup
membanggakan. Umat Islam tidak lagi dihadapkan dengan satu pola pikir, melainkan berbagai
ragam bentuk pemikiran. Namun, yang memperhatinkan, adanya kecenderungan kalangan
tertentu yang terlalu mengagungkan corak pemikiran para modernis dan dekonstruksionis untuk
dijadikan “imam mazhab” baru. Meskipun menggunakan kerangka metodologi yang berbeda,
pada prinsipnya kesemua pemikir modern itu sepakat untuk melakukan pembacaan ulang
terhadap turâth Islam (‘iâdah qirâ’ah al-turâth) agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan
zaman. Salah satu diantaranya adalah al-Jâbirî dengan karya tetralogi yang tergabung dalam
proyek peradabannya, namun yang akan dikaji dalam makalah hasil penelitian ini adalah
konsep Fiqh al-Siayasah-nya yang ia sebut dengan istilah “nalar politik arab”. Metode yang
digunakan dalam penelitian makalah ini adalah analisis isi lewat studi pustaka, karena memang
jenis dan sumber data dari penelitian ini adalah kualitatif. Adapun nalar politik Arab yang
dimaksud al-Jâbirî dalam bukunya al-‘Aql al-Siyâsî al-‘Arabî tak lain adalah “motif-motif
(muhaddidât) tindakkan politik (cara menjalankan kekuasaan dalam sebuah masyarakat),
serta manifestasi/ pengejawantahan (tajalliyât) teoritis dan praktisnya yang bersifat sosiologis”.
Disebut “nalar” (‘aql), karena motif-motif tindakan politik dan manifestasinya tersebut, semua
tunduk dan dijalankan atas sebentuk logika internal yang mengorganisasi hubungan antar
pelbagai unsurnya. Logika ini pada akhirnya berupa prinsip-prinsip yang dapat disifati dan
dianalisis secara kongkrit. Dikatakan sebagai “politik” (siyâsî) karena tugasnya bukanlah
mereproduksi pengetahuan, tapi menjalankan sebentuk kekuasaan; sebuah otoritas pemerintahan
atau menjelaskan tata cara pelaksanaannya.
Indonesian Muslims are now exposed to an array of legal thought and methodologies, all of which
are basically seeking to reread the classical Islamic literatures (i‘adah qira’at al-turats) in order to
fit the new development. One of the modern legal thought known to us in this modern period is that
of al-Jabiry with his concept of fiqh al-siyasah. Dubbed as the political logic of the Arabs, his
concept of fiqh al-siyasah signifies the motives of political measures and its theoretical and practical
implication. It is dubbed as logic because all of the political motives and their manifestations are
subjected and operated within a particular internal logic organizing all of its related components.
The logic is political because its duty is not to reproduce knowledge, but to govern and provide the
method of governing.

Kata Kunci: nalar, politik, arab, Islam, pembaharuan, demokrasi.


96 | De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 2 Nomor 1, Juni 2010, hlm. 95-108

Tokoh-tokoh cendikiawan Arab muslim al-‘Aql al-’Arabî (Struktur Nalar Arab).


kontemporer yang pada abad ini begitu Seri Kritik Nalar Arab II (Beirut : Markaz
memilki banyak penggemar, khususnya di Dirâsah al-Wihdah al-’Arabîyyah, 1996), cet.
kalangan akedemisi muda Islam Indonesia, V, c). al-‘Aql al-Siyâsî al-’Arabî (Nalar Politik
seperti Hasan Hanafî dengan ide Islam Arab). Seri Kritik Nalar Arab III (Beirut :
Kirinya, M. Sahrûr dengan teori limitnya, Markaz Dirâsah al-Wihdah al-’Arabîyyah,
Nasr Hâmid Abû Zayd dengan hermeneutika 1995, cet. III, dan d). ‘Aql al-Akhlaq al-
tafsir al-Qur’ânnya dan kritik teks, Asghar ’Arabî (Nalar Etika Arab). Seri Kritik Nalar
Alî dengan Islam Pembebasan-nya, Arkoun Arab IV (Beirut : Markaz Dirâsah al-Wihdah
dengan Kritik Nalar Islam-nya dan M. ‘Âbid al-’Arabîyyah, 2001)1. Dalam tetralogi itu,
al-Jâbirî dengan tetralogi nalar arabnya. proyek metodologis pemikiran Al-Jâbirî yang
Namun pemaparan ide-ide mereka dan terkenal dengan istilah “Kritik Nalar Arab”,
analisanya yang dilakukan generasi muda terbagi atas dua model. Pertama, kritik nalar
Islam Indonesia cenderung berlebihan dan epistemologis. Nalar ini sifatnya spekulatif,
tidak berimbang dalam menampilkan pro dan yang mengkaji arkeologi dan perkembangan
kontranya secara bersamaan dan pujian serta ilmu pengetahuan yang berlaku di kalangan
cacian dari para tokoh dunia muslim juga umat Islam. Kedua, nalar politik, yaitu nalar
tidak dilakukan pada saat yang bersamaan, praktis yang melakukan kritik pemikiran
sehingga berakibat pada mudah diterimanya tentang bagaimana cara umat Islam berkuasa,
ide-ide mereka oleh para mahasiswa muslim menguasai, dan mempertahankan kekuasaan.
Indonesia hampir sempurna tanpa cela. Persoalan etika masuk dalam nalar kedua
Contoh yang paling mudah saja, buku-buku karena terkait dengan perilaku umat Islam
mereka dengan segudang ide dan tawaran dalam kehidupan sehari-hari. Seri Kritik
konsep baru banyak diterjemahkan ke dalam Nalar Arab I dan II adalah model nalar
bahasa Indonesia. Namun sayang bantahan epistemologis, sedangkan dua yang terakhir
dari buku-buku itu jarang sekali mendapat adalah model nalar praktis.2
perhatian apalagi diterjemahkan dan Adapun latar belakang yang membuat al-
didiskusikan. Maka lewat makalah sederhana Jâbirî menulis tetraloginya adalah bermula
ini penulis ingin menganalisis pemikiran dari keresahannya menghadapi fakta yang
salah satu tokoh, yaitu M. ‘Âbid al-Jâbirî mengenaskan. Ketika membaca diskursus
secara obyektif dengan menampilkan secara Arab kontemporer dalam masa seratus tahun
bersamaan analisis pendukung dan penentang yang lampau, dimana Arab -yang identik
konsep yang ditawarkanya dalam tetraloginya, dengan Islam- tidak mampu memberikan
tetapi penulis khususkan pada salah satu kontentum yang jelas dan definitif, walaupun
konsep nalar politik arab-nya. Dari itu, ada untuk sementara, berfungsi sebagai
beberapa pertanyaan yang akan berusaha proyek kebangkitan yang mereka gembar-
dijawab dalam makalah ini, yaitu: a). Siapa gemborkan. Kesadaran mereka terhadap
Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî?, b). Bagaimana urgensi kebangkitan tidak berdasarkan realitas
konsep nalar politik Arab yang ditawarkanya? dan orientasi perkembangannya, melainkan
c). Apa tanggapan dari komunitas yang pro
dan kontra terhadap konsepnya itu? 1 Tetapi menurut penelurusan penulis terhadap
urutan tahun terbit buku-bukunya di atas yang paling
Kerangka Teori Tetralogi ‘Âbid Al-Jâbirî valid adalah sebagai berikut: Nahnu wa Turâth (1980),
al-Khitab al-`’Arabî al-Mua’ashir (1982), Takwîn al-’Aqlal-
Tetralogi yang tergabung dalam proyek `’Arabî (1984), Bunyah al-’Aql al-`’Arabî, (1986), al-’Aql
peradabann al-Jâbirî adalah : a). Takwîn al-‘Aql al-Siyâsî al-`’Arabî (1990) dan al-’Aql al-Akhlâqî al-
al-’Arabî (Formasi Nalar Arab). Seri Kritik `’Arabî (2001).
2 Lihat Ahmad Baso, “Neo-Modernisme Islam
Nalar Arab I (Beirut : Markaz Dirâsah al- Versus Post-Tradisionalisme Islam”, dalam Jurnal
Wihdah al-’Arabîyyah, 1991), cet.V, b). Bunyah Tashwirul Afkar, No. 10, Tahun 2001, hlm. 33.
Abbas Arfan, Fiqh Al-Siyâsah Al-Jâbiry...| 97

berdasarkan sense of difference (jurang Kemudian Al-Jâbirî mencoba


pemisah) antara Arab kontemporer yang menjembatani antara realitas tradisi Arab
terbelakang dan kemajuan Barat modern. dengan modernitas yang dialami Barat.
Akibatnya, tegas al-Al-Jâbirî, sampai saat Walaupun Al-Jâbirî mengakui bahwa
ini diskursus kebangkitan Arab tidak berhasil modernitas Eropa mampu menjadi
mencapai kemajuan dalam merumuskan “blue representasi kebudayaan “universal”, tetapi
print kebangkitan peradaban” baik dalam modernitas Eropa tidak mampu menganalisis
tataran utopia proporsional, maupun dalam realitas kebudayaan Arab yang terbentuk
perencanaan ilmiah.3 jauh di luar dirinya. Menurutnya, konsep
Nalar (akal) Arab dalam tetraloginya, yaitu modernitas–pertama dan paling utama–
kumpulan prinsip dan kaidah yang diberikan adalah dalam rangka mengembangkan
oleh peradaban Arab kepada para pengikutnya sebuah metode dan visi modern tentang
sebagai landasan memperoleh pengetahuan, tradisi. Karena modernitas adalah upaya
atau aturan epistemologis, yakni sebagai melampaui pemahaman tradisi, yang terjebak
kumpulan konsep dan prosedur yang menjadi dalam tradisi ini, untuk mendapatkan sebuah
struktur bawah sadar dari pengetahuan dalam pemahaman modern, dan pandangan baru
fase sejarah tertentu. Al-Jâbirî melihat bahwa tentang tradisi.6
kumpulan konsep dan prosedur pemikiran
Karena itu, gagasan modernitas bukan
yang mengatur dengan ketat pola pandang
untuk menolak tradisi, atau memutus masa
orang Arab dan pola interaksinya dengan
lalu, melainkan untuk meng-up grade sikap
sesuatu itu memang ada. Berarti, orang Arab
serta pendirian dengan mengandaikan pola
adalah individu anak manusia yang Nalarnya
hubungan kita dengan tradisi dalam tingkat
terbuka, tumbuh dan berkembang peradaban
kebudayaan “modern”. Karena itu, konsep
Arab, hingga (peradaban Arab itu) memformat
modernitas bercita-cita mengembangkan
referensi pemikirannya yang utama, kalau
sebuah metode dan visi modern tentang
bukan satu-satunya.4
tradisi.7 Modernitas adalah sebuah keharusan
Al-Jâbirî memulai dengan mendifinisikan bagi seorang intelektual–selain diri sendiri–
turâth (tradisi). Tradisi dalam pengertiannya supaya dia mampu menjelaskan segenap
yang sekarang tidak dikenal di masa Arab fenomena kebudayaan serta tempat di mana
klasik. Kata “tradisi” diambil dari bahasa modernitas muncul. Sehingga modernitas
Arab “turâth”, tetapi di dalam al-Qur’ân yang demikian ini, menjadi sebuah
tidak dikenal Turâth dalam pengertian tradisi pesan dan dorongan perubahan dalam
kecuali dalam arti peninggalan orang yang rangka menghidupkan kembali pelbagai
telah meninggal. Karenanya yang dimaksud mentalitas, norma pemikiran beserta seluruh
turâth (tradisi) menurut Al-Jâbirî adalah apresiasinya.8
sesuatu yang lahir pada masa lalu, baik masa
Untuk menjawab tantangan modernitas,
lalu kita atau orang lain, masa lalu itu jauh
al-Jâbirî menyerukan untuk membangun
atau dekat dan ada dalam konteks ruang dan
epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem
waktu. Tradisi adalah produk periode tertentu yang
yang menurut skema al-Jâbirî hingga saat
berasal dari masa lalu dan dipisahkan dari masa
ini masih beroperasi, yaitu: Pertama, sistem
sekarang oleh jarak waktu tertentu.5
3 Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman 6 Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer
Mappiase, “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis Atas Filsafat Arab-Islam, Alih bahasa: Moch. Nur
Terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri,” dalam Muhammad Ichwan (Yogyakarta: Islamika, 2003) hlm. 3.
Aunul Abied Syah, dkk, ed., Mosaik Pemikiran Islam 7 Ibid, hlm. 2
Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 304. 8 Zuhairi Misrawi, “Muhammad Abied Al-
4 Ibid, hlm. 306-307. Jabiri: Pentingnya Aktualisasi Tradisi Sebagai Bentuk
5 Aksin Wijaya, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kodifikasi Baru,” artikel diakses tanggal 12 Oktober
Kritik Atas Nalar Tafsir Gender (Yogyakarta: Safiria 2009 dari http://www.islamemansipatoris.com/cetak-
Insania Press, 2004), hlm. 109. artikel.php?id=148
98 | De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 2 Nomor 1, Juni 2010, hlm. 95-108

epistemologi indikasi serta eksplikasi (‘ulûm kesiapan ilmu tentang Us}ûl fiqh. Bahasa,
al-bayân) merupakan sistem epistemologi Balaghah dan seterusnya. Disinilah ia
yang paling awal muncul dalam pemikiran mengkritisi kaum orientalis dan sebagian
Arab. Ia menjadi dominan dalam bidang pengkaji Muslim yang cenderung bersifat
keilmuan pokok (indiginus), seperti filologi, parsial. Selanjutnya dalam kajiannya Al-Jâbirî
yurisprudensi, ilmu hukum (fiqh) serta ’ulûm berkesimpulan bahwa bangunan keilmuan
al-Qur’ân , teologi dialektis (kalam) dan teori Islam klasik sangat kuat dipengaruhi oleh bias
sastra nonfilosofis. Sistem ini muncul sebagai ideology pemikir tersebut. Al-Jâbirî kemudian
kombinasi dari pelbagai aturan dan prosedur mereduksi sistem berpikir Arab Islam kepada
untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting tiga sistem, dikenal dengan sistem Bayânî,
of discourse). Sistem ini didasarkan pada ‘Irfâni, dan Burhânî.
metode epistemologis yang menggunakan
pemikiran analogis, dan memproduksi Pembahasan
pengetahuan secara epistemologis pula
dengan menyandarkan apa yang tidak Biografi singkat al-Jâbirî
diketahui dengan yang telah diketahui, apa Al-Jâbirî dilahirkan di Figuig, sebelah
yang belum tampak dengan apa yang sudah Selatan Maroko pada tahun 1936, al-Jâbirî
tampak. Kedua, disiplin gnotisisme (‘ulûm al-’irfân) menyelesaikan pendidikan ibtidaiyahnya
yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan di madrasah hurrah wathaniyyah, sekolah
dalam” sebagai kerangka epistemologinya, agama swasta yang didirikan sebuah
dengan memasukkan sufisme, pemikiran gerakan kemerdekaan ketika itu. Pendidikan
Shî‘ah, penafsiran esoterik terhadap Al- menengahnya dia tempuh dari 1951-1953 di
Qur’ân, dan orientasi filsafat illuminasi. Ketiga, Casabalanca dan memperoleh Diploma Arabic
disiplin-disiplin bukti “inferensial” (‘ulûm High School setelah Maroko merdeka. Sejak dari
al-burhân) yang didasarkan atas kerangka awal al-Jâbirî telah tekun mempelajari filsafat.
epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi Pendidikan filsafatnya dia mulai pada tahun
intelektual. Jika disingkat, metode bayânî adalah 1958 di Universitas Damaskus, Syiria. Al-Jâbirî
rasional, metode ’irfâni adalah intuitif, dan tidak lama bertahan di universitas ini. Setahun
metode burhânî adalah empirik, dalam kemudian dia berpindah ke Universtas Rabat
epistemologi umumnya.9 yang baru saja didirikan di negara asalnya.
Al-Jâbirî punya ambisi besar untuk Dia menyelesaikan program masternya pada
membangun sebuah epistemologi baru yang tahun 1967 dengan tesis Falsafah al-Târîkh ‘inda
sesuai dengan perkembangan hari ini. Untuk Ibn Khaldûn (Filsafat Sejarah Ibn Khaldûn),
itu dia telah melancarkan proses dekonstruksi dibawah bimbingan N. Aziz Lahbabi (w.
terhadap bangunan pikiran Islam klasik. Proses 1992), juga seorang pemikir Arab Maghrib
dekonstruksi ini pada prinsipnya berusaha yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan
untuk meninjau kembali proses terbentuknya Sarter. Dia meraih gelar Doktor Falsafah pada
akal Arab Muslim guna mengetahui kontruk tahun 1970 dibawah bimbingan Najib Baladi.
epistemologi pemikiran Islam klasik. Maka, Disertasi Doktronya juga berkisar seputar
katanya, dalam hal ini kajian komprehensif pemikiran Ibn Khaldûn . Al-Jâbirî muda
sangat diperlukan. Seseorang tidak mungkin merupakan seorang aktifis politik berideologi
mempelajari dan mengkaji tafsir atau fiqh sosialis. Dia bergabung dengan partai Union
dengan berdiri sendiri dengan bidang ilmu Nationale des Forces Populaires (UNFP), yang
lain, karena seorang faqih pada saat itu juga kemudian berubah menjadi Union Sosialiste
seorang mufassir, adib, ushuli, dan seterusnya. des Forces Populaires (USFP). Pada tahun 1975
Oleh sebab itu untuk membaca pikiran dia menjadi anggota biro politik USFP.
seorang faqih, kita juga harus mempunyai Disamping aktif dalam politik, al-Jâbirî juga
banyak bergerak di bidang pendidikan. Dari
9 Ibid.
Abbas Arfan, Fiqh Al-Siyâsah Al-Jâbiry...| 99

tahun 1964 dia telah mengajar filsafat di al-’Arabî. 12


Sekolah Menengah, dan secara aktif terlibat Adapun nama belakangnya (al-Jâbirî) -yang
dalam program pendidikan nasional. Pada lebih dikenal dan populer dari nama depannya
tahun 1966 dia bersama dengan Mustafa al- yang asli (Muhammad bin Âbid) itu setelah
Qomari dan Ahmed Sattati menerbitkan dua penulis telusuri dalam literatur kitab klasik
buku teks, pertama tentang pemikiran Islam yang membahas marga dan kabilah Arab
dan kedua mengenai filsafat, untuk mahasiswa ternyata ada beberapa kemungkinan terkait
S1.10 nama al-Jâbirî sebagaimana ulama Madinah
Al-Jâbirî telah menghasilkan berpuluh yang bernama Syaikh ’Ubayd bin ’Abdillah
karya tulis, baik yang berupa artikel koran, Ibn Sulaymân Al-Jâbirî (juga dikenal dengan
majâlah atau berbentuk buku. Topik yang nama al-Jâbirî).
selalu dicovernya juga bervariasi dari isu Mungkin nama al-Jâbirî adalah nama marga/
sosial dan politik hingga filsafat dan teologi. sukunya yang nisbat kepada Muhaddith besar yang
Karir intelektualnya seperti dimulai dengan bernama Muhammad Ibn al-Hasan al-Jâbirî13,
penerbitan buku Nahnu wa al-Turâth-nya,11 atau nisbat kepada Muhaddith Abu Muhammad;
disusul dua tahun kemudian dengan al- Abdulah Ibn Ja’far bin Ishaq bin Ali Ibn Jabir Ibn
Khitâb al-’Arabî al-Mu’âsir Dirâsah Naqdiyyah al-Haitham yang laqab al-Jâbirî diambil dari nama
Tahliyyah, kedua buku tersebut seperti sengaja kakeknya.14Atau mungkin al-Jâbirî adalah nisbat
dipersiapkan sedemikian rupa sebagai sebuah tempat di Yamamah-Yaman.15
pengantar kepada grand proyek inteletual
dalam bukunya ‘Naqd al-’Aql al-’Arabî (kritik Konsep Nalar Politik Arab al-Jâbirî
nalar/Nalar Arab). Buku ini bertujuan Konsep ini dikemukakan al-Jâbiri dalam
sebagai upaya untuk membongkar formasi bukunya yang ketiga dari silsilah kritik nalar
awal pemikiran Arab-Islam dan mempelajari Arab, yaitu al-’Aql al-Siyâsî al-’Arabî yang
langkah apa saja yang dapat diambil dari ditulisnya pada tahun 1990 sebagai kelanjutan
pemikiran Islam klasik tersebut. Untuk karya dari dua buku sebelumnya (Takwîn dan
ini telah menerbitkan Takwim al-’Aql al-’Arabî, Bunyah). Namun jika dua buku sebelumnya
Bunyah al-’Aql-’Arabî, al-A’ql al-Siyâsî-’Arabî, al- masih pada tataran kritik nalar yang lebih
’Aq al-Akhlâqî al-‘Arabiyyah, Dirâsah Tahliliyyah bersifat teoritis dan epistemologis, sedangkan
Naqdiyyah li Nuzûm al-Qiyâm fi al-Thaqâfah buku ini dan buku berikutnya (al-’Aql al-
al-‘Arabiyyah. Karya terpentingnya yang Akhlâqî al-’Arabî) sudah naik pada ranah nalar
termasuk al-Turâth wa al-Hadâthah, Ishkaliyyat praktis berupa gambaran aplikasi dari kedua
al Fikr al-’Arabî al-Mu’âsir, Tahafual al-thafut buku sebelumnya.
intisaran li ruh al-Ilmiyyah wa ta’sisan li Akhlâqîyat
Nalar politik Arab yang dimaksud al-
al-Hiwâr, Qadâyâ al-Fikr al-Mu’âsir Al’awlamah,
Jâbirî dalam bukunya al-‘Aql al-Siyâsî al-‘‘Arabî
Sira’ al-Hadarât, al-Wahdah ila al-Ahklâq,
tak lain adalah “motif-motif (muhaddidât)
al-Tasamuh, al-Dimaqratiyyah. al-Mashru’ al-
tindakan politik (cara menjalankan kekuasaan
Nahdawi al-’Arabî Muraja’ah naqdiyyah, al-Dîn
dalam sebuah masyarakat), serta manifestasi/
wa al Dawlah wa Tathbîq al-Shari’ah, Mas’alah
pengejawantahan (tajalliyât) teoritis dan
al-Hawwiyah, al-Muthaqqafun fi al-Hadârah al-
praktisnya yang bersifat sosiologis”. Disebut
’Atabiyyah Mihnab ibn Hambal wa Nukhbah Ibn
“nalar” (‘aql), karena motif-motif tindakan
Rushd, al-Tahmiyyah al-Basyaraiyyah di al-Wathan
12 Ibid.
10 Lexi Zulkarnaen Hikmah, “Al-Jabiri dan Kritik 13 Al-Qamus al-Muhith, juz 1, hlm. 461 dalam CD
Nalar Arab” http://kemonbaby.multiply.com/journal/ Program al-Maktabah al-Syamilah I.
item/5 (diakses, 18-10-2009) 14 Taj al-`Arus, juz 1, hlm. 2591 dalam CD Program
11 Sebenarnya sejak tahun 1971-1977 sudah terbit al-Maktabah al-Syamilah I.
empat judul buku, namun tidak populer seperti buku 15 Yaqut al-Hamawy, Mu`jam al-Buldan, (Baerut:
Nahnu wa al-Turath dan buku-buku berikutnya. Dar al-Fikr) juz 1, hlm. 90.
100 | De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 2 Nomor 1, Juni 2010, hlm. 95-108

politik dan manifestasinya tersebut, semua Quraysh terhadap ajaran Nabi Muhammad
tunduk dan dijalankan atas sebentuk logika saw, bukan hanya disebabkan oleh ajaran
internal yang mengorganisasi hubungan antar tauhid yang melarang penyembahan terhadap
pelbagai unsurnya. Logika ini pada akhirnya berhala an sich. Akan tetapi, disebabkan juga
berupa prinsip-prinsip yang dapat disifati bahwa berhala-berhala tersebut merupakan
dan dianalisis secara kongkrit. Dikatakan sumber penghasilan mereka dan sekaligus
sebagai “politik” (Siyâsî) karena tugasnya sebagai penunjang ekonomi masyarakat ketika
bukanlah mereproduksi pengetahuan, tapi itu. 17
menjalankan sebentuk kekuasaan; sebuah Untuk itu, al-Jâbirî menganalisis praktik
otoritas pemerintahan atau menjelaskan tata politik yang saling berkelidan tersebut pada
cara pelaksanaannya. Pada akhirnya, buku ini masa Islam awal. Di sini al-Jâbirî membagi
mengulas tentang “nalar realitas Arab” (‘Aql fase perkembangan Islam awal menjadi
al-Wâqi’ al-‘Arabî), bukan “nalar teoritik Arab” tiga fase; pertama, fase dakwah Muhammad,
sebagaimana dia ulas dalam buku sebelumnya. yang diwakili dengan masa di mana Nabi
Walhasil, bahasan buku ini mengacu pada memimpin jamaahnya pada periode Makkah
bagaimana mengungkap motif-motif dan menjalankan tugas sebagai kepala negara
penyelenggaraan politik dan bentuk-bentuk pada periode Madinah. Kedua, fase negara
manifestasinya dalam rentang sejarah panjang Islam yang established, yang diwakili pada masa
peradaban Arab-Islam sampai saat ini. Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Ketiga, fase
Al-Jâbirî melihat aktivitas politik Arab ledakan kekacauan (nation under riots), yang
mempunyai motif-motif (al-muhaddidât) dan diwakili pada masa timbulnya kerajaan politik
pengejawantahan (al-tajalliyât). Adapun motif- (al-mulk al-Siyâsî) yang membangkitkan
motif tersebut, Al-Jâbirî melihat tiga motif kembali kejahiliyahan dari kuburnya, kali
yang dominan dalam praktik politik Arab. ini dalam bentuk despotisme dan diktatorisme
Motif ideologis (al-’aqîdah), motif ikatan in- kerajaan monarki. Timbulnya kerajaan politik
group sedarah (al-qabîlah) dan motif materi ini (al-mulk al-Siyâsî) ini merupakan salah satu
(al-ghanîmah). Motiv pertama tidak diartikan bentuk pengejawantahan (al-tajalliyât) dari
sebagai akidah agama dalam pengertian yang Nalar Politik Arab, di samping timbulnya
lazim, melainkan “fenomena politis” yang mitos ke-imam-an yang dimunculkan oleh
terdapat dalam dakwah Nabi Muhammad saw. kaum Shiah. Selain itu, timbul pula Ideologi
dan peranannya dalam memberikan inspirasi kesultanan dan–apa yang disebut oleh al-
terhadap imajinasi sosial-politik kelompok Jâbirî sebagai–fiqh siyasah yang dimunculkan
muslim generasi pertama, di satu pihak, dan oleh Dînasti Abbasiyah. Ideologi kesultanan
reaksi balik yang disampaikan oleh lawan- diadopsi oleh Ibn al-Muqaffa’ dari tradisi
lawannya, yaitu kaum kafir Quraysh, di pihak kekaisaran Persia, sedangkan fiqh politik
lain. 16 merupakan kompilasi hukum “agama” yang
Sedangkan dengan motif kedua adalah mempunyai tendensi kuat untuk mensyahkan
peranan ikatan in-group di antara suku-suku kekuasaan junta militer (ashâb al-shaukah). Tak
Arab satu sama lain, baik yang bersifat positif perlu ditegaskan lagi, lanjut al-Jâbirî, bahwa
maupun negatif, dalam praktik politik Arab ideologi kesultanan inilah yang sampai sekarang
di masa awal. Ketiga, motif al-ghanîmah berarti mendominasi praktik politik Arab. Membuat
pengaruh kepentingan ekonomi dalam rakyat yang seharusnya memegang supremasi
pemihakan politik dan ideologis dalam sejarah kekuasaan, dikungkung oleh khurafât dan
Islam. Di sini al-Jâbirî meriwayatkan bahwa menyerah kepada takdir. 18
penolakan yang dilakukan oleh kaum kafir Analisis yang dikemukan al-Jâbirî di
atas adalah berangkat dari pendekatan
16 Al-Jâbirî, al-’Aqlal-`’Arabî al-Siyâsî, (Beirut :
Markaz Dirâsah al-Wihdah al-’Arabiyyah, 1995, cet. 17 Ibid., hlm. 99
III), hlm. 7 18 Ibid., hlm. 362
Abbas Arfan, Fiqh Al-Siyâsah Al-Jâbiry...| 101

fungsionalisme-struktural dalam ilmu sosiologi. kebutuhan atas objek yang dia kaji (masyarakat
Al-Jâbirî menggunakan beberapa perangkat Arab-Islam). Menurut Al-Jâbirî, Debray
konsep (al-jihâz al-mafâhîmî) yang terdiri dari menerapkan konsepnya dalam masayarakat
dua sumber. Pertama, dari pemikiran ilmu industrial Eropa, dimana hubungan sosial
sosial politik kontemporer19; dan kedua, dari seperti relasi keluarga dan etnik menempati
sumber-sumber tradisi Arab-Islam sendiri. posisi di belakang hubungan ekonomi: relasi
Dan dari dua sumber itu, ia mengkristalkan produksi. Sementara, dalam masyarakat Arab-
tiga konsep yang digunakan dalam bukunya Islam yang menjadi objek kajiannya, baik dulu
untuk menganalisa nalar politik Arab. maupun sekarang, kenyataannya berbalik
Pertama, konsep “bawah sadar politik” (al- sama sekali. Hubungan sosial yang bersifat
la shu’ûr al-Siyâsî) yang dia pinjam dari kajian kekeluargaan dan etnik tersebut, dalam
Regis Debray (seorang guru filsafat dan scolar kehidupan politik masyarakat Arab, masih saja
asal Perancis) yang menggunakan konsep menempati posisi yang esensial dan kentara.
tersebut untuk mengungkap bawah sadar Sementara, relasi produksi tidak mendominasi
politik masyarakat Barat.20 Namun Al-Jâbirî masyarakat kecuali sebagian saja. Namun ia
tidak mengadopsi konsep Debray secara bulat- mengambil posisi yang berbeda dari Debray
bulat. Dia coba “menyimpangkannya” sebatas yang berusaha mengungkap “apa yang bersifat
keluarga dan agama dalam dunia politik Eropa
19 Dan al-Jabirî sadar betul bahwa konsep-konsep kontemporer”, konsep bawah sadar politik
yang dipinjam dari ilmu sosial-politik kontemporer digunakan Al-Jâbirî untuk mengungkap “apa
yang notabene bersumber dari Barat punya keunikan-
yang politis dalam perilaku atau tindak tanduk
keunikan tersendiri yang tidak mungkin diterapkan
secara semena-mena ketika mengkaji objek kajian yang agama dan keluarga dalam masyarakat Arab
berbeda (masyarakat Arab-Islam). Dia sedari awal tahu, dan Islam”. Ini dia anggap penting, sebab
upaya mengungkap nalar politik mayarakat prakapitalis, kehidupan politik dalam objek kajiannya,
negara peradaban Timur lama, masyarakat Arab dalam pertama-tama dijalankan berdasarkan
Abad Pertengahan dan Modern, yang biasa disebut
pertimbangan agama dan kesukuan; demikian
“Dunia Ketiga” akan berbeda sekali dengan penelitian
atas mayarakat kapitalis yang sudah maju pesat, maka arus utamanya masih berlaku sampai detik ini.
ia melakukan beberapa polesan pada konsep-konsep Maka dari itu, Al-Jâbirî menyimpulkan bahwa
yang dipinjamnya itu. “bawah sadar politik yang menjadi pembentuk
20 Dalam konsep bawah sadar politk Debray, nalar politik Arab, tidak harus dicarikan dari
fenomena politik tidak dibentuk oleh kesadaran
tindakan-tindakan yang agamis dan sukuis.”
manusia; gagasan-gagasan ataupun obsesi-obsesi
mereka. Dia juga tidak dibentuk oleh apa yang Lebih penting dari itu al-Jâbirî berupaya
melandasi kesadaran itu sendiri, seperti relasi sosial mengungkap sisi politik yang menjadi
ataupun kepentingan kelas. Tapi, penggerak utama lokomotif penggerak sektarianisme agama dan
dari sebuah fenomena politik adalah apa yang disebut fanatisme kelompok dalam objek kajiannya.
bawah sadar politik. Konsep bawah sadar politik ibarat
Jadi, kalau Debray membuat urut-urutannya
struktur yang terdiri dari relasi-relasi materi bersifat
kolektif yang memainkan peran bersifat koersif atas kajiannya dari “yang politik” menuju “yang
kesadaran individu-individu dan tidak dapat dibendung; ideologi” untuk sampai pada “yang agama”,
sebentuk pola hubungan pada masyarakat suku dan maka Al-Jâbirî membaliknya dengan hasil yang
beberapa pola hubungan sekterian yang sempit. bertolak belakang sama sekali. Di Masyarakat
Struktur hubungan yang terbentuk dari relasi yang tidak
Arab, kata Al-Jabiri, “yang sosiologis” itulah
disadari ini akan selalu hidup, sekalipun suprastruktur
masyarakat sudah mengalami perubahan sebagai justu yang membentuk “yang politik”; yang
bentuk respons atas perkembangan infrastruktur politik kemudian membentuk ideologi, dan
dalam masyarakat tersebut. Intinya, bentuk solidaritas ideologi lantas membentuk pola keagamaan.
kelompok dan fanatisme etnik, dan obsesi mereka Sebab, dalam konteks masyarakat Arab, apa
untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan dan
yang dipermukaan dianggap sebagai gejala
kepentingan-kepentingan akan selalu eksis baik secara
laten maupun manifes dalam sebuah kelompok, baik sektarianisme agama, bukanlah merupakan
dalam masyarakat feodal, kapitalis ataupun sosialis. pilihan politik. Makanya, bawah sadar politik
102 | De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 2 Nomor 1, Juni 2010, hlm. 95-108

masyarakat Arab tidak selamanya dibentuk atau di kalangan komunitas masyarakat


oleh agama sebagaiamana Eropa, tapi justru yang terorganisasi. Sebagai sebuah imajinasi
sebaliknya: sektarianisme agama yang menjadi kolektif, yang menjadi objek analisis bagi nalar
topeng dan menyembunyikan bawah sadar politik adalah “soal keyakinan” (tidak peduli
politik. Maka dari itu, dalam kajiannya ini, keyakinan itu benar atau salah, karena yang
Al-Jâbirî berusaha mencari apa yang berada penting darinya hanya efektivitasnya untuk
dalam bawah sadar politik masyarakat Arab- memobilisasi emosi massa, misalnya).23
Islam.21 Ketiga, konsep “domain politik” (al-
Kedua, konsep imajinasi sosial (al-mikhyâl majâl al-Siyâsî). Di sini, Al-Jâbirî kembali
al-ijtimâ‘î) untuk mengkaji bawah sadar politik membedakan antara domain politik dalam
Arab-Islam. Konsep ini merupakan referensi masyarakat Eropa dengan domain politik
utama bagi nalar politik Arab. Imajinasi dalam masyarakat Islam. Dia mencermati,
sosial-lah yang memberikan kerangka bagi bahwa dalam masyarakat Eropa, domain
alam bawah sadar politik Arab-Islam, dan politik tumbuh dan sangat kuat relasinya
menjelma menjadi semacam tanah air (mautin) dengan berdirinya sistem kapitalis. Salah satu
bagi jiwa atau sanubari tiap-tiap kelompok. karakteristik sistem kapitalisme antara lain,
Istilah imajinasi sosial ini juga dia pinjam dari diferensiasi dua hal dalam masyarakatnya
ilmu sosial kontemporer. Jelasnya, makna yang sangat jelas: infrastruktur atau landasan
imajinasi sosial adalah “sekumpulan imajinasi ekonomi (tulang pungungnya adalah
yang memenuhi kepala bangsa Arab, baik insdustri), dan suprastruktur berupa perangkat
dalam bentuk peristiwa-peristiwa, kisah negara, institusi, dan ideologi yang menjadi
kepahlawanan, ataupun pelbagai kegetiran landasannya. Sementara, masyarakat yang
yang mereka hadapi. Sekumpulan imajinasi belum sampai pada fase kapitalisme (murni),
itu dipersonifikasikan dalam sosok-sosok seperti masyarakat Arab dan umumnya Dunia
legendaris masa lampau Arab, seperti al- Ketiga, perbedaan yang esensial antara dua
Shanfarî, Imru’ul Qays, ‘Amr Ibn Maktûm, struktur itu tidak begitu kentara. Bahkan,
Hâtim Aththai’, tragedi keluarga Amr Ibn biasanya kedua struktur itu saling tumpang-
Yâsir, Umar Ibn Khaththâb, Khâlid Ibn tindih (tadâkhul) bahkan seperti sebuah
Walid, Umar Ibn Abd. al-Azîz, Hârûn al- struktur yang menyatu. Maka dari itu, sudah
Rashîd, Kisah 1001 Malam, S}alâh alDîn al- menjadi konsensus dalam ilmu sosial, bahwa
Ayyûbi, wali-wali yang saleh, dan lain-lain. masyarakat prakapitalis mempunyai spesifikasi
Khusus untuk imajinasi Shi’ah, tersebutlah tertentu.24
nama-nama sosok keluarga Ali sebagai titik Dua konsep yang sudah diulas tadi (bawah
sentralnya.22 sadar politik dan imajinasi sosial), kemudian
Dari konsep tentang imajinasi sosial ini, dijadikan al-Jâbirî sebagai konsep prosedural
Al-Jâbirî hendak menegaskan bahwa nalar yang menghubungkan nalar politik Arab-
politik Arab sebagai sebuah praksis dan Islam dengan motif-motif (muhaddidât) dan
ideologi, sebagai sebuah fenomena yang bagaimana manifestasinya (tajalliyât) dalam
kolektif, akan diketemukan referensinya dari kenyataan. Motif-motif dan manifestasi politik
“imajinasi sosial” masyarakat itu sendiri, ini, dalam pandangan al-Jâbirî merupakan
bukan dari struktur ilmu mereka. Maka dari sisi psikologis sekaligus sosiologis (jânib nafsî
itu, dia mendefenisikan konsep “imajinasi ijtimâ‘î), unsur yang individual dan kolektif
sosial” sebagai “sejumlah pandangan, simbol- (al- ‘unsûr al-dhâtî wa al-jamâ‘î) dari fenomena
simbol, dilâlah, norma-norma dan nilai-nilai politik Arab.
yang memasok struktur bawah sadar politik
Al-Jâbirî pun mengembangkan sumber
masyarakat Arab dalam fase sejarah tertentu
21 Al-Jâbirî, al-’Aql..., hlm. 11-15 23 Ibid., hlm. 16
22 Ibid., hlm. 15-16 24 Ibid., hlm. 17
Abbas Arfan, Fiqh Al-Siyâsah Al-Jâbiry...| 103

konsep turâth Islam yang diambil dari Pro dan Kontra Konsep al-Jâbirî
Ibnu Khaldûn. Di mana terdapat tiga kunci Yang telah dilontarkan al-Jâbirî dalam karya-
penjelasan mendasar yang digunakan Ibn karyanya itu cukup mendapatkan tangggapan
Khaldûn dalam menganalisis sejarah Arab- dari dunia Islam, baik yang mendukung atau
Islam, yaitu konsep fakor fanatisme kelompok sebaliknya. Karena sudah menjadi sunnatullah
(al-‘as}abiyyah al-qabîliyyah) dan dakwah ketika sebuah pemikiran dilontarkan ke ruang
keagamaan (al-da‘wah al-dîniyyah), dan faktor publik, maka sangat wajar apabila terjadi pro
ekonomi. Maka Berangkat dari tiga kunci dan kontra. Demikian pula dengan pemikiran
yang sempat dikemukakan Ibn Khaldûn itu, al-Jâbirî mengenai Kritik Nalar Arab-nya.
al-Jâbirî kembali menggunakannya dalam Ada beberapa kajian yang telah dilaksanakan
tema yang agak berbeda, demi menjelaskan terhadap pemikiran al-Jâbirî, baik yang berupa
nalar politik Arab-Islam. Dia menggubah buku atau artikel. Ibrahim M. Abû Rabî’
tiga konsep tersebut dengan istilah yang lebih misalnya memasukan al-Jâbirî sebagai salah
fungsional dan akrab di telinga dan tradisi seorang panggagas kerangka intelektual bagi
masyarakat Islam. Konsep Ibn Khaldûn kebangkitan Islam di dunia modern sejajar
tentang peranan dakwah keagamaan (al-da’wah dengan tokoh-tokoh seperti Sayyid Qut}b,
al-dîniyyah) dia ubah menjadi kategori akidah Hasan al-Banna, Hichem Djait, Hasan Hanafî
(al-‘aqîdah), solidaritas kesukuan (al-‘as}hâbiyyah dan lain-lain. Sedangkan Armando Salvatore
al-qabîliyyah) dia singkat menjadi kategori mencoba melihat sosok al-Jâbirî dibanDîngkan
kabilah (al-qabîlah atau suku), sementara dengan Hasan Hanafî berkenaan dengan
untuk menjelaskan sistem ekonomi yang wacana otentisitas (al-As}alah) dan tradisi
disebut Ibn Khaldûn “tidak wajar” tadi, dia (al-Turâth). Adapun di Indonesia, Ahmad
menggunakan nomenklatur fiqh Islam, yaitu Baso merupakan orang yang paling banyak
kategori ghanîmah, harta rampasan perang (al- bersemangat memperkenalkan pemikiran-
ghanîmah). pemikiran al-Jâbirî, baik dalam bentuk tulisan
Untuk hal tersebut, akhir tulisannya Al- ataupun terjemahan.26
Jâbirî menawarkan tiga konsep sebagai Tetapi ternyata di dunia Arab sendiri,
jalan keluar bagi Nalar Politik Arab, dengan kebasahan pemikiran Al-Jâbirî telah begitu
bertolak pada fase dakwah Muhammad yang banyak dipertanyakan. Banyak buku dan
menurutnya sebagai prototipe ideal: artikel yang telah ditulis mengkritisi kajian
a. Mengubah masyarakat suku menjadi epistemologi Al-Jâbirî, diantaranya Naz}ariyyah
masyarakat madani yang multipartai, al-‘Aql rangkain dari projek Naqd Naqd al-‘Aql
mempunyai asosiasi-asosiasi profesi, al-‘Arabî (1999, cetakan kedua) oleh George
organisasi-organisasi independen dan Tarâbisî, Naqd al-‘Aql al-‘Arabî fi al-Mizân
lembaga konstitusi. (1997) oleh Yahyâ Muhammad, Min al-Istishrâq
b. Mengubah ekonomi al-ghanîmah yang al-Gharbî ila al-Istighrâb al-Maghribî oleh Tayyib
bersifat konsumerisme dengan sistem Tizinî, Tajdîd al-Manhâj fi Taqwîm al-Turâth
ekonomi produksi. Serta membangun oleh filosof Maroko Taha ‘Abdurrahman,
kerjasama dengan ekonomi antarnegara dan Hal Hunâka ‘Aql ‘Arabî oleh Hishâm
Arab untuk memperkuat independensi. Ghâsib. Dari semua buku tersebut ada satu
hal yang hampir selalu dipertanyakan kepada
c. Mengubah sistem ideologi (al-aqîdah)
Al-Jâbirî yaitu integritas dan kejujurannya
fanatis dan tertutup dengan pemikiran
sebagai seorang intellektual. Al-Jâbirî, dalam
inklusif yang bebas dalam mencari pandangan mereka, sering tidak jujur ketika
kebenaran. Serta membebaskan diri dari membuat kutipan dari tulisan-tulisan pemikir
Nalar sektarian dan dogmatis, digantikan
dengan Nalar berijtihad dan kritis.25 26 Al-Jâbirî, Agama Negara dan Penerapan Syari’ah,
terjh. Mujiburrahman (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,
25 Ibid., hlm. 374 cet. I, 2001) dalam “pengantar penerjemah”, hlm. Vi.
104 | De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 2 Nomor 1, Juni 2010, hlm. 95-108

terdahulu. Dia cendrung bersikap selektif, mengatakan bahwa Al-Jâbirî bukanlah orang
memilah dan memilih apa yang hanya sesuai pertama yang mengasaskan proyek Kritik
dengan tujuannya, dan tentu saja ideologinya. Akal Arab ini. Tarabisi kemudian merujuk
Al-Jâbirî, dalam berbagai tulisannya, menuduh tulisan Zaki Najib Mahmud yang berjudul
dunia Arab Timur yang direpresentasikan al-‘Aql al-’Arabî Yatadahwar di majâlah Ruz al-
oleh Ibn Sina, Ghazâlî, dan Shî‘ah dengan Yusuf tahun 1977. Setelah melakukan kajian
espitemologi Bayânî dan ‘irfâni-nya sebagai yang mendalam dengan memakan waktu
sumber keruntuhan tradisi intelektual hampir delapan tahun, Tarabisî sampai kepada
Islam. Dia selanjutnya mengagungkan dan kesimpulan bahwa ide al-Jâbirî tidak orisinil
mengidolakan tokoh-tokoh dunia Maghribi dan bahkan secara implisit Tarabisî menyebut
seperti Ibn Rushd, Ibn Tufayl, Ibn Bajah, Ibn al-Jâbirî telah melakukan plagiat, karena tidak
Khaldûn, yang berpijak pada epistemologi menyebutkan sumber rujukan ide-idenya,
burhânî. 27 meskipun secara jelas ide itu berasal dari orang
Berdasarkan fakta ini maka tak salah lain. Al-Jâbirî, kata Tarabisî, sering memplintir
kirannya para kritikus pandangan al-Jâbirî tulisan orang lain -secara sadar atau tidak-
menilai kajian al-Jâbirî sangat berdimensi sesuai dengan keinginannya. Sebagai contoh
ideologis dan bertendensius politik. Jadi, al- adalah teori teori al-‘Aql al-mukawwan dan
Jâbirî adalah seorang ideologi, yang telah al-‘Aql al-mukawwin yang diambilnya dari A.
memiliki pola berpikir dan ideologi tertentu, Laland. Al-Jâbirî salah, baik menerjemahkan
yang kemudian dia gunakan untuk menelaah maupun mengaplikasikan teori ini. Itulah
tradisi Islam. Jika ia menuduh sejumlah Imam sebabnya Tarabisî menyebut al-Jâbirî sendiri
besar seperti al-Ghazâlî, terkooptasi dan tidak pernah membaca buku Laland. (bila
terpengaruh oleh kekuasaan ketika itu, maka ia shakkin annahu lam yattali’ ‘ala al-kitâb ashlan),
sendiri pun terbukti terkooptasi oleh ideologi maksudnya La raison et les Normes, karya
tertentu. Jadi, tuduhannya sendiri belum Laland yang merupakan rujukan pokoknya di
tentu benar, namun dirinya sudah menjadi Takwîn al-‘Aql al-’Arabî.29
bukti adanya kooptasi ideologis.28Namun Buku Abdurrahman, Tajdîd al-Manhâj secara
hemat penulis, tuduhan yang dialamatkan al- spesifik menohok bangunan epistemologi
Jabirî sebagaimana di atas terlalu berlebihan, dan metodologi yang digunakan Al-Jâbirî
karena siapa pun penulisnya sulit kiranya mengkritisi turâth. Abdurrahman mengatakan
akan keluar dari jeratan ideologis dan politis, bahwa Al-Jâbirî sendiri tidak memahami
begitu juga mungkin al-Jabiri, hanya saja al- dengan baik methodologi yang dia gunakan.
Jabirî berusaha melakukan kritik membangun Menurut Abdurrahman kekurangpahaman
dengan menawarkan sebuah terobosan yang Al-Jâbirî inilah pada akhirnya membawanya
layak untuk dipertimbangkan Islam pada abad terjatuh kepada sikap inkosisten. Seperti yang
modern ini. diungkapkan diatas bahwa Al-Jâbirî mengajak
Kritikan lebih tajam dilakukan oleh Tarabisî, untuk membaca turâth secara komprehensif,
penulis buku Naqd Naqd al-‘Aql al-’Arabî, tapi pada prakteknya dia telah melakukan
yang hampir seluruh isinya mempreteli dan kajian sangat parsial. Ini terbukti dengan
“menelanjangi” orisinalitas Al-Jâbirî. Dibagian penggalan epistemologi yang dibuatnya
pertama saja Tarabisî dengan terang-terangan sendiri dimana setiap konstruk epistemologi
itu berdiri sendiri dan menghasilkan ilmu
27 Adian Husaini dan Nirwan Syafrin, spesipik pula.
“Hermeneutika Pemikir Kontemporer: Kasus Nasr
Hamid Abu Zaid Dan Mohammad Abid al-Jabiri,”
Epistemologi Bayânî, misalnya, telah
(diakses tanggal 20 Oktober 2009) dari http:// menghasilkan fiqh, Us}ûl fiqh, tafsir, dan
pondokshabran.org/index.php?option=com_content kalam, sementara Irfani melahirkan tasawwuf,
&task=view&id=32&Itemid=1
28 Ibid. 29 Ibid.
Abbas Arfan, Fiqh Al-Siyâsah Al-Jâbiry...| 105

dan burhânî menelurkan filsafat. Bukankah yang sama dari kelompok Sunni dan hanya
dengan demikian Al-Jâbirî telah bersikap memilih buku yang punya kecenderungan
parsial (tajzi’iyyah), padahal dia sendiri percaya salafi Ashariyyah seperti Maqâlat Islamiyyin-nya
bahwa Fiqh, Ushûl al-Fiqh, Tafsîr, Nahw, Imam al-Ash’arî, al-Farq Bayn firaq-nya Abd al-
Balâghah adalah merupakan satu kesatuan Qahar, Mihâya al Aqdam-nya Shahrastanî, al-
yang tak terpisahkan sebagaimana ia tulis dalam Masâil fi al Khilâf bayn al Bashriyyin wa al
Bunyah-nya. Artinya bahwa seorang ahli fiqh Baqdadiyin-nya Ibn Rusyd Naysaburî dan al-
itu bisa berpikir dalam kerangka bayânî, irfani, Fatâwâ-nya Ibn Taymiyyah. 31
dan burhânî. Seorang Ghazâlî adalah pemikir
yang menggunakan epistemologi Bayânî, Analisis
Irfani dan Burhânî sekaligus. Kenyataan Yang dilakukan al-Jâbirî dengan mencoba
ini berlawanan dengan pernyataannya yang membuat jembatan penghubung antara
mengkategorikan pemikiran Ghazâlî kepada realitas tradisi Arab dengan modernitas yang
bentuk Bayânî dan Irfani, dan tidak Burhânî dialami Barat adalah merupakan salah satu
sama sekali. jawaban dari kegelisahan Islam atas kesulitan
Kemudian kesalahan fatal lain yang banyak menghubungkan antara al-nash (teks) dan al-
disinyalir olah para pengkritisi adalah sikap wâqi’ (empiris). Karena nash dan pemahaman
selektif al-Jâbirî dalam membuat kutipan. Ia atasnya yang dilakukan ulama salaf adalah
cenderung memlilih perkataan dan pendapat turâth atau tradisi yang juga dimaksud oleh
orang lain yang hanya sesuai dengan tujuan al-Jâbirî. Dan Ibn Taymiyyah32 (1262-1328
dan ideologinya demi untuk mempertahankan M.), pernah berkata bahwa hakekat atau
pandangannya, meskipun dalam pendapat kebenaran itu terletak pada wilayah empiris
tersebut tidak sesuai dengan konteks yang bukan pada wilayah idealitas (al-haqîqah
diinginkan. Sebagai contoh, menurut Tizini fi al-a’yân la fi al-azhân).33 Ungkapan Ibn
dalam sebuah seminar yang dihadirinya di Taymiyyah ini sebetulnya merupakan kritik
Tunis pada tahun 1982, Al-Jâbirî pernah terhadap arus pemikiran Islam pada waktu
mengungkapkan bahwa pikiran al-fikr dan itu yang mengalami kemacetan, post Imam
akal Arab adalah bayânî. Untuk memperkuat Mazhab. Kemacetan itu terutama disebabkan
argumennya dia telah menyebutkan al- budaya kritik epistemologis yang tidak tumbuh
jâhidh dalam kitab al-bayân wa al-tahyin sebagai secara wajar dan tidak dikembangkan dengan
contoh, kata Tizini dalam hal ini Al-Jâbirî baik dan maksimal dalam budaya muslim.
telah melaksanakan dua kesalahan. Pertama Akibatnya, terjadi apa yang oleh Arkoun
generelasi yang dilakukan atas pemikiran Arab disebut taqdis al-afkar al-Dîniyah (pensakralan
dengan hanya mengambil satu contoh yaitu al- atau pensucian buah pikiran keagamaan34).
jâhidh, kedua sample yang digunakannya yaitu al- 31 Ibid.
jâhidh, tidak dapat mewakili keseluruhan 32 Ialah, Abu al-Abbas-Ahmad bin Abd, Halim
bangunan akal Arab.30 bin Abd. Salam al-Harrani. Seorang ulama terkenal
Contoh lain adalah yang diungkapkan dan tokoh pembaharu di masanya. Hasil karyanya
cukup banyak, diantaranya : Minhâj al-Sunnah, al-Fatâwâ,
oleh Nur al-dîn al-daghir dalam usahanya Majmu’ah al-Rasâ’il, dan lain-lain, wafat 728 H.
untuk membuktikan dan mempertahankan 33 Pertanyaan yang muncul kemudian atas persepsi
rasionalitas mazhab Arab Maghribi, di Ibn Taimiyah adalah: Bagaimana menjembatani
mana ia menjadi bagian dari padanya, dan “idealitas teks” yang sifatnya tetap (eternal), dengan “realitas
selanjutnya membuktikan keterpengaruhan empiris” yang selalu berubah dan dinamis?
34 Bentuk kesakralan teks-teks kitab Fiqh Klasik
Shiah dengan pemikiran asing, ia hanya misalnya, yang oleh sebagian umat Islam Indonesia
merujuk kepada empat buku teks Shiah (baik kalangan awam atau pelajar, bahkan juga sebagian
saja. Sementara untuk membuktikan hal ulama kususnya dari komunitas Nahdiyyin) dianggapp
sakral dan harga mati yang tidak boleh ditawar-tawar.
30 Ibid. Sehingga dapat kita lihat dari cara menetapkan suatu
106 | De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 2 Nomor 1, Juni 2010, hlm. 95-108

Pemikiran keagamaan (baik aspek fiqh, (al-qarâbah), dan peranan dakwah keagamaan
mistisisme, teologi, dan lain-lain) menjadi dalam formasi sebuah negara dan kekuasaan.
taken for granted; tidak boleh “disentuh”, Maka dari itu, rujukan teoritis al-Jâbirî dalam
meskipun terjadi paradoks anatara teks dan kajiannya ini diperkaya oleh Ibn Khaldûn
relitas empiris.35 yang dapat diabsahkan dan sangat relevan,
Adapun proses adopsi konsep dan khususnya ketika memperhatikan realitas
“penyimpangan-penyimpangan” yang sosial politik yang berlangsung di negara
dilakukan secara sengaja oleh al-Jâbirî Arab dan Islam. Problem-problem Arab dan
tersebut di atas, yang dia ingin hanyalah Islam kontemporer, seperti soal kekerabatan,
agar dia dapat mendekati objek kajiannya etnisitas, dan fundamentalisme keagamaan,
sebagai seorang mujtahid, bukan sebagai yang muncul kembali ke permukaan, seakan
pembebek (muqallid). Konsep-konsep yang memberi legitimasi untuk kembali merujuk
dia pinjam tadi, dia gunakan tak lain hanya kepada Ibn Khaldûn. Juga bermodal
untuk lebih mendekatkan diri, mencerdaskan jargon Marx, “analisis atas masa kini akan
dan menghidupkan tradisi permikiran sosial menyuguhkan kunci-kunci (penjelasan) masa
Islam yang sudah pernah dirintis oleh Ibn silam” (tahlîl al-hâdhir yuqaddim lanâ mafâtîh al-
Khaldûn, khususnya dalam kajiannya tentang mâdhi), al-Jâbirî menganalisis masa kini Arab-
ilmu peradaban manusia (ilmu al-‘umrân al- Islam, untuk kembali menghadirkan beberapa
basharî) telah berjasa mengungkap beberapa kunci penjelasan masa silam Islam, kalau
motif-motif di balik nalar politik sebuah bukan kunci dasarnya (al-mafâtîh al-ra’isiyyah),
peradaban manusia, tak terkecuali peradaban berdasarkan apa yang pernah dikemukakan
Islam. Hal itu paling tidak tergambar dari Ibn Khaldûn secara kurang teoritis. Minimal,
penegasannya tentang pentingnya perananan terdapat tiga kunci penjelasan mendasar yang
fanatisme (al-‘ashhâbiyyah), faktor kekerabatan digunakan Ibn Khaldûn dalam menganalisis
sejarah Arab-Islam, yaitu konsep fanatisme
masalah hukum dalamBahtsul Masail NU selalu
kelompok (al-‘ashâbiyyah al-qabîliyyah) dan
merujuk kepada teks-teks kitab Fiqh tersebut dan
enggan mengembalikan langsung kepada sumber- dakwah keagamaan (al-da’wah al-dîniyyah),
sumber Hukum Islam (terutama Qur’an-Hadîth), sangat eksplisit digunakan oleh penjelasan-
walaupun terkesan dipaksakan dengan qiyas kepada penjelasan Ibn Khaldûn tentang sejarah
bunyi teks kitab-kitab Fiqh Klasik itu. Padahal masalah masyarakat Arab-Islam. Sementara kunci
yang sedang dibahas tergolong kontemporer yang tidak
ketiga, yaitu fakor ekonomi, yang pada masa
mungkin akan didapati jawabannya secara tegas dalam
teks-teks itu, karena zaman antara penulis kitab-kitab Ibn Khaldûn belum hadir sebagai faktor
Fiqh itu dengan kita terlampau jauh, belum lagi sosio penjelas yang berdiri sendiri (apalagi dalam
kultur dan geografis yang jauh berbeda. Hal itu saya masyarakat prakapitalis), dan juga belum
rasakan sendiri saat mengikuti jalannya acara Bahtsul dianggap sebagai faktor determinan dalam
Masail (ketika masih nyantri) dan saat terlibat secara
penjelasan hubungan dalam masyarakat,
langsung dalam Forum atau Lajnah Bahtsul Masail NU
cabang Malang; Ketika saya berusaha mengemukakan sayup-sayup juga sudah dikemukakan oleh
dalil dari Qur’an-Hadîth dengan penafsiran Ibn Khaldûn. Al-Jâbirî kemudian mengangkat
kontemporer plus beberapa Kaidah Fiqhiyah untuk faktor ekonomi itu menjadi faktor penjelas
melandasi jawaban sebuah masalah kontemporer yang dalam analisisnya tentang nalar politik Arab
sedang dibahas saat itu. Lantas beberapa orang dari
dalam bukunya ini. Bagi Al-Jâbirî, secara
anggota Lajnah meminta saya untuk mendatangkan
teks-teks kitabnya: “mana ibarat teksnya ?” Dan implisit Ibn Khaldûn telah menyebut “cara
juga ketika saya menukil pendapat ulama moderat- produksi yang khas dalam masyarakat Arab”;
kontemporer seperti Muhammad Abduh, mereka sistem perekonomian yang bergantung
sebagian besar anggota menolaknya dan berkomentar pada suasana peperangan, atau dengan
:”Itukan tokoh dan rujukannya Muhammadiyah !”
cara menabung surplus produksi melalui
35 Sumanto al-Qurtuby, K.H. MA. Sahal Mahfudh;
Era Baru Fiqh Indonesia, Cermin, Yogyakarta, cet.I, kekuasaan: kekuatan pemimpin, kepala suku,
1999, hlm. 53. atau negara. Sistem ekonomi seperti inilah
Abbas Arfan, Fiqh Al-Siyâsah Al-Jâbiry...| 107

yang disebut Ibn Khaldûn sebagai sumber pada buku al-Dîn wa al-Dawlah itu. Oleh
mata pencarian (ekonomi) yang tidak wajar karena itu, hemat penulis membaca buku
(madhhab fi al- ma‘âsh ghair al-thabî‘î). al-‘Aql al-Siyâsî al-’Arabî tanpa membaca al-
Paparan al-Jâbirî yang cukup mendetil Dîn wa al-Dawlah wa Tat}bîq al-Sharî‘ah adalah
tentang nalar politik Islam dalam bukunya bagai memasak tanpa garam atau bagai orang
di atas merupakan upaya pembacaan ke berlari lomba maraton yang tanpa diketahui di
belakang atas bentuk nalar politik yang mana finishnya.
telah begitu build-in dalam pemikiran politik Penutup dan Saran
Islam dengan menggunakan tiga kata kunci: Upaya pembacaan ulang terhadap turâth
akidah, kabilah dan ghanîmah. Bagi al-Jâbirî, (tradisi) Islam (I’âdah qirâ’ah al-turâth) yang
pembacaan ulang itu perlu dilakukan sebagai telah dilakukan beberapa tokoh pembaharauan
bagian dari pelacakan mendasar (ta’shîl al- Islam seperti al-Jâbirî adalah sebuah niat baik
Ushûl) atas fenomena historis Islam sebagai agar Islam dapat berjalan sesuai dengan
bagian yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan zaman. Namun amat disesalkan
perkembangan pemikiran Islam saat ini. penulis, sebagian dari mereka menyatakan
Karangannya ini merupakan bagian dari bahwa ijtihad para ulama masa dahulu sudah
kerangka permulaan untuk berpikir (isti’nâf outdated, tidak relevan lagi untuk saat sekarang
al-nazar), yang perlu ditindak lanjuti pada level ini dan gagal untuk memberikan respon dan
perbincangan yang lebih lanjut. Hanya saja, jawaban jitu terhadap permasalahan ummat
proses rekonstruksi pemikiran politik dalam manusia hari ini. Walau memang tidak salah,
Islam tidak bisa tidak harus bermula dari ketika mereka menilai bahwa ijtihad ulama
pelacakan paling mendasar (ta’shîl al-ushûl) terdahulu banyak dipengaruhi oleh setting
atas beberapa sampel yang menjadi anutan sosial dan politik saat itu. Bahkan tidak sedikit
dalam sejarah Islam. Karena bagi al-Jâbirî, di antara mereka, seperti Arkoun, Al-Jâbirî,
sebenarnya perbincangan tentang nalar politik Adonis dan Nasr Hâmid dengan terang-
Islam belum bermula. Buku yang ia karang terangan menuduh pikiran ulama terdahulu
ini, tak lain merupakan bagian dari aktualisasi itu telah terkontaminasi kepentingan politik
(tadshîn) sebentuk perbincangan tentang nalar dan ideologi penguasa. Oleh sebab itu,
politik Islam di antara bentuk-bentuk lain menurut mereka, sudah saatnya umat Islam
yang mungkin akan dikemukakannya dalam mendekonstruksinya dan membangun sebuah
karya-karya berikutnya. sistem berpikir baru yang sesuai dengan
Terbukti dengan lahir karyanya yang keperluan umat hari ini. Dengan sistem
berjudul al-Dîn wa al-Dawlah wa Tathbîq al- berpikir baru inilah nantinya dapat dilakukan
Sharî‘ah pada tahun 1996 yang berarti lebih interpretasi ulang terhadap nash-nash al-
kurang 6 tahun dari terbitnya al-‘Aql al-Siyâsî Qur’ân dan Hadîth Nabi Muhammad saw.
al-’Arabî (1990). Yang buku itu memberi Dan hemat penulis, tidak bijaksana jika
kesimpulan bahwa sesungguhnya bentuk kita menaiki sebuah tangga untuk menuju
negara dalam Islam bukanlah termasuk hal- tempat tujuan, lantas kita memotong dan
hal yang diatur oleh Islam, tetapi masalah membuang anak tangga yang sudah kita
yang diserahkan kepada kaum muslimin memanfaatkannya, bahkan itu sebuah
untuk berijtihad sesuai dengan pertimbangan tindakan bodoh dan tidak tahu balas budi.
manfaat dan kemaslahatan serta berbagai Maka, bukankah turâth Islam adalah bagian
standar yang ada pada setiap zaman. Dan dari anak tangga yang telah mengantarkan kita
untuk zaman ini, sepertinya demokrasi adalah sampai tujuan sekarang ini. Lalu untuk apa
pilihan terbaik. Lalu jika kita menggunakan menghujat dan menyalahkan ijtihad ulama-
Negara demokrasi, bagaimana dengan ulama Islam klasik? Memang kritik boleh kita
penerapan Sharî‘ah?. Maka jawabannya ada lakukan namun harus beretika dan tahu balas
108 | De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 2 Nomor 1, Juni 2010, hlm. 95-108

budi. Dan selama masih mungkin rekontruksi php?option=com_content&task=view


mengapa harus memaksakan tenaga dan &id=32&Itemid=1 (diakses tanggal 20
fikiran untuk dekontruksi? Oktober 2009)
Oleh karena seorang muslim yang bijak tidak Hikmah, Lexi Zulkarnaen, “Al-Jabiri dan
perlu apriori dengan pemikiran kontemporer Kritik Nalar Arab” http://kemonbaby.
hanya karena ia kontemporer. Begitu juga multiply.com/journal/item/5 (diakses,
sebaliknya, tidak seharusnya menolak tradisi 18-10-2009)
Islam klasik hanya semata-mata karena Misraw, Zuhairi, “Muhammad ‘Âbid Al-Jabiri:
keklasikannya. Yang perlu dikembangkan Pentingnya Aktualisasi Tradisi Sebagai
ialah sikap kritis terhadap keduanya. Tentu, Bentuk Kodifikasi Baru,” dari http://
dengan mengukur kemampuan diri. Ide- www.islamemansipatoris.com/cetak-
ide sekular Barat perlu ditolak bukan karena artikel.php?id=148 (diakses tanggal 12
ia Barat, tapi karena ada perbedaan secara Oktober 2009)
prinsipal dengan world-view Islam. Begitu Syah, Muhammad Aunul Abied dan Sulaiman
juga saat membaca ide Arkoun, al-Jâbirî, Nasr Mappiase. 2001. “Kritik Akal Arab:
Hâmid dan seterusnya, sikap kritis tetap perlu Pendekatan Epistemologis Terhadap Trilogi
dilakukan. Maka sikap tawassuth dan tabayyun Kritik Al-Jabiri,” dalam Muhammad
adalah sikap yang terbaik dan paling bijak Aunul Abied Syah, dkk, ed., Mosaik
digunakan dalam menyikapi berbagai macam Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung:
isu-isu keislaman dari yang klasik sampai Mizan)
modern. Wallâhu a’alam bi al-Shawâb.
Taj al-`Arus, juz 1, dalam CD Program al-
Daftar Pustaka Maktabah al-Syamilah I.
al-Hamawî, Yaqut, Mu’jam al-Buldân, juz 1 Wijaya, Aksin. 2004. Menggugat Otensitas Wahyu
(Baerut: Dar al-Fikr). Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender
(Yogyakarta: Safiria Insania Press).
al-Jâbirî, Muhammad ‘‘Âbid. 2003. Kritik
Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, Alih
bahasa: Moch. Nur Ichwan (Yogyakarta:
Islamika).
_______, 1995. al-’Aql al-’Arabî al-Siyâsî,
(Beirut : Markaz Dirâsah al-Wih}dah
al-’Arabîyyah, cet. III).
_______, 2001. Agama Negara dan Penerapan
Sharî‘ah, terjh. Mujiburrahman
(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, cet. I)
dalam “pengantar penerjemah”.
Al-Qamus al-Muhit}, juz 1, dalam CD Program
al-Maktabah al-Syamilah I.
al-Qurtuby, Sumanto. 1999. K.H. MA. Sahal
Mahfudh; Era Baru Fiqh Indonesia,
(Yogyakarta: Cermin, cet.I).
Husaini, Adian dan Nirwan Syafrin,
“Hermeneutika Pemikir Kontemporer:
Kasus Nasr Hamid Abu Zayd
Dan Mohammad ‘Âbid al-Jabiri,”
dari http://pondokshabran.org/index.

Anda mungkin juga menyukai