Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

QISHAS, DIYAT, TA’ZIR, DAN HIKMAHNYA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

FIQIH 2

Dosen Pengampu:

M. Alim Khoiri, S.H.I, M.Sy

Disusun Oleh:

M. Muharram Ash-Shiddiqie 20201121

Lailatun Nafi‟ah 20201127

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI

2021

KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbilalamin, Segala puji hanya layak kita panjatkan kehadirat


Allah Swt. Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta
hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Qishas, Diyat, Ta‟zir dan Hikmahnya”.

Penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak atas penyusunan


makalah ini, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Dosen pengampu Mata Kuliah Ilmu Kalam, Bapak M. Alim Khoiri, S.H.I,
M.Sy yang telah memberikan dukungan, dan kepercayaan yang begitu besar.

Semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada
langkah yang lebih baik lagi kedepannya. Meskipun penulis berharap isi dari
makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan namun tak ada gading yang tak
retak, penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar
makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata, penulis berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pembaca.

Kediri, 12 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ...........................................................................................................

1 B. Rumusan Masalah

...................................................................................................... 2 C. Tujuan

Penulisan........................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 3

A. Qishas.........................................................................................................................

3 B. Diyat...........................................................................................................................

6 C. Ta‟zir..........................................................................................................................

BAB III PENUTUP ..........................................................................................................

12 A. Kesimpulan ..............................................................................................................

12 B. Saran.........................................................................................................................

12 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................

13
iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama Islam, yang merupakan agama mayoritas yang dianut oleh
bangsa Indonesia adalah agama yang menyerukan manusia untuk
menyerahkan diri hanya kepada Allah, dengan disertai amal saleh serta
sikap tegar dan penuh percaya diri, dan tunduk dengan ikhlas hanya
kepada Allah semata. Agama Islam adalah agama yang menyerukan
manusia untuk mematuhi segala apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan
rasulnya, termasuk di dalamnya ketetapan tentang hukum Allah. Hukum
Islam telah mengatur sedemikian rupa mengenai tindak pidana
pembunuhan.
Dalam hukum Islam pembunuhan berencana termasuk dalam
kategori pembunuhan sengaja, karena dalam hukum Islam tidak
memandang apakah tindak pidana pembunuhan itu direncanakan lebih
dulu atau tidak, yang terpenting dalam pembunuhan itu terdapat niat untuk
membunuh dari pelaku. Allah mewajibkan kepada umatnya untuk
melaksanakan hukum qishas dan diyat berkenaan dengan pembunuhan.
Pengertian qishash adalah mengambil pembalasan yang sama.
Sedangkan diyat adalah sejumlah harta yang dibebankan kepada pelaku,
karena terjadinya tindak pidana (pembunuhan atau penganiayaan) dan
diberikan kepada korban atau walinya sebagai ganti rugi. Sesuai dengan
ajaran Islam bahwa umat Islam harus menjalankan semua perintah-Nya
dan menjauhi semua larangan-Nya, namun demikian di Indonesia hukum
Islam belum ditegakkan, khususnya hukum yang berkenaan dengan
masalah tindak pidana pembunuhan.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan qishas
2. Apa saja macam-macam qishas dan hikmahnya
3. Apa yang dimaksud dengan diyat
4. Apa saja macam-macam diyat dan hikmahnya
5. Apa yang dimaksud dengan ta‟zir
6. Apa hikmah ta‟zir

C. Tujuan Penulisan
1. Agar mengetahui pengertian qishas
2. Agar mengetahui macam-macam qishas dan hikmahnya
3. Agar mengetahui pengertian diyat
4. Agar mengetahui apa saja macam-macam diyat dan hikmahnya
5. Agar mengetahui apa itu pengertian ta‟zir
6. Agar mengetahui apa hikmah dari ta‟zir
2
BAB 1I
PEMBAHASAN

A. Qishas
1. Pengertian Qishas
Qishas dalam arti bahasa adalah menyelusuri jejak. Selain itu
qishas dapat diartikan keseimbangan dan kesepadanan. Sedangkan
menurut istilah syara, Qishash adalah memberikan balasan yang kepada
pelaku sesuai dengan perbuatannya. Karena perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku adalah menghilangkan nyawa orang lain (membunuh), maka
hukuman yang setimpal adalah dibunuh atau hukuman mati.

2. Dasar Hukum Qishash


Dasar dari hukuman qishas dalam jarimah pembunuhan yaitu
AlQur‟an surat Al Baqaarah ayat 178 dan al maaidah ayat 45 yang telah
tercantum dalam halaman diatas. Selain dari dua ayat tersebut dasar
hukum dari hukum qishash juga terdapat dalam Al-Qur‟an surat Al
Baqaarah ayat 179 yang berbunyi:1
َ َ َ ُ ْ ِ‫ْٱل‬ ‫ُ َّ َ ْ ُ َّ َ َ ٰ َ ْ ْ ۟ ُ َٰٰٓ َ ٌ ٰ َ َ‍ص حا‬
‫ِقص َ ِ‍ف‍م‍ك‍ل‍و‬ ِ‫ون‍ق‍ت‍ت‍م‍ك‍ل‍عِب ل ب‍لَ ِل ْٱل‍وأ ي‍ةوي‬
Artinya : “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” QS. Al
Baqarah ayat 179.

3. Macam-macam Qishas
Qishas dibedakan menjadi dua :
a) Qishas pembunuhan (yang merupakan hukuman bagi pembunuh)

1
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Diterjemahkan Oleh Ahsin
Sakho Muhammad dkk dari “Al tasryi‟ Al-jina‟I Al-Islami”, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2008),
338

3
b) Qishas anggota badan ( yang merupakan hukuman bagi pelaku
tindak pidana melukai, merusak atau menghilangkan fungsi
anggota badan).
4. Syarat-syarat Qishas
Untuk melaksanakan hukuman qishas perlu adanya syarat-syarat
yang harus terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi syarat-syarat untuk
pelaku (pembunuh), korban (yang dibunuh), perbuatan pembunuhannya
dan wali dari korban.2 Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
a) Syarat-Syarat Pelaku (pembunuh)
Menurut Ahmad Wardi Muslich yang mengutip dari Wahbah
Zuhaily mengatakan ada syarat yang harus terpenuhi oleh pelaku
(pembunuh) untuk diterapkannya hukuman Qishash , syarat tersebut
adalah pelaku harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, pelaku
melakukan pembunuhan dengan sengaja, pelaku (pembunuh ) harus
orang yang mempunyai kebebasan.3
b) Korban (yang dibunuh)
Untuk dapat diterapkannya hukuman qishas kepada pelaku harus
memenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan korban, syarat-syarat
tersebut adalah korban harus orang orang yang ma‟shum ad-dam
artinya korban adalah orang yang dijamin keselamatannya oleh
negara Islam, korban bukan bagian dari pelaku, artinya bahwa
keduanya tidak ada hubungan bapak dan anak, adanya keseimbangan
antara pelaku dengan korban (tetapi para jumhur ulama saling
berbeda pendapat dalam keseimbangan ini).
c) Perbuatan Pembunuhannya
Dalam hal perbuatan menurut hanafiyah pelaku diisyaratkan harus
perbuatan langsung (mubasyaroh), bukan perbuatn tidak langsung
(tasabbub). Apabila tassabub maka hukumannya bukan qishas
melainkan diyat. Akan tetapi, ulama-ulama selain hanafiyah

2
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 151
3
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 152
4
tidak mensyaratkan hal ini, mereka berpendapat bahwa pembunuhan
tidak langsung juga dapat dikenakan hukuman qishash.
d) Wali (keluarga) dari korban
Wali dari korban harus jelas diketahui, dan apabila wali korban
tidak diketahui keberadaanya maka qishash tidak bisa dilaksankan. Akan
tetapi ulama-ulama yang lain tidak mensyaratkan hal ini. 5. Hikmah Qishas
Hikmah yang dapat dipetik bahwa Islam menerapkan hukuman
yang sangat menjaga serta menjaga kehormatan dan keselamatan jiwa
manusia. Pelaku perbuatan pembunuhan diancam dengan qishash baik
yang terkait pada al-jinayat „alan nafsi (tindak pidana pembunuhan)
ataupun al-jinayah „ala ma dunan nafsi (tindak pidana yang berupa
merusak anggota badan ataupun menghilangkan fungsinya) akan
menimbulkan banyak efek positif. Yang terpenting diantaranya adalah:
a) Dapat memberikan pelajaran bagi kita bahwa keadilan harus
ditegakkan. Betapa tinggi nilai jiwa dan badan manusia, jiwa diganti
dengan jiwa, anggota badan juga diganti dengan anggota badan.
b) Dapat memelihara keamanan dan ketertiban. Karena dengan adanya
qishash orang akan berϐikir lebih jauh jika akan melakukan tindak
pidana pembunuhan ataupun penganiayaan. Disinilah qishash
memiliki peran penting dalam menjauhkan manusia dari nafsu
membunuh ataupun menganiaya orang lain, hingga akhirnya manusia
akan merasakan atmosfer kehidupan yang penuh dengan keamanan,
kedamaian dan ketertiban.
c) Dapat mencegah pertentangan dan permusuhan yang mengundang
terjadinya pertumpahan darah. Dalam konteks ini qishash memiliki
andil besar membantu program negara dalam usaha memberantas
berbagai macam praktik kejahatan, sehingga ketentraman dan
keamanan masyarakat terjamin.

5
B. Diyat
1. Pengertian Diyat
Diyat secara terminologi adalah harta yang wajib karena suatu
kejahatan terhadap jiwa atau sesuatu yang dihukumi sama seperti jiwa.4
Menurut Abdul Qadir Audah diyat adalah sejumlah harta dalam ukuran
tertentu. Meskipun bersifat hukuman, diyat merupakan harta yang
diberikan kepada korban, bukan kepada perbendaharaan (kas) negara.5
Sayid Sabiq berpendapat sebagai berikut: Artinya : “Diyat adalah sejumlah
harta yang dibebankan kepada pelaku, karena terjadinya tindak pidana
(pembunuhan atau penganiayaan) dan diberikan kepada korban atau
walinya.”6 Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini mendefinisikan
diyat adalah harta yang wajib dibayarkan karena berbuat kriminal terhadap
orang merdeka, baik dengan membunuhnya maupun dengan mencederai
anggota tubuhnya.7
Dari definisi tersebut jelaslah bahwa diyat merupakan uqubah
maliyah (hukuman bersifat harta), yang diserahkan kepada korban apabila
ia masih hidup, atau kepada wali (keluarga) apabila korban sudah
meninggal, bukan kepada pemerintah.

2. Macam-macam Diyat
Diyat dibagi menjadi dua yaitu :
a) Diyat Mughalladzah
Diyat mughalladzah adalah membayar 100 ekor unta yang terdiri atas :
a) 30 hiqqah (unta betina umur 3-4 tahun)
b) 30 jadza‟ah (unta betina umur 4-5 tahun)
c) 40 unta khilfah ( unta yang sedang bunting)

4
Tri Andrisman, Hukum Pidana: Asas-asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia,
(Universitas Lampung, Lampung, 2009), hlm. 55
5
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. (Kharisma Ilmu, Jakarta,
2008)hlm. 325.
6
Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz II, Dar Al-Fikr, (Beirut, cetakan II, 1980), hlm. 429.
7
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Bina Ilmu, Surabaya, 1997),
hlm. 29.

6
Diyat mugholladzah adalah sebagai ganti rugi hukuman qishas yang
dimaafkan terhadap pembunuhan sengaja, wajib dibayar secara tunai
oleh pelaku itu sendiri. Sedangkan untuk pembunuhan serupa sengaja
diyat yang diberatkan bisa juga dibebankan kepada keluarga yang
pembayarannya bisa diangsur selama tiga tahun.8

b) Diyat mukhafafah
Sedangkan diyat mukhaffafah banyaknya seratus ekor unta, tetapi
dibagi menjadi lima yaitu :
a) 20 ekor betina umur satu tahun masuk dua tahun (binti makhaz)
b) 20 ekor unta betina umur dua tahun masuk tahun ketiga (binti
labun)
c) 20 ekor unta jantan umur dua tahun (banu labun)
d) 20 hiqqah
e) 20 jadz‟aah.
Diyat ini diwajibkan atas pembunuhan tidak sengaja, yang
bertanggungjawab dalam pembayaran diyat ini adalah aqillah, 9dan
bisa dicicil selama tiga tahun.10

3. Dasar Hukum Diyat


a) Al-Qur‟an
Diantara dalil-dalil Al-Qur‟an adalah firmah Allah: Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan
orang-orangyang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang
mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik
(pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan

8
Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, (CV. Karya Abadi Jaya, Semarang, 2015), hlm. 141.
9
Ibid., hlm. 142.
10
Syekh Muhammad Syarbani Al-Khatib, Mughni Muhtaj, Jilid IV, hlm. 65.
7
suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih” 11
Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang
mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan
barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir)
yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah
si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa
yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa
dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah, dan
adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana12. Surat Al-Baqarah
ayat 178 menerangkan bahwa jika dimaafkan oleh keluarga korban, pelaku
jinayat hendaknya membayar diyat dengan cara yang baik sebagaimana
telah dimaafkan dengan baik, juga firman Allah An-nisa ayat 92 ayat ini
memerintahkan pembayaran diyat, kecuali jika keluarga korban berbuat
baik dengan bersedekah atau merelakan tidak menerima diyat.
b) Hadits
Sabda Rasulullah SAW: Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW
bersabda: Barangsiapa yang keluarganya terbunuh maka ia bisa memilih
dua pilihan, bisa memilih diyatdan juga bisa memilih pelakunya dibunuh
(qishas)”.13 Hadist ini memperkuat dua ayat di atas dengan kandungan dan
maksud yang sama yaitu disyariatkannya diyat dalam masalah
pembunuhan.

4. Sebab-sebab ditetapkannya Diyat

11
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Gema Risalah Press, Bandung, 1992), hlm.
72
12
Ibid., hlm. 123.
13
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath Al-Bari bisyarhi Shahih Al-Bukhari, (Pustaka Imam As
syafi‟i, jilid 14), hlm, 188.
8
a) Pelaku pembunuhan disengaja yang dimaafkan oleh kelurga
terbunuh. Jika pembunuh dalam kasus pembunuhan yang
disengaja, lalu dimaafkan oleh anggota keluarga terbunuh, maka
tidak ada hukuman qishas atasnya, tetapi wajib membayar diyat
kepada keluarga terbunuh.
b) Pembunuhan yang tidak disengaja
c) Pembunuhan yang mirip disengaja.
d) Karena pembunuhnya lari sebelum dilaksanakan qishash atasnya.
Maka yang dikenakan diyat adalah anggota keluarganya.
e) Memotong atau membuat cacat anggota badan seseorang, lalu
dimaafkan.

5. Hikmah Diyat

a) Sebagai upaya prefentif menanggulangi perilaku kriminalitas di


masyarakat
b) Membuat efek jera bagi pelaku kejahatan
c) Melatih sifat sabar dan pemaaf (khususnya bagi korban dan
keluarganya)
d) Mengurangi rasa permusuhan dan dendam serta mempererat
persaudaraan
e) Mewujudkan tatanan masyarakat yang harmonis dan menjamin
terciptanya stabilitas sosial.

C. Ta’zir
1. Pengertian Ta‟zir
Menurut Al Haththaab, dalam kitab Mawaahib al-jalil dan al
Mawwaaq, at-Taaj wal ikill, yang dikutip oleh wahbah Al-Zuhaili
mengatakan bahwa hukuman-hukuman yang ada kadar dan bentuknya
telah ditentukan oleh syara adalah hukuman hadd yang jumlahnya ada lima
yaitu: Menurut Ulama Hanafiyah adalah zina, qadzf (menuduh zina),
pencurian, hiraabah, dan khamr. Sedangkan menurut ulama yang lain ada
tujuh yaitu: hukuman hadd untuk zina, qadzf, pencurian, hiraabah
(merampok), khamr, qishas, dan murtad. Hukuman ta‟zir adalah hukuman

9
yang bentuk dan ukurannya tidak ditentukan oleh syara‟ sebagiamana
hukuman hadd yang tersebut di atas.

Menurut bahasa, lafaz Ta‟zir berasal dari kata azzara yang berarti
man‟u wa radda (mencegah dan menolak). Ta‟zir dapat berarti addaba
(mendidik) atau azhamu wa waqra. Yang artinya mengagungkan dan
menghormat. Dari berbagai pengertian, makna ta‟zir yang paling relevan
adalah al-man‟u wa raddu (mencegah dan menolak), dan pengertian kedua
ta‟dib (mendidik). Pengertian ini sesuai dengan apa yang dikemukakan
oleh Abdur Qadir Audah dan Wahbah Az-Zuhaili. Ta‟zir diartikan
mencegah dan menolak karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak
mengulangi perbuatannya. Ta‟zir diartikan mendidik karena ta‟zir
dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari
perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya.

2. Macam–macam Hukuman Ta‟zir

a) Hukuman mati
Hukuman mati ditetapkan sebagai hukuman qishash untuk
pembunuhan sengaja dan sebagai hukuman hadd untuk jarimah
hirabah, zina muhsan, riddah, dan jarimah pemberontakan. Untuk
jarimah ta‟zir, hukuman mati ini diterapkan oleh para fuqaha
secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ulil amri untuk
menerapkan hukuman mati sebagai ta‟zir dalam jarimah-jarimah
yang jenisnya diancam dengan hukuman mati apabila jarimah
tersebut dilakukan berulang-ulang. Contohnya pencurian yang
dilakukan berulang-ulang dan menghina Nabi beberapa kali yang
dilakukan oleh kafir dzimmi, meskipun setelah itu ia masuk Islam.

b) Hukuman jilid (dera)


Alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah
cambuk yang pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak
terlalu kecil) atau tongkat. Pendapat ini juga dikemukakan oleh
Imam Ibn Taimiyah dengan alasan karena sebaik-baiknya perkara
adalah pertengahan.
Adapun sifat atau cara pelaksanaan hukuman jilid masih
diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiyah, jilid sebagai
ta‟zir harus dicambukkan lebih keras daripada jilid dalam hadd
agar dengan ta‟zir orang yang terhukum akan menjadi jera, di
samping karena jumlahnya lebih sedikit daripada dalam hadd.
Alasan yang lain adalah bahwa semakin keras cambukan itu
10
semakin menjerakan. Akan tetapi, ulama selain Hanafiyah
menyamakan sifat jilid dalam ta‟zir dengan sifat jilid dalam hudud.
Pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan
kepala, melainkan diarahkan ke bagian punggung. Imam Abu
Yusuf menambahkan tidak boleh mencambuk bagian perut dan
dada karena pukulan ke bagian tersebut bisa membahayakan
keselamatan orang yang terhukum. Dapat dipahami bahwa
hukuman jilid tidak boleh sampai menimbulkan cacat dan
membahayakan organ-organ tubuh orang yang terhukum, apalagi
sampai membahayakan jiwanya, karena tujuannya adalah memberi
pelajaran dan pendidikan kepadanya.

3. Hikmah Ta‟zir

Dalam menetapkan jarimah Ta‟zir, prinsip utama yang menjadi


acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap
anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu,
penegakkan jarimah ta‟zir harus sesuai dengan prinsip syar‟i, tujuan utama
perlaksanaan hukuman ta‟zir dalam syari‟at Islam ialah untuk mengajar
(ta‟dib), pencegahan dan pengajaran di samping pemulihan dan
pendidikan. Pencegahan artinya mencegah dari mengulangi kesalahannya
yang sama .

Disebabkan pencegahan merupakan tujuan utama hukuman ta‟zir


maka hukuman apapun yang telah ditetapkan itu mestilah mencapai tujuan
dan objektif. Oleh sebab itu, yang menjadi tanggungjawab setiap
mahkamah adalah memastikan setiap hukuman yang dijatuhkan terhadap
seseorang pesalah atau tertuduh adalah hukuman yang setimpal dengan
kesalahan yang dilakukan dan memastikan hukuman yang boleh dijadikan
sebagai panduan kepada tertuduh dan masyarakat Islam awam lain dan
mendidik tertuduh dan masyarakat supaya patuh kepada perintah Allah,
Rasul dan kepada para pemimpin.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Qishas adalah hukuman balasan yang seimbang bagi pelaku
pembunuhan maupun pengrusakan anggota badan seseorang yang
dilakukan dengan di sengaja. Diyat artinya denda, yaitu denda yang
diwajibkan kepada pembunuh yang tidak dikenakan hukun atau qishas,
dengan membayarkan sejumlah barang atau uang sebagai pengganti
hukum qishas karena di maafkan oleh anggota keluarga. Diyat artinya
denda, yaitu denda yang diwajibkan kepada pembunuh yang tidak
dikenakan hukun atau qishas, dengan membayarkan sejumlah barang atau
uang sebagai pengganti hukum qishas karena di maafkan oleh anggota
keluarga. Sedangkan ta‟zir adalah sanksi-sanksi yang belum jelas
ketentuannya oleh Allah SWT. Ta‟zir berfungsi untuk mendidik dan
mengajari pelakunya agar tidak mengulangi perbuatanperbuatan yang
dilarang oleh menurut syara‟. Dalam hal ini, pengadilan agama berhak
untuk menentukan ta‟zir yang dilakukan oleh seorang pelaku jarimah.
Dasar hukum pemberlakuan ta‟zir yaitu beberapa hadist Nabi. Seorang
pelaku jarimah dihukum sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya.

B. Saran
Kami dari penulis berharap agar makalah yang kami buat ini bisa
berguna bagi pembaca, dan dapat menjadi panduan dalam belajar. Dan
makalah kami ini pasti tidak jauh dari kesalahan kritik dan sarannya sangat
kami harapkan untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Idami, Z. 2015. Prinsip Pelimpahan Kewenangan Kepada Ulil Amri dalam


Penentuan Hukuman Ta’zir, Macamnya dan Tujuannya. Jurnal Hukum
Samudra Keadilan.
Audah, Abdul Qadir. 2008, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam. Jakarta:
PT Kharisma Ilmu.
Ali, Zainudin. 2009. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar
Grafika.
Andrisman, Tri. 2009. Hukum Pidana: Asas-asas dan Dasar Aturan
Hukum Pidana Indonesia. Lampung:Universitas Lampung.
Sabiq, Sayid. 1980. Fiqh As-Sunnah, Juz II. Beirut : Dar Al-Fikr.
Al-Husain, Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar. 1997. Kifayatul Akhyar.
Surabaya : Bina Ilmu
Rokhmadi, 2015. Hukum Pidana Islam. Semarang: CV.Karya Abadi Jaya.
Al-Khatib, Syekh Muhammad Syarban. Mughni Muhtaj. Jilid IV. Depag RI.
1992. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : Gema Risalah Press.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fath Al-Bari bisyarhi Shahih Al-Bukhari. Pustaka Imam
As-syafi‟i, jilid 14.

13

Anda mungkin juga menyukai