Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

Jenis Khat Naskhi sebagai Tulisan Asas dalam al-Qur’an


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah : Fiqih 2
Dosen Pengampu :

Disusun oleh :
Kelompok

Mugiana Silmun : P.21.141528


Fia Nur Aripa : P.21.141525

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM / REGULER


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUL ARQAM
MUHAMMADIYAH GARUT
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur mari kita panjatkan kehadirat Allah SWT.Karena atas berkat dan
rahmatnya saya dapat menyelesaikan makalah ini, untuk memenuhi salah satu tugas dari
Dosen pembimbing mata kulian `` Fiqih 2 `` dengan judul tugas ``SISTEM PENDIDIKAN DI
FIRLANDIA``.

Dalam membuat makalah ini penulis menyajikan dengan bahasa yang cukup
sederhana. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam menyelesaikan makalah ini.
Hal ini disebabkan oleh terbatasnya kemampuan, saya harap kritik dan saran demi
kesempurnaanya makalah ini Saya ucapakan terimakasih dan semoga bermamfaat.

Garut, 15 Januari
2023

Penulis

DAFTAR ISI

Daftar Isi ………………………………………………………….. v


BAB I
A. Latar belakang ……………………………………………… 1
BAB 2
Definisi Qisas …………………………………………………….. 3
Dasar Pensyariatan Qisas …………………………………………. 3
Macam-macam Qisas ……………………………………………… 4
Syarat-syarat Qisas ………………………………………………… 6
Syarat Pelaksanaan Qisas ………………………………………….. 6
Hikmah Pensyariatan Qisas ……………………………………….. 7
BAB 3
Kesimpulan ………………………………………………………... 9

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Manusia berjalan di kehidupan dunia ini, sejak awal penciptaan dalam dirinya
terdapat kepribadian yang beragam dan dikendalikan oleh kecenderungan naluri yang
berbeda pula. Fitrah telah menentukan bahwa individu tidak akan berkembang dengan
sendirinya. Ia adalah makhluk sosial yang membutuhkan pertolongan orang lain dalam
memenuhi kebutuhannya, dalam menyempurnakan sebab-sebab hidupnya yang tidak dapat
dilakukan oleh tangan dan pengetahuannya, serta bahan yang tidak dapat dibawa oleh
kekuatannya. Dengan ini, kehidupan manusia adalah kehidupan kelompok, dalam setiap
individu dari kelompok itu saling membutuhkan dalam membangun masyarakat, dan saling
mengatur semua kesulitan agar menjadi kehidupan yang damai. Manusia adalah makhluk
bermasyarakat, yang oleh Aristoteles disebut dengan zoon politicon.
Setiap manusia mempunyai cita-cita, keinginan, kebutuhan, alam pikiran serta usaha-
usaha. Manusia mempunyai seuntai rangkaian kepentingan kebutuhan hidup. Kepentingan-
kepentingan seseorang dapat berkaitan sangat erat dengan kepentingan orang lainnya.
Adakalanya kepentingan itu bersifat saling menjatuhkan, tetapi dapat pula sama antara
manusia pemikul berbagai kepentingan itu. Setiap anggota masyarakat mempertahankan
kepentingan-kepentingan sendiri, sehingga dapatlah timbul pertentangan sesama mereka. Hal
yang demikian sangat membahayakan ketertiban, keamanan dan keselamatan masyarakat itu
sendiri. Jika tidak diatur, niscaya akan terjadi “homo homini lupus”.
Meskipun setiap individu dalam sebuah masyarakat tertentu memiliki kepentingan
yang berbeda-beda, akan tetapi mereka tetap tidak menginginkan terjadinya bentrokan
(chaos) antara sesama anggota masyarakat, mereka tentu menginginkan sebuah kedamaian
yang memungkinkan keinginan-keinginan mereka itu terwujud. Dalam hal hidup
bermasyarakat, berpuncak pada suatu organisasi negara yang merdeka, maka tertib
bermasyarakat dipedomani oleh dasar negara tersebut. Apabila hal ini kita tinjau dari segi
hukum, maka tertib bermasyarakat yang berupa tertib hukum, haruslah didasarkan pada
Undang-Undang Dasar negara tersebut.

Terwujudnya stabilitas dalam setiap hubungan dalam masyarakat dapat dicapai


dengan adanya sebuah peraturan hukum yang bersifat mengatur (relegen/anvullen recht) dan
peraturan hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht) setiap anggota masyarakat agar taat
dan mematuhi hukum. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Sanksi
yang berupa hukuman (pidana) akan dikenakan kepada setiap pelanggar peraturan hukum
yang ada sebagai reaksi terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya. Akibatnya
ialah peraturan-peraturan hukum yang ada haruslah sesuai dengan asas-asas keadilan dalam
masyarakat, untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum dapat berlangsung terus dan
diterima oleh seluruh anggota masyarakat.
Sebuah peraturan hukum ada karena adanya sebuah masyarakat (ubi-ius ubi-societas).
Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Hukum itu
mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam seluruh lapisan masyarakat.
Di negara Indonesia, hukum terbagi atas beberapa bagian. Menurut isinya, hukum
terdiri dari hukum privat dan hukum publik. Inisiatif pelaksanaan hukum privat diserahkan
kepada masing-masing pihak yang berkepentingan. Kedudukan antara individu
adalah horizontal. Sedangkan inisiatif pelaksanaan hukum publik diserahkan kepada negara
atau pemerintah yang diwakilkan kepada jaksa beserta perangkatnya.
Kemudian ditinjau dari fungsinya, hukum dibagi atas hukum perdata, hukum dagang
dan hukum pidana. Masing-masing memiliki sifat dan fungsi yang berbeda-beda, sebagai
contoh, hukum pidana berfungsi untuk menjaga agar ketentuan-ketentuan hukum yang
terdapat dalam hukum perdata, dagang, adat dan tata negara ditaati sepenuhnya.
Sementara itu, dalam hukum Islam juga terdapat bermacam-macam hukum yang
mengatur kehidupan manusia sebagai khalifah di bumi ini. Aturan hukum dalam Islam antara
lain dibedakan sebagai al-Ahwal asy-Syakhsiyyah atau hukum keluarga, al-Ahwal al-
Madaniyyah atau hukum privat, al-Ahwal al-Jinayah atau hukum pidana dan sebagainya.
Hukum pidana Islam memberikan dasar hukum pada pihak terpidana mengacu pada
al-qur’an yang menetapkan bahwa balasan untuk suatu perbuatan jahat harus sebanding
dengan perbuatan itu.
Mengenai masalah pembunuhan ataupun penganiayaan dalam pidana Islam diancam
dengan hukuman qisas. Akan tetapi tidak semua pembunuhan dikenakan hukum qisas, ada
juga yang sebatas dikenakan diat (denda), yaitu pembunuhan atas dasar ketidak sengajaan,
dalam hal ini tidak dikenakan qisas, melainkan hanya wajib membayar denda yang enteng.
Denda ini diwajibkan atas keluarga yang membunuh, bukan atas yang membunuh. Mereka
membayarnya dengan diangsur dalam masa tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun keluarga itu
wajib membayar sepertiganya.

BAB II
PEMBAHASAN

Definisi Qisas
Kata “qisas” (‫ )قصاص‬berasal dari bahasa Arab yang berarti “mencari jejak”, seperti “al-
qasas“. Sedangkan dalam istilah hukum Islam, maknanya adalah pelaku kejahatan dibalas
seperti perbuatannya, apabila ia membunuh maka dibunuh dan bila ia memotong anggota
tubuh maka anggota tubuhnya juga dipotong.
Sedangkan Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan mendefiniskannya dengan, “Al-Qisas adalah
perbuatan (pembalasan) korban atau walinya terhadap pelaku kejahatan sama atau seperti
perbuatan pelaku tadi.”
Dapat disimpulkan bahwa qisas adalah mengambil pembalasan yang sama atau serupa, mirip
dengan istilah “utang nyawa dibayar dengan nyawa”.

Dasar Pensyariatan Qisas


Qisas disyariatkan dalam al-Quran dan as-sunnah, serta ijma‘. Di antara dalil dari al-Quran
adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوْا ُك ِتَب َع َلْيُك ُم اْلِقَص اُص ِفي اْلَقْتَلى اْلُحُّر ِباْلُحِّر َو اْلَع ْبُد ِباْلَع ْبِد َو اُألنَثى ِباُألنَثى َفَم ْن ُع ِفَي َلُه ِم ْن َأِخ يِه َش ْي ٌء‬
‫ َو َلُك ْم ِفي اْلِقَص اِص‬. ‫َفاِّتَباٌع ِباْلَم ْعُروِف َو َأَداء ِإَلْيِه ِبِإْح َس اٍن َذ ِلَك َتْخ ِفيٌف ِّم ن َّرِّبُك ْم َو َر ْح َم ٌة َفَمِن اْع َتَدى َبْع َد َذ ِلَك َفَلُه َع َذ اٌب َأِليٌم‬
‫َحَياٌة َيْا ُأوِلْي اَألْلَباِب َلَع َّلُك ْم َتَّتُقوَن‬
“Wahai orang-orang yang beriman, qisas diwajibkan atasmu berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan
wanita dengan wanita. Maka, barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qisas itu
ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa.” (Qs. al-Baqarah: 178-179). Sedangkan dalil dari as-Sunnah di antaranya adalah
hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫َم ْن ُقِتَل َلُه َقِتيٌل َفُهَو ِبَخْيِر الَّنَظَر ْيِن ِإَّم ا َأْن ُيْفَدى َو ِإَّم ا َأْن ُيْقَتل‬
“Barangsiapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia memilih dua pilihan, bisa
memilih diyat dan bisa juga dibunuh (qisas).” (HR. al-Jama’ah).
Sedangkan dalam riwayat at-Tirmidzi adalah dengan lafal,
‫َم ْن ُقِتَل َلُه َقِتيٌل َفُهَو ِبَخْيِر الَّنَظَر ْيِن ِإَّم ا َأْن َيْع ُفَو َو ِإَّم ا َأْن َيْقُتَل‬
“Barangsiapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia memilih dua pilihan, bisa
memilih memaafkannya dan bisa membunuhnya.”.
Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa wali (keluarga) korban pembunuhan dengan
sengaja memiliki pilihan untuk membunuh pelaku tersebut (qisas) bila menghendakinya, bila
tidak bisa memilih diyat dan pengampunan. Pada asalnya, pengampunan lebih utama, selama
tidak mengantar kepada mafsadat (kerusakan) atau ada kemashlahatan lainnya.

Macam-Macam Qisas
Qisas itu terbagi 2 yaitu :
a. Qisas jiwa
Qisas jiwa adalah qisas yang berhubungan dengan jiwa seseorang atau hak hidup
seperti pembunuhan. Pembicaraan pada masalah ini berpangkal pada pembicaraan tentang
sifat pembunuhan dan pembunuh yang karena berkumpulnya sifat-sifat tersebut bersama
korban mengharuskan adanya qisas.tidak semua pembunuhan dapat dikenai qisas melainkan
qisas itu hanya dikenakan pada orang yang membunuh tertentu dengan cara pembunuhan
tertentu dan korban tertentu. Dan demikian itu karena yang dituntut dalam hal ini tidak lain
hanyalah keadilan.
b. Qisas anggota badan (pelukaan)
Pelukaan itu ada 2 macam; pelukaan yang dikenai qisas dan pelukaan yang dikenai
diyat atau pemaafan.
Mengenai pelukaan yang dapat dikenai qisas meliputi syarat-syarat orang yang
melukai, syarat-syarat pelukaan yang mengakibatkan qisas serta syarat-syarat orang yang
dilukai.
1) Syarat orang yang melukai
Orang yang melukai itu harus mukallaf (baligh (dewasa) dan berakal).jika seseorang
memotong anggota tubuh orang lain, maka tidak diperselisihkan lagi bahwa ia dikenai qisas,
jika pelukaan itu mengakibatkan qisas.
2) Syarat orang yang dilukai
Jiwa orang yang dilukai itu disyaratkan seimbang dengan jiwa orang yang melukai. Adapun
faktor yang mempengaruhi keseimbangan ini ialah kehambaan dan kekufuran.

Syarat-syarat Qisas :
Qisas terhadap selain jiwa (penganiayaan) mempunyai syarat sebagai berikut:
1. Pelaku berakal
2. Sudah mencapai umur balig
3. Motivasi kejahatan disengaja
4. Hendaknya darah orang yang dilukai sederajat dengan darah orang yang melukai.
Yang dimaksud dengan sederajat disini adalah hanya dalam hal kehambaan dan
kekafiran. Oleh sebab itu maka tidak diqisas seorang merdeka yang melukai hamba sahaya
atau memotong anggotanya. Dan tidak pula diqisas seorang muslim yang melukai
kafir zimmi atau memotong anggotanya.
Apabila pelaku melakukan perbuatan pelukaan tersebut secara sengaja, dan korban tidak
memiliki anak, serta korban dengan pelaku sama di dalam keislaman dan kemerdekaan, maka
pelaku diqisas berdasarkan perbuatannya terhadap korban, misalnya dipotong anggota
berdasarkan onggota yang terpotong, melukai serupa dengan anggota yang terluka. Kecuali
jika korban menghendaki untuk pembayaran diyat atau memaafkan pelaku. Besarnya diyat
disesuaikan dengan jenis dari perbuatan yang dilakukannya terhadap korban.

Syarat Pelaksanaan Qisas


Apabila syarat-syarat kewajiban qisas terpenuhi seluruhnya, maka syarat-syarat
pelaksanaannya masih perlu dipenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Semua wali (keluarga) korban yang berhak menuntut qisas adalah mukalaf. Apabila
yang berhak menuntut qisas atau sebagiannya adalah anak kecil atau gila, maka hak
penuntutan qisas tidak bisa diwakilkan oleh walinya, sebab pada qisas terdapat tujuan
memuaskan (keluarga korban) dan pembalasan. Dengan demikian, pelaksanaan qisas wajib
ditangguhkan, dengan memenjarakan pelaku pembunuhan hingga anak kecil tersebut menjadi
baligh atau orang gila tersebut sadar.
Hal ini dilakukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang memenjarakan Hudbah bin Khasyram
dalam qisas, hingga anak korban menjadi baligh. Hal in dilakukan di zaman para sahabat dan
tidak ada yang mengingkarinya, sehingga seakan-akan menjadi ijma’ di masa beliau.
Apabila anak kecil atau orang gila membutuhkan nafkah dari para walinya, maka wali orang
gila saja yang boleh memberi pengampunan qisas dengan meminta diyaat, karena orang gila
tidak jelas kapan sembuhnya, berbeda dengan anak kecil.
2. Kesepakatan para wali korban terbunuh dan yang terlibat dalam qisas dalam
pelaksanaannya. Apabila sebagian mereka -walaupun hanya seorang- memaafkan si
pembunuh dari qisas, maka gugurlah qisas tersebut.
3. Aman dalam pelaksanaannya dari melampaui batas kepada selain pelaku pembunuhan,
dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
‫َو َم ن ُقِتَل َم ْظُلومًا َفَقْد َجَع ْلَنا ِلَو ِلِّيِه ُس ْلَطانًا َفَال ُيْس ِر ف ِّفي اْلَقْتِل ِإَّنُه َك اَن َم ْنُصورًا‬
“Dan barangsiapa yang dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam
membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Qs. al-Isra`: 33).
Apabila qisas menyebabkan sikap melampaui batas, maka hal tersebut terlarang,
sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas. Dengan demikian, apabila wanita hamil akan di-
qisas, maka ia tidaklah di-qisas hingga ia melahirkan anaknya, karena membunuh wanita
tersebut dalam keadaan hamil akan menyebabkan kematian janinnya. Padahal janin tersebut
belum berdosa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
‫َو َال َتِز ُر َو اِز َر ٌة ِو ْز َر ُأْخ َر ى‬
“Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.” (Qs. al-An’am: 164).

Hikmah Pensyariatan Qisas


Allah al-Hakim menetapkan satu ketetapan syariat dengan hikmah yang agung. Hikmah-
hikmah tersebut ada yang diketahui manusia dan ada yang hanya menjadi rahasia
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian juga, dalam qisas terdapat banyak hikmah, di
antaranya:
1. Menjaga masyarakat dari kejahatan dan menahan setiap orang yang akan menumpahkan
darah orang lain. Yang demikian itu disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
firman-Nya,
‫َو َلُك ْم ِفي اْلِقَص اِص َحَياٌة َيْا ُأوِلْي اَألْلَباِب َلَع َّلُك ْم َتَّتُقوَن‬
“Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa.” (Qs. al-Baqarah: 179).
2. Mewujudkan keadilan dan menolong orang yang terzalimi, dengan memberikan
kemudahan bagi wali korban untuk membalas kepada pelaku seperti yang dilakukan kepada
korban. Karena itulah, Allah berfirman,
“Dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam
membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Qs. al-Isra`: 33).
3. Menjadi sarana taubat dan penyucian dari dosa yang telah dilanggarnya, karena qisas
menjadi kafarah (penghapus dosa) bagi pelakunya. Hal ini dijelaskan Rasulullah shallalllahu
‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
‫ُتَباِيُعوِني َع َلى َأْن اَل ُتْش ِر ُك وا ِباِهَّلل َشْيًئا َو اَل َتْس ِرُقوا َو اَل َتْز ُنوا َقَر َأ َع َلْيِهْم اآْل َيَة َفَم ْن َو َّفى ِم ْنُك ْم َفَأْج ُر ُه َع َلى ِهَّللا َو َم ْن َأَص اَب ِم ْن‬
‫َذ ِلَك َشْيًئا َفُعوِقَب َع َلْيِه َفُهَو َك َّفاَر ٌة َلُه َو َم ْن َأَص اَب ِم ْن َذ ِلَك َشْيًئا َفَس َتَر ُه ُهَّللا َع َلْيِه َفُهَو ِإَلى ِهَّللا ِإْن َش اَء َع َّذ َبُه َو ِإْن َش اَء َغ َفَر َلُه‬
“‘Berbai’atlah kepadaku untuk tidak berbuat syirik, tidak mencuri, dan tidak berzina.’ Beliau
membacakan kepada mereka ayat, (lalu bersabda), ‘Barangsiapa di antara kalian yang
menunaikannya maka pahalanya ada pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan barangsiapa
yang melanggar sebagiannya lalu di hukum maka hukuman itu sebagai penghapus dosa
baginya. (Adapun) barangsiapa yang melanggarnya lalu Allah tutupi maka urusannya
diserahkan kepada Allah, bila Dia kehendaki maka Dia mengazabnya dan bila Dia
menghendaki maka Dia mengampuninya.” (Muttafaqun ‘alaihi).
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Qisas adalah istilah dalam bahasa arab yang berarti pembalasan, mirip dengan istilah "hutang
nyawa dibayar nyawa". Dalam kasus pembunuhan hukum qisas memberikan hak kepada
keluarga korban untuk meminta hukuman mati kepada pembunuh.
Oleh karena itu, setiap perbuatan yang melukai orang lain baik itu pembunuhan,
penganiayaan dan sebagainya dapat di kenakan hukuman terhadap apa yang dia lakukan.
qisas terdapat banyak hikmah, di antaranya:
1. Menjaga masyarakat dari kejahatan dan menahan setiap orang yang akan menumpahkan
darah orang lain.
2. Mewujudkan keadilan dan menolong orang yang terzalimi, dengan memberikan kemudahan
bagi wali korban untuk membalas kepada pelaku seperti yang dilakukan kepada korban.
3. Menjadi sarana taubat dan penyucian dari dosa yang telah dilanggarnya, karena qisas
menjadi kafarah (penghapus dosa) bagi pelakunya.

Anda mungkin juga menyukai