Anda di halaman 1dari 7

UJIAN AKHIR SEMESTER / UAS GENAP TA.

2019/2020

Mata kuliah : Ushul Fiqh 1

Dosen : Muhammad Husni Arafat, Lc., M.S.I.

Kelas : 2HK1

Prodi : Hukum Keluarga Islam / HKI

1. Berdasarkan sejarah, agama Islam turun ke muka bumi ini demi suatu tujuan tertentu, yaitu:
maslahat umat manusia, khususnya umat Islam. Masalahat inilah yang menjadi maqshid
syari’. Jelaskan pengertian Islam secara bahasa dan istilah? Sebutkan dan jelaskan hukum-
hukum/ sunnatullah yang jika dipatuhi oleh umat manusia, maka akan menarik maslahat,
yaitu: keselamatan dan kedamaian di dunia dan akhirat sekaligus? Sebutkan dan jelaskan
klasifikasi maslahat secara prioritas disertai dengan contohnya masing-masing?
2. Di ranah intelektualitas atau tradisi keilmuan Islam, perbedaan pendapat adalah suatu hal
yang lumrah dan alamiah. Namun, adakalanya, perbedaan pendapat tersebut harus
disatukan dalam bingkai “ijmak” (konsensus ulama’) terutama berkaitan dengan hal yang
menyangkut nasib rakyat indonesia. Sebutkan dan jelaskan pengertian ijmak secara
kebahasaan dan istilah? Sebutkan dan jelaskan klasifikasi ijmak disertai dengan contoh-
contohnya?
MUHAMMAD AZRUL FARIS

191410000652

HKI SEMESTER 2 R1

1.

a) Pengertian Islam berdasarkan Bahasa, Islam berawal dari kata aslama yang berasal
dari kata salama. kata Islam adalah wujud mashdar (infinitif) dari kata aslama
ini.pengertian Islam berdasarkan istilah, (ditinjau dari sisi subyek manusia terhadap
dinul Islam), Islam ialah ‘ketundukan seorang hamba kepada ajaran Ilahi yang
diturunkan kepada para nabi dan rasul khususnya Muhammad SAW buat dijadikan
prinsip hidup dan juga menjadi hukum / ketentuan Allah SWT yang mampu
membimbing umat manusia ke jalan yang lurus, menuju ke kebahagiaan dunia dan
akhirat. ’
b)

Saat dunia ini mengalami ketidakseimbangan, maka dengan sendirinya dunia akan mencari jalan
untuk menyeimbangkan diri lagi. Hal ini terjadi karena sunnatullah, yang sudah bekerja seiring
dengan proses penciptaan sejak dulu kala.
Sunnatullah adalah kebiasaan atau cara Allah dalam mengatur alam dunia. Di dalam Alquran
surah Ar-rahman dikatakan, "Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca
(keseimbangan)." (QS ar-Rahman [55]:7).
Meskipun tidak asing dengan istilah ini, sebagian umat Islam mungkin masih ragu terhadap istilah
sunnatullah. Karena itu, sunnatullah perlu untuk dikaji dan dipahami lebih dalam lagi,
bahwa sunnatullah merupakan kebiasaan atau cara kerja Allah  dalam menyelenggarakan alam
ini.
M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan dari segi bahasa sunnatullah terdiri dari
kata sunah dan Allah. Kata sunna  berarti kebiasaan, yaitu kebiasaan-kebiasaan Allah dalam
memperlakukan masyarakat. (Tafsir Al-Misbah Vol.13. hlm. 205).
Secara istilah, kamus besar Indonesia juga mendefinisikan bahwa sunnatullah sebagai hukum-
hukum Allah yang disampaikan kepada umat manusia melalui para rasul, undang-undang
keagamaan yang ditetapkan oleh Allah yang termaktub di dalam Alquran, dan hukum alam yang
berjalan tetap dan otomatis.
Dalam Alquran kata sunnatullah dan yang semakna dengannya seperti sunnatina atau sunnatul
awwalin terulang sebanyak 13 kali. Seluruh kata tersebut mengacu kepada hukum-hukum Allah
yang  berlaku  kepada masyarakat. Seperti misalnya dalam surah QS al-Ahzab [33]:  38, 62), QS
al-Fathir [35]; 43), dan QS Ghafir [40]: 85).
Di dalam Ensiklopedi Islam, sunatullah diartikan sebagai jalan, perilaku, watak, peraturan atau
hukum, dan hadis. Sunatullah merupakan ketentuan-ketentuan, hukum-hukum, atau ketetapan-
ketetapan Allah SWT yang berlaku di alam semesta. (Ensiklopedi Islam Jilid IV).
Sejak alam ini diciptakan, Allah SWT telah menentukan hukum-hukumnya, sehingga alam
bertingkah laku sesuai dengan hukum yang ditetapkan-Nya tersebut. Tunduk dan patuhnya alam
terhadap hukum yang ditetapkan Allah SWT tersebut diterangkan di dalam Alquran surah an-
Nahl ayat 17, yang artinya:
"Dan Dia menundukkan malam dan siang , matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang
ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya)." (QS an-Nahl [16]: 17).
Kepatuhan alam semesta terhadap ketentuan Allah SWT bukan karena keterpaksaan, tetapi betul-
betul suka rela seperti diterangkan Allah SWT dalam surah Fussilat ayat 11 yang artinya,
"Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia
berkata keadanya dan kepada bumi:'Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka
hati atau terpaksa. 'Keduanya menjawab: 'Kami datang dengan suka hati." (QS Fussilat [41]: 11).
Dengan tunduk dan patuhnya alam semesta pada aturan-aturan dan hukum Allah SWT, maka
alam selalu bertingkah laku sesuai dengan aturan dan hukum tersebut. Selain itu, tingkah laku
alam juga bersifat tetap, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya, "Sebagai suatu sunatullah
yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi
sunatullah itu," (QS[48] :23).
Mengenai persoalan sunatullah, Buya Hamka mengibaratkan bahwa keadaan sunnatulah tersebut
sama dengan air hilir. Dia pasti menuruti aturan yang ditetapkan Allah SWT, yaitu mengalir ke
tempat yang lebih rendah, mengisi tempat yang kosong yang didapatinya dalam pengaliran
tersebut.
Dalam pemikiran barat, isitilah sunnatullah seringkali disandingkan dengan istilah hukum alam
atau bahkan dianggap sama oleh sebagian umat Islam. Padahal, di antara keduanya terdapat
perbedaaan yang sangat mendasar.
Di dalam konsep barat, hukum kausalitas tersebut menafikan adanya kekuasaan dan kehendak
tuhan. Dalam arti lain didasarkan atas potensi suatu benda atau usaha manusia saja. Sementara,
dalam pandangan Islam, justru faktor di luar diri manusia dan benda itulah yang menentukan hasil
akhir dari hukum kausalitas tersebut.
Dengan demikian, hukum sebab-akibat atau hukum kausalitas dalam Islam diyakini bahwa pada
hakikatnya bukanlah sebab-sebab itu yang membawa akibat. Namun, akibat itu muncul karena
Allah SWT yang menghendakinya.
Ketentuan Allah yang berlaku terhadap segala ciptaan-Nya di alam ini sudah ada sejak dulu
sampai sekarang. Karena itu, umat Islam dituntut untuk selalu melakukan perjalanan dan
penyelidikan di bumi, sehingga kita dapat sampai kepada suatu kesimpulan bahwa Allah dalam
ketentuan-Nya telah mengikatkan antara sebab dengan musababnya.
Di dalam Alquran Allah berfirman, yang artinya, "Sesungguhnya telah berlaku sebelum kamu
sunnah-sunnah Allah. Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana
akibat orang-orang yang mendustakan rasul-rasul." (QS Ali Imran [3]: 137).

c). Maslahah, secara etimologi adalah kata tunggal dari al-masalih, yang searti dengan kata
salah, yaitu " mendatangkan kebaikan Terkadang digunakan juga istilah lain yaitu al-islislah
yang berarti " mencari kebaikan " Tak jarang kata maslahah atau istislah ini disertai dengan
kata al-mu nasib yang berarti "hal-hal yang cocok, sesuai dan tepat penggunaannya.3 Dari
beberapa arti ini dapat diambil suatu pemahaman bahwa setiap sesuatu , apa saja, yang
mengandung manfaat di dalamnya baik untuk memperoleh kemanfaatan, kebaikan, maupun
untuk menolak kemudaratan, maka semua itu disebut dengan maslahah. Dalam konteks kajian
ilmu ushul al-fiqh, kata tersebut menjadi sebuah istilah teknis, yang berarti " berbagai manfaat
yang dimaksudkan Syari' dalam penetapan hukum bagi hamba-hamba- Nya, yang mencakup
tujuan untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kekayaan, serta mencegah
hal-hal yang dapat mengakibatkan luputnya seseorang dari kelima kepentingan tersebut.4
Maslahah merupakan salah satu metode analisa yang dipakai oleh ulama ushul dalam
menetapkan hukum (istinbat) yang persoalannya tidak diatur secara eksplisit dalam al-Qur'an
dan al-Hadis Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung
Maslahah mursalah dalam pengertiannya dapat dimaknai dengan sesuatu yang mutlak
Menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqhi ialah suatu kemaslahatan, di mana syari'ah tidak
mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu dan tidak ada dalil yang
menunjukkan atas pengakuan dan penolakannya.5 Maslahah mursalah biasa ditemukan
dengan melalui metode islislah, dan ini menjpakan dasar (sumber) hukum Islam Menurut
istilah para fuqaha, islislah adalah hukum (yang ditetapkan) karena tuntutan maslahat yang
tidak didukung maupun diabaikan oleh dalil khusus, tetapi sesuai dengan maqashid al-
Syari'ah al-Ammali (tujuan umum hukum Islam). Istislah merupakan jalan yang ditempuh
hukum Islam untuk menerapkan kaidah-kaidah dan perintah-perintahnya terhadap berbagai
peristiwa baru yang tidak ada nashnya. juga menjadi jalan dalam menetapkan aturan yang
harus ada dalam kehidupan umat manusia, agar sesuai dengan maqashid al-Syari 'ah al-
Ammah, dalam rangka menarik kemaslahatan, menolak kemafsadatan dan menegakkan
kehidupan sempurna mungkin.6 Maslahah mursalah adalah pengertian maslahat secara
umum, yaitu yang dapat menarik manfaat dan menolak mudarat, serta yang direalisasikan
oleh syari at Islam dalam bentuk umum. Nash-nash pokok ajaran Islam telah menetapkan
kewajiban memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek
kehidupan. Pembuat syara' (Allah swt dan Rasul-Nya) tidak menentukan bentuk-bentuk dan
macam-macam maslahat, sehingga maslahat seperti ini disebut dengan mursalah, yaitu mutlak
tidak terbatas Apabila sebuah maslahat didukung oleh nash, seperti menuliskan al-Qur'an
supaya tidak hilang, mengajar membaca dan menulis, atau terdapat nash yang
mendukungnya, seperti kewajiban mengajarkan dan menyebarkan ilmu, perintah mengajarkan
segala kebaikan yang diperintahkan syara' dan larangan mengerjakan segala macam
kemungkaran yang dilarang syara', maka maslahah semacam ini disebut maslahah mansus
(maslahah yang ada nashnya), maslahah jenis ini tidak termasuk maslahah mursalah Hukum
maslahah mansus ditetapkan oleh nash bukan oleh metode istislah Istislah merupakan cara
atau metodeistinbhat yang diperselisihkan para Imam Mujtahid Di antara mereka, ada yang
mengakuinya dan ada pula yang menolaknya.

2.

a).Definisi ijma’ menurut bahasa terbagi dalam dua arti:

1.      Bermaksud atau berniat (azm) sebagai firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat yunus ayat 71 yang
artinya:
“dan bacakanlah kepada mereka berita tentang Nuh diwaktu dia berkata kepada kaumnya, “hai
kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-
ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karna itu bulatkanlah keputusanmu dan
(kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakannya. Kemudian janganlah keputusanmu itu
dirahasiakan. Lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tanggu
kepadaku.” (QS.Yunus:71).
Maksudnya, semua pengikut nabi Nuh dan teman-temannya harus mengikuti jalan yang beliau
tempuh dan hadits Rasulullah SAW. yang artinya, “barangsiapa yang belum berniat untuk berpuasa
sebelum fajar maka puasanya tidak sah.[1]”
2.      Kesepakatan terhadap sesuatu (ittifaq), artinya suatu kelompok bisa dikatakan berijma’ jika mereka
bersepakat terhadap sesuatu, sebagaimana firman Allah dalam surat Yunus ayat 15 yang artinya:
“maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya kedalam sumur (lalu mereka
memasukkan dia), dan (diwaktu dia berada didalam sumur)kami wahyukan kepada yusuf,
” sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada
ingat lagi.” (QS.Yusuf: 15)

b). Ijma’ didefinisikan oleh para ulama dengan beragam ibarat. Namun, secara ringkasnya dapatlah
dikatakan sebagai berikut: ”Kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada satu masa setelah zaman
Rasulullah atas sebuah perkara dalam agama.” Dan ijma’ yang dapat dipertanggung jawabkan
adalah yang terjadi di zaman sahabat, tabiin (setelah sahabat), dan tabi’ut tabiin (setelah tabiin).
Karena setelah zaman mereka para ulama telah berpencar dan jumlahnya banyak, dan perselisihan
semakin banyak, sehingga tak dapat dipastikan bahwa semua ulama telah bersepakat.
Berdasarkan definisi di atas dapatlah disebutkan syarat-syarat sebuah ijma’ itu bisa disahkan dan
berlaku:

1. Terjadinya kesepakatan
2. Kesepakatan seluruh ulama islam
3. Waktu kesepakatan setelah zaman Rasulullah, meskipun hanya sebentar saja kesepakatan
terjadi
4. Yang disepakati adalah perkara agama

Bila seluruh perkara di atas terpenuhi maka ia menjadi ijma’ yang tak boleh diselisihi setelahnya,
dan menjadi landasan hukum dalam Islam. Siapa yang menyelisihinya maka ia menyimpang,
meskipun berasal dari mereka yang dulunya ikut bersepakat di dalamnya.

Berdasarkan kejelasan perkara yang disepakati, ijma’ terbagi dua:

1. Ijma’ qath’i, yaitu yang berupa perkara maklum dan jamak diketahui oleh seluruh kalangan
dari umat islam, tidak ada yang tak mengetahuinya dalam kondisi wajar, dan tidak ada uzur
untuk tidak mengetahuinya. Seperti ijma’ tentang wajibnya salat lima waktu dan haramnya
minuman keras.   

2. Ijma’ dzanni, yaitu ijma’ yang tidaklah diketahui kecuali oleh para ulama. Karena
diperlukan pencarian dan pembedahan terhadap teks-teks kitab klasik dan ucapan-ucapan
ulama terdahulu.

Berdasarkan metode terjadinya, ijma’ terbagi dua:

1. Ijma’ bayani / sharih, yaitu ijma’ yang terjadi baik dengan perkataan maupun perbuatan.
Semisal dengan perbuatan para salaf dalam berbisnis model mudharabah, sehingga dapatlah
dikatakan bahwa mudharabah tersebut boleh menurut ijma’, begitu juga jika ada seorang
ulama yang berbicara suatu hukum lalu para ulama lainnya berpendapat sama. Inilah dia
asalnya ijma’, dan ketika disebut kata ijma’ secara mutlak maka yang terbetik dalam benak
adalah ijma’ sharih.

2. Ijma’ sukuti, berlawanan dengan yang pertama, bilamana terdapat perkataan ataupun
perbuatan ulama, sedang ulama lainnya diam tanpa mengomentari, maka apakah itu ijma’?
Berdasarkan cara pandang bahwa ulama lainnya tidak mengingkari, maka bisa dikatakan
ijma’. Namun, berdasarkan pandangan bahwa diam bukan berarti setuju, bisa jadi karena
faktor-faktor tertentu seperti segan atau memaklumi ijtihad orang lain misalnya, maka tak
dapat disebut ijma’.

Dalam masalah ini bisa kita golongkan sebagai ijma’, berdasarkan pendapat yang kita pilih,
dengan syarat perkara tersebut masyhur dan diketahui oleh seluruh ulama mujtahid pada
zaman itu. Namun, ijma’ ini lemah derajatnya, terlebih bilamana terdapat indikasi yang
menunjukkan sebaliknya, maka saat itu tidak dapat dianggap. Selain itu sangatlah sulit
mengklaim ijma’ macam ini karena syarat masyhur tersebut.

Berdasarkan jumlah pendapat yang ada, ijma’ terbagi dua:

1. Ijma’ basith, jika ijma’ tersebut merupakan kesepakatan terhadap sebuah pendapat maka
inilah yang disebut dengan basith ataupun sederhana. Dan inilah yang dimaksud dengan
ijma’ bila disebut secara mutlak.

2. Ijma’ murakkab, adapun jika ijma’ para ulama berselisih pendapat berlawanan dengan jenis
yang pertama, maka di sana terdapat ijma’ yang murakkab alias tersusun dari beberapa
pendapat tersebut. Sisi kesepakatannya adalah mereka telah mufakat untuk tidak berselisih
kecuali menjadi dua atau tiga pendapat tersebut, maka tidak boleh untuk membuat pendapat
berikutnya yang bertentangan atau menafikan pendapat yang telah ada.

Sebagai contoh, para ulama berselisih mengenai niat dalam bersuci, sebagian berpendapat
harus berniat ibadah dalam setiap bersuci; wudu, tayamum, dan mandi junub, sebagian lagi
berpendapat hanya dalam tayamum saja, maka jika dikatakan tidak harus maka inilah yang
disebut membuat pendapat baru bertentangan yang sudah ada, yaitu yang mengharuskan
niat tersebut pada ketiganya sekaligus.

Adapun yang diperbolehkan seperti misalnya membuat pendapat jalan tengah di antara
pendapat-pendapat yang berselisih, atau membuat pendapat yang merinci, bila kondisi
begini maka pendapat ini berlaku, bila kondisi begitu maka pendapat itu berlaku.

Berdasarkan metode untuk mengetahuinya, ijma’ terbagi dua:

1. Ijma’ mahshul, yaitu ijma’ yang didapat dengan usaha seorang mujtahid mengeluarkan
kesimpulan ijma’ dari kitab-kitab para ulama terdahulu, dimulai dari mendata ucapan-
ucapan mereka, pendapat-pendapat mazhab, dan seterusnya hingga sampai pada kesimpulan
bahwa dalam masalah ini tidak terdapat perselisihan.

2. Ijma’ manqul, yaitu ijma’ yang diketahui dengan nukilan dari ulama terdahulu yang
mengatakan bahwa dalam perkara ini terdapat ijma’. Selama nukilan itu sahih dan dapat
dipertanggung jawabkan maka ijma’ dengan cara ini pun dapat dianggap, dan tak perlu
untuk meneliti apakah banyak yang meriwayatkannya atau hanya satu orang.

Anda mungkin juga menyukai